Post on 30-May-2019
113
BAB IV
ANALISA TERHADAP KEPEMIMPINAN PENDETA BERETNIS TIONGHOA
DALAM GEREJA-GEREJA ALIRAN PENTAKOSTA DI KOTA SALATIGA
Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya, yakni
bagaimana kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa dalam gereja-gereja aliran Pentakosta di
kota Salatiga? yang kemudian di jabarkan ke dalam fokus penelitian yang menyoroti dan
berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan, karakter kepemimpinan, pengaruh kultur sebagai
seorang etnis Tionghoa dalam proses kepemimpinan, serta kompetensi Pendeta beretnis
Tionghoa sebagai pemimpin, maka pada bagian ini peneliti melakukan analisa terhadap data-data
yang telah didapatkan di lapangan melalui teknik wawancara mendalam maupun observasi.
Secara berurutan, bagian yang akan dibahas dalam bab ini meliputi: (4.1) Gaya
Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa, (4.2) Pemimpin yang Mampu Menjadi Teladan
(Role Model) kepada Orang-orang yang Dipimpinnya, (4.3) Pemimpin yang Bervisi, (4.4)
Adanya Pengaruh dari Kultur sebagai Seorang Etnis Tionghoa terhadap Proses Kepemimpinan,
dan (4.5) Kompetensi Pendeta Beretnis Tionghoa .
4.1. Gaya Kepemimpinan Pendeta Beretnis Tionghoa
Dari data yang tersaji, yang diperoleh melalui teknik wawancara mendalam maupun
observasi maka terungkap beberapa gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh Pendeta beretnis
Tionghoa. Gaya kepemimpinan yang diungkap dalam penelitian ini akan dijabarkan, sbb: (A)
Gaya Kepemimpinan dengan Kinerja tinggi dan kekompakan tinggi, (B) Gaya Kepemimpinan
Demokratis, (C) Gaya kepemimpinan Situasional, (D) Gaya Kepemimpinan Pengayom
(Headmanship), (E) Gaya Kepemimpinan Transaksional.
114
4.1.1. Gaya Kepemimpinan Kerja Tinggi dan Kekompakan Tinggi.
Gaya kepemimpinan pertama yang akan dibahas adalah gaya kepemimpinan yang berorentasi
kepada relasi dan tugas terutama berkaitan dengan suasana organisasi dan dalam pengambilan
keputusan. Dari keempat gaya kepemimpinan yang dikembangkan dari dua dimensi tugas
kepemimpinan yakni kepemimpinan yang berorentasi pada tugas (task oriented) dan
kepemimpinan yang berorentasi pada manusia (human relationship oriented), ditemukan kedua
subjek memiliki gaya kepemimpinan kerja tinggi dan kekompakan tinggi.
Pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan kerja tinggi dan kekompakan tinggi, dapat
menjaga kerja dan kekompakan kepemimpinan tinggi, cocok dipergunakan untuk membentuk
kelompok. Dalam gaya kepemimpinan ini, pemimpin menjadi model untuk kelompok dengan
menunjukan perilaku yang membuat kelompok efektif dan puas.
Kinerja yang tinggi dapat terlihat dari keberadaan berbagai unit pendukung pelayanan yang
dimiliki oleh kedua gereja. Terutama dalam kasus 1 (satu), dari hasil observasi ditemukan
adanya banyak unit pendukung pelayanan. Unit-unit pendukung yang dimiliki antara lain:
adanya sekolah, hotel, koperasi, yayasan, poliklinik, radio, dll. Keberadaan unit-unit pendukung
tersebut menjadi bukti adanya kinerja yang tinggi yang diperlihatkan oleh subjek sebagai
pemimpin dan menjadi penekanan dalam proses kepemimpinan untuk mencapai semua hal
tersebut. Kedua subjek pun selalu mendorong rekan-rekan pelayanannya untuk memberikan
pelayanan atau pun menunjukan kinerja terbaik yang dapat dilakukan. Penekanan pada gaya
kepemimpinan dengan kinerja yang tinggi yang ditunjukan dalam kepemimpinan Pendeta
beretnis Tionghoa,diyakini merupakan hasil dari pengaruh kultur sebagai seorang etnis
Tionghoa. Kedua subjek dibesarkan dalam keluarga yang menekankan sistem nilai seperti kerja
115
keras, ulet dalam bekerja dll. Sehingga hal tersebut mendorong kedua subjek dalam
kepemimpinan menerapakan sistem nilai tersebut.
Dari data yang diperoleh melalui wawancara maupun observasi berkaitan dengan gaya
kepemimpinan yang menekankan kepada tugas/kinerja dan relasi/kekompakan, maka ditemukan
bahwa selain tidak mengabaikan upaya untuk membangun kinerja yang tinggi, subjek dalam
kasus 2 (dua) sebagai pemimpin juga menekankan adanya relasi/kekompakan yang tinggi.
Data yang ditemukan melalui wawancara berkaitan dengan gaya kepemimpian terungkap
bahwa Pdt. Gideon Rusli (subjek 2) adalah pemimpin yang memberikan penekanan lebih pada
relasi (relasi/kekompakan tinggi). Baginya kinerja memang juga merupakan bagian yang penting
namun hal-hal yang berkaitan dengan kinerja dapat dibangun kemudian. Lebih lanjut ia
menyatakan bahwa untuk mencapai kinerja yang baik maka harus terlebih dahulu didasari
dengan relasi yang baik. Dengan relasi yang dibangun, dalam hal ini relasi seperti sebuah
keluarga maka menurutnya akan mampu menggerakan atau mengarahkan orang lain terutama
orang-orang yang dipimpinnya untuk dengan mudah dapat memiliki kinerja yang tinggi. Jadi
upaya menciptakan relasi/kekompakan yang tinggi oleh subjek adalah bagian dari upaya untuk
membangun kinerja yang berkualitas (kinerja tinggi).
Relasi yang berusaha dibangun oleh subjek adalah hubungan atau relasi yang didasari pada
sebuah nilai bahwa semua yang ada dalam gereja ini adalah keluarga. Maka secara otomatis
hubungan yang tercipta dalam jemaat, seperti hubungan atau relasi sebagaimana dalam konteks
keluarga. Sebagai keluarga, ia berperan sebagai bapak dan jemaat adalah anak-anaknya. Hal
tersebut juga diterapkannya dengan rekan-rekan pelayanannya. Subjek mengaku bahwa mereka
sebagai satu tim berjuang bersama-sama sebagai sebuah keluarga. Jadi sejauh ini relasi yang
terus dibangun adalah relasi seperti keluarga. Jadi gaya kepemimpinan yang ditunjukan subjek
116
pada kasus 2 (dua) adalah gaya kepemimpinan dengan relasi/kekompakan tinggi dan juga
menekankan kinerja yang tinggi pula.
Hal yang serupa juga ditunjukan dalam kasus 1 (satu). Subjek 1 memahami bahwa
kenerja yang tinggi harus didahului dengan relasi yang baik. Walaupun penekanan subjek
terhadap orang-orang yang dipimpinnya untuk dapat bekerja dan melayani dengan maksimal,
namun ia tidak mengabaikan upaya untuk terus menjalin hubungan/relasi dengan orang-orang
yan dipimpinnya. Terutama para Pendeta Muda yang telah subjek kader untuk meneruskan
kepemimpinannya untuk waktu kedepan.
Dari hasil wawancara mendalam diperoleh informasi bahwa Pdt. Bambang Hengky dinilai
bukan pemimpin yang sama sekali tidak perduli dalam hal membangun relasi dengan jemaat dan
rekan-rekan pelayanannya. Pdt. Bambang Hengky selalu menyediakan waktu diantara
kesibukannya untuk tetap hadir dalam ibadah-ibadah Komsel, Family Altar setiap minggunya.
Subjek secara bergiliran hadir dalam kelompok-kelompok persekutuan sel dan membangun
hubungan atau relasi dengan jemaat. Walaupun sebenarnya untuk mengingat dan dekat dengan
semua jemaat melalui kunjung satu demi satu adalah hal yang menurutnya tidak mungkin karena
jumlah jemaat yang mencapai ribuan jiwa. Untuk itulah ia sering mendelegasikan tugas kepada
rekan-rekan pelayannya, tim kunjungan dan para Pendeta Muda lainnya. Selain itu, ia selalu
bersedia untuk ditemui jika ada jemaat atau rekan pelayanan yang datang langsung kepadanya
untuk berkomunikasi.
Adanya relasi/kekompakan yang tinggi, yang juga ditunjukan oleh kedua subjek, merupakan
bagian pengaruh dari karakter yang dimiliki kedua subjek sebagai pemimpin. Kedua subjek
dikenal sebagai pribadi yang “welcome” dan terbuka. Selain itu bagian lain yang dapat menjadi
faktor yang menghasilkan gaya kepemimpinan dengan kekompakan/relasi yang tinggi yaitu
117
corak gereja-gereja aliran Pentakosta yang juga menyukai adanya persekutuan (fellowship)
dalam kehidupan berjemaat.
4.1.2. Gaya Kepemimpinan Demokratis
Berdasarkan data yang tersaji berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan, yang diperoleh
dari teknik observasi dan wawancara mendalam maka terungkap juga bahwa gaya atau tipe
kepemimpinan yang ditunjukan oleh kedua subjek sebagai pemimpin adalah gaya atau tipe
kepemimpinan demokratis. Temuan ini tidak sejalan dengan penjelasan yang telah dilansir
sebelumnya bahwa dalam gereja-gereja aliran pentakosta, peran pemimpin sangat dominan dan
cenderung individual dalam pengambilan kebijakan dan keputusan dalam gereja.
Dalam struktur kepemimpinan gereja-gereja aliran Pentakosta menempatkan Pendeta
(Gembala Jemaat) sebagai posisi atau kedudukan/jabatan teratas yang kemudian memberikan
ruang yang besar dan cenderung bebas kepada Gembala jemaat dalam menentukan berbagai
kebijakan dalam gereja. Hal ini tidak dipisahkan dari sejarahnya. Sebagai gerakan yang bersifat
revival, pemimpin gereja aliran pentakosta mendapat wewenang sebagai pemimpin dari
kharisma yang dimiliki seseorang. Hal tersebut memungkinkan munculnya sikap individual dan
dominasi dari pemimpin yang cenderung berlebihan. Namun sikap yang cenderung individual
dan otoriter serta dominasi yang berlebihan dari pemimpin tidak diperlihatkan dan ditunjukan
oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa dalam kepemimpinan mereka.
Keduanya justru menunjukan gaya atau tipe kepemimpinan demokratis. Gaya kepemimpinan
demokratis adalah gaya kepemimpinan yang menempatkan manusia sebagai faktor terpenting
dalam kepemimpinan yang dilakukan berdasarkan dan mengutamakan orientasi pada hubungan
dengan anggota organisasi. Filsafat demokratis yang mendasari pandangan gaya kepemimpinan
118
demokratis ini adalah pengakuan dan penerimaan bahwa manusia merupakan makhluk yang
memiliki hatkat dan martabat yang mulia dengan hak asasi yang sama.
Nilai-nilai demokratis dalam kepemimpinan tampak dari kebijakan pemimpin yang
orientasinya pada hubungan manusiawi, berupa pengakuan yang sama dan tidak membeda-
bedakan anggota organisasi atas dasar warna kulit, ras, kebangsaan, agama, status sosial
ekonomi, dan lain-lain. Pengimplementasian nilai-nilai demokratis di dalam kepemimpinan
dilakukan dengan memberikan kesempatan yang luas pada anggota organsasi untuk
berpartisipasi dalam setiap kegiatan sesuai dengan posisi dan wewenang masing-masing.
Dalam kasus 1, subjek sebagai pemimpin menunjukan tipe pemimpin yang cenderung
terbuka dalam menerima masukan atau pendapat orang-orang yang dipimpinnya. Ia selalu
memberikan kesempatan untuk orang-orang yang dipimpinnya untuk dapat mengeluarkan
pendapat atau usulan serta memberikan ide-ide yang membangun. Ia mendorong orang-orang
yang ia pimpin untuk mampu dan mau berinsiatif. Lebih dari itu ia memiliki kerinduan semua
jemaat harus terlibat dan bukan menjadi penonton. Jika dalam proses itu, ingin bertanya maka
subjek kapan saja menyediakan waktu untuk bisa ditemuai. Selain itu subjek tidak jarang
memberikan kepercayaan kepada rekan-rekan pelayanannya yang lain, untuk dapat memutuskan
sesuatu
Sedangkan dalam kasus 2 (dua), dari hasil data yang diperoleh dengan menggunakan teknik
wawancara kepada informan kunci, berkaitan dengan tipe kepemimpinan yang diterapkan
ditemukan bahwa subjek sebagai pemimpin mengaku terhadap rekan-rekan pelayanannya, selalu
bersikap “open”. Terhadap rekan-rekan pelayanannya, ia memberikan kesempatan dan ruang
yang sebesar-besarnya untuk dapat berpendapat. Dalam rapat atau pertemuan-pertemauan yang
sering dilaksanakan dia memberikan kesempatan kepada orang yang dipimpinnya untuk dapat
119
memunculkan ide-ide, dan selalu mengijinkan orang-orang untuk berbeda pendapat. Dalam hal
mengambil kebijakan juga diperlakukan hal yang sama . Dalam kepemimpinannya ia berusaha
untuk selalu kerja sebagai satu tim. Sebagai wujudnya, ia sebagai pemimpin menyukai adakan
pertemuan, untuk dapat mendengarkan dan membicarakan ide-ide dari rekan-rekan pelayananya
yang lain.
Berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan dari Pdt. Gideon Rusli ditemukan dari hasil
wawancara dengan informan pendukung yang adalah salah satu staff di bagian multimedia,
bahwa Pdt. Gideon Rusli adalah tipe pemimpin yang memberikan kesempatan kepada patner
pelayanannya untuk dapat melakukan yang bisa dilakukan dengan talenta dan kemampuan yang
dimiliki. Sebagai patner pelayanan Pdt, Gideon Rusli, ia menilai bahwa Pdt. Gideon adalah
pemimpin yang mau memberikan kesempatan dan ruang yang lebih kepada orang-orang yang
dipimpinnya untuk dapat berkreativitas dengan kemampuan dan talenta yang dimiliki. Yang ia
rasakan selama bekerja sama dengan Pdt. Gideon Rusli adalah ia dapat berkembang lebih baik
dalam hal talenta yang dimiliki. Pdt. Gideon Rusli sebagai pemimpin selalu mendorong orang-
orang yang dipimpinnya, termasuk sdr. Maikel untuk dapat melakukan segala sesuatu dengan
terbaik. Sebagai pemimpin ia selalu memberikan masukan kepada patner-patner pelayanannya.
Pemimpin yang sering juga memberikan apresiasi kepada apa yang telah dikerjakan dengan
maksimal oleh orang-orang yang dipimpinnya.
Hal tersebut sejalan dengan keterangan yang diperoleh dari hasil wawancara dengan saudari
Yunita, yang juga adalah salah satu staff di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Salatiga. Ia juga
menilai Pdt. Gideon Rusli adalah pemimpin yang selalu memberikan tantangan dan kesempatan
untuk rekan-rekan kerja dan pelayanannya untuk melakukan apa yang bisa dilakukan untuk
kemajuan pelayanan. Selain itu juga, Pdt. Gideon Rusli adalah sosok yang selalu “welcome” dan
120
“open” dengan berbagai pendapat atau usulan dari orang lain. Selama pendapat yang diberikan
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Firman Tuhan, maka ia akan mendengarkan dan
mempertimbangkan.
Gambaran yang berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan yang ditunjukan oleh kedua
subjek tersebut menurut penjelasan Nawawi dan Hadari merupakan tipe pemimpin yang
demokratis. Gaya atau tipe kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang diwujudkan
dengan cara memberikan kesempatan yang luas bagi orang-orang yang dipimpinnya untuk dapat
berpartisipasi dalam setiap kegiatan. Partisipasi tersebut disesuaikan dengan posisi masing-
masing, disamping memperhatikan pula tingkat dan jenis kemampuan setiap anggota. Tipe
kepemimpinan ini menempatkan manusia sebagai faktor utama dan terpenting dalam setiap
kelompok/organisasi.Lebih lanjut dijelaskan bahwa tipe kepemimpinan demokratis adalah tipe
kepemimpinan yang menempatkan orang-orang yang dipimpinnya sebagai subjek, yang
memiliki kepribadian dengan berbagai aspek, seperti dirinya juga. Kemauan, kehendak,
kemampuan, buah pikiran, pendapat, minat/perhatian, kreativitas, insiatif dan lain-lain yang
berbeda-beda antara yang satu dengan lain selalu dihargai dan disalurkan secara wajar1.
Kepemimpinan gaya atau tipe ini dalam mengambil keputusan-keputusan sangat
mementingkan musyawarah, yang diwujudkan pada setiap jenjang dan di dalam unit masing-
masing. Pemimpin dengan tipe demokratis menaruh perhatian penuh pada gagasan anggota
kelompok. Dengan demikian akan selalu terjadi pertemuan gagasan, yang dapat menghasilkan
keputusan terbaik untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukan oleh kedua subjek dalam memimpin,
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya berdasarkan data yan diperoleh. Sehingga yang terjadi
adalah orang-orang- yang dipimpinnya dalam pelaksanaan setiap keputusan tidak dirasakan
1 Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, Kepemimpinan yang…., 100-102.
121
sebagai kegiatan yang dipaksaka, justru sebaliknya semua terdorong untuk mensukseskannya
sebagai tanggung jawab bersama2.
Pendapat lain yang sejalan dengan hasil temuan, dijelaskan oleh Siagian. Ia menejelaskan
bahwa seorang pemimpin yang demokratis akan dihormati dan disegani dan bukan ditakuti
karena perilakunya dalam kehidupan organisasional. Perilakunya mendorong orang-orang yang
dipimpinnya menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya. Dengan
sungguh-sungguh ia mendengarkan pendapat, saran dan bahkan kritik orang lain, terutama
orang-orang yang dipimpinnya. Bahkan seorang pemimpin yang demokratis tidak akan takut
membiarkan para bahwahannya berprakarsa meskipun ada kemungkinan prakarsa itu akan
berakibat pada kesalahan Jika terjadi kesalahan, pemimpin yang demokratis berada di samping
orang-orang yang dipimpinnya yang berbuat kesalahan itu bukan untuk menindak atau
menghukumnya, melainkan meluruskannya sedemikian rupa sehingga orang-orang yang
dipimpinnya tersebut belajar dari kesalahannya itu dan dengan demikian menjadi anggota
organisasi yang lebih bertanggung jawab3. Hal ini sesuai dengan hasil temuan yang
memperlihatkan bahwa kedua subjek sebagai pemimpin dengan tipe demokratis sangat dihormati
dan disegani oleh orang-orang dipimpinnya.
4.1.3. Gaya kepemimpinan Situasional
Gaya kepemimpinan berikutnya, yang ditunjukan dan dimiliki oleh Pendeta beretnis
Tionghoa adalah gaya kepemimpinan situasional. Gaya kepemimpinan situsional adalah gaya
kepemimpinan yang mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi dan keadaan sebagai faktor
penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melakukan tugas-tugas organisasi
2 Ibid.
3 Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 43.
122
secara efektif dan efisien. Kepemimpinan situasional menekankan bahwa keefektifan
kepemimpinan seseorang bergantung pada pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat dalam
menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan jiwa dari orang-orang yang dipimpin.
Hal tersebut ditemukan pada kasus 1 (satu). Terlihat subjek cenderung menunjukan gaya
kepemimpinan yang disebut sebagai gaya kepemiminan situasional. Gaya kepemimpinan
situasional diperkenalkan oleh Blanchard (1997)4. Gaya kepemimpinan ini dikembangkan dari
keyakinan dan nilai tentang orang, yaitu: orang dapat dan ingin dikembangkan. Salah satu
defenisi dari ketrampilan pemimpin situsional, yang diungkapkan oleh Blanchard adalah adanya
keluwesan, yaitu kemampuan untuk menggunakan berbagai macam gaya kepemimpinan dengan
baik5. Inti utama dari kepemimpinan situasional adalah bagaimana pemimpin mengembangkan
semaksimal mungkin kemampuan pengikut mereka sesuai dengan gaya tahapan dari pengikut
yang ada. Hal ini bila ditelaah lebih lanjut merupakan prinsip utama dari servant leadership yaitu
bagaimana pemimpin dapat melayani pengikutnya untuk perkembangan dan kemajuan bersama6.
Bagian yang diungkapkan dan dijelaskan oleh Blanchard tersebut sejalan dengan hasil
temuan berkaitan dengan gaya kepemimpinan dari subjek dalam kasus 1(satu). Hasil data yang
diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi, ditemukan gaya
kepemimpinan yang subjek terapkan selama ini menyesuaikan dengan orang-orang yang ia
pimpin. Hal ini berangkat dari pemahamannya bahwa tidak ada gaya kepemimpinan yang
terbaik. Sebagai pemimpin bagi jemaat dengan jumlah ribuan jiwa, ia merasa adanya perbedaan
yang ditunjukan oleh setiap orang, termasuk didalamnya adalah rekan-rekan pelayanannya, baik
itu dalam hal kompetensi maupun komitmen ketika melayani. Kondisi ini membuat subjek harus
4 Jony Oktavian Haryanto, KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI….,31.
5 Ibid.
6 Ibid.
123
dapat menyesuaikan dan menempatkan gaya kepemimpinan yang tepat ketika berhadapan
dengan setiap orang yang dipimpinnya.
Baginya gaya kepemimpinan yang terbaik adalah gaya kepemimpinan yang mampu
menyesuaikan dengan siapa pemimpin itu sedang berhadapan. Kadang sebagai pemimpin ia
harus mampu memberikan directing bagi mereka dengan komitemen tinggi tetapi masih
memiliki kemampuan atau kompentesi rendah karena masih kurangnya pengalaman. Kondisi ini
sesuai dengan perilaku dasar kepemimpinan situasional, yakni perilaku direktif. Perilaku diriketif
adalah perilaku yang diterapkan apabila pemimpin dihadapkan pada tugas yang rumit dan
bawahan belum memiliki pengalaman dan motivasi untuk mengerjakan tugas tersebut, atau
pemimpin berada di bawah tekanan waktu penyelesaian, maka pemimpin akan menjelaskan apa
yang perlu dikerjakan.
Ia kadang juga harus menjadi pelatih, bagi mereka yang sudah mulai memiliki kompetensi
yang boleh dikatakan sedang namun komitmen yang mulai rendah. Menjadi suporter yang
memberika dukungan ketika berdahapan dengan mereka yang memilki kompetensi tinggi namun
komitmenya variabel. Serta sebagai pemimpin ia pun harus dapat memberikan delegasi
(delegation) ketika berhadapan dengan mereka yang telah memiliki komitmen tinggi sekaligus
memiliki kompetensi yang tinggi.
Subjek mampu memainkan fungsinya sebagai pemimpin dengan menerapkan gaya
kepemimpinan yang dapat menyesuaikan dengan orang-orang yang dipimpinnya. Kondisi ini
sesuai dengan hal utama yang menjadi penekanan dalam gaya kepemimpinan situasional, yakni
bagaimana pemimpin dapat mengembangkan semaksimal mungkin kemampuan pengikut mereka
sesuai dengan gaya dan tahapan dari pengikut yang ada.
124
Subjek mampu berganti gaya kepemimpinan dengan cepat dan sesuai ketika berhadapan
dengan orang dengan tipe yang berbeda-beda. Kemampuannya tersebut dirasakan oleh orang-
orang yang dipimpinnya, termasuk oleh orang-orang tedekatnya. Menurut Pdm. Satrio Sambodo
ketika berhadapan dengan para Pendeta Muda, subjek sering memberikan delegasi dalam
menjadi perpanjangan tangan dari gembala jemaat untuk menjangkau jemaat-jemaat dengan
berbagai persoalan yang ada. Mereka diberikan kesempatan untuk mengambil kebijakan dalam
gereja sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang berlaku dalam gereja dan
merugikan orang lain. Kondisi ini juga sesuai dengan penjelasan dari salah satu perilaku
mendasar dari gaya kepemimpinan situasional, yakni perilaku delegatif. Perilaku delegatif ini
diterapkan apabila orang-orang yang dipimpin sudah sepenuhnya paham dan efisien dalam
kinerja tugas, sehingga pemimpin dapat melepaskan mereka untuk menjalankan tugasnya sendiri.
Hal inilah yang dilakukan oleh subjek terhadap para Pendeta Muda yang telah dianggap
memiliki kinerja tugas yang tinggi dan efisien.
4.1.4. Gaya Kepemimpinan Pengayom (Headmanship)
Selain menunjukan gaya kepemimpinan dengan kinerja dan relasi tinggi, demokratis, dan
situasional, kedua subjek juga menunjukan tipe atau gaya kepemimpinan pengayom
(Headmanship). Nawawi dan Hadari menjelaskan bahwa tipe kepemimpinan pengayom
menempatkan seseorang sebagai kepala pada dasarnya berfungsi sebagaimana layaknya seorang
kepala keluarga. Pemimpin memiliki kesediaan dan kesungguhan dalam mengayomi orang-orang
yang dipimpinnya. Kepemimpinan dijalankan dengan melakukan kegiatan kepeloporan,
kesediaan berkorban, pengabdian, melindungi, dan selalu melibatkan diri dalam usaha
memecahkan masalah perseorangan atau kelompok. Pemimpin ibarat ayah yang berfungsi
mengayom anggotanya ibarat anak-anak dan anggota keluarganya yang lain.
125
Hal yang dijelaskan oleh Nanawi dan Hadari dapat terlihat pada kedua kasus dalam
penelitian ini. Dalam kasus 2 (dua), dari teknik observasi dan wawancara mendalam dengan
informan kunci dan informan pendukung maka terungkap bahwa Pdt. Gideon Rusli adalah
pemimpin yang mendasari relasi dengan orang-orang yang dipimpinnya pada sebuah nilai bahwa
semua yang ada dalam gereja adalah keluarga. Maka secara otomatis hubungan yang tercipta
dalam jemaat, diharapkan seperti hubungan atau relasi dalam konteks keluarga. Sebagai
keluarga, ia berperan sebagai bapak dan jemaat adalah anak-anaknya. Hal tersebut juga
dilakukannya dengan rekan-rekan pelayanannya. Subjek mengaku bahwa mereka sebagai satu
tim berjuang bersama-sama sebagai sebuah keluarga. Jadi sejauh ini relasi yang terus dibangun
adalah relasi seperti keluarga.
Upaya membangun hubungan sebagaimana sebuah keluarga diwujudkannya dengan
merasakan apa yang orang-orang dipimpinnya rasakan. Ibu Ely dan Bapak Cipto sebagai angota
jemaat, berkisah ketika rumah mereka rusak karena terkena bencana angin ribut maka Pdt.
Gideon Rusli sebagai pemimpin mau langsung bergerak membantu mereka dan keluarga yang
lain, yang juga terkena bencana. Keperduliannya tersebut atas dasar pandangannya bahwa semua
yang ada dalam jemaat adalah keluarga sehingga harus saling membantu. Kondisi ini sesuai
dengan bagian dari penjelasan dalam gaya kepemimpinan pengayom, yaitu pemimpin memiliki
kesediaan dan kesungguhan dalam melibatkan diri dalam usaha memecahkan masalah
perseorangan atau kelompok.
Dalam membangun relasi dengan orang-orang yang dipimpinnya, sebagai pemimpin ia
menyukai untuk melakukannya melalui sentuhan secara personal. Dalam hal ini ia sebagai
pemimpin berusaha menyediakan waktu untuk dapat membangun komunikasi pribadi dengan
orang-orang yang dipimpinnya. Walaupun secara ideal tidak semua jemaat dapat didekati secara
126
personal namun ia sebagai pemimpin berusaha kalau ada jemaat baru maka ia menyediakan
waktu untuk melakukan kunjungan dan melakukan sentuhan secara personal.
Dalam kasus 1 (satu), ditemukan hal yang tidak jauh berbeda dengan kasus 2 (dua). Hasil
wawancara diperoleh keterangan dari salah satu orang yang dipimpin subjek, mengaku bahwa ia
menemukan sosok Gembala jemaat memperlakukan dirinya sebagai anak. Ia sendiri merasa
memiliki bapak rohani yang perduli dan sangat baik dalam mendidik dirinya. Labih lanjut
dijelaskan bahwa Pdt. Bambang Hengky adalah sosok pemimpin yang memiliki “hati bapak”.
Hati bapak yang dimaksudkan adalah ia sebagai sosok yang sangat mengasihi orang-orang yang
dipimpinnya, selalu mau berkorban untuk orang-orang yang dipimpinnya dan memperlakukan
mereka sebagai anak-anaknya sendiri. Bentuk kasihnya dia tunjukan melalui tindakan-tindakan
yang tegas tetapi disisi lain ia pun bisa mempelakukan orang-orang yang dipimpinnya dengan
penuh kelembutan.
4.1.5. Gaya Kepemimpinan Transaksional
Secara kritis ketika melakukan tinjauan terhadap bagian yang berkaitan dengan gaya atau
tipe kepemimpinan yang ditunjukan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa maka terungkap juga
adanya gaya atau tipe kepemimpinan transaksional. Dari data yang tersaji, yang diperoleh
melalui teknik wawancara mendalam dan observasi, ditemukan bahwa kedua Pendeta beretnis
Tionghoa sebagai pemimpin melakukan pengorbanan yang tidak sedikit selama proses
kepemimpinan dalam gereja yang dipimpin. Pengorbanan yang tidak sedikit yang dimaksud,
ditunjukan dalam bentuk materi. Dalam kasus 1 (satu), pengorbanan yang ditunjukan oleh subjek
dalam bentuk menyerahkan kompleks/tanah yang dahulunya milik pribadi dari Pdt. Bambang
Hengky dan keluarga kepada gereja. Sehingga tanah yang saat ini telah dibangun bangunan
gereja dan berbagai unit pendukung, telah menjadi milik jemaat lokal sepenuhnya. Sedangkan
127
pada kasus 2 (dua), subjek yang memimpin sebagai gembala jemaat pada saat proses
pembangunan gedung gereja, juga melakukan pengorbanan dalam bentuk materi. Hal ini
ditunjukannya ketika subjek menjual 2 (dua) mobil pribadinya untuk membantu kebutuhan biaya
pembangunan gedung gereja.
Walaupun di satu sisi pengorbanan dalam bentuk materi tersebut dianggap sebagai hal
yang positif, yang ditunjukan kedua Pendeta beretnis Tionghoa sebagai pemimpin, namun pada
sisi lain, tidak dapat diabaikan bahwa hal tersebut juga dapat menjadi salah satu indikasi adanya
gaya atau tipe kepemimpinan transaksional. Gaya kepemimpinan transaksional adalah gaya
kepemimpinan yang bercirikan adanya pengorbanan individu terhadap oganisasi dikarenakan
adanya kepentingan pribadi. Kepemimpinan yang memotivasi orang-orang yang dipimpin
dengan minat-minat pribadinya. Kepemimpinan transaksional juga melibatkan nilai-nilai akan
tetapi nilai-nilai itu relevan sebatas proses pertukaran (exchange process), tidak langsung
menyentuh substansi perubahan yang dikehendaki.
Jika melihat corak kepemimpinan yang khas dari gereja-gereja aliran Pentakosta, dalam
hal ini tidak mengenal adanya mutasi Pendeta yang berlaku dalam sinode Gereja-gereja aliran
Pentakosta tersebut berada, maka tidak menutup kemungkinan munculnya kepentingan pribadi
atau individu dari pemimpin. Kondisi ini memungkinkan Pendeta menjadi Gembala jemaat
dalam durasi waktu yang tidak ditentukan atau bahkan dapat seumur hidup menjadi pemimpin
dalam jemaat tersebut karena tidak adanya mutasi dalam kepemimpinan gereja-gereja aliran
Pentakosta. Dengan corak demikian, maka pemimpin bisa saja melakukan pengorbanan yang
tidak sedikit dalam bentuk materi terhadap gereja yang dipimpin. Hal ini dikarenakan ia tahu
bahwa akan menjadi pemimpin seumur hidup dalam gereja tersebut. Tidak adanya mutasi atau
128
pertukaran penempatan Pendeta dalam gereja-gereja aliran Pentakosta juga memungkinkan
Pendeta menganggap bahwa gereja menjadi miliki pribadi atau individu.
Dalam kasus 2 (dua), subjek menjadi Gembala jemaat setelah kepemimpinan dalam
Gereja Bethel Indonesia (GBI) Salatiga sebelumnya dipegang oleh ayahnya yaitu Pdt. Andreas
Muliatno Rusli. Jadi kepemimpinan Pdt. Andreas Muliatno Rusli digantikan oleh putranya
sendiri yakni Pdt. Gideon Rusli yang telah menjadi Gembala jemaat sampai saat ini. Kondisi ini
cenderung mengarah pada adanya kepentingan pribadi pemimpin ketika mealakukan
pengorbanan kepada gereja yang dipimpin. Kondisi ini yang oleh peneliti maksudkan menjadi
alasan adanya gaya atau tipe kepemimpinan transaksional jika dilihat dari sisi lain. Jadi nilai
yang ditunjukan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa, dalam hal ini pengorbanan yang
dilakukan, dapat atau dimungkinkan menjadi sebatas proses pertukaran (exchange process).
4.2. Pemimpin yang Mampu Menjadi Teladan (Role Model) kepada Orang-orang yang
Dipimpinnya.
Dari hasil teknik wawancara mendalam, baik kepada informan kunci maupun kepada
informan pendukung, diperoleh data yaitu kedua Pendeta beretnis Tionghoa ternyata mampu
menjadi teladan atau role model yang baik bagi para pengikutnya. Hal tersebut dilakukan kedua
subjek sebagai cara atau upaya dalam proses mempengaruhi para pengikutnya untuk mencapai
tujuan bersama. Kedua subjek yang adalah Pendeta beretnis Tionghoa mengandalkan
keteladanan, dengan menjadi role model bagi orang-orang yang dipimpinnya. Dalam upaya
menjadi teladan bagi pengikutnya, kedua subjek menunjukan karakter-karakter yan dimiliki oleh
seorang pemimpin yang melayani.
129
Karakter yang dimiliki kedua subjek ternyata memainkan peranan yang sangat signifikan dan
penting dalam proses kepemimpinannya. Penemuan ini sejalan dengan bagian yang diungkapkan
oleh Neuschel yang menyatakan bahwa Karakter merupakan fondasi kemampuan
kepemimpinan. Karakter yang dimaksudkan lebih merupakan seluruh sistem nilai yang
ditunjukan terus menerus. Ketika manifestasi ini jelas dan konsisten serta merefleksikan suatu
karakter integritas pribadi, citra inilah yang akan menjadi instrument yang efektif dalam
mempengaruhi pengikutnya. Sehingga kekuatan dari karakter yang dimiliki oleh pemimpin
menjadi faktor yang penting dan mendasar dalam mempengaruhi orang-orang yang dipimpin
untuk mencapai tujuan bersama.
Ada beberapa karakter yang ditunjukan dalam kepemimpinan kedua Pendeta beretnis
Tionghoa, yang menjadi instrument yang efektif dalam mempengaruhi orang-orang yang
dipimpin oleh kedua subjek, antara lain: (a)melayani dengan tekun, (b) kerendahan hati (c) setia,
(d) fokus, (e) pemberdayaan, (f) rajin, (g) percaya (h) tegas, (i) berani mengambil keputusan
yang berisiko, (j) berintegritas, (k) empati, (l) mendengarkan, (m) disiplin, (n) rela berkorban.
Semua karakter yang disebutkan diatas, yang dimiliki oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa
merupakan karakter yang telah meliputi dimensi karakteristik yang dimiliki oleh pemimpin yang
melayani. Bagian-bagian karakter yang disebutkan tersebut juga telah di jelaskan pada bagian
bab sebelumya. Namun ada salah satu karakter yang menjadi penekanan dalam kepemimpinan
kedua Pendeta beretnis Tionghoa yang ditunjukan oleh keduanya, yaitu rela berkorban. Rela
bekorban menjadi salah satu karakter yang memberikan penaruh yang signifikan dalam proses
kepemimpinan kedua Pendeta beretnis Tionghoa.
Hasil dari teknik wawancara dan observasi, terungkap bahwa kedua Pendeta beretnis
Tionghoa menunjukan karakter sebagai pemimpin yang rela berkorban. Hal tersebut terlihat
130
dalam pengorbanan pribadi yang dilakukan oleh keduanya dalam rangka untuk kepentingan
orang lain dalam hal ini jemaat atau komunitas yang dipimpinnya. Satu hal yang menarik dari
apa yang dilakukan oleh Pdt. Bambang Hengky sebagai Gembala jemaat Gereja Bethany
Salatiga berkaitan dengan karakter sebagai pemimpin yang rela berkorban adalah dengan
menyerahkan semua kompleks yang dahulunya merupakan milik pribadi dari Pdt. Bambang
Hengky dan keluarga kepada gereja sepenuhnya. Tanah yang saat ini telah dibangun bangunan
gereja dan berbagai unit pendukung lainnya seperti sekolah, koperasi, poliklinik, dll, telah
beralih kepemilikan menjadi milik jemaat lokal sepenuhnya. Pdt. Bambang Hengky
memandang bahwa gereja membutuhkan tanah tersebut. Sehingga ia dan keluarga kemudian
memberikan aset tersebut menjadi milik gereja. Selain itu Pdt. Bambang Hengky juga tidak
jarang berkorban dalam memberikan uang pribadi untuk disumbangkan ke gereja dalam rangka
digunakan dalam mencukupi kebutuhan gereja.
Hal yang tidak jauh berbeda juga dilakukan oleh Pdt. Gideon Rusli (kasus 2). Ia
berkorban dalam hal menjual 2 (dua) mobil milik pribadinya untuk membantu biaya
pembangunan gedung gereja Bethel Indonesia (GBI) Salatiga, yang pada saat itu masih dalam
tahap pembangun serta membutuhkan biaya yang besar. Menarik yang diungkapkan oleh Bapak
Cipto dan Ibu Ely sebagai anggota jemaat dan juga merupakan aktivis pelayanan kategorial saat
diwawancarai mengungkapkan bahwa Pdt. Gideon Rusli adalah sosok pemimpin yang
melibatkan pengorbanan pribadi meskipun tidak ada keuntungan pribadi yang didapatkan oleh
Pdt. Gideon Rusli. Ia memberikan teladan yang baik katika ia mengajarkan tentang memberikan
yang terbaik yang dimiliki. Maka Pdt. Gideon Rusli terlebih dahulu memberikan teladan
bagaimana memberikan yang terbaik yang dimilikinya. Hal ini membuat jemaat tergerak untuk
131
dengan rela memberikan apa yang dimiliki untuk pembangunan gereja tersebut. Hasilnya
bangunan gereja tersebut bisa selesai pembangunannya saat ini.
Karakter yang ditunjukan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa tersebut merupakan
bagian dari kerakteritik dari kepemimpinan yang melayani, seperti yang diungkapkan oleh
Patterson. Dari model teoritis yang dibuat oleh Patterson (2003) mengenai kepemimpinan
yang melayani (servant leadership), yang terdiri dari tujuh konstruk kebijakan atau
kesalehan terdapat pembahasan tentang mengutamakan orang lain (altruism). Tulisan Kaplan
(2000) menyatakan bahwa altruism adalah membantu orang lain tanpa pamrih, yang
melibatkan pengorbanan pribadi, meskipun tidak ada keuntungan pribadi. Sementara Dennis
dan Bocarnea (2006) mengutip tulisan Eisenberg (1986) mendefenisikan perilaku altruistik
sebagai perilaku sukarela yang dimaksudkan untuk menguntungkan pihak lain dan tidak
dimotivasi oleh harapan eksternal yakni penerimaan imbalan atau pahala. Bagi Dennis dan
Bocarnea (2006) mendefenisikannya sebagai perilaku yang dimaksukan untuk
mendatangkan keuntungan yang lain, bahkan melakukannya mungkin beresiko atau
memerlukan pengorbanan untuk kesejahteraan orang lain.
4.3. Pemimpin yang Bervisi
Salah satu dimensi dari karakteristik kepemimpinan yang melayani, berdasarkan model
teoritis yang dibuat oleh Patterson tentang tujuh konstruk kebijakan atau kesalehan mengenai
servant leadership (kepemimpinan melayani), yaitu: adanya dimensi visi (vision) yang dimiliki seorang
pemimpin. Visi dan kepemimpinan tidak dapat dipisahkan. Blanchard (2000) mendefinisikan
visi sebagai gambaran masa depan yang menghasilkan gairah. Pemimpin tanpa visi adalah
pemimpin yang liar. Bahkan ia sebenarnya sama sekali tidak dapat disebut sebagai pemimpin7.
Hubungan yang tidak terpisahkan antara visi dan kepemimpinan diperlihatkan dari kedua Pedeta
7Sendjaya, Kepemimpinan Kristen….,42.
132
beretnis Tionghoa selama mejalankan kepemimpinan mereka. Dari data yang disajikan yang
diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dan observasi maka ditemukan bahwa kedua
Pendeta beretnis Tionghoa yang menjadi subjek dalam penelitian ini, termasuk sebagai pemimpi
yang bervisi.
Ditemukan pada kasus 1, bahwa subjek dalam menjalankan kepemimpinannya memberikan
penekanan utama kepada visi gereja yang adalah visi bersama dalam komuitas. Subjek
memahami visi gereja tidak terlepas dari pemahaman bahwa pelayanan tidak hanya terbatas pada
4 (empat) tembok gereja. Dalam hal ini subjek sebagai pemimpin selalu berupaya memikirkan
bagaimana caranya untuk dapat menggerakan jemaat (orang-orang yang dipimpin) agar
terpanggil dalam pengembangan masyarakat. Wujud dari visi tersebut terlihat dari kehadiran dari
unit-unit kerja yang diharapkan mampu memberkati kota Salatiga, antara lain: Sekolah,
Koperasi, Hotel, Yayasan Sosial, Poliklinik serta juga memiliki 2 (dua) radio. Kehadiran unit-
unit kerja yang dimiliki gereja Bethany Salatiga dalam rangka untuk membuka lapangan kerja
bagi masyarakat yang membutuhkan pekerjaan termasuk jemaat Gereja Bethany Salatiga sendiri
yang merupakan bagian dari masyarakat kota Salatiga.
Selain memahami visi dengan baik dan jelas, serta tahu kearah mana gereja akan bergerak,
kedua subjek adalah pemimpin yang mampu menterjemahkan visi dengan baik kepada orang-
orang yang dipimpinnya. Hal tersebut terlihat dari upaya yang dilakukan oleh keduanya. Dalam
hal ini visi besar dari gereja diturunkan ke dalam tema-tema tahunan dan kemudian lebih
diperjelas lagi melalui tema-tema bulanan. Selain itu dalam rangka memastikan visi bersama
terus dipegang oleh orang-orang yang dipimpinnya maka keduanya mampu menjadi pemimpin
terus berupaya membagikan visi bersama kepada orang-oran yang dipimpinnya. Dalam kasus 1
(satu), ditemukan bahwa subjek secara rutin mengadakan pertemuan dengan sekitar 250 pekerja
133
dari semua unit pelayanan dan gereja-gereja cabang yang dimiliki Gereja Bethany, setiap
bulannya pada minggu pertama (setiap hari Sabtu) untuk membagikan visi bulanan dan terus
memotivasi para pelayan untuk terus dapat bergerak ke arah pencapaian visi besar gereja yang
menjadi visi bersama. Tidak berhenti disitu, subjk juga membagikan visi yang telah ia bagikan
kepada para pelayan dan pemimpin-pemimpin gereja juga dibagikan kepada jemaat melalui
pertemuan FA (Family Altar), buletin dan pesan gemabala. Jadi terlihat bahwa subjek mampu
menggerakan jemaat untuk terus bergerak menuju visi besar dari gereja. Subjek adalah sosok
pemimpin yang selalu memberikan waktu untuk terus menggerakan dan membagikan visi
kepada jemaat.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh subjek 1 (satu), dalam kasus 2,
subjek pun adalah pemimpin yang menempatkan visi gereja yang adalah visi bersama pada salah
satu bagian yang terpenting dalam kepemimpinanya. Terlihat sebagai pemimpin subjek selalu
berupaya untuk orang-orang yang dipimpinnya untuk tidak melepaskan visi gereja. Maka visi
gereja selalu dibicarakan minimal 2 (dua) kali dalam setahun. Tepatnya pada awal tahun dan
pertengahan tahun untuk terus mengingatkan jemaat untuk visi besar yang dimiliki. Selain itu
visi gereja yakni “Menjadi jemaat lokal yang memberkati kota, bangsa dan dunia dengan
pelayanan yang holistik dan terpadu” dijabarkankan ke dalam program-program dalam 5 (lima)
bidang atau depertemen yang ada. Sehingga menurutnya ketika orang mengikuti program yang
telah direncanakan maka ia akan digiring untuk bergerak ke arah visi gereja. Sebagai pemimpin
subjek menggunakan berbagai cara untuk menggerakan orang kepada visi bersama. Hal yang
biasa dialakukan subjek adalah melalui mimbar. Selain itu juga ada pendekatan secara pribadi
yang dilakukan subjek, melalui percakapan secara pribadi berkaitan dengan visi gereja dengan
orang-orang yang dipimpinnya.
134
Hasil temuan ini memperlihatkan adanya kesesuaian dengan penjelasan dari salah satu
dimensi karakter pemimpin yang melayani, yang dijelaskan oleh Sendjaya. Dalam pejelasan
dimensi transforming Influence, dikatakan bahwa seorang pemimpin harus selalu dapat berupaya
memastikan setiap individu dalam organisasi memegang visi yang dibagikan bersama.Lebihdari
itu apa yang dilakukan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa yang telah dijelaskan dari hasil
temuan juga sejalan dengan hasil temuan dari Laub (1999) yang menemukan bahwa visi
bersama membangun orang lain (memberdayakan mereka) dan melayani kebutuhan orang lain
(melayani mereka). Hal ini telah diperlihatkan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa dalam
kepemimpinan mereka. Sehingga keduanya dapar dikatakan sebagai pemimpin yang visoner
karna memimpin dengan memiliki visi yang jelas sebagai pemimpi dan adanya upaya untuk
menterjemahkan visi secara jelas kepada orang-orang yang dipimpin. Lebih dari itu ada upaya
untuk menggerakan orang-orang yang dipimpinnya ke arah visi bersama yang dimiliki.
4.4. Adanya Pengaruh dari Kultur sebagai Seorang Etnis Tionghoa terhadap Proses
Kepemimpinan
Menarik untuk menganalisa tentang adanya pengaruh dari kultur sebagai seorang etnis
Tionghoa terhadap kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa dalam jemaat. Pembahasan yang
berkaitan dengan kultur, dijelaskan oleh Baidhaiwy, yang menyatakan bahwa kebudayaan atau
kultur membentuk perilaku, sikap, dan nilai manusia termasuk memberntuk pribadi seorang
pemimpin. Ternyata keberhasilan kedua subjek dalam memimpin sampai saat ini, dengan
menunjukan gejala pertumbuhan gereja yang terus meningkat setiap waktu, terlebih
pertumbuhan secara kuantitas dan kehadiran berbagai unit kerja atau pelayanan dikarenakan
adanya pengaruh postif dari kultur yang dimiliki kedua subjek.
135
Dari teknik wawancara yang dilakukan dengan subjek dan 2 (dua) informan pendukung
lainnya, yang menjabat sebagai Pendeta Muda di Gereja Bethany Salatiga, maka terungkap
bahwah Pdt. Bambang Hengky sebagai pemimpin adalah sosok pemimpin yang memiliki etos
kerja yang tinggi. Hal ini dinilai oleh subjek sendiri maupun informan pendukung merupakan
hasil dari pengaruh kulturnya sebagai seorang beretnis Tionghoa. Subjek yang berasal dari
keluarga yang anggota keluarganya berprofesi sebagai pengusaha dan pembisnis, terbiasa dididik
untuk bekerja keras. Sehingga, bekerja keras menjadi bagian yang telah tertanam dalam pribadi
subjek sejak awal sebelum ia menjadi Gembala jemaat.
Berkaitan dengan kepemimpinannya dalam jemaat gereja Bethany Salatiga, etos kerja
yang tinggi diperlihatkannya melalaui komitmennya sebagai pemimpin untuk tetap hadir dalam
setiap persekutuan doa pagi yang berlangsung Pukul 03.30 WIB disetiap harinya. Subjek selalu
memiliki komitmen untuk selalu hadir dalam persekutuan yang dikenal sebagai gerbang pagi.
Dalam menghadiri persekutuan tersebut, subjek selalu hadir tepat waktu. Tentu untuk menjalani
hal tersebut, dibutuhkan etos kerja yang tinggi.
Subjek memiliki aktivitas yang tidak sedikit/sibuk sebagai pemimpin jemaat karena
gereja Bethany Salatiga memiliki banyak unit pelayanan. Hal ini mengharuskan subjek untuk
dapat hadir dalam setiap pertemuan dengan semua staf dan pengurus dari setiap bagian unit
pelayanan yang ada. Namun dalam kesibukannya ia selalu menyediakan waktu untuk setia hadir
dalam doa pagi yang berlangsung Pukul 03.30 WIB setiap harinya. Etos kerja yang ditunjukan
oleh subjek membuat orang-orang yang dipimpinnya malu jika berkata “cape” dihadapannya.
Sebagai pemimpin dengan etos kerja yang tinggi, subjek juga mendorong rekan-rekan
pelayananya untuk dapat melayani dengan maksimal dalam menjawab kebutuhan jemaat secara
khusus dan masyarakat kota Salatiga secara umum.
136
Pengaruh positif dari kultur yang dimiliki terhadap kepemimpinan dalam jemaat juga
dirasakan oleh subjek 2 (dua). Dalam wawancara bersama informan kunci, ditemukan bahwa
dalam kulturnya ia dididik untuk memiliki apa yang ia sebut sebagai daya juang yang tinggi.
Karakter ini menjadi sangat berperan dalam proses menjalankan kepemimpinannya selama 14
tahun. Dengan adanya semangat juang yang tinggi dalam dirinya sebagai pemimpin maka
membuat dirinya menjadi pemimpin yang tidak mudah untuk menyerah ketika berhadapan
dengan berbagai kesulitan dan tantangan.
Yang tertanam dalam dirinya adalah bagaimana caranya apapun yang dikerjakan harus jadi.
Kondisi ini terlihat juga pada saat ia memimpin rapat. Dalam rapat ia tidak menerima alasan atas
kesulitan-kesulitan yang dihadapi tetapi yang ingin dikejar adalah solusi apa yang bisa dilakukan
untuk kesulitan, hambatan dan tantangan yang dihadapi. Jika rekan-rekan kerja atau
pelayanannya yang lain tidak bisa kerjakan maka ia sebagai pemimpin akan langsung turun
tangan. Jadi menurutnya dengan kulturnya sebagai seorang etnis Tionghoa membuat di dalam
dirinya tertanam karakter sebagai seseorang yang ulet, kerja keras, dan memiliki daya juang yang
tinggi. Hal-hal tersebut yang membuat ia sebagai pemimpin tidak mudah untuk menyerah ketika
berhadapan dengan kesulitan dan tantangan dalam proses kepemimpinan.
Kerja keras, ulet dan memiliki semangat juang yang tinggi adalah bagian-bagian yang
menurutnya menjadi salah satu faktor yang kemudian membuat GBI Salatiga berhasil
menyelesaikan pembangunan gedung gereja Bethel Indonesia (GBI) Salatiga dibawah
kepemimpinannya. Dalam proses pembangunan gereja yang disebut sebagai “markas besar”
tersebut harus menempuh proses yang tidak mudah. Namun dengan semangat juang yang tinggi,
kerja keras dan uletnya sebagai pemimpin ia mampu menggerakan jemaat untuk dapat
137
berkontribusi terhadap pembangunan gereja. Sehingga dibawah kepemimpinannya, berhasil
dibangun gedung gereja yang megah untuk umat dapat beribadah.
Temuan ini sejalan dengan pandangan dari Nahayandi yang menyatakan bahwa kultur
juga ikut mempengaruhi nilai dan keyakinan, mempengaruhi kepemimpinan serta hubungan
interpersonal seseorang. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku manusia adalah hasil dari proses
sosialisasi. Dan sosialisasi selalu terjadi dalam konteks lingkungan etnik dan kultur tertentu.
Kondisi ini dikarenakan kultur atau budaya terdiri dari nilai-nilai umum yang dipegang dalam
suatu kelompok manusia; merupakan satu set norma, kebiasaan, nilai dan asumsi-asumsi yang
mengarahkan perilaku kelompok tersebut.
Dengan demikian sistem nilai yang menurut Skiner ditekankan dan penting bagi orang-
orang Tionghoa seperti kerajinan, kehematan, pengendalian pada diri sendiri, semangat
berusaha/semangat juang yang tingi dan ketrampilan yang membuat mereka dinilai paling cocok
dengan perkembangan ekonomi, ternyata juga berperan dalam kepemimpinan Pendeta beretnis
Tionghoa. Sebagaian besar dari sistem nilai dari etnis dan kultur Tionghoa tersebut kemudian
juga diterapkan oleh Pendeta beretnis Tionghoa dalam memimpin jemaat dan menghasilkan
pengaruh postif yang signifikan. Hal tersebut terlihat dari kepemimpinan kedua subjek dalam
penelitian ini.
4.5. Kompetensi Pendeta Beretnis Tionghoa
Bagian lain yang menarik ketika meneliti kepemimpinan Pendeta beretnis Tionghoa adalah
berkaitan dengan kompetensi yang dimiliki sebagai pemimpin dalam pengelolaan gereja. Dalam
tulisan ini peneliti membedakan antara kepemimpinan (leadership) dan pengelolaan
(management). Pengelolaan merupakan jenis kepemimpinan yang khusus. Hal yang paling
penting dalam pengelolaan adalah tercapainya tujuan organisasi. Kedua subjek dalam upaya
138
mencapai tujuan organisasi dalam hal ini gereja, juga menunjukan kompetensi pengelolaan
gereja yang mereka terapkan dalam kepemimpinan keduanya.
Dari data yang diperoleh dari teknik wawancara ditemukan salah satu kelebihan Pdt.
Bambang Hengky sebagai pemimpin adalah ia memiliki pengalaman dalam hal manajemen
bisnis dimasa lalu yang mungkin Pendeta lain tidak miliki. Pengalaman tersebut menjadi salah
satu modal dalam upaya pengembangan gereja Bethany Salatiga. Sampai saat ini, gereja Bethany
dibawah kepemimpinan Pdt. Bambang Hengky telah memiliki berbagai unit pendukung
pelayanan seperti koperasi, hotel, sekolah, poliklinik, dan 2 (dua) radio, dll yang menunjukan
gejala perkembangan secara terus menerus. Kehadiran berbagai unit pendukung pelayanan
tersebut telah menyerap tenaga kerja dan dapat memberkati kota Salatiga.
Dapat dianalisa bahwa Pdt. Bambang Hengky bukanlah Pendeta yang hanya mengetahui
tentang hal-hal yang berkaitang dengan Teologi. Namun ia juga memiliki kemampuan
pengolahan atau manajemen yang lebih. Hal ini karena adanya pengalaman masa lalu sebagai
seorang dosen dan pembisnis. Kondisi ini membuat ia mampu membangun komunikasi dan
hubungan dengan jemaat yang sebagaian besarnya adalah para pengusaha dan pembisnis.
Dalam menjalankan kepemimpinnya, ia bahkan menggunakan kemampuan pengelolaan atau
manajemen dalam berbisnis, yang tentu dalam penerapannya tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip Alkitab dalam rangka mengembangkan gereja. Sampai saat ini gereja Bethany telah
memiliki banyak unit pendukung. Bahkan Gereja Bethany adalah satu-satunya gereja di Salatiga
yang memiliki unit kerja/unit pendukung seperti hotel. Dapat dianalisa bahwa kemampuannya
dalam berbisnis tidak terlepas dari latar belakangnya sebagai seseorang beretnis Tionghoa. Ia
dibesarkan dalam keluarga yang semuanya adalah pembisnis dan pedagang, sehingga tidak heran
ia terdorong untuk juga berbisnis dan akhirnya memiliki kompetensi dalam manajemen atau
139
pengelolaan bisnis yang ia terapkan dalam gereja yang dipimpinnya. Hal ini dilakukan dalam
rangka pengembangan gereja kedepan dalam menjadi gereja yang semakin mapan.
Sedangkan untuk kasus 2 (dua), berdasarkan data yang diperoleh melalui observasi dan
wawancara mendalam dengan beberapa informan pendukung berkaitan dengan kompetensi yang
dimiliki subjek sebagai pemimpin, maka ditemukan bahwa subjek sebaga pemimpin juga
memiliki kompetensi manajerial yang baik. Hal tersebut diperkuat dari keterangan saudara
Maikel yang mengaku tertarik untuk berjemaat dan bekerja sebagai staff di Gereja Bethel
Indonesia (GBI) Salatiga karena ia menilai bahwa di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Salatiga,
semuanya pengolahan atau manajemen pelayanannya lebih teratur rapih dibandingkan dengan
gereja dimana ia berjemaat sebelumnya.
Hal tersebut diperkuat dengan keterangan yang disampaikan oleh Saudari Yunita sebagai
informan pendukung saat diwawancarai. Ia ketika memutuskan untuk berjemaat dan kemudian
bekerja sebagai staff karena suka dengan pola kepemimpinan Pdt. Gideon Rusli yang dalam
manajeman gereja yang baik. Sehingga pelayanan dalam gereja berjalan tidak serampangan,
melainkan pelayanan dijalankan dengan perencanaan yang pelaksaan yang sistematis serta
teratur.