Post on 02-Jan-2016
description
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
Komplikasi Ginjal pada Penyakit Hati
Julianto Widjojo
Pendahuluan
Gangguan fungsi ginjal pada penyakit
hati sangat sering terjadi atau bahkan
umum terjadi dan merupakan persoalan
yang sangat serius pada penderita
penyakit hati yang lanjut1,2. Terutama
perubahan fisiologi ginjal baik pada
gagal hati akut (acute liver failure) atau
sirosis hati dengan asites yang
menyebabkan gangguan fungsi ginjal
yang spesifik dalam bentuk gagal ginjal
yang berat yang disebut sebagai
sindroma hepatorenal / Hepatorenal
syndrome (HRS). Gambaran pertama
dari HRS dibuat oleh Hecker dan
Sherlock pada tahun 19563. Penulis ini
melaporkan 9 penderita dengan sirosis
hati atau hepatitis akut yang berkembang
lebih lanjut menjadi gagal ginjal tanpa
ada proteinuria dengan ekskresi Na urin
yang sangat rendah. Pada bedah mayat
ginjal-ginjal ini menunjukkan histologi
yang normal. Kemudian juga diketahui
bahwa ginjal-ginjal ini berfungsi normal
kembali apabila di-transplantasi-kan
pada penderita tanpa sirosis hati4. Selain
itu HRS dapat reversible sesudah
ditransplantasi hati5. Karena HRS adalah
komplikasi ginjal yang paling berat dan
fatal maka akan diuraikan dahulu tentang
HRS, sesudah itu baru diuraikan
penyakit-penyakit hati lainnya yang
menyebabkan komplikasi pada ginjal.
Sindroma Hepatorenal (HRS)
Definisi
HRS adalah terjadinya gagal ginjal pada
gagal hati lanjut baik akut maupun
kronis tanpa ditemukannya kelainan
patologi pada ginjal. Pada 1996 The
International Ascites Club menerbitkan
konsensus yang membagi HRS dalam 2
tipe :
Tipe 1 :
HRS yang ditandai oleh penurunan cepat
fungsi ginjal didefinisikan sebagai dua
kali peninggian serum kreatinin sampai
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
batas > 2,5 mg/dl atau pengurangan
sampai separuh clearance kreatinin
sampai < 20 mL/menit dalam 2 minggu.
Manifestasi klinisnya adalah gagal ginjal
akut.
Tipe 2 :
HRS yang ditandai terjadinya gangguan
fungsi ginjal secara lebih lambat dengan
kreatinin serum naik sampai > 1,5 mg/dL
atau klirens (clearance) kreatinin <
40mL/menit. Gambaran klinisnya berupa
adanya gagal ginjal yang menetap/stabil
pada penderita sirosis hati dengan asites
yang refrakter.
Epidemiologi
Pada penelitian prospektif, faktor
prediktif penderita sirosis hati
berkembang menjadi HRS termasuk
dengan Na serum yang rendah, plasma
renin yang tinggi tanpa adanya
hepatomegali6. Sebelum ditemukannya
kemajuan terapi yang efektif, survival
median setelah terjadinya tipe 1 HRS
adalah 1,7 minggu, dan hanya 10%
penderita yang dapat hidup lebih dari 10
minggu6. Survival rate pada tipe 2 HRS
adalah 50% pada 5 bulan dan 20% pada
1 tahun7.
Patofisiologi
Penderita sirosis hati dan hipertensi
portal akan terjadi gangguan fungsi
sirkulasi ditandai oleh gangguan
sistemik dan hemodinamik. Telah
diketahui bahwa beratnya gangguan
sirkulasi berhubungan dengan beratnya
sirosis hati.
Pada sirosis kompensata yaitu tanpa
asites, hemodinamika sistemik masih
normal pada posisi berdiri tetapi terjadi
hiperdinamik pada posisi berbaring yaitu
volume sekuncup (cardiac output)
meningkat dan resistensi vaskuler
sistemik menurun. Ini disebabkan arena
ekspansi volume yang secara sekunder
menurunkan retensi Na pada posisi
berdiri/tegak8. Sirkulasi renal seringkali
vasodilatasi dengan hiperfiltrasi
glomerulus.
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
Dengan memburuknya penyakit,
gangguan fungsi sirkulasi bertambah
buruk, terjadilah vasodilatasi dan
pengisian intravaskuler relatif jadi
berkurang. Tanda patofisiologi HRS
adalah vasokonstriksi renal yang berat2.
Mekanisme terjadinya ini semua adalah
sangat kompleks, termasuk interaksi
antara penambahan sirkulasi sistemik
arterial peningkatan tekanan portal,
aktivasi faktor vasodilator pada sirkulasi
renal. Semua ini akan menyebabkan
terjadi vasodilatasi arteri splanchnic2.
Terjadi peningkatan aktivitas syaraf
simpatetik dan sistim renin-angiotensin
untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamik pada fase permulaan9,
edema perifer dan asites dapat terjadi
akibat memburuknya retensi Na walau
sudah terjadi peningkatan substansi
natriuretik10.
Meskipun aktivasi dari berbagai sistim
vasokonstriktor, perfusi renal dan
kecepatan filtrasi glomerular (GFR)
masih normal pada fase dini asites,
akibat peningkatan produksi
prostaglansdin dari ginjal sendiri11.
Nitric oxide dan prostacyclin juga
berperan melawan vasokonstriksi untuk
mempertahankan perfusi renal12. Pada
stadium ini terjadi hipersekresi
antidiuretic hormone (ADH)
menyebabkan pengurangan ekskresi
air13. Sebaliknya terjadi peningkatan
sintesis prostaglandin E2 oleh collecting
tubules melawan ADH dan menyertakan
ekskresi air bebas oleh ginjal. Karena itu
hiponatremia tidak terjadi pada
permulaan asites14.
Dengan bertambahnya vasodilatasi
tekanan arteri sistemik menurun,
sirkulasi darah ginjal (renal blood flow)
menurun, akhirnya perfusi renal
menurun. Sirkulasi renal menjadi
hipersensitif terhadap pengaruh-
pengaruh vasokonstriksi oleh berbagai
sistem hormon. Bila pengaruh
vasokonstriksi mengalahkan pengaruh
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
kompensatoir dari vasodilator ginjal
maka terjadilah vasokonstriksi ginjal dan
GFR akan turun.
HRS terjadi pada fase akhir sirosis hati
dan diduga sebagai akibat gangguan
sirkulasi yang ekstrim. GFR ginjal
menurun < 40mL/menit. Vasokonstriksi
ginjal yang jelas terjadi akibat
meningkatnya vasokonstriksi intrarenal
(renin dan angiotensin II ).
Meningkatnya vasokonstriksi seperti
adenosine, endothelin, leukotrienes, dan
F2 isoprostanes menyebabkan konstraksi
mesangial selanjutnya menurunkan
GFR.
Faktor lainnya yang mempengaruhi
hemodinamika ginjal adalah hipertensi
portal sinusoid; ditambah lagi oleh fakta
terjadinya peninggian tekanan sinusoid
akan mengurangi aliran plasma ginjal,
dan sebaliknya pengurangan tekanan
sinusoid akan memperbaiki
hemodinamik ginjal dan juga fungsi
ginjal. Bataller et al15 mengajukan
pandangan bahwa hipoperfusi ginjal
pada sirosis hati juga berhubungan
dengan disfungsi hati. Walaupun
demikian mekanisme dimana disfungsi
hati dapat langsung menyebabkan
pengurangan vasodilator ginjal masih
belum jelas. Mungkin hati terlibat dalam
sintesis atau pelepasan vasodilator ginjal
seperti pada nitric oxide.
Na urine yang sangat rendah pada HRS
disebabkan penurunan filtrasi Na atau
pengurangan GFR dan meningkatnya
reabsorpsi Na di tubulus ginjal
proksimal. Akibatnya jumlah Na yang
terfiltrasi yang mencapai loop Henle dan
nefron distal menjadi sangat sedikit
(minim). Penyaluran diuretik yang
berkurang ke tubulus ginjal menghambat
kemampuan diuretik untuk
meningkatkan natriuresis16. Hiponatemia
umum terjadi tetapi ini disebabkan oleh
nonosmotik yang menyebabkan
meningkatnya ADH dan mungkin oleh
menurunnya aktivitas prostaglandin E2,
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
sehingga terjadilah ekskresi air yang
amat berkurang.
Faktor-Faktor Pencetus
Faktor-faktor ini sangat penting
diketahui untuk mengurangi insidensi
HRS. dan kematian yang
diakibatkannya. Watt et al17 menemukan
bahwa faktor predisposisi yang sangat
sering menyebabkan HRS adalah :
infeksi bakteri (48%), perdarahan
gastrointestinal (33%) dan paracentesis
yang terlalu agresif (27%). Obat-obat
merupakan faktor presipitasi terjadinya
HRS pada 7% kasus-kasus dan
pembedahan juga 7%. Berbagai faktor
lainnya kurang lebih 11%. Sejumlah
24% penderita pada HRS tipe 1 jatuh
dalam gagal ginjal tanpa ada faktor
presipitasi yang jelas.
Peritonitis Bakterialis Spontan
(Spontaneous Bacterial
Peritonitis)=SBP
Gangguan faal ginjal sangat sering
terjadi pada penderita sirosis hati dengan
SBP. Kejadian ini akan lebih banyak
terjadi pada penderita yang sebelumnya
ada gagal ginjal, walaupun hal ini dapat
terjadi pada penderita dengan fungsi
ginjal yang normal. Gangguan ginjal ini
merupakan perdiktor yang paling
penting terjadinya mortalitas di RS pada
sirosis hati dengan SBP. Gangguan faal
ginjal ini disebabkan memburuknya
lebih lanjut hemodinamik sistemik,
mungkin akibat endotoksin dan berbagai
cytokine yang dirangsang oleh SBP,
yang menyebabkan vasodilatasi. Insiden
gagal ginjal paling signifikan pada
penderita dengan bilirubin serum >
4mg/dL (68mcmol/L) dan kreatinin
serum > 1mg/dL (88mcmol/L).
Perdarahan Gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal akut akan
mengakibatkan kontraksi volume darah
secara akut dengan pengurangan perfusi
ginjal. Dalam suatu penelitian HRS
terjadi pada 3 dari 85 penderita dengan
sirosis hati yang dirawat karena
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
perdarahan gastrointestinal bagian atas18.
Kejadian gagal ginjal terutama
tergantung dari beratnya perdarahan dan
rendahnya faal hati. Perkembangan
gagal ginjal dan syok hipovolemik
merupakan prediktor bebas terjadinya
kematian di rumah sakit. Penderita
dengan gagal ginjal angka mortalitasnya
55% sedang tanpa gagal ginjal angka
mortalitasnya hanya 3%.
Paracentesis yang Agresif
Paracentesis yang agresif pada penderita
sirosis hati dengan asites akan
mengurangi volume darah arterial yang
efektif dan selanjutnya mengaktifkan
sistim vasokonstriktor yang akhirnya
menyebabkan vasokonstriksi ginjal19.
HRS terjadi pada 10% penderita dengan
asites yang dilakukan paracentesis total1.
Obat
Berbagai obat mempresipitasi terjadinya
HRS. Pemakaian berlebihan diuretik
dapat menyebabkan gagal ginjal,
walaupun ini bersifat reversibel.
Penderita dengan asites dan tanpa edema
dapat mengeluarkan air 1 L/hari
(diuresis) tetapi akan menyebabkan
kontraksi volume plasma dan
insufisiensi renal. Aminoglycoside
bersifat nefrotoksik pada penderita
sirosis hati dan berulang kali pemberian
beta-2-microglobulin tidak menjamin
tidak terjadinya gagal ginjal1. Obat anti
inflamasi non steroid (NSAID)
menghambat pembentukan
prostaglandin. Pemberian celecoxib
jangka pendek menyebabkan penurunan
GFR secara mencolok pada penderita
sirosis hati dengan asites20. Sirosis hati
sangat tergantung pada aktivasi sistim
renin-angiotensin untuk
mempertahankan tekanan darah
sistemik. Karena itu pemakaian
angiotensin converting enzyme inhibitor
dan angiotensin II antagonist dapat
menyebabkan hipotensi arterial dan
gagal ginjal prerenal21-22.
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
Lain-lain
Pembedahan, hepatitis akut karena
alkohol dan cholestasis dapat juga
berperan sebagai faktor presipitasi
terjadinya HRS. Obstruksi bilier akut
dapat menyebabkan gangguan faal ginjal
dan bersifat stress oksidatif. F2-
isoprotanes yang terbentuk selama
kerusakan oksidant bersifat
vasokonstriktor ginjal melalui reseptor
seperti thromboxane (thromboxane-like
receptors). Antioxidants seperti N-
acetylcysteine terbukti memperbaiki faal
ginjal23.
Diagnosis Sindroma Hepatorenal
(HRS)
Adanya disfungsi ginjal kadang-kadang
tidak diketahui pada penderita sirosis.
Karena pengurangan massa otot pada
penderia sirosis, maka kreatinin serum
dapat masih dalam batas normal, bahkan
bila GFR sudah rendah sekali.
Pemakaian konsentrasi ureum darah
sebagai pengukur fungsi ginjal bahkan
kurang dapat dipercaya, karena ureum
dapat dipengaruhi oleh adanya
perdarahan gastrointestinal atau oleh
jumlah protein pada makanan.
Dianjurkan untuk mengacu ukuran
konsentrasi kreatinin serum yang lebih
menggambarkan GFR sebagai berikut :
Kreatinin serum ≈ GFR
71 mcmol/L = 0,8 mg/dL ≈100
mL/menit
88 mcmol/L = 0,99 mg/dL≈50
mL/menit
160 mcmol/L = 1,8 mg/dL≈25
mL/menit
195 mcmol/L = 2,1 mg/dL≈12
mL/menit
354 mcmol/L = 3,99 mg/dL≈6
mL/menit
Karena itu kreatinin serum yang lebih
besar dari 88 mcmol/L pada penderita
sirosis hati harus lebih cepat diawasi
adanya disfungsi ginjal.Diagnosis HRS
dibuat berdasarkan pengurangan fungsi
ginjal pada penderita sirosis hati yang
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
sudah lanjut, penyakit hati kronis dengan
gagal hati yang sudah lanjut (berat) dan
hipertensi portal atau pada gagal hati
akut25. Perlu disingkirkan diagnosis
adanya penyakit ginjal organik. Pada
beberapa penderita dengan penyakit hati
primer mempunyai resiko yang tinggi
untuk terjadinya berbagai bentuk
penyakit ginjal, sedang beberapa
penyakit sistemik dapat mengenai kedua
organ hati dan ginjal. Nanti akan
diuraikan pada bagian lain pada tulisan
ini.The International Ascites Club
memberikan kriteria mayor untuk
memenuhi diagnosis HRS. Kriteria ini
termasuk kreatinin serum > 1,5 mg/dL
(133mcmol/L) atau klirens kreatinin
(creatinin clearance) < 40 mL/menit
tanpa pemberian diuretik dan
menyingkirkan semua sebab gagal
ginjal. Walaupun seluruh kriteria
terpenuhi membuat diagnosis yang tepat
HRS masih merupakan tantangan.
Pendekatan Diagnosis Gagal Ginjal
Pada Sirosis Hati
Penderita dengan HRS tipe 2
mempunyai resiko tinggi untuk menjadi
HRS tipe 1. Anamnesis yant teliti dan
pemeriksaan fisik dapat mendeteksi
pengurangan/penurunan volume
intravaskuler dan hipotensi arterial. Perlu
dipertanyakan kemungkinan perdarahan
gastrointestinal, diuresis yang
berlebihan, atau paracentesis yang terlalu
agresif (berlebihan). Sepsis perlu
dicurigai pada setiap sirosis hati dengan
gangguan ginjal, walaupun tanpa gejala.
Demam dan lekositosis dapat saja tidak
ditemukan. Kultur darah harus dilakukan
termasuk pemeriksaan asites untuk
menyingkirkan SBP. Juga perlu
diketahui apakah sebelumya memakai
obat-obat NSAIDs, aminoglycoside atau
radiokontras sebelum kenaikan kreatinin
serum. Bila ditemukan proteinuria dan
atau hematuria perlu diselidiki lebih
lanjut untuk menyingkirkan penyakit
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
parenkhim ginjal. Biopsi ginjal perlu
dipertimbangkan bila ada kecurigaan
glomerulonefritis. USG abdomen perlu
dilakukan apakah ada obstruksi yang
menyebabkan gagal ginjal post
obstruksi. Diagnosis diferensial dengan
nekrosis tubular akut (ATN) kadang-
kadang sangat sulit. Membedakan ini
sangat penting untuk tujuan penanganan
dan prognosis. Keadaan yang khas bila
ditemukan Na urine < 10mmol/L pada
HRS dan > 20mmol/L pada ATN
disebabkan gangguan reabsorbsi akibat
rusaknya tubulus ginjal, namun keadaan
ini tidak selalu dapat dipercaya. Heme-
granular cast dapat ditemukan pada
ATN. Selain itu ATN perlu
dipertimbangkan bila gagal ginjal
mendadak terjadi sesudah hipovolemia,
syok septik atau pemakaian obat-obat
nefrotoksik. Penelitian terakhir memakai
fraksi untuk menentukan diagnosis, yaitu
sebagai berikut : fraksi (ureum
urine/ureum darah) / (kreatinin
urine/kreatinin plasma) x 100 < 35% →
spesifik untuk azotemia prerenal; dan >
50% spesifik untuk ATN26. Penelitian ini
mengikut sertakan hanya 7 penderita
dengan gagal hati, karena itu perlu
penelitian lebih lanjut.
Manajemen HRS(Profilaksis)
Yang paling penting adalah mencegah
terjadinya HRS. Ini dapat dilakukan
dengan menghindarkan atau
memprofilaksi, pengenalan dini dan
pengobatan atau menghindarkan faktor-
faktor presipitasi.
Profilaksis Terjadinya Infeksi Bakteri
Profilaksis dengan antibiotika dianjurjan
pada penderita dengan perdarahan
gastrointestinal atau bila diduga SBP.
Penderita sirosis berat yang masuk
dirawat dengan perdarahan
gastrointestinal mempunyai
peluang/resiko terjadinya infeksi bakteri,
inisidensinya 6,7% sampai 20%. Juga
terbukti infeksi bakteri atau pemakaian
antibiotika tidak tergantung faktor-faktor
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
prognostik gagalnya menangani
perdarahan. Pemberian antibiotika
jangka pendek sebagai profilaksis
meningkatkn angka survival pada 19 hari
perawatan pada sirosis hati dengan
perdarahan gastrointestinal27.
Kemungkinan terjadinya SBP pada
sirosis selama 1 tahun follow up kurang
lebih 68%. Penderita sirosis yang
dirawat dengan SBP, gangguan faal
ginjal terjadi 33%, terutama bila sudah
terjadi kelainan gaal ginjal sebelum
infeksi, dan ini merupakan tanda penting
(prediktor) terjadya mortalitas. Bila
sudah atau pernah terjadi satu kali SBP,
penderita sirosis hati harus diberikan
profilaksis antibiotika.
Ekspansi Volume
Pemakaian albumin untuk mencegah
terjadinya HRS masih kontroversial.
Peningkatan volume plasma dengan
pemberian albumin intravena
mengurangi insidensi gangguan faal
ginjal pada sirosis hati yang dirawat
karena SBP, juga mengurangi mortalitas.
Walau demikian masih ada yang tidak
sependapat. Pemberian albumin
intravena juga mencegah aktivasi
vasoaktif endogen pada sirosis dengan
asites yang berulang dilakukan
paracentesis, karena post paracentesis
disfungsi sirkulasi yang terjadi tidak
reversibel, dan pemberian albumin dapat
mencegah HRS setelah paracentesis
dalam jumlah besar28.
Albumin merupakan plasma ekspander
terbaik untuk mencegah komplikasi ini,
walaupun demikian tidak menaikkan
angka survival.
Diuretik
Diuretik menyebabkan gangguan faal
ginjal pada 20% sirosis dengan asites. Ini
terjadi bila kecepatan diuresis melebihi
kecepatan reabsorpsi asites, yang
menyebabkan pengurangan volume
intravaskuler. Gagal ginjal yang terjadi
hampir semua reversibel dengan
penghentian diuretik. Penderia dengan
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
asites tanpa edema dapat memobilisasi >
1L/hari selama diuresis yang cepat,
namun terjadi kontraksi volume plasma
dan terjadilah insufisiensi ginjal. Pada
penderita edema perifer lebih terlindungi
oleh efek diuretik ini karena yang
terpilih dikeluarkan dahulu dari
edemanya, sehingga aman sampai
diuresis dengan kecepatan > 2 kg/hari
sampai edemanya hilang29.
Obat nefrotoksik
Sirosis dengan asites mudah terjun ke
dalam ATN akibat pemakaian
aminoglycoside; karena itu obat ini harus
dihindarkan. OAIN (NSAIDs) harus
dihindarkan pemakaian karena gagal
ginjal terjadi pada 33% penderita sirosis
dibanding 3-5% pada populasi
sehat/umum. NSAIDs menghambat
pembentukan prostaglandin intrarenal,
menyebabkan penurunan fungsi ginjal
dan ekskresi Na. Pemberian celecoxib
jangka pendek juga menyebabkan
penurunan GFR yang mencolok pada
sirosis hati dengan asites. Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitor dan
antagonis reseptor angiotensin
menyebabkan hipotensi arterial dan
akibatnya terjadi gagal ginjal pre-renal
pada penderita sirosis21-22. Gagal ginjal
karena nefritis interstitial sering karena
reaksi hipersensitivitas akibat obat(drug
induced)36,a.l
sulfa,oxacillin,nafcillin,ciprofloxacin,lev
ofloxacin,cephalosporin, NSAID dan
diuretik(HCT,furosemide,ethacrynic
acid)
Manajemen HRS(TERAPI)
Manajemen Inisial
Pada penderita-penderita ini perlu segera
menyingkirkan keadaan yang reversibel
dan dapat di-terapi. Harus diberikan
supportif sampai perbaikan hati atau
kemungkinan transplantasi. Cari segera
faktor-faktor presipitasi (infeksi,
perdarahan gastrointestinal) dan segera
ditanggulangi. Obat nefrotoksik harus
segera dihentikan. Penderita harus segera
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
diberikan cukup cairan untuk mengatasi
hipovolemia subklinis. Penderita sirosis
dengan perdarahan gastrointestinal harus
dirawat intensif di ICU untuk
melindungi volume sirkulasi darah yang
efektif dan perfusi renal. Penderita
sirosis dengan SBP, terapi albumin
intravena bersama antibiotik
menunjukkan hasil baik dengan
mengurangi insidensi gangguan faal
ginjal dan kematian dibanding penderita
yang hanya diberikan antibiotik saja30.
Terapi Farmakologi
Tujuan terapi
farmakologi/medikamentosa adalah
untuk meningkatkan aliran darah ginjal.
Ini dapat memperbaiki perfusi ginjal atau
vasodilatasi ginjal. Vasokonstriksi
splanchnic mendistribusikan volume
intravaskuler ke sistim sirkulasi dan
memperbaiki fungsi sirkulasi dan
volume arterial efektif, selanjutnya
memperbaiki perfusi ginjal dan GFR.
Obat-obat ini penting sebagai jembatan
untuk perbaiki hati atau persiapan
transplantasi hati.
Dopamine : mempunyai efek
vasodilator ginjal bila diberikan pada
dosis subpressor, namun tidak ada
penelitian yang menyokong manfaat
keuntungan. Bennet et al31 menunjukkan
bahwa kecepatan aliran urine dan GFR
tidak selalu bertambah baik pada infuse
dopamine 12-24 jam. Sebaliknya
dopamine pada penderita sirosis tanpa
HRS mengurangi tekanan arteri dan
meningkatkan hipertensi portal32.
Noradreneline : Duvoux et al33
memberikan noradrenaline dengan
albumin dan furosemide pada penderita
HRS tipe 1. Ternyata HRS yang
membaik (reversal) terdapat pada 10
penderita dari 12 penderita selama rata-
rata 7 hari penanganan. Terjadi
peningkatan mean arterial pressure
(MAP) dan penurunan aktivasi renin dan
aldosterone. Pada penelitian sebelumnya
noradreneline tidak efektif pada HRS
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
tipe 1. Karena itu perlu penelitian lebih
lanjut.
Midodrine dan octreotide : midodrine
merupakan alpha adrenergic oral dan
bersifat simpatomimetik, octreotide
merupakan long acting analogue (analog
yang bersifat jangka panjang) dari
somatostatin. Pemberian oral midodrine
dan octreotide secara subkutan, ditambah
infuse albumin memperbaiki fungsi
ginjal dibanding pemberian dosis rendah
nonpressor doses) dopamine setelah 20
hari terapi34. Ini diikuti perbaikan berupa
pengurangan aktivitas renin plasma,
vasopresisn plasma dan tingkat glukagon
plasma. Tidak ada efek samping yang
terjadi. Penelitian ini dikonfirmasi oleh
penelitian lainnya. Bahkan 50%
penderita tetap hidup lebih dari 6 bulan,
baik yang ditunjang transplantasi hati
maupun tanpa transplantasi hati.
Misoprostol : merupakan analog sintetik
prostaglandin E1 dan vasodilator ginjal,
bila diberikan bersama infus albumin,
memberikan response baik berupa
diuresis, penurunan kreatinin,
hiponatremia menjadi normal. Tentu hal
ini belum pasti apakah perbaikan ini dari
misoprostol atau karena albuminnya.
Karena pada penelitian lain yang
memberikan misoprostol infus tunggal
pada penderita tidak memberikan
perbaikan fungsi ginjal.
Ornipressin : analog vasopressin ini
bersifat nonselektif agonis dari reseptor
V1 vasopressin, terutama menyebabkan
vasokonsriksi pembuluh-pembuluh
(vasculature) splanchnic, sehingga
meningkatkan tekanan sistemik dan
tekanan perfusi ginjal. Walau ada
penelitian lain yang menyanggah.
Namon laporan pada penelitan lain lagi
bahkan menunjukkan perbaikan volume
urin, klirens kreatinin, ekskresi Na urin
dan kreatinin serum pada pemberian
ornipressin pada HRS tipe 1 yang
sebelumnya gagal dengan pemberian
dopamine ditambah albumin. Walaupun
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
hasilnya baik dilaporkan efek samping
berupa komplikasi iskemik, karena itu
pemakaiannya terbatas dan harus hati-
hati.
Terlipressin : analog sintetik
vasopressin ini mempunyai aktivitas
vasokonstriksi, juga bersifat nonselektif
V1 vasopressin agonis, namun efek
samping iskemik lebih jarang dari
vasopressin. Terlipressin banyak dipakai
di eropa untuk penanganan perdarahan
varises yang diikuti penurunan tekanan
portal. Obat ini juga memperbaiki
hemodinamik sistemik dan perbaikan
fungsi ginjal pada HRS tipe 1. Bahkan
pada penelitian lain tidak ditemukan efek
samping iskemik. Pada penelitian lebih
besar pada 99 penderita efek samping
iskemik didapatkan pada 2 penderita
berupa iskemik tungkai bawah35.
Perbaikan fungsi ginjal juga disertai
perbaikan angka survival. Protokol yang
diusulkan adalah pemberian Terlipressin
0,5 mg tiap 4 jam dan titrasi ini
dinaikkan 0,5 mg tiap 3 hari sampai
mencapai 2 mg tiap 4 jamnya.
Endothelin antagonis : endotheln
bersifat vasokonstriktor endogen yang
kuat dan meningkat pada HRS;
merupakan faktor penyebab penting
pada patogenesis terjadinya HRS pada
gagal hati akut. Berdasarkan patogenesis
itu pencegahan dengan antagonis
endothelin diberikan sebelum dan
sesudah transplantasi hati yang
memberikan hasil baik pada GFR.
N-acetylcysteine : bersifat antioxidant
dicoba pada 12 penderita HRS, 9
diantaranya merupakan sirosis alkoholik
dan atau hepatitis alkoholik. Semua
penderita menunjukkan perbaikan fungsi
ginjal, angka survival mencapai 67%
pada 1 bulan dan 58% pada 3 bulan23.
Pentoxifylline : penghambat faktor
nekrosis tumor (tumor necrosis factor)
memberikan perbaikan jangka pendek
survival bila diberikan pada hepatitis
alkoholik yang berat, sehingga berguna
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
untuk mengurangi resiko terjadinya
HRS.
Support Ginjal
Dialisis : harus dilakukan pada kasus-
kasus tertentu saja dimana ada rencana
untuk dilakukan transplantasi hati dalam
waktu dekat. Dialisa pada penderita ini
penuh dengan kesulitan sebab adanya
koagulopati dan hemodinamik yang
tidak stabil, disertai resiko sepsis.
Efektivitas dialisis pada pengobatan
HRS tidak terbukti.
Sistem resirkulasi adsorbent
molekuler (molecular adsorbent
recirculating system)
Bentuk ini merupakan modifikasi dialisis
dengan memakai dialisat yang berisi
albumin dan diperfusi melalui carbon
(charcoal) dan kolom-kolom anion
exchanger. Ini dapat menarik air dan zat-
zat yang terikat dengan albumin.
Hasilnya yang dilakukan pada penderita
HRS tipe 1 dan bilirubin > 15 mg/dL
menunjukkan penurunan bilirubin dan
kreatinin juga pada mortalitas, dibanding
pada hemofiltrasi biasa tanpa albumin.
Dipercaya bahwa sistim ini dapat
menarik zat-zat vasoaktif yang
menyebabkan perubahan hemodinamik
sehingga menyebabkan HRS akibat
pemakaian ini dapat memperbaiki
hemodinamik dan selanjutnya perfusi
ginjal.
Transjugular Intrahepatic
Portosystemic Shunt (TIPS)
Ditemukan pada permulaan tahun 1990
yang memakai sten yang dapat
mengembang sendiri (self expandable
metal stent) dimasukkan ke vena
hepatika dan ke dalam bagian
intrahepatik vena porta melalui
transjugular (approach), hasilnya terjadi
penurunan tekanan porta (portal
pressure). Beberapa kasus bahkan asites
menghilang. Ekskresi Na urin menignkat
1-2 minggu sesudah TIPS, disertai
penurunan aktivitas renin plasma dan
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
aldosterone serum dan perbaikan fungsi
ginjal. Laporan menunjukkan TIPS dapat
memperbaiki fungsi ginjal pada HRS
dan mengurangi resiko progresivitas dari
HRS tipe 2 ke tipe 1. Pada penelitian
penderita yang lebih besar dengan TIPS
bahkan tak perlu dilakukan trasplantasi
hati, mula-mula terjadi gangguan fungsi
ginjal namun menjadi baik sesudah 2
minggu. Angka survival pada TIPS
dibanding yang dilakukan paracentesis
berulang disertai pemberian albumin
infuse pada penderita dengan asites
refrakter tidak banyak berbeda. Namun
menjadi pilihan pada penderita dengan
hemodinamik yang tidak stabil dan gagal
ginjal yang lebih berat ketimbang gagal
hatinya.
Transplantasi hati
Ini merupakan pengobatan yang paling
efektif dan permanen untuk penderita
sirosis dan HRS stadium akhir/lanjut =
end-stage. Penderita dengan gangguan
faal ginjal berat atau fungsi sirkulasi
yang buruk, seperti pada asites yang
refrakter dan SBP harus didahulukan
untuk transplantasi hati. Walaupun
demikian transplantasi hati yang
dilakukan pada HRS prognosisnya tidak
baik, dibanding pada penderita tanpa
HRS. Telah dibicarakan luas tentang
HRS karena merupakan komplikasi
ginjal pada penyakit hati yang paling
berat, selain itu komplikasi ginjal dapat
terjadi pada berbagai panyakit hati lain
berupa :
- Hepatitis virus B :
Bisa berupa komplikasi sebagai
glomerulonefritis membranosa (GN).
Baik berupa membranoproliferative
GN, Ig A nephropathy, focal
segmental glomerulosclerosis,
minimal change disease, polyarteritis
nodusum dan essential mixed
eryoglobulinemia.
- Hepatitis virus C
Komplikasi pada ginjal bisa berupa
membranoproliferatif GN,
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
glomerulonefritis (GN) membranosa,
cryoglobulinemia, fibrillary GN, Ig
A nephropathy, tubulointerstitial
nephritis.
- Alcoholic liver disease
Menyebabkan komplikasi sebagai Ig
A Nephropathy.
- Obstructive jaundice
Menyebabkan prerenal azotemia atau
nekrosis tubuler akut (ATN), karena
hipovolemia, cardiac output yang
menurun, sepsis atau dapat terjadi
ATN karena toksik asam empedu.
- Primary biliary cirrhosis
Menyebabkan komplikasi ginjal
berupa; GN membranosa,
antineutrophil cytoplasmic, auto
antibody positive vasculitis, anti
glomerular basement membrane
disease, asidosis tubular ginjal (renal
tubular acidosis), nefritis
tubulointerstitialis.
- Primary Sclerosing Cholangitis
Menyebabkan kompikasi pada ginjal
berupa GN membranosa, GN
membranoproliferatif, antineutrophil
cytoplasmic autoantibody positive
vasculitis, tubulo interstitial
nephritis.
- Wilson’s disease
Mengakibatkan renal tubular acidosis
(tipe 1) sekunder akibat penumpukan
tembaga (copper). Penyakit ini
bersifat autosomal recessive37 yang
memberikan manifestasi sebagai
penyakit hati menyerupai hepatitis
virus akut kadang-kadang gagal hati
fulminan(fulminant hepatic
failure),hepatitis kronis aktif atau
sirosis postnekrotik. Manifestasi
ekstrahepatik termasuk Coombs
negatif pada anemia hemolitik
dengan pelepasan cuprum yang
masif, otot-otot kejang (muscular
rigidity), postur distonik (dystonic
postures) tremor dan komplikasi
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
pada ginjal berupa nefrolitiasis dan
sindroma Fanconi37.
- Alpha-1 antitrypsin deficiency
Menyebabkan membranoproliferatif
GN, antiglomerular basement
membran disease.
Penyakit Sistemik yg Melibatkan baik
Hati maupun Ginjal
- Intoksikasi obat : seperti
acetaminophen, acetyl salicylic acid,
carbon tetrachlorida dan lain-lain.
- Penyakit granulomatus : pada
sarcoidosis atau akibat obat-obat
(drug induced)
- Infeksi : leptospirosis
Ditandai oleh kelemahan(lemah), febris,
ikterus, kerusakan ginjal dan
kecenderungan perdarahan.
Penyebabnya leptospira
icterohaemorhagicae yang ditularkan
oleh tikus. Tikus yang terinfeksi dapat
menyebabkan penyakit ini melalui
urinnya dan leptospira ini dapat hidup
berbulan-bulan dalam kolam, selokan-
selokan atau tanah basah. Penderita
dapat tertular oleh air yang tercemar atau
kontak langsung dengan tikus (sebagai
carrier). Di Indonesia penyakit ini
banyak dijumpai.
Patologi
Lesi primer adalah membran sel yang
rusak pada pembuluh darah kecil.
Nekrosis hati minimal dan fokal.
Regenerasi sel hati ditunjukkan oleh
adanya mitosis dan pembelahan inti sel.
Sel Kuffer bengkak dan berisi debris
leptospira. Pada ginjal terjadi nekrosis
tubuler. Ikterus terjadi kompleks akibat
disfungsi hepatoseluler dan diperberat
oleh gagal ginjal yang menghambat
ekskresi bilirubin urin. Uremi terjadi
akibat pigmen dalam tubulus ginjal
langsung oleh efek spirochaeta pada
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
ginjal dan penurunan sirkulasi darah
ginjal (renal blood flow)38.
- Malaria
Patogenesisnya pada ginjal hampir
sesuai seperti leptospirosis
- Infiltratif
Seperti pada amyloidosis yang
menyerang baik hati maupun ginjal
- Inflamasi
Lupus (SLE), sjogren’s syndrome,
baik hati maupun ginjal bersama
terkena.
- Nonalcoholic fatty liver
disease(NAFLD) dan diabetic
nephropathy
Juga mengenai ginjal sehingga
fungsi ginjal terganggu
- Pre-eclampsia / HELP (Hemolysis,
elevated liver enzymes, low
platelets) syndrome
Infiltrasi lemak terjadi pada multi
organ termasuk ginjal (tubulus
ginjal) selain hati, bahkan pernah
dilaporkan pada pankreas dan
jantung39.
- Polycyctic kidney / liver disease
Bersifat autosomal dominant atau
autosomal recessive
- Sickle cell disease : siderosis terjadi
karena penumpukan zat besi baik
dihati maupun ginjal.
- Syok (shock) baik pada gagal
jantung kongestif, pada keadaan
sepsis dan hipovolemik
Komplikasi yang sangat berat pada
ginjal akibat penyakit hati adalah HRS,
maka disini dibahas untuk segera
menentukan diagnosis. Pada sirosis hati
atau penyakit hati kronis dan gagal hati
berat :
Anamnesis:
- Kehilangan cairan, muntah-
muntah, diare, pemakaian
diuretik
- Perdarahan gastrointestinal
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
- Infeksi : demam, batuk, disuria,
nyeri perut / rasa tidak enak pada
perut
- Terpapar zat-zat nefrotoksis obat
(aminoglycoside, NSAIDs,
radiokontras)
Pemeriksaan fisik :
- Denyut jantung, tensi darah
(termasuk ortostatik), suhu
- Tanda infeksi (paru, abdomen,
cellulitis, dll)
- Sebab-sebab lain dari gagal
ginjal – purpura (purpuric rash)
dapat diduga suatu
cryoglobulinemia
Pemeriksaan Laboratorium dan
Penunjang
- Pemeriksaan darah lengkap,
elekrolit, kreatinin
- Natrium urin, osmolalitas
- Pemeriksaan urin untuk protein
dan cast
- USG ginjal
Diagnosis HRS dibuktikan bila telah
disingkirkan gagal ginjal akibat lain-lain,
dan bila gagal ginjal tetap terjadi walau
koreksi telah dilakukan pada hipovolemi
dan sepsis.
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
Tabel 1 Berbagai perbedaan laboratorium atau keadaan pada berbagai penyakit ginjal
LAB/Diagnosis Gagal ginjal
prerenal
ATN HRS Kelainan ginjal primer
Na Urin < 10 mmol/L > 20mmol/L < 10 mmol/L > 30mmol/L
Kreatinin urin/Kreatinin plasma > 20 < 15 > 30
< 20
Proteinuria (Tidak ada) < 500mg/hari <500mg/hari >500mg/hari
Sedimen urin Sedikit Heme-granular
cast
(Tidak ada) Cast eritrosit/leukosit
Presipitat (presipitants)
Volume sirkulasi
efektif menurun
Volume sirkulasi
efektif menurun,
obat-obatan
nefrotoksik, sepsis
Penyakit hati yg
lanjut/berat, asites
refrakter,
perdarahan
gastrointestinal,
SBP
Tergantung dari tipe penyakit
ginjal
Efek pemberian cairan
Segera terjadi
perbaikan fungsi
ginjal
Tidak segera
terjadi perbaikan
harus
dipertahankan
euvolemia
Tidak ada
pengaruh Harus dipertahankan euvolemia
Diambil dari Yeung E,et al1.
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
Kepustakaan :
1.Yeung.E,Young E,Wong F,Renal
Dysfunction in cirrhosis :
Diagnosis,Treatment,and Prevention.Med Gen
Med 2004; 6(4):9.
2.Cardenas A.Hepatorenal Syndrome: A
Dreaded Comlication of End-Stage Liver
Disease. AM. J.Gastroenterol 2005; 100:460-
467.
3.Hecker R,Sherlock S.Electrolyte and
circulatory changes in terminal liver failure.
Lancet 1956; 2 : 1221-1225.
4.Koppel MH,Coburn JN, Mims MM,et
al.Transplantation of cadaveric kidneys from
patients with hepatorenal syndrome Evidence
for the functional nature of renal failure in
advanced liver disease. N Engl J Med.
1969;280:1367-1371.
5.Iwatsuki S,Popovtzer MM,Corman JL,et
al.Recovery from hepatorenal syndrome after
orthotopic liver transplantation.N Engl J
Med.1973;289:1155-1159.
6.Gines A, Escorsell,Gines P,et
al.Incidence,predictive factors and prognosis
of the hepatorenal syndrome in cirrhosis and
ascites.Gastroenterology.1993;105:229-236.
7.Arroyo V,Colmenero J.Ascites and
hepatorenal syndrome in cirrhosis:
pathophysiological basis of therapy and
current management.J Hepatol.2003;38:S69-
S89.
8.Bernardi M,Di Marco C,Trevisani F,et al.
Renal sodium retention during upright posture
in preascitic
cirrhosis.Gastroenterology.1993;105:188-193.
9.Pozzi M,Grassi G,Redaelli E et al.Patterns of
regional sympathetic nerve traffic in preascitic
and ascitic
cirrhosis.Hepatology.2001;34:1113-1118.
10.Wong F,Girgrah N, Blendis LM.The
controversy of the pathophysiology of ascites
in cirrhosis. J Gastroenterol
Hepatol.1997;12:437-444.
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
11.Arroyo V,Gines P,Rimola A.et al.Renal
function abnormalities prostaglandins and
effects of nonsteroidal anti-inflamatory drug in
cirrhosis with ascites.An overview with
emphasis on pathogenesis.AM J Med
1986;81:104-122.
12.Ros J,Claria J,Jimenez W.et al.Role of
nitric oxide and prostacyclin in the control of
renal perfusion in experimental
cirrhosis.Hepatology.1995;22:915-920.
13.Salerno D,Delbo A,Maggi A,et al
Vasopressin release and water metabolism in
patients with cirrhosis.J
Hepatology.1994;21:822-830.
14.Borroni G,Maggi A, Sangiovanni A, et al.
Clinical relevance of hyponatraemia for
hospital outcome of cirrhotic patients.Dig
Liver Dis.2000;32:605-610.
15.Bataller R,Sort P, Gines P,et al.
Hepatorenal syndrome:
definition,pathophysiology,clinical features
and management.Kidney Int.1998;53(suppl
66):S47-S53.
16.Arroyo V,Guevara M,Gines P.Hepatorenal
syndrome in cirrhosis: Pathogenesis and
Treatment.Gastroenterology.2002;122:1658-
1676.
17.Watt K, Uhanova J,Minuk GY.Hepatorenal
syndrome:diagnostic accuracy clinical
features, and outcome in tertiary care
centre.AM. J Gastroenterol.2002;97:2046-
2050.
18.Afessa B,Kublis PS.Upper gastrointestinal
bleeding in patients with hepatic cirrhosis:
clinical course and mortality prediction.AM J
Gastroenterol.2000;95:484-489
19.Salo J,Gines A,Gines P,et al. Effect of
therapeutic paracentesis on plasma volume and
transvascular escape rate of albumin in patient
with cirrhosis. J Hepatol.1997;27:645-653.
20.Guevara M,Abecasis R,Jimenez W,et al.
Effect of celecoxib on renal fuction in cirrhotic
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
patients with ascites.A pilot study(abstract); J
Hepatol.2002;36(suppl 1): 203.
21.Gonzalez –Abraldes J,Albillos A, Banarez
R,et al. Randomized comparison of long-term
losartan versus propranolol in lowering portal
pressure in
cirrhosis.Gastroenterology.2001;121:389-398.
22.Shepke M,Werner E,Biecker E,et al.
Hemodynamic effects of the angiotensin II
receptor antagonist irbesartan in patients with
cirrhosis and portal
hypertension.Gastroenterology.2001;121:289-
395.
23.Holt S,Goodier D,Marley R,et
al.Improvement in renal fuction in hepatorenal
syndrome with N-acetylcysteine.
Lancet.1999;353:294-295.
24.Gines P, Guevara M,Arroyo V,et al.
Hepatorenal
syndrome.Lancet .2003;362:1819-27.
25.Sherlock S and Dooley J: Fuctional renal
failure(hepato-renal syndrome) in Diseases of
The Liver and Biliary System
10ed.1997;Blackwell Science Ltd Oxford
London p129.
26.Carvounis CP,Nisar S,Guro-Razuman S.
Significance of the fractional excretion of urea
in the differential diagnosis or acute renal
failure.Kidney Int.2002;62:2223-2229.
27.Bernard B,Grange J,Khac EN,et al.
Antibiotic prophylaxis for the prevention of
bacterial infections in cirrhotic patients with
gastrointestinal bleeding: a meta-analysis.
Hepatology.1999;29:1655-1661.
28.Gines P,Tito L, Arroyo V,et al.Randomized
comparative study of therapeutic paracentesis
with and without intravenous albumin in
cirrhosis.Gastroenterology.1988;84:1493-
1502.
29.Pockros PJ,Reynolds TB.Rapid diuresis in
patients with ascites from chronic liver
disease: The importance of peripheral
edema.Gastroenterology.1986;90:1827-1833.
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
30.Sort P,Navasa M,Arroyo V,et al.Effect of
intravenous albumin on renal impairment and
mortality in patients with cirrhosis and
spontaneous bacterial peritonitis.N Engl J
Med.1999;341:403-409.
31.Bennet WM,Keeffe E,Melnyk C,et al.
Response to dopamine hydrochloride in the
hepatorenal syndrome.Arch Intern
Med.1975;135:964-971.
32.Bacq Y,Gaudin C,Hadengue A,et al.
Systemic,splanchnic and renal hemodynamic
effects of dopaminergic dose of dopamine in
patients with
cirrhosis.Hepatology.1991;14:483-487.
33.Duvoux C,Zanditenas D,Hezode C,et al.
Effects of noradrenalin and albumin in patients
with type I hepatorenal syndrome : a pilot
study.Hepatology.2002;36:374-380.
34.Angeli P,Volpin R,Gerunda G,et al.
Reversal of type I hepatorenal syndrome with
the administration of midodrine and
octreotide.Hepatology.1999;29:1690-1697.
35.Moreau R,Durand F,Poynrd T,et al.
Terlipressin in patients with cirrhosis and Type
1 hepatorenal syndrome; a retrospective
multicenter study.
Gastroenterology.2002;122:923-930.
36.Pham PTT,Pham PCT,Rastogi A,et al.
Review article : Current Management of Renal
Dysfuction in The Cirrhotic Patient. Aliment
Pharmacol ther.2005;21(8): 949-961.© 2005
Blackwell Publising.
37.Chen TH.Chronic Liver Disease : Wilson’s
disease in The Washington Manual TM
Gastroenterology Subspecialty Consult p.121-
126. ©2004.Lippincott Williams E Wilkins.
38.(Arean VM.The pathologic anatomy and
pathogenesis of fatal human
leptospirosis(Weil’s disease) AM. J.Pathology
1962;40:393).
39.Sherlock S and Dooley J : The Liver in
Pregnancy in Disease of The Liver and Biliary
System. 10 ed 1997; Blackwell Science Ltd
Oxford,London p.475-483.
Wilson (4111041044) FK UNJANI
25
Ilmu Penyakit Dalam II (UAS)Prof.Julianto Widjojo.dr.Sp.PD.KGEH
Wilson (4111041044) FK UNJANI