Post on 02-Mar-2019
i
LAPORAN AKHIR
IPTEKS BAGI MASYARAKAT (IbM)
IbM Seni Kerajinan Tenun Songket Desa Jinengdalem
Oleh :
Luh Joni Erawati Dewi, ST, M.Pd NIDN 0025067602 Ketua Tim Pengusul
Putu Agus Mayuni, S.Pd, M.Si NIDN 0028087103 Anggota Tim Pengusul
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2015
iii
RINGKASAN
Desa Jinengdalem dikenal dengan produksi kain tenun songketnya. Pekerjaan
menenun dikerjakan oleh kaum ibu rumah tangga. Minimnya upah tenun menyebabkan
mereka menenun hanya sebagai selingan saja. Pada saat musim tanam atau panen padi
mereka berhenti menenun dan beralih pekerjaan agar cepat memperoleh upah.
Penenun biasanya mendapat bahan dasar kain songet dari pengepul songket dan kalau
sudah jadi kainnya harus diserahkan kembali ke pengepul. Minimnya upah menenun disadari
pengepul songket. Namun mereka juga tidak bisa menaikkan upahnya karena menyesuaikan
dengan harga jualnya agar bisa bersaing dengan produk kain songket dari daerah Bali
lainnya. Saat ini kain songket dibuat berdasarkan pesanan. Pesanan bisa datang dari lokal
Bali maupun dari Jakarta. Kalau ada kain lebih, kain tersebut dijual ke toko-toko di Singaraja.
Dalam kegiatan ini, pengepul dipilih sebagai mitra. Berdasarkan pengakuan mitra, ada
permasalahan menyangkut produksi dan pemasaran kain songket ini. Pada bidang produksi,
motif kain songket Jinengdalem kurang kaya dibanding dengan kain songket dari daerah Bali
lainnya. Pada bidang pemasaran, pemasaran masih terbatas untuk memenuhi pesanan maupun
untuk pasar lokal di Singaraja.
Solusi atas masalah pertama adalah disepakati memperkaya motif dengan
membangkitkan kembali motif-motif lawas yang memang asli dari daerah Buleleng. Motif
lawas itu sekarang tidak diproduksi dan pengepul/penenun tidak mengetahui keberadaan
motif itu. Motif itu didapat dari kolektor songket kuno. Dengan itu, kain songket yang dibuat
mempunyai keunikan tersendiri sehingga songket yang dihasilkan bisa menjadi barang seni
bukan hanya barang kerajinan saja.
Solusi untuk masalah kedua adalah memperluas wilayah pemasaran dengan bekerja
sama dengan perusahaan di Jakarta. Selain itu, kain songket ini bisa dipasarkan di obyek
wisata di Bali seperti di artshop di pasar seni Ubud maupun di artshop di Tenganan.
Melalui diskusi dan pendampingan, transfer Ipteks yang dilakukan adalah
mewujudkan seni kerajinan tenun songket sehingga songket yang dihasilkan mempunyai
keunikan, keindahan, dan merupakan suatu kebanggaan bagi pemiliknya. Pemasaran
diperluas dengan lebih aktif mendekati konsumen melalui kerjasama dengan perusahaan
maupun artshop di sentra pariwisata di Bali.
Kata kunci : kain songket, penenun, pengepul, motif
iv
PRAKATA
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan segala rahmat dan berkah-Nya kepada penulis, sehingga tersusunlah laporan
kegiatan IbM yang berjudul “IbM Seni Kerajinan Tenun Songket Desa Jinengdalem”.
Penulis sungguh sangat menyadari, bahwa penulisan laporan ini tidak akan terwujud
tanpa adanya dukungan dan bantuan dari perbagai pihak. Maka, dalam kesempatan ini
penulis menghaturkan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat :
1. Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat Undiksha yang telah memberikan
kesempatan melakukan kegiatan IbM sehingga kegiatan ini dapat terlaksana.
2. Ibu Seriponi dan Luh Irmayani atas bantuannya selama kegiatan IbM ini.
3. Teman-teman di jurusan Manajemen Informatika dan PKK FTK Undiksha atas
kerja samanya.
4. Semua pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini.
Akhir kata penulis mohon maaf atas kekeliruan dan kesalahan yang terdapat dalam
laporan ini dan berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Singaraja, 10 Oktober 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL............................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................... ii
RINGKASAN............................................................................................ iii
PRAKATA................................................................................................ iv
DAFTAR ISI............................................................................................. v
BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................ 1
BAB 2. TARGET DAN LUARAN........................................................... 3
BAB 3. METODE PELAKSANAAN....................................................... 4
BAB 4. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI..................................... 6
BAB 5. HASIL YANG DICAPAI............................................................ 7
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA................................... 9
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 10
LAMPIRAN
ARTIKEL.................................................................................................
FOTO-FOTO KEGIATAN.......................................................................
13
13
18
1
BAB 1. PENDAHULUAN
Desa Jinengdalem terletak di kecamatan Buleleng, kabupaten Buleleng. Desa ini
berjarak kurang lebih 8 km dari kampus Universitas Pendidikan Ganesha (UNDIKSHA).
Untuk mencapai desa Jinengdalem bisa menggunakan kendaraan motor atau pun mobil.
Adapun batas-batas wilayah desa Jinengdalem yaitu: sebelah utara berbatasan dengan desa
Penarukan, sebelah timur berbatasan dengan desa Sinabun, sebelah selatan berbatasan dengan
desa Alas Angker dan di sebelah barat berbatasan dengan desa Pengelatan.
Desa ini dikenal sebagai penghasil kain songket sutra. Dinamakan songket karena
dihubungkan dengan proses menyungkit atau menjungkit benang lungsi dalam membuat pola
hias (Kartiwa, 1989). Keindahan kain songket ini tidak disangsikan lagi. Beberapa desainer
terkenal mengambil kain songket Jinengdalem untuk diolah menjadi produk berkualitas.
Kain songket Jinengdalem dibuat oleh penenun-penenun yang berdomisili di desa
Jinengdalem. Penenun tersebut kebanyakan para ibu rumah tangga. Para ibu biasanya
menenun sebagai selingan saat tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan. Mereka menenun
saat tidak sedang musim padi baik menanam padi atau memanen padi. Atau yang harus
bekerja di rumah agar bisa mengasuh anak.
Para penenun biasanya mengambil bahan benang untuk membuat kain songket dari
seseorang yang disebut pengepul songket, sekaligus nanti produk kain songket yang
dihasilkan dijual ke pengepul songket juga. Berdasarkan wawancara dengan penenun
songket, mereka tidak menenun pada saat musim padi baik menanam maupun memanen padi.
Hal ini dikarenakan upah kerja tanam dan panen padi lebih tinggi dibanding upah
menenunnya. Untuk selembar kain songket berukuran 104 x 200 cm diselesaikan dalam
waktu kurang lebih satu bulan dengan upah yang diperoleh sebesar 700.000 rupiah. Jika
dalam satu bulan mereka bekerja rata-rata 25 hari maka upah per harinya adalah 28.000
rupiah. Dibandingkan dengan upah dalam musim padi, per hari mereka bisa mendapat sampai
100.000 rupiah.
Rendahnya upah tenun songket ini juga disadari oleh pengepul songket. Mereka tidak
bisa menaikkan upah tenun tersebut dengan alasan menyesuaikan dengan harga jual. Mereka
tidak bisa menjual dengan harga tinggi karena pemasarannya masih sulit. Para pengepul bisa
membantu para penenun dengan memberikan bahan berupa benang yang sudah siap untuk
ditenun, dengan catatan barang yang sudah jadi harus dijual kembali ke pengepul tersebut.
Berdasarkan wawancara dengan pengepul songket, ibu Ketut Sriponi, pemilik usaha
Poni’s di Jinengdalem, menyatakan produk songket Jinengdalem tidak kalah kualitasnya
2
dengan songket dari daerah Bali lainnya. Bahan benang yang dipakai, pewarnaannya, dan
kerapian tenunannya sama. Namun, Ibu Poni menyadari kekurangan dari songket
Jinengdalem adalah kurang kaya akan motif. Cenderung juga para penenun
menyederhanakan/ mengurangi motif-motif yang sudah ada dari dahulu agar cepat selesai,
sehingga cepat mendapatkan uang.
Usaha poni’s memiliki kurang lebih sepuluh orang penenun. Biasanya ibu poni
menerima pesanan dari warga lokal Bali, baik untuk dipakai sendiri maupun untuk dijual
kembali. Pesanan tersebut diberikan kepada penenun untuk dikerjakan sekaligus dengan
bahan benangnya. Ibu Poni menyadari jika mengandalkan pesanan lokal Bali saja akan sulit
rasanya berkembang. Ibu Poni juga mengikuti pameran-pameran di Jakarta setiap tahunnya.
Harga jual di Jakarta memang lebih tinggi di banding harga jual di Bali. Namun, event
pameran itu biasanya tidak berlangsung lama, dan kadang penjualannya pun tidak stabil,
kadang ramai kadang sepi.
Gambar 1. Motif Patrasari
Pengepul songket lainnya, ibu Wayan Sudari, juga mengalami permasalahan sama.
Pemasaran produk kain songketnya juga terbatas pada tingkat lokal Bali saja. Jika dalam
seminggu tidak ada konsumen datang yang membeli produknya maka produknya akan dijual
3
ke toko-toko di Singaraja. Tentunya harga jual ke toko lebih rendah karena toko akan
menjual kembali barang tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang dihadapi pengepul
selaku mitra dalam proposal ini adalah motif yang kurang variatif dan wilayah pemasaran
yang masih terbatas di pasar lokal. Setelah diskusi dengan mitra, muncul ide untuk
mencari solusi permasalahan yaitu memperkaya motif tenun songket Jinengdalem dan
mencari partner usaha yang bersedia memasarkan hasil tenun songket Jinengdalem.
BAB 2. TARGET DAN LUARAN
Target dari pengabdian ini adalah usaha tenun sri poni dan usaha tenun wayan sudari.
Kedua usaha ini menjadi mitra dalam pengabdian ini. Luaran pengabdian berupa
diproduksinya kain tenun songket dengan motif-motif yang lebih variatif. Luaran berupa kain
tenun songket produk desa Jinengdalem dengan lima motif yang belum diproduksi saat ini.
Motif tersebut adalah motif naga, motif pot, wayang, bade, kembang taman.
Gambar 2. Motif Naga
4
Gambar 3. Motif Pot
BAB 3. METODE PELAKSANAAN
Untuk permasalahan motif yang kurang beragam, pengusul bekerjasama dengan mitra
untuk membangkitkan kembali motif-motif songket yang sudah lawas, yang memang berasal
dari Buleleng. Tujuannya adalah agar songket produksi daerah Buleleng memiliki keunikan
dan ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan produk songket dari daerah lainnya.
Kain songket produk Jinengdalem tidak hanya sebagai barang kerajinan songket tetapi
sebagai wujud seni kerajinan yang patut diapresiasi dan dijaga keberlangsungannya.
Dahulu Buleleng terkenal akan produk songketnya. Desa penghasil songketnya adalah
desa Beratan, kecamatan Buleleng, kabupaten Buleleng. Desa Beratan kurang lebih berjarak
sepuluh km dari desa Jinengdalem. Akan tetapi, sekarang sudah tidak ada lagi penenun di
desa Beratan. Pengusul sudah menelusuri produk-produk songket Beratan melalui penelitian
dengan snowball sampling sehingga didapatkan kurang lebih sepuluh motif songket Buleleng
yang sudah tidak diproduksi lagi di Buleleng (disebut motif lawas). Pengusul mendapat
dokumentasi foto songket dari toko antik di Tenganan dan dari sebuah puri (kerajaan) di
Denpasar. Mereka menyimpan songket produk Buleleng dengan baik, meskipun beberapa
sudah robek dimakan jaman. Tim pengusul memberikan foto-foto tersebut kepada mitra.
Dengan kerja sama tim pengusul dan mitra, beberapa dari motif lawas ini akan dikerjakan
kembali. Harapannya dengan munculnya motif-motif lawas yang memang asalnya dari
Buleleng akan memperkaya khazanah motif songket Jinengdalem.
5
Untuk permasalahan pemasaran, pengusul sudah mempresentasikan contoh produk
mitra berupa songket Jinengdalem ke sebuah perusahaan yaitu PT. Kawan Lama Sejahtera di
Jakarta. Pengusul juga menyampaikan motif lawas songket Buleleng dan keistimewaannya
dalam bentuk foto. Pihak perusahaan sangat tertarik dengan songket produk desa
Jinengdalem, kecamatan Buleleng, kabupaten Buleleng. Akhirnya muncul kesepakatan,
perusahaan akan bersedia untuk menampung produk songket Jinengdalem maupun
memasarkannya. Perusahaan akan membeli produk songket yang dihasilkan dengan harga
yang sesuai dengan tingkat kerumitan pekerjaannya. Selain itu, produk kain songket desa
Jinengdalem juga bisa dipasarkan di beberapa pasar seni (art shop) di Bali. Pengusul sudah
melakukan survey di beberapa artshop di Ubud, artshop di Tenganan, belum ada yang
menjual kain songket produk desa Jinengdalem.
Fokus Permasalahan Solusi
Motif kurang bervariasi, kurang kaya motif Implementasi motif lawas songket Buleleng.
Motif diperoleh dari kolektor songket, dan
artshop. Pengusul bisa memfoto songket
lawas tersebut.
Manajemen usaha - Pemasaran ke PT. Kawan Lama Sejahtera
- Konsinyasi dengan artshop di pasar seni
Ubud, Gianyar, Bali
- Konsinyasi dengan artshop di desa
Tenganan Pagringsingan, Karangasem,
Bali
Dalam pengabdian ini tim pengusul akan melakukan diskusi, pendampingan terhadap
mitra dalam mengimplementasikan motif lawas tersebut. Pengabdian ini akan dilaksanakan
dalam waktu delapan bulan. Selama 8 bulan ini akan diproduksi kain tenun songket dengan
lima motif lawas. Produk kain yang dihasilkan dalam bentuk kemben(sarung) dengan ukuran
102 x 200 cm. Motif lawas yang diimplementasikan yaitu motif bade, motif wayang, motif
pot, motif kembang taman, dan motif naga. Alokasi waktu untuk pengimplementasian
masing-masing motif ini kurang lebih dua bulan. Motif lawas ini mempunyai kerumitan
tersendiri dan sangat berbeda dengan motif-motif songket yang beredar sekarang.
6
Tim pengusul akan melakukan pendampingan terhadap mitra selama proses
pencelupan benang untuk memperoleh warna benang yang diinginkan. Mitra berperan dalam
kegiatan mencelup benang. Proses memotif harus dikerjakan mitra dengan sangat hati-hati
agar tidak terjadi kesalahan dalam menghitung benangnya. Hal ini bisa dilakukan berulang
kali sampai terbentuk motif yang diinginkan. Selama proses pembuatan motif ini pengusul
melakukan pendampingan. Selesai membuat motif, proses menenun akan dimulai. Proses
menenun dilakukan selama kurang lebih satu bulan untuk membuat selembar kain songket.
Selanjutnya, mitra bisa memasarkan songket yang dibuat tersebut melalui perusahaan PT.
Kawan Lama Sejahtera, artshop di Ubud dan di Tenganan.
BAB 4. KELAYAKAN PERGURUAN TINGGI
Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha)
memiliki motivasi kuat dalam memberikan kontribusi positif bagi masyarakat melalui
berbagai pusat layanan yang dimilikinya, antara lain Pusat Layanan Pendidikan Sekolah dan
Masyarakat, Pusat Layanan Penerapan IPTEK dan Dampak Lingkungan, Pusat Layanan
KKN dan KKL, dan Pusat Layanan Kewirausahaan dan Konsultasi Bisnis. Jumlah kegiatan
P2M dosen UNDIKSHA dalam kurun waktu 3 tahun terakhir meliputi 230 judul yang didanai
oleh PT sendiri, 15 dari Kemendiknas/Kementrian terkait, dan 8 judul dibiayai institusi dalam
negeri di luar Kemendiknas. Jumlah dosen yang terlibat PKM dalam kurun waktu 3 tahun
terakhir 700 orang dari PT sendiri, 49 dari Kemendiknas, dan 24 dari institusi dalam negeri di
luar Kemendiknas.
Dalam program penerapan IPTEKS bagi masyarakat ini diperlukan kepakaran yang
mengetahui tentang berbagai persoalan dan kebutuhan yang dihadapi mitra. Berdasarkan
analisis situasi yang ada, maka permasalahan mitra pengrajin songket di desa Jinengdalem
adalah kurang bervariasinya motif kain songket Jinengdalem kecamatan Buleleng.
Manajemen usaha pemasaran kain songket Jinengdalem juga perlu dibenahi dengan bekerja
sama dengan perusahaan yang mengapresiasi dan siap memasarkan produk songket
Jinengdalem.
Tim pengusul kegiatan sangat tertarik dengan budaya Bali dan kegiatan ini sebagai
wujud kepedulian tim akan keberlangsungan seni budaya Bali. Anggota tim juga mempunyai
pemahaman di bidang tata busana yang sangat erat kaitannya dengan kain songket.
7
BAB 5. HASIL YANG DICAPAI
Selama tiga bulan, sesuai dengan fokus permasalahan pertama yaitu motif kurang
bervariasi maka sudah dilaksanakan proses pendampingan terhadap mitra. Adapun proses
pendampingan dilakukan selama kegiatan pemilihan warna dan kombinasi warna, pembuatan
motif pot, pembuatan motif wayang, pembuatan motif naga, motif bade, motif kembang
taman. Proses memotif motif-motif ini agak sulit dilakukan mengingat motif-motif ini belum
pernah dibuat sebelumnya. Setelah memotif dilakukan proses menenun. Tidak semua
penenun bersedia menenun motif-motif yang diberikan. Alasannya motifnya rumit, sulit
kombinasi warnanya, berat tarikannya. Sehingga motif-motif ini hanya penenun tertentu saja
yang membuatnya untuk menjamin kerapian tenunan, keindahannya. Hasil tenunan masing-
masing penenun bervariasi tergantung dari keterampilan si penenun. Berikut adalah gambar
kain songket yang sudah dihasilkan.
Motif Pot
9
Motif Bade
Motif Kembang Taman
Fokus masalah kedua, yaitu, manajemen usaha. Untuk kegiatan IbM ini sudah
dilakukan perluasan wilayah pemasaran produk. Sampai saat ini baru beberapa lembar kain
yang dihasilkan mengingat proses menenun selembar kain memakan waktu sampai satu
10
bulan. Untuk membantu pemasaran produk kain songket ini sudah dilaksanakan kerjasana
dengan art shop di pasar Ubud. Pemilik art shop adalah Ni Kadek Murtini yang tinggal di Br.
Kutuh Kaja, Petulu, Ubud. Produk kain songket sudah dipajang di art shop Pasar Ubud.
Pemajangan Kain
Pemajangan Kain
11
Selain itu, beberapa produk kain songket sudah dipasarkan di Jakarta. Prosuk songket
desa Jinengdalem Singaraja, Buleleng, juga dibeli oleh PT. Kawan Lama Sejahtera.
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Sesuai dengan proposal, tahapan berikutnya adalah melanjutkan proses menenun.
Untuk sekali memotif, bisa dihasilkan empat lembar kain songket. Untuk produk kain
songket berikutnya akan dipasarkan di art shop di desa Tenganan Pegringsingan,
Karangasem.
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari tulisan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
a. Terkait dengan permasalahan kurang bervariasinya motif kain songket produk desa
Jinengdalem Buleleng, telah dilakukan kegiatan pelatihan dan pendampingan dalam
proses pencelupan dan pembuatan kombinasi warna yang dilanjutkan dengan
pendampingan dalam membuat motif. Motif-motif yang dibuat adalah motif pot,
motif wayang, motif naga, motif bade, dan motif kembang taman. Ke lima motif ini
sudah berhasil dibuat.
b. Terkait dengan permasalahan manajemen usaha, dilakukan perluasan wilayah
pemasaran. Pemasaran kain sebelumnya mayoritas di pasarkan di pasar lokal
Singaraja, Buleleng. Sekarang produk kain songket ini juga dipasarkan di art shop di
Ubud maupun di art shop di desa Tenganan Pegringsingan.
Saran yang bisa diberikan terhadap kegiatan ini adalah diperlukan kerja sama dari
berbagai pihak untuk menjaga keberadaan tenun songket Jinengdalem Singaraja ini.
Pemerintah sudah sering mengadakan event-event pameran di daerah lokal Singaraja.
Akan tetapi, belum dievaluasi seberapa banyak pameran tersebut bisa mendongkrak
keberadaan songket. Apakah dengan diadakannya pameran bisa menjamin lebih
banyak kain songket terjual sehingga penenun bertambah semangat kerjanya. Hal lain
yang bisa dilakukan Pemerintah yaitu membantu keberadaan penenun untuk tetap
menjaga kualitas karyanya dengan mendirikan koperasi penenun yang mencakup
simpan pinjam, penjualan bahan baku benang dan sekaligus juga memasarkan produk
kain yang dihasilkan.
12
Partisipasi pihak swasta juga diperlukan untuk menjaga keberlangsungan songket
Jinengdalem ini, seperti halnya yang dilakukan oleh Cita Tenun Indonesia (CTI).
Selain itu, perlu ditumbuhkan kesadaran akan kebanggaan produk lokal bangsa
sendiri, sehingga nantinya tumbuh keinginan untuk memiliki dan mencintai kain
songket Jinengdalem Singaraja.
DAFTAR PUSTAKA
Kartiwa, S. 1989. Kain Songket Indonesia. Jakarta: Djambatan.
14
Artikel
Revitalisasi Motif Untuk Meningkatkan Daya Saing Kain Tenun Songket Buleleng
Luh Joni Erawati Dewi, Putu Agus Mayuni
Jurusan Manajemen Informatika FTK Undiksha
Singaraja Bali
Email : luhdewi@yahoo.com
ABSTRAK
Kain songket merupakan salah satu produk kerajinan di Bali. Terdapat beberapa
sentra kerajinan tenun songket di Bali di antaranya di desa Sidemen, di Karangasem, desa
Gelgel di Klungkung, desa Jinengdalem di Buleleng, dan di Kabupaten Negara. Songket Bali
mempunyai berbagai ragam hias/motif yang sangat unik dan indah. Fokus kegiatan ini
menyasar pada para penenun songket di desa Jinengdalem Singaraja. Permasalahan yang
ditemui adalah kurang bervariasinya motif songket dan kesulitan dalam memasarkan kain
songket. Tujuan dari kegiatan IbM ini adalah membantu menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi oleh penenun songket di Singaraja. Metode yang dilakukan dengan melakukan
kegiatan pelatihan dan pendampingan dalam proses pewarnaan benang, dan pendampingan
dalam membuat motif yaitu motif pot, wayang, naga, bade, kembang taman. Permasalahan
dalam kesulitan memasarkan kain songket dibantu dengan melakukan kerjasama dengan art
shop di objek tujuan wisata di Bali seperti Ubud dan Tenganan Pegringsingan.
Kata kunci: motif, penenun, songket.
1. PENDAHULUAN
Bali banyak memiliki objek-objek wisata yang sudah dikenal di dunia seperti wisata
alam, wisata budaya, kuliner. Bali juga menghasilkan produk-produk seni yang bernilai tinggi
seperti seni lukis, seni patung, seni gambelan, seni kerajinan dan lain-lainnya. Bali juga
dikenal dengan kerajinan songketnya. Pusat kerajinan songket di Bali ada di Kabupaten
Klungkung, Karangasem, Buleleng dan Negara. Masing-masing daerah mempunyai ragam
hias/motif yang unik dalam produk kain songketnya.
Di daerah Kabupaten Buleleng (Bali Utara) terdapat sebuah desa yang penduduknya
masih banyak yang bekerja sebagai penenun. Desa tersebut bernama desa Jinengdalem.
Kebanyakan penenun tersebut adalah ibu rumah tangga. Menenun adalah pekerjaan
sampingan mereka, dikerjakan saat tidak ada pekerjaan bertani karena hasil menenun masih
kalah dibanding pekerjaan bertani.
15
Saat ini, harga selembar kain songket produk Jinengdalem ukuran 100 x 200cm berkisar
antara 2-3 juta. Untuk membuat kain ini diperlukan waktu +/- 1 bulan. Ongkos/upah
menenunnya antara 600-700 ribu rupiah. Upah ini lebih rendah dibandingkan bekerja sebagai
buruh tanam padi atau panen padi yang berkisar 100 ribu rupiah/hari saat musim padi.
Rendahnya ongkos menenun membuat semakin sedikit orang yang mengambil pekerjaan
ini. Saat ini, penenunnya adalah para ibu rumah tangga. Generasi muda lebih memilih untuk
mengambil pekerjaan lain. Menenun dianggap pekerjaan yang sedikit upahnya dan
pekerjaannya rumit. Kondisi ini jika dibiarkan berlanjut, lama kelamaan jumlah penenun
berkurang terus sehinggga kerajinan songket di Buleleng akan bisa hilang.
Pasar songket saat ini berkisar di Bali, maupun di Jakarta. Di Bali kain songket sering
dikenakan pada saat ada upacara keagamaan ataupun pada acara-acara penting karena
songket masih dianggap istimewa. Songket Jinengdalem juga dipasarkan di wilayah Bali dan
Jakarta. Harga kain songket Jinengdalem masih relatif lebih mahal dari songket asal Bali
lainnya. Selain dari harga, songket Buleleng masih kalah dari segi motif. Seperti yang
diungkapkan seorang pengepul songket dari desa Jinengdalem. Motif songket Buleleng
dirasakan kurang variatif dan beberapa motif songket yang dibuat sekarang adalah bagian
dari motif songket lawas. Penenun tidak mau membuat karena motif lawas lebih rumit
sehingga waktu tenunnya lebih lama. Penenun ingin bisa menyelesaikan kain tenunnya lebih
cepat sehingga lebih cepat dapat uangnya.
Dari paparan di atas, fokus permasalahan yang diangkat dalam kegiatan ini adalah
bagaimana caranya agar kerajinan songket di Buleleng bisa berlanjut dan mampu bersaing
dengan kain songket lainnya baik di Bali maupun nasional. Meningkatkan daya saing songket
ini bisa dilakukan dengan memperkaya motif songket Buleleng. Selain itu, diperlukan untuk
memperluas wilayah pemasaran baik di pasar Bali maupun Nasional.
BAB 2. TARGET DAN LUARAN
Target dari pengabdian ini adalah usaha tenun sri poni dan usaha tenun wayan sudari.
Kedua usaha ini menjadi mitra dalam pengabdian ini. Luaran pengabdian berupa
diproduksinya kain tenun songket dengan motif-motif yang lebih variatif. Luaran berupa kain
tenun songket produk desa Jinengdalem dengan lima motif yang belum diproduksi saat ini.
Motif tersebut adalah motif naga, motif pot, wayang, bade, kembang taman.
BAB 3. METODE PELAKSANAAN
16
Untuk permasalahan motif yang kurang beragam, pengusul bekerjasama dengan mitra
untuk membangkitkan kembali motif-motif songket yang sudah lawas, yang memang berasal
dari Buleleng. Tujuannya adalah agar songket produksi daerah Buleleng memiliki keunikan
dan ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan produk songket dari daerah lainnya.
Kain songket produk Jinengdalem tidak hanya sebagai barang kerajinan songket tetapi
sebagai wujud seni kerajinan yang patut diapresiasi dan dijaga keberlangsungannya.
Dalam pengabdian ini tim pengusul akan melakukan diskusi, pendampingan terhadap
mitra dalam mengimplementasikan motif lawas tersebut. Pengabdian ini akan dilaksanakan
dalam waktu delapan bulan. Selama 8 bulan ini akan diproduksi kain tenun songket dengan
lima motif lawas. Produk kain yang dihasilkan dalam bentuk kemben(sarung) dengan ukuran
102 x 200 cm. Motif lawas yang diimplementasikan yaitu motif bade, motif wayang, motif
pot, motif kembang taman, dan motif naga. Alokasi waktu untuk pengimplementasian
masing-masing motif ini kurang lebih dua bulan. Motif lawas ini mempunyai kerumitan
tersendiri dan sangat berbeda dengan motif-motif songket yang beredar sekarang.
Tim pengusul akan melakukan pendampingan terhadap mitra selama proses
pencelupan benang untuk memperoleh warna benang yang diinginkan. Mitra berperan dalam
kegiatan mencelup benang. Proses memotif harus dikerjakan mitra dengan sangat hati-hati
agar tidak terjadi kesalahan dalam menghitung benangnya. Hal ini bisa dilakukan berulang
kali sampai terbentuk motif yang diinginkan. Selama proses pembuatan motif ini pengusul
melakukan pendampingan. Selesai membuat motif, proses menenun akan dimulai. Proses
menenun dilakukan selama kurang lebih satu bulan untuk membuat selembar kain songket.
Selanjutnya, mitra bisa memasarkan songket yang dibuat tersebut melalui perusahaan PT.
Kawan Lama Sejahtera, artshop di Ubud dan di Tenganan.
BAB 4. HASIL YANG DICAPAI
Selama tiga bulan, sesuai dengan fokus permasalahan pertama yaitu motif kurang
bervariasi maka sudah dilaksanakan proses pendampingan terhadap mitra. Adapun proses
pendampingan dilakukan selama kegiatan pemilihan warna dan kombinasi warna, pembuatan
motif pot, pembuatan motif wayang, pembuatan motif naga, motif bade, motif kembang
taman. Proses memotif motif-motif ini agak sulit dilakukan mengingat motif-motif ini belum
pernah dibuat sebelumnya. Setelah memotif dilakukan proses menenun. Tidak semua
penenun bersedia menenun motif-motif yang diberikan. Alasannya motifnya rumit, sulit
kombinasi warnanya, berat tarikannya. Sehingga motif-motif ini hanya penenun tertentu saja
17
yang membuatnya untuk menjamin kerapian tenunan, keindahannya. Hasil tenunan masing-
masing penenun bervariasi tergantung dari keterampilan si penenun.
Fokus masalah kedua, yaitu, manajemen usaha. Untuk kegiatan IbM ini sudah
dilakukan perluasan wilayah pemasaran produk. Sampai saat ini baru beberapa lembar kain
yang dihasilkan mengingat proses menenun selembar kain memakan waktu sampai satu
bulan. Untuk membantu pemasaran produk kain songket ini sudah dilaksanakan kerjasana
dengan art shop di pasar Ubud. Pemilik art shop adalah Ni Kadek Murtini yang tinggal di Br.
Kutuh Kaja, Petulu, Ubud. Produk kain songket sudah dipajang di art shop Pasar Ubud.
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari tulisan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
a. Terkait dengan permasalahan kurang bervariasinya motif kain songket produk desa
Jinengdalem Buleleng, telah dilakukan kegiatan pelatihan dan pendampingan dalam
proses pencelupan dan pembuatan kombinasi warna yang dilanjutkan dengan
pendampingan dalam membuat motif. Motif-motif yang dibuat adalah motif pot,
motif wayang, motif naga, motif bade, dan motif kembang taman. Ke lima motif ini
sudah berhasil dibuat.
b. Terkait dengan permasalahan manajemen usaha, dilakukan perluasan wilayah
pemasaran. Pemasaran kain sebelumnya mayoritas di pasarkan di pasar lokal
Singaraja, Buleleng. Sekarang produk kain songket ini juga dipasarkan di art shop di
Ubud maupun di art shop di desa Tenganan Pegringsingan.
Saran yang bisa diberikan terhadap kegiatan ini adalah sebagai berikut.
1. Diperlukan kerja sama dari berbagai pihak untuk menjaga keberadaan tenun songket
Jinengdalem Singaraja ini. Pemerintah sudah sering mengadakan event-event pameran
di daerah lokal Singaraja. Akan tetapi, belum dievaluasi seberapa banyak pameran
tersebut bisa mendongkrak keberadaan songket. Apakah dengan diadakannya
pameran bisa menjamin lebih banyak kain songket terjual sehingga penenun
bertambah semangat kerjanya. Hal lain yang bisa dilakukan Pemerintah yaitu
membantu keberadaan penenun untuk tetap menjaga kualitas karyanya dengan
mendirikan koperasi penenun yang mencakup simpan pinjam, penjualan bahan baku
benang dan sekaligus juga memasarkan produk kain yang dihasilkan.
18
2. Partisipasi pihak swasta juga diperlukan untuk menjaga keberlangsungan songket
Jinengdalem ini, seperti halnya yang dilakukan oleh Cita Tenun Indonesia (CTI).
3. Selain itu, perlu ditumbuhkan kesadaran akan kebanggaan produk lokal bangsa
sendiri, sehingga nantinya tumbuh keinginan untuk memiliki dan mencintai kain
songket Jinengdalem Singaraja.