Post on 11-Jan-2016
description
Laporan Kasus
MORBUS HANSEN TIPE MULTIBASILER DENGAN REAKSI TIPE 1
Disusun oleh :
PANJI ANUGERAH1407101030223
LATIFA DARA MEUTUAH1407101030236
Pembimbing :
Vella
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
2015KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Shalawat beserta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman islamiyah, juga kepada sahabat dan
keluarga beliau.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada pembimbing kami yaitu dr. Vella, Sp.KK dan para dokter di bagian/ SMF
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin yang telah memberikan arahan serta
bimbingan hingga terselesaikannya laporan kasus ini.
Dengan kerendahan hati, kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Kami tetap terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun
dari pembimbing dan teman-teman agar tercapai hasil yang lebih baik kelak.
Banda Aceh, Agustus 2015
Penulis
PENDAHULUAN
Kusta atau juga dikenal dengan Hansen’s disease adalah suatu penyakit
kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, sebuah mikroorganisme
yang menyerang kulit dan saraf tepi. Penyakit kusta masih merupakan masalah
kesehatan di Indonesia, bukan hanya masalah dari segi medis tetapi meluas
sampai ke masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan, dan ketahanan nasional.
Penyakit kusta telah dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini diketahui dari
peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM, di Tiongkok 600 SM.
Penyakit kusta masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga maupun petugas
kesehatan sendiri. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya pemahaman dan
kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta dan kecacatan yang
ditimbulkannya. (Bhat RM, Prakash C, Leprosy: An Overview of
Phatophysiology. Hindawi Publishing Corporation. 2012) (Kementerian
Kesehatan RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. 2012)
Mycobacterium leprae ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen di
Norwegia pada tahun 1873. M. Leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas
yang besar pada sel saraf (Schwann cell) dan sel dari sistem retikulo endothelial.
Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia ( dalam
kondisi tropis) kuman kusta dari sekeret nasal dapat bertahan sampai 9 hari.
Pertumbuhan in vivo kuman kusta pada tikus pada suhu 27o-30o C. Masa inkubasi
kuman kusta rata-rata 2-5 tahun, akan tetapi juga dapat bertahun-tahun. Penularan
terjadi dengan cara kontak yang lama dengan pasien. Pasien yang sudah minum
obat MDT (multi drug treatment) tidak menjadi sumber penularan kepada orang
lain.
Menurut WHO pada awal tahun 2012 di laporkan jumlah kasus baru kusta
di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075. Dari jumlah tersebut paling
banyak terdapat di regional Asia Tenggara yaitu sebanyak 160.132 kemudian
diikuti regional Amerika sebanyak 36.832, regional Afrika sebanyak 12.673, dan
sisanya berada di regional lain di Dunia. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman
Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. 2012)
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Penyakit Kusta atau dikenal juga dengan nama Lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit granulomatosa kronik yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae. Bakteri ini dapat menyerang saraf perifer, kulit, mukosa
saluran napas bagian atas, serta jaringan tubuh lainnya, kecuali sistem saraf pusat.
Umumnya penularan kusta melalui kontak langsung yang lama dan secara inhalasi
oleh droplet penderita.
2. Epidemiologi
Bedasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO)
pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah pasien kusta yang teregistrasi sebanyak
224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak dari
benua asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663. Dan dari data
didapatkan india merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta
terbanyak dengan jumlah 82.901 penderita. Sementara indonesia pada tahun 2006
tercatat memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175 (WHO)
WHO pada awal tahun 2012 di laporkan jumlah kasus baru kusta di dunia
pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075. Dari jumlah tersebut paling banyak
terdapat di regional Asia Tenggara yaitu sebanyak 160.132 kemudian diikuti
regional Amerika sebanyak 36.832, regional Afrika sebanyak 12.673, dan sisanya
berada di regional lain di Dunia
3. Etiologi
Penyakit kusta baik dihewan maupun dimanusia di sebabkan oleh bakteri
yang sama, yaitu Mycobacterium leprae. Dimana bakteri ini bersifat tahan asam,
berbentuk batang, tidak bergerak dan berspora, serta merupakan bakteri Gram
positif. Dan umumya berkonsentrasi didaerah tubuh yang bersuhu lebih dingin.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab,
cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang
berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, umur, dan kemungkinan
adanya reservoir diluar manusia
4. Patogenesis Kusta
Masuknya M. Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua.
Signal pertama tergantung pada TCR (T cell receptor ) terkait antigen yang
dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua
adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul APC yang
berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan
mengaktivasi T0 sehingga T0 akan berdifferensiasi menjadi Th1 (T Helper 1) dan
Th2 (T Helper 2). Dengan adanya TNF α dan IL 12 (Interleukin 12) akan
membantu differensiasi T0 menjadi Th.
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan
fagositosis makrofag (fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae
akan berikatan reseptor pada permukaannya lalu akan difagositosis) B. Selain itu,
IL2 juga akan mengaktifkan CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan
melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida secara
kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin akan terus dihasilkan dan
akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama
kelamaan sitoplasma dan organela dari makrofag akan membesar, sel magrofak
yang membesar disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan
membentuk granuloma.
Th2 akan menghasilkan IL4, IL10, IL5, IL13. IL5 yang akan mengaktifasi
dari eosinofil. IL4 dan IL10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL4 akan
mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL4 , IL10, dan IL 13 akan
mengaktifasi sel mast. Pada Tuberkoloid Leprosy, akan terlihat bahwa Th 1 akan
lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2
akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.
5. Patogenesis Kerusakan Saraf Pada Pasien Kusta
M.Leprae memiliki bagian yang akan berikatan dengan sel schwaan melalui
reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu
mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2
akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya
fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan
makrofag akan merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan
sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin akan merusak saraf, dan saraf yang
rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf
tepi.
6. Patogenesis Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta
yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit
kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe
II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi
hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I
sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit
T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil
dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana
terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan
biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi
pergeseran ke arah lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan
biasanya terjadi pada awal terapi
Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoral tepatnya
hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum
lepromatous. Reaksi ini sering terjadi ada pasien LL. M. Leprae akan berinteraksi
dengan antibodi membentuk kompleks imun dan mengendap pada pembuluh
darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan merangsang netrofil
untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel dijaringan
sekitarnya.
7. Gejala KlinisKeluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal
ini dapat berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan,
kelemahan otot-otot dan kulit kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar
keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa kelainan pada saraf tepi, kulit,
rambut, otot, tulang, dan mata.
8. Klasifikasi Kusta
Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:
A. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian
tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi
dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran
psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya
teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan
tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
B. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat
yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa,
tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe
TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi
satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
C. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk
dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula
infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri
khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian
tengah oval dan berbatas jelas.
D. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat
menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas
dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya
melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan
infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda
kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
E. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan
anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai
dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan
yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada
stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal,
facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran
kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan
saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada
stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau
fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
Klasifikasi kusta menurut WHO
Sifat Kusta Pausibasiler (PB) Kusta Multibasilar (MB)
Lesi KulitMakula datar, papul yang meninggi, nodus
1-5 lesiHipopigmentasi/eritemaDistribusi tidak simetrisHilangnya sensasi yang jelas
>5 lesiDistribusi lebih simetrisHilangnya sensasi kurang jelas
Kerusakan sarafMenyebabkan hilangnya sessasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena
Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
9. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Bakterioskopis
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL
NEELSON. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan
paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang
diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal
4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain yang
paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan
cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh
karena pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+
menurut Ridley. 0 bila
tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP 16
6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan
jumlah solid dan non solid. Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman
tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan
100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000lapangan, mulai I.B 3+
maksimum harus dicari 100 lapangan.
B. Pemeriksaan Histopatologis
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid
adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal
( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak
basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut. Sel virchow
adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak dan
sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
C. Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis
serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan
serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi
oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae
Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.
d. Pemeriksaan Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis
lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem
imun penderita terhadap M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak
basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari
( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu ( 17 reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez
positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita
bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux
test ( PPD) pada tuberkolosis. Reaksi Mitsuda bernilai :
0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm
+ 2Papul berdiameter 7 – 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi
X. Penatalaksanaan Kusta
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk
menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita,
mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg
dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu
mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan
antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah
penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari
dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit
kepala, dan vertigo.
Lamprene atauClofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan
reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor
dari NA/K ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi
berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut
dihentikan, diare, nyeri lambung.
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja
dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri
dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan
nefrotoksik. Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta.
Regimen obat kusta
Pedoman dosis MDT Tipe PB
Jenis Obat <5 tahun 5-9 tahun 10-15 ahun >15 tahun
Rifampisin Berdasarkan
berat badan
300mg/
bulan
450mg/bulan 600mg/bulan
DDS 25mg/bulan 50mg/bulan 100mg/bulan
25mg/hari 50mg/hari 100mg/hari
Pedoman dosis MDT Tipe MB
Jenis
Obat
<5 tahun 5-9 tahun 10-15 tahun >15 tahun
Rifampis
in
Berdasar
kan
berat
badan
300mg/bulan 450mg/bulan 600mg/bulan
Dapson 25mg/bulan 50mg/bulan 100mg/bulan
25mg/bulan 50mg/bulan 100mg/bulan
Lampren 100mg/bulan 150mg/bulan 300mg/bulan
50mg 2x
seminggu
50mg setiap
2 hari
50 mg per
hari
XI. Diagnosis banding
1. Reaksi kusta reversal ( reaksi kusta tipe 1 )
2. Kusta relaps
3. Psoriasis
4. Tinea Circinata
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A.I
Jenis kelamin : Laki-laki
No.RM : 0-79-94-32
Umur : 78 Tahun
Alamat : Alue Naga
Pekerjaan : Peternak Unggas
Suku : Padang
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 19 Agustus 2015
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Bengkak kemerahan pada wajah
Keluhan Tambahan
Nyeri pada bagian wajah sebelah kiri, siku, dan leher
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang untuk kontrol ulang dengan diagnosa kusta 1 bulan yang lalu. Pasien
mengeluhkan bengkak pada wajah sebelah kiri setelah menggunakan salep untuk
penyakit kustanya. Pasien juga mengeluhkan nyeri dan berkurangnya rasa raba pada
wajah yang bengkak tersebut. Selain pada wajah, terdapat benjolan kemerahan pada leher
dan siku yang disertai nyeri. Pasien didiagnosa menderita penyakit lepra pada 5 Agustus
2015, awalnya bengkak hanya pada kening dan perlahan-lahan menyebar kebagian wajah
lainnya, pada saat itu pasien tidak memperdulikan kelainan yang dialaminya hingga
bengkak pada wajahnya mulai menggangu bagian mata. Pasien mengeluhkan kelopak
matanya terasa bengkak, kemudian pasien berobat ke poli mata RSUDZA pada tanggal 5
agustus dan langsung dikonsulkan ke poli kesehatan kulit kelamin untuk kelainan
tersebut. Kemudian pasien menerima obat berupa tablet minum dan salep untuk kulitnya.
Sejak pemakaian salep tersebut pasien mengeluhkan nyeri pada wajah yang bengkak.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya
Pasien menderita DM 3 tahun yang lalu, namun saat ini sudah terkontrol
Riwayat Alergi
Pasien mengatakan bahwa ia alergi ikan tongkol.
Riwayat Pemakaian Obat
Tidak Ada
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien.
Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien tinggal disekitar daerah konsentrasi penyakit kusta di Alue Naga. Tempat
tinggal pasien berjarak sekitar 800 meter dari daerah konsentrasi tersebut. Pasien juga
mengatakan bahwa ia sering berinteraksi dengan masyarakat disana.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Dermatologis (Pemeriksaan tanggal 19 Agustus 2015)
Regio : Nasalis, zigomaticus sinistra, colli, antebrachii sinistra,
brachii sinistra
Deskripsi Lesi :
Tampak plak eritematous, ,berbatas tegas, garis tepi regular, bentuk bulat, ukuran
hingga numular, jumlah multipel, distribusi generalisata.
Gambar 1. Lesi plak eritematous berbatas tegas pada regio facialis
Gambar 2. Lesi plak eritematous pada regio antebrachii proksimal dextra
Gambar 3. Lesi nodul eritematous pada regio antebrachii proksimal sinistra
Gambar 4. Lesi plak eritematous pada regio colli
Gambar 5. Pembesaran N. Auricularis dextra
DIAGNOSIS BANDING
1. Morbus Hansen tipe multibasiler
2. Reaksi kusta reversal ( reaksi kusta tipe 1 )
3. Tinea versicolor
4. Psoriasis Rosea
5. Dermatitis Seboroik
RESUME
Telah diperiksa pasien laki-laki berusia 78 tahun di poli Kesehatan Kulit
Kelamin dengan keluhan bengkak pada wajah disertai nyeri dan mati rasa
setelah menggunakan salep untuk penyakit kusta. Pada pasien juga ditemukan
benjolan kemerahan pada leher dan siku yang juga disertai nyeri. Pada
pemeriksaan fisik kulit di regio Nasalis, zigomaticus sinistra, colli, antebrachii
sinistra dan brachii sinistra tampak plak eritematous, berbatas tegas, garis tepi
regular, bentuk bulat, ukuran gutata hingga numular, jumlah multipel,
distribusi generalisata. Dari pemeriksaan fungsi saraf perifer pada N.
Auricularis magnus didapatkan adanya pembesaran N. Auricularis magnus
dextra. Dari pemeriksaan rasa raba pada bagian hidung dan wajah sebelah kiri
didapatkan sensasi raba yang berkurang. Selain pada bagian hidung dan wajah
sebelah kiri , pasien dapat mengidentifikasi rasa raba, rasa nyeri dan dapat
merasakan panas dan dingin pada daerah lesinya.
DIAGNOSIS KLINIK
Morbus Hansen tipe MB dengan reaksi tipe 1
TATALAKSANA
Farmakologi
1. Sistemik
Metilprednisolon 8 mg 3x1 tablet/hari
Paracetamol 3x1 tablet/hari
Ranitidin 2x1 tablet/hari
Cetirizin 10 mg 1x1 tablet/hari
Dapson 1x1 tablet/hari
2. Topikal
Tiamfenikol 2% + deksoximethason oint (pagi dan sore)
Nonfarmakologi (Edukasi)
1. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya
2. Menjelaskan kepada pasien agar pengobatan pasien harus tuntas
sesuai dengan waktu pengobatan
3. Menjelaskan kepada pasien untuk berhati-hati terhadap pekerjaan
yang berisiko melukai tubuh pasien terutama di bagian tangan dan
kaki
4. Apabila terdapat tanda dan gejala serupa pada anggota keluarga
lainnya, perlu dibawa dan diperiksakan ke pelayanan kesehatan
PLANNING
Pemeriksaan BTA ulang
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
ANALISA KASUS
Tn. AI laki laki usia 78 tahun datang ke poli kesehatan kulit kelamin
dengan keluhan bengkak pada wajah dan terasa nyeri, keluhan bengkak
kemerahan ada wajah sudah dialami sekitar 2 bulan yang lalu kemudian setelah
berobat ke poli kesehatan kulit kelamin dan diberikan salep untuk bengkaknya,
pasien merasakan bengkaknya nyeri, kemerahan dan mati rasa pada bagian
hidungnya.
Berdasarkan hasil anamnesis, disimpulkan bahwa kulit wajah pasien yang
bengkak dan kemerahan sedang mengalami inflamasi, infalamasi ini merupakan
reaksi yang timbul dari aktifitas sel sel imun tumbuh melawan patogen asing. Hal
ini diperantarai oleh beberapa komponen seperti imunitas seluler dan imunias
humoral. Inflamasi ini akan terus berlangsung selama patogen yang menyerah
tubuh pasien masih aktif.
Kemudian pasien kontrol ulang pada tanggal 19 agustus 2015 dengan
keluhan nyeri yang bertambah pada wajahnya. Dari hasil kontrol ini pasien
mendapatkan obat salep baru yang mengandung steroid, lalu hasil anamnesis
ulang pada tanggal 22 agustus 2015 pasien mengatakan bahwa nyeri pada
wjahnya sudah berkurang.
Dari kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa lesi berespon terhadap
pemberian salep yang mengandung steroid, dimana steroid merupakan senyawa
yang dapat menekan proses inflamasi.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pemebesaran N. Auricullaris, hal
ini terjadi karena aktifitas mikribakteri mycobacterium leprae di miein syaraf tepi.
Sehingga terjadi inflamasi dan membesar. Inflamasi juga menyebabkan reseptor
nyeri ada wajah terangsang, sehinga pasien mengeluhkan nyeri pada wajahnya.