Post on 25-Jun-2015
PROSPEK PENGEMBANGAN PERTANIAN BERBASIS ORGANIK DAN
MIX-FARMING SYSTEM
DIDUKUNG OLEH
MANAJEMEN LAHAN YANG BERKELANJUTAN
(SUSTAINABLE LAND MANAGEMENT)
DI DAERAH IKLIM TROPIKA BASAH
Oleh:
Tjandramukti
Direktur Aneka Usaha Tani Budi (BMF)
Purwodadi - Grobogan
Disampaikan dalam:
LOKAKARYA DAN STUDI BANDING DENGAN TEMA
MANAJEMEN MIX-FARMING BERBASIS AGROBISNIS PETERNAKAN SAPI
Yogyakarta, 4 - 7 Mei 2004
SMALL AND MEDIUM ENTERPRISESDEVELOPMENT CENTREGADJAH MADA UNIVERSITYSMEDC
I. PENDAHULUAN
Lebih dari seabad yang lampau, Malthus meramalkan akan timbulnya kesuraman dan
malapetaka bagi umat manusia di dunia karena lahan tidak mampu lagi mendukung
produksi pangan yang cukup bagi kebutuhan umat manusia, yang populasinya makin
meningkat. Ramalan ini belum terbukti karena peningkatan produksi hasil pertanian dunia
yang meningkat sangat tinggi selama 50 tahun terakhir. Peningkatan produksi hasil
pertanian yang masih mampu memenuhi kebutuhan pangan dunia adalah sebagai
dampak dari high intensive input technology revolusi hijau yang didukung benih unggul,
benih hibrida, benih GMO, pemupukan anorganik dosis tinggi, penggunaan pestisida dan
herbisida kimia, pengairan irigasi, pengairan dengan sumur pantek dan mekanisasi
pertanian.
Dari dampak high intensive input technology revolusi hijau tersebut, Club of Rome
meramalkan akan timbulnya kesuraman dan malapetaka produksi pangan dunia yang
disebabkan dari pencemaran bahan kimia yang akan merusak lingkungan hidup dunia
(ekosistem dunia). Kerusakan ekosistem pada lahan pertanian bisa berupa penurunan pH
(keasaman lahan), peningkatan salinitas lahan dan keracunan mineral B (boron) akibat
akumulasi air sumur pantek. Pencemaran nitrat sumber mata air dan penguapan gas
NO2/NO, karena pemupukan pupuk N dosis tinggi dan kesalahan dalam aplikasi menjadi
salah satu penyebab pemanasan iklim bumi. Pencemaran pestisida produk pertanian dan
air permukaan, kemerosotan produksi akibat pemupukan P dosis tinggi dan terus
menerus berdampak pada terikatnya hara mikro Zn (zinc), sehingga tidak tersedia bagi
tanaman. Zn adalah prekursor phyto hormon auksin (IAA = Indole Acetic Acid) dan
prekursor enzymatic untuk proses respirasi.
Berdasarkan penelitian para ahli, kesuraman produksi pangan dunia yang berupa
kemerosotan produksi pangan (leveling off) disebabkan oleh 2 faktor, yaitu:
1. Faktor intrinsik, sebagai penyebab degradasi lahan pertanian:
a. Pencemaran bahan kimia yang merusak ekosistem, seperti yang telah
diprediksi oleh Club of Rome.
b. Erosi tanah mineral dan organik tanah, terutama di lahan dataran tinggi
dan marginal, sebagai penyebab penurunan daya dukung tanah
1
c. Gundulnya hutan-hutan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air
hujan, sebagai penyebab rendahnya ketersediaan air tanah akibat
rendahnya resapan air hujan.
2. Faktor ekstrinsik (faktor iklim dan intensitas matahari), sebagai penyebab
perubahan iklim global:
a. Meningkatnya temperatur bumi yang menyebabkan perubahan iklim global
berupa perubahan phenomena-phenomena alam seperti misalnya
timbulnya badai, El Nino dan La Nina. Hal ini diakibatkan oleh emisi gas
bumi yang makin meningkat, yang juga menyebabkan terjadinya efek
rumah kaca dan peningkatan evapo-transpirasi. Peningkatan emisi gas
bumi tersebut adalah:
i. Peningkatan emisi gas CO2 dan CO di atmosphere sebagai
dampak penggunaan bahan fosil sebagai sumber energi (batu bara,
minyak bumi).
ii. Peningkatan emisi gas metan sebagai dampak degradasi bahan
organik di sawah irigasi, embung, waduk, sungai dan tempat
pembuangan sampah akhir.
iii. Peningkatan emisi gas freon (CFC = Chloro Fluoro Carbon)
sebagai dampak dari penggunaan freon sebagai pendingin.
iv. Peningkatan emisi gas NO2 sebagai dampak dari hasil denitrifikasi
hara NO3 (nitrat)
b. Meningkatnya temperatur bumi melampaui temperatur optimal untuk
produksi sehingga menyebabkan penurunan hasil panen. Sebagai contoh,
temperatur di atas 32C saat pengisian malai padi akan menurunkan
produksi padi secara nyata.
Faktor intrinsik penyebab degradasi lahan pertanian ada yang bersifat irreversible (tidak
dapat diperbaharui) dan reversible (dapat diperbaharui). Faktor intrinsik irreversible
hanya mampu dibatasi, sedangkan faktor intrinsik reversible mampu diantisipasi, misalnya
dengan pemupukan.
Faktor ekstrinsik merupakan faktor irreversible, yang hanya mampu diantisipasi
dampaknya. Hal-hal seperti kelebihan air hujan, temperatur bumi yang makin panas dan
2
kekeringan saat musim kemarau dapat diantisipasi sehingga dampaknya seminimal
mungkin.
Usaha untuk mengantisipasi degradasi lahan, baik yang reversible maupun yang
irreversible sebagai penyebab kemerosotan produksi akibat penurunan daya dukung
lahan terutama di dataran tinggi dan lahan marginal di daerah tropika basah,
membutuhkan manajemen untuk memperbaiki (improvement) daya dukung tanah
(kesuburan tanah) sehingga mampu untuk mengembalikan produksi yang telah
mengalami penurunan menjadi sama seperti sebelum mengalami degradasi, bahkan lebih
tinggi dan berkelanjutan (sustainable).
Manajemen yang mampu memperbaiki kesuburan tanah (improvement) dan mampu
mempertahankan/meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan disebut
Manajemen Lahan yang Berkelanjutan atau Sustainable Land Management (SLM).
II. MANAJEMEN LAHAN YANG BERKELANJUTAN (SUSTAINABLE LAND
MANAGEMENT)
Degradasi lahan pertanian merupakan penyebab utama penurunan daya dukung lahan
yang dampaknya akan menurunkan produktivitas lahan.
Penyebab degradasi lahan pertanian adalah:
1. Erosi tanah permukaan (top soil) yang disebabkan oleh erosi tanah dan bahan
organik tanah oleh angin, hujan, degradasi oleh perubahan fisik, kimia dan biologi
tanah.
2. Perubahan iklim global yang menyebabkan temperatur bumi semakin meningkat.
3. Ulah manusia dalam mengolah tanah yang tidak mengikuti metode pengolahan
tanah konservasi.
Degradasi lahan pertanian dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu degradasi irreversible dan
degradasi reversible.
3
1. Degradasi irreversible (degradasi yang tidak dapat diperbaharui)
a. Degradasi yang disebabkan oleh erosi tanah permukaan.
Erosi ini terjadi akibat run off aliran air hujan di permukaan tanah yang
akan menghanyutkan tanah permukaan, sehingga yang tersisa hanyalah
partikel pasir dan kerikil yang daya dukung tanahnya sangat rendah (tidak
subur). Erosi tanah permukaan (tanah mineral) ini termasuk dalam
degradasi irreversible karena untuk meningkatkan daya dukung tanah,
tanah yang telah hanyut ke sungai harus dinaikkan kembali. Tindakan ini
membutuhkan biaya yang sangat tinggi sehingga tidak ekonomis untuk
usaha tani.
b. Degradasi tanah yang disebabkan oleh perubahan temperatur global.
Semakin panasnya temperatur bumi menyebabkan penurunan
produktivitas lahan pertanian.
2. Degradasi reversible (degradasi yang dapat diperbaharui)
a. Hanyutnya organik tanah karena erosi tanah permukaan.
Degradasi organik tanah ini dapat diatasi dengan manajemen pemupukan
pupuk organik. Pupuk organik merupakan bagian dari manajemen lahan
yang berkelanjutan untuk meningkatkan daya dukung lahan yang telah
mengalami degradasi.
Manajemen pemupukan pupuk organik bertujuan untuk:
- Meningkatkan pelapukan batuan induk (pasir dan kerikil) secara biologis
(biological weathering) dalam proses reklamasi pembentukan tanah
mineral baru (proses genesis tanah) yang secara alami berjalan sangat
lambat.
- Meningkatkan Nilai Tukar Kation (NTK) sehingga meningkatkan daya
dukung tanah.
- Menyediakan sumber hara makro, mikro, prekursor phyto hormon,
enzim dan vitamin yang mendukung proses fisiologi pertumbuhan dan
produksi tanaman.
- Meningkatkan kandungan organik tanah sehingga populasi
mikroorganisme tanah yang akan memacu proses mineralisasi akan
meningkat; sebagai dampaknya hara mineral yang terikat organik tanah
menjadi tersedia bagi akar tanaman.
4
- Menghancurkan (dekomposisi) residu pestisida kimia dalam tanah, yang
berarti mendukung pertanian sehat bebas residu pestisida.
- Meminimalkan serangan organisme pengganggu, sehingga tanaman
lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit.
- Membentuk dan menstabilkan kondisi fisik, kimia, biologis tanah, dan
meningkatkan agregat tanah sehingga menjadi remah.
- Meningkatkan kemampuan tanah mengikat air.
- Menetralkan ph tanah karena fungsinya sebagai buffer tanah.
- Memacu pertumbuhan akar menjadi vigor, luas dan dalam, sehingga
menjamin kemampuan akar dalam menambang air dan hara tanah.
- Memastikan kandungan organik tanah dalam jumlah yang optimal, yaitu
3% - 5%, yang merupakan indikator keberhasilan manajemen lahan
yang berkelanjutan.
b. Degradasi kimia tanah
Yang termasuk dalam degradasi kimia tanah adalah:
i. Penurunan pH tanah (peningkatan keasaman tanah = acidic soil).
Hal ini dapat diatasi dengan:
- Pemupukan dengan kapur pertanian (kaptan) atau kapur
dolomit.
- Pemupukan dengan pupuk organik untuk meningkatkan pH
tanah, karena perannya sebagai buffer tanah.
- Perubahan pola tanam dari lahan kering menjadi lahan
basah (sawah) untuk meningkatkan pH tanah sehingga pH
tanah mengarah ke netral.
ii. Peningkatan pH tanah (tanah basa = sodic soil). Hal ini dapat
diatasi dengan:
- Pemupukan dengan pupuk yang mengandung sulfat,
misalnya CaSO4 dan ZA
- Pemupukan dengan pupuk organik untuk
menurunkan pH tanah, karena perannya sebagai
buffer tanah.
5
- Perubahan pola tanam dari lahan kering menjadi
lahan basah (sawah) untuk menurunkan pH tanah
sehingga pH tanah mengarah ke netral.
iii. Dampak dari pertanian intensive input dengan output (hasil
panen) yang tinggi. Praktek ini sangat rentan terhadap
terjadinya degradasi produktivitas lahan yang terutama
disebabkan degradasi hara makro, meso, mikro dan karbon
organik tanah. Timbulnya kekahatan hara tersebut mampu
diperbaharui dengan manajemen pemupukan pupuk
anorganik berimbang dan manajemen pemupukan pupuk
organik.
iv. Kekeringan saat musim kemarau. Hal ini dapat dibatasi
dengan meningkatkan resapan lahan pertanian dengan
pembuatan sumur-sumur resapan di lahan-lahan pertanian.
v. Erosi tanah karena aliran air di permukaan tanah (run off)
sebagai akibat dari kelebihan air di permukaan tanah saat
musim hujan. Hal ini dapat dibatasi dengan meningkatkan
resapan lahan pertanian dengan pembuatan sumur-sumur
resapan di lahan-lahan pertanian.
Antisipasi kekeringan pada saat musim kemarau dan run off pada musim hujan
dengan sumur resapan di lahan petani
Proses mengalirnya air di dalam tanah adalah melalui proses kapilarisasi, baik untuk
aliran air ke permukaan tanah maupun aliran air ke dalam tanah. Air yang dibutuhkan
makhluk hidup di bumi, termasuk untuk industri dan pertanian adalah 100% berasal dari
air hujan. Air hujan yang jatuh ke bumi menjadi air permukaan yang mengalir ke sungai-
sungai dan sebagian tertampung ke waduk, yang akhirnya mengalir ke laut. Sebagian
dari air hujan akan meresap ke dalam tanah dan menjadi air tanah. Bila air tanah jenuh,
air akan penetrasi (turun) ke lapisan tanah yang lebih dalam dan berkumpul menjadi
sungai di bawah tanah. Sungai di bawah tanah merupakan sumber air yang mampu
dimanfaatkan sebagai sumber sumur dangkal, atau sumur artetis yang mampu
6
menyediakan air bagi kebutuhan hidup manusia dan bagi kepentingan pengairan untuk
pertanian.
Kawasan hutan yang terjaga baik adalah merupakan daerah tangkapan air hujan, yang
mampu meningkatkan resapan air hujan sebagai air tanah dan sumber air bawah tanah,
sehingga menjamin ketersediaan air bagi manusia dan pertanian. Air tanah merupakan
tandon air dalam tanah yang sangat potensial bagi ketersediaan air bagi akar pada saat
kemarau. Bila air tanah tertampung secara optimal pada musim hujan, pada musim
kemarau air tanah mengalir ke permukaan tanah melalui sistem kapilarisasi sehingga
mampu mensuplai kebutuhan air untuk akar.
Sebagai dampak dari penjarahan hutan yang tidak terkendali, fungsi hutan sebagai
daerah tangkapan air tidak optimal, sehingga kapasitas tandon air dalam tanah sangat
rendah. Hal ini menyebabkan timbulnya kekurangan air saat musim kemarau. Pada
musim kemarau, tingkat evaporasi/penguapan air tanah tinggi, tanah mengalami
kekeringan sehingga kapiler tanah juga mengering dan terisi udara.
Saat musim hujan, penetrasi air ke dalam tanah sulit terjadi, karena resapan air hujan
harus menekan udara dalam kapiler. Akibatnya, resapan air hujan ke dalam tanah
terhambat, sehingga meningkatkan aliran air permukaan yang pada akhirnya
menimbulkan run off, bahkan erosi tanah. Untuk mengantisipasi masalah kekeringan
pada saat musim kemarau yang disebabkan oleh rendahnya kandungan air tanah,
dibutuhkan manajemen peningkatkan resapan air di tanah pertanian sehingga tanah
mampu berfungsi kembali sebagai tandon air.
Manajemen lahan yang berkelanjutan untuk antisipasi rendahnya air yang meresap ke
dalam tanah saat musim hujan membutuhkan teknologi tepat guna yang mampu
dikerjakan oleh petani sendiri dan tidak tergantung dari proyek pemerintah, berupa sumur
resapan di lahan petani, terutama lahan tadah hujan dan lahan marginal.
Manajemen Sumur Resapan
Pada lahan tadah hujan dan lahan marginal, kebutuhan air sangat tergantung pada curah
hujan dan kemampuan lahan pertanian dalam meresap air hujan saat musim hujan yang
akan disimpan sebagai tandon air tanah. Kegunaan tandon air tanah adalah sebagai
7
persediaan air pada saat musim kemarau yang akan dimanfaatkan oleh akar tanaman
sehingga tanaman tidak akan mengalami kekeringan.
Skema sumur resapan
1. Sumur resapan berupa kombong
anyaman bambu dengan ukuran lebar
80 cm dan dalam 2.5 m – 3 m.
2. Agar kombong lebih awet, dikuas
dengan ter atau oli bekas.
3. Dibuat di sebelah drainage, masuk ke
dalam gulutan.
4. Pembuatan menjelang musim hujan.
5. Jangan membuat sumur resapan di
lereng bukit yang terjal karena akan
memacu kelongsoran.
Mekanisme sumur resapan
Bila pada lahan tadah hujan dibuat sumur resapan, minimal 2 sumur resapan tiap ¼ bau
(¼ bau = kurang lebih 0.16 hektar). Saat awal musim hujan, air akan tertampung dalam
sumur resapan. Air sumur resapan mampu penetrasi ke dalam dan ke samping tanah.
Proses kapilarisasi air ke permukaan tanah akan timbul dengan mendesak udara di dalam
kapiler ke permukaan. Dampaknya, bila timbul hujan deras, air hujan sudah mampu
penetrasi ke dalam tanah karena kapiler tanah sudah tidak dihambat oleh udara sehingga
aliran air di permukaan tanah dapat dikurangi. Mekanisme ini juga merupakan suatu
usaha untuk meminimalkan terjadinya run off penyebab erosi permukaan tanah.
Degradasi irreversible sebagai akibat dari terjadinya erosi tanah permukaan, dapat
diantisipasi untuk memperkecil dampaknya. Cara-cara untuk mengantisipasinya adalah
sebagai berikut:
1. Dibuat terasering di tanah marginal dengan derajat kemiringan di atas 30.
8
Tandon
air tanah
Tandon air sungai di bawah tanah
2. Sistem olah tanah dengan sistem Strip Cropping atau Buffer Strip Cropping
disesuaikan dengan contour lahan.
3. Dibuat sumur resapan di tanah marginal yang relatif datar.
4. Pengolahan tanah secara konservasi saat menghadapi musim hujan (minimum
tillage atau zero tillage).
Kesimpulannya, degradasi tanah yang irreversible hanya mampu diantisipasi dengan
usaha untuk meminimalkan derajat erosi tanah permukaan.
Antisipasi degradasi reversible dengan pemupukan pupuk anorganik, pemupukan pupuk
organik, dan pemupukan dengan pupuk pembenah tanah, merupakan manajemen dalam
usaha untuk meningkatkan lahan pertanian yang mengalami degradasi reversible agar
daya dukung tanahnya mampu ditingkatkan, sehingga mampu berproduksi seperti lahan
sebelum mengalami degradasi. Usaha ini bertujuan agar pertanian mampu berproduksi
secara berkelanjutan (sustainable).
Ketiga jenis degradasi tanah yang telah dijelaskan di atas, yaitu degradasi tekstur tanah
(degradasi karena erosi), degradasi biologis (degradasi organik) dan degradasi kimia
tanah, merupakan degradasi oleh faktor intrinsik. Berikut akan disinggung mengenai
degradasi oleh faktor ekstrinsik.
Degradasi irreversible oleh faktor ekstrinsik
Degradasi ini tidak dapat diperbaharui dan hanya mampu diantisipasi dampaknya
seminimal mungkin, karena sifatnya yang global. Temperatur bumi yang meningkat di
atas temperatur yang favourable untuk produksi optimal menyebabkan penurunan
kualitas dan produktivitas hasil pertanian, karena:
- Temperatur bumi yang tinggi menyebabkan peningkatan penguapan air dari
permukaan daun dan tanah (evapo-transpirasi).
- Temperatur bumi yang meningkat menyebabkan respirasi tanaman meningkat.
Proses respirasi membutuhkan energi hasil rombakan glukosa. Akibatnya,
daun mengalami kelayuan menjelang siang hari, sehingga proses karbon
asimilasi menurun dan berdampak pada penurunan produksi.
- Evaporasi air tanah yang meningkat menyebabkan tanah retak-retak, sehingga
tanaman menjadi rentan terhadap kekeringan dan produksinya akan rendah.
9
Sebagai akibat dari perubahan iklim global, timbul perubahan iklim atau cuaca yang
ekstrim. Sebagai contoh adalah timbulnya phenomena alam berupa badai yang sulit
diramalkan, timbul kekeringan hebat sebagai dampak dari El Nino dan juga banjir besar
sebagai dampak dari La Nina. Hal ini juga menyebabkan penurunan kualitas dan
produktivitas hasil pertanian.
Manajemen lahan untuk meminimalkan dampak dari degradasi irreversible oleh
faktor ekstrinsik
1. Antisipasi kelayuan daun menjelang siang hari akibat temperatur bumi yang tinggi:
a. Menanam di dataran tinggi yang bertemperatur rendah. Daun menjadi
tebal dan tidak mudah layu karena daun mampu mensintesa Trinoic Acid
yang memiliki fungsi sebagai penebal daun.
b. Untuk dataran rendah yang bertemperatur tinggi, daun tidak mampu
mensintesa Trinoic Acid, sehingga daun menjadi tipis dan mudah layu.
Untuk mengantisipasinya diperlukan metoda hardening dinding sel daun,
untuk membuat daun menjadi tebal dan tahan terhadap kelayuan sebagai
dampak dari temperatur bumi yang meningkat. Dengan demikian proses
karbon asimilasi akan kembali optimal. Salah satu contoh produk yang
bisa digunakan adalah PPC Organik Bio Fert Plus (dikembangkan oleh
Aneka Usaha Tani Budi/ BMF) untuk penyemprotan daun yang berfungsi
untuk hardening dinding sel daun.
2. Antisipasi penguapan air tanah tinggi penyebab kekeringan:
a. Penanaman dengan sistem mulsa jerami atau mulsa plastik hitam perak
b. Pembuatan sumur resapan
c. Penyiraman, baik berupa irigasi, pompanisasi atau sumur pantek
d. Pemupukan dengan pupuk organik untuk memperbaiki tekstur dan agregat
tanah dengan kemampuan mengikat air yang tinggi
10
Manajemen pemupukan dengan pupuk organik
Degradasi organik tanah di lahan tropika basah adalah sangat cepat, karena erosi tanah
dan dekomposisi yang cepat akibat temperatur tinggi. Kandungan organik tanah yang
optimal (3% - 5%) adalah indikator terjadinya manajemen lahan yang berkelanjutan
(sustainable). Bila kandungan organik tanah di bawah ambang optimal, daya dukung
tanah tidak akan berkelanjutan (non sustainable). Untuk mempertahankan daya dukung
tanah, pemantauan kandungan organiknya mutlak diperlukan.
Usaha-usaha untuk meningkatkan kandungan organik tanah
1. Pemupukan dengan pupuk organik padat, berupa kompos pupuk kandang atau
kompos bahan organik lainnya.
2. Pemupukan dengan ekstrak pupuk organik cair hasil ekstraksi pupuk organik yang
kaya bahan humus. Salah satu contoh produk yang bisa digunakan adalah
ekstrak kompos cair Bio Lemi.
3. Penanaman cover crop leguminoceae (tanaman penutup) di bawah kebun,
misalnya untuk kebun buah, kelapa sawit, kebun karet, dsb., sebagai sumber
pupuk hijau yang akan memperkaya kandungan organik tanah.
4. Pastura tumpang sari antara rumput dan leguminoceae untuk padang
penggembalaan, misalnya di NTB, NTT, Sulawesi, dll.
5. Ley Farming System, yaitu suatu sistem untuk memperbaiki kandungan organik
tanah dengan penanaman leguminoceae selama tiga tahun secara terus menerus.
Selama tiga tahun, hasil panen leguminoceae dibenamkan ke dalam tanah
sebagai pupuk hijau yang kaya bahan organik dan N. Salah satu contoh success
story adalah penerapan ley farming system di tanah marginal Thailand Utara yang
sangat berhasil meningkatkan kandungan organik tanah yang telah mengalami
degradasi. Setelah tiga tahun, daya dukung tanah meningkat dengan produksi
empat kali lipat dibandingkan dengan sebelum penerapan ley farming system.
6. Penanaman kedelai varietas determinate seperti kedelai malabar, yang pada saat
panen daunnya rontok. Daun ini mampu meningkatkan kandungan organik tanah
sehingga meningkatkan daya dukung tanah. Disamping daun tersebut, kedelai
juga kaya akan bakteri rhizobium.
7. Inter cropping dengan tanaman leguminoceae pohon, misalnya tumpang sari
dengan tanaman turi (Sesbania grandiflora). Tanaman turi ini berfungsi untuk
konservasi air dan tanah.
Kelebihan dari tanaman turi adalah:
11
- Pertumbuhannya cepat dan tidak memerlukan pemupukan
- Perakarannya dalam sehingga meningkatkan resapan air tanah
- Mahkota daunnya tidak menaungi tanaman pokok
- Daun dan rantingnya bisa dipanen untuk pupuk hijau yang akan
meningkatkan kandungan organik tanah. Cara memanen daun turi adalah
dengan memangkas tanaman turi setinggi 1,5 m agar turi bisa bersemi
kembali
- Akar turi kaya akan bakteri rhizobium yang akan meningkatkan kesuburan
tanah.
III. SUSTAINABLE MIX-FARMING
Pembangunan di bidang peternakan sapi di Indonesia merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dengan pembangunan di bidang pertanian. Ternak, terutama
ruminansia besar (sapi, kerbau) merupakan organisme heterotropik atau organisme
penghancur/ pencerna bahan organik hasil bio sintesa organisme autotropik (tanaman
sebagai organisme pembentuk bahan organik, termasuk hasil panen dan limbah
tanaman). Hasil pencernaan bahan organik oleh ternak ini menjadi sumber energi,
protein hewani (daging, susu), lemak, mineral dan vitamin bagi ketersediaan pangan
untuk manusia.
Ternak ruminansia, terutama ruminansia besar seperti sapi dan kerbau merupakan
“Biological Industry” yang mampu merombak bahan organik hasil pertanian untuk
kelangsungan hidupnya, bereproduksi dan berproduksi. Sebagai contoh adalah jerami
padi, yang tanpa perlakuan bisa dimanfaatkan sebagai ransum basal sapi. Jerami padi,
yang merupakan limbah tanaman padi dengan kandungan gizi rendah dapat ditingkatkan
nilai gizinya dengan metoda bio fermentasi dengan bio starter probiotik, atau dengan
metoda amoniasi. Jerami fermentasi jika digunakan sebagai pakan sapi akan mampu
meningkatkan produksi.
Mix-farming adalah merupakan usaha peternakan, terutama sapi dan pertanian, yang
bukan merupakan sistem usaha parsial tetapi merupakan sistem usaha integral yang
saling mendukung (Crop Livestock System). Sistem integral ini diarahkan pada upaya
untuk memperpanjang siklus biologis dengan memanfaatkan hasil samping pertanian,
12
dimana setiap mata rantai dari siklus menghasilkan produk baru yang memiliki nilai
ekonomis yang saling menunjang. Sebagai contoh, limbah pertanian dapat dimanfaatkan
sebagai pakan sapi baik dengan perlakuan atau tanpa perlakuan, atau sebagai bahan
organik dalam pembuatan pupuk organik (kompos). Sementara limbah ternak sapi
(faeces dan urine) dapat diproses sebagai pupuk organik berupa kompos pupuk kandang.
Limbah ternak ini dapat juga dimanfaatkan sebagai media ternak cacing atau media
tanaman jamur dalam upaya untuk memperpanjang siklus biologis. Panenan cacing
digunakan sebagai pakan ikan, panenan jamur memiliki nilai ekonomis sebagai sayur,
sedangkan kascing (bekas cacing) dan kompos ex jamur sebagai pupuk organik
penyubur tanah.
Sistem mix-farming merupakan Zero Waste Farming System dan Ecological Farming
System (Ecofarming). Sistem ini merupakan sistem usaha yang ramah lingkungan, dan
juga berperan sebagai penghasil pupuk organik yang mutlak dibutuhkan untuk
meningkatkan daya dukung tanah dari dampak degradasi produksi lahan pertanian,
dalam menunjang manajemen lahan yang berkelanjutan. Manajemen pemupukan
organik merupakan bagian yang penting dalam meningkatkan kesuburan lahan pertanian
yang berkelanjutan.
IV. PUPUK ORGANIK
Pengertian pupuk organik di Indonesia masih rancu. Sebagai kesepakatan tidak tertulis
dalam undang-undang, yang disebut dengan pupuk organik ialah produk biomas baik
berupa limbah industri pertanian, peternakan dan industri dengan bahan baku organik,
baik melalui proses fermentasi, dekomposisi atau dengan pengeringan sehingga memiliki
standar C/N maksimal 15 dan kandungan N minimal 1,8%.
Dalam bahasa Inggris, pupuk organik dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Organic manure
a. Farm yard organic manure: merupakan bahan organik yang berupa limbah
ternak dan limbah pertanian.
b. Tankage: merupakan limbah pabrik yang berupa ampas organik, seperti
pineapple tankage, citrus tankage, ampas teh, limbah pabrik gula, limbah
fermentasi pabrik anggur dan bir.
13
2. Organic fertilizer
a. Sisa produksi yang berasal dari ternak, ikan dan hasil pertanian yang
memiliki C/N maksimal 15 dan kandungan N minimal 1,8%. Sebagai
pupuk organik pada umumnya tidak melalui proses dekomposisi atau
fermentasi melainkan melalui proses pengeringan. Pupuk ini kaya akan
kandungan N, P, K dan Ca. Yang termasuk dalam organic fertilizer adalah
pupuk hijau leguminoceae, azolla piñata, bungkil klenteng, bungkil kapas,
bungkil inti kelapa sawit, bungkil kopra, bungkil castor oil, bungkil kedele,
bungkil rape seed, tepung ikan, tepung darah, tepung daging dan tulang
(MBM), tepung bulu, silage ikan, dll.
b. Limbah peternakan, limbah pertanian, tankage, atau kombinasi ketiganya,
yang telah mengalami proses dekomposisi untuk menurunkan C/N agar
mencapai maksimal 15 dan meningkatkan kandungan N agar mencapai
minimal 1,8%. Proses pembuatan kompos dari limbah ternak yang benar
harus mampu memenuhi ketentuan tersebut.
Pupuk organik dengan proses dekomposisi yang benar merupakan pupuk organik yang
menunjang Sistem Pertanian Berbasis Organik, yaitu sistem pertanian yang
menghasilkan produk pertanian bersih, layak konsumsi, dan memenuhi ambang
kesehatan (green product). Produk pertanian yang termasuk dalam kategori green
product merupakan produk pangan permintaan konsumen yang berkembang saat ini,
terutama oleh konsumen yang peduli akan hidup sehat.
V. PERTANIAN BERBASIS ORGANIK
Standar pertanian organik oleh FAO ialah pertanian berbasis organik yang mampu
mengganti 40% kebutuhan hara yang berasal dari pupuk anorganik dengan pupuk
organik.
Sistem pertanian berbasis organik
1. Pertanian Organik (PO)
a. Anti intervensi intensive input. Termasuk di dalamnya anti bibit unggul,
pupuk kimia (pupuk anorganik) dan pestisida kimia. Yang dikehendaki
14
adalah benih plasma nutfah (non intensive input) seperti yang ditanam oleh
nenek moyang kita, yang lebih efisien akan kebutuhan pupuk (hara).
b. Merupakan pertanian holistic yang didukung oleh proses daur ulang
organisme autotropik–heterotropik dengan proses dekomposisi menjadi
pupuk organik.
c. Menggunakan pemupukan dengan pupuk organik dosis tinggi.
d. Produksi rendah, sehingga menyebabkan biaya produksi tinggi.
e. Merupakan green product.
f. Tidak mampu mendukung Ketahanan Pangan Nasional.
g. Mendukung pertanian yang berkelanjutan.
2. Pertanian Manipulasi Organik
a. Menganut prinsip pemupukan dengan pupuk organik dosis tinggi.
b. Memanfaatkan sisa pupuk anorganik yang terikat tanah dan humoid, atau
memupuk dengan muck soil / night soil yang kaya organik dan hara
mineral.
c. Menggunakan pestisida secara terkendali, terutama pestisida biologis.
d. BEP lebih rendah dibandingkan dengan Pertanian Organik karena
produktivitasnya lebih tinggi.
e. Merupakan green product.
f. Tidak mampu mendukung Ketahanan Pangan Nasional.
g. Mendukung pertanian yang berkelanjutan.
3. Pertanian LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture)
a. Menggunakan pupuk organik (metoda biologis) dengan dosis relatif
rendah, disesuaikan dengan kebutuhan tanaman (low external input).
b. Menggunakan pupuk anorganik sesuai kebutuhan tanaman untuk produksi
secara optimal.
c. Menggunakan pestisida secara terkendali, diutamakan pestisida biologis.
d. Mampu berproduksi optimal dengan BEP relatif rendah.
e. Merupakan green product.
f. Mampu mendukung Ketahanan Pangan Nasional.
g. Mendukung pertanian yang berkelanjutan.
Ketiga sistem pertanian berbasis organik ini membutuhkan pupuk organik. Pemilihan dari
ketiga sistem tersebut di atas adalah tergantung dari selera dan permintaan konsumen
15
yang berkembang. Untuk Ketahanan Pangan Nasional, Pertanian LEISA merupakan
pilihan utama.
VI. KESIMPULAN
Manajemen pemupukan dengan pupuk organik merupakan bagian yang terpenting dalam
meningkatkan (improvement) daya dukung (kesuburan) lahan pertanian yang saat ini
telah mengalami degradasi, dan merupakan bagian yang penting dalam Manajemen
Lahan Yang Berkelanjutan.
Mix-farming merupakan manifestasi Manajemen Lahan Yang Berkelanjutan yang
berdampak positif terhadap ekosistem lahan pertanian, sehingga mampu meningkatkan
kesuburan dan produktivitas pertanian yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan petani.
*****
16