Post on 03-Mar-2018
LAPORAN
KULIAH KERJA LAPANGAN
Penelitian Sosial, Geolinguistik Bahasa, dan Folklor
Desa Rejasari
Kota Banjar 29-30 April 2010
Oleh:
Kelompok Rejasari
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJAJARAN
JATINANGOR
2010
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Laporan Kuliah Kerja Lapangan
Penelitian Sosial Budaya, Geolinguistik Bahasa, dan Folklor
Desa Rejasari Kota Banjar 29-30 April 2010
Pembimbing : M. Adji, M. Hum.
Sugeng Riyanto, M. Hum.
Ketua : Indra Sisworo 180110070035
Anggota:
1. Gilang Praisa 180110065001
2. Wahyu Ristatiara 180110070008
3. Bisri Rais 180110070012
4. Devina Christania 180110070015
5. Nick Carter S 180110070018
6. Riska Asiah 180110070024
7. Nurul Wulan 180110070026
8. Adam 180110090001
9. N. Adia Wijaya 180110090011
10. Yana Herdian 180110090017
11. Risnasari Rosman 180110090021
12. Lia Ilyah 180110090022
13. Rizal 180110090026
14. Melinda 180110090030
15. Ilham Wibowo 180110090041
16. Elsa Selviana Rachman 180110090046
LAPORAN
KULIAH KERJA LAPANGAN
DI DESA REJASARI KECAMATAN LANGENSARI
KOTA BANJAR
Jatinangor, Juni 2010
mengesahkan :
Pembimbing 1
M. Adji, M. Hum.
Pembimbing 2
Sugeng Riyanto, M. Hum.
disetujui oleh :
Ketua Jurusan Sastra Indonesia
Tatang Suparman, M. Hum
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan, karena atas kehendak-
Nyalah laporan kegiatan Kuliah Kerja Lapangan ini dapat terselesaikan.
Laporan ini merupakan hasil kerja dan wujud dari penerapan pelaksanaan
disiplin ilmu yang kami dapatkan di Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Padjadjaran Bandung. Adapun penelitian yang kami lakukan adalah
segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah bahasa, sastra (foklor), dan budaya di
Desa Rejasari Kecamatan Langensari Kota Banjar.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pembimbing kami selama kami
melaksanakan KKL dan juga dalam menyusun laporan ini. Mereka yang selalu
dengan ikhlas menuntun, membimbing dan mengawasi kami dari mulai pencarian
data hingga selesainya laporan ini.
Tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Camat
Langensari, Ketua Jurusan Sastra Indonesia, serta Bapak Kepala Desa Rejasari selaku
orang tua kedua kami di Desa Rejasari, juga kepada seluruh masyarakat Rejasari yang
telah menerima kehadiran kami.
Semoga laporan ini bermanfaat untuk pembaca, terlebih lagi penulis. Terima
kasih.
Jatinangor, Juni 2010
Penyusun,
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................... .............. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Identifikasi Masalah .......................................................................... 1
1.3 Tujuan ............................................................................................... 2
1.4 Metode Penelitian ............................................................................. 2
1.5 Sumber Data ...................................................................................... 2
BAB II ISI ....................................................................................................... 4
2.1 Gamabaran Umum Daerah Penelitian .............................................. 4
2.1.1 Geografi, Lokasi dan Keadaan Alam
Desa Rejasari................................................................. ........ 4
2.1.2 Sejarah Desa ........................................................................... 4
2.1.3 Pola Pemukiman............................................................ ........ 5
2.1.4 Sarana dan Prasaran Lingkungan ........................................... 6
2.1.5 Kependudukan ....................................................................... 7
2.1.6 Kebahasaan ............................................................................ 9
2.1.7 Sistem Kekerabatan .............................................................. 10
2.1.8 Sistem Pemerintahan ............................................................. 11
2.1.9 Kehidupan Sosial Budaya ..................................................... 11
2.2 Geolinguistik Bahasa ....................................................................... 13
2.3 Folklor .............................................................................................. 24
2.3.1 Kesenian Tradisional ............................................................ 24
2.3.2 Permainan Anak .................................................................... 28
2.3.3 Mitos .................................................................................... 29
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan. Tujuh unsur kebudayaan
itu adalah sistem kepercayaan, sistem mata pencaharian, IPTEK, bahasa, kesenian,
sistem sosial, dan sistem pemerintahan.
Kuliah Kerja Lapangan merupakan salah satu jalan untuk menggali akar
budaya daerah yang`ada di Indonesia. Saat ini yang kami gali adalah Desa Rejasari,
Kecamatan Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat. Potensi budaya yang ada di Desa
Rejasari tersebut nampak setelah kita mendatanginya kemudian melakukan proses
pengumpulan dan pengkajian data yang diperoleh. Ragam data yang diteliti dan dikaji
tersebut meliputi bidang bahasa, budaya dan foklor.
1.2 Identifikasi Masalah
Sesuai dengan program Jurusan Sastra Indonesia program Studi Bahasa
Indonesia, kegiatan Kuliah Kerja Lapangan ini menggali khususnya segala sesuatu
yang berhubungan dengan mata kuliah jurusan kami di antaranya:
1. Geolinguistik bahasa
2. Folklor
3. Gambaran umum Desa Rejasari
Seluruh data yang kami telah dapat akan bermafaat untuk menambah
pengetahuan akan kekayaan budaya yang terdapat di Indonesia.
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui semua potensi yang dimiliki oleh Desa Rejasari dari bermacam
aspek, baik bahasa, kebudayaan, dan lainnya.
2. Mengetahui gejala-gejala kebahasaan yang timbul di daerah perbatasan Jawa
Barat dan Jawa Tengah.
1.4 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu metode pupuan
lapangan dan metode deskriptif. Metode pupuan lapangan terbagi atas dua cara
pengumpulan bahan yaitu:
1. Pencatatan langsung
2. Perekaman atau pencatatan langsung
Metode deskriptif dapat memberikan penyelesaian-penyelesaian dan gambaran
mengenai masalah atau fenomena-fenomena yang jelas. Selain itu, metode deskriptif
menggambarkan dan menguraikan data-data yang telah dihimpun oleh tim peneliti
yang disebut metode deskriptif, kemudian dianalisis guna memperoleh kesimpulan
sehingga data yang dihimpun dapat diperjelas sesuai dengan pengklasifikasian data.
Selain itu dengan metode deskriptif kita dapat mengetahui mengenai struktur cerita
yang didalamnya terdapat satuan-satuan unsur pembentuk dan aturan susunannya
1.5 Sumber Data
Data-data didapatkan di Desa Rejasari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar,
Provinsi Jawa Barat.
Proses pencarian data-data tersebut melalui kerjasama antara pewawancara
dengan informan. Informan ini adalah orang yang banyak tau akan Desa Rejasari ini.
BAB II
ISI
2.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian
2.1.1 Geografi, Lokasi dan Keadaan Alam Desa Rejasari
Desa Rejasari terletak di Kecamatan Langensari, Kota Banjar, Provinsi Jawa
Barat. Desa ini berada di daerah pedalaman dengan tipologi berupa dataran. Desa ini
juga berada di wilayah paling timur Jawa Barat, dekat dengan sungai Citanduy yang
merupakan pembatas antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Keadaan alam di desa ini
masih terjaga keasriannya, kontur tanah serta iklim di daerah ini memungkinkan
sebagian besar masyarakat bisa bercocok tanam padi, karet serta aren.
2.1.2 Sejarah Desa
Pada tahun 1945, Desa Rejasari termasuk ke dalam Kecamatan Pataruman,
yang wilayahnya terbentang dari Citamiang hingga ke Ciroak Banjar. Kemudian,
dalam kesatuan kecamatan itu terjadi pemekaran desa menjadi enam wilayah bagian,
diantaranya adalah Desa Rejasari, Waringinsari, Langensari, Muktisari, Kujangsari,
Bojongkantong, dan Dirgasari. Di dalam wilayah Desa Rejasari, kemudian dipecah
lagi menjadi beberapa dusun, diantaranya yaitu Sindanggalih, Bantargawang,
Tamping, dan Rancabulus.
Pada zaman dahulu, desa ini merupakan perkebunan karet milik colonial
Belanda. Perusahaan ini beroperasional di bawah naungan seorang mandor yang
bernama Martinem. Mandor Martinem adalah seorang pengawas perkebunan karet
yang sangat baik hati, tegas, bijaksana, dan menjadi sosok panutan buruh-buruh
perkebunan. Sifat baik yang dimilikinya membuat kehidupan para buruh menjadi
lebih baik. Pemikiran kaum buruh menjadi lebih kooperatif untuk menerima saran dan
perubahan pada perkebunan, akhirnya perkebunan ini dibuka untuk lahan pemukiman
penduduk. Raden Endang sebagai camat pertama di desa ini orang pertama yang
banyak berjasa mendirikan Desa Rejasari. Sebagai rasa terimakasih dan
penghormatan, akhirnya nama Mandor Martinem di abadikan oleh penduduk sebagai
nama jalan. Selain jalan Mandor MArtinem, ada juga nama jalan lain yang memiliki
sejarah penamaan, yaitu jalan Wanalare. Dikisahkan, bahwa nama Wanalare berasal
dari kata Wana yang berarti leuweung (hutan) dan Lare yang berarti bocah (anak-
anak), Wanalare adalah jalan yang sering digunakan tempat bermain anak-anak pada
zaman dahulu.
Terlepas dari cerita tersebut, secara etimologi Rejasari berasal dari kata Reja/
Rejo yang berarti pecahan dan Sari yang berarti inti. Jadi Rejasari bisa diartikan
sebagai pecahan dari inti, hal ini sangat berkaitan dengan asal mula Desa Rejasari
yang menurut sejarah merupakan pecahan dari Kecamatan Pataruman.
Pataruman berasal dari kata patarungan. Masyarakat Pataruman meyakini
bahwa wilayah Pataruman adalah tempat bertempurnya lelakon orang- orang Budha
sewaktu penyebaran agama Budha menyebar ke wilayah Indonesia, khususnya Jawa
Barat.
2.1.3 Pola Pemukiman
Pemukiman penduduk di desa ini sangat teratur dan tertata rapi. Rumah-rumah
berpola membentuk barisan dan berhadap-hadapan. Rumah-rumah di desa ini
beragam, ada yang masih bertahan dengan kesederhanaan rumah tradisional namun
adapula yang sudah merenovasi rumah menjadi sedikit agak modern, namun secara
umum gaya arsitektur Jawa. Walaupun bentuk rumah sederhana namun sebagian
rumah di sana memiliki halaman yang luas, kolam ikan, lahan tempat menumbuk dan
menjemur padi, serta selokan kecil di depan rumah, rumah terdiri dari beberapa
ruangan dengan ruang tengah yang paling luas dan tidak berplafon. Batas antara
rumah ke rumah hanya ditandai dengan pohon atau batu. Ciri lain yang menjadi khas
pola pemukiman daerah ini adalah jalan raya yang tidak berkelok-kelok serta tidak
ada polisi tidur.
Hal yang paling menarik dan sangat menentukan dominasi penduduk yang
tinggal di tiap dusun desa ini adalah etnis. Empat dusun yang terdapat di Desa
Rejasari ini membentuk blok yang bergantung pada kaum minoritas atau mayoritas.
Sebagai contoh, Dusun Sindanggalih merupakan dusun yang percampuran etniknya
seimbang, masyarakat yang mendiami dusun ini 50% Sunda dan 50% Jawa, lain
halnya dengan dusun Rancabulus dan Bantargawang yang mayoritas wilayahnya
didominasi oleh etnis Sunda, sedangkan dusun Tamping, wilayah pemukiman
disominasi oleh etnis Jawa. Hal tersebut membuktikan bahwa etnis di Desa Rejasari
hidup berkoloni dengan etnisnya dan pola pemukiman pun bisa dilihat dari mayoritas
etnis yang mendominasi.
2.1.4 Sarana dan Prasarana Lingkungan
Desa ini memang terletak di pedalaman Ciamis, namun jangan salah,
modernisasi ternyata sudah masuk ke desa ini. Masyarakat tidak sulit mendapatkan
energi listrik dan air. Barang-barang elektronik tidak lagi tabu di mata masyarakat,
sarana dan prasarana yang mendukung aktivitas masyarakat pun cukup memadai.
Karena mayoritas masyarakat di desa ini adalah muslim, maka tempat peribadatan
yang ada di sesa ini adalah masjid dan mushola, sedangkan bagi umat non muslim
(Kristen) pergi ke gereja yang berada di desa lain. Masyarakat di desa ini cukup
agamais, sering sekali diadakan pengajian rutin setiap minggunya, pengetahuan
pendidikan agama yang semakin maju menjadikan masyarakat di desa ini perlahan
mulai sedikit demi sedikit meninggalkan tradisi leluhur yang tidak sesuai dengan
syariat, mayoritas masyarakat tidak lagi percaya pada takhayul dan lebih berpikir
rasional serta tidak lagi melakukan pemujaan terhadap batu atau pohon.
Kondisi jalan beraspal yang cukup baik menjadikan mobilitas masyarakat
Desa Rejasari berjalan dengan lancer Transportasi pun cukup memadai. Sebagian
besar masyarakat menggunakan kendaraan sepeda motor dalam mendukung
aktivitasnya, terdapat 276 sepeda motor yang terdata di desa ini, selain itu ada juga
kendaraan lain berupa kuda sebanyak 6 buah, gerobak 3 buah, becak 2 buah, perahu
17 buah, angkutan pedesaan 14 buah, truk 1 buah, dan colt sebanyak 4 buah.
Sarana lain yang mendukung kemajuan desa adalah tersedianya gedung
olahraga di kelurahan yang kerap dijadikan pula sebagai gedung serbaguna bahkan
gedung itu juga digunakan sebagai tempat berlangsungnuya program pemberantasan
buta huruf. Selain itu, di desa ini juga sudah terdapat gedung sekolah serta PAUD
(Pendidikan Anak Usia Dini).
2.1.5 Kependudukan
Berdasarkan data yang kami dapat dari kelurahan, penduduk di desa ini
berjumlah 9.374 jiwa, terdiri atas 4.776 laki-laki (50,94%) dan 4.598 perempuan
(49,06). Jumlah kepala keluarga sebanyak 2.609 KK. JIka dilihat berdasarkan umur,
penduduk dengan golongan usia 0-20 tahun adalah sebanyak 3.158 jiwa (33,7%), usia
20-40 tahun sebanyak 3.170 jiwa (33,8 %), dan usia 40 tahun ke atas sebanyak 3.046
jiwa (32,5%). Jumlah penduduk berdasarkan etnik adalah 5.156 jiwa (55%) suku
Jawa, dan 4.218 jiwa (45%) suku Sunda. Jumlah penduduk berdasarkan Agama
adalah 9.344 jiwa (99,7%) umat Islam, 11 jiwa (0,1%) umat Kristen Katolik, dan 19
jiwa (0,2%) umat Kristen Protestan. Selain ketiga agama tersebut, masyarakat
Rejasari ada yang memeluk Agama yang bernama KWN dan PBB. Agama ini
dianggap sesat karena mencampur adukkan Agama islam dengan Kristen.
Pendidikan, menurut masyarakat di desa ini adalah suatu hal yang penting. Hal
itu bisa dibuktikan dengan besarnya antusias warga, terutama para orang tua yang
dulunya tidak sempat mengenyam pendidikan mengikuti program pemberantasan buta
huruf pada sore hari, di Gedung Olah Raga (GOR) yang terletak di samping kantor
kelurahan Rejasari. Kesadaran akan pentingnya pendidikan pun terbiukti dengan data
kependudukan berdasarkan tingkat pendidikan, yaitu tingkat SD sebanyak 4.073 jiwa
(63,3%), SMP sebanyak 1.491 jiwa (23,2%), SMA sebanyak 725 jiwa (11,3%),
Perguruan Tinggi (S1) sebanyak 127 jiwa (2%), Perguruan Tinggi (S2) sebanyak 1
jiwa (0,001%) dan Kursus-kursus sebanyak 13 jiwa (0,2%).
Pada umumnya masyarakat di desa ini memiliki kesibukan mengurus lahan
sawah dan perkebunan karet serta aren, namun menurut data yang kami dapat dari
kelurahan setempat mereka memiliki mata pencaharian tetap yang diantaranya adalah
sebagai berikut;
1. PNS : 62 Jiwa 11. Salon : 1 jiwa
2. BUMN : 12 jiwa 12. Penarik Becak : 4 jiwa
3. TNI : 4 jiwa 13. Kusir : 6 jiwa
4. POLRI : 2 jiwa 14. Dukun Bayi : 5 jiwa
5. Swasta : 214 jiwa 15. Tukang Pijat : 3 jiwa
6. Wiraswasta : 615 jiwa 16. Rias Pengantin : 2 jiwa
7. Bidan : 2 jiwa 17. Kenek : 6 jiwa
8. Wartawan : 1 jiwa 18. Tukang Kayu : 24 jiwa
9. Sopir : 18 jiwa 19. Tukang Tembok : 55 jiwa
10. Ojek : 21 jiwa
2.1.6 Kebahasaan
Sistem kebahasaan di desa Rejasari cukup menarik untuk ditelaah. Seperti
yang sudah kita ketahui bahwa di desa ini etrdapat dua suku (etnik), yaitu Jawa dan
Sunda. Begitu pun dengan bahasa yang digunakan ada dua, yaitu bahasa sunda dan
bahasa jawa. Jika orang Jawa dan orang Sunda terlibat dalam komunikasi, identitas
mereka tetap dipertahankan oleh masing-masing pihak. Misalnya, orang Jawa
menyapa dengan bahsa Jawa, maka orang Sunda yang diajak bicara menjawab dengan
bahasa Sunda, namun demikian, kedua masyarakat tersebut tetap mengerti apa yang
masing-masing katakan. Selain keunikan itu, tak jarang pula masyarakat
mencampuadukan kedua bahasa dalam suatu percakapan.
Pemakaian bahasa Indonesia di Desa Rejasari sering dipakai dalam acara-acra
formal, tetapi karena sudah terbiasa menggunakan bahasa daerahnya masing-masing
pada akhirnya mereka terkadang mencampur penggunaan bahasa Indonesia dengan
bahasa daerah. Terkadang sebagian dari masyarakat di desa ini beranggapan bahwa
seseorang yang menggunakan bahasa Indonesia adalah seorang yang sok kota, karena
yang mereka tahu, orang-orang yang tinggal di kota kebanyakan adalah orang yang
berilmu, maka mereka yang menggunakan bahasa Indonesia terkesan sok pintar,
padahal mereka hidup di pedesaan. Dampak dari penggunaan bahasa Indonesia adalah
rasa gengsi, akan tetapi, fungsi krusial kedudukan bahasa Indonesia ini sebenarnya
merupakan bahasa pemersatu, atau jembatan yang menghubungkan komunikasi
masyarakat etnis Sunda dan Jawa yang tak mengenal istilah atau kosakata masing-
masing etnis.
Situasi kebahasaan dapat dilihat dari lokasi kebahasaan menurut perbatasan
desa dengan daerah lain. Sebelah timur desa menggunakan bahasa campuran antara
bahasa Indonesia dan bahasa Sunda, sebelah barat desa berbahasa Sunda, sebelah
utara desa berbahasa Sunda, dan sebelah selatan desa berbahasa Jawa. Walaupun di
desa ini hidup dua bahasa yang berbeda, namun hal itu tak menimbulkan konflik
karena adanya salah pengertian dalam berkomunikasi.
2.1.7 Sistem Kekerabatan
Masyarakat di desa ini pada umumnya bersistem patrilineal atau biasa disebut
juga bilateral. Dalam sistem kekerabatan yang dimiliki, terdapat tujuh tingkatan
kekerabatan yaitu generasi ke atas dan generasi ke bawah, sebagai berikut:
Generasi ke atas: Generasi ke bawah:
1. Orang tua (kolot) 1. Anak
2. Embah/ Eyang (uyut) 2. Incu (putu)
3. Buyut 3. Buyut
4. Bao 4. Bao
5. Jangga Wareng 5. Jangga Wareng
6. Udeg-udeg 6. Udeg-udeg
7. Kait Siwur 7. Gantung Siwur
2.1.8 Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan tertinggi di desa ini dipegang oleh kepala desa.
Masyarakat memanggil kepala desa dengan sebutan Kuwu. Di bawah kepala desa
terdapat beberapa orang kepala dusun yang memimpin empat dusun di desa Rejasari.
Selanjutnya tingkat pemerintahan turun ke tingkat Rukun Warga (RW) dan kemudian
Rukun Tangga (RT).
2.1.9 Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat Desa Rejasari mayoritas memeluk agama Islam, namun dalam hal
tersebut ada sebagian masyarakat yang menjalankan sistem kepercayaan lain
misalnya: bersemedi, menyediakan sesajen dan memohon berkat kepada benda
keramat tertentu, seperti di cadas gantung.
Dalam kehidupan lainnya masyarakat Desa Rejasari masih melaksanakan
upacara yang mengangkut daur hidup manusia, sperti upacara perkawinan, upacara
kemahmilan, upacara kelahiran dan upacara kemaitian.
1. Upacara perkawinan
Ritual yang dilakukan dalam upacara perkawinan yaitu
a. memilih tanggal atau hari baik
b. injak telur: mempelai pria menginjak telur dan mempelai wanita
membersihkan dengan air kendi, hal ini merupakan simbol pengabdian
seorang istri terhadap suami
c. sawer: kedua mempelai menyawer dengancara melemparkan beras
yang bercampur dengan uang kearah para tamu undangan, hal ini
merupakan simbol dari keberkahan dalam rumah tangga
d. menikahkan didepan jasad: ritual ini dilaksanakan apabila orang tua
mempelai meninggal dunia sebelum pernikahan dilaksanakan.
Mempelai melangsungkan akad didepan jenazah atau menunda
pernikahan selama 1 tahun.
Masyarakat di Desa ini pada umumnya memakai pakaian adat Jawa apabila
sedang melaksanakan pernikahan, namun tak jarang pula adanya percampuran
baju adat, hal itu dikarenakan kedua mempelai berasal dari etnik yang berbeda.
Ciri khas lain dalam acara pernikahan di Desa ini adalah tersedianya makanan
tradisional yaitu “jenang”. Jenang adalah makanan sejenis dodol yang ternuat
dari beras ketan, tepung beras dicampur dengan kelapa dan gula merah, lalu
dibungkus dengan daun pisang atau plastik.
2. Upacara kehamilan dan kelahiran
Ritual yang biasa dilakukan sebagai berikut:
a. 7 bulanan atau 4 bulanan: acara ini merupakan bentuk rasa syukut
orang tua atas janinnya. Biasanya acara ini diisi dengan pengajian dan
menyajikan bubur 7 rupa
b. penguburan ari-ari: setelah bai lahir, ari-ari bayi tersebut dimaskukkan
ke dalam kendi lalu dikubur, atau ari-ari yang telah dimasukkan ke
dalam kendi digantung di ujung rumah. Menurut kepercayaan
masyarakat, ari-ari adalah kembaran bayi yang hidup di alam lain.
Penguburan dan penggantungan ari-ari tersebut adalh simbol
keberadaan ari-ari tesebut yang akan menjaga bayi selama hidupnya
c. among-among: ketika usia bai menginjak 1-7 bulan, orang tua bayi
tersebut melaksanakan ritual ini dengan cara membagikan urap telur ke
tetangga dan kerabat.
3. Upacara kematian
Beberapa ritual yang menyangkut kematian sebagai berikut
a. tahlilan: yaitu pembacaan surat yasin pada saat 40 harian, 100 harian
hingga seterusnya, hal ini bertujuan untuk mendoakan jenazah
b. ritual ngolong: keluarga yng ditinggalkan harus berjalan dibawah
jenazah, hal ini bertujuan agar keluarga yang ditinggalkan ikhlas
menerima dan tidak larut dalam kedukaan
c. menabur gula merah dan membelah kelapa diatas kuburan.
2.2 Geolinguistik Bahasa
Kondisi kebahasaan di Kota Banjar ini bilingualisme. Pemakaian bahasa Jawa
dan Sunda yang cukup seimbang membuat pengguna bahasa terpengaruh oleh kedua
bahasa tersebut. Berikut adalah data yang kami dapatkan dari dua informan yang
berbeda:
1. Samudin, 55 tahun
No. GLOS Bahasa Sunda Bahasa Jawa
001 Kakek Aki mbah kakuŋ
002 Nenek Nini mbah putri
003 Ayah bapa? bapa?
004 Ibu Mamah əma?/ mama
005 Paman tua Uwa pa?dԐ
006 Paman muda Mamaŋ pa?lԐ
007 Bibi tua Uwa budԐ
008 Bibi muda Bibi bulԐ
008a Laki-laki paməgət lanaŋ
008b Perempuan awԐwԐ wԐdↄ
009 Kakak laki-laki Aa mas
010 Kakak perempuan tԐtԐh/ öcö mba?/ mba? yu
011 Adik laki-laki adi lalaki adԐ lanaŋ
012 Adik perempuan adi awԐwԐ adԐ wԐdↄ
013 Anak Putra putra
014 Keponakan tua kəpↄnakan kəpↄna’an
015 Keponakan muda kəpↄnakan kəpↄna’an
016 Cucu Incu putu
017 Suami Salaki garwↄ
018 Istri Pamajikan strikulↄ
019 Mertua mitↄha mertuↄ
020 Menantu Minantu mantu
021 Besan bԐsan bԐsan
022 Ipar Ipar ipar
022a Panggilan untuk anak
022b Lk ujaŋ/ AsԐp naŋ/IԐ
022c Panggilan untuk anak nԐŋ ndↄ?
022d Pr
023 Tiri tԐrԐ kwalↄn
023a Nama ŋaran/ nami jənəŋ
024 Pegawai desa pamↄŋ dԐsa pəgawai dԐsa
025 Pesuruh di desa pəsuruh pəsuruh
026 Kepala desa Kuwu lurah
027 Kepala kampong kəpala gↄlↄŋan kəpala gↄlↄŋan
028 Juru tuis juru tulis carik
029 Penghulu amil/ naib pəŋhulu
030 Peronda rↄnda rↄnda
030a Dukun beranak induŋ bəraŋ dukun bayi
030b Dukun sunat dukun sunat dukun səbԐt
030c Arisan Arisan arisan
031 Selamatan (kenduri) kəndurԐn kəpuŋan
032 Kerja bakti kəridan kərja bakti
033 Kepala Sirah sirah
034 Otak ↄtak utək
034a Kening Taraŋ batu?
034b Mata# sↄca məripat
034c Bulu mata bulu sↄca idəp
035 Air mata# cimata/ cisↄca eluh
035a Hidung pangambuŋ iruŋ
036 Mulut# Baham tutu?
036a Air ludah# Dahdir ilər
036b Dahak# rəhak riak
037 Bibir Biwir lambԐ
038 Gigi Huntu untu
038a Geraham Geraham gəraham
039 Lidah lԐtah ilat
040 Telinga cəpil kupiŋ
040a Leher bəhəŋ gulu
041 Pundak tak-tak undak
042 Belikat Walikat wəlikat
042a Jari tangan ramↄ jari
042b Ibu jari jəmpↄl jəmpↄl
043 Telunjuk təlunjuk təlunjuk
043a Jari tengah jari təŋah jari təŋah
044 Jari manis jari manis jari manis
045 Kelingking Ciŋir jəntik
046 Tangan Panaŋan taŋan
047 Telapak tangan Dampal təlapak
048 Kuku Kuku kuku
048a Kaki Suku sikil
048b Paha piŋ-piŋ pupu
049 Lutut# tu’ur dəŋkul
050 Betis Bitis kԐmpↄl
051 Tulang kering Baluŋ baluŋ
052 Mata kaki mumuncaŋan ntↄ?-ntↄ?
052a Telapak kaki dampal suku təlapak sikil
052b Tulang Tulaŋ baluŋ
053 Rambut Rambut rambut
054 Alis Halis alis
054a Darah# gətih gətih
055 Sumsum# sum-sum sum-sum
Jantung Jantuŋ jantuŋ
Hati# Hati hati
2. Wasiatun, 45 tahun
No. GLOS Bahasa Sunda Bahasa Jawa
001 Kakek Aki mbah kakuŋ
002 Nenek Nini mbah putri
003 Ayah bapa? bapa?
004 Ibu Mamah ema?/ mama
005 Paman tua Uwa pa?dԐ
006 Paman muda Mamaŋ pa?lԐ
007 Bibi tua Uwa budԐ
008 Bibi muda Bibi bulԐ
008a Laki-laki paməgət lanaŋ
008b Perempuan awԐwԐ wԐdↄ
009 Kakak laki-laki Aa mas
010 Kakak perempuan tԐtԐh/ öcö mba?/ mba? yu
011 Adik laki-laki adi lalaki adԐ lanaŋ
012 Adik perempuan adi awԐwԐ adԐ wԐdↄ
013 Anak Putra putra
014 Keponakan tua kəpↄnakan kəpↄna’an
015 Keponakan muda kəpↄnakan kəpↄna’an
016 Cucu Incu putu
017 Suami Salaki garwↄ
018 Istri Pamajikan strikulↄ
019 Mertua mitↄha mərtuↄ
020 Menantu Minantu mantu
021 Besan bԐsan bԐsan
022 Ipar Ipar ipar
022a Panggilan untuk anak
022b Lk ujaŋ/ AsԐp naŋ/IԐ
022c Panggilan untuk anak nԐŋ ndↄ?
022d Pr
023 Tiri tԐrԐ kwalↄn
023a Nama ŋaran/ nami jənəŋ
024 Pegawai desa pamↄŋ dԐsa pəgawai dԐsa
025 Pesuruh di desa pəsuruh pəsuruh
026 Kepala desa Kuwu lurah
027 Kepala kampong kəpala gↄlↄŋan kəpala gↄlↄŋan
028 Juru tuis juru tulis carik
029 Penghulu amil/ naib pəŋhulu
030 Peronda rↄnda rↄnda
030a Dukun beranak induŋ bəraŋ dukun bayi
030b Dukun sunat dukun sunat dukun sebԐt
030c Arisan Arisan arisan
031 Selamatan (kenduri) kəndurԐn kəpuŋan
032 Kerja bakti kəridan kərja bakti
033 Kepala Sirah sirah
034 Otak ↄtak utək
034a Kening Taraŋ batu?
034b Mata# sↄca məripat
034c Bulu mata bulu sↄca idəp
035 Air mata# cimata/ cisↄca əluh
035a Hidung pangambuŋ iruŋ
036 Mulut# Baham tutu?
036a Air ludah# Dahdir ilər
036b Dahak# rəhak riak
037 Bibir Biwir lambԐ
038 Gigi Huntu untu
038a Geraham gəraham gəraham
039 Lidah lԐtah ilat
040 Telinga cəpil kupiŋ
040a Leher bəhəŋ gulu
041 Pundak tak-tak undak
042 Belikat Walikat wəlikat
042a Jari tangan ramↄ jari
042b Ibu jari jəmpↄl jəmpↄl
043 Telunjuk təlunjuk təlunjuk
043a Jari tengah jari təŋah jari təŋah
044 Jari manis jari manis jari manis
045 Kelingking Ciŋir jəntik
046 Tangan Panaŋan taŋan
047 Telapak tangan Dampal təlapak
048 Kuku Kuku kuku
048a Kaki Suku sikil
048b Paha piŋ-piŋ pupu
049 Lutut# tu’ur dəŋkul
050 Betis Bitis kԐmpↄl
051 Tulang kering Baluŋ baluŋ
052 Mata kaki mumuncaŋan ntↄ?-ntↄ?
052a Telapak kaki dampal suku təlapak sikil
052b Tulang Tulaŋ baluŋ
053 Rambut Rambut rambut
054 Alis Halis alis
054a Darah# gətih gətih
055 Sumsum# sum-sum sum-sum
Jantung Jantuŋ jantuŋ
Hati# Hati hati
3.
Kedua informan tersebut memberikan data yang sama. Berbagai keunikan
kami dapatkan dalam penelitian geolinguistik kali ini. Pengucapan [?] seringkali
digunakan dalam kosa kata bahasa Jawa. Pelafalan kosa kata dalam bahasa Jawa pada
kata “idep” yakni [i][t][d][e][p]. Pelafalan kata tutul dalam bahasa Jawa yakni
[t][u][o][t][u][o][l], pelafalan [u] terdengar seperti [u][o]. Pelafalan kata “kuping”
dalam bahasa Jawa yakni [k][u][p][i][e][n][g], pelafalan [i] terdengar seperti [i][e].
Pelafalan kata “getih” dalam bahasa Jawa yakni [g][e][t][i][h], uniknya dalam bahasa
Jawa, [t] diucapkan lebih menggunakan tekanan sehingga terdengar seperti
[g][e][t][t][i][h].
Kosa kata bahasa Sunda yang kami dapatkan, tidak jauh berbeda dengan
bahasa Sunda yang ada di Bandung. Perbedaannya hanyalah pada logat yang
digunakan. Masyarakat di Desa Rejasari menggunakan bahasa Sunda yang sedikit
berlogat Jawa.
Ada sebuah perbedaan konsep yang kami dapatkan setelah penelitian ini. Kata
“amil” di Desa Rejasari kita terjemahkan sebagai “penghulu”. Berbeda dengan Desa
Muktisari yang menyebut “amil” adalah sebagai “ pemandi jenazah”.
2.3 Folklor
2.3.1 Kesenian Tradisional
Kesenian tradisional yang sangat terkenal di Kota Banjar antara lain:
a. Hadroh
Hadroh adalah sebuah kesenian khas islami yang berasal dari Kota Banjar.
Iramanya yang menghentak, rancak dan variatif membuat kesenian ini masih
banyak digandrungi oleh pemuda-pemudi hingga sekarang. Seni jenis ini bisa
disebut pula aset atau ekskul terbaik di pondok-pondok pesantren. Sampai
detik ini seni hadrah yang berasal dari kota Banjar ini bisa dibilang paling
konsisten dan paling banyak diminati oleh kalangan santri, bahkan saat ini di
beberapa kampus mulai ikut menyemarakkan jenis musik ini.
Hadroh masih merupakan jenis musik rebana yang mempunyai keterkaitan
sejarah pada masa penyebaran agama Islam oleh Sunan Kalijaga, Jawa.
Karena perkembangannya yang menarik, kesenian ini seringkali digelar dalam
acara-acara seperti Maulid Nabi, Isra' Mi'raj atau hajatan semacam sunatan
dan pernikahan. Alat rebananya sendiri berasal dari daerah Timur Tengah dan
dipakai untuk acara kesenian. Kemudian alat musik ini semakin meluas
perkembangannya hingga ke Indonesia, mengalami penyesuaian dengan
musik-musik tradisional baik seni lagu yang dibawakan maupun alat musik
yang dimainkan. Demikian pula musik gambus, kasidah dan hadroh adalah
termasuk jenis kesenian yang sering menggunakan rebana.
Keunikan musik rebana termasuk banjar adalah hanya terdapat satu alat musik
yaitu rebana yang dimainkan dengan cara dipukul secara langsung oleh tangan
pemain tanpa menggunakan alat pemukul. Musik ini dapat dimainkan oleh
siapapun untuk mengiringi nyanyian dzikir atau sholawat yang bertemakan
pesan-pesan agama dan juga pesan-pesan sosial budaya. Umumnya
menggunakan bahasa Arab, tapi belakangan banyak yang mengadopsi bahasa
lokal untuk kresenian ini.
Jadi, sebagai generasi penerus kita harusnya berbangga hati karena dapat
menjaga apa yang telah di ajarkan oleh nabi sebelumnya. Akhirnya, mari kita
bersama melestarikan kesenian islami ini.
b. Kuda kepang
Narasumber : Abdul Majid, Usia 75 tahun
Jenis Kesenian : Tradisional
Nama Kesenian : Kuda Kepang
Lokasi : Desa Rejasari
Sejarah
Pendiri : masyarakat
Motif pendirian : hiburan rakyat
Pewarisan : sanggar seni
Kondisi saat ini : masih terjaga
Peralatan
Nama peralatan : gong, kuda-kudaan, gendang, arang, kaca semprong.
Fungsi peralatan : sarana pertunjukan
Bahan pembuatan : besi, bambu, kaca
Bentuk peralatan : sesuai dengan alatnya sendiri
Cara menggunakan: sesuai dengan alatnya sendiri
Arena/tempat
Sifat arena : bebas
Luas arena : bebas
Pemain
Jumlah pemain : lebih dari lima belas orang
Umur pemain : sepuluh tahun ke atas
Jenis kelamin : bebas, namun mayoritas pria
Syarat lain : pemain harus terlatih
Penonton
Syarat menonton : tidak ada
Ritual
Nama ritual : tidak ada
Alasan dilakukan : memanggil para leluhur
Pelaku : pemimpin pertunjukan
Waktu melakukan : sebelum pertunjukan dimulai
Tempat melakukan: di arena pertunjukan
Syarat melakukan : hanya dilakukan oleh pemimpin pertunjukan
Pertunjukan
Sifat : sakral
Durasi : 15-30 menit
Cerita/ narasi
Pertunjukan ini diadakan semata-mata untuk hiburan rakyat saja. Di
desa Rejasari, sanggar untuk kesenian kuda kepang ini telah ada sejak desa
ini berdiri. Pada awal pertunjukan ini biasanya pemimpin pertunjukan
lebih dahulu mengadakan ritual untuk memanggil para leluhurnya,
biasanya dia membakar kemenyan. Setelah selesai, alunan musik daerah
mengalun, satu-persatu pemain memasuki arena pertunjukan sambil
menari mengikuti alunan musik. Sesaat kemudian ada pemain yang
ternyata telah kerasukan, bisa 2-3 pemain. Biasanya pemain yang telah
kerasukan bisa memakan bara api, kaca, hingga kebal terhadap senjata
tajam. Pemain berhenti kerasukan hanya pada saat pemimpin pertunjukan
tersebut menyentuh kepala pemain yang kerasukan. Suasana pertunjukan
bagi beberapa penonton acara ini menyenangkan, tetapi tidak sedikit juga
yang takut saat menyaksikannya.
2.3.2 Permainan Anak
Permainan anak di Banjar ternyata masih banyak yang bersifat
tradisional. Permainan itu antara lain:
1. Ucing dodok
2. Gundu
3. Congklak
4. Sondah
5. Bola bekel.
2.3.3 Mitos
Cadas Gantung
Mitos ini berasal dari Desa Rejasari, Kecamatan Langensari,
Kabupaten Banjar, Propinsi Jawa Barat. Cadas gantung memiliki makna
“batu gantung”, dimana ada sebuah batu yang tidak menempel pada tanah
tetapi dapat berdiri. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu
tersebut dapat memberi apa saja yang diminta, sehingga tempat itu
dijadikan tempat semedi bagi barangsiapa yang ingin meminta. Pada
jaman “togel” misalnya, banyak masyarakat yang datang dengan
membawa kotak korek api yang di bungkus dengan daun pisang. Setelah
bersemedi menurut cerita bila beruntung di dalam kotak korek api tersebut
telah tertulis angka yang akan keluar.
Menurut kesaksian tukang ojeg, dia pernah mengantarkan seorang
gadis ke Desa Rejasari dari kota Bandung. Selama di perjalanan tukang
ojeg tersebut sama sekali tidak merasakan hal-hal yang mencurigakan.
Sesampainya di Desa Rejasari, gadis itu meminta kepada tukang ojeg agar
berhenti tepat di depan batu gantung tersebut. Setelah member ongkos,
tukang ojeg itu kaget melihat ternyata wanita tersebut masuk ke dalam
batu tersebut. Tanpa piker panjang ia langsung kabur dari tempat tersebut
dan menceritakan kejadian tersebut pada warga Desa Rejasari keesokan
harinya.
Hingga saat ini batu itu masih ada, dan masih ada masyarakat setempat
yang bersemedi di tempat tersebut.
Mbah Bonar
Mbah bonar adalah seorang pawang buaya, menurut cerita masyarakat
ia dapat berbicara dengan buaya yang ada di sepanjang sungai.
Pekerjaannya sehari hari adalah menjaga manusia dari terkaman buaya.
Mbah bonar memiliki 4 orang anak, Suni, Iding, Unit, dan Iting. Mereka
tinggal di pinggir sungai.
Suatu hari ada seorang warga yang meminta tolong pada Mbah Bonar
karena salah satu anggota keluarganya hilang di sungai. Warga tersebut
takutkalau anggota keluarganya tersebut telah dimakan oleh buaya. Mbah
Bonar pun pergi ke hulu sungai, dia mengambil selembar daun sirih dan
mengucapkan mantera kemudian menjatuhkannya ke sungai. Perlahan
daun sirih tersebut mengalir mengikuti arus sungai diikuti oleh Mbah
Bonar. Tak beberapa lama kemudian, tiba-tiba daun sirih tersebut berhenti
pada suatu tempat, padahal arus sungai tetap mengalir. Mbah Bonar
langsung mengganti pakaiannya dan masuk ke dalam sungai tersebut.
Ketika sampai di dasar sungai, Mbah Bonar bertemu dengan sekumpulan
buaya, Mbah Bonar bertanya, “ Siapa di antara kalian yang telah memakan
manusia?”. Tak seekorpun dari buaya tersebut menjawabnya. Tak jauh dari
tempat kumpulan buaya tersebut ternyata ada seekor buaya yang
menyendiri. Mbah Bonar segera menghampiri buaya tersebut. Mbah Bonar
bertanya hal yang sama pada buaya tersebut, buaya tersebut kelihatan
ketakutan dan tak mau bergerak. Mbah Bonar melihat ada sesuatu yang
disembunyikan oleh buaya tersebut di bawahnya. Mbah Bonar
memerintahkan buaya tersebut agar beranjak dari tempatnya. Ternyata ada
gundukan pasir yang di dalamnya ada mayat manusia. Mbah Bonar
kemudian membujuk buaya tersebut agar mau ikut dengannya ke
permukaan. Mbah Bonar menjanjikan akan member buaya tersebut cincin
dan gelang emas apabila ia mau ke atas. Setelah me,beri mayat manusia
tersebut pada keluarganya, Mbah Bonar kemudian mengambil rotan dan
mengikat keempat kaki buaya tersebut. Setelah mengikatnya, Mbah Bonar
menarik rotan tersebut dan megikat rotan tersebut pada empat pohon
sesuai dengan letak kaki buaya tersebut. “Jika kamu kuat, cobalah dengan
sekuat tenagamu untuk melepaskan diri!” perintah Mbah Bonar. Buaya
tersebut meronta-ronta, tapi ia tak dapat melepaskan diri. Mbah Bonar
mengambil rotan yang lainnya dan memukul buaya tersebut. Buaya itu
hanya diam, dan meneteskan satu air mata kemudian dia mati.
Beberapa tahun kemudian Mbah Bonar meninggal dunia. Mbah Bonar
terkena kutukan karena pekerjaannya sebagai pawang buaya, maka setelah
ia meninggal maka ia akan berganti wujud menjadi seekor buaya.
Setelah tiga tahun meninggalnya Mbah Bonar, keempat anaknya
mengadakan selamatan untuk Mbah Bonar. Suatu hari iding bermimpi
tentang ayahnya, Mbah Bonar. Dalam mimpinya Mbah Bonar menyuruh
iding untuk tetap tinggal di tepi sungai, dan mencari penghasilan dari
sungai. Iding pun mematuhi permintaan ayahnya, pagi-pagi sekali dia
pergi ke sungai mencari ikan. Setiap dia melempar jalanya, selalu ada saja
ikan yang menempel di jalanya. Begitulah setiap harinya, Iding selalu
membawa ikan yang banyak untuk keperluan hidupnya. Pada saat hendak
mencari ikan, Iding berjumpa seekor buaya tepat di depannya. Buaya
tersebut anehnya tidak memiliki ekor, dan buaya tersebut hanya diam
meratap Iding. Iding teringat akan kutukan yang diterima ayahnya, ia
berkata pada buaya tersebut “jika kamu adalah ayahku, maka kamu jangan
bergerak, karena aku akan membuatkan kamu sebuah rumah!”. Buaya
tersebut hanya diam dan pasrah, Iding merasa pasti bahwa buaya tersebut
adalah jelmaan ayahnya. Iding mengangkat buaya tersebut dan
menaruhnya di dasar sungai yang paling dalam, namanya Pedungjama.
Banyak dari nasyarakat percaya kebenaran dari cerita ini, karena
hingga saat ini tidak pernah ada seorangpun anggota warga Desa Rejasari
yang di makan oleh buaya. Masyarakat percaya bahwa Mbah Bonar selalu
menjaga masyarakat di sekitar sungai dari terkaman buaya-buaya yang
datang dari desa-desa lain.
Iding, hingga sekarang masih tinggal di dekat sungai, dan merupakan
saksi kunci dari mitos ini. Sayangnya penulis tidak dapat bertemu langsung
dengan Iding karena jaraknya yang terlalu jauh.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kota Banjar adalah kota kecil yang sudah cukup maju jika dilihat dari
segala aspek. Baik pemerintahan, pendidikan, kondisi setiap desa,
maupun ekonomi.
2. Kondisi kebahasaan di Kota Banjar ini bilingualisme. Penduduk
menggunakan bahasa Jawa dan Sunda. Hal ini disebabkan oleh
keadaan wilayah ini yang merupakan daerah perbatasan Jawa Barat
dan Jawa Timur. Keduanya saling memengaruhi.
3. Folklor di Kota Banjar ini masih ada namun sudah mulai pudar.
Folklor itu berupa mitos-mitos, kesenian daerah dan permainan anak
yang masih tradisional dan merupakan ciri khas Kota Banjar ini.
4. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini membawa dampak
yang sangat besar bagi kehidupan manusia, baik dari segi pekerjaan,
budaya, kebiasaan, adat-istiadat, dsb. Desa Rejasari misalnya,
kebiasaan dan budaya di masa lalu telah banyak ditinggalkan oleh
generasi saat ini. Generasi saat ini lebih nyaman dengan sarana dan
prasarana yang telah maju. Dapat kita lihat dari cara berpakaian, alat
komunikasi, internet, hingga permainannya sendiri. Permainan anak
yang sangat jelas terlihat, hanya beberapa terlihat jenis permainan
tradisional, mayoritas anak lebih menyukai permainan elektronik
seperti playstation.
5. Saya melihat hal ini dapat mengurangi nilai sosial atau kebersamaan di
wilayah tersebut, sifat egois dari manusia tersebut semakin lama
semakin besar seiring bergulirnya waktu. Kesenian yang saat ini masih
ada di Desa Rejasari tinggal beberapa saja, pemain kesenian tersebut
semakin sedikit. Hanya ada satu sanggar seni di Desa Rejasari, dan di
sanggar seni tersebut lebih berfungsi untuk menyimpan alat-alat
pertunjukan sedangkan untuk latihan hanya dipakai pada saat akan
diadakannya pertunjukan.
6. Peran pemerintah daerah sangat diperlukan untuk tetap menjaga
kesenian agar tidak hilang. Dapat dimulai dari pengadaan festival
kesenian masyarakat yang dapat memicu kembali kesadaran
masyarakat akan pentingnya menjaga kesenian tersebut. Kemudian
mengadakan penyuluhan, hingga membuat anggaran untuk peralatan
kesenian tersebut.
7. Kehidupan masyarakat di desa hanya akan kita dapatkan di desa saja,
kita tidak akan mendapatkan kehidupan tersebut saat di kota, tapi apa
yang akan terjadi saat kehidupan di desa telah terkontaminasi dengan
kehidupan kota yang penuh dengan keegoisan?
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik (Perkenalan
Awal). Jakarta: Rineka Cipta.
KETERANGAN INFORMAN
1. Nama : Samudin
Usia : 55 tahun
Pendidikan : D3 Pertanian
Pekerjaan : Ketua RT
Agama : Islam
2. Nama : Wasiatun
Usia : 45 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
3. Nama : Ade Suherman
Usia : 47 tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Kepala Dusun
Agama : Islam