Post on 02-Aug-2015
A. TUJUAN
Mahasiswa dapat memahami dan mengevaluasi tatalaksana terapi pada
penyakit yang berhubungan dengan system saraf pusat seperti Skizofrenia.
B. DASAR TEORI
Istilah Skizoprenia diciptakan oleh Bleuler (psikiater dari Swiss) dari bahasa
Yunani skhizo = split / membelah, danphren = mind / pikiran yang berarti : terbelahnya/
terpisahnya antara emosi dan pikiran/intelektual.
Skizofrenia adalah sindrom heterogen kronis yang di tandai dengan pola piker
yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan perilaku yang tidak tepat serta adanya
gangguan fungsi psikososial.
Jalur dopaminergik syaraf :
1. Jalur nigrostriatal : dari substantia nigra ke basal ganglia fungsi gerakan, EPS.
2. Jalur mesolimbik : dari tegmental area menuju ke sistem limbic memori, sikap,
kesadaran, proses stimulus.
3. Jalur mesocortical : dari tegmental area menuju ke frontal cortex kognisi, fungsi
sosial, komunikasi, respons terhadap stress.
4. Jalur tuberoinfendibular: dari hipotalamus ke kelenjar pituitary pelepasan prolaktin
Reseptor dopamine yang terlibat adalah reseptor dopamine-2 (D2) yang dijumpai
peningkatan densitas reseptor D2 pada jaringan otak pasien skizoprenia. Peningkatan
aktivitas sistem dopaminergik pada sistem mesolimbik yang bertanggungjawab terhadap
gejala positif. Peningkatan aktivitas serotonergik dapat menurunkan aktivitas
dopaminergik pada sistem mesocortis yang bertanggung-jawab terhadap gejala negatif.
Patofisiologi
Skizofrenia antara lain disebabkan oleh pembesaran ventrikel otak, penurunan
ukuran otak dan perubahan bentuk otak menjadi asimetri. Penurunan volume hippokampal
dapat mempengaruhi pengujian neuropsikologikal serta kurang memberikan respon terapi
yang signifikan terhadap pemberian terapi antipsikotik generasi pertama.
Hipotesis dopaminergik psikosis dapat disebabkan oleh adanya hiper atau
hipoaktivitas dari proses dopaminergik pada bagian otak tertentu. Hal ini termasuk adanya
gangguan reseptor dopamin (DA).
Disfungsi glutamatergik saluran glutamatergik berinteraksi dengan saluran
dopaminergik. Defisiensi aktivitas glutamatergik dapat menunjukkan gejala yang mirip
dengan hiperaktivitas dopaminergik yang nampak dalam skizofrenia.
Klasifikasi
1. Skizoprenia paranoid
Ciri-ciri utamanya adalah waham yang sistematis atau halusinasi pendengaran.
Individu ini dapat penuh curiga, argumentatif, kasar dan agresif. Perilaku kurang
regresif, kerusakan sosial lebih sedikit, dan prognosisnya lebih baik dibanding jenis-
jenis yang lain.
2. Skizoprenia hebefrenik (disorganized schizophrenia)
Ciri-ciri utamanya adalah percakapan dan perilaku yang kacau, serta afek yang
datar atau tidak tepat, gangguan asosiasi juga banyak terjadi. Individu tersebut juga
mempunyai sikap yang aneh, menunjukkan perilaku menarik diri secara sosial yang
ekstrim, mengabaikan higiene dan penampilan diri. Awalnya biasanya terjadi sebelum
usia 25 tahun dan dapat bersifat kronis. Perilaku regresif, dengan interaksi sosial dan
kontak dengan realitas yang buruk.
3. Skizoprenia katatonik
Ciri-ciri utamanya ditandai dengan gangguan psikomotor, yang melibatkan
imobilitas atau justru aktivitas yang berlebihan. Stupor katatonik. Individu dapat
menunjukkan ketidakaktifan, negativisme, dan kelenturan tuuh yang berlebihan.
Catatonic excitement melibatkan agitasi yang ekstrim dan dapat disertai dengan
ekolalia dan ekopraksia.
4. Skizoprenia yang tidak digolongkan
Ciri-ciri utamanya adalah waham, halusinasi, percakapan yang tidak koheren dan
perilaku yang kacau. Klasifikasi ini digunakan bila kriteria untuk jenis lain tidak
terpenuhi.
5. Skizoprenia residu
Ciri-ciri utamanya adalah tidak adanya gejala akut saat ini, melainkan terjadi di
masa lalu. Dapat terjadi gejala-gejala negatif, seperti isolasi sosial yang nyata, menarik
diri dan gangguan fungsi peran. Awitan dan perjalanan penyakit. Awitan gejala
biasanya terjadi pada masa remaja akhir atau dewasa awal. Awitan dapat terjadi
bertahap atau tiba-tiba. Perjalanan penyakit skizoprenia bervariasi, dan dapat sembuh.
Sebagian klien dapat sembuh total, sebagian lagi kronis atau tidak dapat disembuhkan.
Manifestasi Klinik
Gejala episode akut dari skizofrenia meliputi tidak bisa membedakan antara
khayalan dan kenyataan; halusinasi (terutama mendengar suara-suara bisikan); delusi
( keyakinan yang salah namun dianggap benar oleh penderita); ide-ide karena pengaruh
luar (tindakannya dikendalikan oleh pengaruh dari luar dirinya); proses berpikir yang
tidak berurutan (asosiasi longgar); ambivalen (pemikiran yang saling bertentangan); datar,
tidak tepat atau afek yang labil; autism ( menarik diri dari lingkungan sekitar dan hanya
memikirkan dirinya ); tidak mau bekerja sama; menyukai hal-hal yang dapat
menimbulkan konflik pada lingkungan sekitar dan melakukan serangan baik secara verbal
maupun fisik kepada orang lain; tidak merawat diri sendiri; dan gangguan tidur maupun
nafsu.
Setelah terjadinya episode psikotik akut, biasana penderita skizofrenia mempunyai
gejala-gejala sisa (cemas, curiga, motivasi menurun, kepedulian berkurang, tidak mampu
memutuskan sesuatu, menarik diri dari hubungan bersosialisasi dengan lingkungan
sekitar, sulit untuk belajar dari pengalaman dan tidak bisa merawat diri sendiri.
Gejala dan Tanda
Gambaran klinis skizoprenia sgt bervariasi, tidak ada stereotip yg pasti.
Skizoprenia bukan “split personality” tetapi gangguan pikiran yang kronis dan
mempengaruhi hubungan interpersonal dan kemampuan untuk berfungsi sosial
sehari-hari. Pada fase normal, pasien memiliki kontrol yang baik terhadap pikiran,
perasaan, tindakannya.
Episode psikotik yang pertama kali mungkin terjadi secara tiba-tiba, atau biasanya
diawali dengan kelakuan yang menarik diri, pencuriga, dan aneh.
Pada episode akut, pasien kehilangan kontak dengan realitas, dalam hal ini otak
menciptakan realitas palsu.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi 4 (DSM-IV)
membagi gejala skizoprenia menjadi 2 kategori dan berkembang menjadi 3 kategori
(APA) :
Gejala positif Gejala negatif Gejala kognisi
Delusi (khayalan) Alogia (Kehilangan
kemampuan berpikir atau
bicara)
Gangguan perhatian
Halusinasi Perasaan/emosi menjadi
tumpul
Gangguan ingatan
Perilaku aneh, tidak
Terorganisir
Avolition (Kehilangan
motivasi)
Gangguan fungsi
melakukan pekerjaan
tertentu
Bicara tidak teratur, topik
melompat-lompat tidak
saling berhubungan
Anhedonia/asosiality
(kurangnya kemampuan untuk
merasakan kesenangan,
mengisolasi diri dari
kehidupan social
Ilusi, pencuriga Tidak mampu berkonsentrasi
Strategi Terapi
Non-farmakologi
Program rehabilitasi : terapi suportif , sosial skill training, terapi okupasi, terapi
kognitif dan perilaku (CBT)
Psikoterapi kelompok
Psikoterapi keluarga
Assertive Community Treatment (ACT)
Farmakologi
Antipsikotik tipikal / FGA (memblok receptor dopamin D2, efek samping EPS
besar)
Potensi rendah : klorpromazin, tioridazin, mesoridazin
Potensi tinggi : flufenazin, tiotixen, haloperidol, perfenazi, loxapin, morindon
Antipsikotik tipikal / SGA (memblok receptor 5-HT2, efek samping EPS kecil,
efektif untuk mengatasi gejala positif dan negatif)
Contoh obat : risperidon, olanzapin, quetiapin, aripiprazol, ziprasidon, clozapin.
Terapi pada episode akut skizoprenia (7 hari pertama)
- mengurangi agitasi, hostility, agresi, anxiety
- pasien diimobilisasi lalu diajak bicara, sebagai penenang bisa diberikan benzodiazepin
dan/antipsikotik
Terapi stabilisasi (minimal 6-8 minggu)
- meningkatkan sosialisasi, perbaikan kebiasaan dan perasaan
- sifatnya hanya mengurangi gejala, tidak menyembuhkan
- bisa menggunakan antipsikotok atipikal atau tipikal
Terapi pemeliharaan (minimal 1 tahun)
- mencegah kekambuhan
- dosis antipsikotiknya setengah dari dosis akut
Algoritma terapi skizoprenia:
Efek samping yang umum terjadi pada penggunaan obat antipsikotik yang
dapat menyebabkan ketidak patuhan penggunaan obat:
Efek ekstrapiramidal : dystonic reaction, pseudoparkinson, akhatisia.
Efeka antikolinergik : mulut kering, retensi urin, pandangan terganggu.
Tardive dyskinesia
Kejang
Efek pada kardiovaskuler
Efek pada hormone dan fungsi seksual
C. DESKRIPSI KASUS
Nama pasien : WS
Umur/BB : 18 Tahun / 53 kg
Tinggi badan : 157 cm
Diagnosis : Serangan pertama Skizoprenia
Riwayat social : Sejak kecil suka menyendiri dan menarik diri dari
pergaulan
Keluhan terakhir : Pasien mengeluhkan sering mendengar suara-suara
yang tidak diketahui asalnya dan selalu membombardir telinganya. Dia juga curiga
bahwa teman-temannya telah menuduhnya pencuri dan akan melaporkannya ke polisi.
Dia bilang bahwa dia sering merasa dikejar-kejar orang dan merasa takut karenanya.
Ibunya pernah melihatnya berlari cepat masuk rumah dan bersembunyi seharian
dikamar, tidak mau keluar.
Pengembangan Kasus
WS belum pernah mendapat terapi skizofrenia sebelumnya.
Nenek si WS pernah punya riwayat penyakit skizoprenia.
WS adalah anak dari penyanyi terkenal bernama Madam Syahrini, yang kaya raya.
BMI: BB = 53 = 21,502 Normal 18,5 - 24,9 kg/m2
TB2 2,4649
Hasil lab darah :
HR = 79 x /menit
TD = 120/80 mmHG
Gula darah puasa = 120 mg/dL
Lipid darah: kolesterol total = 150 mg/dL (normal <200mg/dL)
TG = 125 mg/dL (normal <150mg/dL)
LDL = 70 mg/dL (normal <100mg/dL)
HDL = 80 mg/dL (normal > 65mg/dL)
D. ANALISIS KASUS DAN PEMBAHASAN
Praktikum kali ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami dan mengevaluasi
tatalaksana terapi pada penyakit yang berhubungan dengan system saraf pusat seperti
skizoprenia. Skizofren merupakan penyakit psikiatrik yang kompleks berupa gangguan
kejiwaan yang ditandai dengan adanya pikiran yang aneh dan tidak teratur, khayalan
(delusi), halusinasi, dan kegagalan fungsi psikososial. Patofisiologi skizofren diduga
karena adanya overaktivitas jalur dopaminergik pada mesolimbik yang
bertanggungjawab pada gejala positif serta pada jalur nigrostriatal dan mesocortis yang
bertanggungjawab pada gejala negatif.
Pengobatan sizofren dilakukan dengan obat antipsikotik. Tujuan atau sasaran
terapinya didasarkan pada fase dan keparahan penyakit. Obat antipsikotif hanya
berfungsi untuk mengatasi gejala yang timbul tetapi tidak bersifat menyembuhkan
penyakitnya. Obat antipsikotik ada dua macam tipikal (FGA) dan atipikal (SGA).
Biasanya antipsikotik atipikal menjadi drug of choice pada pengobatan skizofren karena
efek samping ekstrapiramidal lebih kecil daripada antipsikotik tipikal.
Dari kasus yang diterima oleh praktikan, pasien dalam kasus ini didiagnosis
mendapat serangan pertama skizoprenia. Pasien bernama WS dengan umur 18 tahun,
tinggi badan 157 cm, dan berat badan 53 kg. Pasien mengeluhkan bahwa ia sering
mendengar suara-suara yang tidak diketahui asalnya dan selalu membombardir
telinganya (hallucinations). Dia juga curiga bahwa teman-temannya telah menuduhnya
pencuri dan akan melaporkannya ke polisi. Dia bilang bahwa dia sering merasa dikejar-
kejar orang dan merasa takut karenanya (delusions). Ibunya pernah melihatnya berlari
cepat masuk rumah dan bersembunyi seharian dikamar, tidak mau keluar (catatonic
behavior). Selain itu, sejak kecil WS suka menyendiri dan menarik diri dari pergaulan
(social isolation). Sebelumnya pasien belum pernah mendapat terapi skizoprenia dan
memiliki riwayat keluarga bahwa neneknya pernah mengalami skizoprenia.
Dalam kasus yang didapatkan, gejala positif lebih dominan yaitu pasien
mengalami delusi, halusinasi, dan berperilaku katatonik meskipun ada gejala negatif
yaitu social isolation yang terjadi sejak kecil. Pasien baru pertama kali mendapat
serangan, karena itu praktikan memiliki pendapat untuk mencoba melakukan terapi non-
farmakologis terlebih dahulu kepada Nn. WS sebelum melakukan terapi farmakologi.
Terapi non farmakologis dapat dilakukan berupa program rehabilitasi terhadap
kemampuan hidup, bersosialisasi, pengetahuan dan pendidikan, juga program supported
housing kepada orang tua dan saudaranya untuk memberi perhatian dan dukungan pada
pasien serta memberi informasi tentang kondisi pasien kepada dokter. Yang penting
adalah agar Nn. WS tidak semakin parah kondisinya dan sadar dengan siapa dirinya
sendiri.
Apabila hasil terapi non farmakologis belum memuaskan, maka dapat dilanjutkan
dengan terapi farmakologis sambil tetap melakukan terapi non farmakologisnya. Untuk
terapi menggunakan obat-obatan, praktikan memilihkan obat rasional yang dapat
digunakan untuk terapi farmakologis skizoprenia. Untuk Serangan pertama Skizoprenia
atau belum pernah menggunakan SGA sebelumnya, maka pilihan obat (first line
therapy) yang digunakan adalah antipsikotik atipikal (generasi kedua) yaitu antara lain
aripiprazole, olanzapine, quetiapine, risperidone, dan ziprasidone. Obat SGA ini tidak
atau hanya sedikit menimbulkan efek samping ekstrapiramidal.
Obat terpilih untuk kasus ini adalah olanzapine dengan merk yang dipakai yaitu
Zyprexa/zyprexa zydis® produksi Eli Lilly. Olanzapine diindikasikan untuk terapi akut
dan terapi pemeliharaan untuk skizoprenia dan psikosis lain dengan gejala utama
positif dan negatif, pengobatan episode manik sedang hingga berat, mencegah
kekambuhan pada pasien dengan gangguan bipolar, pengendalian cepat untuk agitasi dan
perilaku mengganngu pada pasien dengan skizofrenia dan psikosis yang berhubungan,
serta mania bipolar.
Dalam kasus ini olanzapine dipilih karena obat ini termasuk dalam SGA, golongan
antipsikotik atipikal ini mempunyai efek samping ekstrapiramidal yang kecil, sehingga
obat ini merupakan first line therapy untuk skizofrenia serangan pertama. Mekanisme
aksi dari olanzapine ini adalah sebagai antipsikotik atipikal dengan afinitas untuk
serotonin 5-HT2A/2C, dopamine, muskarinik M1-M5, histamine H1 dan reseptor ά1
adrenergik.
Olanzapine ini digunakan sebagai terapi awal dengan dosis 10 mg i.m, frekuensi
1 kali/hari, durasi minggu pertama (7 hari) dengan biaya vial 10mg x 1 = Rp148.500,00
(untuk 7 hari = 148.500 x 7 = Rp 1.039.500,00). Pemberian terapi awal ini dilakukan
oleh dokter atau tenaga medis yang berkompeten untuk melakukan injeksi terhadap
pasien. Karena sebagai terapi awal atau terapi akut praktikan memilih penggunaan obat
secara injeksi supaya onset obat lebih cepat dan efek obat cepat tercapai. Tujuan terapi
awal yaitu untuk menurunkan agitasi, hostility, kecemasan, dan agresi serta
menormalkan makan dan tidur pasien.
Olanzapine juga digunakan sebagai terapi stabilisasi dengan dosis 10 mg p.o,
frekuensi 1 tablet/hari, durasi mulai minggu ke-2 selama 8 minggu dengan analisis biaya
tablet 10 mg x 4 x 7 = Rp1.408.500 (untuk 8 minggu = 1.408.500 x 2 = Rp
2.817.000,00). Pemberian terapi stabilisasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan
sosialisasi, kebiasaan diri, dan mood pasien. Biasanya terapi ini membutuhkan 6 sampai
8 minggu waktu terapi.
Untuk terapi pemeliharaan pasien masih tetap diberikan olanzapine dengan dosis
lebih kecil dari terapi stabilisasi yaitu 5 mg p.o, frekuensi 1 tablet/hari, durasi 12 bulan
dengan analisis biaya tablet 5 mg x 4 x 7 Rp 847.000 (per tablet = 847.000 / 28 = Rp
30.250,00; untuk 12 bulan = Rp 30.250 x 12 x 30 = Rp 10.890.000,00). Terapi
pemeliharaan dilakukan untuk mencegah terjadinya kekambuhan dan dilakukan selama
12 bulan setelah remisi dari episode psikotik pertama. Terapi ini juga bertujuan untuk
menghindari efek withdrawal yang dapat timbul dengan penghentian obat secara tiba-
tiba.
Efek samping yang dapat timbul dari olanzapine antara lain yaitu peningkatan
nafsu makan dan kenaikan berat badan. Karenanya perlu dilakukan pemantauan
peningkatan berat badan yang terjadi selama konsumsi olanzapine. Selain itu dilakukan
juga pemantauan terhadap efek antikolinegik seperti mulut kering, konstipasi,
pandangan kabur, serta penurunan memori dan pemantauan terjadinya hipotensi
ortostatik. Olanzapine juga menunjukkan interaksi dengan merokok karenanya bila
pasien adalah seorang perokok perlu diberitahukan untuk menghentikan kebiasaan
merokoknya.
E. PEMILIHAN OBAT RASIONAL
Untuk serangan pertama skizoprenia atau belum pernah menggunakan
antipsikotik sebelumnya, maka pilihan obat ( first line therapy ) yang digunakan adalah
antipsikotik atipikal (second generation antipsychotic), yaitu :
1. Aripiprazol
Mekanisme Aksi : agonis parsial pada dopamine D2 dan reseptor serotonin 5- HT1A,
antagonis pada reseptor 5-HT2A dan juga mempunyai aktivitas ά
blocker.
Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, konstipasi, ansietas, insomnia, kepala
terasa ringan , somnolen, akatisia.
2. Olanzapin
Mekanisme Aksi : antipsikotik atipikal dengan afinitas untuk serotonin 5-HT 2A/2C,
dopamine, muskarinik M1-M5, histamine H1 dan reseptor ά1
adrenergi
Kontraindikasi : glaukoma sudut sempit
Efek samping : peningkatan berat badan, akatisia, mulut kering, konstipasi,
peningkatan nafsu makan, somnolen ,edema perifer, tardiv
diskinesia .
3. Quetiapin
Mekanisme Aksi : atipikal antipsikotik berhubungan dengan clozapine, mengurangi
gejala positif dan negative dari gangguan psikotik melalui D2
dopamin dan serotonin 5-HT2 antagonisme, juga memiliki alpha-
blocking dan aktivitas antihistamin.
Kontraindikasi : penggunaan bersama dengan penghambat CYP4503A4, seperti
penghambat HIV-protease, antijamur azol, eritromisin,
klaritromisin, dan nefazodon.
Efek samping : mulut kering, gejala putus obat, peningkatan kadar trigliserida dan
kolesterol total dalam serum, pusing, peningkatan nafsu makan,
disartria, mimpi yang menakutkan atau abnormal, rhinitis,
hipotensi ortostatik.
4. Risperidon
Mekanisme Aksi : mengikat reseptor dopamine D2 dengan afinitas 20 kali lebih
rendah dibandingkan 5-HT2-reseptor afinitas. Meningkatkan
gejala negative psikosis dan mengurangi kejadian efek samping
ekstrapiramidal.
Kontraindikasi : pasien demensia dengan riwayat Cerebro Vaskuler
Accident(CVA)/Transient ischaemic Attack (TIA), hipertensi atau
DM, intoleransi galaktosa, defisiensi lapp-laktase atau malabsorbsi
glukosa–galaktosa, laktasi.
Efek samping : insomnia, agitasi, ansietas, sakit kepala somnolen, kelelahan,
kadang-kadang, hipotensi ortostatik, reflex takikardi atau
hipertensi. Gejala ekstrapiramidal dan BB meningkat.
5. Ziprasidon
Mekanisme Aksi : antagonis dopamin di D2. Serotonin (5HT1D. 5HT2A) reseptor
agonis pada reseptor 5HT1A, juga memiliki alpha –blocking dan
aktivitas histamine.
Kontraindikasi : didokumentasikan hipersensitivitas setiap obat atau kondisi yang
memperpanjang interval QT.
Efek samping : diare, konstipasi, takikardi, hipotensi ortostatik, pusing mual,
gangguan pernafasan, ruam.
F. EVALUASI OBAT TERPILIH
1. Terapi Non-Farmakologi
Program rehabilitasi : living skills, social skills, basic education, work program,
supported housing
Psikoterapi : terapi tambahan, terutama jika pasien sudah berespon terhadap obat
Family education
2. Terapi Farmakologi
OLANZAPINE = Zyprexa/zyprexa zydis® ( Eli Lilly )
Alasan pemilihan :
Olanzapine termasuk dalam SGA, golongan antipsikotik atipikal ini mempunyai efek
samping ekstrapiramidal yang kecil, sehingga obat ini merupakan first line therapy
untuk skizofrenia serangan pertama.
Indikasi :
Terapi akut dan terapi pemeliharaan untuk skizoprenia dan psikosis lain dengan
gejala utama positif dan negative. pengobatan episode manik sedang hingga berat.
Mencegah kekambuhan pada pasien dengan gangguan Bipolar .vial pengendalian cepat
untuk agitasi dan perilaku mengganngu pada pasien dengan skizofrenia dan psikosis
yang berhubungan, mania bipolar.
Interaksi obat :
Bersifat antagonis dengan efek levodopa dan agonis dopamin, merokok ,karbamazepin,
dan lorazepam dapat menginduksi metabolisme olanzapin. Bioavailabilitas olanzapine
dapat dikurangi oleh activated charcoal (karbon aktif). fluvoksamin, siprofloksasin atau
ketokonazol dapat menurunkan metabolism obat ini.
Kontraindikasi : Glaukoma sudut sempit
Efek samping:
Peningkatan berat badan, akatisia, mulut kering, konstipasi,peningkatan nafsu makan,
edema perifer, Tardif diskinesia.
Untuk terapi farmakologinya, dibagi atas tiga tahap terapi:
a. Terapi awal
Dosis : 10mg i.m
Frekuensi : 1 kali/hari
Durasi : Minggu pertama (7 hari)
Analisis biaya : vial 10mg x 1 = Rp148.500,00
Untuk 7 hari = 148.500 x 7 = Rp 1.039.500,00
b. Terapi stabilisasi
Dosis : 10mg p.o
Frekuensi : 1 tablet/hari
Durasi : Mulai minggu ke-2 selama 8 minggu
Analisis biaya : Tablet 10mg x 4 x 7 = Rp1.408.500
Untuk 8 minggu = 1.408.500 x 2 = Rp 2.817.000,00
c. Terapi pemeliharaan
Dosis : 5mg p.o
Frekuensi : 1 tablet/hari
Durasi : 12 bulan
Analisis biaya : Tablet 5mg x 4 x 7 Rp 847.000
Per tablet = 847.000 / 28 = Rp Rp 30.250,00
Untuk 12 bulan = 30.250 x 12 x 30 = Rp 10.890.000,00
G. MONITORING & FOLLOW UP-NYA
1. Monitoring manifestasi klinik yaitu delusi, halusinasi, perilaku anehnya berkurang
atau tidak
2. Monitoring efek samping dari penggunaan obat , misal sindrom ekstrapiramidal,
peningkatan berat badan, efek antikolinegik (seperti mulut kering, konstipasi,
pandangan kabur, penurunan memori),dan hipotensi ortostatik.
3. Apabila tidak ada perbaikan terapi setelah 1 minggu mendapat dosis stabil, dosis
dapat dinaikkan perlahan.
4. Apabila tidak ada perbaikan terapi selama 3-4 minggu setelah mendapat dosis stabil,
dikombinasikan dengan AGK lainnya
5. Monitoring kemampuan sosialisasi, merawat diri, dan suasana hati
6. Monitoring TD, BB, HR, kadar gula darah.
7. Perlu pemantauan tingkat keparahan/kesembuhan secara rutin (setiap 1 tahun), dapat
dilakukan dengan berbagai alat bantu :
- Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS)
- Positive and Negative Simptom Scale (PANSS)
H. KOMUNIKASI, INFORMASI, DAN EDUKASI KEPADA PASIEN
1. Cara penggunaan obat :
untuk terapi akut (Olanzapine) dilakukan dengan injeksi (oleh dokter), sedangkan
terapi stabilisasi dan pemeliharaan (Olanzapine) dengan oral 1 x sehari.
2. Jangka waktu pemakaian :
Terapi akut sampai 7 hari, atau sampai gejala agitasi, hostility, sikap
melawan/tidak kooperatif, anxietas, tegang, agresi, gangguan tidur dan pola makan
kembali normal
3. Terapi stabilisasi 6-8 minggu
4. Terapi pemeliharaan minimal 1 tahun, tergantung kondisi
5. Anjurkan keluarganya untuk melakukan terapi supported housing: memberi perhatian,
dukungan, memberi informasi tentang kondisi pasien kepada dokter
6. Informasikan efek samping yang mungkin terjadi agar keluarga tidak kaget dan dapat
melaporkan tanda-tanda terjadinya efek samping kepada dokter.
I. JAWABAN PERTANYAAN
1. [Noviana Suci – FA/08444]
Terapi awal yang dilakukan adalah injeksi, berarti pasien membutuhkan penanganan
dokter atau harus dibawa ke RS. Kalau kondisi tidak memungkinkan apa yang akan
anda lakukan? Biaya terapi awal lebih dari sejuta rupiah, adakah yang lebih murah?
Apakah terapinya sudah cost effective?
Jawab: Bila kondisi tidak memungkinkan untuk dibawa ke RS maka pasien akan
ditangani dokter pribadi di rumah. Sebenarnya ada terapi yang lebih murah,
tapi dalam kasus ini kami tidak terlalu mempertimbangkan pemilihan obat
dari segi cost-effectiveness karena kebetulan pasien adalah putra dari penyanyi
kaya raya.
2. [Ayu Widhaningtyas – FA/08440]
Pasien tidak sedang berada di RS, justru mengunci diri di kamar, padahal terapi awal
akan diberikan secara injeksi. Bagaimana caranya?
Jawab: Pasien memang pernah mengunci diri di kamar, tapi saat diberikan terapi awal
pasien tidak sedang mengunci diri di kamar. Terapi diberikan oleh tenaga
medis yang didatangkan ke rumah pasien.
3. [Annisa Ayu – FA/08449]
Kalau pasien dari keluarga tidak mampu apakah obatnya sama? Ada generiknya atau
tidak?
Jawab: Tidak, ada terapi yang lebih murah. Namun berhbung dalam kasus ini pasien
dari kalangan mampu, maka harga obat tidak menjadi persoalan. Obat generik
untuk Olanzapine tidak beredar di pasaran, yang beredar adalah obat generik
Risperidon.
4. [Lathifah Estriyani – FA/08447]
Bentuk nyata edukasi dan support keluarga seperti apa?
Jawab: Support dari keluarga dapat diberikan dalam berbagai wujud, antara lain
dengan terus memantau perkembangan pasien, mengingat kapan pasien harus
mengkonsumsi obat, memberikan kasih sayang yang semestinya, dan selalu
siap untuk memanggil tenaga medis bila diperlukan.
5. [Amanda Lia – FA/08421]
Pemakaian obat-obat antipsikotik akan menimbulkan efek samping ekstrapiramidal.
Bagaimana pengatasannya bila efek samping tersebut muncul? Terapi non-farmakologi
cukup dari keluarga atau perlu psikiater?
Jawab: Efek samping ekstrapiramidal yaitu dystonic reaction (kekejangan otot yang
nyeri) dapat diatasi dengan obat antikolinergik (benztropin, THF, atau
difenhidramin). Pseudoparkinsonism dapat diatasi dengan antikolinergik
(benztropin) atau amantadin. Akathisia ( tidak bisa duduk tenang, dan
gerakan-gerakan yang tidak bisa berhenti) dapat diatasi dengan propanolol
atau benzodiazepine (lorazepam, klonazepam).
Terapi non-farmakologi seperti psikoterapi, atau ECT (bila perlu), sebaiknya
dilakukan oleh orang yang berkompetensi di bidang tersebut, yaitu psikiater.
6. [Siti Wahidah – FA/08452]
Bagaimana cara pemberian terapi awal injeksi sementara pasien mengunci diri di
kamar? Terapi awal tersedia sediaan tablet tidak?
Jawab: Seperti yang sudah diungkapkan di jawaban soal nomor 1 dan 2, saat terapi
diberikan pasien tidak sedang mengunci diri di kamar. Tersedia, tapi kami
sengaja memilih sediaan injeksi karena onsetnya lebih cepat sehingga bisa
segera diperoleh efek terapeutik.
7. [Nurindah Tri – FA/08392]
Menurut slide presentasi anda, kalau setelah seminggu tidak ada perbaikan maka dosis
bisa dinaikkan, sementara di buku acuan karangan Ibu Zullies Ikawati disebutkan
bahwa obat antipsikosis biasanya memiliki onset 6-8 minggu. Mengapa baru seminggu
terapi sudah dapat diputuskan untuk menaikkan dosis?
Jawab: Pada terapi yang diberikan oleh kelompok kami, dilakukan terapi fase akut
selama seminggu. Selanjutnya baru dilakukan terapi stabilisasi selama 6-8
minggu. Tidak ada kenaikan dosis dalam pergantian terapi ini, melainkan
perubahan sediaan obat dari bentuk injeksi pada terapi akut dan bentuk oral
pada terapi stabilisasi.
8. [Umi Rohmadiyani – FA/08406]
Durasi terapi non-farmakologi berapa lama? Dosis awal dan dosis stabilisasi sama, tapi
dosis pemeliharaan lebih rendah, kalau belum stabil apa yang akan anda lakukan? Data
lab berpengaruh tidak?
Jawab: Terapi non-farmakologi sifatnya fleksibel. Biasanya dilakukan sebelum terapi
farmakologi, bila dengan terapi non-farmakologi pasien sudah menunjukkan
kemajuan maka tidak perlu diberikan terapi farmakologi. Namun bila terapi
non-farmakologi dirasa belum cukup maka dapat ditambah dengan terapi
farmakologi. Sebelum beranjak dari dosis stabilisasi ke dosis pemeliharaan
sebaiknya dilakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap kondisi pasien. Apabila
ternyata kondisi pasien belum stabil maka dosis stabilisasi dapat dilanjutkan
sampai kurang lebih 2 minggu.
Data laboratorium yang kami tulis dalam pengembangan kasus hanyalah data
tambahan saja, yang menunjukkan bahwa selain penyakit skizoprenia tidak
ada penyakit lain yang sedang diderita pasien karena hasil laboratorium
menunjukkan angka normal.
9. [Hanindya Pramesti – FA/08385]
Dosis Olanzapine bisa dinaikkan bila tidak efektif. Kalau masih tetap tidak efektif
bagaimana?
Jawab: Kalau masih tidak efektif maka akan dipertimbangkan penggantian obat
ataupun pemberian kombinasi sesuai dengan algoritma terapi skizoprenia.
10. [Lina – FA/08441]
Kalau belum dibawa ke RS, siapa yang melakukan monitoring dan follow-up? Apa
dasar pemilihan Olanzapine?
Jawab: Monitoring dan follow-up dapat dilakukan oleh keluarga, psikiater, maupun
tenaga medis yang didatangkan ke rumah (bila memungkinkan). Dalam
algoritma terapi schizophren, pilihan terapi untuk serangan pertama adalah
Risperidon atau Olanzapine. Di antara keduanya, kelebihan Risperidon adalah
murah (tersedia generik), sedangkan kelebihan Olanzapine adalah onsetnya
cepat. Karena pasien kebetulan dari kalangan mampu, maka kami
mengedepankan onset ketimbang harga obat, sehingga kami pilih Olanzapine.
J. KESIMPULAN
1. Nn. WS menderita serangan pertama skizophrenia yang ditandai dengan halusinasi,
delusi, dan berperilaku katatonik.
2. Terapi untuk skizophrenia meliputi terapi akut, stabilisasi, dan pemeliharaan.
3. Pada terapi akut digunakan olanzapin injeksi dengan dosis 10 mg, 1 x sehari selama 7
hari.
4. Terapi stabilisasi dilakukan mulai minggu ke-2 selama 8 minggu menggunakan
olanzapin oral dengan dosis 10 mg, 1 x seharí.
5. Terapi pemeliharaan dilakukan untuk mencegah kekambuhan selama 1 tahun atau
tergantung kondisi menggunakan olanzapin oral dengan dosis 5 mg, 1 x sehari.
6. Monitoring dilakukan terhadap indikasi obat serta efek samping yang mungkin terjadi.
7. Psikoterapi dan support dari keluarga turut menentukan keberhasilan terapi pasien.
K. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011/2012, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 11, PT Medidata
Indonesia, Jakarta.
DiPiro, Joseph T., et al., 2009, Pharmacotherapy Handbook, The Mc-Graw Hill
Companies. Inc., United States of America.
ISFI, 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta.
http://www.ff.unair.ac.id/diu/?mode=vdrug&drugid=86
http://www.news-medical.net/health/Olanzapine-What-is-Olanzapine-%28Indonesian
%29.aspx
http://www.sciencedirect.com.ezproxy.ugm.ac.id/science/article/pii/S0924933806001283
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOTERAPI SISTEM SYARAFPraktikum ke : 2
SKIZOPRENIA
Disusun Oleh
Golongan / Kelompok : IV / 3Minat : FKKHari / Tanggal praktikum : Rabu / 11 April 2012
No Nama Mahasiswa NIM TTD
1 Sofiana FA / 08423 ( )
2 Bernadine Amanda Nindhyaswari FA / 08428 ( )
3 Alfiani Husna Amalia FA / 08430 ( )
4 Christanti Litani Prabawati Pambudi FA / 08432 ( )
Dosen Jaga Praktikum : Woro Harjaningsih, Sp FRS, Apt
LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIKBAGIAN FARMAKOLOGI DAN FARMAKOKINETIK
FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA2012