Makalah Filsafat Islam

16
FILSAFAT ISLAM A. Pengertian Filsafat Islam Masuknya filsafat berkembang di pesisir samudera Mediterania bagian timur pada abad 6M yang ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia dan Tuhan. Dari Mediterania bergerak menuju Athena, yang menjadi tanah air filsafat. Ketika Iskandariah didirikan oleh Iskandar Agung, filsafat mulai merambah dunia timur, dan berpuncak pada 529M. Ketika filsafat bersentuhan dengan Islam, maka yang terjadi bahwa filsafat terinspirasi oleh pokok-pokok yang bermuara pada sumber-sumber hukum Islam. Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh filosofnya adalah muslim. Para filosofnya hidup dan bernafas dalam realita Al-Quran dan As- Sunah. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semua filosof muslim menggali kembali karya-karya filsafat Yunani, namun kemudian mereka menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih “mencari Tuhan”, dalam filsafat Islam justru Tuhan “sudah ditemukan”. Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa Arab ة ف س ل فyang juga diambil dari bahasa Yunani, philosopia, Philo = cinta, sopia = kebijaksanan. Jadi dilihat dari akar katanya, filsafat mengandung pengertian ingin tahu lebih mendalam atau cinta kebijaksanaan. Pengertian filsafat dari segi istilah adalah berpikir secara sistematis, radikal dan universal untuk mengetahui tentang hakikat segala sesuatu yang ada berdasarkan ajaran islam, seperti hakikat 1

Transcript of Makalah Filsafat Islam

Page 1: Makalah Filsafat Islam

FILSAFAT ISLAM

A. Pengertian Filsafat Islam

Masuknya filsafat berkembang di pesisir samudera Mediterania bagian timur pada

abad 6M yang ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab persoalan seputar

alam, manusia dan Tuhan. Dari Mediterania bergerak menuju Athena, yang menjadi tanah air

filsafat. Ketika Iskandariah didirikan oleh Iskandar Agung, filsafat mulai merambah dunia

timur, dan berpuncak pada 529M. Ketika filsafat bersentuhan dengan Islam, maka yang

terjadi bahwa filsafat terinspirasi oleh pokok-pokok yang bermuara pada sumber-sumber

hukum Islam. Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh filosofnya adalah muslim. Para

filosofnya hidup dan bernafas dalam realita Al-Quran dan As-Sunah. Ada sejumlah perbedaan

besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semua filosof muslim

menggali kembali karya-karya filsafat Yunani, namun kemudian mereka menyesuaikannya

dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih

“mencari Tuhan”, dalam filsafat Islam justru Tuhan “sudah ditemukan”.

Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa

Arab yang juga diambil فلسفة dari bahasa Yunani, philosopia, Philo = cinta, sopia =

kebijaksanan. Jadi dilihat dari akar katanya, filsafat mengandung pengertian ingin tahu lebih

mendalam atau cinta kebijaksanaan. Pengertian filsafat dari segi istilah adalah berpikir secara

sistematis, radikal dan universal untuk mengetahui tentang hakikat segala sesuatu yang ada

berdasarkan ajaran islam, seperti hakikat alam, hakikat mansia, hakikat masyarakat, dan lain

sebagainya. Dengan demikian, muncullah filsafat alam, filsafat manusia, filsafat masyarakat,

dan lain sebagainya. Filsafat Islam itu adalah filsafat yang berorientasi pada Al-Quran,

mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah Adapun

pengertian Islam, dari segi bahasa dapat diartikan selamat sentosa, berserah diri, patuh,

tunduk dan taat. Seseorang yang bersikap demikian disebut muslim, yaitu orang yang telah

menyatakan dirinya ta’at, menyerahkan diri, patuh, dan tunduk kepada Allah SWT.

Selanjutnya pengertian Islam dari segi istilah adalah agama yang ajaran-ajarannya

diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Ajaran-

ajaran Islam tersebut selanjutnya terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dari

pengertian filsafat dan Islam sebagaimana diuraikan diatas, kita dapat berkata bahwa filsafat

Islam, adalah filsafat yang berorientasi pada Al Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-

masalah asasi berdasarkan wahyu Allah. Jadi ciri utama kegiatan Filsafat Islam adalah

berpikir tentang segala sesuatu sejalan dengan semangat Islam. Dengan berfilsafat, seseorang

1

Page 2: Makalah Filsafat Islam

akan memiliki wawasan yang luas tentang segala sesuatu, dapat berpikir teratur, tidak cepat

puas dalam penemuan sesuatu, selalu bertanya dan bertanya, saling menghargai pendapat

orang lain.

Dalam hal ini perlu juga dijelaskan tentang ciri-ciri berpikir yang philosophis. Yaitu :

Pertama harus bersifat sistematis. Maksudnya bahwa pemikiran tersebut harus lurus,

tidak melompat-lompat sehingga kesimpulan yang dihasilkan oleh pemikiran tersebut

benar-benar dapat dimengerti.

Kedua harus bersifat radikal , maksudnya harus sampai ke akar-akarnya, sehingga

tidak ada lagi yang tersisa untuk dipikirkan.

Ketiga harus bersifat universal, yaitu menyeluruh, melihat hakikat sesuatu dari

hubungannya dengan yang lain, dan tidak dibatasi untuk kurun waktu tertentu.

B. Ciri Khas Filsafat Islam

Sebagai filsafat religius-spritual

Dikatakan filsafat religius, karena filsafat Islam tumbuh dijantung Islam, tokoh-

tokohnya dididik dengan ajaran Islam dan hidup dalam suasana Islam. Filsafat Islam

merupakan perpanjangan dari pembahasampembahasan keagamaan dan teologi yang

ada sebelumnya. Topik-topik filsafat Islam itu bersifat religius, seperti meng-Esakan

Tuhan. Karena Ia adalah pencipta, maka Ia mencipta dan bukan sesuatu, mengatur dan

menatanya3. Ia menciptakan dengan semata-mata anugerah- Nya. Ia jaga dengan

perhatian-Nya dan Ia tundukan dengan kepada hukum-hukum permanen dan kokoh.

Dengan cara religius dan spiritual ini, filsafat Islam bisa mendekati filsafat skolastik,

bahkan sejalan dengan filsafat kontemporer.

Filsafat Rasional

Walaupun bersifat religius-spiritual, tetapi filsafat Islam juga amat bertumpu pada akal

dalam menafsirkan problematika ketuhanan, manusia dan alam. Akal manusia

merupakan salah satu potensi jiwa. Ia ada 2 macam. Pertama, praktis bertugas

mengendalikan badan dan mengatur tingkah laku. Kedua, teoritis khusus berkenaan

dengan persepsi dan epistemology. Karena akal praktis inilah yang menerima persepsi-

persepsi inderawi dan meringkas pengertian universal dengan bantuan akal aktif.

Dengan akal, kita menganalisa dan membuktikan. Dengan akal, kita menyingkap

realita-realita ilmiah. Karena akal merupakan salah satu pintu pengetahuan. Para filosof

Islam sejalan dengan Mutazilah yang mendahului mereka dalam mengagungkan akal

dan tunduk kepada hukumnya. Mereka bertumpu pada akal dalam banyak hal. Untuk

2

Page 3: Makalah Filsafat Islam

itu, mereka sepakat bahwa dengan akalnya manusia mampu membedakan baik dan

buruk, bahkan mampu membedakan baik dan buruk sebelum ada ketentuan agama.

Mereka mengemukakan teori bahwa Allah harus melakukan yang baik dan yang

terbaik, sehingga perbuatan Allah tidak terlepas dari kriteria baik.

Filsafat Sinkretis

Filsafat Islam memadukan antar sesama filosof. Akan tetapi, mereka konsentrasi

khusus mempelajari Plato dan Aristoteles. Mereka menerjemahkan hampir semua buku

standar Aristoteles. Aritoteles dan Plato amat mempengaruhi banyak aliran Islam.

Tidak pelak lagi, Aristoteles dan Plato adalah pemimpin filsafat, yang meletakkan

prinsi-prinsipnya, membicarakannya secara detail, mencapai tujuan dengan prinsip-

prinsip itu. Namun, tidak mungkin kita mengharapkan kesuksesan perpaduan yang

landasannya salah. Akan tetapi, hal ini merupakan titik awal yang melandasi para

filosof selanjutnya. Jika perpaduan Plato dan Aristoteles sebagai salah satu asas yang

melandasi filsafat Islam, maka prinsip yang kedua adalah memadukan filsafat dengan

agama. Selain berciri religius, filsafat Islam juga memasukan teks agama dengan akal.

Dalam filsafat, ada aspek yang tidak sesuai dengan agama. Itu sebabnya mengapa para

filosof Islam sibuk memberi ciri agama kepada filsafat. Perpaduan yang diusahakan

para filosof Islam merupakan salah satu rajutan jembatan yang mendekatkan filsafat

Arab dengan filsafat latin.

Filsafat dan Agama berbicara tentang hal yang sama, yaitu manusia dan dunianya.

Apabila yang satu membawa kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta manusia dan

dunianya itu, dan yang lainnya dari akal manusia yang selalu diliputi kekurang-jelasan dan

ketidakpastian, mengapa lalu orang masih sibuk dengan agama? Itulah pertanyaan yang tidak

jarang dikemukakan oleh orang bertakwa terhadap usaha para filosof. Itu memang ada

benarnya. Pengetahuan mudah membuat orang menjadi sombong. Filsafat juga dapat

membuat orang menjadi sombong, seakan-akan si filosof mengetahui segala-galanya, seakan-

akan ia pasti lebih maju daripada orang yang saleh. Akan tetapi, di lain pihak, orang yang

bicara atas nama agama juga dapat berdosa karena sombong. Meskipun yang mau dibicarakan

adalah wahyu Allah, namun ia dapat lupa bahwa ia sendiri tetap manusia, tetap terbatas dan

tidak pasti dalam pengertiannya, juga dalam pengertiannya terhdap wahyu itu. Jadi, dengan

cara mengadakan "perhitungan", kita tidak akan maju jauh. Akan tetapi, pertanyaan di atas

tetap perlu kita jawab. Apakah fungsi filsafat dalam berhadapan dengan agama yang menimba

3

Page 4: Makalah Filsafat Islam

pengertiannya dari wahyu Allah ? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu

membicarakan hubungan antara wahyu dan akal budi.

1. Tiga Pandangan Ekstrem

Untuk membahas hubungan antara wahyu Ilahi dan akal budi manusia, sebaiknya kita

bertolak dari tiga pandangan ekstrem tentang hubungan itu. Masing-masing pandangan hanya

menekankan satu segi dan melalaikan segi-segi lainnya. Tiga pandangan itu adalah

Rasionalisme, Fideisme dan Relativisme. Sikap rasional tidak menuntut agar segala sikap

harus dibuktikan secara lengkap atau "ilmiah". Sikap rasional justru menerima keterbatasan

seseorang dalam memastikan kebenaran suatu masalah. Dalam hampir semua pengandaian

hidup, kita tergantung kepada pengertian dan kepastian orang lain dan masyarakat. Misalkan

kita belum pernah pergi ke kota Jayapura, tetapi bukanlah sikap irasional kalau kita yakin

bahwa kota itu ada; kalau pun kita pernah bermaksud pergi ke sana, kita tetap tidak dapat

mengecek sendiri apakah kota itu betul-betul terletak di pantai utara Irian Jaya dan bahwa

kota itu memang Jayapura. Adalah tidak bertentangan dengan sikap rasional, kalau kita dalam

banyak hal mengandalkan pendapat orang lain, adat kebiasaan, bahkan perasaan kita sendiri

(yang kadang-kadang lebih dapat dipercayai daripada sekedar pikiran pintar yang masuk ke

kepala kita). Sikap rasional tidak menuntut kita untuk membuktikan segala-galanya sebelum

kita mengandaikannya (misalnya, apakah sebuah jembatan yang akan kita lewati betul-betul

masih cukup kuat). Tetapi, apabila pendapat atau pengandaian kita memang dipersoalkan, kita

tidak boleh menjawabnya dengan mengacu kepada kebiasaan, kepercayaan, perasaan,

pendapat orang atau otoritas di sekeliling kita, melainkan mencari pertimbangan-

pertimbangan yang dapat dimengerti dan dicek oleh orang lain untuk menanggapi keberatan

itu. Jadi, sikap rasional itu kelihatan dalam tantangan. Orang yang bersikap tidak rasional

adalah orang yang menolak tantangan semata-mata karena keyakinannya. Sedangkan orang

yang bersikap rasional adalah orang yang betul-betul memperhatikan, memeriksa dan

menjawabnya. Sikap rasionalisme lebih dari itu. Seorang rasionalis tidak menerima sesuatu

apapun yang tidak dibuktikan. Maka ia tidak dapat percaya pada cinta orang lain, pada

pengalaman masyarakat yang tertuang dalam adat kebiasaan, dan tentu juta tidak percaya

pada wahyu. Allah hanya mau diterima sejauh ia sendiri dapat mengertinya. Padahal Allah

dengan sendirinya mengatasi jangkauan pengertian ciptaan. Maka rasionalisme adalah lawan

agama. Akan tetapi, seperti kami tunjukkan di atas, rasionalisme sebenarnya irasional.

Karena, ia berawal dari sebuah pengandaian yang justru tidak mungkin terpenuhi : Yaitu

bahwa segala sesuatu dapat dimengerti seseorang. Seorang rasionalis yang taat azas

sebetulnya tidak dapat berbuat sesuatu apa pun karena segala perbuatan mengandaikan hal-hal

4

Page 5: Makalah Filsafat Islam

yang tidak dapat dicek (dapatkah ia mengecek setiap kali mau makan, apakah dalam makanan

itu tidak ada bisa?) Yang harus dituntut adalah sikap rasional, sebagaimana akan kami

perlihatkan di bawah, dan bukan sikap rasionalisme. Fideisme adalah kebalikan dari

rasionalisme. Fideisme (dari kata Latin ':fides", iman) adalah sikap membatasi diri pada iman

akan wahyu Allah, dan sekaligus menganggap bahwa penggunaan nalar manusia tidak perlu.

Fideisme dapat berwujud iman sederhana seseorang yang merasa cukup dengan mengikuti

pedoman agamanya, tak perduli kepada segala macam pikiran, kritik, keresahan intelektual

atau paham-paham baru yang diramaikan. la dapat juga berwujud pandangan dunia yang

secara prinsipiil menolak segala pertimbangan nalar sebagai tidak memadai terhadap

kepastian yang merupakan ciri hakiki wahyu Allah. Sikap terakhir itu menjadi

fundamentalisme apabila semua pandangan tentang alam, dunia, masyarakat dan sejarah

diambil secara harfiah dari sumber-sumber wahyu yang dipercayai (dari Kitab Sucinya)

dengan menolak segala hasil ilmu pengetahuan yang benar-benar, atau hanya tampaknya,

tidak sesuai dengan apa yang ditulis dalam sumber wahyu itu. Fideisme pada hakekatnya

tidak menyadari bahwa kemampuan manusia untuk bernalar adalah juga ciptaan Tuhan yang

diberikan untuk dipergunakan serta dimanfaatkan demi tujuan yang baik. Kecuali itu,

fideisme salah dalam pengandalan bahwa antara hasil nalar dan wahyu nahi mesti ada

pertentangan. Relativisme dapat juga disebut sebagai ajaran tentang dua kebenaran : Ada

kebenaran agama dan ada kebenaran nalar. Dua-duanya boleh bertentangan. Misalnya,

sebagai orang bernalar, seseorang menerima ajaran Darwin tentang evolusi jenis-jenis

makhluk hidup di dunia selama beratus-ratus juta tahun. Sedangkan sebagai orang beriman

kristiani, ia percaya bahwa dunia diciptakan sekitar 7000 tahun lalu dalam waktu tujuh hari.

Jelaslah bahwa relativisme adalah siap yang paling lemah dari tiga sikap ekstrem itu.

Relativisme melepaskan paham kebenaran sama sekali. Menurut prinsip non-kontradiksi,

sesuatu itu sejauh ada, tidak mungkin tidak ada. Kalau bumi kita sudah berumur beratus-ratus

juga tahun (menurut anggapan ilmiah, sekarang bumi berumur antara 4 dan 5 milyar tahun),

maka tak mungkin bumi baru mulai berada, melalui penciptaan, sekitar tujuh ribu tahun yang

lalu. Dan sebaliknya. Relativisme merupakan penyerahan claim atas pengetahuan yang benar.

Maka, menurut relativisme, Allah itu sekaligus dapat disebut ada dan tidak ada. Sikap ini

membuat mustahil pengambilan sikap yang sungguhan.

2. Pandangan Seimbang

Apabila kita meninjau kembali rasionalisme, fideisme dan relativisme, maka menjadi

jelas bahwa kesalahan dasar sikap-sikap itu terletak pada ketidakseimbangannya. Yang kita

cari adalah sikap seimbang. Sikap seimbang adalah sikap yang dapat menerima serta

5

Page 6: Makalah Filsafat Islam

menanggapi unsur-unsur benar dalam tiga sikap ekstrem itu, tetapi menghubungkannya satu

sama lain. Kita mulai dengan fideisme. Fideisme mementingkan iman, percaya kepada wahyu

ilahi. Kalau orang percaya kepada Allah, ia langsung akan mengakui bahwa sikap dasar

fideisme itu benar. Kalau Allah memang ada, jelas Allah itu ada mutlak, baik sebagai

kebenaran, maupun dalam kekuasaan untuk bertindak. Maka sabda Allah adalah mutlak benar

dan merupakan pegangan mutlak bagi manusia. Wajarlah orang beriman mendasarkan

hidupnya atas wahyu Allah. Akan tetapi, justru kemutlakan Allah itulah yang seharusnya

membuat kaum fideis sadar bahwa kemampuan manusia untuk bernalar perlu dipergunakan,

bahkan ia berdosa terhadap Allah Pencipta apabila ia tidak mau bernalar. Mengapa ? Karena,

segala apa yang ada adalah ciptaan Allah, termasuk akal budi dengan kemampuannya untuk

bernalar. Jadi, akalbudi dan wahyu berasal dari sumber yang sama, dari Allah. Dan oleh

karena itu, tidak mungkin dua-duanya secara prinsip bertentangan.

Jadi, adalah tidak mungkin, kalau manusia mempergunakan nalarnya secara benar,

artinya secara terbuka, kritis, mendalam, ia sampai pada hasil yang bertentangan dengan

wahyu. Karena semuanya berasal dari sumber yang sama, maka hanya ada satu kebenaran. Itu

juga berarti bahwa adalah tidak tepat kalau hubungan nalar-wahyu dirumuskan begini :

Pakailah nalar sejauh tidak menyangkut isi wahyu. Hakekat nalar manusia adalah mencari

kebenaran. Seseorang akan berdosa apabila pencarian kebenaran diputuskan begitu saja pada

titik tertentu. Berdosa terhadap kehendak Dia yang menciptakan nalar itu. Maka, semua

pemecahan konflik wahyu-nalar yang berpola : Kurangilah, atau hentikanlah penalaran,

jangan bernalar secara radikal dan sebagainya, adalah salah. Salah terhadap nalar, salah secara

moral karena membuka pintu pada sikap munafik dan bohong, dan salah secara keagamaan

karena menyangkal bahwa nalar berasal dari Allah. Tidaklah benar pendapat bahwa semakin

alim seseorang, semakin ia tidak berpikir, mencari-cari, menyelidiki dan mengetahui.

Lalu, mengapa terdapat pertentangan antara wahyu dan nalar manusia? Atas pengandalan di

atas, sebenarnya tidak boleh ada perten- tangan, dan pertentangan itu kelihatan bersifat

sementara. Hal itu tidak mengherankan. Nalar manusia tidak pernah sempurna, tidak pernah

menangkap seluruh kebenaran. la suka melihat satu sudut dan melupakan yang satunya. la

terpengaruh oleh prasangkanya. Dari mana pertentangan sementara itu? Pertentangan antara

wahyu dan nalar dapat berasal dari keduabelah pihak, dari fihak nalar dan dari pihak wahyu.

Di satu pihak, nalar dapat melampaui batasnya. Teori ilmu pengetahuan moderen membuat

kita sangat sadar akan keterbatasan nalar. Misalnya saja, pernyataan atheisme bahwa "Allah

tidak ada" menurut metodologi sekarang tidak rasional. Kalau Allah ada, maka Allah

mengatasi nalar manusia, maka baik adanya maupun tidak adanya tidak dapat dipastikan

6

Page 7: Makalah Filsafat Islam

melalui nalar belaka. Tetapi kesalahan sering terletak bukan di pihak nalar, melainkan di

pihak wahyu. Tentu saja bukan pada wahyu itu sendiri. Wahyu sendiri tidak dapat salah

karena wahyu adalah sabda Allah yang Maha benar. Tetapi, cara manusia menangkap dan

mengartikan wahyu dapat saja salah, karena untuk itu manusia mau tak mau mempergunakan

nalar yang sama yang juga di pergunakan dalam penyelidikan ilmiah atau dalam filsafat. Jadi

dapat saja terjadi pertentangan antara nalar dan apa yang dianggap wahyu, karena manusia

menyebut sesuatu kebenaran wahyu yang sebenarnya bukan wahyu, melainkan tafsirannya.

Jadi, kontradiksi itu terletak bukan antara wahyu dan nalar, melainkan antara tafsiran nalar

manusia tentang wahyu dan hasil nalar manusia lain. Dari situ dapat ditarik kesimpulan

bahwa antara wahyu dan pengetahuan manusia tidak mungkin ada pertentangan, asal saja

keduabelah pihak tahu batas mereka masing-masing. Kalau ada pertentangan, pertentangan

itu sebenarnya tak pernah terjadi antara wahyu dan nalar, melainkan antara nalar yang satu

(yang berusaha mengerti, dan dengan demikian selalu juga menafsirkan wahyu) dengan nalar

yang lain (yang dipakai dalam kegiatan ilmiah maupun dalam kehidupan sehari-hari). Ada

pertimbangan tambahan. Wahyu dan nalar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah. Maka

dua-duanya wajib dipakai dengan sebaik- baiknya, tetapi menurut maksudnya masing-masing.

Kiranya manusia dijadikan makhluk bernalar oleh Sang Pencipta agar supaya ia

mempergunakan nalarnya itu sebaik-baiknya untuk mewujudkan kehidupannya. Jadi, nalar

diberikan untuk hal-hal yang terletak dalam jangkauan nalar itu. Yang ada dalam jangkauan

nalar adalah alam terbatas, alam tercipta. Maka nalar itu dipanggil untuk mencari

pengetahuan serta pengertian yang semakin benar dan mendalam tentang seluruh alam

ciptaan. Untuk itu, manusia dapat mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan dengan cara

masing-masing untuk menyelidiki apa yang ada. Wilayah nalar adalah manusia sendiri, alam

inderawi dan masyarakat. Sedangkan Allah tidak dapat "dikuasai" oleh nalar .Satu-satunya

yang dapat dicapai nalar menuju Allah adalah keterbukaannya, serta pencarian jejak-jejak

kebesaran Allah dalam alam ciptaan. Tetapi tentang siapa Allah yang sebenarnya, bagaimana

hidup batin Allah, apa yang menjadi kehendak dan tuntutannya serta sikapnya terhadap

manusia, itu semua secara prinsipiil tak terjangkau oleh nalar manusia (Mengapa? Karena

nalar manusia bersifat terbatas/terhingga sehingga kekhasan Allah yang justru tak terbatas/tak

terhingga tidak teljangkau oleh-Nya). Pertimbangan ini menunjukkan juga untuk tujuan apa

Allah berkenan menurunkan wahyunya. Kiranya tidak untuk memberitahukan hal-hal yang

juga dapat diselidiki dan diketahui melalui nalar yang justru juga diberikan oleh Allah.

Seakan-akan wahyu membuat manusia malas bernalar saja. Melainkan, wahyu kiranya

diberikan kepada manusia untuk mengetahui hal-hal yang justru tidak, dan tidak pernah, dapat

7

Page 8: Makalah Filsafat Islam

diketahui dengan nalar, yaitu tentang Allah sendiri sebagaimana disebutkan di atas. Karena

sikap Allah menyangkut manusia yang masih berada dalam dunia, maka dalam wahyu juga

terdapat hal-hal yang menyangkut dunia (terutama apa yang menjadi tanggungjawab serta

kewajiban manusia dalam hidupnya di dunia, jadi bidang moralitas) tetapi bukan sebagai

pemberitahuan tentang dunia, melainkan tentang sikap Allah terhadapnya. Akan tetapi, wahyu

tidak bermaksud memberikan informasi tentang hal-hal yang juga dapatkita selidiki melalui

ilmu pengetahuan, melainkan tentang hal yang memang tidak dapat diselidiki melalui ilmu

pengetahuan, tentang Allah sendiri. Oleh karena itu dapat juga dikatakan : Apabila nalar mau

menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia yang paling fundamental seperti misalnya :

Siapakah Allah, apa kehendak dan sikap Allah terhadap manusia, apa tujuan terakhir manusia,

nalar tidak memadai dan mudah salah tafsir, sombong dan menyesatkan. Dan

sebaliknya,jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia : Misalnya apakah

matahari mengitari bumi atau sebaliknya, bagaimana urutan terjadinya organisme-organisme

hidup di bumi (yang ditegaskan dalam wahyu ialah bahwa ada dunia dan bahwa ada hidup

serta bahwa hidup dapat berkembang akhirnya berdasarkan keputusan Allah), tetapi juga

manakah struktur-struktur psikis dan sosial manusia, manakah struktur-struktur ekonomis dan

politis yang paling cocok agar manusia hidup dengan sejahtera ; Semua hal ini kita cari

jawabannya bukan dalam wahyu, melainkan dari pengalaman kita, dengan bantuan ilmu

pengetahuan. Kalau kita mencari jawaban tentang hal-hal manusia dan duniawi itu dalam

wahyu, kemungkinan besar kita akan salah tafsir dan lalu menciptakan kesan pertentangan

yang sebetulnya tak benar. Maka, adalah tidak betul pendapat bahwa semakin alim seseorang

semakin ia merasa tidak perlu berpikir, mencari-cari, menyelidiki dan mengetahui. Justru

orang yang mantap karena berakar dalam iman, akan lebih mantap dan berani juga untuk

mempergunakan akalbudinya. la tidak takut dengan pengetahuan yang lebih kritis dan

mendalam akan menjauhkannya dari iman. Dan menurut kami, kita tidak boleh memberikan

kesan bahwa semakin kita berpikir secara mendalam dan kritis, semakin agama berada dalam

bahaya.

Dari berbagai uraian diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa watak dan

ungkapan seseorang merupakan cerminan dari situasi politik dan sosio-kultural suatu masa,

dimana semakin tinggi tingkat pressing suatu zaman terhadap apa yang dipangkunya, maka

semakin kuat pula daya balik yang diakibatkannya, kondisi "masyarakat terpaksa" yang serba

panik dicekam oleh ketakutan perang dan dibumbui oleh perpecahan intern sudah sewajarnya

berdampak pada kejiwaan kumpulan masyarakat ini. Apalagi ditambah ruwetnya

pertentangan antar pemikiran dan masuknya ilmu-ilmu dari peradaban lain.

8

Page 9: Makalah Filsafat Islam

TUGAS KELOMPOK

MAKALAH FILSAFAT ISLAM

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas PAI II (Pengantar Agama Islam)

ANGGOTA KELOMPOK:

ARINA HAQQO HIDAYAH (3325083239)

AZMI MUHAMMAD IQBAL (332508)

FARAH SABELLA (33250832)

FITRIANY EKA SAPUTRI (332508)

INDAH MINANG OKTAVIANI (332508)

KARINA VIDYARINI (332508)

LUQMAN FAWZI.D (332508)

PRODI KIMIA

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

JAKARTA

2010

9