Post on 03-Jul-2015
1
2
LAPORANFISIOLOGI HEWAN AIR
PRAKTIKUM I
OSMOREGULASI
NAMA : KRISYE
NIM : L 111 07 057
KELOMPOK : III (TIGA)
ASISTEN : ANDI HASRIANI
KONSENTRASI KONSERVASI SUMBERDAYA HAYATI LAUT
LABORATORIUM FISIOLOGI HEWAN AIR
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2009
3
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fisiologi dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari fungsi,
mekanisme dan cara kerja dari organ, serta jaringan dan sel-sel organisme
(Fujaya, 1999).
Osmoregulasi adalah upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan
air dan ion antara tubuh dan lingkungannya, atau suatu proses pengaturan
osmosis. Sedangkan osmosis adalah pergerakan air melalui membran selektif
permeable. Osmosis sebenarnya adalah kasus khusus dari transpor pasif,
dimana molekul air berdifusi melewati membran yang bersifat selektif permeable
dimana dalam sistem osmosis tersebut terdapat larutan hipertonik ialah larutan
yang mempunyai konsentrasi terlarut tinggi atau pengaturan secara aktif
konsentrasi cairan tubuh yang lebih tinggi dari konsentrasi media biasanya pada
patadrom atau ikan air tawar, larutan hipotonik adalh larutan dengan konsentrasi
terlarut rendah atau pengaturan secara aktif konsentrasi cairan tubuh yang lebih
rendah dari konsentrasi media biasanya pada oseandrom atau ikan air laut
(Fujaya, 1999).
Setiap organisme pada saat beraktivitas masing – masing melakukan
adaptasi untuk dapat tetap bertahan hidup dalam lingkungannya. Bentuk
adaptasi yang dilakukan organismepun berbeda, ada beberapa organisme yang
bentuk adaptasinya dapat dilihat secara morfologi dan adapula yang beradaptasi
secara fisiologi. Misalnya saja organisme perairan, organisme yang hidup
diperairan tawar tentu memiliki bentuk adaptasi yang berbeda dan beberapa
organ khusus yang digunakan dnegan berbagai cara. (Burhanuddin, 2008)
Osmoregulasi merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan
organism perairan khususnya laut karena harus terjadi keseimbangan kadar ion
4
di dalam tubuh dengan lingkungannya. Oleh karena itu praktik kali ini ingin
melihat bagaimana tingkah laku ikan yang melakukan osmoregulasi di
lingkungan yang merupakan habitatnya dan yang bukan habitatnya.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dilakukan percobaan osmoregulasi ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan salinitas yang berbeda (0 ppt, 15
ppt, dan 30 ppt) terhadap tingkah laku ikan air tawar, ikan air laut, dan
ikan air payau.
2. Membandingkan adaptasi ikan terhadap perubahan salinitas.
Kegunaan yang dapat diambil dari percobaan ini adalah agar mahasiswa
dapat mengetahui dan membandingkan teori yang didapat dari kuliah dengan
hasil yang diperoleh dari praktikum, mengetahui metodologi atau cara
osmoregulasi yang dilakukan ikan serta memperoleh gambaran mengenai
hubungan faktor biotik dan abiotik terhadap proses osmoregulasi.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pengaturan terhadap tekanan osmotik cairan tubuh yang relatif konstan
adalah hal yang dibutuhkan ikan agar proses fisiologi di dalam tubuhnya berjalan
normal. Pengaturan tersebut disebut dengan osmoregulasi. Organ yang
berperan dalam proses osmoregulasi adalah ginjal, insang, kulit, membran mulut
dan beberapa organ khusus yang digunakan dengan berbagai cara
(Burhanuddin, 2008).
Pergerakan air melalui membran selektif permeable disebut osmosis. Itu
terjadi ketika dua larutan mempunyai perbedaan konsentrasi total larutan atau
osmolality. Larutan yang diketahui osmolalitinya diistilahkan isotonik. Osmosis
tidak terjadi pada larutan isotonik. Bagimanapun, ketika osmolaiti pada larutan
yang berbeda salah satu di antaranya harus mempunyai konsentrasi yang
tertinggi (hipertonik), sementara yang lainnya disebut hipotonik. Air mengalir
melalui membran dari larutan hipotonik ke larutan hipertonik (Djawad, 2008).
Hewan yang disebut osmoconformer, memelihara keseimbangan antar
cairan tubuh dengan keadaan lingkungan sekitar, mereka adalah isotonik
sedangkan keadaan lingkungan sekitar encer. Hewan yang tidak isotonik dengan
keadaan lingkungan sekitar disebut osmoregulator. Salah satu dari
osmoregulator adalh mengeluarkan kelebihan air ketika mereka berada di
lingkungan hipertonik. Kebanyakan invertebrata laut adalah osmoconformer,
dimana cairan tubuh mereka isotonik dari keadaan lingkungannya. Meskipun
konsentrasi relatif dari garam dan cairan tubuh mereka berubah-ubah
dibandingkan air laut, dalam kasus ini hewan juga harus mengatur tingkat ion
internal (Djawad, 2008).
Tidak semua ikan menetap pada habitat yang tetap di air tawar atau air
laut. Ikan pada saat-saat tertentu akan masuk ke daerah payau. Lingkungan
6
payau adalah lingkungan akuatik di daerah pantai yang merupakan tempat
pertemuan antara air sungai dengan air laut. Ada juga ikan yang hidup menetap
pada daerah perairan payau yang tentunya memerlukan kemampuan adaptasi
yang baik terhadap perubahan kadar garam yang selalu berubah (Burhanuddin,
2008).
Di daerah tropis banyak ikan laut yang bergerak ke daerah estuaria,
harus mampu mengubah secara mendadak dari menyimpan air menjadi
mengeluarkan sebanyak mungkin air melalui ginjal dan harus mengubah dari
mengekskresi garam yang lebih menjadi menyimpan (Burhanuddin, 2008).
Pada ikan air laut hidup pada lingkungan hipersomatik terhadap jaringan
dan cairan tubuhnya, sehingga ikan laut cenderung kehilangan air melalui kulit
dan insang serta kemasukan garam-garam. Beberapa spesies kehilangan 30-60
persen air yang terambil pada proses osmose. Untuk mengatasi kehilangan air,
ikan “minum” air laut, yang kemudian diserap melalui saluran pencernaan.
Akibatnya adalah meningkatnya kandungan garam dalam cairan tubuh. Padahal
dehidrasi dicegah dengan proses ini (Burhanuddin, 2008).
7
III. METODE PRAKTIK
A. Waktu dan Tempat
Praktikum Fisiologi Hewan Air dilaksanakan pada hari Jumat, tanggal 13
Maret 2008, pukul 09.00-12.00 WITA, bertempat di Laboratorium Fisiologi
Hewan Air, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin,
Makassar.
B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum osmoregulasi adalah toples 9
buah sebagai wadah diletakannya ikan, stopwatch 3 buah sebagai alat pengukur
waktu, salinometer 1 buah sebagai alat pengukur salinitas, dan lap kasar 1 buah
sebagai alat untuk membersihkan alat-alat lain yang telah digunakan.
Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini, yaitu ikan
mas (Cyprinus carpio) 3 ekor, Ikan Giru (Amphiprion spp.) 3 ekor dan ikan
bandeng (Chanos chanos) 3 ekor sebagai sampel yang diamati, air tawar 0 ppt,
air payau 15 ppt, air laut 30 ppt sebagai medium ikan, serta tissue roll sebagai
bahan pengering alat-alat yang telah dibersihkan.
C. Prosedur Kerja
Prosedur kerja dari praktikum osmoregulasi, yaitu:
1. Menyediakan peralatan dan bahan yang akan digunakan.
2. Menyiapkan medium air dengan konsentrasi 0 ppt dan 30 ppt.
3. Melakukan pengenceran terhadap air laut, sehingga diperoleh air payau
dengan konsentrasi 15 ppt.
4. Menyiapkan 9 wadah atau toples.
8
5. Memasukkan media air pada setiap toples yang berbeda 3 toples untuk
air dengan salinitas 0 ppt (air tawar), 3 toples untuk air dengan salinitas
15 ppt (air payau), dan 3 toples untuk air salinitas 30 ppt (air laut).
6. Memasukkan masing-masing 1 ikan bandeng pada salinitas 0 ppt, 15 ppt,
30 ppt, masing-masing 1 ikan giru juga dimasukkan ke salinitas 0 ppt, 15
ppt, dan 30 ppt , serta masing-masing 1 ikan mas pada toples dengan
salinitas 0 ppt, 15 ppt, dan 30 ppt.
7. Mengamati perubahan tingkah laku selama 3 x 15 menit dan mencatat
setiap perubahan yang terjadi pada lembar praktikum.
D. Analisis Data Pengenceran
Rumus yang dipergunakan dalam percobaan osmoregulasi ialah rumus
pengenceran, dimana:
V1 x M1 = V2 x M2
Keterangan :
V1 = Volume awal
V2 = Volume akhir
M1 = Konsentrasi awal
M2 = Konsentrasi akhir
9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil praktikum fisiologi hewan air tentang pengujian
osmoregulasi ikan, didapatkan data sebagai berikut :
A. Ikan air tawar (Ikan mas)
Salinitas
(ppt)
Waktu
pengamatan
Tingkah laku
0 15 menit (1) Aktif dan mengeluarkan sedikit feses
15 menit (2) Aktif dan mengeluarkan sedikit feses
15 menit (3) Aktif jumlah feses tidak bertambah, media jernih
15 15 menit (1) Gelisah
15 menit (2) Tidak aktif dan mengeluarkan feses
15 menit (3) Gelisah, media keruh dan mengeluarkan feses
30 15 menit (1) Gelisah
15 menit (2) Kondisi kritis, jumlah feses terus bertambah dan
media keruh
15 menit (3) Mati
Ikan mas pada salinitas 0 ppt mulai dari menit ke-15 samapai pada menit
ke-45 tingkah lakunya masih cenderung sama, dimana ikan tetap aktif dan sedikit
mengeluarkan feses, dan air tetap jernih hingga akhir pengamatan. Hal ini
disebabkan ikan masih bisa beradaptasi dengan lingkungan perairan yang
salinitasnya 0 ppt, dimana pada kondisi tersbut ikan mas masih mampu megatur
tekanan osmotik didalam tubuhnya dan berada pada kisaran salinitas habitatnya
yaitu air tawar, berbeda dengan ikan mas yang berada pada salinitas 15 ppt,
pada ikan mas komet, berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa ikan
tersebut juga termasuk ikan stenohalin, yang toleran pada kisaran salinitas yang
sempit. Pada menit ke-15 tampak gelisah (stress), menit ke-30 sudah tidak aktif
dan mengeluarkan feses hingga pada menit ke 45 ikan ini tampak gelisah dan
mediumnya tampak keruh. Sama halnya dengan ikan mas yang berada pada
10
salinitas 30 ppt, pada menit ke-15 tampak gelisah, menit ke-30 kondisinya kritis
jumlah feses terus bertambah dan media semakin keruh, serta pada menit ke-45
ikan ini sudah mati. Hal ini sesuai dengan pendapat Djawad (2008), bahwa ikan
mas termasuk ke dalam jenis ikan stenohaline yang tidak mampu bertahan hidup
pada kondisi yang mengalami perubahan salinitas yang tinggi.
B. Ikan air payau (Ikan Bandeng)
Salinitas
(ppt)
Waktu
pengamatan
Tingkah laku
0 15 menit (1) Aktif dan sedikit mengeluarkan feses
15 menit (2) Aktif dan sedikit mengeluarkan feses
15 menit (3) Aktif dan sedikit mengeluarkan feses
15 15 menit (1) Diam dan mengeluarkan feses
15 menit (2) Diam dan mengeluarkan feses
15 menit (3) Diam dan mengeluarkan feses
30 15 menit (1) Sedikit bergerak, mengeluarkan feses
15 menit (2) Banyak bergerak di dasar dan banyak membuka
mulut
15 menit (3) Banyak membuka mulut dan tetap di dasar serta
mengeluarkan feses
Pada ikan bandeng, sebagaimana dengan yang berada pada salinitas 0 ppt
dimana pada menit ke-15 hingga menit ke-45 kondisinya cenderung sama yaitu
aktif dan sedikit mengeluarkan feses. Begitupun dengan yang berada dalam
salinitas 15 ppt mulai dari menit ke-15 sampai akhir pengamatan kondisinya juga
tetap sama yakni diam dan mengeluarkan feses. Namun kondisinya sedikit
berbeda dengan yang berada dalam salinitas 30 ppt, dimana pada menit ke-15
ikan bandeng sedikit bergerak dan mengeluarkan feses, pada menit ke-30
banyak bergerak di dasar dan banyak membuka mulut, dan pada menit ke-45
banyak membuka mulut dan tetap di dasar serta mengeluarkan feses. Hal ini
sesuai dengan pendapat Djawad (2008), bahwa ikan bandeng termasuk ke
11
dalam jenis ikan eurihalin mampu bertahan hidup pada kondisi kadar garam yang
selalu berubah seperti di daerah payau.
C. Ikan Air Laut (Ikan Giru)
Salinitas
(ppt)
Waktu
pengamatan
Tingkah laku
0 15 menit (1) Ikan bergerak bebas
15 menit (2) Ikan lebih banyak bergerak di dasar
15 menit (3) Mulai beradaptasi dengan berenang mundur
15 15 menit (1) Ikan mulai lambat bergerak
15 menit (2) Stress dan banyak mengeluarkan feses
15 menit (3) gelisah.
30 15 menit (1) Aktif dan sedikit mengeluarkan feses
15 menit (2) Aktif dan sedikit mengeluarkan feses
15 menit (3) Aktif dan sedikit mengeluarkan feses
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada ikan giru dengan
salinitas 0 ppt pada 15 menit pertama ikan masih bergerak bebas di dasar
namun kadang-kadang ke permukaan, menit 15 kedua ikannya bergerak di dasar
media namun sesekali naik ke permukaan dan pergerakan mulai melambat dan
menit terakhir ikannya mulai beradaptasi dengan berenang mundur dan
mengeluarkan agak banyak feses. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena ikan
giru yang digunakan telah dipakai oleh kelompok lain untuk praktikum
osmoregulasi juga, sehingga kemampuan untuk mengatur osmoregulasi ikan
yang digunakan menjadi berkurang. Dan apabila ikan tidak mampu mengontrol
proses osmosis yang terjadi, bisa jadi ikan akan mati karena terjadi
ketidakseimbangan konsentrasi larutan tubuh yang akan berada di luar batas
toleransinya.
Hasil pengamatan ikan giru pada salinitas 15 ppt didapatkan bahwa
akhirnya pergerakan ikan menjadi lambat dibanding ketika pertama kali
diturunkan namun masih aktif untuk naik dan turun secara perlahan naik turun
12
dari permukaan air. Hal ini disebabkan ikan tersebut memerlukan banyak energi
untuk metabolisme yang cenderung lebih banyak yang nantinya akan digunakan
untuk adaptasi dengan lingkungannya atau untuk menyeimbangkan tekanan
dalam tubuh dengan lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Djawad (2008)
bahwa ikan giru yang merupakan ikan laut merupakan ikan yang tidak dapat
mentolerir kadar salinitas dengan range besar.
Sedangkan hasil pengamatan yang dilakukan pada ikan dengan salinitas
medium 30 ppt dari 15 menit pertama hingga terakhir ikan masih tetap saja aktif
bergerak dan tidak terjadi perubahan tubuh terhadap lingkungan. Menurut
Djawad (2008) hal ini dikarenakan ikan giru hidup pada salinitas yang tinggi di
atas >17 permil dan salinitas ini ada pada medium yang ia temukan pada
praktikum ini. Sehingga ikan giru tidak mengalami perubahan tingkah laku yang
signifikan karena ikan tersebut bisa menyeimbangkan tekanan ion atau cairan
yang ada dalam tubuhnya dengan tekanan ion atau cairan yang ada dalam
lingkungannya
13
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari praktikum osmoregulasi ini,
yaitu:
1. Ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan ikan air tawar yang tidak dapat
mentolerir kadar garam yang tinggi sehingga ia termasuk dalam
stenohaline karena ikan mas hidup pada kisaran salinitas rendah. Adapun
salinitas yang dapat ditolerir hanyaa sebatas 0-0,5 permil untuk itu ikan
tersebut membutuhkan energi yang besar untuk dapat mentolerir kondisi
salinitas yang sangat berbeda dari habitat biasanya.
2. Ikan bandeng (Chanos chanos) merupakan ikan yang hidup pada
estuaria sehingga ia termasuk dalam euryhaline karena kemampuannya
untuk mentolerir kisaran salinitas yang luas karena tubuhnya termasuk
osmoregulator.
3. Ikan air giru (Amphiprion spp.) merupakan ikan air laut yang dapat
hanyaa dapat hidup pada salinitas >17 permil, oleh karena itu ia termasuk
dalam stenohaline yang dapat mentolerir kisaran salinitas yang sempit.
B. Saran
Saya sangat mengaharapkan pada saat praktikum berikutnya jadwal
praktikum tidak digabung lagi dan laporan pada praktikum yang dilaksanakan
dapat di ACC paling lambat 2 minggu setelah praktikum sehingga asisten dan
praktikan tidak kewalahan.
14
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, Iqbal. 2008. Ikhtiologi. PT. Yayasan Citra Emulsi. Makassar.
Djawad. 2008. Penuntun Praktikum Fisiologi Hewan air. Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Fujaya, Yushinta. 1999. Fisiologi Ikan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
15
LAMPIRAN
Perhitungan pengenceran yang dilakukan untuk mendapatkan salinitas
air payau (15 ppt) dari salinitas air laut (30 ppt)
Jika diketahui: M1V1 = M2V2
Jawab:
Dik:
salinitas = 30 ppt 15 ppt
Volume enceran = 2000 ml/ 2 ltr air
Dit:
V1 ?
Penye:
M1V1 = M2V2
30 ppt X V1 = 15 ppt X 2 ltr
30 V1 = 30 ltr
V1 = 1 ltr volume air laut
V air tawar = volume akhir – volume air laut
= 2 liter – 1 liter
= 1 liter
16
17
LAPORANFISIOLOGI HEWAN AIR
PRAKTIKUM II
KONSUMSI OKSIGEN
NAMA : KRISYE
NIM : L 111 07 057
KELOMPOK : III (TIGA)
ASISTEN : ANDI HASRIANI
KONSENTRASI KONSERVASI SUMBERDAYA HAYATI LAUT
LABORATORIUM EKOTOKSIKOLOGI DAN FISIOLOGI HEWAN AIR
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2009
18
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Respirasi atau pernapasan adalah proses pengikatan oksigen dan
pengeluaran karbon dioksida oleh garam melalui permukaan alat pernapasan.
Proses pengikatan oksigen tersebut, selain dipengaruhi struktur alat pernpasan
juga dipengaruhi perbedaan tekanan persial O2 antara perairan dengan darat.
Perbedaan tekanan tersebut menyebabkan gas-gas berdifungsi ke dalam darah
atau keluar melalui alat pernapasan (Fujaya, 2004).
Sistem respirasi memiliki fungsi utama untuk memasok oksigen ke dalam
tubuh serta membuang CO2 dari dalam tubuh. Penyelenggaraan respirasi harus
didukung oleh alat pernafasan yang sesuai, yaitu alat yang dapat digunakan oleh
hewan untuk melakukan pertukaran gas dengan lingkungannya (Isnaeni, 2006).
Pertukaran gas antara hewan dan lingkungannya dapat terjadi dengan
cara difusi sederhana. Pada beberapa hewan, terutama hewan akuatik
berukuran kecil, pertukaran gas dapat terjadi melalui seluruh permukaan
tubuhnya. Cara tersebut sudah dapat memenuhi seluruh kebutuhan hewan untuk
mengambil oksigen dan membuang karbon dioksida (Isnaeni, 2006).
Makhluk hidup di dunia ini sangat membutuhkan oksigen. Oksigen
dipakai oleh makhluk hidup untuk metabolisme. Bernapas merupakan cara untuk
mengambil oksigen. Tumbuhan merupakan makhluk yang menghasilkan oksigen
dan manusia serta hewan yang mengkonsumsi oksigen. Ikan bernapas dengan
cara mengambil oksigen yang terlarut dalam air dengan menggunakan
insangnya ataupun lewat permukaan tubuhnya. Oleh karena itu praktikum ini
dilakukan sehingga kami dapat memahami kebutuhan konsumsi oksigen dari
ikan tersebut .
19
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan diadakannya praktikum Fisiologi Hewan Air mengenai konsumsi
oksigen yaitu :
1. Untuk Mengetahui jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh ikan Giru
(Amphiprion sp.) berdasarkan ukuran/ berat badan ikan.
2. Mengetahui perbandingan antara konsumsi oksigen antara botol kontrol
dengan konsumsi oksigen botol yang berisi ikan.
3. Mengetahui faktor biotik dan faktor abiotik yang mempengaruhi proses
metabolisme.
Kegunaan dari praktikum ini adalah dapat digunakan sebagai dasar
pengetahuan dalam mengelola kualitas air media pemeliharaan, terutama kadar
oksigen terlarut yang optimal bagi organisme yang dibudidayakan dan upaya
untuk meningkatkan kelarutannya dalam media, serta sebagai pembanding
antara teori dengan praktik.
20
II. TINJAUAN PUSTAKA
Oksigen dibutuhkan oleh organisme untuk membantu proses
metabolisme yang berlangsung di dalam tubuh.oksigen yang masuk melalui
proses respirasi insang atau dengan cara difusi pada permukaan tubuh (khusus
untuk crustacea berukuran kecil). Dimana kapasitas oksigen yang dibawah oleh
darah yang berisi Hcy (crustacea) dan Hb (ikan) dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti tekanan oksigen dan suhu (Djawad, 2008).
Jumlah oksigen yang dibutuhkan organisme dipengaruhi oleh laju
metabolisme, dimana bila laju metabolisme capat menunjukkan bahwa
organisme membutuhkan oksigen yang lebih banyak, dibandingkan jika laju
metabolismenya lambat (Djawad, 2008).
Ketika asam-asam amino dikatabolisasi, kelompok amino dibebaskan
atau dipindahkan ke molekul-molekul yang lain untuk dipindahkan autau untuk
digunakan kembali. Tidak seperti atom-atom dari skeleton karbon dari sebuah
asam amino, yang dapat dioksidasi menjadi karbondioksida dan air, kelompok
amino salah satunya harus diselamatkan untuk resintesis asam amino atau
dieksktesi untuk menghilangkan kelebihan kadar racun di dalam konsentrasi
buangan-buangan nitrogen. Hal ini sangat berkaitan erat dengan fungsi-fungsi
osmoregulasi dan proses untuk eliminasi dari kelebihan nitrogen. Buangan-
buangan kelompok amino diekskresi dalam satu bentuk dari ketiga bentuk,
seperti amoniak, urea, dan asam uric (Djawad, 2008).
Laju metabolisme organisme dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik.
Yang termasuk faktor biotik adalah aktifitas, ukuran (berat), umur dan jenis
kelamin. Sedangkan yang termasuk faktor abiotik adalah temperatur, salinitas,
oksigen, karbon dioksida, pasang surut, siklus pergerakan air dan musim
(Djawad, 2008).
21
Menurut Burhanuddin (2008), tingkat konsumsi oksigen sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor luar (tekanan oksigen, suhu, dan
lain-lain). Meningkatnya tekanan CO2 yang melebihi tekanan yang setara 10
mmHg, atau turunnya pH, dalam beberapa hal dapat meningkatkan laju respirasi.
Selain tekanan parsial oksigen, suhu, salinitas, CO2 dalam air jika sampai pada
batas tertentu akan diikuti oleh peningkatan laju metabolisme.
Dalam proses pernapasan, CO2 yang merupakan sisa metabolisme
dibuang melalui insang. CO2 dianggap lebih mudah larut dalam air dibanding O2,
sebagaimana diperlihatkan pada kenyataan bahwa suhu 15 derajat, satu liter
CO2 dapat larut dalam satu liter air. Jadi sejumlah kecil CO2 bebas dalam perairan
menunjang pembuangan sisa gas dari insang melalui difusi. Pada proses difusi,
yang berperan dalam pertukaran gas adalah bagian lamella. Ujung lamella ini
sangat tipis, ditutupi oleh epitalium yang memiliki jaringan kapiler darah dan
disokong oleh sel pilar (Burhanuddin, 2008).
Menurut Djawad (2008), laju metabolisme organisme dipengaruhi oleh
faktor biotik dan abiotik.
1. Faktor biotik.
a. Aktifitas
Organisme aktif memiliki laju metabolisme tinggi dibandingkan
dengan organisme yang lambat (pasif).
b. Ukuran (berat)
Organisme yang berukuran kecil mempunyai laju metabolime
lebih tinggi/unit berat/waktu dibandingkan dengan yang berukuran
besar karena tempat respirasi insangnya lebih besar keseluruh
tubuhnya. Namun sebaliknya semakin besar suatu organisme maka
mengonsumsi oksigen semakin besar pula karena semua anggota
22
tubuhnya bergerak memerlukan energi yang berasal dari oksigen dan
makanan.
c. Umur
Semakin tua suatu organisme maka semakin lambat laju
metabolismenya tetapi konsumsi oksigen /unit berat/waktu lebih besar
karena ukuran tubuhnya lebih besar. Sedangkan organisme yang
muda metabolismenya cepat karena digunakan untuk tumbuh dan
untuk pembentukan jaringan.
d. Jenis kelamin
Organisme jantan lebih aktif sehingga laju metabolismenya lebih
tinggi dibandingkan dengan yang betina.
2. Faktor abiotik
a. Temperatur
Bila temperatur tinggi maka laju metabolisme tinggi sehingga
konsumsi oksigen juga tinggi.
b. Salinitas
Pada salinitas rendah, organisme mempunyai toleransi yang tinggi
maka konsumsi oksigen tinggi oleh karena itu jika terjadi peningkatan
salinitas maka laju metabolisme akan menurun.
c. Oksigen
Bila konsentrasi oksigen dalam air tinggi maka laju metabolism
akan tinggi sehingga konsumsi oksigen juga akan semakin tinggi.
d. Karbondioksida
Bila karbondioksida dalam dalam air tinggi maka laju metabolism
akan rendah.
23
e. Pasang surut
Pengambilan oksigen lebih besar pada waktu pasang dari pada
waktu surut sehingga laju metabolisme lebih tinggi pada waktu
pasang.
f. Siklus pergerakan air
Organisme yang hidup di perairan tenang mengonsumsi oksigen
lebih kecil daripada yang hidup di air deras, oleh karena itu oksigen
yang dibutuhkan untuk energi bagi organisme yang hidup di air deras
agar tidak terbawa arus.
g. Musim
Untuk daerah tropis seperti Indonesia, perbedaan suhu tidak
terlalu besar. Sedangkan pada daerah lintang tinggi, konsumsi
oksigen lebih tinggi pada musim dingin dari pada musim panas
karena energi digunakan untuk adaptasi terhadap lingkungan.
24
III. METODE PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat
Praktikum konsumsi oksigen ini dilakasanakan pada hari Jumat, tanggal 13
Maret 2009, bertempat di Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktik konsumsi oksigen, yaitu ember 1
buah sebagai wadah air tawar/ DO awal, botol respirasi 3 buah sebagai wadah
ikan/ DO akhir, selang 3 buah sebagai saluran aliran air, timbangan elektrik 1
buah untuk menimbang berat badan ikan, botol BOD 3 buah sebagai wadah air
yang akan diukur kadar oksigennya, stopwatch 3 buah untuk mengukur waktu,
dan DO meter 1 buah sebagai alat untuk mengukur kadar oksigen.
Sedangkan, bahan-bahan yang digunakan yaitu tissue roll 1 buah
sebagai bahan pembersih alat yang telah digunakan, ikan giru (Amphiprion spp.)
3 ekor sebagai sampel yang akan diamati, air laut sebagai media sampel.
C. Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan terhadap praktikum fisiologi hewan air
mengenai konsumsi oksigen, yaitu:
1. Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Mengisi ember dengan air laut sebagai DO awal.
3. Memasukkan air dari wadah ke dalam tiga buah botol respirasi, satu botol
untuk ikan besar, satu botol untuk ikan kecil dan satu botolnya lagi untuk
botol tanpa ikan.
4. Mengukur kadar oksigen terlarutnya dengan menggunakan DO meter,
sebagai DO awal.
25
5. Memasukkan dua ikan ke dalam tiap dua botol respirasi secara perlahan-
lahan sedangkan botol satunya dibiarkan kosong tanpa ikan.
6. Menutup botol respirasi dengan rapat agar tidak ada oksigen yang dapat
berdifusi ke dalam air.
7. Melakukan proses aklimatisasi selama 5 menit.
8. Mendiamkan botol respirasi selama 15 menit.
9. Mengukur kembali oksigen terlarut dalam air dengan menggunakan DO
meter serta berat ikan dengan menggunakan timbangan elektrik.
10. Mencatat hasil pengukuran yang diperoleh.
D. Analisis Data
1. Untuk menghitung konsumsi oksigen pada botol kontrol :
y = (DO awal – DO akhir ) x V / 1000 : t / 60
2. Untuk menghitung konsumsi oksigen pada ikan besar (x) dan ikan kecil (z) :
X = (DO awal – DO akhir) x V / 1000 : t / 60
Z = (DO awal – DO akhir) x V / 1000 : t / 60
3. Untuk menghitung total konsumsi oksigen ikan besar dan ikan kecil :
Ikan besar (A) = X - Y
Ikan kecil (B) = Z - Y
4. Untuk menghitung konsumsi O2/ berat badan (mgO2 / L / BB / jam).
Ikan besar =
ABerat total Ikan Ikan kecil =
BBerat total Ikan
5. Untuk menghitung konsumsi O2/ ekor (mgO2/ L/ ekor/ jam)
Ikan besar =
AJumlah Ikan Ikan kecil =
BJumlah Ikan
26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan yang telah dilakukan
mengenai konsumsi oksigen pada ikan Giru (Amphiprion spp.), maka diperoleh
hasil yang disajikan dalam tabel sebagai berikut:
X Y Z A D MgO2/L/BB/Jam MgO2/L/Ekor/Jam
12,024
mg/L
2,568
mg/L
4,632
mg/L
9,192
mg/L
1,8
mg/L
Ikan Besar: 0,364
Ikan Kecil: 0,284
Ikan Besar: 3,064
Ikan Kecil: 0,6
Tabel 1. Hasil Konsumsi Oksigen Ikan Giru
5 10 15 20 25-7.21644966006352E-16
0.0499999999999994
0.0999999999999995
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
Ikan Kecil
Ikan Besar
Berat Ikan (gr)
Kon
sum
si O
ksig
en(m
g O
2/L/
BB
/jam
)
Grafik 1. Perbandingan Berat Ikan Dengan Konsumsi Oksigen
B. Pembahasan
Dari data yang didapat, konsumsi oksigen dari ikan besar lebih banyak
dan berbanding lurus dengan berat badan bila dibandingkan dengan ikan kecil
dimana disini didapatkan hasil konsumsi oksigen ikan kecil seberat 6,33 gram
27
sebesar 0,284 mgO2/L/BB/jam sedangkan ikan besar seberat 25,21 gram senilai
0,364 mgO2/L/BB/jam. Sehingga asumsi dapat diberikan bahwa berat tubuh ikan
akan berpengaruh terhadap jumlah konsumsi oksigen, dimana bila ukuran tubuh
lebih besar, maka konsumsi oksigennya pun akan semakin meningkat dan ikan
dengan ukuran tubuh yang lebih besar membutuhkan energi dan oksigen yang
lebih banyak dan harus dibagi-bagi karena organ-organ dalam tubuhnya lebih
besar dibanding dengan ikan bertubuh kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat
Djawad (2008), bahwa semakin besar suatu organisme maka mengkonsumsi
oksigen semakin besar pula, karena semua anggota tubuhnya yang bergerak
memerlukan energi yang berasal dari oksigen dan makanan. Hal ini pula
didukung dengan pendapat Fujaya (2004), bahwa bahwa organ-organ pada
tubuh membutuhkan energi untuk difungsikan sehingga konsumsi oksigen yang
dibuthkanpun harus sesuai dengan ukuran tubuh.
Dari praktikum yang dilakukan didapati perbedaan nilai DO dari ketiga
botol yang diukur. Nilai DO awal dari air sebesar 7,42 mg/L, botol I di isi ikan giru
besar dialiri air laut sesuai dengan prosedur kerja setelah 15 menit diukur
kandungan DO diperoleh hasil 2,41 ppm, botol II diisi ikan giru kecil diberi
perlakuan sama dengan botol I diperoleh nilai DO sebesar 5,49 ppm dan botol III
tidak isi ikan diperoleh hasil kandungan DO sebesar 6,24 ppm. Dari hasil
perhitungan tersebut diperoleh jumlah DO pada setiap botol mengalami
pengurangan dibandingkan dengan DO awal. Hal tersebut disebabkan oleh botol
DO yang berisi ikan menggunakan oksigen yang terdapat dalam botol tersebut
untuk melakukan respirasinya dibandingkan dengan botol kontrol.
Aklimatisasi perlu dilakukan dalam percobaan konsumsi oksigen ini yang
digunakan sebagai perlakuan terhadap botol DO baik yang berisi ikan maupun
tidak, karena dengan aklimatisasi ikan dapat melakukan adaptasi dalam
mengonsumsi oksigen dan dapat melakukan pengaturan dalam tubuhnya
28
sehingga oksigen yang dikonsumsi dapat disesuaikan dengan jumlah kadar yang
ada di lingkungan dengan jumlah oksigen yang dibutuhkan tubuh sehingga tidak
menyebabkan oksigen berkurang akibat tidak adanya pengaturan oleh tubuh.
Terjadinya pengurangan DO pada botol disebabkan oleh bukan hanya
ukuran tubuh, tetapi menurut Burhanuddin (2008), tingkat konsumsi oksigen
sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor luar (tekanan oksigen, suhu,
dan lain-lain). Meningkatnya tekanan CO2 yang melebihi tekanan yang setara 10
mmHg, atau turunnya pH, dalam beberapa hal dapat meningkatkan laju respirasi.
Selain tekanan parsial oksigen, suhu, salinitas, CO2 dalam air jika sampai pada
batas tertentu akan diikuti oleh peningkatan laju metabolisme.
29
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari percobaan yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Konsumsi oksigen oleh ikan giru (Amphiprion spp.) yang berukuran besar
lebih tinggi dari ikan kecil, hal ini sesuai dengan hasil dari praktik yang
diperoleh bahwa konsumsi ikan besar 0,364 mgO2/L/BB/Jam sedangkan
ikan kecil 0,284 mgO2/L/BB/Jam. Hal tersebut dapat terjadi akibat ukuran
dan berat tubuh yang berbeda, dimana bila ukuran dan berat tubuh ikan
lebih besar, maka konsumsi oksigen juga lebih besar, dan sebaliknya.
2. Konsumsi oksigen botol kontrol dengan konsumsi oksigen botol yang berisi
ikan mengalami perbedaan dimana botol yang berisi ikan lebih sedikit kadar
konsumsi oksigennya. Hal ini disebabkan ikan menggunakan sebagian
oksigen yang berada dalam botol dalam proses respirasinya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi oksigen pada ikan yaitu suhu,
ukuran tubuh, aktivitas, musim dan jenis kelamin.
B. Saran
Saya sangat mengharapkan alat-alat yang akan digunakan dalam
praktikum dapat disediakan oleh laboratorium sehingga praktikan tidak perlu
membeli alat-alat praktikum, cukup hanya dengan membeli sampel praktikum.
30
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, Iqbal. 2008. Ikhtiologi. PT. Yayasan Citra Emulsi. Makassar.
Djawad, Iqbal. 2008. Penuntun Praktikum Fisiologi Hewan Air. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Fujaya, Yushinta. 2004. Fisiologi Ikan .PT. Rineka Cipta. Jakarta
Isnaeni. 2006. Fisiologi hewan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
31
LAMPIRAN
Dik : Do Awal = 7,42 mg mg/L Berat total ikan besar = 25,21 g
Do botol ikan Besar = 2,41 mg/L Berat total ikan kecil = 6,33 g
Do botol ikan kecil = 5,49 mg/L Rata-rata BB ikan besar = 8,403 g
Do akhir botol kontrol = 6,24 mg/L Rata-rata BB ikan kecil = 2,11 g
1. Untuk menghitung konsumsi oksigen pada botol kontrol
Y = (Do awal – Do akhir) x
V1000
:t60
= (7,42 – 6,24) x
6001000
:1560
= (1,18 x 0,6) : 0,25 = 2,832
= 2,832 mg/L
2. Untuk menghitung konsumsi oksigen pada ikan besar (X) dan ikan kecil (Z)
X = (Do awal – Do akhir) x
V1000
:t60
= (7,42 – 2,41) x
6001000
:1560
= (5,01 x 0,6) : 0,25 = 12,024
= 12,024 mg/L
Z = (Do awal – Do akhir) x
V1000
:t60
= (7,42 – 5,49) x
6001000
:1560
= (1,93 x 0,6) : 0,25 = 4,632
= 4,632 mg/L
3. Untuk menghitung total konsumsi oksigen pada :
Ikan besar (A) = X – Y
= 12,024 – 2,832 = 9,192 mg/L
32
Ikan kecil (D) = Z – Y
= 4,632 – 2,832 = 1.8 mg/L
4. Untuk menghitung konsumsi oksigen (mgO2/L/BB/jam)
Ikan besar =
ATotal Berat Badan
= 9,192 / 25,21
= 0,364 mgO2/L/BB/jam
Ikan kecil =
DTotal Berat Badan
= 1,8 / 6,33
= 0,284 mgO2/L/BB/jam
5. Untuk menghitung Konsumsi Oksigen (mgO2/L/ekor/jam)
Ikan besar = A / Jumlah Ikan Besar
= 9,192 / 3
= 3,064 mgO2/L/ekor/jam
Ikan kecil = D / Jumlah Ikan Kecil
= 1,8 / 3
= 0,6 mgO2/L/ekor/jam
33
34
LAPORANFISIOLOGI HEWAN AIR
PRAKTIKUM IV
HAEMATOLOGI
NAMA : KRISYE
NIM : L 111 07 057
KELOMPOK : III (TIGA)
ASISTEN : FEBE PRISKA
KONSENTRASI KONSERVASI SUMBERDAYA HAYATI LAUT
LABORATORIUM FISIOLOGI HEWAN AIR
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
35
MAKASSAR
2009I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Darah vertebrata adalah jaringan yang terdiri atas berbagai macam tipe
sel dalam matriks cairan plasma. Bahan-bahan penyusun darah adalah sangat
kompleks tetapi bila kita memikirkan banyak fungsi-fungsi yang dilakukan oleh
lapisan tersebut, hal ini bukanlah suatu hal istimewa. Keragaman muncul
diantara spesies ikan ketika indeks sel darah dibandingkan. Indeks pada
budidaya laut juga berubah-ubah sesuai dengan kualitas air (Djawad, 2008).
Sistem peredaran darah mempunyai banyak fungsi yakni secara umum
sebagai alat transpor antara lain, transport oksigen, karbondioksida, sari-sari
makanan, maupun hasil metabolisme. Darah mengalir dengan membawa
oksigen dari insang ke jaringan, krbondioksida ke kulit dan insang, produk
pencernaan dari usus ke hati. Untuk menunjang kerja fungsi darah yang normal
di atas, maka hal tersebut akan beralangsung dengan sempurna apabila sirkulasi
darah pada organisme ikan berjalan dengan normal dan darahnya sendiri berada
dalam kondisi sehat. (Lephas, 1999).
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai sistem peredaran darah pada
ikan, maka diadakan praktikum haematologi. Hal ini penting dalam hal budidaya
sehingga dalam pembibitan dan pemeliharaan organisme seperti ikan, kita bisa
mengetahui bagaimana kondisi kesehatan dari ikan tersebut.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bentuk sel darah merah (eritrosit) dan jumlah sel
darah yang terdapat dalam tubuh Ikan
36
2. Untuk menentukan jumlah persentase gumpalan darah dan plasma darah
yang terdapat dalam tubuh Ikan
3. Untuk mengetahui kondisi fisiologis ikan melalui tes darah.
Kegunaan dari kegiatan praktikum ini yaitu adalah agar mahasiswa atau
praktikan dapat menentukan presentase darah dalam tubuh ikan dan mengetahui
bagaimana melihat sel-sel darah baik sel darah merah, sel darah putih, ataupun
plasma darah, dapat mengetahui pengaruh dari kondisi ikan yang diamati dan
mengetahui kondisi kesehatan ikan serta dapat dijadikan pembanding antara
teori dengan hasil praktikum yang diperoleh.
37
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Haematologi
Haematologi merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari dan
menduga kesehatan suatu organisme dengan menjadikan darah sebagai bahan
uji dan indikasi sehat atau tidaknya suatu organisme (Bevelander, 1979).
Secara umum sistem peredaran darah pada semua vertebrata adalah
sama, namun tetap ada perbedaan-perbedaan diantara setiap kelompok hewan.
Hal tersebut tergantung dari anatomi, fisiologi dan kondisi lingkungan dari
organisme. Sistem peredaran darah melayani banyak fungsi, namun secara
umum berfungsi sebagai alat transpor gas-gas antara jaringan dan insang atau
paru-paru, transpor laktasi dari otot ke insang dan hati serta transpor gula
kembali ke jaringan (Isnaeni, 2006).
Pada prinsipnya tempat-tempat pengambilan darah digunakan oleh
hampir semua tipe pengambilan darah pada ikan. Hal ini memungkinkan
penggunaan tabung kecil atau penggunaan cannula, untuk mengambil darah dari
ikan yang berenang bebas dalam jangka waktu yang cukup panjang. Sebagai
contoh teknik ini dapat dapat digunakan untuk mengikuti perubahan dalam
tingkatan hormon lebih dari beberapa minggu. Bahan-bahan penyusun darah
(plasma darah, sel darah merah, sel darah putih). Di bagian lapisan tersebut
terdapat plasma. Bahan-bahan penyusun darah adalah sangat kompleks tetapi
bila kita memikirkan banyak fungsi-fungsi yang dilakukan oleh lapisan tersebut,
hal ini bukanlah suatu yang istimewa. Keragaman muncul di antara spesies ikan
ketika indeks sel darah merah dibandingkan indeks pada budidaya laut berubah-
ubah sesuai dengan kualitas air. Sebagai contoh pada ikan Salmon, banyaknya
38
volume sel atau haematokrit, berkisar antara 28-35 %, sedangkan pada ikan
bandeng kisarannya berubah antara 23-28 % (Djawad, 2008).
B. Komponen Darah
Darah terdiri dari dua kelompok besar yaitu sel dan plasma, fungsi dari
kedua kelompok tersebut kadang-kadang terpisah, kadang-kadang bergabung.
Contohnya: penggumpalan darah dan produksi antibodi (Djawad, 2008).
Ikan sebagaimana vertebrata lain, memiliki sel darah merah (eritrosit)
berinti dengan bentuk dan ukuran bervariasi antara satu spesies dengan lainnya.
Fungsi utama sel darah merah adalah untuk mengangkut haemoglobin yang
berperan membawa oksigen dari insang atau paru-paru ke jaringan. Pada
beberapa binatang tingkat rendah, haemoglobin beredar sebagai protein bebas
dalam plasma, tidak terbatas pada sel darah merah. Selain mentranspor
haemoglobin, sel darah merah juga mengandung asam karbonat dalam jumlah
besar yang berfungsi mengkatalisis reaksi antara karbondioksida dan air.
Dengan demikian darah dapat bereaksi dengan karbondioksida dan
mentranspornya dari jaringan ke insang (Fujaya, 1999).
Sel-sel darah merah berbentuk oval, tipis berdiameter 7 mikro hingga 66
mikro. Sel darah merah tiap mm3 darah berkisar antara 20.000 – 3 juta.
Pengangkutan oksigen dalam darah bergantung pada komponen Fe pada
haemoglobin (Anonim, 2009).
Dalam darah terdapat plasma darah yang merupakan suatu lapisan untuk
menjaga atau memelihara indeks darah dalam kisaran normal atau kecil/ sempit,
yang hal ini hanya berfungsi bila ikan tersebut dalam keadaan normal. Namun
dalam keadaan apapun indeks ini akan berubah dalam keadaan stress atau
menghadapi suhu yang berkisaran luas (Fujaya, 1999).
39
Kontraksi pembuluh dapat mengurangi aliran darah pada bagian yang
robek. Kontraksi ini dapat diakibatkan oleh refleks saraf pada bagian yang yang
robek. Selama waktu kontraksi, proses penyumbatan trombosit dan pembekuan
darah berlangsung. Pembekuan darah pada ikan mirip dengan vertebrata
lainnya. Ada tiga komponen utama sistem pembekuan darah yaitu: sejumlah
enzim yang berfungsi menghasilkan serabut fibrin dan fibrinogen: sel-sel darah
(keping-keping darah pada manusia, trombosit pada ikan) dapat menjadi perekat
menyumbat permukaan yang rusak dan sistem enzim fibrinolitik melarutkan
bekuan. Sistem tersebut dapat menutupi luka pada pembuluh darah namun
tidak menghalangi aliran darah pada pembuluh darah yang kecil, karena
adanya keseimbangan antara komponen-komponen yang saling bertentangan
(Fujaya, 1999).
Ikan menghadapi dua masalah yang membuat penggumpalan darah
menjadi suatu proses yang lebih sulit dibanding vertebrata darat. Darah pada
permukaan tubuh mengalami kesulitan untuk menggumpal karena enzim yang
diperlukan dan komponen-komponen penggumpalan akan tercuci sebelum
sumbat terbentuk. Sebaliknya pembekuan darah dapat terjadi secara spontan
akibat aliran darah sangat lambat atau berhenti mengalir pada bagian otot putih
karena timbunan laktat. Jumlah laktat pada otot dapat menajdi tinggi bila ikan
melakukan renang darurat atau tekanan kejadian-kejadian lainnya yang
menyebabkan ikan gelisah (Fujaya, 1999).
40
III. METODE PRAKTIK
A. Waktu dan Tempat
Praktikum Fisiologi Hewan Air dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 21
Maret 2009, pukul 09.00-12.00 WITA, bertempat di Laboratorium Fisiologi
Hewan Air, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin,
Makassar.
B. Alat dan bahan
Alat yang digunakan dalam percobaan haematologi ini yaitu: spoit 4 buah
untuk mengambil darah ikan, objek glass 3 buah untuk menyimpan sampel darah
yang akan diamati di bawah mikroskop, microhaematokrit 1 buah untuk
memisahkan plasma darah dan sel darah, deg glass 3 buah untuk menyimpan
darah sebelum diamati, mistar 1 buah untuk mengukur panjang gumpalan dan
plasma darah, stopwatch 1 buah untuk menghitung waktu, tabung reaksi 1 buah
untuk mensentrifugasi darah, mikroskop 1 buah untuk mengamati sel darah, lap
kasar 1 buah untuk alas peletakan ikan pada talang, talang 1 buah untuk
meletakkan ikan, baskom untuk tempat anastesi ikan , dan haemacytometer
sebagai wadah yang digunakan untuk mengetahui jumlah eritrosit.
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu: Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) 1 ekor sebagai sampel dalam praktikum, es batu 5 buah
untuk anastesi atau pembiusan, antikoagulan EDTA untuk mencegah
penggumpalan darah sehingga tidak membeku, alkohol 70 % untuk memfiksasi
41
darah, eosin (stain) untuk mewarnai sitoplasma, parafin untuk menyumbat
microhaematokrit, haematoxylin untuk mewarnai inti sel, tissue sebagai
pembersih alat, aquades sebagai media bagi ikan, methylen blue sebagai
pewarna darah.
C. Prosedur Kerja
Prosedur kerja praktikum adalah menyediakan bahan-bahan: 1 spoit
yang telah diberi antikoagulen EDTA, 1 tabung mikrohaematokrit, objek glass,
mikroskop dan zat pewarna.
A. Teknik pewarnaan
1. Menyiapkan semua peralatan dan bahan yang akan digunakan
2. Mengambil darah ikan dengan EDTA untuk antikogulan sebanyak 2-3
tetes, meletakkan pada objek glass, menyapu sampai rata dan
mengeringkan selama kurang lebih lima menit.
3. Memfiksasi dengan alkohol 70 % selama 5 menit
4. Mencelupkan pada eocyn (stain) selama 10 menit
5. Mencelupkan pada aquades selama 10 detik
6. Mengeringkan selama 5-10 menit, kemudian diamati di bawah
mikroskop
7. Mencelupkan ke dalam larutan Haematoxylin lalu mencelupkannya
dalam aquades.
8. Mengeringkan objek gelas tersebut kemudian mengamati di bawah
mikroskop dan menggambar hasil pengamatan.
B. Teknik Pemisahan Sel darah dan Plasma darah (Volume kumpulan sel)
1. Mengambil darah dari sampel ikan kemudian memasukkan ke dalam
microhaematokrit dan menyumbat salah satunya dengan menggunakan
parafin
42
2. Meletakkan microhaematokrit pada tabung reaksi/ tabung tes yang
telah disediakan kemudian disentrifugasi selama 5 menit
3. Setelah itu mengukur volume gumpalan darah (%) dan volume plasma
darah (%). Mengambil data beberapa sampel, bila volume gumpalan
darah lebih dari 30 % maka kemungkinan ikan tersebut sakit
4. Memperhatikan “lapisan Buffy” yang terbentuk antara gumpalan-
gumpalan darah mengumpul dibawah karena densitas darah.
C. Teknik menghitung Jumlah Eritrosit (Sel darah merah)
1. Mengambil darah ikan sebanyak 2 ml unit (0,02) kemudian diencerkan
(dilution) dengan menambahkan larutan Natt dan Herricks (metylen
violet) sebanyak 4ml, dikocok lalu tambahkan dengan EDTA agar darah
tidak menggumpal, campurkan larutan ini selama 3 menit.
2. Setelah itu mengambil darah yang telah diencerkan sebanyak 0,2 ml
dan letakkan pada kedua sisi haematocytometer dan dibiarkan selama
5 menit. Setelah 5 menit, diamati di bawah mikroskop dan menghitung
jumlah sel dalam 4 kotak kecil di bagian tengah segi empat besar,
jumlah rata-rata eritrosit dan dikalikan dengan 10.000.
D. Analisis Data
Rumus-rumus yang digunakan pada praktikum kali ini adalah :
% gumpalan darah =
panjang gumpalan darahpanjang total x 100%
Plasma darah = % panjang total - % gumpalan darah
Eritrosit = N x 104 sel/ mL
43
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Teknik Pewarnaan
Hasil pengamatan dibawah mikroskop setelah penambahan larutan
Haematoxylin:
Keterangan:
a a = Sitoplasma
b b = Nukleus
c c = Membran sel
B. Perhitungan
% Gumpalan darah =
panjang gumpalan darahpanjang total x 100 %
=
26 x 100 %
= 0,33 x 100 %
= 33,33 %
Plasma darah = % panjang total - % gumpalan darah
= 100 % - 33 %
= 66,67 %
Eritrosit = N x 10.000 sel/ ml
= 150 x 10.000
= 150 x 104 sel/ ml
C. Pembahasan
44
Setelah pewarnaan, sel darah ikan berwarna merah kekuningan. Sel
darah pada sampel yang diamati berbentuk bulat, ukurannya sedang yang
menandakan bahwa sel darah ikan tersebut masih muda. Hal ini sesuai dengan
pendapat Fujaya (1999). Bahwa jika ikan memiliki sel darah berbentuk agak
sedikit bulat atau oval maka ikan tersebut masih muda, sedangkan bila
berbentuk lonjong maka sel darah tersebut sudah tua. Jumlah sel darah merah
yang diperoleh pada ikan yang diamati yaitu 150 x 104 sel/ml. Hasil
haematoxylinnya yaitu pada inti sel bersifat basah dan berwarna ungu
sedangkan eritrositnya bersifat asam dan berwarna merah.
Hasil persentase gumpalan darah dalam tubuh ikan yang diamati yaitu
mencapai 33,33 % dimana panjang gumpalan darah 2 dibagikan dengan panjang
darah 6 kali lalu dikalikan dengan 100 %. Hal ini sesuai dengan teori Fujaya
(1999), dimana hasil ini menunjukkan bahwa ikan yang dijadikan sampel berada
dalam kondisi sakit karena jika persen dari gumpalan darah lebih dari 30% maka
diindikasikan ikan yang dijadikan sampel dalam keadaan sakit sehingga proses
metabolisme yang terjadi dalam tubuhnya tidak berjalan dengan baik. Karena
proses metabolisme yang tidak sempurna maka pertumbuhannya pun tidak
berjalan lancar baik dalam hal reproduksi maupun konsumsi oksigen.
Persentase plasma darah yang diperoleh adalah mencapai 66,67 %
dimana 100 % panjang total dikurangi persen gumpalan darah. Menurut
Rahardjo (1980), plasma darah merupakan cairan yang jernih berisikan mineral
terlarut, hasl pencernaan makanan yang diabsorpsi, hasil buangan jaringan:
enzim, antibody, dan gas terlarut.
Menurut Fujaya (1999), penggumpalan darah pada ikan digunakan untuk
menentukan kondisi ikan, darah pada ikan dapat menggumpal sekitar 20-30 %
detik , tetapi apabila darah diambil tanpa menyebabkan luka dan dari ikan yang
45
yang tidak terganggu maka darah tersebut dapat bertahan sampai satu jam pada
glass objek yang bersih tanpa penggumpalan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil perhitungan dan pembahasan di atas maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan yaitu:
1. Bentuk sel darah merah (eritrosit) pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) yang
diamati adalah bulat yang menandakan bahwa sel darah ikan tersebut masih
muda dan jumlah sel darah merah yang terdapat dalam tubuh ikan tersebut
adalah 150 x 104 sel/ml.
2. Jumlah persentase penggumpalan darah yang terdapat dalam tubuh Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) adalah 33,33 % sedangkan plasma darahnya 66,67%.
3. Kondisi fisiologis ikan melalui tes darah yaitu ikan yang diamati tersebut
dalam kondisi sakit karena persentase gumpalan darah lebih dari 30%
sehingga laju metabolisme dalam tubuhnya berjalan kurang baik.
B. Saran
Sebaiknya dalam praktikum, praktikan tidak dibagi dalam mengerjakan
pewarnaan dan perhitungan sel darah, sehingga praktikan bisa menguasai
prosedur kerja dan mengetahui hasil kerja yang telah dilakukan tidak hanya
pewarnaan saja atau perhitungan saja dalam praktikum haematologi.
46
DAFTAR PUSTAKA
Bevelander, C. 1979. Dasar-dasar Histologi. Erlangga. Jakarta.
Djawad, Iqbal. 2008. Penuntun Praktikum Fisiologi Hewan Air. Jurusan ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin. Makassar.
Fujaya, Yushinta. 1999. Fisiologi Ikan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta.
Lephas, 1999. Fisiologi Ikan. Universitas Hasanuddin Makassar.
Anonim, 2009. www.O-fish.com. Diakses tanggal 25 Maret 2009 jam 17.00 WITA
47
48
LAPORANFISIOLOGI HEWAN AIR
PRAKTIKUM III
ANASTESI
NAMA : KRISYE
NIM : L 111 07 057
KELOMPOK : III (TIGA)
ASISTEN : FEBE PRISKA
KONSENTRASI KONSERVASI SUMBERDAYA HAYATI LAUT
LABORATORIUM FISIOLOGI HEWAN AIR
JURUSAN ILMU KELAUTAN
49
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2009I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. (Wikipedia, 2009)
Kompleksitas dari sejumlah proses kontrol fisiologi pada telestoi dan
crustacean telah dipelajari menyusul pembedahan dengan pemotongan
beberapa jaringan. Selanjutnya aspek tertentu dari reproduksi budidaya laut
masih tergantung pada manipulasi pembedahan, salah satu contoh sederhana
adalah ablasi dan pemotongan kelenjar hypophysectoning untuk contoh yang
lebih kompleks. (Djawad, 2008)
Metode pembedahan dapat diterapkan pada budidaya teleostei, dengan
perhatian khusus pada gonadectomy. Prosedur telah memberikan pengetahuan
dalam perkembangan mekanisme yang mendasar dan karakteristik sex sekunder
dan tingkah laku pada ikan. Gabungan terapi pengganti, gonadectomy telah
membantu dalam peningkatan pengetahuan pada endokrin khususnya sekitar
reproduksi ikan. Sex sekunder lebih berguna dalam membedakan jantan dengan
betina meskipun kadang kala tidak memberikan hasil yang positif (Djawad,
2008).
Untuk mengetahui secara langsung bagaimana pembedahan dan
anastesi dilakukan maka diadakan praktik ini terhadap organisme diperairan
dalam hal ini ikan mas (Cyprinus carpio).
50
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dilaksanakannya kegiatan praktikum ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui dan membedakan karakteristik seks primer dan
sekunder pada ikan mas (Cyprinus carpio).
2. Untuk mengetahui metode anastesi pada ikan mas (Cyprinus carpio).
3. Untuk mengetahui teknik pembedahan pada ikan mas (Cyprinus
carpio).
Sedangkan kegunaan dari praktikum kali ini adalah mengetahui
metodologi atau cara anastesi dan pembedahan pada ikan, serta dapat dijadikan
bahan perbandingan antara teori dari bahan kuliah dan kenyataan yang terjadi.
51
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Anastesi
Istilah anastesi diturunkan dari dua kata Yunani yang secara bersama-
sama berarti “hilangnya rasa atau sensasi”. Istilah ini digunakan para ahli syaraf
dengan maksud untuk menyatakan bawa terjadi kehilangan rasa secara
patologis dan bagian tertentu dari tubuh. Anastesi juga dilakukan oleh John
Elitson dari rumah sakit London Utara untuk melakukan hipnotis untuk
mengendalikan nyeri sewaktu pembedahan pada permulaan abad ke sembilan
belas tepat sebelum dilakukan anastesi umum secara farmakologis. Anastesi
umumnya menunjukkan bahwa penderita telah dibuat tidak sadar dengan obat-
obatan namun dapat disadarkan kembali pada pelaksanaan tindakan
pembedahan yang menyakitkan. Anastesi lokal dilakukan pada sebagian tubuh
saja. Penderita bebas nyeri dalam keadaan sadar, kecuali dilakukan suatu teknik
gabungan anestasi umum dengan anastesi lokal atau digunakan sedasi (Omar,
1999).
Anastesiologi merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang tidak
berorientasi pada organ atau umur, tetapi pada fungsi. Dengan demikian maka
hubungan dengan cabang-cabang ilmu yang lain cukup banyak, bahkan
seringkali ruang lingkup anastesi merupakan titik temu persilangan cabang ilmu
medik dan bedah (Djawad, 2008).
Menurut Omar (1999), Tujuan anastesi itu sendiri dalam ilmu yaitu :
1. Menghilangkan rasa nyeri dan stres emosi selama pembedahan atau proses
medik lain
52
2. Melakukan pengelolaan tindakan medik umum kepada organisme yang di
bedah, menjaga fungsi organ tubuh dalam batas-batas normal sehingga
keselamatan pasien terjaga.
3. Menciptakan kondisi pembedahan yang sebaik mungkin agar orang yang
membedah dapat melakukan tugas secara mudah dan efektif.
B. Ciri Seks Primer dan Seks Sekunder
Sifat seksual primer pada ikan ditandai dengan adanya organ yang
secara langsung berhubungan dengan proses reproduksi, yaitu ovarium dan
pembuluhnya pada ikan betina, dan pada ikan jantan testis dengan
pembuluhnya. Tanpa melihat tanda-tanda lain pada ikan, kiranya akan sukar
untuk mengethaui organ seksual primernya. Dengan demikian kita tidak dapat
membedakan ikan jantan dengan ikan betina. Satu cara yang terbaik untuk
mengetahui hal tersebut dengan mengadakan anastesi. Namun hasil
pembedahan itu belum tentu positif. Lebih-lebih kalau kita belum mengetahui
bahwa ikan itu mempunyai sifat seksual yang lain. Biasanya pada ikan-ikan
muda sifat seksual primernya sukar ditentukan walaupun ikan itu gonokhortis
berdiferensiasi (Fujaya, 1999).
Sifat seksual sekunder ialah tanda-tanda luar yang dapat dipakai untuk
membedakan jantan dan betina. Apabila salah satu spesies ikan mempunyai
sifat morfologi yang dapat dipakai untuk membedakan jantan dan betina, maka
spesies itu mempunyai seksual dimorfisme. Apabila yang menjadi tanda tadi itu
warna, maka ikan itu mempunyai warna yang lebih cerah dan lebih menarik dari
pada ikan betina (Rahardjo, 1980).
Pada dasarnya sifat seksual sekunder dapat dibagi menjadi dua yaitu
(Effendi, 2002) :
53
a. Sifat seksual sekunder yang bersifat sementara, hanya muncul pada waktu
musim pemijahan saja. Misalnya ‘ovipositor’ pada ikan Bitterling (Rhodeus
amarus), yaitu alat yang dipakai untuk menyalurkan telur ke bilvavia. Pada
ikan Nocomis biguttatus dan Semotilus atromaculatus jantan terdapat
semacam jerawat di atas kepalanya pada waktu musim pemijahan. Selain
dari itu banyaknya jerawat dengan susunannya yang khas pada spesies
tertentu bisa dipakai untuk tanda mentuakan spesies. Jadi penentuan
spesies ikan ini hanya dapat dilakukan pada musim pemijahan saja. Di luar
musim pemijahan tanda-tanda tadi tidak ada.
b. Sifat seksual sekunder yang bersifat permanen atau tetap, yaitu tanda ini
tetap ada sebelum, selama dan sesudah musim pemijahan. Misalnya tanda
bulatan hitam pada ekor ikan Amia calva jantan, gonopodium pada
Gambusia affinis, clasper pada golongan ikan Elasmobranchia, warna yang
lebih menyala pada ikan Lebistes, Beta dan ikan-ikan karang, ikan
Photocornycus spiniceps yang berparasit pada ikan betinanya dan
sebagainya.
54
III. METODE PRAKTIK
A. Waktu dan Tempat
Praktikum Fisiologi Hewan Air dilakukan pada hari Jumat, tanggal 20
Maret 2009, pukul 09.00-12.00 WITA, bertempat di Laboratorium Fisiologi
Hewan Air, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin,
Makassar.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah baskom 1 buah untuk
tempat menaruh ikan, talang 1 buah untuk meletakkan ikan, pisau bedah 1 buah
untuk membedah ikan, scapel 2 buah sebagai alat bantu dalam pembedahan
ikan, jarum bedah 1 buah untuk menjahit luka pada ikan, stop watch 1 buah
untuk menghitung waktu
Sedangkan bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah Ikan
Mas (Cyprinus carpio) 2 ekor sebagai sampel dalam praktikum, es batu
secukupnya untuk anastesi atau pembiusan, tissue roll untuk membersihkan alat,
alkohol 70 %, benang bedah untuk menjahit ikan, dan metilyen blue untuk
mensterilkan air.
C. Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum anastesi ini
adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan semua peralatan dan bahah yang akan digunakan.
2. Mengambil baskom yang berisi air lalu masukkan es batu ke dalam
baskom
55
3. Memasukkan ikan ke dalam baskom dan menghitung waktu ikan akan
pingsan dan hitung rentang waktu ikan pingsan.
4. Setelah ikan pingsan letakkan ikan tersebut di talang yang dialasi oleh lap
kasar.
5. Menyeterilkan semua peralatan yang akan digunakan dengan
menggunakan alkohol.
6. Pembedahan mulai dilakukan dengan menggunakan pisau bedah hitung
lamanya pembedahan.
7. Pembedahan dilakukan dengan teknik menghitung sisik ke tiga di atas
sirip perut dan dari bagian tersebut dibedah hingga ke atas bagian sirip
dubur.
8. Setelah ikan dibedah kita melihat seks primer ikan dengan bantuan
scapel. Lalu dimulailah penjahitan ikan.
9. Penjahitan ikan dilakukan dengan menggunakan jarum bedah dan
benang bedah, penjahitan dilakukan dengan hati-hati agar organ dalam
ikan tidak rusak.
10. Setelah penjahitan luka selesai, kemudian ikan dimasukkan ke dalam
aquarium, untuk menghilangkan pengaruh pembiusan. Catat waktu yang
diperlukan agar pengaruh pembiusan pada ikan hilang.
56
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 1. Hasil pengamatan yang didapatkan dalam praktikum ini.
Ikan Nila
(Oreochormis niloticus)
Lama waktu
Pingsan
Rentang waktu
Pingsan
Lama Pembedahan
Waktu Pulih Keterangan
I 5 menit 5 detik
40 mnt 53 dtk 24 mnt 4 dtk 54 mnt 46 dtk Jantan
II 4 menit 43 detik
10 mnt 39 dtk 16 mnt 16 dtk 26 Jantan
B. Pembahasan
Teknik pembedahan yang dilakukan pada ikan mas, yaitu dimulai dengan
perlakuan pembiusan sehingga ikan tidak akan merasakan sakit ketika organ
tubuhnya dibedah. Sesudah itu dilakukanlah teknik pembedahan dengan
membuat pola bagian tubuh yang akan dibedah, yaitu dilakukan dengan
menghitung tiga jumlah sisik di atas sirip perut dan menyamping agak ke bawah
hingga ke atas bagian sirip dubur, penjahitan ini dilakukan dari bagian atas
menuju ke bagian bawah supaya organ dalam tubuh ikan tidak ikut terjahit ketika
pelaksanaan penjahitan berlangsung.
Kedua ikan mas yang telah dibedah dan setelah diamati diperoleh jenis
kelamin jantan. Hal ini ditandai dari ciri seksual primernya, yaitu organ reproduksi
(gonad) yang diamati berupa testis berbentuk longitudinal yang berwarna putih
kekuningan (putih susu). Hal inipun telah diperkirakan sebelumnya sebelum
dibedah berdasarkan ciri seksual sekundernya dari segi ukuran tubuh dan
warnanya, dimana ukuran tubuhnya kecil atau langsing dan warna yang dimiliki
57
ikan mas tersebut berwarna orange kecerahan yang digunakan sebagai salah
satu penarik terhadap lawan jenisnya yang betina (Fujaya, 1999)
Waktu yang diperlukan ikan untuk pulih untuk ikan mas pertama yaitu 4
menit 46 detik sedangkan ikan mas yang kedua yaitu 26 jam. Ikan pada
kelompok I lebih cepat untuk pulih yang ditandai dengan kemampuan ikan untuk
berenang dengan lurus dibanding ikan yang kedua yang walaupun sudah
pergantian hari masih berenang terbalik. Hal ini dikarenakan oleh faktor
kesalahan yang dilakukan ketika melakukan penjahitan, dimana ikan yang kedua
tidak dapat berenang seperti biasa karena kemungkinan adanya organ-organ
tubuh yang ikut terjahit ketika benang dimasukkan ke dalam tubuh dengan
menggunakan jarum bedah. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi, yaitu
waktu yang digunakan ikan untuk anastesi dan untuk pulih dari pingsan
tergantung dari umur ikan, jenis kelamin ikan, ukuran/ berat badan ikan dan
faktor-faktor lingkungan lainnya seperti suhu yang digunakan untuk anastesi.
58
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil perhitungan dan pembahasan di atas maka dapat diatarik
beberapa kesimpulan yang di antaranya:
4. Sifat seksual sekunder pada kedua ikan Mas (Cyprinus carpio) yaitu jantan
yang ditandai dengan ciri seksual primer berupa testis yang berwarna putih
susu dan ciri seksual sekunder berupa warna yang cerah.
5. Metode anastesi atau pembiusan yang dilakukan yaitu dengan mengunakan
anastesi umum sehingga keseluruhan tubuh ikan tidak merasakan sakit ketika
pembedahan.
6. Teknik pembedahan yang dilakukan yaitu dengan menggunakan pisau bedah
dengan membuat pola pada tubuh ikan di atas sirip perut dengan patokan tiga
sisik ke atas hingga ke sirip dubur.
B. Saran
Sebaiknya dalam praktikum, alat-alat yang akan digunakan pada
praktikum-praktikum fisiologi hewan air dapat disediakan oleh laboratorium
sehingga dapat menunjang keberhasilan dari praktikum-praktikum yang akan
dilakukan
59
DAFTAR PUSTAKA
Djawad, Iqbal. 2008. Penuntun Praktikum Fisiologi Hewan Air. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Effendi, Yushita. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
Fujaya, Yushinta. 1999. Fisiologi Ikan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Omar, Syarifuddin. 1999. Modul Ikhtiologi Fungsional. Universitas hasanuddin. Makassar.
Rahardjo. 1980. Ichtyologi . Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Wikipedia. 2009. Anastesi. http://www.id.wikipedia.org/anastesi. Diakses tanggal 30 Maret 2009 jam 17.00 WITA