Post on 28-Dec-2015
description
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR
VERTEBRAE
Disusun guna memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Ners (PPPN)Stase Keperawatan Medikal Bedah
Oleh
Fikri Ulil Albab, S.Kep. NIM.092311101007
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERSPROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER2014
LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
FRAKTUR VERTEBRAE
Oleh: Fikri Ulil Albab, S.Kep. (NIM.092311101007)
1. Kasus
Fraktur Vertebrae
2. Proses terjadinya masalah
a. Pengertian
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang dan
jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi
itu lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2006). Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis luasnya (Brunner &
Suddart, 2008). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang
biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture
tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya, terjadinya jika tulang dikenai stress yang lebih besar
dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2005).
Tulang belakang atau vertebrae merupakan suatu satu kesatuan yang kuat
diikat oleh ligamen di depan dan di belakang serta dilengkapi diskus
intervertebralis yang mempunyai daya absorbsi tinggi terhadap tekanan atau
trauma yang memberikan sifat fleksibel dan elastis. Vertebra dimulai dari
cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk skeleton dari leher,
punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa dan sternum).
Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf,
menyokong berat badan dan berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra
pada orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan pembagian 5 regio yaitu 7
cervical, 12 thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal (Moore, 2002).
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis yang diakibatkan oleh trauma, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu
lintas, atau kecelakakan olah raga yang dapat menyebabkan fraktur atau
pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit
neurologi ( Sjamsuhidayat, 1997). Semua trauma tulang belakang harus
dianggap suatu trauma hebat sehingga sejak awal pertolongan pertama dan
transpotasi ke rumah sakit harus diperlakukan dengan hati-hati. Trauma tulang
dapt mengenai jaringan lunak berupa ligament, discus dan faset, tulang
belakang dan medulla spinalis. Penyebab trauma tulang belakang adalah
kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah raga(22%), terjatuh dari
ketinggian (24%), kecelakaan kerja.
Fraktur atau cidera vertebrae menurut kestabilannya terbagi menjadi
cedera stabil dan cedera tidak stabil. Cedera dianggap stabil jika bagian yang
terkena tekanan hanya bagian medulla spinalis anterior, komponen vertebral
tidak bergeser dengan pergerakan normal, ligamen posterior tidak rusak
sehingga medulla spinalis tidak terganggu, fraktur kompresi dan burst fraktur
adalah contoh cedera stabil. Cedera tidak stabil artinya cedera yang dapat
bergeser dengan gerakan normal karena ligamen posteriornya rusak atau robek,
Fraktur medulla spinalis disebut tidak stabil jika kehilangan integritas dari
ligamen posterior.
Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan pemeriksaan
radiograf. Pemeriksaan radiografi minimal ada 4 posisi yaitu anteroposterior,
lateral, oblik kanan dan kiri. Dalam menilai stabilitas vertebra, ada tiga unsur
yamg harus dipertimbangkan yaitu kompleks posterior (kolumna posterior),
kompleks media dan kompleks anterior (kolumna anterior). Pembagian bagian
kolumna vertebralis adalah sebagai berikut :
1. kolumna anterior yang terbentuk dari ligament longitudinal dan duapertiga
bagian anterior dari corpus vertebra, diskus dan annulus vertebralis
2. kolumna media yang terbentuk dari satupertiga bagian posterior dari
corpus vertebralis, diskus dan annulus vertebralis
3. kolumna posterior yang terbentuk dari pedikulus, sendi-sendi permukaan,
arkus tulang posterior, ligamen interspinosa dan supraspinosa
b. Etiologi
1. Trauma langsung yang menyebabkan terjadinya fraktur pada titik
terjadinya trauma tersebut. Misalnya tulang kaki terbentur bumper
mobil maka tulang akan patah tepat di tempat benturan.
2. Trauma tidak langsung yang meyebabkan fraktur di tempat yang jatuh
dari tempat terjadinya trauma.
3. Trauma akibat tarikan otot.
4. Trauma akibat faktor patologis, misalnya adanya metastase kanker
tulang yang dapat melunakkan struktur tulang dan menyebabkan
fraktur, ataupun adanya penyakit osteoporosis
c. Patofisiologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil,
jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis,
Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan
pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu
terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung
bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut
“whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan
anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah
maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang
berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari
jarak tinggi, menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia. Trauma tidak
langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan
vertical (terutama pada T.12 sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami
medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap
tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara
(komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari.
Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan
infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang
menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang
belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat
mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi
transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen
transversa, hemitransversa, kuadran transversa).hematomielia adalah
perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat
disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi
dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur
dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis
dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra
meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah
yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat
sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses
didalam kanalis vertebralis. Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan
whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada
trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala
yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran
tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang
reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala
defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya
arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit
sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan
sindroma sistem anastomosis anterial anterior spinal.
d. Tanda dan gejala
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi. kerusakan meningitis, lintang memberikan gambaran berupa hilangnya
fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock
spinal. Shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang
karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya
berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama.tandanya adalah
kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi
rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah shock
spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda
gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan
hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan
defekasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot
lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada
kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu. Cedera sumsum
belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat
cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga
sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang
terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat
diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak
sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper
ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese parsial.gangguan pada ekstremitas
atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak
terganggu.
Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan
anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya
refleks anal dan refleks bulbokafernosa.
e. Kemungkinan Komplikasi yang Muncul
1. Dini
a. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedi infeksi di mulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,
tapi juga bisa karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plate.
b. Syok
Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok, yang bisa berakibat
fatal dalam beberapa jam setelah cidera. Syok terjadi karena
kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi, biasanya terjadi
pada fraktur (Padila, 2012).
c. Tromboemboli (emboli paru), yang dapat menyebabkan kematian
beberapa minggu setelah cedera, emboli lemak yang dapat terjadi
dalam 48 jam atau lebih, dan koagulopati intravaskuler diseminata
(KID).
2. Lanjut
a. Malunion
Biasanya terjadi pada fraktur yang komminutiva sedang
immobilisasinya longgar, sehingga terjadi angulasi dan rotasi
(untuk memperbaiki perlu dilakukan osteotomi).
b. Delayed union
Terutama terjadi pada fraktur terbuka yang diikuti dengan infeksi
atau pada fraktur yang communitiva. Hal ini dapat diatasi dengan
operasi bonegraft alih tulang spongiosa.
c. Non union
Disebabkan karena terjadi kehilangan segmen tulang tibia disertai
dengan infeksi. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan bone
grafting menurut cara papineau.
f. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik utama yang biasanya dilakukan adalah primary
survey. primary survey dilakukan dengan mengidentifikasi keadaan yang
membahayakan klien dan segera ditanggulangi.
a. A = “Airway”
Menjamin kelancaran jalan nafas dan kontrol vertebrae servikalis. Jalan
nafas dipertahankan dengan melakukan “chin lift” atau “jaw thrust”
dapat juga dengan memasang “guedel” pada klien dengan multiple
trauma dan trauma tumpul di atas klavikula kita harus mengagap dan
memperlakukan seakan ada fraktur dari vertebra servikalis dengan
memasang “neck collar” sampai dibuktikan negatif. Hasil pemeriksaan
neurologi yang negatif tidak menyingkirkan ada cedera servikal. Karena
itu sebaiknya dibuat X-ray crosstable lateral cervical spino atau
swimmer view dan menilai ketujuh vetebra servikal.
b. B = Breathing dan Ventilasi
Sebaiknya thoraks harus dapat dilihat semuanya untuk melihat
ventilasi. Jalan nafas yang bebas tidak menjamin ventilasi yang cukup,
pertukaran udara yang cukup diperlukan untuk oksigenisasi yang cukup.
Bila ada gangguan instabilitas kardiovaskuler, respirasi atau kelainan
neurologis. Maka kita harus melakukan ventilasi dengan alat “bag valve”
yang disambungkan pada masker atau pipa endrokeal. Oksigenisasi atau
ventilasi yang cukup pada klien trauma termasuk memberikan volume dan
konsentrasi oksigen (12 liter per menit) yang cukup. Pernafasaan yang
melebihi 20 kali / menit menandakan gangguan respirasi.
c. C = Circulation
Salah satu penyebab kematian di rumah sakit adalah pendarahan
yang segera tidak diatasi, ditandai dengan hipotensi yaitu:
1. kesadaran menurun
2. warna kulit pucat,kelabu menandakan kehilangan darah lebih dari
30%
3. nadi cepat dan lemah,ireguler merupakan pertanda hipovolume
4. Pendarahan bagian luar diatasi dengan balit tekan, jangan peke
torniket karena akan mengakibatkan metabolisme anaerobe.sedangkan
pada pendarahan tungkai atau abdomend diatasi dengan memakai
MAST.
d. D = Disability
Pada akhir primary survey dilakukan pemeriksaan neurologis untuk
menentukan:
1) Kesadaran, kesadaran ditentukan dengan metode AVPU:
A-“Alert”
V-“bereaksi pada vokal stimuli”
P-“bereaksi pada pain stimuli”
U-“unresponsive”
2) Pupil
3) Reaksi reflek
Glascow Coma Scale (GCS) dilakukan pada “primary survey” atau
“seconder survey”. Perubahan pada neurologis atau kesadaran klien
menunjukkan kelainan intrakranial, dengan demikian kita harus
menilai ulang :
a) Oksigenisasi
b) Ventilasi
c) Perfusi
Kehilangan kesadaran dapat disebabkan oleh A-I-U-E-O
a) A-“alkohol”
b) I-“injury atau infeksi”
c) U-“uremia”
d) E-“ epilepsi”
e) O-“ opium “ atau other drag
Dapat juga “don”t forget them”
a) D “diabetes”
b) F “ fever”
c) T “trauma”
e. E = Eksposure
Klien harus ditelanjangi untuk pemeriksaan lebih lengkap dan harus
diselimuti untuk menghindari hipotermi.
Pemeriksaan selnjutnya adalah secondary survey. Secondary survey
tidak dimulai bila primery survey belum selesai. Resusitasi sudah dilakukan
dari evaluasi ABC direvaluasi. Secondary survey adalah anamnese yang
lengkap termasuk biomekanik kecelakaan dan pemeriksaan fisik dari
kepala sampai ke ujung kaki.
Pengkajian secondary survey meliputi :
a. Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok
spinal
b. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
c. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi
perut, peristaltik hilang
d. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut
cemas, gelisah dan menarik diri
e. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
f. Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
g. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis
flasid, hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek,
perubahan reaksi pupil, ptosi
h. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah
trauma, dan mengalami deformitas pada daerah trauma
i. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j. Keamanan : suhu yang naik turun
Pemeriksaan fisik biasanya dilakukan setelah riwayat kesehatan
dikumpulkan, pemeriksaan fisik yang lengkap biasanya dimulai secara
berurutan dari kepala sampai ke jari kaki:
a. Inspeksi
Pengamatan terhadap lokasi pembengkakan, warna kulit pucat, laserasi,
kemerahan mungkin timbul pada area terjadinya faktur, adanya spasme
otot dan keadaan kulit.
b. Palpasi
Pemeriksaan dengan cara perabaan, yaitu penolakan otot oleh sentuhan
kita adalah nyeri tekan, lepas dan sampai batas mana daerah yang sakit
biasanya terdapat nyeri tekan pada area fraktur dan di daerah luka insisi.
c. Perkusi
Perkusi biasanya jarang dilakukan pada kasus fraktur.
d. Auskultasi
Pemeriksaan dengan cara mendengarkan gerakan udara melalui struktur
berongga atau cairan yang mengakibatkan struktur solit bergerak. Pada
pasien fraktur pemeriksaan ini pada areal yang sakit jarang dilakukan.
2. Pemerikasaan Penunjang
1. Foto Rontgen
a. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
b. Mengetahui tempat atau tipe fraktur. Biasanya diambil sebelum
dan sesudah serta selama proses penyembuhan secara periodik
2. Artelogram bila ada kerusakan vaskuler
3. Hitung darah lengkap HT mungkin terjadi (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
organ multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah kompensasi normal
setelah fraktur.
4. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah
transfusi multiple atau trauma hati.
5. Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Hal yang harus dibaca pada x-ray:
a. Bayangan jaringan lunak
b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi
c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction
d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi
6. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja
tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
7. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan
akibat trauma.
8. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
9. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
g. Terapi yang Dilakukan
Pertolongan pertama dan penanganan darurat trauma spinal terdiri atas:
penilaian kesadaran, jalan nafas, sirkulasi, pernafasan, kemungkinan adanya
perdarahan dan segera mengirim penderita ke unit trauma spinal ( jika ada).
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan klinik secara teliti meliputi pemeriksaan
neurology fungsi motorik, sensorik dan reflek untuk mengetahui kemungkinan
adanya fraktur pada vertebra.
Terapi pada fraktur vertebra diawali dengan mengatasi nyeri dan stabilisasi
untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi. semuanya tergantung dengan
tipe fraktur :
1. Braces & Orthotics ada tiga hal yang dilakukan yakni:
a. mempertahankan kesegarisan vertebra (aligment)
b. imobilisasi vertebra dalam masa penyembuhan
c. mengatsi rasa nyeri yang dirasakan dengan membatasi pergerakan.
Fraktur yang sifatnya stabil membutuhkan stabilisasi, sebagai contoh;
brace rigid collar (Miami J) untuk fraktur cervical, cervical-thoracic
brace (Minerva) untuk fraktur pada punggung bagian atas,
thoracolumbar-sacral orthosis (TLSO) untuk fraktur punggung bagian
bawah, dalam waktu 8 sampai 12 minggu brace akan terputus, umumnya
fraktur pada leher yang sifatnya tidak stabil ataupun mengalami dislokas
memerlukan traksi, halo ring dan vest brace untuk mengembalikan
kesegarisan
2. Pemasanagan alat dan prosoes penyatuan (fusion). Teknik ini adalah teknik
pembedahan yang dipakai untuk fraktur tidak stabil. Fusion adalah proses
penggabungan dua vertebra dengan adanya bone graft dibantu dengan alat-
alat seperti plat, rods, hooks dan pedicle screws. Hasil dari bone graft adalah
penyatuan vertebra dibagian atas dan bawah dari bagian yang disambung.
Penyatuan ini memerlukan waktu beberapa bulan atau lebih lama lagi untuk
menghasilkan penyatuan yang solid.
3. Vertebroplasty & Kyphoplasty, tindakan ini adalah prosedur invasi yang
minimal. Pada prinsipnya teknik ini digunakan pada fraktur kompresi yag
disebabkan osteoporosis dan tumor vertebra. Pada vertebroplasti bone
cement diinjeksikan melalui lubang jarung menuju corpus vertebra
sedangkan pada kypoplasti, sebuah balon dimasukkanan dikembungkan
untuk melebarkan vertebra yang terkompresi sebelum celah tersebut diisi
dengan bone cement .
Pengelolaan penderita dengan paralisis meliputi
1. Pengelolaan kandung kemih dengan pemberian cairan yang cukup,
kateterisasi dan evakuasi kandung kemih dalam 2 minggu
2. Pengelolaan saluran pencernaan dengan pemberian laksansia setiap dua hari
3. Monitoring cairan masuk dan cairan yang keluar dari tubuh
4. Nutirsi dengan diet tinggi protein secara intravena
5. Cegah dekubitus
3. Pohon Masalah (Pathway, Masalah Keperawatan yang Muncul, dan
Data yang Perlu Dikaji
a. Pohon Masalah
Trauma langsung
Fraktur tulang belakang
Trauma tidak langsung Kondisi patologis
Pelepasan mediator kimiaNyeri akutkelumpuhaan
Gangguan fungsi rektum dan kandung kemih
Retensi UrinKonstipasi
Gangguan fungsi ekstremitas
Hambatan mobilitas fisik
Defisit perawatan diri
Keterbatasan dalam pemenuhan ADL
Putusnya vena/arteri
Laserasi kulit
Kerusakan integritas kulit
Perdarahan
Kehilangan volume cairan Resiko syok (hipovolemik)
Resiko infeksi
b. Masalah keperawatan yang muncul
a. Nyeri akut
b. Hambatan mobilitas fisik
c. Defisit perawatan diri
d. Kerusakan integritas kulit
e. Konstipasi
f. Retensi urine
g. Resiko infeksi
h. Resiko syok (hipovolemik)
c. Data yang Perlu Dikaji
Pengkajian:
a. (Pengkajian primer)
1. Airway: Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya
penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuK
2. Breathing: Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas,
timbulnya pernapasan yang sulit dan/atau tak teratur, suara nafas
terdengar ronchi /aspirasi
3. Circulation: TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi
pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap
dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin,
sianosis pada tahap lanjut
b. (Pengkajian sekunder)
1. Aktivitas/istirahat: kehilangan fungsi pada bagian yang terkena,
Keterbatasan mobilitas
2. Sirkulasi: hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon
nyeri/ansietas), hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah),
takikardi, penurunan nadi pada bagian distal yang cidera,
Capilary refill time melambat, pucat pada bagian yang terkena,
masa hematoma pada sisi cedera
3. Neurosensori: kesemutan, deformitas, krepitasi, pemendekan,
kelemahan, kerusakan fungsi saraf
4. Kenyamanan: nyeri tiba-tiba saat cidera, spasme/ kram otot
5. Keamanan: laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna,
pembengkakan lokal
4. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik akibat pergeseran
fragmen tulang
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi
ekstremitas
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan mobilitas fisik
d. Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka, pembedahan
e. Konstipasi berhubungan dengan kerusakan neuro bowel
f. Retensi urine berhubungan dengan inhibisi arkus reflek
g. Resiko infeksi sekunder berhubungan dengan luka terbuka
h. Resiko syok (hipovolemik) berhubungan dengan kehilangan volume
cairan
5. Rencana Tindakan KeperawatanNo. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan Rasional
1. Nyeri akut berhubungan
dengan agen cidera fisik
akibat pergeseran fragmen
tulang
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 6 jam
nyeri pasien dapat teratasi
Kriteria Hasil:
1. Pasien tidak meringis
kesakitan
2. Menunjukkan teknik
relaksasi secara individu
yang efektif
3. Skala nyeri berkurang
1. Kaji tanda-tanda vital
2. Kaji skala nyeri (skala PQRST)
3. Atur posisi pasien senyaman
mungkin
4. Anjurkan teknik relaksasi (napas
dalam)
5. Kolaborasi: pemberian analgesik
1. Mengetahui kondisi umum pasien
2. Mengetahui tingkat nyeri pasien
3. Mengurangi rasa nyeri
4. Mengurangi rasa nyeri
5. Analgesik dapat memblok reseptor
nyeri pada susunan saraf pusat
2. Hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan
gangguan fungsi
ekstremitas
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24
jam diharapkan pasien
meningkatkan mobilitas pada
tingkat yang paling tinggi
Kriteria Hasil:
1. Klien meningkat dalam
1. kaji kemampuan klien dalam
melakukan aktivitas
2. bantu dan dorong dalam perawatan
diri pasien
3. mengubah posisi secara periodik
sesuai dengan keadaan pasien
4. dorong atau pertahankan asupan
cairan 2000-3000 ml/hari
1. untuk mengetahui seberapa
kemampuan klien
2. meningkatkan kekuatan otot dan
sirkulasi
3. mencegah terjadinya luka
dekubitus atau komplikasi kulit
4. mempertahankan hidrasi yang
adekuat dan mencegah konstipasi
aktivitas fisik
2. Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas
5. berikan diet tinggi kalsium dan
tinggi protein
5. kalsium dan protein yang cukup
diperlukan untuk proses
penyembuhan
3. Defisit perawatan diri
berhubungan dengan
gangguan mobilitas fisik
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24
jam, perawatan diri pasien
terpenuhi
Kriteria Hasil:
Pasien dapat berpartisipasi
pada aktivitas sehari-hari
dalam meningkatkan
perawatan dirinya
1. Kaji kemampuan klien
2. Bantu pasien dalam personal
hygiene
3. Bekerjasama dengan klien untuk
memprioritaskan tugas-
tugasmerawat diri
4. Berikan motivasi dalam perawatan
diri sesuai kondisi klien
5. Dorong atau gunakan teknik
penghematan energi seperti
dudukdalam melakukan aktivitas
dan peningkatan bertahap.
6. Libatkan keluarga dalam perawatan
klien
1. Kondisi dasar dapat menentukan
kekurangan ataukebutuhan
2. untuk meningkatkan kontrol
pasien dan kesehatan diri
3. meningkatkan kemampuan dalam
perawatan diri
4. meningkatkan harga diri,
meningkatkan rasa kontrol
dankemandirian
5. menghemat energi atau
menurunkan kelemahan
danpeningkatan kemampuan klien
6. untuk pencapaian hasil yang
maksimal harus ada
partisipasiaktif anggota keluarga
dan untuk mengukur derajatdari
kemandirian pasien
4 Kerusakan integritas
jaringan berhubungan
dengan fraktur terbuka,
pembedahan
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2 x 24
jam diharapkan kerusakan
integritas jaringan teratasi
Kriteria hasil:
1. Penyembuhan luka
sesuai waktu
2. Tidak ada laserasi,
integritas kulit baik
1. Kaji ulang integritas luka dan
observasi terhadap tanda infeksi
atau drainae
2. Monitor suhu tubuh
3. Lakukan perawatan kulit pada
patah tulang yang menonjol
4. Lakukan alih posisi dengan sering,
pertahankan kesejajaran tubuh
5. Pertahankan sprei tempat tidur
tetap kering dan bebas kerutan
6. Kolaborasi pemberian antibiotik.
1. Mengetahui kondisi luka pasien,
kulit cenderung rusak karena
perubahan sirkulasi perifer , serta
mengatisipasi adanya infeksi
2. Salah satu tanda infeksi adalah
meningkatnya suhu tubuh
3. Mempercepat penyembuhan luka
4. Reposisi mengurangi adanya
komplikasi dekubitus
5. Memberikan kenyamanan pada
kulit dan mencegah terjadinya
infeksi sekunder
6. Mempercepat penyembuhan
5 Konstipasi berhubungan
dengan kerusakan neuro
bowel
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2 x 24
jam pasien dapat BAB secara
normal
1. Lakukan auskultasi bising usus
2. Pantau tanda dan gejala konstipasi
3. Kaji pengetahuan pasien mengenai
pemahaman tentang nutrisi
1. Mengetahui adanya motilitas usus
pasien
2. Mebgetahui kondisi konstipasi
yang dialami pasien
3. Mengukur seberapa jauh informasi
yang diketahui pasien dan
Kriteria hasil :
a. pasien mendapatkan
nutrisi yang cukup
dengan gizi yang
seimbang
b. pasien dapat BAB
dengan lancar maksimal
dalam waktu 2 x 24 jam
dengan konsistensi feses
lembek/tidak keras
4. Anjurkan pasien makan sayur dan
buah
5. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan intake cairan 1500
cc yang dipenuhi secara bertahap
6. Kolaborasi pemberian laksatif
membantu petugas dalam
memberikan tindakan selanjutnya
4. Dapat membantu memperlancar
pengeluaran feses
5. Intake cairan yang adekuat dapat
membantu menyerap makanan sisa
untuk dapat lebih mudah
dikeluarkan melalui feses
6. Membantu memperlancar
pengeluaran feses
6 Retensi urine berhubungan
dengan inhibisi arkus reflek
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24
jam diharapkan pasien bisa
BAK lancar
Kriteria Hasil:
a. tidak ada spasme bladder
b. kandung kemih kosong
secara penuh
c. tidak ada kesulitan untuk
BAK
1. Pantau intake dan output
2. Pantau adanya distensi bladder
3. Instruksikan keluarga untuk
mencatat output urine
4. Stimulasi reflek eliminasi dengan
kompres dingin
5. Katerisasi jika perlu
1. Mengetahui keseimbangan cairan
tubuh pasien
2. Mengetahui adanya cairan urin
yang penuh di dalam bladder
3. Membantu mengetahui keluaran
urine
4. Membantu pasien dalam
mendorong reflek berkemih
5. Membantu pasien dalam eliminasi
urine
d. balance cairan seimbang 6. Dorong pasien untuk berkemih bila
terasa adanya dorongan
6. Membantu dan memperlancar
reflek berkemih
7 Resiko infeksi sekunder
berhubungan dengan luka
terbuka
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama. 1 x 6
jam diharapkan infeksi tidak
terjadi
Kriteria Hasil:
1. tidak ada tanda dan gejala
infeksi
2. leukosit dalam batas
normal
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah
aktivitas walaupun menggunakan
sarung tangan steril
2. Perawatan luka secara steril dan
prosedur aseptik
3. Analisa hasil pemeriksaan
laboratorium
4. Kolaborasi pemberian antibiotik.
1. mengurangi kontaminasi silang
2. untuk mencegah terjadinya infeksi
atau meminimalkan kontaminasi
kuman dari luar
3. leukositosis biasanya terjadi pada
proses infeksi
4. untuk mematikan bakteri atau
kuman penyebab infeksi.
8 Resiko syok (hipovolemik)
berhubungan dengan
kehilangan volume cairan
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 6 jam
klien tidak mengalami tanda-
tanda syok
Kriteria Hasil:
1. nadi dalam batas normal
2. irama jantung, frekuensi
napas dan irama
1. Kaji tanda-tanda vital
2. Monitor status sirkulasi, warna
kulit, denyut jantung, irama
jantung, dan kapiler refill
3. Monitor suhu dan pernapasan
4. Kolaborasi pemberian cairan infus
1. Mengetahui tanda-tanda infeksi
dari keadaan umum klien
2. Mengetahui tanda-tanda
ketidaknormalan pada tubuh klien
3. Keadekuatan pernapasan dapat
melancarkan transportasi oksigen
ke seluruh tubuh
4. Pemberian cairan yang tepat
pernapasan dalam batas
yang diharapkan
yang tepat sesuai kebutuhan
5. Ajarkan keluarga dan pasien
tentang tanda dan gejala syok
mengurangi resiko kekurangan
cairan dan sesuai dengan terapi
5. Memberikan pengetahuan dan
segera melaporkan apabila terlihat
tanda dan gejala syok
Daftar Pustaka
Brunner & Suddarth. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Vol 3. Jakarta; EGC.
Herdman,T. Heather. 2012. Nanda International Nursing Diagnosis: Definitions & Classification 2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell.
Hudak dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistic. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius FK UI
Moore, Keith. 2002. Essential Clinical Anatomy; Second Edition, lippincot Williams and Wilkins: Baltimore. Nanda International. 2011. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGC
Nurarif & Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA and NIC-NOC. Jakarta: Mediaction Publishing.
Price, S.A. & Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat. R. 1997. Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer & Bare, 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8.Jakarta: EGC.