Post on 06-May-2018
LANTINGJournal of Architecture
Volume 1, Nomor 2, Agustus 2012 ISSN 2089-8916
DEWAN REDAKSI
Pimpinan RedaksiMuhammad Tharziansyah, MT.
Sekretaris RedaksiNaimatul Aufa, M.Sc.
Anggota:J.C. Heldiansyah, M.Sc.
Dila Nadya Andini, M.Sc.
Reviewer:Prof. Dr. Rusdi H. A., M.Sc.Dr. Budi Prayitno, M.Eng.
Dr.-Ing. Ir. Gagoek HardimanDr. Ir. Syahril Taufik, MSc. Eng.
Dr. Laila Zohra, M.Eng.
Desain Cover, Setting dan Tata Letak:J.C. Heldiansyah, M.Sc.
Alamat RedaksiProgram Studi Teknik Arsitektur Universitas Lambung Mangkurat
Jl. Jalan A. Yani Km.36 Banjarbaru – Kalimantan Selatan 70714Email: jurnallanting@gmail.com
DITERBITKAN OLEH:Program Studi Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Dekan:Ir. Norman Ruslan, MT
Ketua Program:Ir. M. Deddy Huzairin, M.Sc.
LANTING Journal of Architecture terbit pertama kali bulan Februari 2012. Dewan Redaksimenerima sumbangan artikel terpilih di bidang teknik arsitektur untuk dimuat pada
LANTING Journal of Architecture. LANTING Journal of Architecture diterbitkan 2 (dua) kalidalam 1 (satu) tahun pada bulan Februari dan Agustus. Artikel yang diterbitkan bulan
Februari diterima Dewan Redaksi paling lambat akhir bulan Oktober dan yang diterbitkanbulan Agustus diterima dewan redaksi paling lambat akhir bulan April
LANTINGJournal of Architecture
Volume 1, Nomor 2, Agustus 2012 ISSN 2089-8916
DAFTAR ISI
HalamanEDITORIAL
Menggali Makna Arsitektur Vernakular: Ranah, Unsur, dan Aspek-AspekVernakularitasIra Mentayani dan Ikaputra
68-82
Konservasi Kawasan Menteng, JakartaBambang Daryanto
83-95
Konsep Pengelolaan Tapak Permukiman di Lahan Rawa, BanjarmasinDahliani
96-105
Tanggapan terhadap Iklim sebagai Perwujudan Nilai Vernakular pada RumahBubungan TinggiM. Ibnu Saud
106-116
Hubungan Concept, Context, dan Content pada Karya Bernard TschumiPrima Widia Wastuty
117-123
Inovasi Design Level-Polyculture (Lp) Guidelines dalam Perancangan LansekapKawasan Industri yang Ekologis
124-137
J. C. Heldiansyah dan Gusti Novi Sarbini
LANTINGJournal of Architecture
Volume 1, Nomor 2, Agustus 2012 ISSN 2089-8916
EDITORIAL
Rumah LANTING di Sungai Martapura, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, sejak tahun 1979
Rumah “LANTING” merupakan rumah rakit, rumah mengapung di sepanjang sungai, yang secaratradisi menjadi salah satu bentuk perumahan tradisonal masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan.Syamsiar Seman, 2001, memasukkan rumah lanting ini dalam urutan terakhir dari tipologi rumaharsitektur banjar, yang dapat pula memberikan makna hirarki dan strata sosial terendah sertamarginal dari masyarakatnya.
Berpijak pada pemahaman tersebut di atas, maka gambaran rumah “LANTING” ini memberikanmakna dan simbol arsitektur yang patut menjadi perhatian bagi semua pihak. Pertama, perhatian kita“LANTING” sebagai wadah permukiman/perumahan masyarakat marginal, maupun arsitektur(permukiman) tepian yang menyertainya, kedua sebagai gambaran arsitektur vernakular darilingkungan masyarakatnya, dan ketiga, “LANTING” menggambarkan pula keunikanperumahan/permukiman di atas air yang akan segera terkikis oleh zaman.
Keinginan dan atensi untuk keberpihakan pada masyarakat kelas bawah/marginal melalui kajianperumahan/permukimannya, kajian arsitektur vernakular, kajian berbagai keunikan dan teknologirumah apung, menjadi alasan dasar untuk mengangkat nama “LANTING” menjadi nama jurnal ilmiahini, walaupun tidak menutup pada kajian-kajian arsitektur lainnya yang relevan dalam pengembanganilmu arsitektur. Hal ini sejalan pula dengan tema Program Studi Arsitektur FT Unlam yang menjadikanmasalah lingkungan binaan pada kawasan sungai dan rawa sebagai unggulan program studi.
Mudah-mudahan terbitan kedua ini dapat menjadi wacana pencerahan ilmiah dalam kajian arsitekturdan terbitan jurnal arsitektur “LANTING” selanjutnya.
Banjarbaru, 1 Agustus 2012Pakhri Anhar
106
LANTING Journal of Architecture, Volume 1, Nomer 2, Agustus 2012, Halaman 106-116ISSN 2089-8916
TANGGAPAN TERHADAP IKLIM SEBAGAI PERWUJUDAN NILAIVERNAKULAR PADA RUMAH BUBUNGAN TINGGI
Mohammad Ibnu SaudMahasiswa Program Pasca Sarjana, Prodi Arsitektur Universitas Gadjah Mada
ibnusaud@gmail.com
AbstrakKeterbatasan energi merupakan tantangan terbesar abad ini, demikian pula dalam arsitektur.Efisiensi energi sebenarnya bukanlah kriteria baru dalam desain arsitektur. Arsitektur vernakulardiyakini melakukan tanggapan terhadap iklim melalui penggunaan sumber daya minimum untukmendapatkan kenyamanan maksimum. Rumah Bubungan Tinggi dalam konteks iklim tropis lembabpada lahan basah di Kalimantan Selatan diasumsikan tanggap terhadap iklim. Bagaimanakah konseptanggapan terhadap iklim pada Rumah Bubungan Tinggi? Bagaimanakah penerapan tanggapanterhadap iklim tersebut pada Rumah Bubungan Tinggi? Jawabannya bisa menjadi identifikasi awalbagi arsitektur di Kalimantan Selatan dalam menanggapi iklim secara passive design. MenurutRapoport (1969) dalam konteks iklim, arsitektur vernakular bisa dilihat sebagai shelter pengendalikenyamanan termal. Rumah Bubungan Tinggi sebagai bangunan vernakular, mempertimbangkanfaktor iklim untuk mencapai kenyamanan termal. Tanggapan tersebut disesuaikan dengan konteksiklim lokal yaitu pada hal-hal berupa bentuk, material dan konstruksi, serta elemen-elemenpengendali iklim.Kata Kunci: vernakular, rumah bubungan tinggi, kenyamanan termal
AbstractLimitations of energy is the greatest challenge of this century, as well as in architecture. Energyefficiency is not really a new criterion in the design of architecture. Vernacular architecture is believedto initiate a response to the climate through the use of minimum resources to get maximum comfort.RumahBubunganTinggi in the context of the humid tropical climate in the wetlands of SouthKalimantan is assumed to respond to climate. How does the concept of climate responseofRumahBubunganTinggi? How does the application of the climate response toRumahBubunganTinggi? The answer could be the initial identification of the architecture in SouthKalimantan in response to climate passive design. According to Rapoport (1969) in the context ofclimate, vernacular architecture can be seen as a shelter controlling thermalcomfort.RumahBubunganTinggi as a vernacular building is considering climatic factors in order toachieve thermal comfort. The response is suited to the context of the local climate on things such asthe shape, material and construction, as well as climate control elements.Keywords: vernacular, rumahbubungantinggi, thermal comfort
PENDAHULUAN
Latar BelakangPemanasan global dan keterbatasan
energi merupakan tantangan terbesar diabad ini. Seluruh aspek kehidupan mulaimempertimbangkan dua hal ini dalampengembangannya, tak terkecuali arsitektur.Arsitektur dituding sebagai pemakai energidan penyumbang pemanasan globalterbesar (Priatman, 2003). Tidak dapatdipungkiri bahwa usaha arsitektur dalammemberikan kenyamanan padapenggunanya justru mengorbankan bumidimana arsitektur itu berada.
Efisiensi energi sebenarnya bukanlahkriteria baru dalam desain arsitektur.
Konteks keberadaan bangunan selaluditentukan oleh batasan-batasan iklim danmaterial bangunan. Sepanjang sejarah, iklim,energi dan kebutuhan sumber dayamerupakan hal-hal fundamental dalamarsitektur (Priatman, 2002). Bila melihatperjalanan panjang arsitektur pada masalampau, nenek moyang kita telah lebih arifdalam memanfaatkan alam. Bangunan-bangunan yang dibangun pada masatersebut sangat memperhatikan danberadaptasi dengan perilaku alam terutamadalam cara-cara yang sederhana dan dalampenggunaan sumber daya yang efisien.Kenyamanan dicapai dengan melihatbagaimana perilaku alam dan mengelolanyasedemikian rupa sehingga keharmonisan
107
terjadi antara penghuni bangunan denganlingkungan alamnya.
Rumah-rumah tradisional diyakinisebagai wujud arsitektur yang telahmengalami percobaan-percobaan (trial anderror) dalam menghadapi perilaku alam(Rapoport, 1969). Setiap rumah tradisionalmemiliki perbedaan-perbedaan, sesuaidengan alam dimana ia berada. Pada masaperkembangannya, rumah-rumah iniberhenti berkembang, karena kemajuanteknologi yang mampu memberikankenyamanan secara aktif. Kenyamanandipenuhi oleh mesin-mesin buatan manusiayang sampai pada akhirnya ternyata malahmengancam keberlangsungan kehidupanmanusia itu sendiri (Moore, 1993). Tidakhanya itu, dimanapun daerahnya berada,model kenyamanan yang diberikan olehmesin-mesin tersebut sama. Sehinggarumah-rumah sekarang tipikal di setiaptempat.
Saat ini, pengetahuan-pengetahuantentang passive design dalam arsitekturterus digali dan dikembangkan, baik secaramodern maupun dengan melihat kembalipada apa yang telah dilakukan oleharsitektur vernakular di masa lalu. Arsitekturkontemporer akan diperkaya secara estetikmaupun operasional melalui kajian terhadapprinsip-prinsip dasar tanggapan secara iklimpada arsitektur vernakular (Moore, 1993).Berkaitan dengan iklim, kajian-kajian tentangrumah tradisional di beberapa daerah puntelah dilakukan.
Menurut Rapoport (1969) iklim menjadisalah satu aspek penting yangmempengaruhi penentuan bentuk padahunian vernakular, terutama mengingatpada kondisi keterbatasan teknologi sistempengendalian lingkungan, manusia tidakbisa mendominasi alam tetapi harusberadaptasi. Lebih lanjut Rapoportmenguraikan bahwa aspek mendasar dalammengatasi permasalahan iklim ada padakemampuan masyarakat vernakularmelakukan pemilihan site, material yangsesuai dengan iklim lokal, menggunakansumber daya minimum untuk mendapatkankenyamanan maksimum dan adaptasi modeltradisional terhadap kondisi iklim. Dalamkonteks tanggapan terhadap iklim, Rapoportmenyebut hunian sebagai alat pengendalikenyamanan termal, yang dicapai dengancara berkolaborasi dengan lingkungan.
Indonesia adalah negara beriklimtropis lembab yang memiliki variasibangunan vernakular yang cukup tinggi,tersebar di sepanjang wilayahnya. Hampirsemua arsitektur vernakular di Indonesiadicirikan oleh bentuk rumah panggungdengan pondasi titik, bentuk atap yangbervolume besar menjulang dengankemiringan tertentu dan diteruskan denganteritisan yang lebar, salah satunya sebagaipenyelesaian terhadap permasalahankondisi iklim topis panas lembab dengancurah hujan yang tinggi (Tjahjono, 1998).
Rumah Bubungan Tinggi merupakansalah satu bentuk arsitektur vernakular yangada di Kalimantan Selatan. Dari sebelas tipebangunan tradisional di Kalimantan Selatan,pada masa lalu Rumah Bubungan Tinggimerupakan bangunan yang dipergunakanuntuk keluarga raja, dan padaperkembangan selanjutnya, digunakan pulaoleh saudagar, sehingga jika dibandingkandengan tipe-tipe lainnya, tipe inidiasumsikan lebih memperhatikan faktor-faktor kenyamanan dan tanggapan terhadapiklim. Perpaduan iklim dan geografiKalimantan Selatan berupa iklim tropislembab pada lahan basah (rawa) turutmempengaruhi penyelesaian RumahBubungan Tinggi.
Rumah Bubungan Tinggi di DesaTeluk Selong Ulu terletak di tepi SungaiMartapura, sudah berusia + 142 tahun,dibangun pada tahun 1867 M oleh seorangsaudagar, pernah digunakan sebagaimarkas pada masa perang kemerdekaan,saat ini dijadikan cagar budaya olehPemerintah Propinsi Kalimantan Selatan.Rumah Bubungan Tinggi ini menjadi salahsatu dari sedikit Rumah Bubungan Tinggiyang tersisa di Kalimantan Selatan yangmasih dalam kondisi aslinya. RumahBubungan Tinggi ini dipilih karenakelengkapan datanya dan telah pernahdilakukan identifikasi awal mengenai strukturdan anatomi ruangnya oleh Seman (2001)dan Muchamad (2007).Pertanyaan Penelitian1. Bagaimanakah konsep tanggapan
terhadap iklim pada Rumah BubunganTinggi?
2. Bagaimana penerapannya pada RumahBubungan Tinggi?
108
Tujuan Penelitian1. Mengidentifikasi konsep tanggapan
terhadap iklim pada Rumah BubunganTinggi.
2. Mengidentifikasi penerapannya padaRumah Bubungan Tinggi.
Cara PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian
rasionalistik, dengan melakukan kajianterhadap literatur untuk membuat suatulandasan teori. Landasan teori ini kemudianmenjadi acuan dalam mengkaji data-dataempirik. Pengambilan data dilakukan diRumah Bubungan Tinggi Teluk Selong,Martapura Kalimantan Selatan. Literaturutama yang digunakan untuk kajian rumahbubungan tinggi adalah tulisan SyamsiarSeman (2001) berjudul Arsitektur TradisionalBanjar Kalimantan Selatan dan tulisan BaniNoor Muchamad (2007) berjudul AnatomiRumah Bubungan Tinggi. Seman mengulasbubungan tinggi dari sudut pandang budaya,sedangkan Muchamad mengulas dari sudutpandang anatomi keruangan dan struktur.Untuk kajian mengenai vernakular dan iklim,digunakan pendapat Rapoport (1969) dalamHouse, Form, and Culture sebagai acuanutama.
Prosedur penelitian ini terbagi menjadi3 tahap, yaitu:1. Tahap perumusan data, baik yang
bersumber pada literatur maupun dataempirik.
2. Tahap analisis, meliputi analisis dataprimer dan sekunder, secara kualitatifdan grafis. Analisis dilakukan denganmelihat konsep tanggapan terhadapiklim dari segi bentuk, material, danelemen-elemen pengendali termal.Kemudian dilakukan pengkajianpenerapan konsep-konsep tersebutpada Rumah Bubungan Tinggi.
3. Tahap Sintesis, yaitu tahap penarikankesimpulan berdasar hasil analisis,tentang konsep tanggapan iklim sebagaiperwujudan nilai vernakular padaRumah Bubungan Tinggi dankesimpulan tentang penerapan konseptersebut pada Rumah Bubungan Tinggi.
KAJIAN PUSTAKA
Berdasarkan pertanyaan penelitiantersebut di atas, kajian pustaka yang akandibahas berikut berkaitan dengan vernakular,
kaitan iklim dengan vernakular, dantanggapan arsitektur vernakular terhadapvariabel iklim terutama di lingkungan tropislembab.Vernakular
Kata vernacular berasal dari bahasaLatin vernaculus (domestik, native,indigenous) dan verna (native slave, atauhome-born slave). Dalam arsitektur,vernakular merujuk pada jenis arsitektur(biasanya hunian) yang bersifat asli lokal,bukan dari lain tempat. Dalam hal iniperwujudannya sangat erat dengan seluruhkondisi setempat dimana ia tumbuh.(Salura,2008 dalam Aufa, 2009).
Rudofsky (1964) berpendapat bahwasudah saatnya para arsitek memperbaikipandangan sempit tentang seni bangunanyang cenderung hanya berfokus pada obyekistana dan bangunan keagamaan.Kemudian mengajukan suatu tipe yaitu:"Unfamiliar non Pedigreed Architecture"yang nyaris tidak pernah dikenal dan bahkanbelum pernah ada istilah penamaan untukjenis arsitektur ini, yang kemudiandisebutnya sebagai vernacular-architecture.Istilah vernacular (Latin: vernaculus =native) sendiri jika merujuk pada ilmubahasa, umumnya digunakan untukmenunjukkan kadar kekentalan dialek lokaldan kadang sesekali dipakai juga untukmenandai bangunan lokal. Dapat dikatakanbahwa arsitektur jenis vernakular ini sangatkuat menekankan pada seluruh aspekke"lokal"annya (Salura, 2008 dalam Aufa,2009).
Rapoport (1969) membagi bangunanmenjadi grand-tradition dan folk-tradition.Istana megah dan bangunan keagamaandigolongkan ke dalam grand-tradition.Sementara architecture without architectsdigolongkan sebagai bangunan folk-tradition.Pada klasifikasi folk-tradition iamenempatkan dua kelompok: kelompokarsitektur primitif dan arsitektur vernakular.Rapoport kemudian mengidentifikasi lanjutbahwa jenis arsitektur vernakular yang adadapat dipisahkan sebagai vernakular-tradisional dan vernakular-modern.
Sementara Oliver (1997)mendefinisikan arsitektur-vernakular sebagaisuatu kumpulan rumah dan bangunanpenunjang lain yang sangat terikat dengantersedianya sumber-sumber dari lingkungan.Bentuk rumah dan bangunan penunjang lain
109
terwujud guna memenuhi kebutuhan spesifikserta mengakomodasi budaya yangmempengaruhinya.Iklim dan Pengaruhnya pada Vernakular
Menurut Rapoport (1969) iklim menjadisalah satu aspek penting yangmempengaruhi penentuan bentuk padahunian vernakular, terutama mengingatpada kondisi keterbatasan teknologi sistempengendalian lingkungan, manusia tidakbisa mendominasi alam tetapi harusberadaptasi. Lebih lanjut Rapoportmenguraikan bahwa aspek mendasar dalammengatasi permasalahan iklim ada padakemampuan masyarakat vernakularmelakukan pemilihan site, material yangsesuai dengan iklim lokal, menggunakansumber daya minimum untuk mendapatkankenyamanan maksimum dan adaptasi modeltradisional terhadap kondisi iklim.
Dalam konteks tanggapan terhadapiklim, Rapoport menyebut hunian sebagaialat pengendali kenyamanan termal, yangdicapai dengan cara berkolaborasi denganlingkungan. Terdapat beberapa metodependekatan dalam studi pengaruh iklimterhadap bentuk hunian. Pertama, melaluipencermatan terhadap tipe-tipe iklimkemudian mendiskusikan solusi masing-masing kaitannya dengan persyaratan,bentuk dan material. Kedua, melalui diskusiposisi berbagai tipe hunian dalam rentangskala iklim, dan ketiga, mempertimbangkanbagaimana pemecahan desain berbagaikombinasi variabel iklim pada berbagai tipeiklim.
Iklim, yang sangat berpengaruh padakenyamanan manusia, adalah kombinasidari suhu udara, kelembaban, radiasi sinarmatahari, pergerakan udara, dan curahhujan. Untuk mencapai kenyamanan, faktor-faktor tersebut perlu ditangani sedemikiansehingga tercapai keseimbangan sehinggatubuh tidak mengalami kehilangan panasatau mendapat panas terlalu banyak. Dalamkerangka iklim, bangunan harusmenanggapi panas, dingin, radiasi sinarmatahari, angin, dan tekanan lainnya. Dalamhal ini, setiap bagian dari bangunan bisadigunakan sebagai alat pengendalinya.Variabel Iklim dan TanggapanTerhadapnya
Variabel-variabel berupa temperatur,kelembaban, angin, curah hujan, sertaradiasi dan pencahayaan menjadi
pertimbangan utama dalam tanggapanbangunan vernakular terhadap iklim.Tanggapan tersebut bisa dikelompokkan kedalam faktor-faktor bentuk, material, danelemen pengendalinya.
Temperatur berada dalam rentangpanas – kering dan lembab, serta dingin.Kelembaban dalam rentang rendah dantinggi. Angin, dalam rentang diinginkan atautidak diinginkan dan apakah perluditimbulkan atau dihambat. Curah hujan,berkaitan dengan iklim ketika perlu dihindaridan pada saat yang bersamaan perlumenciptakan ventilasi. Radiasi danpencahayaan dengan perlakuan yang samasebagaimana angin.
Daerah tropis lembab, dicirikan olehcurah hujan yang tinggi, kelembaban tinggi,temperatur sedang dengan rentang hariandan musiman yang kecil, dan intensitasradiasi yang tinggi. Tanggapan yangdiperlukan adalah pembayangan maksimumdengan kapasitas kalor minimum, bukaanyang lebar, geometri bangunan yang tipismemanjang, dan penggunaan dinding yangminimum. Penyimpan panas tidak begitudiperlukan dalam rentang suhu harian yangkecil, dan konstruksi yang berat akanmenghambat pertukaran udara maksimum(persyaratan penting dalam mengurangipanas tubuh).
Kebutuhan pada bukaan diterapkanpula pada lantai dengan meninggikan lantaimenjadi panggung dan menggunakan bilah-bilah lantai yang memungkinkan udaramengalir dari bawah. Peninggian lantaidimaksudkan pula untuk menghindari banjir,air pasang, dan gangguan binatang. Atapmenjadi unsur dominan dalam bentuk yangtinggi dan besar, tahan air tetapi sekaligusmampu bernafas, memiliki sudut kemiringanuntuk mengalirkan hujan, tidak memilikiketebalan tinggi, dan diperpanjang dengantritisan lebar untuk melindungi dari panasdan hujan pada saat yang bersamaandengan kebutuhan akan ventilasi.
Kelembaban selalu dikaitkan dengantemperatur, yang bersama-sama denganangin berpengaruh menciptakankenyamanan. Pada kelembaban yang tinggi,cara non mekanis kurang efektif untukmenguranginya. Ventilasi digunakan untukmembantu mengurangi panas tubuh.
Kecepatan angin, temperatur, dankelembaban merupakan faktor-faktor dalam
110
pembentukan temperatur efektif dandigunakan untuk mengukur tingkatkenyamanan. Pada kondisi dingin ataukering, angin tidak begitu diperlukan;sebaliknya pada kondisi panas lembabangin sangat diperlukan. Pada prinsipnya,lebih mudah menangkap angin daripadamenghindarinya.
Curah hujan, berpengaruh padakonstruksi hunian terutama pada atapnya.Teras atau beranda lebar yang melindungijendela ventilasi pada saat panas maupunhujan menjadi unsur pemberi bentuk utamadalam konteks iklim.
Radiasi dan silau harus dihindari.Permasalahan ini bisa lebih buruk di daerahtropis lembab dibandingkan dengan panasterik matahari di daerah gurun. Silau darilangit putih daerah tropis diselesaikandengan dinding yang menghalangipemantulan tetapi pada saat yangbersamaan mampu melewatkan angin darisela-sela sambungannya. Bilah-bilah dindingyang disusun vertikal, anyaman bambudipadu dengan teras yang rendah dan lebarlebih efektif mengurangi silau jikadibandingkan dengan bukaan jendelalangsung.Landasan Teori
Menurut Rapoport (1969) dalamkonteks iklim, arsitektur vernakular bisadilihat sebagai shelter pengendalikenyamanan termal. Variabel iklim yangmenjadi pertimbangan adalah temperatur,kelembaban udara, kecepatan angin, radiasisinar matahari dan curah hujan. Tanggapantersebut pada bangunan vernakular bisadilihat pada faktor-faktor bentuk, material,dan elemen-elemen pengendali iklim.
PEMBAHASAN
Rumah Bubungan TinggiRumah Bubungan Tinggi merupakan satudari sebelas tipe rumah tradisional diKalimantan Selatan yang diidentifikasi olehSeman (2001). Bentuk bubungannya yangtinggi menjadikannya dinamai BubunganTinggi. Seman (2001) menyebutkankemiringan atap utama sebesar 45o
sedangkan Muchamad (2007) lebih akuratdengan menyebutkannya sebesar 60o.Tambahan ruang yang menempel di kirikanan bangunan yang disebut sebagaianjung menjadikannya dinamai pula sebagaiRumah Baanjung (Seman, 1982).Muchamad (2007) membagi RumahBubungan Tinggi ke dalam 4 kelompokruang berturut-turut dari depan ke belakang:(1) kelompok ruang pelataran, (2) kelompokruang tamu, (3) kelompok ruang privat, dan(4) kelompok ruang pelayanan.
Rumah Bubungan Tinggi di DesaTeluk Selong Ulu terletak di tepi SungaiMartapura, sudah berusia + 142 tahun,dibangun pada tahun 1867 M oleh seorangsaudagar kaya, pernah digunakan sebagaimarkas pada masa perang kemerdekaan,rumah ini kemudian dijadikan cagar budayaoleh Pemerintah Propinsi KalimantanSelatan. Rumah Bubungan Tinggi inimenjadi salah satu dari sedikit RumahBubungan Tinggi yang tersisa di KalimantanSelatan yang masih dalam kondisi aslinya.Berada pada lingkungan rawa, akses kerumah ini dilakukan melalui titian (jembatankayu) hingga ke teras rumah.
111
Gambar 1. Rumah Bubungan Tinggi di Teluk Selong UluSumber: dokumentasi penulis (2007)
Gambar 2. Pemintakatan ruang pada Rumah Bubungan TinggiSumber: Digambar ulang menurut Muchamad (2007)
112
Gambar 3. Pandangan depan. Pencapaian ke bangunan melalui titian kayu.Sumber: dokumentasi penulis (2007)
Cara-cara Rumah Bubungan TinggiMenanggapi Iklim
Mengacu pada pendekatan Rapoport(1969) dalam konteks iklim, RumahBubungan Tinggi di Teluk Selong ini ditinjausebagai pengendali kenyamanan termalterhadap variabel-variabel berupatemperatur, kelembaban, angin, curah hujan,serta radiasi dan pencahayaan. Tanggapantersebut dikelompokkan ke dalam faktor-faktor yaitu (1) bentuk, (2) material, dan (3)
elemen pengendali termal.1. Bentuk
Hampir semua arsitektur vernakular diIndonesia dicirikan oleh bentuk rumahpanggung dengan pondasi titik, bentuk atapyang bervolume besar menjulang dengankemiringan tertentu dan diteruskan denganteritisan yang lebar, salah satunya sebagaipenyelesaian terhadap permasalahankondisi iklim topis panas lembab dengancurah hujan yang tinggi (Tjahjono, 1998).
Gambar 4. Bagian atap dan teritisan(Sumber: Digambar ulang menurut Muchamad, 2007)
113
Pada Rumah Bubungan Tinggi,didapati pula ciri-ciri di atas. Bentuk ataputama yang bervolume besar digunakansebagai penyimpan panas (thermal mass)untuk dilepaskan ke dalam ruangan padamalam harinya. Kemiringan atap yang cukuptinggi digunakan untuk mempercepatlimpahan air hujan. Teritisan lebar hanyaterdapat pada bagian depan bangunanmenaungi beranda. Selebihnya, RumahBubungan Tinggi ini kurang memberikanteritisan yang lebar, terutama padasepanjang sisi-sisi kiri dan kanan bangunanhingga ke bagian anjung sehingga padabagian-bagian ini dinding mengalamitampias maupun terkena sinar mataharilangsung.
Peninggian lantai melalui konstruksipanggung mencapai ketinggian sekitar 2meter dari permukan tanah pada bagianlantai tertingginya, sedangkan pada bagianlantai terendahnya mencapai ketinggianhingga sekitar 1,5 meter. Karena tanahberupa rawa yang mengalami air pasangdan surut di sepanjang tahunnya, bagian
kolong tidak difungsikan untuk aktivitassehari-hari tetapi hanya difungsikan sebagaitempat menyimpan balok-balok kayu, ataumenambatkan perahu. Dalam kaitannyadengan iklim, peninggian ini difungsikanuntuk menghindari pasang surut air rawa,menghindari luapan banjir Sungai Martapura,dan untuk mengurangi tingkat kelembabandengan menjauhkan lantai dari permukaantanah.
Bentuk keseluruhan dari bangunanadalah geometri yang tipis dan memanjangditransisi dengan teras depan dan belakangsehingga setiap sisi bangunan selaluberhubungan dengan ruang luar dalam halpenghawaan. Penambahan anjung di kiridan kanan bangunan yang menjadikanruang tengah (utama) menjadi tidakberhubungan dengan ruang luardikompensasi dengan ruang atap yangmenjulang tepat di atas ruang tengah(utama) yang berfungsi sebagai thermalmass, dan menjadi satu-satunya bagianatap yang memiliki plafon.
Gambar 5. Peninggian lantai melalui konstruksi panggungSumber: dokumentasi penulis (2007); digambar ulang menurut Muchamad (2007)
114
Gambar 6. Potongan melintang ruang atap utamaSumber: Digambar ulang menurut Muchamad (2007)
2. MaterialMaterial yang digunakan pada Rumah
Bubungan Tinggi adalah material yangadaptif terhadap iklim khas setempat.Material utama yang digunakan sepenuhnyaadalah kayu, mengingat ketersediaannyayang melimpah di hutan-hutan KalimantanSelatan. Hanya ada dua jenis kayu yangdigunakan di Rumah Bubungan Tinggi ini
yaitu kayu galam ( Melaleuca sp) dan kayubesi (Eusideroxilon zwageri) atau disebutjuga sebagai kayu ulin (Seman, 2001). Kayugalam yang tahan air digunakan sebagaipondasi yang ditanam dan direndam kedalam air rawa sepenuhnya untukmenghindari pelapukan. Kayu ulin yangsangat adaptif dengan kondisi luar ruanganterutama ketahanannya terhadap panas dan
Gambar 7. Potongan membujur yang menunjukkan elemen-elemen pengendali termalpada Rumah Bubungan Tinggi (Sumber: Digambar ulang menurut Muchamad, 2007)
115
hujan, digunakan untuk konstruksi di atastanah mulai dari lantai hingga bahanpenutup atap.
Lantai menggunakan kayu ulin berupapapan tebal yang disusun renggang padalantai-lantai ruang luar, tidak untukmemasukkan angin ke dalam ruangan tetapiuntuk mengalirkan air ke bawah. Padalantai-lantai ruang dalam, bilah-bilah papandisusun rapat. Dinding dari papan kayu ulindisusun vertikal untuk mempercepatlimpahan air hujan yang tampias. Celah-celah antar sambungan digunakan untukmemasukkan angin sekaligus pencahayaanselain melalui bukaan. Material atapmenggunakan kayu ulin yang dibentukmenjadi lembaran-lembaran sirap yang tipis.Susunan sirap yang berlapis-lapismenghindari air merembes ke dalamruangan tetapi mengijinkan udara untukbertukar ke dalam ruangan. Penutup atapsirap ini langsung menjadi penghubungdengan ruang dalam tanpa adanya plafonkecuali di bagian ruang utama (penampikpanengah) yang berhubungan langsung diatasnya dengan bagian menjulang dari atap(bubungan tinggi).3. Elemen Pengendali Iklim
Elemen-elemen pengendali iklim padaRumah Bubungan Tinggi ini berupa (1)panggung yang ditinggikan dari permukaantanah setinggi 2 meter, (2) lantai yangdisusun dari papan-papan bercelah, (3)dinding dari papan-papan yang disusunsecara vertikal dan bercelah, (4) beranda dibagian depan dan belakang sebagai areatransisi dan pelindung dari silau dan tampias,(5) bukaan (jendela) dan pintu sebagaiventilasi, (6) teritisan sebagai shading, (7)atap bervolume besar sebagai penyimpanpanas, (8) penutup atap sirap yang disusunberlapis tetapi masih bisa memasukkanpenghawaan ke dalam ruangan. (LihatGambar 7)
Elemen panggung digunakan untukmengatasi kelembaban, gangguan airpasang, dan melewatkan angin. Lantai dandinding yang disusun bercelah-celahdigunakan sebagai ventilasi untukmelewatkan angin. Beranda digunakansebagai area transisi agar tidak mengalamitampias dan silau ketika bagian mukabangunan diberikan bukaan. Bukaan pintudan jendela, lebih difungsikan sebagaipenghawaan dibandingkan untuk
memasukkan pencahayaan. Teritisan yangdigunakan sebagai shading, hanya berfungsipada bagian depan dan belakang. Padabagian samping bangunan, teritisan tidakcukup memberikan perlindungan terhadaptampias air hujan, dan silau matahari. Atapbervolume besar sebagai massa penyimpanpanas, didukung oleh adanya plafon padabagian atap utama tersebut sehinggamenahan panas turun ke dalam ruangan disiang hari, namun melepaskannya padamalam hari. Penutup atap sirap yangdisusun berlapis, menghindarkan air hujanmeresap masuk ke dalam ruangan, namunmasih bisa memasukkan udara ke dalamruangan melalui renggangan susunannyayang berlapis-lapis.
KESIMPULAN
Rumah Bubungan Tinggi sebagaibangunan vernakular, mempertimbangkanfaktor iklim untuk mencapai kenyamanantermal. Tanggapan tersebut disesuaikandengan konteks iklim lokal yaitu padakonsep berupa bentuk, material dankonstruksi, serta elemen-elemen pengendaliiklim. Bentuk diterapkan dengan carapeninggian lantai berupa panggung; atapbervolume besar, berkemiringan curam danberteritisan lebar. Material diterapkandengan penggunaaan bahan yang adaptifterhadap kondisi rawa. Elemen-elemenpengendali iklim diterapkan melalui unsurpanggung, lantai dan dinding bercelah,beranda, bukaan, teritisan, atap bervolumebesar, dan penutup atap sirap.Rekomendasi
Selain interpretasi aspek-aspek kualitatifsebagai identifikasi awal, aspek-aspek fisikRumah Bubungan Tinggi memerlukanpenjelasan lebih lanjut secara kuantitatif.Misalnya pada aspek tanggapan terhadapiklim, diperlukan pembuktian secarakuantitatif untuk mengetahui secara pastitingkat kenyamanan termalnya besertaelemen-elemen signifikan yangmembentuknya. Untuk penelitian lebih lanjut,disarankan untuk menggali aspek kuantitatifdari tanggapan terhadap iklim pada RumahBubungan Tinggi ini.
116
DAFTAR PUSTAKA
----------. 1986. Arsitektur Tradisional DaerahKalimantan Selatan, Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan.
Aufa, Naimatul. 2009. Material Lokal SebagaiPerwujudan Nilai Vernakular pada RumahBalai Suku Dayak Bukit. Fakultas TeknikUniversitas Lambung Mangkurat. JurnalInfo Teknik, Volume10, Nomer 1, Juli 2009(43-55)
Moore, Fuller. 1993. Environmental ControlSystem: Heating Cooling Lighting, NewYork: McGraw-Hill, Inc.
Muchamad, Bani Noor. 2007. Anatomi RumahBubungan Tinggi, Banjarmasin: PustakaBanua
Priatman, Jimmy. 2002. “Energy-EfficientArchitecture” Paradigma dan ManifestasiArsitektur Hijau. Jurusan Teknik ArsitekturFTSP Universitas Kristen Petra, Surabaya:Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Volume30, Nomer 2, (167-175).
Priatman, Jimmy. 2003. “Energy ConsciousDesign” Konsepsi dan StrategiPerancangan Bangunan di Indonesia.Jurusan Teknik Arsitektur FTSPUniversitas Kristen Petra, Surabaya:Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Volume31, Nomer 1, (45-51).
Rapoport, Amos, 1969, House Form and Culture.London: Prentice-Hall.
Seman, Syamsiar, 1982, Rumah Adat Banjar,Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan.
Seman, Syamsiar, 2001, Arsitektur TradisionalBanjar Kalimantan Selatan, Banjarmasin:IAI Daerah Kalimantan Selatan
Tjahjono, Gunawan, ed.,1998, IndonesianHeritage: Architecture, Singapore:Archipelago Press.
PETUNJUK PENULISAN
1. Setiap artikel yang dikirimkan dapat berupa 'laporan' suatu penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya atau berasal dari hasil review sebuah buku. Artikel minimal mengandung materi dan urutan: 1) judul artikel dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; 2) nama pengarang, lembaga, dan alamat untuk dihubungi; 3) abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; 4) pendahuluan; 5) metodologi; 6) temuan dan kajian atas temuan yang diperoleh; 7) kesimpulan dan atau rekomendasi; 8) ucapan terima kasih (jika diperlukan); dan 9) kepustakaan. Artikel menggunakan bahasa ilmiah baku, baik dalam bahasa Inggris atau Indonesia.
2. Naskah diketik dalam satu spasi, menggunakan font Arial; ukuran 11 inch; dan menggunakan program Word for Windows, maksimal 15 halaman, dengan ukuran kertas A4 (210 x 297 mm).
3. Judul artikel ditulis dengan huruf kapital rata tengah, menggunakan font Arial ukuran 12 pt bold. Judul dirangkai dalam 13 kata dalam bahasa Indonesia dan 10 kata dalam bahasa Inggris. Nama penulis ditulis di bawah judul dengan menggunakan font Arial ukuran 11 pt bold, sedangkan gelar penulis tidak perlu dicantumkan, tetapi harus mencantumkan instansi tempat penulis bekerja atau melakukan penelitian, serta alamat untuk dihubungi.
4. Abstrak merupakan intisari dari isi artikel, sehingga di dalam abstrak harus tercantum secara jelas latar belakang penelitian, tujuan penelitian, metodologi dan analisis, serta kesimpulan akhir. Abstrak dan keywords ditulis dengan spasi tunggal, huruf yang digunakan adalah arial, ukuran huruf 10 pt dan ditulis miring atau dengan format Italic dan ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
5. Sub Judul dan artikel menggunakan format dua kolom dengan jarak antar kolom 0.5 cm. Sub judul ditulis dengan huruf kapital menggunakan font Arial ukuran 11 pt bold dengan format center. Artikel ditulis dengan format rata kanan kiri, menggunakan first line 1 cm, serta menggunakan font Arial ukuran 11 pt. Format margin yang digunakan adalah margin atas 25,4 mm, margin bawah 25,4 mm, margin kanan 25,4 mm, dan margin kiri 25,4 mm. Spasi yang digunakan spasi satu dengan format dua kolom.
6. Judul tabel/ gambar harus lengkap tetapi tidak boleh terlalu panjang, maksimal 13 kata. Judul tabel/gambar harus mengandung beberapa unsur, yaitu: jenis, letak/ lokasi, dimensi waktu, serta rincian mengenai satuan, wilayah, serta keterangan lain. Penulisan judul tabel/gambar menggunakan huruf tebal dan besar, dengan alignmen rata tengah. Judul tabel diletakkan di atas tabel, sedangkan Judul Gambar diletakkan di bawah gambar. Jarak antara tabel/ gambar dengan paragraf sebelumnya maupun sesudahnya adalah 1 spasi. Huruf di dalam tabel/gambar berukuran lebih kecil yaitu 10 pt. Penulisan sumber pada tabel/gambar menggunakan ukuran huruf yang sama yaitu 10 pt diletakkan di bawah tabel pada tepi batas kiri tabel, sedangkan untuk gambar diletakkan dibawah gambar sebelum judul gambar dengan alignmen tengah. Jenis font yang digunakan tetap sama yaitu Arial.
7. Untuk kutipan, pada akhir kutipan diberi nomor kutipan sesuai dengan catatan kaki yang berisi referensi kutipan (nama, judul, kota, penerbit, tahun dan halaman yang dikutip)
8. Rumus‐rumus hendaknya ditulis sesederhana mungkin untuk menghindari kesalahan pengetikkan. Ukuran huruf dalam rumus paling kecil 10 pt. Definisi notasi dan satuan yang dipakai dalam rumus disatukan dalam daftar notasi. Daftar notasi diletakkan sebelum daftar pustaka
9. Daftar pustaka ditulis dengan spasi tunggal menggunakan font Arial dengan ukuran 10 pt. Jarak antara pustaka yang satu dengan lainnya adalah 1 spasi. Jika satu judul buku penulisannya lebih dari satu baris, maka baris kedua dan seterusnya penulisannya masuk ke dalam (indent) sebesar 1 centimeter. Susunan untuk satu referensi : Nama. (Tahun). Judul. Kota Terbit, Penerbit.
10. Naskah yang dikirim sebanyak satu eksemplar dalam bentuk file digital dengan format *.doc atau *.docx 11. Naskah belum pernah dipublikasikan oleh media cetak lain. 12. Redaksi berhak menolak dan mengedit naskah yang diterima. Naskah yang tidak memenuhi kriteria yang
ditetapakan akan dikembalikan.