LApkan Lengkas Pani Dara

28
Laporan Kasus MORBUS HANSEN TIPE MULTIBASILER DENGAN REAKSI TIPE 1 Disusun oleh : PANJI ANUGERAH 1407101030223 LATIFA DARA MEUTUAH 1407101030236 Pembimbing : Vella BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

description

lepra

Transcript of LApkan Lengkas Pani Dara

Page 1: LApkan Lengkas Pani Dara

Laporan Kasus

MORBUS HANSEN TIPE MULTIBASILER DENGAN REAKSI TIPE 1

Disusun oleh :

PANJI ANUGERAH1407101030223

LATIFA DARA MEUTUAH1407101030236

Pembimbing :

Vella

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

2015KATA PENGANTAR

Page 2: LApkan Lengkas Pani Dara

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.

Shalawat beserta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah

membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman islamiyah, juga kepada sahabat dan

keluarga beliau.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya

kepada pembimbing kami yaitu dr. Vella, Sp.KK dan para dokter di bagian/ SMF

Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin yang telah memberikan arahan serta

bimbingan hingga terselesaikannya laporan kasus ini.

Dengan kerendahan hati, kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari

kesempurnaan. Kami tetap terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun

dari pembimbing dan teman-teman agar tercapai hasil yang lebih baik kelak.

Banda Aceh, Agustus 2015

Penulis

Page 3: LApkan Lengkas Pani Dara

PENDAHULUAN

Kusta atau juga dikenal dengan Hansen’s disease adalah suatu penyakit

kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, sebuah mikroorganisme

yang menyerang kulit dan saraf tepi. Penyakit kusta masih merupakan masalah

kesehatan di Indonesia, bukan hanya masalah dari segi medis tetapi meluas

sampai ke masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan, dan ketahanan nasional.

Penyakit kusta telah dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini diketahui dari

peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM, di Tiongkok 600 SM.

Penyakit kusta masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga maupun petugas

kesehatan sendiri. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya pemahaman dan

kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta dan kecacatan yang

ditimbulkannya. (Bhat RM, Prakash C, Leprosy: An Overview of

Phatophysiology. Hindawi Publishing Corporation. 2012) (Kementerian

Kesehatan RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. 2012)

Mycobacterium leprae ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen di

Norwegia pada tahun 1873. M. Leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas

yang besar pada sel saraf (Schwann cell) dan sel dari sistem retikulo endothelial.

Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia ( dalam

kondisi tropis) kuman kusta dari sekeret nasal dapat bertahan sampai 9 hari.

Pertumbuhan in vivo kuman kusta pada tikus pada suhu 27o-30o C. Masa inkubasi

kuman kusta rata-rata 2-5 tahun, akan tetapi juga dapat bertahun-tahun. Penularan

terjadi dengan cara kontak yang lama dengan pasien. Pasien yang sudah minum

obat MDT (multi drug treatment) tidak menjadi sumber penularan kepada orang

lain.

Menurut WHO pada awal tahun 2012 di laporkan jumlah kasus baru kusta

di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075. Dari jumlah tersebut paling

banyak terdapat di regional Asia Tenggara yaitu sebanyak 160.132 kemudian

diikuti regional Amerika sebanyak 36.832, regional Afrika sebanyak 12.673, dan

sisanya berada di regional lain di Dunia. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman

Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. 2012)

Page 4: LApkan Lengkas Pani Dara

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Penyakit Kusta atau dikenal juga dengan nama Lepra dan Morbus Hansen

merupakan penyakit granulomatosa kronik yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium leprae. Bakteri ini dapat menyerang saraf perifer, kulit, mukosa

saluran napas bagian atas, serta jaringan tubuh lainnya, kecuali sistem saraf pusat.

Umumnya penularan kusta melalui kontak langsung yang lama dan secara inhalasi

oleh droplet penderita.

2. Epidemiologi

Bedasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO)

pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah pasien kusta yang teregistrasi sebanyak

224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak dari

benua asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663. Dan dari data

didapatkan india merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta

terbanyak dengan jumlah 82.901 penderita. Sementara indonesia pada tahun 2006

tercatat memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175 (WHO)

WHO pada awal tahun 2012 di laporkan jumlah kasus baru kusta di dunia

pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075. Dari jumlah tersebut paling banyak

terdapat di regional Asia Tenggara yaitu sebanyak 160.132 kemudian diikuti

regional Amerika sebanyak 36.832, regional Afrika sebanyak 12.673, dan sisanya

berada di regional lain di Dunia

3. Etiologi

Penyakit kusta baik dihewan maupun dimanusia di sebabkan oleh bakteri

yang sama, yaitu Mycobacterium leprae. Dimana bakteri ini bersifat tahan asam,

berbentuk batang, tidak bergerak dan berspora, serta merupakan bakteri Gram

positif. Dan umumya berkonsentrasi didaerah tubuh yang bersuhu lebih dingin.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab,

cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang

berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, umur, dan kemungkinan

adanya reservoir diluar manusia

Page 5: LApkan Lengkas Pani Dara

4. Patogenesis Kusta

Masuknya M. Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen

Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua.

Signal pertama tergantung pada TCR (T cell receptor ) terkait antigen yang

dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua

adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul APC yang

berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan

mengaktivasi T0 sehingga T0 akan berdifferensiasi menjadi Th1 (T Helper 1) dan

Th2 (T Helper 2). Dengan adanya TNF α dan IL 12 (Interleukin 12) akan

membantu differensiasi T0 menjadi Th.

Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan

fagositosis makrofag (fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae

akan berikatan reseptor pada permukaannya lalu akan difagositosis) B. Selain itu,

IL2 juga akan mengaktifkan CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan

melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida secara

kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin akan terus dihasilkan dan

akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama

kelamaan sitoplasma dan organela dari makrofag akan membesar, sel magrofak

yang membesar disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan

membentuk granuloma.

Th2 akan menghasilkan IL4, IL10, IL5, IL13. IL5 yang akan mengaktifasi

dari eosinofil. IL4 dan IL10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL4 akan

mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL4 , IL10, dan IL 13 akan

mengaktifasi sel mast. Pada Tuberkoloid Leprosy, akan terlihat bahwa Th 1 akan

lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2

akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.

5. Patogenesis Kerusakan Saraf Pada Pasien Kusta

M.Leprae memiliki bagian yang akan berikatan dengan sel schwaan melalui

reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu

mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2

akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya

fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan

Page 6: LApkan Lengkas Pani Dara

makrofag akan merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan

sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin akan merusak saraf, dan saraf yang

rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf

tepi.

6. Patogenesis Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta

yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit

kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe

II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi

hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I

sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit

T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil

dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana

terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan

biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi

pergeseran ke arah lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan

biasanya terjadi pada awal terapi

Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoral tepatnya

hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum

lepromatous. Reaksi ini sering terjadi ada pasien LL. M. Leprae akan berinteraksi

dengan antibodi membentuk kompleks imun dan mengendap pada pembuluh

darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan merangsang netrofil

untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel dijaringan

sekitarnya.

7. Gejala KlinisKeluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal

ini dapat berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan,

kelemahan otot-otot dan kulit kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar

keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa kelainan pada saraf tepi, kulit,

rambut, otot, tulang, dan mata.

Page 7: LApkan Lengkas Pani Dara

8. Klasifikasi Kusta

Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:

A. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau

beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian

tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi

dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran

psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya

teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan

tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.

B. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat

yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa,

tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe

TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi

satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

C. Tipe Mid Borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk

dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula

infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri

khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian

tengah oval dan berbatas jelas.

D. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)

Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat

menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas

dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya

melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan

infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda

kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.

E. Tipe Lepromatous Leprosy

Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih

eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan

Page 8: LApkan Lengkas Pani Dara

anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai

dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan

yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada

stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal,

facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran

kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan

saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada

stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau

fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

Klasifikasi kusta menurut WHO

Sifat Kusta Pausibasiler (PB) Kusta Multibasilar (MB)

Lesi KulitMakula datar, papul yang meninggi, nodus

1-5 lesiHipopigmentasi/eritemaDistribusi tidak simetrisHilangnya sensasi yang jelas

>5 lesiDistribusi lebih simetrisHilangnya sensasi kurang jelas

Kerusakan sarafMenyebabkan hilangnya sessasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena

Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf

9. Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Bakterioskopis

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau

usapan mukosa hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL

NEELSON. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan

paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang

diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal

4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain yang

paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan

cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh

karena pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.

Page 9: LApkan Lengkas Pani Dara

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah

sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+

menurut Ridley. 0 bila

tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP 16

6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan

jumlah solid dan non solid. Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman

tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan

100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000lapangan, mulai I.B 3+

maksimum harus dicari 100 lapangan.

B. Pemeriksaan Histopatologis

Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid

adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya

sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal

( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis

yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak

basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut. Sel virchow

adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak dan

sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

C. Pemeriksaan Serologis

Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis

serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan

serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi

oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae

Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.

Page 10: LApkan Lengkas Pani Dara

d. Pemeriksaan Lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis

lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem

imun penderita terhadap M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak

basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari

( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu ( 17 reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez

positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita

bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux

test ( PPD) pada tuberkolosis. Reaksi Mitsuda bernilai :

0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang

+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm

+ 2Papul berdiameter 7 – 10 mm

+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi

X. Penatalaksanaan Kusta

Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk

menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita,

mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg

dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.

Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu

mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan

antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah

penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari

dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit

kepala, dan vertigo.

Lamprene atauClofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan

reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor

dari NA/K ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi

berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut

dihentikan, diare, nyeri lambung.

Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja

dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri

Page 11: LApkan Lengkas Pani Dara

dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan

nefrotoksik. Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta.

Regimen obat kusta

Pedoman dosis MDT Tipe PB

Jenis Obat <5 tahun 5-9 tahun 10-15 ahun >15 tahun

Rifampisin Berdasarkan

berat badan

300mg/

bulan

450mg/bulan 600mg/bulan

DDS 25mg/bulan 50mg/bulan 100mg/bulan

25mg/hari 50mg/hari 100mg/hari

Pedoman dosis MDT Tipe MB

Jenis

Obat

<5 tahun 5-9 tahun 10-15 tahun >15 tahun

Rifampis

in

Berdasar

kan

berat

badan

300mg/bulan 450mg/bulan 600mg/bulan

Dapson 25mg/bulan 50mg/bulan 100mg/bulan

25mg/bulan 50mg/bulan 100mg/bulan

Lampren 100mg/bulan 150mg/bulan 300mg/bulan

50mg 2x

seminggu

50mg setiap

2 hari

50 mg per

hari

Page 12: LApkan Lengkas Pani Dara

XI. Diagnosis banding

1. Reaksi kusta reversal ( reaksi kusta tipe 1 )

2. Kusta relaps

3. Psoriasis

4. Tinea Circinata

Page 13: LApkan Lengkas Pani Dara

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A.I

Jenis kelamin : Laki-laki

No.RM : 0-79-94-32

Umur : 78 Tahun

Alamat : Alue Naga

Pekerjaan : Peternak Unggas

Suku : Padang

Agama : Islam

Tanggal Pemeriksaan : 19 Agustus 2015

ANAMNESIS

Keluhan Utama

Bengkak kemerahan pada wajah

Keluhan Tambahan

Nyeri pada bagian wajah sebelah kiri, siku, dan leher

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang untuk kontrol ulang dengan diagnosa kusta 1 bulan yang lalu. Pasien

mengeluhkan bengkak pada wajah sebelah kiri setelah menggunakan salep untuk

penyakit kustanya. Pasien juga mengeluhkan nyeri dan berkurangnya rasa raba pada

Page 14: LApkan Lengkas Pani Dara

wajah yang bengkak tersebut. Selain pada wajah, terdapat benjolan kemerahan pada leher

dan siku yang disertai nyeri. Pasien didiagnosa menderita penyakit lepra pada 5 Agustus

2015, awalnya bengkak hanya pada kening dan perlahan-lahan menyebar kebagian wajah

lainnya, pada saat itu pasien tidak memperdulikan kelainan yang dialaminya hingga

bengkak pada wajahnya mulai menggangu bagian mata. Pasien mengeluhkan kelopak

matanya terasa bengkak, kemudian pasien berobat ke poli mata RSUDZA pada tanggal 5

agustus dan langsung dikonsulkan ke poli kesehatan kulit kelamin untuk kelainan

tersebut. Kemudian pasien menerima obat berupa tablet minum dan salep untuk kulitnya.

Sejak pemakaian salep tersebut pasien mengeluhkan nyeri pada wajah yang bengkak.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya

Pasien menderita DM 3 tahun yang lalu, namun saat ini sudah terkontrol

Riwayat Alergi

Pasien mengatakan bahwa ia alergi ikan tongkol.

Riwayat Pemakaian Obat

Tidak Ada

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien.

Riwayat Kebiasaan Sosial

Pasien tinggal disekitar daerah konsentrasi penyakit kusta di Alue Naga. Tempat

tinggal pasien berjarak sekitar 800 meter dari daerah konsentrasi tersebut. Pasien juga

mengatakan bahwa ia sering berinteraksi dengan masyarakat disana.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Dermatologis (Pemeriksaan tanggal 19 Agustus 2015)

Regio : Nasalis, zigomaticus sinistra, colli, antebrachii sinistra,

brachii sinistra

Page 15: LApkan Lengkas Pani Dara

Deskripsi Lesi :

Tampak plak eritematous, ,berbatas tegas, garis tepi regular, bentuk bulat, ukuran

hingga numular, jumlah multipel, distribusi generalisata.

Gambar 1. Lesi plak eritematous berbatas tegas pada regio facialis

Gambar 2. Lesi plak eritematous pada regio antebrachii proksimal dextra

Page 16: LApkan Lengkas Pani Dara

Gambar 3. Lesi nodul eritematous pada regio antebrachii proksimal sinistra

Gambar 4. Lesi plak eritematous pada regio colli

Page 17: LApkan Lengkas Pani Dara

Gambar 5. Pembesaran N. Auricularis dextra

DIAGNOSIS BANDING

1. Morbus Hansen tipe multibasiler

2. Reaksi kusta reversal ( reaksi kusta tipe 1 )

3. Tinea versicolor

4. Psoriasis Rosea

5. Dermatitis Seboroik

RESUME

Telah diperiksa pasien laki-laki berusia 78 tahun di poli Kesehatan Kulit

Kelamin dengan keluhan bengkak pada wajah disertai nyeri dan mati rasa

setelah menggunakan salep untuk penyakit kusta. Pada pasien juga ditemukan

benjolan kemerahan pada leher dan siku yang juga disertai nyeri. Pada

pemeriksaan fisik kulit di regio Nasalis, zigomaticus sinistra, colli, antebrachii

Page 18: LApkan Lengkas Pani Dara

sinistra dan brachii sinistra tampak plak eritematous, berbatas tegas, garis tepi

regular, bentuk bulat, ukuran gutata hingga numular, jumlah multipel,

distribusi generalisata. Dari pemeriksaan fungsi saraf perifer pada N.

Auricularis magnus didapatkan adanya pembesaran N. Auricularis magnus

dextra. Dari pemeriksaan rasa raba pada bagian hidung dan wajah sebelah kiri

didapatkan sensasi raba yang berkurang. Selain pada bagian hidung dan wajah

sebelah kiri , pasien dapat mengidentifikasi rasa raba, rasa nyeri dan dapat

merasakan panas dan dingin pada daerah lesinya.

DIAGNOSIS KLINIK

Morbus Hansen tipe MB dengan reaksi tipe 1

TATALAKSANA

Farmakologi

1. Sistemik

Metilprednisolon 8 mg 3x1 tablet/hari

Paracetamol 3x1 tablet/hari

Ranitidin 2x1 tablet/hari

Cetirizin 10 mg 1x1 tablet/hari

Dapson 1x1 tablet/hari

2. Topikal

Tiamfenikol 2% + deksoximethason oint (pagi dan sore)

Nonfarmakologi (Edukasi)

1. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya

2. Menjelaskan kepada pasien agar pengobatan pasien harus tuntas

sesuai dengan waktu pengobatan

Page 19: LApkan Lengkas Pani Dara

3. Menjelaskan kepada pasien untuk berhati-hati terhadap pekerjaan

yang berisiko melukai tubuh pasien terutama di bagian tangan dan

kaki

4. Apabila terdapat tanda dan gejala serupa pada anggota keluarga

lainnya, perlu dibawa dan diperiksakan ke pelayanan kesehatan

PLANNING

Pemeriksaan BTA ulang

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

ANALISA KASUS

Tn. AI laki laki usia 78 tahun datang ke poli kesehatan kulit kelamin

dengan keluhan bengkak pada wajah dan terasa nyeri, keluhan bengkak

kemerahan ada wajah sudah dialami sekitar 2 bulan yang lalu kemudian setelah

berobat ke poli kesehatan kulit kelamin dan diberikan salep untuk bengkaknya,

pasien merasakan bengkaknya nyeri, kemerahan dan mati rasa pada bagian

hidungnya.

Berdasarkan hasil anamnesis, disimpulkan bahwa kulit wajah pasien yang

bengkak dan kemerahan sedang mengalami inflamasi, infalamasi ini merupakan

Page 20: LApkan Lengkas Pani Dara

reaksi yang timbul dari aktifitas sel sel imun tumbuh melawan patogen asing. Hal

ini diperantarai oleh beberapa komponen seperti imunitas seluler dan imunias

humoral. Inflamasi ini akan terus berlangsung selama patogen yang menyerah

tubuh pasien masih aktif.

Kemudian pasien kontrol ulang pada tanggal 19 agustus 2015 dengan

keluhan nyeri yang bertambah pada wajahnya. Dari hasil kontrol ini pasien

mendapatkan obat salep baru yang mengandung steroid, lalu hasil anamnesis

ulang pada tanggal 22 agustus 2015 pasien mengatakan bahwa nyeri pada

wjahnya sudah berkurang.

Dari kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa lesi berespon terhadap

pemberian salep yang mengandung steroid, dimana steroid merupakan senyawa

yang dapat menekan proses inflamasi.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pemebesaran N. Auricullaris, hal

ini terjadi karena aktifitas mikribakteri mycobacterium leprae di miein syaraf tepi.

Sehingga terjadi inflamasi dan membesar. Inflamasi juga menyebabkan reseptor

nyeri ada wajah terangsang, sehinga pasien mengeluhkan nyeri pada wajahnya.