Post on 04-Jul-2015
FILSAFAT ISLAM
A. Pengertian Filsafat Islam
Masuknya filsafat berkembang di pesisir samudera Mediterania bagian timur pada
abad 6M yang ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab persoalan seputar
alam, manusia dan Tuhan. Dari Mediterania bergerak menuju Athena, yang menjadi tanah air
filsafat. Ketika Iskandariah didirikan oleh Iskandar Agung, filsafat mulai merambah dunia
timur, dan berpuncak pada 529M. Ketika filsafat bersentuhan dengan Islam, maka yang
terjadi bahwa filsafat terinspirasi oleh pokok-pokok yang bermuara pada sumber-sumber
hukum Islam. Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh filosofnya adalah muslim. Para
filosofnya hidup dan bernafas dalam realita Al-Quran dan As-Sunah. Ada sejumlah perbedaan
besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semua filosof muslim
menggali kembali karya-karya filsafat Yunani, namun kemudian mereka menyesuaikannya
dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih
“mencari Tuhan”, dalam filsafat Islam justru Tuhan “sudah ditemukan”.
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa
Arab yang juga diambil فلسفة dari bahasa Yunani, philosopia, Philo = cinta, sopia =
kebijaksanan. Jadi dilihat dari akar katanya, filsafat mengandung pengertian ingin tahu lebih
mendalam atau cinta kebijaksanaan. Pengertian filsafat dari segi istilah adalah berpikir secara
sistematis, radikal dan universal untuk mengetahui tentang hakikat segala sesuatu yang ada
berdasarkan ajaran islam, seperti hakikat alam, hakikat mansia, hakikat masyarakat, dan lain
sebagainya. Dengan demikian, muncullah filsafat alam, filsafat manusia, filsafat masyarakat,
dan lain sebagainya. Filsafat Islam itu adalah filsafat yang berorientasi pada Al-Quran,
mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah Adapun
pengertian Islam, dari segi bahasa dapat diartikan selamat sentosa, berserah diri, patuh,
tunduk dan taat. Seseorang yang bersikap demikian disebut muslim, yaitu orang yang telah
menyatakan dirinya ta’at, menyerahkan diri, patuh, dan tunduk kepada Allah SWT.
Selanjutnya pengertian Islam dari segi istilah adalah agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Ajaran-
ajaran Islam tersebut selanjutnya terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dari
pengertian filsafat dan Islam sebagaimana diuraikan diatas, kita dapat berkata bahwa filsafat
Islam, adalah filsafat yang berorientasi pada Al Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-
masalah asasi berdasarkan wahyu Allah. Jadi ciri utama kegiatan Filsafat Islam adalah
berpikir tentang segala sesuatu sejalan dengan semangat Islam. Dengan berfilsafat, seseorang
1
akan memiliki wawasan yang luas tentang segala sesuatu, dapat berpikir teratur, tidak cepat
puas dalam penemuan sesuatu, selalu bertanya dan bertanya, saling menghargai pendapat
orang lain.
Dalam hal ini perlu juga dijelaskan tentang ciri-ciri berpikir yang philosophis. Yaitu :
Pertama harus bersifat sistematis. Maksudnya bahwa pemikiran tersebut harus lurus,
tidak melompat-lompat sehingga kesimpulan yang dihasilkan oleh pemikiran tersebut
benar-benar dapat dimengerti.
Kedua harus bersifat radikal , maksudnya harus sampai ke akar-akarnya, sehingga
tidak ada lagi yang tersisa untuk dipikirkan.
Ketiga harus bersifat universal, yaitu menyeluruh, melihat hakikat sesuatu dari
hubungannya dengan yang lain, dan tidak dibatasi untuk kurun waktu tertentu.
B. Ciri Khas Filsafat Islam
Sebagai filsafat religius-spritual
Dikatakan filsafat religius, karena filsafat Islam tumbuh dijantung Islam, tokoh-
tokohnya dididik dengan ajaran Islam dan hidup dalam suasana Islam. Filsafat Islam
merupakan perpanjangan dari pembahasampembahasan keagamaan dan teologi yang
ada sebelumnya. Topik-topik filsafat Islam itu bersifat religius, seperti meng-Esakan
Tuhan. Karena Ia adalah pencipta, maka Ia mencipta dan bukan sesuatu, mengatur dan
menatanya3. Ia menciptakan dengan semata-mata anugerah- Nya. Ia jaga dengan
perhatian-Nya dan Ia tundukan dengan kepada hukum-hukum permanen dan kokoh.
Dengan cara religius dan spiritual ini, filsafat Islam bisa mendekati filsafat skolastik,
bahkan sejalan dengan filsafat kontemporer.
Filsafat Rasional
Walaupun bersifat religius-spiritual, tetapi filsafat Islam juga amat bertumpu pada akal
dalam menafsirkan problematika ketuhanan, manusia dan alam. Akal manusia
merupakan salah satu potensi jiwa. Ia ada 2 macam. Pertama, praktis bertugas
mengendalikan badan dan mengatur tingkah laku. Kedua, teoritis khusus berkenaan
dengan persepsi dan epistemology. Karena akal praktis inilah yang menerima persepsi-
persepsi inderawi dan meringkas pengertian universal dengan bantuan akal aktif.
Dengan akal, kita menganalisa dan membuktikan. Dengan akal, kita menyingkap
realita-realita ilmiah. Karena akal merupakan salah satu pintu pengetahuan. Para filosof
Islam sejalan dengan Mutazilah yang mendahului mereka dalam mengagungkan akal
dan tunduk kepada hukumnya. Mereka bertumpu pada akal dalam banyak hal. Untuk
2
itu, mereka sepakat bahwa dengan akalnya manusia mampu membedakan baik dan
buruk, bahkan mampu membedakan baik dan buruk sebelum ada ketentuan agama.
Mereka mengemukakan teori bahwa Allah harus melakukan yang baik dan yang
terbaik, sehingga perbuatan Allah tidak terlepas dari kriteria baik.
Filsafat Sinkretis
Filsafat Islam memadukan antar sesama filosof. Akan tetapi, mereka konsentrasi
khusus mempelajari Plato dan Aristoteles. Mereka menerjemahkan hampir semua buku
standar Aristoteles. Aritoteles dan Plato amat mempengaruhi banyak aliran Islam.
Tidak pelak lagi, Aristoteles dan Plato adalah pemimpin filsafat, yang meletakkan
prinsi-prinsipnya, membicarakannya secara detail, mencapai tujuan dengan prinsip-
prinsip itu. Namun, tidak mungkin kita mengharapkan kesuksesan perpaduan yang
landasannya salah. Akan tetapi, hal ini merupakan titik awal yang melandasi para
filosof selanjutnya. Jika perpaduan Plato dan Aristoteles sebagai salah satu asas yang
melandasi filsafat Islam, maka prinsip yang kedua adalah memadukan filsafat dengan
agama. Selain berciri religius, filsafat Islam juga memasukan teks agama dengan akal.
Dalam filsafat, ada aspek yang tidak sesuai dengan agama. Itu sebabnya mengapa para
filosof Islam sibuk memberi ciri agama kepada filsafat. Perpaduan yang diusahakan
para filosof Islam merupakan salah satu rajutan jembatan yang mendekatkan filsafat
Arab dengan filsafat latin.
Filsafat dan Agama berbicara tentang hal yang sama, yaitu manusia dan dunianya.
Apabila yang satu membawa kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta manusia dan
dunianya itu, dan yang lainnya dari akal manusia yang selalu diliputi kekurang-jelasan dan
ketidakpastian, mengapa lalu orang masih sibuk dengan agama? Itulah pertanyaan yang tidak
jarang dikemukakan oleh orang bertakwa terhadap usaha para filosof. Itu memang ada
benarnya. Pengetahuan mudah membuat orang menjadi sombong. Filsafat juga dapat
membuat orang menjadi sombong, seakan-akan si filosof mengetahui segala-galanya, seakan-
akan ia pasti lebih maju daripada orang yang saleh. Akan tetapi, di lain pihak, orang yang
bicara atas nama agama juga dapat berdosa karena sombong. Meskipun yang mau dibicarakan
adalah wahyu Allah, namun ia dapat lupa bahwa ia sendiri tetap manusia, tetap terbatas dan
tidak pasti dalam pengertiannya, juga dalam pengertiannya terhdap wahyu itu. Jadi, dengan
cara mengadakan "perhitungan", kita tidak akan maju jauh. Akan tetapi, pertanyaan di atas
tetap perlu kita jawab. Apakah fungsi filsafat dalam berhadapan dengan agama yang menimba
3
pengertiannya dari wahyu Allah ? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu
membicarakan hubungan antara wahyu dan akal budi.
1. Tiga Pandangan Ekstrem
Untuk membahas hubungan antara wahyu Ilahi dan akal budi manusia, sebaiknya kita
bertolak dari tiga pandangan ekstrem tentang hubungan itu. Masing-masing pandangan hanya
menekankan satu segi dan melalaikan segi-segi lainnya. Tiga pandangan itu adalah
Rasionalisme, Fideisme dan Relativisme. Sikap rasional tidak menuntut agar segala sikap
harus dibuktikan secara lengkap atau "ilmiah". Sikap rasional justru menerima keterbatasan
seseorang dalam memastikan kebenaran suatu masalah. Dalam hampir semua pengandaian
hidup, kita tergantung kepada pengertian dan kepastian orang lain dan masyarakat. Misalkan
kita belum pernah pergi ke kota Jayapura, tetapi bukanlah sikap irasional kalau kita yakin
bahwa kota itu ada; kalau pun kita pernah bermaksud pergi ke sana, kita tetap tidak dapat
mengecek sendiri apakah kota itu betul-betul terletak di pantai utara Irian Jaya dan bahwa
kota itu memang Jayapura. Adalah tidak bertentangan dengan sikap rasional, kalau kita dalam
banyak hal mengandalkan pendapat orang lain, adat kebiasaan, bahkan perasaan kita sendiri
(yang kadang-kadang lebih dapat dipercayai daripada sekedar pikiran pintar yang masuk ke
kepala kita). Sikap rasional tidak menuntut kita untuk membuktikan segala-galanya sebelum
kita mengandaikannya (misalnya, apakah sebuah jembatan yang akan kita lewati betul-betul
masih cukup kuat). Tetapi, apabila pendapat atau pengandaian kita memang dipersoalkan, kita
tidak boleh menjawabnya dengan mengacu kepada kebiasaan, kepercayaan, perasaan,
pendapat orang atau otoritas di sekeliling kita, melainkan mencari pertimbangan-
pertimbangan yang dapat dimengerti dan dicek oleh orang lain untuk menanggapi keberatan
itu. Jadi, sikap rasional itu kelihatan dalam tantangan. Orang yang bersikap tidak rasional
adalah orang yang menolak tantangan semata-mata karena keyakinannya. Sedangkan orang
yang bersikap rasional adalah orang yang betul-betul memperhatikan, memeriksa dan
menjawabnya. Sikap rasionalisme lebih dari itu. Seorang rasionalis tidak menerima sesuatu
apapun yang tidak dibuktikan. Maka ia tidak dapat percaya pada cinta orang lain, pada
pengalaman masyarakat yang tertuang dalam adat kebiasaan, dan tentu juta tidak percaya
pada wahyu. Allah hanya mau diterima sejauh ia sendiri dapat mengertinya. Padahal Allah
dengan sendirinya mengatasi jangkauan pengertian ciptaan. Maka rasionalisme adalah lawan
agama. Akan tetapi, seperti kami tunjukkan di atas, rasionalisme sebenarnya irasional.
Karena, ia berawal dari sebuah pengandaian yang justru tidak mungkin terpenuhi : Yaitu
bahwa segala sesuatu dapat dimengerti seseorang. Seorang rasionalis yang taat azas
sebetulnya tidak dapat berbuat sesuatu apa pun karena segala perbuatan mengandaikan hal-hal
4
yang tidak dapat dicek (dapatkah ia mengecek setiap kali mau makan, apakah dalam makanan
itu tidak ada bisa?) Yang harus dituntut adalah sikap rasional, sebagaimana akan kami
perlihatkan di bawah, dan bukan sikap rasionalisme. Fideisme adalah kebalikan dari
rasionalisme. Fideisme (dari kata Latin ':fides", iman) adalah sikap membatasi diri pada iman
akan wahyu Allah, dan sekaligus menganggap bahwa penggunaan nalar manusia tidak perlu.
Fideisme dapat berwujud iman sederhana seseorang yang merasa cukup dengan mengikuti
pedoman agamanya, tak perduli kepada segala macam pikiran, kritik, keresahan intelektual
atau paham-paham baru yang diramaikan. la dapat juga berwujud pandangan dunia yang
secara prinsipiil menolak segala pertimbangan nalar sebagai tidak memadai terhadap
kepastian yang merupakan ciri hakiki wahyu Allah. Sikap terakhir itu menjadi
fundamentalisme apabila semua pandangan tentang alam, dunia, masyarakat dan sejarah
diambil secara harfiah dari sumber-sumber wahyu yang dipercayai (dari Kitab Sucinya)
dengan menolak segala hasil ilmu pengetahuan yang benar-benar, atau hanya tampaknya,
tidak sesuai dengan apa yang ditulis dalam sumber wahyu itu. Fideisme pada hakekatnya
tidak menyadari bahwa kemampuan manusia untuk bernalar adalah juga ciptaan Tuhan yang
diberikan untuk dipergunakan serta dimanfaatkan demi tujuan yang baik. Kecuali itu,
fideisme salah dalam pengandalan bahwa antara hasil nalar dan wahyu nahi mesti ada
pertentangan. Relativisme dapat juga disebut sebagai ajaran tentang dua kebenaran : Ada
kebenaran agama dan ada kebenaran nalar. Dua-duanya boleh bertentangan. Misalnya,
sebagai orang bernalar, seseorang menerima ajaran Darwin tentang evolusi jenis-jenis
makhluk hidup di dunia selama beratus-ratus juta tahun. Sedangkan sebagai orang beriman
kristiani, ia percaya bahwa dunia diciptakan sekitar 7000 tahun lalu dalam waktu tujuh hari.
Jelaslah bahwa relativisme adalah siap yang paling lemah dari tiga sikap ekstrem itu.
Relativisme melepaskan paham kebenaran sama sekali. Menurut prinsip non-kontradiksi,
sesuatu itu sejauh ada, tidak mungkin tidak ada. Kalau bumi kita sudah berumur beratus-ratus
juga tahun (menurut anggapan ilmiah, sekarang bumi berumur antara 4 dan 5 milyar tahun),
maka tak mungkin bumi baru mulai berada, melalui penciptaan, sekitar tujuh ribu tahun yang
lalu. Dan sebaliknya. Relativisme merupakan penyerahan claim atas pengetahuan yang benar.
Maka, menurut relativisme, Allah itu sekaligus dapat disebut ada dan tidak ada. Sikap ini
membuat mustahil pengambilan sikap yang sungguhan.
2. Pandangan Seimbang
Apabila kita meninjau kembali rasionalisme, fideisme dan relativisme, maka menjadi
jelas bahwa kesalahan dasar sikap-sikap itu terletak pada ketidakseimbangannya. Yang kita
cari adalah sikap seimbang. Sikap seimbang adalah sikap yang dapat menerima serta
5
menanggapi unsur-unsur benar dalam tiga sikap ekstrem itu, tetapi menghubungkannya satu
sama lain. Kita mulai dengan fideisme. Fideisme mementingkan iman, percaya kepada wahyu
ilahi. Kalau orang percaya kepada Allah, ia langsung akan mengakui bahwa sikap dasar
fideisme itu benar. Kalau Allah memang ada, jelas Allah itu ada mutlak, baik sebagai
kebenaran, maupun dalam kekuasaan untuk bertindak. Maka sabda Allah adalah mutlak benar
dan merupakan pegangan mutlak bagi manusia. Wajarlah orang beriman mendasarkan
hidupnya atas wahyu Allah. Akan tetapi, justru kemutlakan Allah itulah yang seharusnya
membuat kaum fideis sadar bahwa kemampuan manusia untuk bernalar perlu dipergunakan,
bahkan ia berdosa terhadap Allah Pencipta apabila ia tidak mau bernalar. Mengapa ? Karena,
segala apa yang ada adalah ciptaan Allah, termasuk akal budi dengan kemampuannya untuk
bernalar. Jadi, akalbudi dan wahyu berasal dari sumber yang sama, dari Allah. Dan oleh
karena itu, tidak mungkin dua-duanya secara prinsip bertentangan.
Jadi, adalah tidak mungkin, kalau manusia mempergunakan nalarnya secara benar,
artinya secara terbuka, kritis, mendalam, ia sampai pada hasil yang bertentangan dengan
wahyu. Karena semuanya berasal dari sumber yang sama, maka hanya ada satu kebenaran. Itu
juga berarti bahwa adalah tidak tepat kalau hubungan nalar-wahyu dirumuskan begini :
Pakailah nalar sejauh tidak menyangkut isi wahyu. Hakekat nalar manusia adalah mencari
kebenaran. Seseorang akan berdosa apabila pencarian kebenaran diputuskan begitu saja pada
titik tertentu. Berdosa terhadap kehendak Dia yang menciptakan nalar itu. Maka, semua
pemecahan konflik wahyu-nalar yang berpola : Kurangilah, atau hentikanlah penalaran,
jangan bernalar secara radikal dan sebagainya, adalah salah. Salah terhadap nalar, salah secara
moral karena membuka pintu pada sikap munafik dan bohong, dan salah secara keagamaan
karena menyangkal bahwa nalar berasal dari Allah. Tidaklah benar pendapat bahwa semakin
alim seseorang, semakin ia tidak berpikir, mencari-cari, menyelidiki dan mengetahui.
Lalu, mengapa terdapat pertentangan antara wahyu dan nalar manusia? Atas pengandalan di
atas, sebenarnya tidak boleh ada perten- tangan, dan pertentangan itu kelihatan bersifat
sementara. Hal itu tidak mengherankan. Nalar manusia tidak pernah sempurna, tidak pernah
menangkap seluruh kebenaran. la suka melihat satu sudut dan melupakan yang satunya. la
terpengaruh oleh prasangkanya. Dari mana pertentangan sementara itu? Pertentangan antara
wahyu dan nalar dapat berasal dari keduabelah pihak, dari fihak nalar dan dari pihak wahyu.
Di satu pihak, nalar dapat melampaui batasnya. Teori ilmu pengetahuan moderen membuat
kita sangat sadar akan keterbatasan nalar. Misalnya saja, pernyataan atheisme bahwa "Allah
tidak ada" menurut metodologi sekarang tidak rasional. Kalau Allah ada, maka Allah
mengatasi nalar manusia, maka baik adanya maupun tidak adanya tidak dapat dipastikan
6
melalui nalar belaka. Tetapi kesalahan sering terletak bukan di pihak nalar, melainkan di
pihak wahyu. Tentu saja bukan pada wahyu itu sendiri. Wahyu sendiri tidak dapat salah
karena wahyu adalah sabda Allah yang Maha benar. Tetapi, cara manusia menangkap dan
mengartikan wahyu dapat saja salah, karena untuk itu manusia mau tak mau mempergunakan
nalar yang sama yang juga di pergunakan dalam penyelidikan ilmiah atau dalam filsafat. Jadi
dapat saja terjadi pertentangan antara nalar dan apa yang dianggap wahyu, karena manusia
menyebut sesuatu kebenaran wahyu yang sebenarnya bukan wahyu, melainkan tafsirannya.
Jadi, kontradiksi itu terletak bukan antara wahyu dan nalar, melainkan antara tafsiran nalar
manusia tentang wahyu dan hasil nalar manusia lain. Dari situ dapat ditarik kesimpulan
bahwa antara wahyu dan pengetahuan manusia tidak mungkin ada pertentangan, asal saja
keduabelah pihak tahu batas mereka masing-masing. Kalau ada pertentangan, pertentangan
itu sebenarnya tak pernah terjadi antara wahyu dan nalar, melainkan antara nalar yang satu
(yang berusaha mengerti, dan dengan demikian selalu juga menafsirkan wahyu) dengan nalar
yang lain (yang dipakai dalam kegiatan ilmiah maupun dalam kehidupan sehari-hari). Ada
pertimbangan tambahan. Wahyu dan nalar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah. Maka
dua-duanya wajib dipakai dengan sebaik- baiknya, tetapi menurut maksudnya masing-masing.
Kiranya manusia dijadikan makhluk bernalar oleh Sang Pencipta agar supaya ia
mempergunakan nalarnya itu sebaik-baiknya untuk mewujudkan kehidupannya. Jadi, nalar
diberikan untuk hal-hal yang terletak dalam jangkauan nalar itu. Yang ada dalam jangkauan
nalar adalah alam terbatas, alam tercipta. Maka nalar itu dipanggil untuk mencari
pengetahuan serta pengertian yang semakin benar dan mendalam tentang seluruh alam
ciptaan. Untuk itu, manusia dapat mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan dengan cara
masing-masing untuk menyelidiki apa yang ada. Wilayah nalar adalah manusia sendiri, alam
inderawi dan masyarakat. Sedangkan Allah tidak dapat "dikuasai" oleh nalar .Satu-satunya
yang dapat dicapai nalar menuju Allah adalah keterbukaannya, serta pencarian jejak-jejak
kebesaran Allah dalam alam ciptaan. Tetapi tentang siapa Allah yang sebenarnya, bagaimana
hidup batin Allah, apa yang menjadi kehendak dan tuntutannya serta sikapnya terhadap
manusia, itu semua secara prinsipiil tak terjangkau oleh nalar manusia (Mengapa? Karena
nalar manusia bersifat terbatas/terhingga sehingga kekhasan Allah yang justru tak terbatas/tak
terhingga tidak teljangkau oleh-Nya). Pertimbangan ini menunjukkan juga untuk tujuan apa
Allah berkenan menurunkan wahyunya. Kiranya tidak untuk memberitahukan hal-hal yang
juga dapat diselidiki dan diketahui melalui nalar yang justru juga diberikan oleh Allah.
Seakan-akan wahyu membuat manusia malas bernalar saja. Melainkan, wahyu kiranya
diberikan kepada manusia untuk mengetahui hal-hal yang justru tidak, dan tidak pernah, dapat
7
diketahui dengan nalar, yaitu tentang Allah sendiri sebagaimana disebutkan di atas. Karena
sikap Allah menyangkut manusia yang masih berada dalam dunia, maka dalam wahyu juga
terdapat hal-hal yang menyangkut dunia (terutama apa yang menjadi tanggungjawab serta
kewajiban manusia dalam hidupnya di dunia, jadi bidang moralitas) tetapi bukan sebagai
pemberitahuan tentang dunia, melainkan tentang sikap Allah terhadapnya. Akan tetapi, wahyu
tidak bermaksud memberikan informasi tentang hal-hal yang juga dapatkita selidiki melalui
ilmu pengetahuan, melainkan tentang hal yang memang tidak dapat diselidiki melalui ilmu
pengetahuan, tentang Allah sendiri. Oleh karena itu dapat juga dikatakan : Apabila nalar mau
menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia yang paling fundamental seperti misalnya :
Siapakah Allah, apa kehendak dan sikap Allah terhadap manusia, apa tujuan terakhir manusia,
nalar tidak memadai dan mudah salah tafsir, sombong dan menyesatkan. Dan
sebaliknya,jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia : Misalnya apakah
matahari mengitari bumi atau sebaliknya, bagaimana urutan terjadinya organisme-organisme
hidup di bumi (yang ditegaskan dalam wahyu ialah bahwa ada dunia dan bahwa ada hidup
serta bahwa hidup dapat berkembang akhirnya berdasarkan keputusan Allah), tetapi juga
manakah struktur-struktur psikis dan sosial manusia, manakah struktur-struktur ekonomis dan
politis yang paling cocok agar manusia hidup dengan sejahtera ; Semua hal ini kita cari
jawabannya bukan dalam wahyu, melainkan dari pengalaman kita, dengan bantuan ilmu
pengetahuan. Kalau kita mencari jawaban tentang hal-hal manusia dan duniawi itu dalam
wahyu, kemungkinan besar kita akan salah tafsir dan lalu menciptakan kesan pertentangan
yang sebetulnya tak benar. Maka, adalah tidak betul pendapat bahwa semakin alim seseorang
semakin ia merasa tidak perlu berpikir, mencari-cari, menyelidiki dan mengetahui. Justru
orang yang mantap karena berakar dalam iman, akan lebih mantap dan berani juga untuk
mempergunakan akalbudinya. la tidak takut dengan pengetahuan yang lebih kritis dan
mendalam akan menjauhkannya dari iman. Dan menurut kami, kita tidak boleh memberikan
kesan bahwa semakin kita berpikir secara mendalam dan kritis, semakin agama berada dalam
bahaya.
Dari berbagai uraian diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa watak dan
ungkapan seseorang merupakan cerminan dari situasi politik dan sosio-kultural suatu masa,
dimana semakin tinggi tingkat pressing suatu zaman terhadap apa yang dipangkunya, maka
semakin kuat pula daya balik yang diakibatkannya, kondisi "masyarakat terpaksa" yang serba
panik dicekam oleh ketakutan perang dan dibumbui oleh perpecahan intern sudah sewajarnya
berdampak pada kejiwaan kumpulan masyarakat ini. Apalagi ditambah ruwetnya
pertentangan antar pemikiran dan masuknya ilmu-ilmu dari peradaban lain.
8
TUGAS KELOMPOK
MAKALAH FILSAFAT ISLAM
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas PAI II (Pengantar Agama Islam)
ANGGOTA KELOMPOK:
ARINA HAQQO HIDAYAH (3325083239)
AZMI MUHAMMAD IQBAL (332508)
FARAH SABELLA (33250832)
FITRIANY EKA SAPUTRI (332508)
INDAH MINANG OKTAVIANI (332508)
KARINA VIDYARINI (332508)
LUQMAN FAWZI.D (332508)
PRODI KIMIA
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
JAKARTA
2010
9