Post on 07-Mar-2019
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
WILAYAH PERBATASAN NEGARA YANG ADAPTIF TERHADAP
PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
(KASUS: DAERAH ALIRAN SUNGAI TONO DI PULAU TIMOR)
WERENFRIDUS TAENA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
i
SSUURRAATT PPEERRNNYYAATTAAAANN MMEENNGGEENNAAII DDIISSEERRTTAASSII DDAANN SSUUMMBBEERR
IINNFFOORRMMAASSII SSEERRTTAA PPEELLIIMMPPAAHHAANN HHAAKK CCIIPPTTAA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: Kelembagaan Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Wilayah Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap
Perubahan Iklim dalam Pembangunan Berkelanjutan (Kasus: Daerah Aliran
Sungai Tono di Pulau Timor) adalah benar karya saya dengan arahan komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
Werenfridus Taena
NRP: H162110091
ii
RRIINNGGKKAASSAANN
WERENFRIDUS TAENA. Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Wilayah Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim dalam
Pembangunan Berkelanjutan (Kasus: Daerah Aliran Sungai Tono di Pulau Timor).
Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING, BAMBANG JUANDA, BABA
BARUS, RIZALDI BOER.
Penelitian ini bertujuan untuk: (i) analisis hubungan antara pembangunan
wilayah perbatasan dengan perubahan penggunaan lahan, (ii) analisis pengaruh
perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim terhadap banjir dan kekeringan,
dan dampaknya terhadap produksi dan efisiensi usahatani tanaman pangan, (iii)
evaluasi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan Indonesia dan Timor
Leste, dan (iv) disain kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara
Indonesia dan Timor Leste yang adaptif terhadap perubahan iklim.
Metode analisis menggunakan analisis multivariat untuk analisis hubungan
pembangunan dengan penggunaan lahan, dan spatial durbin model untuk analisis
ketergantungan spatial pendapatan petani. Metode logit untuk analisis peluang
banjir dan kekeringan. Analisis multivariat juga digunakan untuk analisis dampak
banjir dan kekeringan terhadap produksi usahatani tumpangsari, dan analisis
regresi berganda untuk analisis produksi usahatani monokultur, serta analisis
frontier untuk evaluasi efisiensi ekonomi usahatani. Selanjutnya pembobotan
faktor internal dan faktor eksternal untuk evaluasi kelembagaan pengelolaan DAS
wilayah perbatasan negara, dan analisis hirarki proses untuk menentukan model
pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara.
Hasil analisis multivariat menunjukkan peningkatan jumlah penduduk dan
kemudahan akses meningkatkan konversi lahan konservasi menjadi lahan
budidaya (pemukiman, pertanian lahan kering campur, sawah), sedangkan spatial
durbin model menunjukkan peningkatan pendapatan petani pada hulu
menyebabkan penurunan pendapatan petani di hilir. Peningkatan luas pertanian
lahan kering campur, dan akumulasinya dengan peningkatan temperatur bulanan
dan penurunan curah hujan bulanan menyebabkan peluang kekeringan makin
tinggi. Analisis logit juga menunjukkan peningkatan curah hujan bulanan dan
pertanian lahan kering campur, serta penurunan luas hutan dan sawah
meningkatkan peluang banjir di DAS Tono. Dampaknya terjadi penurunan
produksi dan efisiensi ekonomi usahatani tanaman pangan. Analisis frontier
menunjukkan rendahnya efisiensi ekonomi usahatani, yakni 0,36 untuk usahatani
lahan basah dan 0,30 untuk usahatani lahan kering (standar efisiensi ≥0.8).
Kurang koordinasinya kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan
negara (masyarakat, unilateral dan bilateral) menjadi akar penyebabnya. Hasil
pembobotan faktor internal dan eksternal berada pada kuadran III, yang berarti
dibutuhkan rekonstruksi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan
negara. Kelembagaan ini sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan penggunaan
lahan dan perubahan iklim. Kelembagaan ini akan mewujudkan pembangunan
berkelanjutan dalam bentuk road map yakni: perjanjian kerjasama, forum DAS,
dan badan pengelola DAS.
Kata kunci: Kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara, Indonesia
dan Timor Leste, Perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim,
Pembangunan berkelanjutan
iii
SSUUMMMMAARRYY
WERENFRIDUS TAENA. Transboundary Watershed Management Institution
Which is Adapted to Climate Changes in Sustainable Development (Case: Tono
Watershed on Timor Island). Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING,
BAMBANG JUANDA, BABA BARUS, RIZALDI BOER.
The research aimed to: (i) analyze the relathionship between the
development of border regions with land use, (ii) analyze the effect of land use
changes and climate changes on the floods and drought on Tono Watershed, and
the impact on yield and the economic efficiency of food crop farming, (iii)
evaluate the institutional of watershed management in border area of Indonesia
and Timor Leste, and (iv) design transboundary watershed management institution
for Indonesia and Timor Leste which is adaptated to climate changes.
The analysis used multivariate analysis for analyzing the relathionship
between development with land use changes, and spatial Durbin model to
analyzing spatial dependence of farmers income. The logit method to analyzed
flood and drought. Then, impact of flood and drought on yield, used multivariate
analysis on multicrop and multiple regression on monoculture. Further, evaluate
impact on economic efficiency of farming used frontier analysis. Weighting of
internal and external factors method was used to evaluate the institutional
transboundary watershed management, while the analytical hierarchy process was
used to compute the institutional model of transboundary watershed management.
Multivariate analysis showed the increase of population caused the
conversion of conservation area to the cultivation area (settlement, mix dryland
agriculture, paddy fields). Then, the spatial durbin model showed the increase of
farmers income on upperstream related to farmers income in downstream. The
increase of mix dryland agriculture and monthly temperature, and decrease of
monthly rainfall caused drought. The result further suggested by this analysis
showed that the increase in the monthly rainfall and mix dryland agriculture,
along with the decrease of forestry and paddy fields increase caused the flooding
on the Tono watershed. This led to a reduction in yield and economic efficiency
of farm crops. Frontier analysis confirms the low economic efficiency of farming,
whereas monoculture farming was 0.36 and multicrop farming was 0.30 which is
far from the efficiency standard ≥0.8.
Less coordinated of transboundary watershed management institution
(community, unilateral and bilateral) as the caused. Therefore, it needs an
alternaltive institutional model of transboundary watershed management, which is
to build the ecological perspective. As the result of the weighting of internal and
external factors on quadrant III. The alternatives institutional as adaptation on
land use changes and climate changes. The priority alternatives institutional
model and also a road map for sustainable development are collaboration
agreement of transboundary management, transboundary watershed forum, and
autonomous transboundary watershed management.
Keywords: Transboundary watershed management institutional, Indonesia and
Timor Leste, Land use changes and climate changes, Sustainable
development
iv
HHaakk CCiippttaa MMiilliikk IIPPBB,, TTaahhuunn 22001166
HHaakk CCiippttaa DDiilliinndduunnggii UUnnddaanngg--UUnnddaanngg
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagain atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
v
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
WILAYAH PERBATASAN NEGARA YANG ADAPTIF TERHADAP
PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
(KASUS: DAERAH ALIRAN SUNGAI TONO DI PULAU TIMOR)
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
vi
Penguji ujian tertutup : Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS
: Dr. Tumpak Haposan Simanjuntak, MA
Penguji ujian terbuka : Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS
: Dr. Tumpak Haposan Simanjuntak, MA
vii
Judul Disertasi : Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wilayah
Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap Perubahan
Iklim dalam Pembangunan Berkelanjutan (Kasus: Daerah
Aliran Sungai Tono di Pulau Timor)
Nama : Werenfridus Taena
NRP : H162110091
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Ketua Anggota
Dr. Ir. Baba Barus, MS Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, MS
Anggota Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
Dan Pedesaan
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Ujian Tertutup: 31 Mei 2016 Tanggal Lulus:
Tanggal Ujian Terbuka: 20 Juni 2016
viii
PPRRAAKKAATTAA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena kasih dan kurnia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan disertasi ini. Penelitian ini berjudul “Kelembagaan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai Wilayah Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim
dalam Pembangunan Berkelanjutan (Kasus: Daerah Aliran Sungai Tono di Pulau
Timor)”.
Penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini karena ingin memberikan
kontribusi terhadap pembangunan yang berkelanjutan di wilayah perbatasan negara
Indonesia dan Timor Leste. Penulis memperoleh dukungan dari berbagai pihak
dalam penulisan disertasi ini, sehingga penulis menghaturkan terimakasih kepada:
1. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) beserta jajarannya yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan
Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Pedesaan (PWD).
2. Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
(PWD) dan dosen-dosen di PWD yang telah membagi ilmu dalam kegiatan
akademik di PWD
3. Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS sebagai ketua pembimbing, Prof. Dr. Ir.
Bambang Juanda, MS; Dr. Ir. Baba Barus, MS; Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, MS
sebagai anggota pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada
penulis sehingga penulis menyelesaikan penulisan disertasi ini
4. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS sebagai penguji
prelim yang turut memberikan arahan mengenai kerangka penelitian ini.
5. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS dan Dr. Tumpak Haposan Simanjuntak,
MA sebagai penguji ujian tertutup dan Penguji Ujian Promosi yang telah
memberikan kontribusi pemikiran untuk memperdalam pembahasan disertasi
ini
6. Universitas Timor yang memberikan dukungan kepada penulis
7. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Timor Leste yang memberikan
dukungan informasi dan data kepada penulis
8. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Pemerintah Kabupaten
Timor Tengah Utara (TTU) yang memberikan dukungan kepada penulis
9. Rekan-rekan seperjuangan di PWD dan Gamanustratim yang memberikan
dukungan dalam bentuk social capital dan dukungan yang tulus.
10. Rekan-rekan “Incipta” atas persahabatan dan dukungan tiada henti, dan
berbagai pihak yang dengan caranya sendiri telah memberikan dukungan
kepada penulis.
Penulis juga menyampaikan terimakasih atas ide-ide para ahli yang
tercantum dalam daftar pustaka yang turut membentuk kerangka pikir dan
memperdalam pembahasan tulisan ini. Penulis menyadari, tulisan ini masih jauh
dari kesempurnaan, namun semoga tulisan ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2016
Werenfridus Taena
ix
DDAAFFTTAARR IISSII
Halaman
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
1. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Permasalahan 7
Tujuan dan Manfaat 9
Noverty (Keterbaharuan) 10
Kerangka Pemikiran 11
Sistematika Tulisan 15
2. HUBUNGAN PEMBANGUNAN WILAYAH PERBATASAN
NEGARA DENGAN PENGGUNAAN LAHAN DAS TONO 16
Pendahuluan 16
Latar Belakang 16
Permasalahan 17
Tujuan 18
Metode Penelitian 18
Hipotesis 18
Metode Pelaksanaan Kajian 18
Metode Analisis Data 18
Hasil dan Pembahasan 19
Hirarki Wilayah Perbatasan Negara Indonesia dan Timor-Leste di DAS
Tono 20
Penggunaan Lahan di DAS Tono 27
Hubungan Pembangunan Wilayah Perbatasan dengan Penggunaan Lahan
DAS Tono 31
Hubungan Ketergantungan Spatial-Ekologi dengan Penggunaan Lahan
DAS Tono 34
Simpulan 36
3. DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN
PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PRODUKSI DAN EFISIENSI
USAHATANI DI DAS TONO 37
Pendahuluan 37
Latar Belakang 37
Permasalahan 38
Tujuan 39
Metode Penelitian 39
Hipotesis 39
Metode Pengumpulan Data dan Teknik Penarikan Responden 39
Peubah-Peubah yang Diamati dan Diukur dalam Penelitian 40
Metode Analisis Data 41
x
Hasil dan Pembahasan 44
Perubahan Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim di DAS Tono 44
Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim terhadap
Kejadian Banjir dan Kekeringan di DAS Tono 50
Dampak Banjir, Kekeringan dan Faktor Produksi terhadap Produksi dan
Efisiensi Usahatani di DAS Tono 55
Simulasi Perubahan Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim terhadap
Peluang Banjir dan Kekeringan, dan Dampaknya terhadap Produksi
Dan Pendapatan Usahatani di DAS Tono 60
Simpulan 68
4. EVALUASI KELEMBAGAAN PENGELOLA DAS WILAYAH
PERBATASAN NEGARA 69
Pendahuluan 69
Latar Belakang 69
Permasalahan 69
Tujuan 70
Metode Penelitian 70
Kerangka Analisis 70
Metode Pelaksanaan Kajian 70
Metode Analisis Data 71
Hasil dan Pembahasan 71
Evaluasi Hubungan Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan
Negara 71
Evaluasi Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan DAS Wilayah
Perbatasan Negara 74
Evaluasi Kelembagaan Bilateral dan Multilateral dalam Pengelolaan
DAS Wilayah Perbatasan 75
Evaluasi Kelembagaan Unilateral Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan
Negara 77
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah
Perbatasan Negara 88
Simpulan 93
5. DISAIN KELEMBAGAAN PENGELOLA DAS WILAYAH
PERBATASAN NEGARA YANG ADAPTIF TERHADAP
PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN 94
Pendahuluan 94
Latar Belakang 94
Permasalahan 95
Tujuan 95
Metode Penelitian 95
Hipotesis 95
Metode Pengambilan Data 95
Metode Analisis Data 96
xi
Hasil dan Pembahasan 99
Prioritas Faktor Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan
Negara 99
Analisis Prioritas Pemangku Kepentingan (Aktor) 104
Analisis Prioritas Model dan Strategi Kelembagaan Pengelolaan DAS
Wilayah Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim 106
Road Map Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara
yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim 109
Simpulan 113
6. ARAHAN KEBIJAKAN KELEMBAGAAN PENGELOLA DAS
WILAYAH PERBATASAN NEGARA YANG ADAPTIF
TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN 113
Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara 114
Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara dan Kelembagaan yang
Adaptif terhadap Perubahan Iklim 116
Implikasi terhadap Penataan Ruang dalam Pembangunan Berkelanjutan
Wilayah Perbatasan Negara 118
7. SIMPULAN UMUM DAN SARAN 126
Simpulan Umum 126
Saran 126
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
xii
DDAAFFTTAARR TTAABBEELL
1. Berbagai Konsep Wilayah, Tujuan dan Contoh Penggunaan 4
2. Luas DAS Tono dan DAS Tono Menurut Wilayah Administrasi 5
3. Kelembagaan DAS Lintas Negara di Dunia 8
4. Jumlah Sekolah Menurut Kecamatan dan Sub District di DAS Tono
Tahun 2010 21
5. Jumlah Fasilitas Kesehatan Menurut Kecamatan dan Sub District di
DAS Tono Tahun 2010 21
6. Jumlah Fasilitas Ekonomi Menurut Kecamatan dan Sub District di
DAS Tono Tahun 2010 22
7. Jumlah Fasilitas Sosial dan Pelayanan Publik Menurut Kecamatan
dan Sub District di DAS Tono Tahun 2010 24
8. Hasil Analisis Skalogram Kecamatan dan Sub District di DAS Tono 25
9. Jumlah Penduduk di DAS Tono Tahun 2000 dan 2010 Menurut
Kecamatan dan Sub District 27
10. Penggunaan Lahan DAS Tono Tahun 2000 dan 2014 Menurut
Zona DAS 28
11. Penggunaan Lahan DAS Tono Tahun 2010 Menurut Kecamatan
dan Sub District 29
12. Ringkasan Hasil Analisis Hubungan Pembangunan Wilayah
Perbatasan dengan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Tono 31
13. Penggunaan Lahan DAS Tono Tahun 2000 dan 2014 36
14. Perubahan Penggunaan Lahan DAS Tono Tahun 2000-2014 44
15. Penggunaan Lahan DAS Tono Tahun 2000 dan 2014 Menurut Negara 47
16. Hasil Analisis logit Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan dan
Perubahan Iklim terhadap Peluang Banjir di DAS Tono 51
17. Hasil Analisis logit Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan dan
Perubahan Iklim terhadap Peluang Kekeringan di DAS Tono 53
18. Hasil Analisis Regresi Multivariat untuk Produksi Usahatani
Tumpangsari dan Regresi berganda untuk Usahatani Monokultur
di DAS Tono 56
19. Rataan Pendapatan Bulanan Usahatani Lahan Kering dan Usahatani
Lahan Basah di DAS Tono 57
20. Hasil Analisis Dampak Banjir, Kekeringan dan Faktor Produksi
Lain terhadap Pendapatan Usahatani Lahan Kering dan Usahatani
Lahan Basah di DAS Tono 58
21. Ringkasan Simulasi Banjir di DAS Tono 60
22. Simulasi Perubahan Luas Pertanian Lahan Kering Campur Saat
Faktor Lain Konstan terhadap Peluang Banjir di DAS Tono 60
23. Simulasi Perubahan Luas Perubahan Curah Hujan Bulanan dan
Pertanian Lahan Kering Campur terhadap Peluang Banjir
di DAS Tono 61
24. Simulasi Perubahan Curah Hujan Bulanan dan Perubahan Penggunaan
Lahan (Pertanian Lahan Kering Campur dan Sawah) terhadap
Peluang Banjir di DAS Tono 62
25. Simulasi Perubahan Curah Hujan Bulanan dan Perubahan Penggunaan
Lahan (Pertanian Lahan Kering Campur, Sawah dan Hutan Menurun)
terhadap Peluang Banjir di DAS Tono 63
xiii
26. Simulasi Perubahan Curah Hujan Bulanan dan Perubahan Penggunaan
Lahan (Pertanian Lahan Kering Campur, Sawah dan Hutan Meningkat)
terhadap Peluang Banjir di DAS Tono 63
27. Ringkasan Simulasi Kekeringan di DAS Tono 64
28. Simulasi Perubahan Luas Pertanian Lahan Kering Campur Saat
Faktor Lain Konstan terhadap Peluang Kekeringan di DAS Tono 64
29. Simulasi Perubahan Luas Pertanian Lahan Kering Campur dan
Curah Hujan Bulanan terhadap Peluang Kekeringan di DAS Tono 65
30. Simulasi Perubahan Luas Pertanian Lahan Kering Campur,
Curah Hujan Bulanan dan Temperatur Bulanan terhadap Peluang
Kekeringan di DAS Tono 65
31. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan JBC RI-TL 75
32. Landasan Yuridis Pembangunan Wilayah Perbatasan Negara dan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai 77
33. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan BNPP 81
34. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan BDPP Provinsi NTT 81
35. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan BDPP Kabupaten TTU 82
36. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kementerian Kehutanan RI 82
37. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan BPDAS 83
38. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan BPDAS Benain 83
39. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan Forum DAS Benain 83
40. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan Kementerian PUPR RI 84
41. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan Balai Wilayah Sungai NTT 84
42. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan Kementerian PU RDTL 85
43. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan Kementerian Kehutanan,
Pertanian dan Perikanan RDTL 85
44. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan Kementerian Dalam Negeri
RDTL 85
45. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan Kementerian Pembangunan
Nasional RDTL 86
46. Matriks Faktor Analisis Lingkungan Internal 89
47. Matriks Faktor Analisis Lingkungan Eksternal 90
48. Sistem Urutan (Ranking) Saaty Dalam Hierarchy Process 96
49. Matriks Perbandingan Berpasangan 98
50. Hasil Pembobotan Masing-Masing Sub Faktor Pengelolaan DAS
Wilayah Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap Perubahan
Iklim dalam Pembangunan Berkelanjutan 100
51. Data Sumber Mata Air pada Desa-Desa di DAS Tono 103
52. Hasil Pembobotan Manfaat yang Diterima Pemangku Kepentingan
dari DAS Tono 105
53. Peran Masing-Masing Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan
DAS 106
54. Hasil Pembobotan Strategi Pengelolaan DAS Tono 108
55. Road Map Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan
Negara Indonesia dan Timor Leste 109
56. Stakeholder dan Lembaga yang Terlibat dalam Pengelolaan DAS
Wilayah Perbatasan Negara 118
xiv
DDAAFFTTAARR GGAAMMBBAARR
1. Peta Perbatasan Negara Indonesia dan Timor Leste 2
2. Peta Perbatasan Darat Indonesia dengan Timor Leste 3
3. Peta DAS Tono di Wilayah Perbatasan Indonesia dan Timor Leste 6
4. Kerangka Pemikiran Penelitian 14
5. Peta Skalogram Kecamatan Wilayah Perbatasan di DAS Tono 26
6. Peta DAS Tono Menurut Kecamatan/Sub District 30
7. Peta Interaksi Sosial di Wilayah Perbatasan Indonesia dan
Timor Leste 33
8. Peta Elevasi DAS Tono 35
9. Tren Curah Hujan Bulanan di DAS Tono Tahun 2000-2014 38
10. Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Tono Tahun 2000 dan
2014 46
11. Trend Curah Hujan Menurut Negara Tahun 2000, 2003, 2006, 2009
2010, 2012 48
12. Trend Curah Hujan Tahun 2000-2014 Menurut Zona DAS 49
13. Keragaman Curah Hujan Bulanan DAS Tono Tahun 2000-2014 49
14. Keragaman Temperatur Bulanan DAS Tono Tahun 2000-2014 50
15. Hubungan Curah Hujan Bulanan dengan Luas Banjir di
DAS Tono 51
16. Lokasi Banjir di DAS Tono 52
17. Perubahan Lahan Semak Belukar Menjadi Pertanian Lahan Kering
dan Pertanian Lahan Kering Campur di DAS Tono Tahun 2000-
2014 53
18. Perubahan Lahan Terbuka Menjadi Sawah di DAS Tono
Tahun 2000-2014 54
19. Ilustrasi Kurva TP, AP dan MP 56
20. Hasil Simulasi Model Crystal Bowl untuk Komoditas Jagung 66
21. Hasil Simulasi Model Crystal Bowl untuk Komoditas Padi 67
22. Hasil Simulasi Model Crystal Bowl Komoditas Kacang Tanah 66
23. Hasil Simulasi Model Crystal Bowl 3 Komoditas 67
24. Siklus Kebijakan 70
25. Kerangka Hubungan Kelembagaan dalam Pengelolaan DAS
dan Pembangunan Wilayah Perbatasan Negara 73
26. Diagram Cartesius Analisis SWOT Kelembagaan Pengelolaan
DAS Wilayah Perbatasan Negara dalam Pembangunan
Berkelanjutan 91
27. Rekonstruksi Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Negara
dalam JBC RI-RDTL 92
28. Struktur Hirarki AHP Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah
Perbatasan Negara dalam Pembangunan Berkelanjutan 97
29. Hasil Pembobotan Faktor Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan
Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim dalam
Pembangunan Berkelanjutan 100
30. Hasil Pembobotan Prioritas Model Kelembagaan Pengelolaan
DAS Wilayah Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap
Perubahan Iklim dalam Pembangunan Berkelanjutan 107
xv
31. Kerangka Road Map Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah
Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim
dalam Pembangunan Berkelanjutan 110
32. Peta Ilustrasi Skema Penataan Ruang Kawasan Perbatasan Negara
Indonesia di NTT 120
33. Peta Ilustrasi Skema Disain Penataan Ruang Wilayah Perbatasan
Negara Indonesia dan Timor Leste 121
34. Peta Pola Ruang dan Penggunaan Lahan di DAS Tono RI 123
DAFTAR LAMPIRAN
1. Output Analisis Multivariat Hubungan Pembangunan dengan
Penggunaan Lahan di DAS Tono
2. Output Analisis Logit Pengaruh Penggunaan Lahan dan Perubahan
Iklim terhadap Banjir
3. Output Analisis Logit Pengaruh Penggunaan Lahan dan Perubahan
Iklim terhadap Kekeringan
4. Output Analisis Multivariat Dampak Banjir, Kekeringan dan Faktor
Produksi Lain terhadap Produksi Usahatani Tumpangsari
5. Output Analisis Cob Douglass Dampak Banjir, Kekeringan dan
Faktor Produksi Lain terhadap Produksi Usahatani Monokultur
6. Output Analisis cob Douglass Dampak Banjir, Kekeringan dan
Faktor Produksi Lain terhadap Pendapatan Usahatani Lahan Kering
7. Output Analisis Cob Douglass Dampak Banjir, Kekeringan dan
Faktor Produksi Lain terhadap Pendapatan Usahatani Lahan Basah
1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah sebagai ruang yang mempunyai kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administrasi dan/atau fungsional sebagaimana didefinisikan dalam Undang-
Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Selaras dengan itu, Murty
(2000) menyatakan wilayah tidak sekedar merujuk suatu tempat atau area,
melainkan merupakan satu kesatuan ekonomi, politik, sosial administrasi, iklim
hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian. Kemudian
Rustiadi et al (2011), mendefinisikan wilayah sebagai suatu unit geografis dengan
batas-batas spesifik (tertentu) yang komponen-komponen di dalamnya (sub
wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Definisi-definisi
tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada batasan spesifik luasan suatu wilayah.
Pembangunan wilayah lebih fleksibel dan tidak terbatas pada wilayah
administratif, tetapi berdasarkan tipologi wilayah. Secara umum tipologi wilayah
dikategorikan menjadi: wilayah homogen, wilayah fungsional (nodal), wilayah
perencanaan. Wilayah perencanaan umumnya berbasis administrasi, seperti:
negara, provinsi, kabupaten dan desa. Wilayah perencanaan juga merupakan
wilayah yang ditetapkan pemerintah karena pertimbangan tertentu, seperti:
kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET) dan kawasan perbatasan.
Terdapat 10 negara di dunia yang berbatasan dengan Indonesia, yakni:
Australia, Papua Nugini, Timor Leste, Palau, Filipina, Malaysia, Vietnam,
Thailand, Singapura, India. Terdapat 3 (tiga) negara diantaranya yang berbatasan
darat, yakni: Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan, Indonesia dengan Papua
Nugini di Papua, dan Indonesia dengan Timor Leste di Timor. Ilustrasi perbatasan
Negara Indonesia dengan negara lain sebagaimana ditampilkan Gambar 1.
Perbatasan darat Indonesia dengan Timor Leste merupakan wilayah
perbatasan yang unik karena terdapat wilayah Timor Leste yang enclave (District
Oecussi), sehingga perbatasan darat berada pada dua bagian, yakni bagian Timur
dan bagian Barat. Perbatasan pada bagian Barat antara Kabupaten Belu dan
Kabupaten Malaka dengan District Covalima dan District Maliana. Perbatasan
pada bagian Timur antara Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten
Kupang dengan Enclave District Oecussi. Selengkapnya ditampilkan pada
Gambar 2.
Perbatasan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia (UU RI) No. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan kawasan perbatasan adalah wilayah kecamatan
yang berbatasan langsung dengan negara lain. Terdapat 18 Kecamatan di
Indonesia yang berbatasan darat dengan Timor Leste, dengan rincian 8 (delapan)
kecamatan di Kabupaten Belu, 8 (delapan) kecamatan di Kabupaten TTU, 1
kecamatan di Kabupaten Kupang, dan 1 kecamatan di Kabupaten Malaka.
2
Gambar 1. Perbatasan Negara Indonesia dengan Negara Lain (Sumber: BNPP, 2011)
PERBATASAN INDONESIA DENGAN 10 NEGARA TETANGGA(DARAT DAN LAUT)
RI-MAL
RI-SIN
RI-MAL
Batas Laut TeritorialBatas Landas KontinenBatas Zona Ekonomi Eksklusif
RI-PHILRI-PALAU
RI-SING
RI-RDTLLESTE
2
3
Gambar 2. Peta Perbatasan Darat Indonesia dengan Timor Leste
3
4
Pembangunan kawasan perbatasan negara didasarkan pada grand design
pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan negara 2011-2025. Visi
pengelolaan perbatasan negara yakni terwujudnya perbatasan negara sebagai
wilayah yang aman, tertib, dan maju”. Penjabaran visi melalui misi berikut: (i)
Mewujudkan perbatasan negara yang aman melalui peningkatan kondisi
pertahanan dan keamanan yang kondusif bagi berbagai kegiatan ekonomi, sosial
dan budaya serta meningkatkan sistem pertahanan perbatasan darat dan laut. (ii)
Mewujudkan perbatasan negara yang tertib melalui peningkatan kerjasama
internasional, penegakan hukum, kesadaran politik serta penegasan dan penetapan
tata batas Negara. (iii) Mewujudkan perbatasan negara yang maju melalui
peningkatan kegiatan ekonomi, pembangunan sarana dan prasarana, peningkatan
kualitas sumberdaya manusia, dan pengelolaan sumberdaya alam yang
berkelanjutan.
Pembangunan kawasan perbatasan berbasis administrasi kecamatan bias
karena sebagian sumberdaya di perbatasan negara bersifat fungsional, misalnya
daerah aliran sungai (DAS). Rustiadi et al (2011) menyatakan pembangunan
wilayah didasarkan beberapa aspek, misalnya: homogenitas, keterkaitan antar
wilayah, wilayah sistem ekonomi, wilayah sistem sosial, wilayah sistem ekologi.
Selengkapnya mengenai konsep wilayah ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Berbagai Konsep Wilayah, Tujuan dan Contoh Penggunaan
No Wilayah Tujuan Contoh
1 Homogen Penyederhanaan dan pendeskripsian
wilayah, zonasi kawasan fungsional
Pola penggunaan lahan,
pewilayahan komoditas
2 Nodal Deskripsi hubungan nodalitas, identifikasi
daerah pelayanan, penyusunan hierarki
pelayanan
Keterkaitan CBD dan
daerah pelayanannya,
central place dan
periphery, sistem/ordo
3 Sistem ekologi Pengelolaan wilayah sumber daya
berkelanjutan, identifikasi carrying
capacity kawasan, siklus alam aliran
sumber daya, biomasa energi, limbah, dan
lain-lain
Pengelolaan DAS, cagar
alam, ekosistem
mangrove
4 Sistem ekonomi Percepatan pertumbuhan wilayah,
produktifitas dan mobilisasi sumber daya,
efisiensi
Wilayah pembangunan,
kawasan andalan,
KAPET, kawasan
agropolitan, kawasan
cepat tumbuh
5 Sistem sosial Pewilayahan menurut sistem budaya,
optimalisasi interaksi sosial, community
development, keberimbangan, pemerataan
dan keadilan, distribusi penguasaan
sumber daya, pengelolaan konflik
Kawasan adat,
perlindungan/pelestarian
budaya, pengelolaan
kawasan publik kota
6 Politik Menjaga keutuhan dan integritas wilayah
teritorial, menjaga pengaruh/kekuasaan
teritorial, menjaga pemerataan(equity)
antar sub wilayah
negara, provinsi,
kabupaten, desa
7 Administratif Optimalisasi fungsi-fungsi administrasi
dan pelayanan publik pemerintahan
negara, provinsi,
kabupaten, desa
Sumber : Rustiadi et al (2011)
5
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem ekologi yang
mencakup wilayah yang sangat luas dan memiliki keterkaitan ekologi (hulu,
tengah dan hilir) beserta sumberdaya terkait (sosial dan ekonomi). Terdapat 10
DAS di wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste. DAS-DAS ini
berada pada 2 (dua) wilayah sungai (WS) yakni: WS Benenain dan WS Noelmina
(Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang Wilayah
Sungai). DAS sebagai sumberdaya pembangunan perbatasan negara berbeda
secara administrasi dengan definisi kawasan perbatasan negara, sehingga
penelitian ini menggunakan istilah “wilayah perbatasan negara”.
DAS merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan
dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara
alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 37 tahun 2012). Selanjutnya dinyatakan juga DAS
merupakan kesatuan ekosistem alami yang utuh dari hulu hingga hilir beserta
kekayaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang wajib dikembangkan
dan didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan melalui upaya pengelolaan
DAS.
BP DAS Benain-Noelmina melakukan pengelolaan terhadap DAS Ekat
dan DAS Banain yang berada di Indonesia (Perpres No. 179 tahun 2014). DAS
Ekat dan DAS Banain sesungguhnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari
DAS Tono (numenklatur ini lebih dikenal di Timor Leste). Secara administrasi,
DAS Tono berada di Sub District Passabe, Nitibe, Oesilo, dan Pante Makasar di
District Oecussi (Timor Leste). Wilayah Indonesia yang termasuk dalam DAS
Tono adalah Kecamatan Musi, Bikomi Nilulat, Bikomi Tengah, Bikomi Utara,
Miomafo Timur, dan Naibenu di Kabupaten TTU (Indonesia). Adapun luas DAS
Tono adalah 53.464 ha yang terdistribusi menjadi 27,43 % berada di Kabupaten
TTU, dan 72,57% berada di Enclave District Oecussi. Selengkapnya ditampilkan
Tabel 2, sedangkan Gambar 3. menunjukkan pengelompokkan DAS Tono
berdasarkan wilayah ekologi (72% merupakan bagian hulu, sedangkan 17%
bagian tengah dan 11% merupakan bagian hilir DAS Tono).
Tabel 2. Luas DAS Tono dan DAS Tono Menurut Wilayah Administrasi
Negara Kabupaten/District Luas DAS
(ha)
Persentase
(%)
Kecamatan/Sub
District di DAS
Tono
Indonesia TTU 14.665 27,43 Musi, Bikomi
Ni’lulat, Bikomi
Tengah, Bikomi
Utara, Naibenu,
Miomafo Timur
Timor Leste Oecussi 38.799 72,57 Pasabe, Nitibe,
Oesilo, Pante
Makasar
Total 53.464 100,00 10 Kecamatan
6
Gambar 3. Peta DAS Tono di Wilayah Perbatasan Indonesia dan Timor Leste
6
7
Pengelolaan DAS menjadi penting untuk mempertemukan kepentingan
wilayah administrasi dan wilayah fungsional ekologi pada DAS Tono yang berada
di wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste. Pengelolaan DAS yang
dimaksud sesuai PP RI No. 37 tahun 2012 adalah upaya manusia dalam mengatur
hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS
dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan.
Permasalahan
Kebijakan pembangunan wilayah perbatasan negara dilakukan secara
parsial, diindikasikan oleh pembangunan pada masing-masing wilayah
administratif tanpa mempertimbangkan dampak terhadap negara lain.
Pembangunan yang telah dilaksanakan pemerintah Indonesia di perbatasan negara
Indonesia dan Timor Leste, meliputi: pembangunan jalan, pemberdayaan
masyarakat, pembukaan sawah baru, perluasan pemukiman, pemekaran
kecamatan dan pembangunan infrastruktur pendukung. Pembangunan yang sama
juga dilaksanakan oleh pemerintah Timor Leste di wilayah perbatasan negara
dengan prioritas yang berbeda. Pembangunan yang dilakukan pada masing-
masing wilayah kecamatan di Indonesia dan sub district di Timor Leste
menentukan hirarki suatu wilayah.
Pencapaian tujuan pembangunan menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan. Dampak yang dimaksud adalah terjadi konversi lahan yang
sebelumnya merupakan lahan konservasi menjadi lahan budidaya (pemukiman,
pertanian lahan kering campur dan sawah). Pembangunan meningkatkan akses
terhadap pendidikan dan kesehatan, sehingga meningkatkan pertumbuhan
penduduk. Peningkatan pertumbuhan penduduk meningkatkan permintaan
terhadap pangan yang diperoleh dari pertanian lahan basah dan pertanian lahan
kering, yang merupakan sistem livelihood penduduk di wilayah perbatasan negara.
Sistem livelihood penduduk di wilayah perbatasan negara Indonesia dan
Timor Leste umumnya bertani dan didominasi oleh usaha pertanian lahan kering.
Data BPS TTU menyatakan 57 % penduduk TTU bekerja pada sektor pertanian.
Pekerja pada sektor pertanian umumnya tidak berpendidikan dan/atau
berpendidikan rendah. Terdapat 72,30 % tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat SD
sehingga inovasi pada sektor pertanian masih tergolong rendah, sehingga
mengandalkan ekstensifikasi pertanian.
Ekstensifikasi pertanian dilakukan dengan sistem tebas-bakar. Luas
pertanian lahan kering meningkat dari 2.842 ha pada tahun 2000 menjadi 5.383 ha
pada tahun 2014. Adapun pertanian lahan kering campur meningkat dari 17.102
ha pada tahun 2000 menjadi 22.662 ha pada tahun 2014. Peningkatan luas
pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur merupakan konversi
dari lahan semak belukar yang lebih berfungsi konservasi. Akumulasinya dengan
perubahan curah hujan dan temperatur berdampak terhadap terjadinya banjir pada
musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.
Banjir dan kekeringan (sebagai faktor yang tidak dapat dikendalikan
petani) dan akumulasinya dengan faktor yang dikendalikan petani berdampak
terhadap rendahnya produksi dan efisiensi usahatani. Adapun faktor produksi
yang dapat dikendalikan petani (benih, pupuk, peralatan, tenaga kerja, pola
tanam). Banjir dan kekeringan merupakan eksternalitas negatif dari pembangunan,
8
yang menyebabkan adanya biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat
(Coase, 1960) karena hilangnya sebagian pendapatan petani.
Kondisi ini juga mengindikasikan pengelolaan DAS wilayah perbatasan
negara belum terkoordinasi dengan baik karena property right yang tidak
sempurna (Demsetz, 1967; Allen, 2002). Property right terhadap DAS wilayah
perbatasan tidak sempurna karena kepemilikan berada pada pemerintah 2 negara
(Indonesia dan Timor Leste), individu 2 negara (Indonesia dan Timor Leste) dan
kepemilikan lahan di DAS yang bersifat komunal. Implikasinya pengelolaan
dilakukan secara terpisah oleh masing-masing kelembagaan pengelolaan DAS
wilayah perbatasan negara. Kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan
masyarakat, kelembagaan unilateral, dan kelembagaan bilateral.
Kelembagaan masyarakat yang ada di wilayah perbatasan dalam kaitannya
dengan pengelolaan DAS adalah melakukan pemanfaatan dan perlindungan
terhadap sumberdaya hutan dan sumberdaya air. Kelembagaan masyarakat sulit
dibatasi oleh wilayah administrasi kenegaraan karena itu, masyarakat ke-2 negara
tidak jarang melakukan aksi-aksi pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam
secara bersama.
Kelembagaan unilateral merupakan kelembagaan yang dikembangkan oleh
institusi masing-masing negara. Kebijakan-kebijakan pembangunan Indonesia dan
Timor Leste memperlakukan wilayah perbatasan sebagai wilayah administratif,
dan kurang perspektif wilayah fungsional ekologi. Ketentuan-ketentuan yang
mengatur mengenai pembangunan wilayah perbatasan negara dan pengelolaan
DAS tidak sinkron secara spatial pada beberapa wilayah. Selain itu, lemahnya
koordinasi antar lembaga-lembaga formal yang memiliki kewenangan
perencanaan dan pengelolaan DAS, dan pembangunan di wilayah perbatasan
negara menjadi penyebab munculnya eksternalitas negatif.
Perubahan kerangka kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan
negara akan mewujudkan pembangunan berkelanjutan (meliputi komponen sosial,
ekonomi, dan ekologi). Demikian pula mazhab pembangunan dan pengelolaan
sumberdaya alam yang sebelumnya masih berorientasi pada pertumbuhan dan
pemerataan pembangunan, mengalami perubahan menjadi berorientasi terhadap
pembangunan berkelanjutan.
Sesuai Deklarasi Rio+20 tahun 2012 dalam dokumen the future we want,
yang menyatakan pembangunan berkelanjutan dapat dicapai melalui: ekonomi
hijau, perubahan kerangka kelembagaan, aksi bersama. Pengembangan
kelembagaan bilateral pengelolaan DAS wilayah perbatasan Indonesia dan Timor
Leste merupakan salah satu upaya implementasi Deklarasi Rio, yang menjadi
wadah untuk melakukan aksi bersama para pemangku kepentingan Indonesia dan
Timor Leste.
Disain kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang
adaptif terhadap perubahan iklim menjadi salah satu solusi guna mewujudkan
pembangunan berkelanjutan. Pengalaman beberapa negara di dunia dalam
melakukan pengelolaan DAS lintas negara dapat dijadikan rujukan. Kartodihardjo
et al (2004) menyatakan bentuk kelembagaan DAS lintas negara di dunia
dikategorikan menjadi perjanjian kerjasama, komisi/forum, badan otonom.
Rinciannya sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.
9
Tabel 3. Kelembagaan DAS Lintas Negara di Dunia
Sungai Negara Yang Dilintasi Kelembagaan
Senegal Mali, Mauritania, Senegal,
Guinea, Niger, Nigeria, cameroon
The Senegal River Basin Authority,
1972; Navigasi, Irigasi
Niger Guinea, Mali, Niger, Nigeria,
Algeria, Cameroon, Bukina Fasso,
Benin, Cote-d’lvloire, Chad
Niger River Authority, 1980;
Perencanaan Koordinasi Navigasi,
Populasi dan Hidropower
Danube Romania, Croatia, Serbia-
Montenegro, Hungary, Austria,
Slovakia, germany, Bulgaria,
Ukraina, Moldova
Perjanjian navigasi dan program
institusi lingkungan; polusi, kualitas
air dan ekologi
Elbe Germany, Rep. Ceko, Austria,
Poland
Perjanjian mengenai masalah polusi
Indus India, Pakistan, Afganistan, China Perjanjian Indus, 1960
Ganges-
Brahmaputra
Nepal, Bangladesh, India, Bhutan,
China
Perjanjian antara India dan
Bangladesh, sharing sungai Gangga
Mekong Laos, Nyanmar, China,
Cambodia, Thailand, Vietnam
The Mekong Committee, 1957;
Mekong Commision 1995 (navigasi,
hydropower)
Sumber: Kartodihardjo et al (2004)
Kelembagaan-kelembagaan yang dibentuk secara bilateral dan multilateral
oleh negara-negara dimaksud, didasarkan pada beberapa indikator, diantaranya:
(i) tingginya pertumbuhan penduduk dan permintaan air di DAS Ganges-
Brahmaputra dan Mekong, (ii) gap pembangunan dan konflik antar sektor industri
dan pertanian pada negara-negara di Eropa. Dibutuhkan disain kelembagaan
bilateral pengelolaan DAS wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste, yang
didasarkan pada permasalahan perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim
yang menyebabkan terjadinya banjir dan kekeringan. Berdasarkan permasalahan-
permasalahan yang telah dikemukakan, ada 4 (empat) pertanyaan penelitian
berikut:
1. Bagaimana hubungan pembangunan wilayah perbatasan negara dengan
penggunaan lahan di DAS Tono?
2. Bagaimana pengaruh perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim
terhadap banjir dan kekeringan, dan dampaknya terhadap produksi dan
efisiensi usahatani di DAS Tono?
3. Mengapa kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan yang ada
saat ini tidak mampu mengatasi externality?
4. Bagaimana disain model kelembagaan pengelolaan DAS wilayah
perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan iklim guna
mewujudkan pembangunan berkelanjutan?
Tujuan dan Manfaat
Tujuan
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis kelembagaan
pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan
iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Tujuan umum penelitian
tersebut dijabarkan ke dalam beberapa tujuan berikut:
1. Analisis hubungan pembangunan wilayah perbatasan negara terhadap
penggunaan lahan di DAS Tono
10
2. Analisis pengaruh perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim
terhadap banjir dan kekeringan, dan dampaknya terhadap produksi dan
efisiensi usahatani di DAS Tono
3. Evaluasi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara.
4. Disain model kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara
yang adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan
berkelanjutan
Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Rujukan bagi pemangku kepentingan dalam merumuskan kelembagaan
pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap
perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
2. Rujukan dalam merumuskan instrumen dan rencana aksi dalam
mewujudkan pembangunan berkelanjutan
3. Rujukan bagi petani dalam melakukan aktivitas usahatani di DAS Tono,
yang adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan
berkelanjutan.
4. Rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
Novelty (Keterbaruan)
Penelitian ini didasarkan pada teori Coase (1960) mengenai social cost
yang harus ditanggung oleh masyarakat karena adanya eksternalitas negatif dari
pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya alam
wilayah perbatasan negara didasarkan pada regulasi masing-masing negara dan
property right terhadap sumberdaya alam sebagaimana dikemukakan Demtesz
(1967) dalam new institutional economic yang mensyaratkan diperlukannya
institutional environment dan institutional arrangement.
Penelitian yang berhubungan dengan kelembagaan pengelolaan DAS yang
selama ini dilakukan di Indonesia umumnya terbatas pada pengelolaan lintas
kabupaten dan lintas provinsi, sebagaimana penelitian Dasanto et al (2010);
Saridewi (2015). Penelitian DAS lintas negara di Indonesia merupakan
keterbaharuan dari penelitian ini. Penelitian ini mendukung kajian Lusiana et al
(2008), Drestha dan Opang (2009) yang melakukan penelitian DAS wilayah
perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste. Lusiana et al (2008) melakukan
kajian fisik wilayah di DAS Talau yang merupakan DAS wilayah perbatasan
Indonesia dan Timor Leste, namun perspektif khusus wilayah DAS Talau yang
berada di Indonesia. Kajian Drestha et al (2009) di DAS Tono merupakan kajian
fisik khusus wilayah DAS yang berada di Timor Leste.
Penelitian ini mendalami DAS secara utuh (Indonesia dan Timor Leste),
kerangka yang dibangun adalah kelembagaan pengelolaan DAS wilayah
perbatasan negara. Pembangunan wilayah perbatasan selama ini lebih perspektif
wilayah administrasi, dan kurang perspektif wilayah ekologi. Penelitian ini
mendalami dampak yang ditimbulkan dan memberikan solusi terhadap perubahan
kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara. Kelembagaan
pengelolaan selama ini bersifat parsial menjadi lebih terpadu dan terintegrasi akan
mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Kelembagaan pengelolaan DAS
11
dilakukan oleh masyarakat adat terhadap sumberdaya air dan sumberdaya hutan
pada DAS. Kelembagaan unilateral masing-masing negara melakukan
pengelolaan DAS pada wilayah administrasinya masing-masing. Dibutuhkan
kelembagaan bilateral pengelolaan DAS yang dapat mengkoordinir kelembagaan
masyarakat dan kelembagaan masing-masing negara (unilateral).
Kelembagaan DAS wilayah perbatasan negara yang telah dilakukan pada
beberapa negara di dunia dalam bentuk kerjasama, forum/komisi DAS, badan
pengelola DAS. Pembentukan kelembagaan ini didasarkan pada tingginya
pertumbuhan populasi dan permintaan air, adanya kesenjangan pembangunan
antar wilayah (Kartodihardjo et al. 2004). Lautze et al (2005) menyatakan distribusi
air menjadi landasan dilakukan kerjasama di Afrika. Demikian pula Wondwosen
(2008) yang menyatakan kerjasama pengelolaan DAS Nil didasarkan pada
distribusi air dan pembagian keuntungan. Mckee (2010) menyatakan pengelolaan
DAS Jordan lebih didasarkan pada persoalan politik dan keamanan. Penelitian ini
mendukung penelitian-penelitian terdahulu yang menjadikan distribusi air sebagai
landasan kerjasama antar negara dalam pengelolaan DAS lintas negara. Kekhasan
kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor-
Leste adalah sebagai salah satu bentuk adaptasi terhadap perubahan penggunaan
lahan dan perubahan iklim.
Adaptasi dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan besarnya
perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim yang merupakan wujud dari
kondisi masyarakat dalam pembangunan. Tahapan kelembagaan pengelolaan
DAS di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste meliputi: kerjasama,
pembentukan forum DAS dan pembentukan badan pengelola DAS. Penelitian ini
lebih mengoperasionalkan temuan Mumme (2010) yang menyatakan kelembagaan
DAS lintas negara disesuaikan dengan kondisi masyarakat, tahapan pembangunan
dan kondisi lingkungan.
Dibutuhkan adanya reformulasi peraturan-peraturan yang berhubungan
dengan pembangunan wilayah perbatasan negara dengan memasukkan interaksi
socio-spatial dan ketergantungan spatial-ecology dalam penataan ruang wilayah
perbatasan negara juga merupakan temuan yang menarik dalam penelitian ini.
Mengingat penataan ruang wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste,
yang telah dilakukan Indonesia sesuai Perpres RI No.179 Tahun 2014 perspektif
administrasi dan dilakukan secara unilateral. Penelitian ini mendukung Scellato et
al (2011) yang menyatakan penataan ruang seharusnya memasukkan interaksi
socio-spatial dan ketergantungan spatial-ecology. Penataan ruang dengan
perspektif ketergantungan spatial-ecology dan interaksi socio-spatial
membutuhkan kesepakatan bersama Indonesia dan Timor-Leste.
Kerangka Pemikiran
Pembangunan wilayah perbatasan merupakan upaya untuk melakukan
perubahan menjadi lebih baik di wilayah perbatasan. Todaro et al (2011)
menyatakan bahwa pembangunan merupakan proses yang meningkatkan kualitas
kehidupan dan kemampuan umat manusia dengan cara menaikkan standar
kehidupan, harga diri, dan kebebasan individu.
Pembangunan wilayah perbatasan negara Indonesia didasarkan pada UU
No. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Penjabaran pelaksanaan
pembangunan dilakukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang
12
menetapkan kecamatan-kecamatan perbatasan dan ibu kota kabupaten perbatasan
negara sebagai prioritas pembangunan wilayah perbatasan. UU No. 43 tahun 2008
tentang Wilayah Negara menyatakan, wilayah yang dikategorikan ke dalam
kawasan perbatasan negara adalah kecamatan-kecamatan yang berbatasan
langsung dengan negara lain. Implikasinya pembangunan yang fokus pada
kawasan perbatasan bias adminitrasi, sebab sebagian sumberdaya memiliki
keterkaitan fungsional ekologi (misalnya: DAS).
Penelitian ini menggunakan istilah wilayah perbatasan karena terdapat 1
(satu) kecamatan yang tidak termasuk kawasan perbatasan, namun termasuk
dalam daerah aliran sungai (DAS) Tono yang berada di perbatasan negara
Indonesia dan Timor Leste. Wilayah perbatasan memiliki definisi yang lebih luas
karena tidak terbatas pada administrasi tertentu, yang berarti mengakomodir
tipologi wilayah fungsional, homogen dan perencanaan. DAS merupakan salah
satu bentuk wilayah fungsional karena memiliki keterkaitan fungsional antara
bagian hulu, tengah dan hilir. Secara ekologi, aktivitas penduduk di hulu DAS
berpengaruh terhadap bagian tengah dan hilir. Demikian pula aktivitas penduduk
di bagian tengah DAS berpengaruh terhadap hilir.
Pembangunan wilayah yang berbasis administrasi dan teritori
menggunakan sumberdaya yang kadang lintas negara. Pembangunan wilayah
perbatasan menentukan centre-hinterland dan hirarki suatu wilayah. Hirarki suatu
wilayah ditentukan berdasarkan sumberdaya manusia (jumlah penduduk),
sumberdaya sosial (jumlah kelembagaan dan kebijakan pembangunan wilayah
pada masing-masing kecamatan), ketersediaan sumberdaya buatan, dan
ketersediaan sumberdaya alam. Pengembangan terhadap sumberdaya-sumberdaya
pembangunan tersebut berdampak terhadap kelestarian DAS Tono.
Peningkatan jumlah penduduk pada DAS meningkatkan permintaan lahan
untuk memenuhi kebutuhan pangan dan lahan untuk pemukiman. Penduduk di
DAS Tono memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap lahan karena mata
pencaharian utama adalah petani. Petani pada bagian hulu dan tengah DAS
umumnya melakukan aktivitas pertanian lahan kering dan sebagian kecil yang
melakukan usahatani lahan basah. Adapun aktivitas usahatani lahan kering dan
lahan basah pada bagian hilir DAS cukup berimbang.
Budidaya pertanian lahan kering dilakukan dengan sistem tebas-bakar,
akibatnya terjadi degradasi lahan. Kondisi ini terjadi karena aktivitas pertanian
lahan kering mengubah semak belukar yang lebih berfungsi konservasi dengan
tutupan lahan budidaya tanaman pangan. Akibatnya terjadi perubahan unsur-unsur
iklim (seperti: curah hujan dan temperatur), sehingga menyebabkan terjadinya
banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Dampaknya
terjadi loss economic karena produksi dan efisiensi pertanian menjadi rendah, atau
dengan kata lain terdapat biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat
(Coase, 1960).
Implikasinya diperlukan pembangunan wilayah perbatasan negara yang
mengakomodasi pengelolaan DAS. Deklarasi Rio+20 tahun 2012 dalam dokumen
the future we want merekomendasikan 3 (tiga) hal yang perlu dilakukan guna
mewujudkan pembangunan berkelanjutan, yakni: ekonomi hijau, perbaikan
kerangka kelembagaan, dan aksi bersama. Penelitian-penelitian tentang ekonomi
hijau telah dilaksanakan hingga menerbitkan PDRB Hijau sebagai indikator
mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
13
Penelitian kelembagaan, terutama kelembagaan pengelolaan DAS wilayah
perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan guna mewujudkan
pembangunan berkelanjutan belum banyak dilaksanakan. Kelembagaan yang ada
saat ini belum mampu mewujudkan pembangunan berkelanjutan di wilayah
perbatasan negara. Tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yakni: sosial, ekonomi
dan ekologi menjadi dasar dalam disain kelembagaan.
Disain kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara,
dibutuhkan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, karena akan ada
kesadaran untuk melakukan aksi bersama antara Indonesia dan Timor Leste dalam
pengelolaan DAS Tono. Komponen ekologi DAS Tono berbasis analisis dampak
perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim. Komponen ekonomi, dengan
memperhatikan analisis efisiensi usahatani; sedangkan komponen sosial
memasukkan evaluasi kelembagaan sebagai dasar untuk mendesain model
kelembagaan yang adaptif terhadap perubahan iklim.
Kelembagaan yang baik membentuk pola perilaku masyarakat,
menciptakan tatanan yang baik dan mengurangi ketidakpastian. North (1990)
menyatakan institusi memiliki peran yang sentral dalam pembangunan, karena di
dalamnya mencakup tradisi sosial, budaya, politik, hukum, dan ideologi. Negara-
negara dengan institusi yang baik, mampu mengalokasikan sumberdaya menjadi
lebih efisien sehingga perekonomian menjadi lebih efisien, sebaliknya institusi
yang buruk akan menjadi penghalang berkembangnya suatu wilayah.
Negara-negara lain di dunia telah melakukan kerjasama pengelolaan DAS
lintas negara. Indikator yang digunakan sebagai dasar pengelolaan meliputi:
pertumbuhan penduduk (sosial), kesenjangan pembangunan (ekonomi), dan polusi
air (ekologi). Kartodihardo et al (2004) menyatakan negara-negara yang berada di
DAS Mekong membentuk komisi DAS. Pembentukan komisi didasarkan pada
peningkatan populasi dan meningkatnya permintaan terhadap air. Perjanjian
kerjasama dilakukan oleh negara-negara yang dilintasi sungai Elbe dan Danube di
Eropa, didasarkan pada fakta adanya kesenjangan pembangunan dan polusi.
Negara-negara di Afrika memilih membentuk badan otonom, didasarkan pada
faktor ekonomi yakni permintaan air yang tinggi untuk irigasi.
Kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara, yang adaptif
terhadap perubahan iklim mengurangi externality, sebagaimana dikemukakan de
Jong (2008) bahwa pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan mengurangi
eksternalitas negatif lintas negara. Kelembagaan sebagai adaptasi terhadap
perubahan iklim merupakan pengembangan dari ekonomi kelembagaan baru (new
institutional economic) yang mengindikasikan perlunya pengaturan terhadap
property right, eksternalitas, mengurangi biaya sosial dan biaya transaksi. Aksi-
aksi yang dilakukan untuk mengurangi externality dengan alternatif berikut: (i)
mitigasi dan adaptasi bersama, (ii) penguatan kapasitas masyarakat lokal dan
pemerintah daerah, (iii) mengembangkan suatu usaha bersama yang saling terkait,
(iv) adanya mekanisme pembayaran jasa lingkungan hidup. Secara ringkas,
kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 4.
14
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Penelitian
Kebijakan pembangunan wilayah
Manfaat
ekologi,
ekonomi,
sosial
Perubahan
temperatur
Efisiensi
usahatani
Model
kelembagaan
pengelolaan
DAS wilayah
perbatasan
negara yang
adaptif thd
perubahan
iklim
Disain
kelembagaan
Perbatasan negara
Wilayah
fungsional
ekologi (DAS)
Perubahan land use
Pembangunan
wilayah
perbatasan negara
Pembangunan
berkelanjutan di
wilayah
perbatasan
Yield &
Income
Administratif:
Kabupaten
TTU
(Indonesia),
District Oecussi
(TL)
2
4
Perubahan
curah hujan
Perubahan
iklim
Peluang
banjir dan
kekeringan
Aktor Indonesia
dan Timor-
Leste
Pemukiman, Pertanian
lahan kering campur,
hutan, sawah
Pemb. infrastruktur Pengelolaan DAS
Pengelolaan
DAS wily.
perbatasan
negara
Faktor internal
& eksternal
Perubahan strategi
pengembangan kelembagaan 3
1
Centre-Hinterland
Pertumbuhan
penduduk Hirarki wilayah
Ketergantungan
terhadap lahan
14
15
Sistematika Tulisan
Disertasi ini disusun dalam 7 bab yang merupakan satu-kesatuan. Bab-bab
tersebut adalah:
Bab 1. Pendahuluan menjelaskan latar belakang, permasalahan, tujuan dan
kerangka pikir penelitian
Bab 2. Hubungan pembangunan wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor
Leste terhadap penggunaan lahan. Analisis menggunakan metode
skalogram untuk ketersediaan infrastruktur yang dilengkapi dengan
analisis deskriptif. Dilanjutkan analisis regresi multivariat dan spatial
durbin model guna menjawab permasalahan penelitian pertama.
Bab 3. Pengaruh perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim terhadap
banjir dan kekeringan, dan dampaknya terhadap produksi dan efisiensi
usahatani di Daerah Aliran Sungai Tono. Analisis ini menggunakan
analisis logit untuk menganalisis peluang terjadinya banjir dan
kekeringan. Dilanjutkan dengan analisis regresi multivariat untuk
mengetahui dampak banjir dan kekeringan terhadap produksi usahatani
lahan kering, dan analisis Cob Douglass produksi usahatani lahan basah.
Analisis dilanjutan dengan frontier analysis untuk menganalisis efisiensi
usahatani. Analisis logit, regresi multivariat, Cobb Douglass, dan analisis
frontier digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian kedua.
Bab 4. Evaluasi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara
menggunakan analisis deskriptif dan SWOT berbobot. Hasil analisis pada
Bab 4 untuk menjawab permasalahan penelitian ketiga.
Bab 5. Disain kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang
adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan
berkelanjutan. Analisis yang digunakan adalah analisis hierarki proses
(AHP). Analisis ini didukung dengan hasil analisis pada Bab 2, Bab 3
dan Bab 4 disertasi ini. Hasil analisis pada Bab 5 untuk menjawab
permasalahan penelitian keempat.
Bab 6. Arahan kebijakan kelembagaan pengelolaan daerah aliran sungai wilayah
perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan iklim dalam
pembangunan berkelanjutan. Pembahasan Bab 6 didukung hasil analisis
pada Bab 2, Bab 3, Bab 4, dan Bab 5.
Bab 7. Simpulan umum dan saran, merupakan rangkuman dari simpulan masing-
masing analisis dan saran.
Tulisan pada Bab 2, Bab 3, Bab 4, dan Bab 5 memiliki pendahuluan, metode,
hasil dan pembahasan, simpulan menyesuaikan dengan sistematika penulisan pada
jurnal ilmiah dan sebagai salah satu alternatif sistematika penulisan disertasi pada
Institut Pertanian Bogor.
16
2. HUBUNGAN PEMBANGUNAN WILAYAH PERBATASAN NEGARA
DENGAN PENGGUNAAN LAHAN DAS TONO
Pendahuluan
Latar Belakang
Pemerintah Indonesia menetapkan wilayah perbatasan sebagai salah satu
kawasan strategis nasional. Sesuai amanat UU No. 26 tahun 2007 kawasan
strategis nasional memiliki perencanaan tata ruang sebagai dasar pembangunan.
Pemerintah Indonesia menjabarkannya dalam Perpres No. 179 tahun 2014,
tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Nusa Tenggara
Timur. Diantaranya mengatur mengenai perbatasan darat yang terdapat di sektor
barat dan sektor timur. Perbatasan sektor timur dengan District Oecussi (Timor
Leste), yang dalam konstitusi Timor Leste ditetapkan sebagai wilayah khusus
karena letaknya yang enclave di wilayah Indonesia.
Pembangunan di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste
meningkatkan interaksi antar wilayah. Interaksi penduduk di perbatasan Indonesia
dan Timor Leste didasarkan karena alasan ekonomi, sosial dan budaya (Taena et
al. 2013); dan interaksi ini tidak dibatasi oleh batas teritori negara. Secara
ekonomi, perdagangan antar penduduk di wilayah perbatasan semakin mengalami
peningkatan. Sebelumnya interaksi perdagangan terbatas karena dilakukan
melalui black market, namun mengalami peningkatan setelah dibukanya pasar
perbatasan. Produk-produk yang diperdagangkan termasuk komoditas pertanian
(seperti: padi, jagung, kacang tanah, pinang). Interaksi antar penduduk di wilayah
perbatasan makin meningkat, karena adanya pembangunan infrastruktur (jalan,
pasar perbatasan, listrik, telekomunikasi) dan pemberlakuan pas lintas batas.
Kebijakan ini berdampak terhadap peningkatan interaksi sosial dan
akumulasinya dengan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan
permintaan kebutuhan pangan lintas wilayah. Pemenuhan kebutuhan pangan ini
diperoleh dari usaha pertanian lahan kering dan usaha pertanian lahan basah.
Akibatnya terjadi perubahan penggunaan lahan yang berfungsi konservasi (hutan,
semak belukar dan savana) menjadi lahan budidaya (pertanian lahan kering
campur, sawah dan pemukiman) di wilayah perbatasan negara. Konversi
penggunaan lahan ini dipengaruhi oleh faktor sosial sebagaimana dikemukakan
Syarif et al (2015). Interaksi sosial yang semakin tinggi menyebabkan perubahan
penggunaan lahan tidak hanya pada wilayah tempat menetapnya suatu entitas,
tetapi juga menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan pada wilayah
lain yang bertetangga.
Tulisan ini juga menggunakan pendekatan spatial karena memasukkan
jarak antar wilayah sebagai pembobot spatial. Perbedaan lokasi dan potensi
wilayah yang meningkatkan interkasi sosial diantara penduduk pada beberapa
wilayah dinamakan spatial. Selain pendekatan spatial berbasis jarak juga
dibutuhkan pendekatan socio-spatial karena interaksi di wilayah perbatasan juga
bergantung pada kedekatan adat-istiadat masyarakat. Hidalgo et al (2015)
menyatakan socio-spatial juga menunjukkan keberagaman ekologi dan ekonomi.
Perubahan penggunaan lahan ini umumnya lebih sering terjadi pada lahan
yang hak kepemilikannya individu atau common dibanding lahan yang
17
kepemilikannya oleh negara. Kepemilikan lahan secara komunal umumnya
memiliki akses yang lebih terbuka dibanding individu dan negara (Fauzi 2010).
Namun state property juga rentan terhadap penggunaan yang keliru, karena
minimnya pengawasan.
Sumberdaya lahan di wilayah perbatasan yang relatif tidak berubah dalam
12 tahun adalah hutan (state property), yang luasannya terbatas (1,26% dari total
DAS Tono). Adapun lahan pemukiman dan sawah merupakan individual property
yang perubahannya relatif terbatas karena aksesnya terbatas. Pembukaan lahan
baru untuk persawahan tergantung pada ekologi dan kebijakan pemerintah dalam
melakukan pembangunan bendungan, embung-embung dan saluran air.
Perubahan penggunaan lahan bila dikelompokkan secara administrasi
berada di wilayah perbatasan negara, dan secara fungsional ekologi berada pada
DAS wilayah perbatasan negara. Akibatnya perubahan penggunaan lahan
menyebabkan penurunan fungsi DAS karena terjadinya perubahan tata air.
Dampaknya terjadi penurunan pendapatan petani di DAS karena menggunakan
sumberdaya air yang sama. Satriawan et al (2014) menyatakan pola distribusi
kegiatan pertanian dibatasi oleh iklim, hidrologi, jenis tanah, dan kemiringan.
Penduduk yang berada pada DAS wilayah perbatasan dengan karakteristik lahan
berada pada lahan terjal/kemiringan umumnya melakukan usahatani lahan kering,
sedangkan penduduk yang berada pada dataran rendah umumnya melakukan
usahatani lahan basah.
Penggunaan lahan untuk pertanian pada bagian hulu DAS mengurangi
penggunaan air untuk pertanian pada bagian tengah dan hilir DAS. Kondisi ini
menunjukkan adanya socio-spatial ekologi karena heteregenitas spatial dan
ketergantungan spatial antar wilayah sebagaimana dikemukanan Schmidtner et al
(2012). Penggunaan sumberdaya air pada DAS wilayah perbatasan negara juga
bersifat common karena tidak adanya kelembagaan yang mengatur mengenai
distribusi air pada masing-masing wilayah. Dampaknya terjadi penurunan
pendapatan petani pada lahan usaha pertaniannya yang mengalami kekurangan
air.
Implikasinya dibutuhkan penataan ruang pada wilayah perbatasan negara
yang memasukkan interaksi socio-spatial dan ketergantungan spatial-ecology
sebagaimana dikemukakan Scellato et al (2011). Pembangunan wilayah
perbatasan negara yang perspektif socio-spatial dan spatial-ecology akan
mewujudkan pembangunan berkelanjutan, sehingga diperlukan kajian yang
dijadikan landasan pembangunan.
Permasalahan
Berdasarkan permasalahan sebagaimana dikemukakan dalam latar
belakang, muncul pertanyaan-pertanyaan penelitian berikut:
1. Bagaimana hirarki pembangunan wilayah perbatasan negara Indonesia
dan Timor-Leste di DAS Tono ?
2. Bagaimana hubungan pembangunan wilayah perbatasan negara
terhadap penggunaan lahan di DAS Tono?
3. Bagaimana pengaruh ketergantungan spatial-ekologi terhadap
pendapatan petani di DAS Tono ?
18
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan:
1. Analisis hirarki pembangunan wilayah perbatasan negara Indonesia dan
Timor Leste di DAS Tono
2. Analisis hubungan pembangunan wilayah perbatasan negara dengan
penggunaan lahan di DAS Tono
3. Analisis pengaruh ketergantungan spatial-ekologi terhadap pendapatan
petani di DAS Tono
Metode Penelitian
Hipotesis
Penelitian ini didasarkan pada hipotesis berikut:
a. Sumberdaya pembangunan menentukan hirarki wilayah perbatasan negara
di DAS Tono
b. Pembangunan wilayah perbatasan berhubungan dengan penggunaan lahan
di DAS Tono
c. Terdapat ketergantungan spatial-ekologi pendapatan petani di DAS Tono
Metode Pelaksanaan Kajian
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder
berbasis kecamatan tahun 2010 dan tahun 2014. Terdapat 6 kecamatan di wilayah
Indonesia dan 4 di wilayah Timor Leste yang berada di DAS Tono. Data sekunder
meliputi: pembangunan infrastruktur, jumlah penduduk, jarak dan akses terhadap
ibu kota kabupaten atau district, waktu tempuh suatu kecamatan ke ibu kota
kabupaten/district, jarak antar desa, kebijakan penentuan wilayah pusat dan
hinterland. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten TTU,
Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten TTU, dan
Ministerio Administratrasaun Estatal Republica Democratica De Timor Leste.
Data penggunaan lahan diperoleh dari Landsat tahun 2010 dan 2014,
dengan cara overlay citra landsat dengan peta DAS Tono yang sebelumnya telah
di-overlay dengan peta administrasi kecamatan. Luas penggunaan lahan meliputi:
hutan lahan kering sekunder, lahan terbuka, pemukiman, pertanian lahan kering
(PLK), pertanian lahan kering campur, savana, sawah, semak belukar, semak
belukar rawa, dan tubuh air.
Data primer menggunakan data pendapatan petani pada 16 Desa yang
berada di DAS Tono. Penentuan sample dilakukan secara bertahap. Tahap I,
sampel desa dilakukan dengan cara cluster sampling yakni: desa-desa yang berada
tepat di sempadan sungai pada Sub DAS Ekat. Tahap II, sampel petani dilakukan
secara purposive sampling dengan pertimbangan petani-petani ini melakukan
usahatani di sempadan sungai di DAS Tono. Jumlah responden yang terpilih
sebanyak 5 orang per desa sehingga total responden sebanyak 80 orang.
Metode Analisis Data
Analisis hirarki perkembangan wilayah menggunakan analisis skalogram
sederhana sesuai Gutman (1950) dalam Rustiadi et al (2011). Analisis dilanjutkan
19
dengan analisis regresi multivariat untuk mengetahui hubungan pembangunan
wilayah dengan penggunaan lahan DAS Tono. Formula matematik sebagai
berikut:
Yin= a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + εi ............................................ (1)
Keterangan:
Yin: luas penggunaan lahan pemukiman, PLK campur, sawah, semak belukar (ha)
X1: banyaknya jenis infrastruktur (skala rasio)
X2: jumlah penduduk (jiwa)
X3: waktu tempuh ke pusat kota (menit)
Data banyaknya infrastruktur diperoleh dari hasil analisis skalogram.
Analisis multivariat didahului dengan pengujian peubah bebas terhadap asumsi
dasar ekonometrik. Peubah bebas yang berkorelasi akan dikeluarkan dari model,
dan dipilih salah satu peubah untuk dianalisis bersamaan dengan variabel lainnya.
Adapun analisis ketergantungan spatial-ekologi pendapatan petani di DAS
Tono menggunakan Spatial Durbin Model. Prinsip dasar Spatial Durbin Model
adalah memasukkan faktor lokasi sebagai pembobot. Kedekatan dan keterkaitan
antar lokasi menyebabkan munculnya fenomena autokorelasi spatial. Representasi
faktor lokasi pada Spatial Durbin Model adalah jarak antar desa mengikuti aliran
sungai. Formula matematik Spatial Durbin Model sebagai berikut:
LnYij= a + ∑ bj lnXj + ∑ Ck . Wk lnYk + ∑ ∑ Wk lnXj + εi .......................... (2)
Keterangan:
Yij : Pendapatan petani ke-j di desa ke–i
∑Xj : Jumlah tenaga kerja, pupuk, benih petani ke-j di desa ke-i
∑ bj lnXj : Multiple regression model
Wk : Jarak antar desa (meter)
∑ Ck . Wk lnYk : Spatial auto-regression spatial model
∑ ∑ Wk lnXj : Spatial durbin model
Hasil dan Pembahasan
Pembangunan merupakan upaya untuk melakukan perubahan ke arah yang
lebih baik (Riyadi dan Baratakusumah, 2003). Badan perencanaan pembangunan
nasional (1999) menyatakan pembangunan sebagai suatu rangkaian kegiatan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan
yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan memanfaatkan dan
memperhitungkan kemampuan sumberdaya, informasi, dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan perkembangan global. Ukuran
keberhasilan pembangunan diukur menggunakan berbagai pendekatan.
Pendekatan yang umum dilakukan adalah mengukur indeks pembangunan
manusia (meliputi: pendapatan, pendidikan, kesehatan). Indeks pembangunan
suatu wilayah tinggi, bila infrastruktur mendukung. Guttman (1950) dalam
Rustiadi et al (2011) memperkenalkan analisis skalogram untuk mengukur hirarki
wilayah berdasarkan keberagaman infrastruktur di suatu wilayah.
20
Hirarki Wilayah Perbatasan Negara Indonesia dan Timor-Leste di DAS
Tono
Pembangunan wilayah perbatasan negara memberikan pilihan sosial dan
ekonomi terhadap masyarakat, yang dilakukan dengan pembangunan
infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, pengelolaan sumberdaya alam (BNPP
2011). Infrastruktur yang telah dibangun di wilayah perbatasan negara adalah:
jalan, pendidikan (SD, SLTP, SLTA, PT), Fasilitas sosial dan pelayanan publik
(kantor pemerintahan, Jaringan air bersih, listrik, telekomunikasi, pintu
perbatasan, pelabuhan, bandara), prasarana kesehatan (Rumah sakit, puskesmas,
puskesmas pembantu, polindes), prasarana ekonomi (industri kecil,
bank&koperasi, pasar, hotel, jasa konstruksi, daerah tujuan wisata). Pembangunan
infrastruktur meningkatkan aktivitas pendidikan, kesehatan, pemerintahan, dan
ekonomi.
Pembangunan infrastruktur meningkatkan aktivitas pendidikan, kesehatan,
pemerintahan, dan ekonomi. Sebagaimana dikatakan Todaro et al (2011),
mengenai tujuan pembangunan meliputi: (i) peningkatan ketersediaan dan
perluasan distribusi barang kebutuhan pokok, (ii) peningkatan standar hidup, (iii)
perluasan pilihan sosial dan ekonomi. Pencapaian tujuan pembangunan di wilayah
perbatasan negara dilakukan dengan pembangunan infrastruktur dan
pemberdayaan masyarakat. Semakin lengkap infrastruktur pada suatu wilayah
mengindikasikan wilayah tersebut lebih maju atau lebih tinggi hirarkinya
dibanding wilayah lain (Gutman 1950) dalam Rustiadi et al (2011). Pembangunan
infrastruktur pada masing-masing sub district di wilayah perbatasan negara
menentukan hirarki suatu wilayah.
Pembangunan Infrastruktur Pendidikan
Salah satu tujuan pembangunan sesuai sustainable development goals
ditujukan untuk mencapai pendidikan dasar universal. Pendidikan meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan agar lebih kreatif menemukan solusi bagi
peningkatan kebutuhan hidup. Pembangunan infrastruktur sekolah dasar (SD)
telah ada di seluruh kecamatan di perbatasan negara. Pembangunan SD dilakukan
hingga setiap desa telah memiliki SD. Pembangunan infrastruktur SMP
digalakkan pada tahun 2006 setelah pemerintah RI mencanangkan wajib belajar 9
tahun. Adapun infrastruktur SMP di District Oecussi masih menggunakan
sebagian infrastruktur yang telah dibangun semasa bergabung dengan Indonesia.
Pembangunan infrastruktur pendidikan pada jenjang SLTA dan PT pada
kecamatan/sub district tertentu. Pembangunan infrastruktur pendidikan SLTA di
Kecamatan Miomafo Timur sebagai kecamatan yang berfungsi melayani wilayah
hinterland (meliputi: Bikomi Nilulat, Bikomi Tengah). Kecamatan Naibenu dan
Kecamatan Bikomi Utara pun telah dibangun infrastruktur pendidikan SLTA pada
tahun 2012 untuk mendekatkan pelayanan pendidikan.
Pembangunan Infrastruktur pendidikan SLTA di Timor Leste sebanyak 3
unit yang berada di Sub District Pante Makasar sebagai ibu kota District Oecussi.
Tingginya kesadaran penduduk terhadap pentingnya pendidikan mendorong
pemerintah Timor Leste mendirikan Universitas di Pante Makasar. Data
menunjukkan terdapat 3 perguruan tinggi yang didirikan di Pante Makasar.
Adapun perguruan tinggi di Kabupaten TTU didirikan di Kota Kefamenanu
21
sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN). Sebanyak 2 perguruan tinggi
didirikan di Kefamenanu terdiri atas: 1 universitas, 1 sekolah tinggi. Pendidikan
penduduk mempengaruhi kesadaran mengenai pentingnya kesehatan lingkungan
dan kesehatan masyarakat. Pemerintah juga menyediakan fasilitas kesehatan pada
masing-masing kecamatan dan sub district di DAS Tono.
Tabel 4. Jumlah Sekolah Menurut Kecamatan dan Sub District di DAS Tono
Tahun 2010
Sub District SD SLTP SLTA PT Oecussi-RDTL
Pante Makasar 30 3 3 3
Nitibe 22 1 - -
Oesilo 14 1 - -
Pasabe 7 1 - -
TTU-RI Miomafo Timur 13 4 1 -
Bikomi Utara 8 3 1 -
Bikomi Tengah 9 1 - -
Bikomi Nilulat 7 2 - -
Naibenu 6 2 1 -
Musi 6 1 - -
Sumber: Planu Estratejiku Dezenvolvimentu Districtu Oecussi, 2014 dan TTU
dalam Angka Tahun 2012
Pembangunan Infrastruktur Kesehatan
United Nation Development Planning (UNDP) menyatakan salah satu
indikator keberhasilan pembangunan yang dirumuskan dalam indeks
pembangunan manusia adalah tingkat kesehatan penduduk. Salah satu faktor
penentu tingkat kesehatan adalah tersedianya fasilitas kesehatan yang memadai.
Pemerintah RI telah mendirikan fasilitas kesehatan pada kecamatan-
kecamatan di perbatasan negara. Pembangunan infrastruktur kesehatan di wilayah
perbatasan meliputi: puskesmas, puskesmas pembantu dan polindes. Adapun
pemerintah Timor Leste membangun RSUD dan puskesmas. Setiap sub district
memiliki puskesmas, sedangkan RSUD berada di Sub District Pante Makasar
sebagai ibu kota District Oecusi.
Tabel 5. Jumlah Fasilitas Kesehatan Menurut Kecamatan dan Sub District di DAS
Tono Tahun 2010
Sub District RSUD Puskesmas Pustu Polindes Oecussi-TL
Pante Makasar 1 8 - -
Nitibe - 4 - -
Oesilo - 3 - -
Pasabe - 2 - -
TTU-RI Miomafo Timur - 2 3 27
Bikomi Utara - 1 3 16
Bikomi Tengah - 1 - 16
Bikomi Nilulat - 1 2 10
Naibenu - 1 1 13
Musi - 1 2 8
Sumber: Planu Estratejiku Dezenvolvimentu Districtu Oecussi, 2014 dan TTU
dalam Angka Tahun 2012
22
Pembangunan Infrastruktur Ekonomi
Pendidikan dan kesehatan masyarakat yang baik meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia yang berkualitas meningkatkan
kreatifitas dalam aktivitas ekonomi, yang berarti membutuhkan prasarana
ekonomi lebih beragam dan berkualitas. Pembangunan fasilitas ekonomi turut
menggerakkan pembangunan ekonomi di wilayah perbatasan. Pembangunan pasar
meningkatkan transkasi ekonomi karena tersedia fasilitas yang mempertemukan
penjual dan pembeli. Dampaknya penduduk melakukan upaya-upaya pengelolaan
sumberdaya ekonomi lain untuk berpartisipasi dalam transaksi ekonomi.
Sebagian penduduk meningkatkan usaha di bidang pertanian, sebagian
pada sektor ekonomi lain. Usaha-usaha ini memiliki keterkaitan (linkage) dengan
usaha produktif lain, terutama usaha yang telah dibangun infrastrukturnya di
wilayah perbatasan negara. Pembangunan fasilitas ekonomi lain di wilayah
perbatasan adalah: industri kecil, bank dan koperasi, usaha perdagangan (besar,
menengah), pasar, hotel, jasa konstruksi dan daerah tujuan wisata (DTW).
Tabel 6. Jumlah Fasilitas Ekonomi Menurut Kecamatan dan Sub District di DAS
Tono Tahun 2010
Sub District Industri
Kecil
DTW Bank&
Koperasi
Usaha
dagang
Pasar Jasa
Konstruksi
Hotel
Oecussi-TL
Pante
Makasar
20 8 2 20 2 10 1
Nitibe 2 3 1 1 1 2 -
Oesilo 2 3 1 1 1 1 -
Pasabe 2 1 1 1 1 1 -
TTU-RI
Miomafo
Timur
52 1 3 1 1 3 -
Bikomi
Utara
34 1 - 1 1 - -
Bikomi
Tengah
26 1 - - - - -
Bikomi
Nilulat
50 1 - 1 - - -
Naibenu 20 1 - - - 1 -
Musi 16 - - - - - -
Sumber: Planu Estratejiku Dezenvolvimentu Districtu Oecussi, 2014 dan TTU
dalam Angka 2012
Pembangunan Infrastruktur Sosial dan Pelayanan Publik
Infrastruktur sosial terdiri atas infrastruktur sosial yang dibangun oleh
masyarakat adat, infrastruktur sosial masyarakat yang dibangun oleh pemerintah
masing-masing negara, dan infrastruktur sosial yang dibangun oleh kedua negara
sebagai bentuk kerjasama bilateral. Infrastruktur sosial bilateral yang telah
dilakukan adalah pemasangan tanda batas negara secara bersama, dialog bersama
dalam JBC (joint border committe) Indonesia dan Timor Leste, perayaan acara
keagamaan bersama (seperti: Natal dan Paskah). Aktivitas sosial lain yang
difasilitasi oleh pemerintah daerah adalah olahraga dan seni.
Infrastruktur sosial yang dibangun oleh masyarakat adat, menjadi wadah
bagi penduduk di wilayah perbatasan negara dalam melakukan interaksi sosial.
Kelembagaan adat yang saling berhubungan di wilayah penelitian dalam bentuk
23
suku, yakni: Bikomi, Tunbaba, Naibenu, Musi. Penduduk Suku Bikomi umumnya
tersebar di Kecamatan Bikomi Utara, Bikomi Nilulat, Bikomi Utara, Bikomi
Selatan (Indonesia) dan Sub District Nitibe, Passabe, Oesilo (Timor Leste).
Penduduk Suku Tunbaba umumnya tersebar di Kecamatan Miomafo Timur
(Indonesia) dan Sub District Pante Makasar (Timor Leste). Penduduk Suku
Naibenu umumnya tersebar di Kecamatan Naibenu (Indonesia), Sub District Pante
Makasar dan Oesilo (Timor Leste).
Penduduk di wilayah perbatasan negara yang melakukan interaksi karena
alasan sosial-budaya umumnya melakukan interaksi sosial dengan penduduk satu
suku karena memiliki hubungan adat-istiadat yang kuat. Interaksi sosial antar
penduduk dengan kelompok adat tertentu dilakukan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup, meningkatkan ikatan kekerabatan dan menjaga infrastruktur
fisik adat. Infrastruktur fisik adat yang dimaksud adalah: rumah adat (termasuk
lopo adat), mata air pemali (termasuk hutan adat). Upacara adat sebagai aktivitas
sosial budaya penduduk di wilayah perbatasan dilakukan secara periodik, yakni
umumnya dilakukan sekali setahun.
Interaksi sosial masyarakat di wilayah perbatasan negara tidak dibatasi
oleh batas administrasi negara. Pemerintah Indonesia dan Timor Leste melalui
JBC mempermudah interaksi sosial ini dengan pemberlakuan PLB (pas lintas
batas) dan pemberlakuan pasar perbatasan negara.
Adapun infrastruktur sosial yang dibangun oleh masing-masing negara
(unilateral) untuk mendukung aktivitas sosial penduduk di bidang pendidikan dan
kesehatan, serta aktivitas ekonomi penduduk membutuhkan fasilitas pendukung.
Pembangunan infrastruktur pendukung untuk pelayanan publik, seperti: air,
listrik, jaringan telkom, kantor pelayanan publik (pusat, kabupaten/district,
kecamatan/sub district, kantor pelayanan di pintu perbatasan), pelabuhan dan
bandara.
Pembangunan pelayanan publik dasar seperti: listrik dan telekomunikasi
telah dilakukan hampir di seluruh kecamatan/sub district. Seluruh sub district di
District Oecussi telah dibangun jaringan listrik dan telekomunikasi. Sebagian
kecamatan (Bikomi Utara, Bikomi Tengah, Bikomi Nilulat) belum dibangun
jaringan listrik dan telekomunikasi. Jaringan telekomunikasi Timor Leste pun
lebih kuat dibanding Indonesia, sehingga terjadi roaming di wilayah perbatasan
negara. Akibatnya kedaulatan bangsa dalam jasa komunikasi terganggu sehingga
berdampak terhadap kebocoran wilayah.
Air bersih sebagai kebutuhan dasar penduduk umumnya diperoleh dari
sumber mata air dan sungai. Pemerintah RI membangun jaringan perpipaan di
Kecamatan Miomafo Timur, sedangkan kecamatan lain di DAS Tono belum.
Pembangunan jaringan perpipaan air bersih di Oecussi terdapat di Sub District
Pante Makasar, sedangkan sub district lain belum ada pembangunan jaringan air
bersih.
Pembangunan pelabuhan dan bandara oleh pemerintah Timor Leste di
District Oecussi sebagai district yang enclave sehingga memudahkan interaksi
dengan pemerintah pusat dan wilayah lain di Timor Leste. Lokasi pelabuhan dan
bandara berada di Sub District Pante Makasar. Pembangunan fasilitas pelabuhan
dan bandara mengurangi ketergantungan ekonomi penduduk Oecussi terhadap
Kabupaten TTU, sebab ada alternatif pemenuhan kebutuhan yang didatangkan
melalui transportasi laut dari Dili oleh pedagang-pedagang besar.
24
Pembangunan fasilitas pelayanan publik yang lengkap (pemerintah pusat,
district, sub district) tersedia di Sub District Pante Makasar, sedangkan di
kecamatan/sub district lainnya memiliki fasilitas pelayanan publik tingkat
kecamatan/sub district. Fasilitas pelayanan publik tingkat pusat yang berada di
Sub District Pante Makasar seperti kantor konsulat RI dan kantor perwakilan
pemerintah Timor Leste. Data infrastruktur sosial ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah Fasilitas Sosial dan Pelayanan Publik Menurut Kecamatan dan
Sub District di DAS Tono Tahun 2010 Sub
District
Pelabuhan Bandara PDAM Listrik Jaringan
Telkom
Kantor
Pelayanan
Publik
Pintu
Perbatasan
Oecussi-TL
Pante
Makasar
1 1 2 1 3 3 1
Nitibe - - - 1 3 1 1
Oesilo - - - 1 3 1 1
Pasabe - - - 1 3 1 -
TTU-RI
Miomafo
Timur
- - 1 1 2 1 -
Bikomi
Utara
- - - 1 1 1 1
Bikomi
Tengah
- - - - 1 1 -
Bikomi
Nilulat
- - - - 1 1 -
Naibenu - - - - 1 1 -
Musi - - - - 1 1 -
Sumber: Planu Estratejiku Dezenvolvimentu Districtu Oecussi, 2014 dan TTU
Dalam Angka 2012
Pemerintah Timor Leste menetapkan menteri muda urusan Oecussi
sebagai wakil pemerintah pusat. Pemerintah tingkat kabupaten dipimpim oleh
seorang bupati, dan sub district oleh kepala sub district. Dampaknya
meningkatkan daya tarik penduduk untuk menetap dan beraktivitas di Sub District
Pante Makasar.
Sebagian penduduk lebih memilih untuk menetap di perbatasan negara
yang memiliki akses mudah lintas negara melalui pintu darat. Fasilitas pintu
perbatasan terdapat di Kecamatan Bikomi Utara-Sub District Oesilo, Pante
Makasar-Wini (Insana Utara), dan Nitibe-Oepoli (Amfoang Utara).
Analisis Skalogram
Pembangunan infrastruktur pada masing-masing kecamatan/sub district
menentukan hirarki suatu wilayah. Wilayah kecamatan menurut Rustiadi dan
Pranoto (2007) merupakan wilayah dengan hirarki terkecil untuk menentukan
perkembangan suatu wilayah. Selanjutnya dikatakan perkembangan centre-
hinterland umumnya terjadi pada jumlah penduduk minimal 5.000-10.000 jiwa
yang merupakan jumlah penduduk 1 kecamatan. Infrastruktur sosial di wilayah
perbatasan pun meliputi 1 atau beberapa kecamatan, sehingga memungkinkan
terjadinya sinergi antara kelembagaan masyarakat dengan pembangunan oleh
negara.
25
Pembangunan pada masing-masing sub district akan meningkatkan
interaksi antar kecamatan (interaksi horizontal). Pembangunan pada sub district
juga memudahkan interaksi antara kecamatan dengan ibu kota kabupaten dan desa
(inteaksi vertikal). Interaksi horizontal mengurangi ketimpangan wilayah,
sedangkan interaksi vertikal memudahkan distribusi pembangunan antar hirarki
wilayah. Hasil analisis skalogram ditampilkan Tabel 8.
Tabel 8. Hasil Analisis Skalogram Kecamatan dan Sub District di DAS Tono Sub District Jenis Infrastruktur
Pendidikan Kesehatan Ekonomi Fasilitas Sosial Total
Pante Makasar 4 3 7 9 23
Nitibe 2 1 6 4 13
Oesilo 2 1 6 4 13
Passabe 2 1 6 3 12
Miomafo Timur 3 3 6 4 16
Bikomi Utara 3 3 4 4 14
Bikomi Tengah 2 2 2 2 8
Bikomi Nilulat 2 3 3 2 10
Naibenu 3 3 3 2 11
Musi 2 3 1 2 8
Hasil analisis menunjukkan sub district yang memiliki hirarki paling
tinggi adalah Pante Makasar (Timor Leste), dan hirarki berikutnya Kecamatan
Miomafo Timur (Indonesia). Ini menunjukkan masing-masing wilayah adalah
centre, sedangkan wilayah lainnya adalah hinterland. Perbedaannya Pante
Makasar adalah ibu kota District Oecussi, sedangkan Kecamatan Miomafo Timur
merupakan salah satu kecamatan yang sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW)
Kabupaten TTU ditetapkan sebagai sub pengembangan wilayah, yang hirarkinya
berada di bawah Kefamenanu sebagai ibu kota Kabupaten TTU. Infrastruktur
yang dibangun di wilayah perbatasan umumnya berada pada jalan utama untuk
memudahkan akses dan integrasi dengan aktivitas lainnya, sebagaimana
dinyatakan oleh Shin et al (2007). Sebaran infrastruktur secara spatial ditampilkan
pada Gambar 5.
Pante Makasar sebagai kecamatan di hilir DAS Tono menempati hirarki I,
merupakan wilayah dengan pembangunan yang lebih intensif dibanding
kecamatan lain. Adapun kecamatan lain (Miomafo Timur, Bikomi Utara, Bikomi
Nilulat, Naibenu, Nitibe, Oesilo, Passabe) merupakan kecamatan dengan
pembangunan menengah. Kecamatan-kecamatan ini berada pada bagian hulu dan
tengah DAS Tono. Adapun kecamatan Musi dan Bikomi Tengah yang berada di
bagian hulu dan tengah DAS merupakan kecamatan dengan pembangunan yang
kurang intensif.
Guttman (1950) dalam Rustiadi et al (2011) menyatakan konsentrasi
infrastruktur menjadi daya tarik bagi penduduk untuk menetap dan melakukan
aktivitas ekonomi. Jumlah penduduk di Sub District Pante Makasar mencapai
35.226 jiwa pada tahun 2010. Jumlah penduduk di Kecamatan Miomafo Timur
(hiraki kedua) 10.560 jiwa, jumlah ini lebih sedikit dari Kecamatan Nitibe (hirarki
IV). Namun Kecamatan Miomafo Timur memiliki kepadatan yang lebih tinggi
(104 jiwa/km2:38 jiwa/km
2). Data penduduk masing-masing district ditampilkan
pada Tabel 9.
26
Gambar 5. Peta Skalogram Kecamatan Wilayah Perbatasan di DAS Tono
26
27
Tabel 9. Jumlah Penduduk di DAS Tono Tahun 2010 dan 2014 Menurut
Kecamatan dan Sub District
Kecamatan Luas (km2) Jumlah Orang (Jiwa)
2010 2014
Miomafo Timur 101,45 10.560 11.014
Bikomi Nilulat 82 4.298 4.482
Bikomi Tengah 61,5 6.749 7.063
Bikomi Utara 70,7 5.564 5.843
Naibenu 88 4.958 5.362
Musi 82,17 4.070 4.304
Sub Total 485,82 36.199 38.068
Pante Makasar 357.3 35.226 39.593
Nitibe 301.72 11.366 12.775
Oesilo 97.37 9.861 11.084
Passabe 60.84 7.572 8.511
Sub Total 817.23 64.025 71.963
Total 1303,05 100.224 110.091
Sumber: TTU dalam Angka 2014 dan Planu Estratejiku Dezenvolvimentu Districtu
Oecussi, 2014
Penggunaan Lahan di DAS Tono
Penduduk di DAS Tono memiliki ketergantungan terhadap lahan dan air di
DAS Tono, sehingga DAS Tono memiliki manfaat yang besar terhadap kehidupan
ekonomi, sosial dan budaya masyarakat di DAS Tono. Sebagian besar (72,57
persen) wilayah DAS Tono berada di District Oecussi dan merupakan 47,47
persen dari wilayah District Oecussi (Timor Leste). Adapun 27,43 persen wilayah
DAS Tono berada di Kabupaten TTU (Indonesia).
Pembangunan wilayah perbatasan negara dan peningkatan jumlah
penduduk meningkatkan permintaan terhadap lahan. Lahan di DAS Tono
difungsikan untuk pemukiman, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering
campur, semak belukar, hutan, savana, lahan terbuka, tubuh air, dan semak
belukar rawa. Konversi lahan konservasi menjadi lahan budidaya terjadi untuk
memenuhi kebutuhan pemukiman dan pemenuhan kebutuhan pangan.
Penggunaan lahan DAS Tono umumnya didominasi oleh pertanian lahan
kering campur, kecuali pada bagian hilir DAS Tono. Bagian hulu DAS Tono
paling luas yakni mencapai 72% dari luas DAS Tono. Bagian tengah 17% dan
bagian hilir DAS Tono 11% dari total luas DAS Tono. Penggunaan lahan antar
kecamatan juga didominasi oleh pertanian lahan kering campur dan menyebar di
seluruh kecamatan.
Penggunaan Lahan Berdasarkan Bagian DAS
Wilayah fungsional ekologi DAS terdiri atas bagian: hulu, tengah, dan
hilir DAS Tono. Perbedaannya terdapat pada topografi, penggunaan lahan dan
fungsi DAS.
Bagian Hulu DAS Tono
Secara administrasi bagian hulu DAS Tono berada di seluruh kecamatan
dan sub district DAS Tono. Pembangunan pada bagian hulu DAS Tono
meningkatkan konversi lahan dan berdampak terhadap peningkatan run off.
Bagian hulu DAS dicirikan oleh pegunungan dan kemiringan lereng yang curam.
28
Hulu DAS berfungsi menjaga keseimbangan ekologi DAS Tono. Terdapat hutan
lahan kering sekunder seluas 703 ha pada tahun 2000 tetapi mengalami penurunan
luas hingga tahun 2010 memiliki luas 675 ha.
Hutan lahan kering sekunder tersebut merupakan state property sehingga
tidak lagi rentan terhadap kerusakan lingkungan, setelah adanya penegakan
hukum. Semak belukar merupakan common property dan individual property
sehingga rentan terhadap konversi. Semak belukar memiliki tutupan lahan yang
lebih bersifat konservasi dikonversi menjadi pertanian lahan kering dan pertanian
lahan kering campur yang memiliki tutupan lahan lebih terbuka. Sejak tahun 2000
samapi tahun 2010 terjadi penurunan luas semak belukar di hulu seluas 7.109 ha,
sedangkan pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur mengalami
peningkatan seluas 7.391 ha. Aktivitas pertanian dilakukan dengan sistem tebas-
bakar sehingga meningkatkan peluang terjadinya banjir dan kekeringan.
Peningkatan luas lahan pertanian sebagai dampak dari peningkatan jumlah
penduduk, yang ditunjukkan dengan luas pemukiman di bagian hulu yang mengalami
peningkatan seluas 228,64 ha.
Tabel 10. Penggunaan Lahan DAS Tono Tahun 2000 dan 2014 Berdasarkan Zona
DAS
Penggunaan Lahan
2000 2014
Hulu Tengah Hilir Hulu Tengah Hilir
Hutan Lahan Kering
Sekunder 703 - - 675 - -
Lahan Terbuka 598 118 329 714 89 329
Pemukiman 150 0,00 113 378 2 148
Pertanian Lahan
Kering(PLK) 1.700 337 806 3.978 394 891
PLK Campur 10.698 5.844 561 15.810 6.294 674
Savana 5.549 1.024 662 4.904 868 530
Sawah 32 33 872 78 61 1.014
Semak Belukar 19.100 1.328 1.143 11.991 977 905
Semak Belukar Rawa 0,00 0,00 48 0,00 0,00 48
Tubuh Air 165 402 1.152 165 402 1.146
Total 38.693 9.085 5.685 38.693 9.085 5.685
Sumber: Diolah dari data citra landsat, 2010 dan 2014
Bagian Tengah DAS Tono
Bagian tengah DAS dicirikan oleh daerah yang bergelombang hingga
berbukit-bukit, dan kemiringan lereng yang landai. Penggunaan lahan pada bagian
tengah DAS seperti pada bagian hulu DAS Tono. Secara administrasi bagian
tengah DAS Tono berada di Kecamatan Bikomi Nilulat, Bikomi Tengah, Bikomi
Utara (Indonesia), dan 4 (empat) sub district di Oecussi.
Bagian tengah DAS tidak terdapat hutan dan pemukiman pada tahun 2000,
tetapi pada tahun 2010 sebagian lahan pertanian telah dikonversi menjadi
pemukiman seluas 1,61 ha. penggunaan lahan pada bagian tengah DAS juga
didominasi oleh pertanian lahan kering campur, dan merupakan konversi dari
semak belukar. Luas pertanian lahan kering campur mengalami peningkatan
29
seluas 450 ha, yang sebagian besar merupakan konversi lahan semak belukar
ditunjukkan oleh penurunan lahan semak belukar seluas 351 ha.
Akibatnya terjadi akumulasi dampak sehingga pada bagian tengah DAS
Tono juga terjadi banjir pada musim hujan, banjir tersebut merusak lahan
pertanian masyarakat yang berada di dekat sempadan sungai. Beberapa desa pada
bagian tengah DAS yang biasanya dilanda banjir adalah: Sunkaen, Nainaban,
Inbate, Buk, Napan (Indonesia), dan Bobometo, Cunha (Timor Leste).
Bagian Hilir DAS Tono
Bagian hilir DAS Tono dicirikan oleh topografi dataran rendah hingga
landai, dan berada di dataran rendah yang cenderung datar. Secara administrasi
bagian hilir DAS Tono berada di Sub District Pante Makasar. Penggunaan lahan
pada bagian hilir didominasi oleh sawah sebab sumberdaya air pada bagian hilir
cukup tersedia, yang berasal dari beberapa sub DAS.
Penggunaan Lahan Berdasarkan Kecamatan di DAS Tono
Pembangunan pada bagian hilir DAS Tono intensif dilakukan karena
merupakan ibu kota District Oecussi. Dampaknya konversi lahan terjadi lebih
cepat. Penggunaan lahan pada bagian-bagian DAS dipengaruhi oleh pembangunan
wilayah perbatasan, peningkatan jumlah penduduk dan kemudahan akses terhadap
ibu kota Kabupaten TTU dan/atau District Oecussi. Pembangunan yang berbeda
antar kecamatan dan sub district menentukan penggunaan lahan DAS Tono.
Penggunaan lahan yang tersebar di seluruh kecamatan adalah pemukiman,
pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, dan semak belukar.
Penggunaan lahan lain tidak tersebar di seluruh kecamatan karena terdapat
perbedaan sumberdaya. Hutan lahan kering sekunder berada di Kecamatan
Miomafo Timur, Naibenu, dan Pante Makasar. Sawah tersebar pada kecamatan
yang memiliki sumberdaya air cukup, yakni: Bikomi Nilulat, Bikomi Utara,
Bikomi Tengah (Indonesia) dan Pante Makasar, Oesilo (Timor Leste).
Penggunaan lahan berdasarkan kecamatan dan sub district ditampilkan pada Tabel
11.
Tabel 11. Penggunaan Lahan DAS Tono Tahun 2010 Menurut Kecamatan dan
Sub District
Kecamatan
HLKS LT P PLK
PLKC
Savana
Sawah SB
SBR
TAir
Bikomi Nilulat 0 34 77 391 1.095 340 48 854 0 1
Bikomi
Tengah 0 0 38 126 280 3 18 1.402 0 0
Bikomi Utara 0 0 99 305 902 3 46 3.069 0 3
Miomafo
Timur 109 0 98 1.936 791 0 0,5 11 0 2
Musi 1 0 2 3 21 0 0,5 1.446 0 0
Naibenu 479 5 10 62 90 0 0,5 560 0 0
Nitibe 0 235 2 926 6.142 8 0,5 914 0 42
Oesilo 0 344 15 200 6.745 291 33 760 0 417
Pante Makasar 86 514 150 1.019 4.302 4.912 1.008 4.086 48 1.205
Passabe 0 1 37 293 2.410 745 0,5 770 0 43
Sumber: Diolah dari data citra landsat, 2010
30
Gambar 6. Peta DAS Tono Menurut Kecamatan/Sub District
30
31
Hubungan Pembangunan Wilayah Perbatasan dengan Penggunaan Lahan
DAS Tono
Pembangunan wilayah perbatasan direpresentasikan oleh pembangunan
infrastruktur, kebijakan centre-hinterland, peningkatan jumlah penduduk.
Pembangunan wilayah perbatasan bertujuan antara lain: kemudahaan akses
terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Perspektif
pembangunan wilayah perbatasan yang mengedepankan pembangunan ekonomi
dan sosial berdampak terhadap lingkungan. Pembangunan ekonomi dan sosial
membutuhkan ruang sehingga terjadi konversi lahan yang berfungsi konservasi
menjadi lahan budidaya, akibatnya terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup.
Peningkatan interaksi sosial terjadi sebagai proses pembangunan, yang
diartikan sebagai proses untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan kemampuan
masyarakat dengan cara menaikkan standar kehidupan, harga diri, dan kebebasan
individu (Todaro et al. 2011). Pembangunan wilayah perbatasan bertujuan antara
lain: meningkatkan kemudahaan akses penduduk terhadap pelayanan pendidikan,
kesehatan, sosial dan ekonomi.
Pembangunan infrastruktur disesuaikan dengan jumlah penduduk pada
masing-masing wilayah kecamatan. Jumlah penduduk di wilayah perbatasan
negara sebanyak 100.224 jiwa pada tahun 2010 dan mengalami peningkatan
menjadi 110.091 jiwa atau meningkat 10.000 jiwa penduduk dalam kurun waktu 5
tahun. Data jumlah penduduk per kecamatan ditampilkan Tabel 9. Jumlah
penduduk paling banyak berada di Sub District Pante Makasar yang merupakan
bagian hilir DAS Tono. Dampaknya terjadi konversi lahan paling tinggi terjadi
pada Sub District Pante Makasar. Konversi ini juga terjadi pada wilayah lain yang
bertetangga karena adanya interaksi sosial.
Peningkatan jumlah penduduk meningkatkan permintaan kebutuhan
terhadap pangan dan semakin mudahnya akses ke pusat kota meningkatkan
interaksi sosial penduduk. Hasil analisis menunjukkan secara bersama-sama
variabel jumlah penduduk dan kemudahan akses ke kota (direpresentasikan oleh
waktu tempuh yang semakin singkat ke kota) berhubungan positif terhadap
penggunaan lahan di DAS Tono yang nyata pada α=0,05. Ringkasan hasil analisis
ditampilkan Tabel 12.
Tabel 12. Ringkasan Hasil Analisis Hubungan Pembangunan Wilayah Perbatasan
Dengan Penggunaan Lahan di DAS Tono Variabel Pemukiman PLK Campur Sawah
Konstanta 67,7326 -1224,13 -86,4092
Jumlah penduduk 0,0019**)
0,1789***)
0,0295***)
Waktu tempuh ke pusat kota -0,6052**)
38,1548**)
-1,2701
Uji F 9,27***)
8,57***)
27,80***)
R2 52,17 50,20 76,58
Keterangan:***): nyata α=0,01, **)=nyata α=0,05, **)=nyata α=0,10
Tabel 2 juga menunjukkan secara parsial, jumlah penduduk berhubungan
positif dengan penggunaan lahan pemukiman (α=0,05). Peningkatan jumlah
penduduk kecamatan sebanyak 1.000 orang akan menyebabkan perbedaan luas
pemukiman sebesar 1,9 ha. Peningkatan jumlah penduduk meningkatkan
kebutuhan pangan yang diperoleh dari pertanian lahan kering campur dan sawah.
Peningkatan jumlah penduduk 1.000 orang akan meningkatkan luas pertanian
lahan kering campur seluas 170 ha dan sawah meningkat seluas 29,5 ha.
32
Kemudahan akses ke kota yang diindikasikan oleh waktu tempuh
menunjukkan waktu tempuh ke pusat kota berhubungan negatif dengan
penggunaan lahan untuk pemukiman (α=0,05). Maknanya akses semakin mudah
ke pusat kota meningkatkan interaksi sosial sehingga terjadi peningkatan luas
pemukiman. Suatu wilayah makin singkat waktu tempuh ke pusat kota makin
singkat 10 menit akan meningkatkan luas pemukiman sebesar 6,05 ha.
Jumlah penduduk dan waktu tempuh mengindikasikan wilayah centre-
hinterland, karena wilayah centre merupakan pusat aktivitas ekonomi dan
pelayanan sosial sehingga jumlah penduduknya lebih banyak dibanding
hinterland. Wilayah centre juga memiliki kelengkapan infrastruktur yang lebih
baik dibanding hinterland. Wilayah centre di District Oecussi (Timor Leste)
adalah Sub District Pante Makasar, dengan wilayah hinterland adalah Nitibe,
Oesilo, dan Pasabe. Adapun wilayah centre di Kabupaten TTU adalah Kota
Kefamenanu sebagai pusat kegiatan wilayah, dan kecamatan lain di Kabupaten
TTU sebagai wilayah hinterland. Kustianingrum (2010) menyatakan permukiman
tak terencana tumbuh secara alamiah, tanpa perencanaan awal sehingga menjadi
tidak teratur.
Jumlah Penduduk yang bermukim pada wilayah centre memenuhi
kebutuhan pangan dari wilayah lain. Diindikasikan dengan wilayah yang waktu
tempuh ke kota makin lama memiliki luas pertanian lahan kering campur yang
lebih luas (α=0,05), yang merupakan konversi dari lahan semak belukar. Luas
sawah semakin meningkat, bila semakin dekat ke kota karena Kota Pante Makasar
sebagai ibu kota District Oecusi berada di hilir DAS Tono. Kota-kota yang baru
berkembang umumnya ditopang oleh berkembangnya sektor pertanian.
Waktu tempuh ke kota juga mengindikasikan centre-hinterland, karena
wilayah yang waktu tempuhnya lebih lama ke kota adalah wilayah hinterland,
yang berarti pertanian lahan kering campur lebih luas di wilayah hinterland
dibanding kota. Kondisi ini menunjukkan pembangunan di wilayah centre,
seharusnya diikuti dengan perbaikan pembangunan di wilayah hinterland
(Ikramullah et al. 2011). Hubungan interaksi sosial penduduk di wilayah
perbatasan negara dengan penggunaan lahan, secara skematis ditampilkan pada
Gambar 7.
Hasil penelitian mendukung teori Von Thunen dalam Rustiadi et al (2011)
yang menyatakan wilayah centre dan hinterland berbeda karena adanya perbedaan
sumberdaya dan pasar. Sumberdaya yang tersedia di wilayah hinterland umumnya
berupa sumberdaya alam, seperti pangan yang dipasarkan ke wilayah centre,
sebaliknya centre menjadikan hinterland sebagai pasar produk-produk olahan dan
jasa. Wilayah hinterland yang paling dekat ke kota akan menyediakan produk-
produk pertanian yang mudah rusak (misalnya: sayuran), semakin jauh lama
waktu tempuh ke kota produk pertanian yang diusahakan adalah produk yang
tidak mudah rusak. Pembangunan infrastruktur meningkatkan akses terhadap
pelayanan sosial dan ekonomi sehingga terjadi pertumbuhan penduduk.
Peningkatan jumlah penduduk turut berdampak terhadap perubahan penggunaan
lahan. Khususnya peningkatan permintaan lahan untuk pemukiman dan
permintaan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan. Penduduk di
DAS Tono umumnya bermatapencaharian sebagai petani, sehingga
ketergantungan terhadap lahan dan air begitu tinggi.
33
Gambar 7. Peta Interaksi Sosial di Wilayah Perbatasan Indonesia dan Timor Leste
33
34
Interaksi spatial ini terjadi karena: (i) peningkatan jumlah penduduk pada
suatu wilayah meningkatkan permintaan kebutuhan pokok yang tidak hanya
dipenuhi dari suatu wilayah, namun juga dari wilayah lain yang bertetangga
sehingga meningkatkan perubahan penggunaan lahan; (ii) jarak ke pusat kota
yang jauh memunculkan interaksi baru antar wilayah yang bertetangga, meskipun
berbeda wilayah administrasi. Implikasinya diperlukan model sustainable land
use dalam management pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang juga
mengakomodir interaksi sosial budaya, ekonomi dan ekologi (Yu et al. 2003).
Peningkatan luas pertanian lahan kering campur pada wilayah lain
menyebabkan penurunan luas pertanian lahan kering campur suatu wilayah.
Kondisi ini menunjukkan adanya interaksi sosial penduduk suatu wilayah dengan
wilayah lain di perbatasan negara dalam memenuhi kebutuhan pangan.
Pemenuhan kebutuhan pangan semakin mudah bila jarak suatu wilayah dengan
wilayah lain semakin semakin dekat dan sebaliknya untuk wilayah yang makin
jauh. Kondisi ini mengindikasikan perbedaan wilayah centre-hinterland, karena
wilayah yang jaraknya makin jauh dari kota adalah wilayah hinterland. Penelitian
Kopczewska (2013) menyatakan difusi alami terjadi sebagai proses dari kota inti
ke pinggiran mencakup sekitar 25-30 km, dan pembangunan infrastruktur jalan
memperluas jangkauan 20 km menjadi 55-60 km.
Pembangunan wilayah berimplikasi terhadap penggunaan lahan di DAS
Tono karena penggunaan lahan di DAS Tono didominasi oleh areal penggunaan
lain (APL), yang berarti dapat dikonversi menjadi penggunaan lain. Lahan-lahan
yang berfungsi konservasi (seperti: semak belukar) dapat dikonversi menjadi
lahan budidaya (seperti: pemukiman, pertanian lahan kering campur dan sawah).
Implikasinya dibutuhkan tata guna lahan secara berkelanjutan.
Pembangunan wilayah perbatasan negara, diarahkan tidak hanya pada
pembangunan fisik, namun pada pembangunan ekonomi penduduk secara
berkelanjutan. Pembangunan wilayah perbatasan berbasis administrasi, namun
perlu analisis perubahan penggunaan lahan yang berbasis DAS.
Pembangunan wilayah perbatasan negara yang menyebabkan perubahan
penggunaan lahan berdampak terhadap tata air DAS Tono. Peningkatan luas
pertanian lahan kering campur berdampak terhadap lingkungan, sebab merupakan
konversi dari lahan semak belukar yang memiliki tutupan lahan yang lebih
berfungsi konservasi. Dampaknya terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup
dan penurunan pendapatan petani di DAS Tono. Penelitian ini mendukung teori
externalitas dan social cost dari Coase (1960).
Hubungan Ketergantungan Spatial-Ekologi dengan Pendapatan Petani
Perubahan penggunaan lahan pada DAS Tono menyebabkan terjadinya
perubahan tata air. Perubahan penggunaan lahan pada bagian hulu menyebabkan
perubahan tata air pada bagian hulu, tengah dan hilir DAS Tono karena memiliki
keterkaitan ekologis sebagaimana ditampilkan pada Gambar 8. Demikian pula
aktivitas usahatani yang cenderung eksploitatif pada bagian hulu akan
menyebabkan tingginya aliran permukaan dan menyebabkan banjir pada musim
hujan terutama pada bagian tengah dan hilir DAS. Usahatani sangat dipengaruhi
oleh sumberdaya air, sehingga penduduk pedesaan yang bekerja pada sektor
pertanian cenderung untuk memilih akses yang lebih mudah terhadap sumberdaya
air demi peningkatan produksi sebagaimana dikemukakan Shin et al (2007).
35
Gambar 8. Peta Elevasi DAS Tono
35
36
Hasil analisis hubungan ketergantungan spatial-ecology dengan
pendapatan petani di DAS Tono sebagai berikut:
Y = 20,112 - 3,947wY - 7,781wBtk ...................(3)
Secara bersama-sama variabel dalam model yakni pendapatan penduduk wilayah
tetangga (wY), jumlah tenaga kerja wilayah tetangga (wBtk) nyata berpengaruh
terhadap peningkatan pendapatan pada suatu wilayah (Y) pada taraf nyata 5%.
Hasil analisis menunjukkan, adanya fenomena spatial-ecology dan interaksi socio-
spatial sebagaimana dikemukakan Calvacanti et al (2009).
Secara parsial peningkatan pendapatan petani desa tetangga (wY) sebesar
1 persen akan mengurangi pendapatan (Y) suatu wilayah sebesar 3,94% pada taraf
nyata pada α=0,10. Fenomena ini menunjukkan adanya ketergantungan spatial-
ecology dari aktivitas usahatani penduduk pada DAS wilayah perbatasan negara.
Aktivitas usahatani lahan keringan pada bagian hulu dan tengah DAS yang
cenderung eksploitatif (dengan sistem tebas-bakar) menyebabkan terjadinya banjir
dan kekeringan, yang dampaknya lebih dirasakan oleh petani pada bagian hilir
DAS. Demikian pula penggunaan air yang berlebihan pada bagian hulu dan
tengah akan mengurangi debit air ke hilir sehingga mengurangi produksi dan
pendapatan petani di hilir DAS.
Implikasinya diperlukan tata ruang air yang meliputi wilayah hulu, tengah,
hilir DAS termasuk cekungan air (Kodoatie et al. 2010). Pemanfaatan lahan untuk
pertanian dengan sistem agroforestry akan mengurangi banjir dan kekeringan
sehingga peningkatan pendapatan akan terjadi pada bagian hulu, tengah dan hilir
DAS secara bersamaan.
Penduduk yang bekerja pada wilayah hulu dengan sistem tebas-bakar
cenderung eksploitatif sehingga mengurangi pendapatan pada wilayah hilir DAS.
Hasil kajian nyata pada α=0,10, sehingga dibutuhkan penataan ruang dengan
melakukan integrasi ketergantungan spatial-ecology, sebagaimana dilakukan
Filatova et al (2013) dalam mengintegrasikan socio-demography, ekologi dan
biofisik. Implikasinya diperlukan desain interaksi yang mengakomodir budaya
penduduk di wilayah perbatasan negara (Huang Ko-Hsun et al. 2008).
Simpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan disumpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pembangunan wilayah perbatasan negara menentukan hirarki wilayah
perbatasan dan pengaruhnya terhadap perubahan penggunaan lahan DAS
Tono. Sub District Pante Makasar sebagai hirarki tertinggi berada di hilir
DAS Tono, sedangkan Kecamatan Miomafo Timur menempati yang
hirarki kedua berada di bagian hulu DAS Tono.
2. Pembangunan wilayah perbatasan negara, direpresentasikan oleh
peningkatan jumlah penduduk dan kemudahan akses ke pusat kota
berhubungan positif dengan penggunaan lahan untuk pemukiman,
pertanian lahan kering campur dan sawah. Peningkatan jumlah penduduk
meningkatkan kebutuhan pangan dan kemudahan akses meningkatkan
interaksi sosial, ekonomi dan budaya.
3. Pendapatan petani di DAS Tono memiliki ketergantungan spatial-ekologi
yakni pendapatan petani pada hulu DAS akan mengurangi pendapatan
petani pada bagian tengah dan hilir DAS karena usahatani di hulu yang
cenderung eksploitatif.
37
3. DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PERUBAHAN
IKLIM TERHADAP PRODUKSI DAN EFISIENSI USAHATANI
DI DAS TONO
Pendahuluan
Latar Belakang
DAS Tono merupakan salah satu DAS di wilayah perbatasan negara yang
memberikan manfaat bagi aktivitas pertanian di wilayah perbatasan Indonesia dan
Timor Leste (terutama Enclave District Oecusi). Pembangunan di wilayah
perbatasan negara dilakukan dengan konversi lahan konservasi menjadi lahan
budidaya. Akibatnya terjadi banjir dan kekeringan di DAS Tono. Todaro et al
(2011) menyatakan pembangunan regional merupakan proses meningkatkan
kualitaas hidup, namun di lain sisi menimbulkan biaya sosial yang harus
ditanggung oleh masyarakat (Coase, 1960) karena adanya eksternalitas negatif
dari penurunan luas lahan konservasi. Data perubahan penggunaan lahan di DAS
Tono tahun 2000 dan 2014 ditampilkan pada Tabel 13.
Tabel 13. Penggunaan Lahan DAS Tono Tahun 2000 dan 2014
Land Use 2000 (ha) 2014 (ha)
Hutan Lahan Kering Sekunder 703 675
Lahan Terbuka 1.045 1.095
Pemukiman 262 550
Pertanian Lahan Kering 2.842 5.383
Pertanian Lahan Kering Campur 17.102 22.662
Savana 7.235 6.368
Sawah 937 1.327
Semak Belukar 21.571 13.651
Semak Belukar Rawa 48 40
Tubuh Air 1.719 1.713
Total 53.464 53.464
Sumber: Diolah dari Landsat, 2010 dan 2014
Perubahan lahan terbesar terjadi pada semak belukar, yang mengalami
penurunan seluas 7.920 ha. Tutupan lahan pada semak belukar memiliki fungsi
yang baik untuk mencegah terjadinya erosi, sebagaimana lahan hutan. Pertanian
lahan kering campur meningkat seluas 5.560 ha, dan pertanian lahan kering
meningkat seluas 2.541 ha. Perubahan penggunaan lahan ini sebagai representasi
dari peningkatan permintaan penduduk terhadap pangan.
Perubahan penggunaan lahan semak belukar menjadi lahan pertanian
meningkatkan run-off dan erosi. Kondisi ini mengurangi ketahanan lahan terhadap
variasi perubahan iklim (curah hujan dan temperatur), akibatnya terjadi banjir dan
kekeringan. Hoanh et al (2004) menyatakan perubahan iklim berpengaruh
signifikan terhadap produksi pertanian, khususnya petani berpendapatan rendah
yang sangat bergantung terhadap pertanian subsisten.
Banjir dipengaruhi oleh curah hujan bulanan, sedangkan kekeringan
dipengaruhi oleh curah hujan dan temperatur bulanan. Dasanto et al (2004)
38
menyatakan akumulasi curah hujan efektif di bagian hulu DAS Citarum selama 4
jam mengakibatkan terjadinya banjir di DAS Citarum pada tahun 2000-2009.
Rata-rata curah hujan bulanan di DAS Tono berfluktuasi sejak tahun 2000 sampai
2014 (Gambar 9). Curah hujan meningkat pada tahun 2003-2011 (kecuali pencilan
pada tahun 2009), sedangkan tahun 2000-2002, dan 2012-2012 curah hujan relatif
rendah. Fluktuasi perubahan curah hujan mengindikasikan adanya perubahan
iklim merujuk pada tipe perubahan iklim Schneider and Sarukhan dalam UNDP
(2010).
Gambar 9. Tren Curah Hujan di DAS Tono Tahun 2000-2014
Perubahan iklim dan perubahan penggunaan lahan pada DAS Tono
berdampak paling besar terhadap sektor pertanian. Luas penggunaan lahan di
DAS Tono didominasi (55%) oleh sektor pertanian (pertanian lahan kering,
pertanian lahan kering campur, sawah) yang umumnya membudidayakan tanaman
pangan. Usahatani di DAS Tono mengalami excess perubahan iklim dan
perubahan penggunaan lahan berupa kelebihan air/banjir, curah hujan normal, dan
kekurangan air /kekeringan pada lahan pertanian.
Usahatani di DAS Tono dikategorikan menjadi usahatani lahan kering dan
usahatani lahan basah. Usahatani lahan kering dilakukan dengan sistem tebas-
bakar yang dilanjutkan dengan pola tanam tumpangsari, sedangkan usahatani
lahan basah menggunakan pola tanam monokultur. Produksi usahatani di DAS
Tono dipengaruhi oleh faktor produksi yang dapat dikendalikan petani (seperti:
lahan, benih, tenaga kerja, peralatan, pupuk, pola tanam), dan faktor alam
(temperatur dan curah hujan) yang direpresentasikan banjir, normal, kekeringan.
Peningkatan frekuensi banjir, level banjir menyebabkan rendahnya produksi dan
nilai produksi pertanian, terutama pada bagian hilir DAS (Klein et al. 2004).
Permasalahan
Penting untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh faktor alam dan
faktor yang dikendalikan petani terhadap produksi dan efisiensi usahatani di DAS
Tono. Pertanyaan-pertanyaan penelitian yang menjadi penuntun sebagai berikut:
(i) Bagaimana pengaruh perubahan penggunaan lahan dan perubahan
iklim terhadap peluang terjadinya banjir dan kekeringan?
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
m
m
Tahun
Rata-Rata Curah Hujan Tahunan
39
(ii) Bagaimana dampak banjir, kekeringan, dan faktor produksi yang
dikendalikan petani terhadap produksi dan efisiensi ekonomi
usahatani tumpangsari dan monokultur di DAS Tono?
(iii) Bagaimana alternatif perubahan penggunaan lahan dan perubahan
iklim terhadap banjir dan kekeringan, dan dampaknya terhadap
perubahan produksi dan pendapatan usahatani di DAS Tono?
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis pengaruh perubahan penggunaan lahan, dan
perubahan iklim terhadap peluang banjir dan kekeringan di DAS Tono.
2. Untuk menganalisis dampak banjir, kekeringan dan faktor produksi
yang dapat dikendalikan petani terhadap produksi dan efisiensi
usahatani tumpangsari dan monokultur di DAS Tono.
3. Untuk melakukan simulasi dampak perubahan penggunaan lahan dan
perubahan iklim terhadap peluang banjir dan kekeringan, dan
dampaknya terhadap produksi dan pendapatan usahatani di DAS Tono.
Metode Penelitian
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
a. Curah hujan bulanan, temperatur bulanan, dan penggunaan lahan DAS
(hutan, pertanian lahan kering campur, sawah) berpengaruh terhadap
peluang terjadinya banjir di DAS Tono. Kekeringan dipengaruhi oleh
curah hujan bulanan, temperatur bulanan, dan luas pertanian lahan
kering campur di DAS Tono.
b. Banjir/kelebihan air, kekurangan air/kekeringan dan faktor yang dapat
dikendalikan petani (lahan, bibit, pupuk, peralatan, tenaga kerja, dan
pola tanam) berdampak terhadap produksi dan efisiensi usahatani
tumpangsari dan monokultur di DAS Tono.
c. Peningkatan pertanian lahan kering campur dan curah hujan, dan
penurunan luas hutan dan sawah secara kontinyu menyebabkan
terjadinya peningkatan peluang banjir. Penurunan curah hujan,
peningkatan temperatur dan pertanian lahan kering campur secara
kontinyu menyebabkan terjadinya peningkatan peluang kekeringan.
Metode Pengumpulan Data dan Teknik Penarikan Responden
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder
meliputi: curah hujan dan temperatur selama 15 tahun (2000 s.d. 2014). Data
curah hujan bulanan diperoleh dari data CHIRPS (http://chg-
ftpout.geog.ucsb.edu/puborg/chg/products/CHIRPS-2.0/global-monthly/tifs/), data
temperatur bulanan diperoleh dari data Climatic Research Unit/CRU
(http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.UEA/.CRU/.TS3p0/), dan data
penggunaan lahan diperoleh dari data landsat. Data primer meliputi: banjir,
kekeringan, dan variabel efisiensi ekonomi usahatani (input, produksi pertanian,
harga input dan harga output). Teknik sampling yang digunakan untuk
40
menentukan sampel adalah purposive sampling, dengan pertimbangan
keterwakilan negara dan zona DAS. Jumlah sampel yang digunakan adalah
sebanyak 50 responden untuk usahatani monokultur (10 petani Indonesia dan 40
petani Timor Leste), dan 95 responden untuk usahatani tumpangsari (60 petani
Indonesia dan 35 petani Timor Leste).
.
Peubah-Peubah yang Diamati dan Diukur dalam Penelitian
Definisi operasional variabel-variabel penelitian diperlukan untuk
menunjukkan batasan-batasan operasional, mengingat luasnya ruang lingkup
penelitian. Definisi operasional yang dimaksud berkaitan dengan wilayah
penelitian dan peubah-peubah penelitian adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan lahan merupakan setiap bentuk campur tangan manusia
terhadap sumberdaya lahan di DAS Tono diperoleh dari citra landsat tahun
2000, 2003, 2006, 2009, 2012, 2014
2. Curah hujan bulanan DAS Tono menggunakan data CHIRPS tahun 2000-
2014
3. Temperatur bulanan DAS Tono menggunakan data CRU tahun 2000-2014
4. Banjir/kelebihan air merupakan kejadian kelebihan run off hingga
mengakibatkan lahan pertanian di dataran tinggi mengalami erosi dan
lahan pertanian pada dataran rendah terendam air karena curah hujan yang
tinggi pada periode tertentu
5. Kekeringan/kekurangan air merupakan kejadian kekeringan (kekurangan
air) pada tanaman budidaya petani karena curah hujan yang rendah dan
temperatur yang tinggi dalam jangka waktu tertentu
6. Usahatani monokultur merupakan budidaya pertanian yang dilakukan oleh
petani pada lahan basah di DAS Tono
7. Usahatani tumpangsari merupakan budidaya pertanian tanaman pangan
(jagung, singkong, kacang tanah) pada lahan kering yang dibudidayakan
oleh petani di DAS Tono secara bersamaan pada lahan yang sama.
8. Input usahatani monokultur merupakan input yang digunakan pada
usahatani lahan basah, meliputi: lahan (are), benih (kg), pupuk (kg), tenaga
kerja (HKO), traktor (jam), ketersediaan air (banjir, kekeringan, dan tidak
banjir/tidak kering)
9. Input usahatani tumpangsari merupakan input yang digunakan pada
usahatani lahan kering, meliputi: lahan (are), benih (kg), tenaga kerja
(HKO), pola tanam (3 tanaman pangan dan lebih dari 3 tanaman pangan),
ketersediaan air (banjir, kekeringan, dan tidak banjir/tidak kering)
10. Biaya input usahatani merupakan biaya yang dikeluarkan oleh petani
dalam usahatani monokultur dan tumpangsari, meliputi: sewa lahan
(dikonversi dari hasil pertanian), biaya benih (dikonversi dari penjualan
benih di pasar terdekat), biaya pupuk (harga jual pupuk urea pada tingkat
petani), traktor (nilai sewa), biaya tenaga kerja (biaya konsumsi yang
dikeluarkan petani dalam usahatani). Diukur dan dikonversi dalam nilai
rupiah (Rp).
11. Produksi usahatani monokultur merupakan produksi padi satu musim
tanam yang dibudidayakan petani di DAS Tono (kg).
12. Produksi usahatani tumpangsari merupakan produksi padi, jagung, kacang
tanah pada usahatani lahan kering (kg).
41
13. Penerimaan usahatani monokultur merupakan penerimaan petani yang
diperoleh dari produksi usahatani lahan basah dikalikan dengan harga
beras di tingkat petani. Diukur dalam rupiah atau dikonversi dalam rupiah.
14. Penerimaan usahatani multicrop merupakan penerimaan petani yang
diperoleh dari total hasil kali produksi (beras, singkong, kacang tanah isi)
dengan harganya masing-masing. Diukur atau dikonversi dalam rupiah.
15. Pendapatan usahatani monokultur merupakan total pendapatan petani yang
diperoleh dari usahatani monokultur dikurangi dengan biaya input (Rp).
16. Pendapatan usahatani tumpangsari merupakan total pendapatan petani
yang diperoleh dari usahatani lahan kering dikurangi biaya input yang
merupakan joint cost (Rp)
17. Efisiensi usahatani merupakan efisiensi ekonomi usahatani monokultur
dan usahatani tumpangsari yang dihitung secara terpisah
Metode Analisis Data
Pengolahan data dikategorikan menjadi tabulasi data, analisis data,
interpretasi data, dan sintesa hasil penelitian. Analisis data melalui tahapan
berikut: (i) analisis keragaman, (ii) analisis peluang banjir dan kekeringan, (iii)
analisis dampak banjir, kekeringan dan faktor produksi lain terhadap produksi dan
efisiensi usahatani, (iv) simulasi dan pengaruhnya terhadap peluang banjir dan
kekeringan, serta dampaknya terhadap produksi usahatani.
Analisis Variabilitas Curah Hujan Bulanan dan Temperatur Bulanan di
DAS Tono
Analisis keragaman curah hujan bulanan dan temperatur bulanan
dibutuhkan untuk mengetahui ada/tidaknya keragaman curah hujan bulanan dan
temperatur di DAS Tono. Analisis ini menggunakan pendekatan statistik 2 (dua)
ragam, dengan hipotesis berikut: H0: δ12
= δ22
H1: δ12
≠ δ22
Analisis Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim
terhadap Peluang Banjir dan Kekeringan di DAS Tono
Evaluasi pengaruh perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim
terhadap peluang banjir dan kekeringan di DAS Tono menggunakan fungsi logit
(Juanda, 2009; Pradan, 2009) sebagai berikut:
...........................................(3)
Ln (Pxt/(1-Pxt))=α + β1X1t + β2X2t + β3X3t + β4X4t + ε
Keterangan:
Pxt/1-Pxt : perbandingan antara peluang terjadinya banjir bulanan
dengan tidak terjadinya banjir bulanan di DAS Tono
(0 = tidak banjir; 1= banjir)
X1t : rata-rata curah hujan bulanan tahun ke-t di DAS Tono (mm)
X2t : luas pertanian lahan kering campur tahun ke-t di DAS Tono (ha)
X3t : luas hutan tahun ke-t di DAS Tono (ha)
X4t : luas lahan sawah tahun ke-t di DAS Tono (ha)
α : konstanta β1... βi :Koefisien
42
Persamaan (2) juga digunakan untuk analisis berbeda, dengan menggunakan
peubah peluang kekeringan sebagai peubah terikat. Peubah bebasnya adalah
temperatur bulanan (oC), curah hujan bulanan (mm), dan luas pertanian lahan
kering campur (ha).
Analisis Dampak Banjir, Kekeringan dan Faktor Produksi terhadap
Produksi dan Efisiensi Ekonomi Usahatani di DAS Tono
Analisis ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama, analisis dampak banjir
dan kekeringan terhadap produksi pertanian tumpangsari dan monokultur.
Analisis dampak banjir dan kekeringan terhadap produksi usahatani tumpangsari
menggunakan analisis regresi multivariat, sedangkan analisis dampak banjir dan
kekeringan terhadap produksi usahatani monokultur menggunakan analisis regresi
berganda. Persamaan yang digunakan dalam analisis multivariat sebagai berikut:
lnYnq= α + β1lnX1 + β2lnX2 + δ1Dpt + δ2Db + δ3Dk + ε ................................. (4)
Keterangan:
Ynq : produksi q (padi, jagung, kacang tanah) dalam kg usahatani ke-n
X1i : luas lahan (are)
X2i : tenaga kerja (HKO)
Dpti : dummy pola tanam 1 = 3 tanaman pangan dan, 0 > 3 tanaman pangan
Dbi : dummy banjir 1 = banjir, 0 = normal
Dki : dummy kekeringan 1 = kekeringan, 0 = normal
β0 : intersep βi, δi : koefisien regresi εi: error
Analisis dengan persamaan regresi berganda untuk analisis dampak banjir,
kekeringan dan faktor produksi lain terhadap terhadap produksi usahatani
monokultur. Persamaannya sebagai berikut:
lnY = α + b1lnX1 + b2lnX2 + δ1Dpt + δ2Db + δ3Dk + ε ................................. (5)
Keterangan:
Ynq : produksi q (padi, jagung, kacang tanah) dalam kg usahatani ke-n
X1i : luas lahan (are)
X2i : benih (kg)
X3i : pupuk (kg)
X4i : tenaga kerja (HKO)
Dbi : dummy banjir 1 = banjir, 0 = normal
Dki : dummy kekeringan 1 = kekeringan, 0 = normal
β0 : intersep βi, δi : koefisien regresi εi: error
Pegujian hipotesis secara keseluruhan menggunakan uji F, yang berarti
secara bersama-sama peubah-peubah bebas berpengaruh nyata terhadap elastisitas
produksi usahatani monokultur dan tumpangsari. Formula matematis sebagai
berikut:
H0 : β1=...= β4=δ1= δ2= δ3= δ4= 0
H1 : Minimal salah satu bi ≠ 0
Selanjutnya ditelusuri secara parsial menggunakan uji t untuk mengetahui
pengaruh masing-masing peubahbebas terhadap produksi, dengan formula
berikut:
H0 : βi =0
H1 : βi ≠ 0
43
Tahap kedua melakukan analisis efisiensi ekonomi usahatani
menggunakan cobb douglass stochastic income function (modifikasi dari Masuku
2014), yang merupakan kombinasi dari konsep efisiensi teknis dan efisiensi
alokatif dalam hubungannya dengan pendapatan. Fungsi pendapatan lebih baik
digunakan dibanding fungsi produksi karena terdapat usahatani tumpangsari di
DAS Tono, dan fungsi produksi membutuhkan efisiensi teknis dan efisiensi
alokatif untuk mengestimasi efisiensi ekonomis. Tahapan analisis efisiensi
ekonomis sebagai berikut:
(i) Studi ini mengasumsikan pendapatan petani dipengaruhi oleh sewa
lahan, biaya benih, biaya pupuk, biaya tenaga kerja, sewa traktor,
dummy pola tanam (Dp), dummy banjir (Db), dummy kekeringan (Dk).
Fungsi pendapatan diregresi menggunakan persamaan berikut:
LnYi=β0+(βi εi .....(3)
(ii) Efisiensi usahatani diturunkan dari:
..................................................................... (6)
Keterangan
EEi : efisiensi ekonomi usahatani ke-i
Πi : pendapatan usahatani ke-i
Πi* : pendapatan maksimum usahatani ke-i
Analisis Simulasi Perubahan Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim
terhadap Peluang Banjir dan Kekeringan di DAS Tono
Simulasi dilakukan terhadap peluang terjadinya banjir dan peluang
kekeringan secara terpisah. Simulasi terhadap peluang kekeringan dengan cara: (i)
menggunakan lahan exisiting (hutan, pertanian lahan kering campur, sawah) dan
curah hujan saat ini (existing), (ii) menambah curah hujan bulanan 50 mm, luas
pertanian lahan kering campur seluas 550 ha (catatan: laju perubahan luas
pertanian lahan kering campur sebesar 550 ha/tahun) dan kelipatannya untuk
beberapa tahun, (iii) menambah curah hujan bulanan 50 mm, luas pertanian lahan
kering campur seluas 550 ha tiap tahun dan menambah luas sawah 0,4 ha hingga
total luas sawah menjadi 1.700 ha (catatan: existing 1.300 ha dan direncanakan
adanya percetakan sawah baru seluas 400 ha) (iv) curah hujan bulanan 50 mm,
luas pertanian lahan kering campur seluas 550 ha tiap tahun, menambah luas
sawah 0,4 ha mengurangi dan mengurangi luas hutan seluas 0,25 ha.
Simulasi terhadap peluang kekeringan dilakukan dengan cara: (i)
menggunakan luas pertanian lahan kering campur exisiting, curah hujan bulanan
dan temperatur bulanan existing saat terjadi kekeringan, (ii) menambah luas
pertanian lahan kering campur seluas 550 tiap tahun, menambah curah hujan
bulanan sebesar 10 mm, menambah temperatur sebesar 1oC, (iii) peningkatan nilai
seluruh peubah yang berpengaruh terhadap kekeringan.
Analisis Simulasi Dampak Banjir dan Kekeringan terhadap Produksi
Usahatani Monokultur dan Tumpangsari di DAS Tono
Simulasi dampak peningkatan peluang banjir dan kekeringan terhadap
produksi usahatani monokultur dan tumpangsari dilakukan secara terpisah.
Simulasi dilakukan dengan cara: (i) menggunakan peluang banjir dan kekeringan
existing, (ii) meniadakan peluang banjir dan kekeringan, (iii) meningkatkan
peluang banjir dan kekeringan sesuai hasil simulasi banjir dan kekeringan
sebelumnya.
44
Hasil dan Pembahasan
Perubahan Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim di DAS Tono
Perubahan Penggunaan Lahan DAS Tono
Penggunaan lahan dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dan fisik
wilayah. Faktor sosial ekonomi yang berpengaruh adalah pembangunan wilayah,
pertumbuhan penduduk dan ketergantungan penduduk terhadap lahan. Faktor fisik
lahan meliputi kesuburan, kemiringan, dan tutupan lahan. Penggunaan lahan
mengalami perubahan dari tahun ke tahun karena adanya perubahan terhadap
variabel sosial, ekonomi dan fisik wilayah. Konversi lahan merupakan dampak
dari aktivitas manusia (seperti: pembangunan wilayah, pertumbuhan penduduk
dan ketergantungan penduduk terhadap lahan) terhadap lahan (Herold et al. 2006).
Penggunaan lahan yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun
adalah: pemukiman, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, dan
sawah. Peningkatan penggunaan lahan budidaya merupakan konversi lahan
konservasi, seperti: hutan dan semak belukar. Data perubahan penggunaan lahan
ditampilkan pada Tabel 14. Penggunaan lahan hutan mengalami penurunan pada
tahun 2000-2003, sedangkan selanjutnya luas hutan tetap karena adanya
penegakan hukum normatif dan kearifan lokal di DAS Tono. Kearifan lokal
perlindungan hutan dikenal dengan banul (Indonesia) dan tarabandu (Timor
Leste), yakni upacara adat dan pemberian sanksi adat bagi pihak yang melakukan
pengrusakan terhadap hutan. Perubahan penggunaan lahan meningkatkan
koefisien limpasan air, Wibowo (2005) menyakatan koefisien limpasan air lahan
hutan (0,01-1), pemukiman (0,3-0,7), savana (0,05-0,35), pertanian (0,05-0,26),
dan perkebunan (0,02-0,034) yang menyerupai semak belukar di DAS Tono.
Tabel 14. Perubahan Penggunaan Lahan (ha) di DAS Tono Tahun 2000-2014
Tahun HLKS LT P PLK PLKC Savana Sawah SB SBR TA
2000 703 1.044 262 2.842 17.102 7.235 937 21.571 48 1.719
2001 694 1.037 295 2.850 17.903 7.311 973 20.635 48 1.717
2002 685 1.030 328 2.858 18.704 7.387 1.010 19.700 48 1.715
2003 675 1.023 361 2.865 19.505 7.463 1.046 18.765 48 1.713
2004 675 994 356 2.872 19.754 7.128 1.055 18.797 48 1.786
2005 675 964 352 2.878 20.002 6.793 1.064 18.829 48 1.859
2006 675 934 347 2.885 20.251 6.458 1.074 18.860 48 1.932
2007 675 986 399 3.668 20.545 6.930 1.080 17.262 61 1.859
2008 675 1.037 451 4.452 20.838 7.402 1.086 15.664 73 1.786
2009 675 1.089 503 5.236 21.132 7.874 1.093 14.065 85 1.713
2010 675 1.061 514 5.236 21.650 7.384 1.153 14.008 70 1.713
2011 675 1.034 525 5.236 22.169 6.894 1.214 13.950 55 1.713
2012 675 1.006 536 5.236 22.688 6.403 1.275 13.893 40 1.713
2013 675 1.033 550 5.356 22.691 6.384 1.302 13.721 40 1.713
2014 675 1.095 550 5.383 22.662 6.368 1.327 13.651 40 1.713
Sumber: Diolah dari data citra landsat, 2000, 2003, 2006, 2009, 2012, 2014
Keterangan: HLKS=Hutan lahan kering sekunder, LT=Lahan terbuka,
P=Pemukiman PLK=Pertanian lahan kering, SBR=Semak belukar rawa,
PLKC=Pertanian lahan kering campur SB=Semak belukar, TA=Tubuh air
45
Pembangunan wilayah perbatasan dan peningkatan jumlah penduduk
menjadi penyebab terjadi peningkatan penggunaan lahan budidaya (pertanian
lahan kering, pertanian lahan kering campur, sawah, pemukiman). Pembangunan
wilayah perbatasan, pemekaran wilayah kecamatan, dan penetapan centre-
hinterland meningkatkan pembangunan infrastruktur dan terbentuknya aglomerasi
ekonomi. Dampaknya terbentuk kota-kota baru di tingkat kecamatan yang
membutuhkan ruang untuk pemukiman dan pemenuhan kebutuhan pangan.Pola
kepemilikan rumah di perdesaan memanfaatkan ruang secara horizontal sehingga
membutuhkan lahan yang lebih luas. Adapun pemenuhan kebutuhan pangan
diperoleh dari pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, semak
belukar, sawah.
Peningkatan penggunaan lahan untuk pemukiman dan pemenuhan pangan
merupakan konversi lahan savana, semak belukar, lahan terbuka dan hutan. Luas
savana berkurang karena sebagian dimanfaatkan untuk lahan pertanian, sedangkan
lahan terbuka mengalami fluktuasi dan cenderung mengalami penurunan karena
terdapat sistem bero (dibiarkan sementara sebagai lahan terbuka) dalam usahatani
lahan kering. Penggunaan lahan untuk semak belukar rawa dan tubuh air lebih
dominan karena faktor alam. Semak belukar rawa sangat bergantung pada pasang-
surut air laut, sedangkan tubuh air bergantung pada kejadian banjir. Faktor alam
dapat diminimalisir dengan rekayasa teknologi dan pembangunan yang lebih
komprehensif antar sektor, stakeholder, wilayah fungsional (hulu, tengah dan
hilir) dan administratif (Indonesia dan Timor Leste).
DAS Tono terdistribusi dalam bagian hulu 72%, tengah 17%, dan hilir
11%. Perubahan penggunaan lahan pada bagian hulu ditunjukkan dengan
peningkatan pertanian lahan kering dari 1.700 ha menjadi 4.102 ha, dan
peningkatan luas pertanian lahan kering dari 10.697 ha menjadi 15.799 ha; yang
merepresentasikan konversi 20% dari total penggunaan lahan di hulu DAS hanya
dalam 15 tahun. Konversi lahan ini terutama terjadi pada lahan semak belukar.
Semak belukar dicirikan oleh tanaman umur panjang, sedangkan pertanian lahan
kering dan pertanian lahan kering campur lebih didominasi oleh tanaman pangan,
yang lebih mudah menyebabkan terjadinya erosi.
Perubahan penggunaan lahan pada bagian hulu berdampak terhadap
bagian tengah dan hilir, melalui pergerakan tanah dan air pada seluruh DAS.
Klein et al (2004) menyatakan banjir pada bagian hulu berdampak terhadap
bagian hilir DAS. Penurunan luas semak belukar (27%) menjadi pertanian lahan
kering dan pertanian lahan kering campur juga terjadi pada bagian tengah DAS
Tono. Demikian pula luas semak belukar pada bagian hilir juga mengalami
penurunan seluas 21%. Penggunaan lahan yang mengintegrasikan aktivitas
manusia, sumberdaya lahan, dan sumberdaya air di DAS Mekong (Yu et al. 2003)
dapat dijadikan sebagai rujukan penggunaan lahan di DAS Tono.
Perubahan lahan semak belukar merupakan perubahan paling tinggi di
DAS Tono, dan perubahan terbesar terjadi di Indonesia yakni mencapai 50%,
sedangkan di Timor Leste mencapai 25%. Trend ini direfleksikan oleh
peningkatan PLK dan PLKC di Indonesia 1 % menjadi 42 % pada tahun 2014 dari
total DAS, sedangkan peningkatan pertanian lahan kering dan pertanian lahan
kering campur di Timor Leste dari 48% menjadi 56% pada tahun 2014. Konversi
lahan ini terjadi karena aktivitas sosial ekonomi (Herold et al. 2006). Peta
penggunaan lahan tahun 2000 dan 2014 ditampilkan Gambar 10.
46
Gambar 10. Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Tono Tahun 2000 dan 2014
46
47
Pengambil keputusan di Indonesia dan Timor Leste harusnya melakukan
pengendalian dan modifikasi terhadap penggunaan lahan, sehingga dibutuhkan
pengelolaan bersama antara negara-negara yang berada di DAS wilayah
perbatasan untuk mengurangi resiko banjir (Snelder, 2008). Perubahan
penggunaan lahan sebagai dampak pembangunan wilayah yang bias administrasi.
Data luas penggunaan lahan DAS Tono berdasarkan negara ditampilkan Tabel 15.
Tabel 15. Penggunaan Lahan DAS Tono Tahun 2000 dan 2014 Menurut Negara
Penggunaan Lahan (ha)
2000 2014
RI TL RI TL
Hutan Lahan Kering Sekunder 617 86 589 86
Lahan Terbuka 64 981 55 1040
Pemukiman 109 153 337 214
Pertanian Lahan Kering 933 1.909 2.922 2.461
Pertanian Lahan Kering Campur 322 16.780 3.309 19.353
Savana 235 6.999 346 6.022
Sawah 51 886 146 1.181
Semak Belukar 12.425 9.145 7.054 6.597
Semak Belukar Rawa 0,00 48 - 40
Tubuh Air 6 1.713 6 1.706
Total 14.763 38.701 14.763 38.701
Sumber: Diolah dari data citra landat, 2010 dan 2014
Perubahan Iklim DAS Tono
Representasi perubahan iklim diobservasi dengan menggunakan unsur-
unsur iklim, seperti: curah hujan bulanan dan temperatur bulanan. Rata-rata curah
hujan berfluktuasi dari tahun 2000 hingga tahun 2014. Perbedaan curah hujan
dalam 15 tahun terakhir menunjukkan adanya keragaman curah hujan. Demikian
pula keragaman terjadi pada temperatur di DAS Tono. Perbedaannya trend curah
hujan berbeda dari antar zona DAS (hulu, tengah, hilir) dan negara (Indonesia dan
Timor Leste).
Trend Curah Hujan di DAS Tono
Trend curah hujan antara Indonesia dan Timor Leste di DAS Tono
ditampilkan pada Gambar 11. Curah hujan di Indonesia selalu lebih tinggi
dibanding Timor Leste, yang terjadi karena wilayah Indonesia di DAS Tono
umumnya berada di bagian hulu dan tengah DAS Tono. Kunzewicz et al (2013)
menyatakan terdapat perbedaan variasi curah hujan di dalam wilayah dan antar
wilayah.
Trend curah hujan terjadi antara hulu, tengah, dan hilir DAS Tono
(Gambar 12), yang menunjukkan curah hujan di hulu dan tengah selalu lebih
tinggi dibanding curah hujan di hilir DAS Tono. Curah hujan bulanan
menimbulkan adanya aliran permukaan, peresapan melalui tanah dan aliran bawah
tanah menuju badan sungai dan dataran yang lebih rendah, yang mengakibatkan
terjadinya erosi dan banjir. Erosi terjadi pada lahan-lahan terjal yang memiliki
tutupan lahan rendah (seperti: pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering
campur), aliran permukaan yang tinggi pada lahan-lahan dimaksud juga lebih
mudah menimbulkan terjadinya banjir.
48
Gambar 11. Trend Curah Hujan DAS Tono Tahun 2000, 2003, 2006, 2009, 2010, 2012 Menurut Negara (Sumber: CHIRPS)
48
49
Gambar 12. Trend Curah Hujan DAS Tono Tahun 2000-2014 Menurut Zona DAS
(Sumber: CHRIPS)
Keragaman Curah Hujan Bulanan di DAS Tono
Hasil uji keragaman menunjukkan terdapat keragaman curah hujan
bulanan di DAS Tono. Ditunjukkan dengan nilai uji F nyata pada α=0,05.
Keragaman ini menunjukkan adanya perbedaan curah hujan bulanan pada tahun
2000 hingga tahun 2014, sehingga menyebabkan terjadinya banjir pada bulan-
bulan tertentu, dan kekeringan pada bulan-bulan tertentu di DAS Tono.
Dampaknya terjadi penurunan produki pada sektor pertanian. Hasil analisis
keragaman selengkapnya ditampilkan pada Gambar 13.
CH2
CH1
180160140120100
95% Bonferroni Confidence Intervals for StDevs
CH2
CH1
6005004003002001000
Data
Test Statistic 0.59
P-Value 0.014
Test Statistic 2.56
P-Value 0.111
F-Test
Levene's Test
Test for Equal Variances for CH1; CH2
Gambar 13. Keragaman Curah Hujan Bulanan di DAS Tono Tahun 2000-2014
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
mm
Tahun
Hulu
Tengah
Hilir
50
Keragaman Temperatur
Trend temperatur di DAS Tono berkisar antara 22 s.d. 28OC. Temperatur
yang semakin panas menyebabkan terjadinya kekeringan di DAS Tono. Hasil
pengujian keragaman menunjukkan terdapat keragaman temperatur di DAS Tono.
Dampaknya terjadi penurunan produksi usahatani. Hasil analisis keragaman
temperatur bulanan DAS Tono ditampilkan Gambar 14.
Ttk
Tk
1.31.21.11.00.90.80.7
95% Bonferroni Confidence Intervals for StDevs
Ttk
Tk
282726252423
Data
Test Statistic 0.69
P-Value 0.081
Test Statistic 2.72
P-Value 0.101
F-Test
Levene's Test
Test for Equal Variances for Tk; Ttk
Gambar 14. Keragaman Temperatur Bulanan di DAS Tono Tahun 2000-2014
Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim terhadap
Kejadian Banjir dan Kekeringan di DAS Tono
Analisis logit menunjukkan secara bersama-sama curah hujan bulanan,
pertanian lahan kering campur, hutan, dan sawah berpengaruh terhadap banjir di
DAS Tono (uji G, α=0,01). Secara parsial, peningkatan curah hujan sebesar 50
mm per bulan (250 mm menjadi 300 mm) akan meningkatkan peluang banjir
menjadi 2,24. Peningkatan luas pertanian lahan kering campur seluas 550 ha
(28.000 ha menjadi 28.550 ha) akan meningkatkan peluang terjadinya banjir
menjadi 1,25. Sebaliknya penurunan luas hutan sebesar 5 ha (675 ha menjadi 670
ha) menyebabkan peningkatan peluang terjadinya banjir menjadi 3,42. Bronstert
(2003) menyatakan perubahan penggunaan lahan karena aktivitas manusia, dan
akumulasinya dengan peningkatan curah hujan bulanan menyebabkan terjadinya
banjir (Roy et al 2001).
Adapun peningkatan luas sawah sebesar 20 ha (1.300 ha menjadi 1.320 ha)
akan menurunkan peluang banjir menjadi 0,75. Peluang banjir berkurang karena
adanya peningkatan luas sawah karena sebagian aliran air dalam sungai telah
dialirkan melalui saluran air menuju sawah. Suryani dan Fahmuddin (2005)
menyatakan total air yang masuk ke sungai merupakan selisih dari (aliran
permukaan, aliran bawah tanah, peresapan melalui tanah ke sungai) dengan (aliran
yang hilang menuju kolam dan sawah, hilang melalui peresapan dalam tanah).
Hasil analisis logit, selengkapnya ditampilkan pada Tabel 16.
51
Tabel 16. Hasil Analisis Logit Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan dan
Perubahan Iklim terhadap Peluang Banjir di DAS Tono
Variabel Koefisien Odd Ratio
Konstanta 170,6530
Curah Hujan (mm) 0,0161***)
1,02
Hutan (ha) -0,2457**)
0,78
Pertanian Lahan Kering Campur (ha) 0,0004**)
1,00
Sawah (ha) -0,0141**)
0,99
G-test banjir: 98,44***)
Catatan: *)
:nyata α = 0,10 **)
: nyata α = 0,05 ***)
: nyata α = 0,01
Peningkatan curah hujan bulanan meningkatkan luas banjir. Hubungan
curah hujan bulanan dengan luas banjir di DAS Tono ditampilkan Gambar 15.
Banjir di DAS Tono dikategorikan menjadi banjir kecil (660 ha), sedang (1.545
ha), dan besar (2.115 ha). Umumnya (65-70%) banjir terjadi pada lahan pertanian
dan selebihnya terjadi pada lahan terbuka, pemukiman, dan semak belukar. Banjir
umumnya terjadi pada bulan Januari-Maret, dan terjadi pada bagian tengah dan
hilir DAS Tono. Lokasi banjir secara spatial ditampilkan Gambar 16.
Gambar 15. Hubungan Curah Hujan Bulanan dengan Luas Banjir di DAS Tono
Kekeringan di DAS Tono umumnya terjadi pada bulan April-November,
dan terjadi pada sebagian besar wilayah DAS Tono. Hasil analisis peluang
kekeringan ditampilkan pada Tabel 17. Hasil analisis menunjukkan kekeringan
dipengaruhi oleh penurunan curah hujan bulanan, peningkatan temperatur
bulanan, dan peningkatan luas pertanian lahan kering campur (Uji G, α=0,01).
Secara parsial, peningkatan temperatur sebesar 1,5oC (26,5
oC menjadi 28
oC) akan
meningkatkan peluang kekeringan menjadi 7,42; sedangkan penurunan curah
hujan 20 mm (50 mm menjadi 30 mm) akan meningkatkan peluang kekeringan
menjadi 1,39. Adapun peningkatan luas pertanian lahan kering campur sebesar
1.100 ha akan meningkatkan peluang kekeringan menjadi 1,15.
y = 0.1156x + 136.65
0
100
200
300
400
500
600
0 500 1000 1500 2000 2500
CH
Bu
lan
an
(m
m)
Luas Banjir (ha)
52
Gambar 16. Lokasi Banjir di DAS Tono
52
53
Tabel 17. Hasil Analisis Logit Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan dan
Perubahan Iklim terhadap Peluang Kekeringan di DAS Tono
Variabel Koefisien Odd Ratio
Konstanta -35,8485
Curah Hujan (mm) -0,0164***)
0,98
Temperatur (oC) 1,3408
***) 1,00
Pertanian Lahan Kering Campur (ha) 0,000125*)
3,81
G-test kekeringan: 72,34***)
Catatan: *)
:nyata α = 0,10 **)
: nyata α = 0,05 ***)
: nyata α = 0,01
Pertanian lahan kering campur merupakan variabel penggunaan lahan
yang menyebabkan banjir dan kekeringan di DAS Tono. Pertanian lahan kering
dan pertanian lahan kering campur merupakan konversi dari lahan semak belukar
yang memiliki tutupan lahan yang lebih berfungsi konservasi dan limpasan air
yang lebih rendah karena banyaknya tajuk. Wibowo (2005) menyatakan koefisien
limpasan air untuk pertanian lahan kering mencapai 0,26 sedangkan koefisien
limpasan untuk lahan perkebunan (karakteristik serupa dengan semak belukar di
DAS Tono) hanya mencapai 0,05. Dampaknya menyebabkan terjadinya banjir dan
kekeringan di DAS Tono. Ilustrasi perubahan penggunaan lahan semak belukar
menjadi pertanian lahan kering campur ditampilkan pada (Gambar 17).
Gambar 17. Perubahan Lahan Semak Belukar Menjadi Pertanian Lahan Kering
Campur di DAS Tono Tahun 2000-2014
Banjir dan kekeringan di DAS Tono menyebabkan rumah penduduk
terendam, sebagian ternak hanyut terbawa banjir, penurunan produksi pertanian,
hingga terdapat penduduk yang meninggal karena hanyut terbawa banjir. Scwab
(1981) menyatakan dampak banjir dapat diklasifikasikan menjadi: (i) dampak
langsung terhadap property, lahan dan tanaman pertanian, penurunan hasil
pertanian; (ii) dampak tidak langsung seperti penyusutan nilai property,
penundaan penerbangan, penurunan pendapatan; (iii) kerugian tidak berwujud
seperti: kenyamanan untuk menetap, kesehatan, dan penurunan kualitas
kehidupan.
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
Ha
Tahun
PLKCC
Sbelukar
54
Pemerintah Indonesia dan Timor Leste telah melakukan upaya
pengendalian konversi lahan konservasi menjadi lahan budidaya secara teknis.
Pemangku kepentingan pada sektor terkait menggalakkan diusahakannya kebun
menetap untuk mengurangi usahatani tebas-bakar. Upaya ini dilakukan secara
parsial pada masing-masing negara dan kurang terkoordinasi antar sektor. Upaya
lain dilakukan dengan cara pembangunan tanggul, bronjong, pengalihan aliran air,
dan pembangunan sawah baru.
Peningkatan luas sawah di DAS Tono menurunkan terjadinya banjir
karena merupakan konversi dari lahan terbuka (Gambar 18), dan konversi dari
pertanian lahan kering (r=0,56). Pembangunan sawah baru biasanya diawali
dengan pembangunan bendungan dan saluran air sehingga mengurangi aliran di
badan sungai dan konsekuensinya mengurangi banjir. Suryani et al (2005)
menyatakan total air yang mengalir ke sungai merupakan selisih antara aliran
permukaan dengan air yang dialirkan menuju kolam dan/atau sawah. Snelder
(2008) mempertegas dengan menyatakan kebijakan yang meningkatkan
kombinasi fungsi hidrologi dengan pertanian, alam, rekreasi dan pemukiman lebih
efektif mengurangi peluang banjir dibanding melakukan pengendalian banjir
secara parsial.
Gambar 18. Perubahan Lahan Terbuka Menjadi Sawah di DAS Tono Tahun 2000-
2014
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah pengelolaan DAS wilayah
perbatasan negara secara bilateral dengan membentuk badan pengelola DAS
wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Penelitian Wondwosen (2008)
mengenai kerjasama pengelolaan DAS Nil dijadikan rujukan, dan Mumme (2010)
yang menyatakan bahwa pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara disesuaikan
dengan tahapan pembangunan, kondisi masyarakat, dan kondisi lingkungan
(environment). Kelembagaan ini mengkoordinir pengelolaan DAS oleh
masyarakat, masing-masing sektor dan masing-masing negara. Kelembagaan
pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara akan lebih komprehensif, bila
diketahui dampak banjir dan kekeringan terhadap produksi dan pendapatan petani
di DAS Tono. Mengingat penduduk di DAS Tono umumnya bekerja pada sektor
pertanian.
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
200
0
200
1
200
2
200
3
200
4
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
201
3
201
4
Ha
Tahun
Lahan Terbuka
Sawah
55
Dampak Banjir, Kekeringan dan Faktor Produksi terhadap Produksi
dan Efisiensi Usahatani di DAS Tono
Dampak banjir dan kekeringan di DAS Tono umumnya terjadi terhadap
lahan pertanian, karena 55% wilayah DAS Tono terdiri atas lahan pertanian.
Banjir terjadi pada bagian tengah dan hilir DAS Tono, sedangkan kekeringan
terjadi pada keseluruhan DAS Tono. Banjir terjadi karena koordinasi yang lemah
antar kelembagaan masyarakat, kelembagaan unilateral dan belum efektifnya
kerjasama pengelolaan DAS secara bilateral. Akibatnya terjadinya peningkatan
luas pertanian lahan kering (campur), sehingga aliran permukaan semakin tinggi
pada musim hujan. Dampaknya terjadi penurunan hasil pertanian di hulu karena
erosi, dan di hilir karena banjir. Reilly et al (1999) menyatakan perubahan iklim
menyebabkan kerentanan di bidang pertanian, yang direpresentasikan oleh
produksi, keuntungan usahatani, dan perekonomian wilayah.
Produksi Usahatani di DAS Tono
Usahatani di DAS Tono dikategorikan menjadi usahatani lahan basah dan
usahatani lahan kering. Usahatani lahan basah dilakukan dengan pola tanam
monokultur, secara spasial umumnya di bagian hilir DAS Tono, dan sebagian
kecil di bagian tengah dan hulu DAS Tono. Usahatani lahan kering dilakukan
dengan pola tanam tumpangsari dengan sistem tebas bakar. Secara spasial
usahatani lahan kering berada di bagian hulu, tengah, dan hilir DAS Tono.
Tanaman yang umumnya dibudidayakan adalah padi, jagung, kacang tanah, dan
tanaman lain. Kombinasi pola tanam tumpangsari pada usahatani lahan kering
sebagai berikut berikut: (i) padi, jagung, kacang tanah, (ii) padi, jagung, ubi kayu,
kacang tanah, (iii) padi, jagung, kacang tanah, kacang hijau, (iv) padi, jagung, ubi
kayu, kacang tanah, kacang hijau.
Produksi pertanian diperoleh dari kombinasi input pertanian yang dapat
dikendalikan petani dan input yang tidak dapat dikendalikan petani. Input yang
tidak dapat dikendalikan petani berhubungan curah hujan bulanan dan temperatur
bulanan, yang menentukan ketersediaan air pada usahatani lahan basah dan lahan
kering. Perubahan curah hujan dan temperatur bulanan menyebabkan usahatani di
DAS Tono mengalami banjir/kelebihan air, kekurangan air/kekeringan, normal
(tidak banjir dan tidak kering).
Input yang dikendalikan petani adalah: luas lahan, benih, peralatan, pupuk,
tenaga kerja dan pola tanam. Usahatani lahan basah menggunakan seluruh input
dimaksud, sedangkan usahatani lahan kering tidak menggunakan pupuk. Secara
matematis fungsi produksi dapat dirumuskan sebagai berikut:
Y=f(X1,X2,...Xn) ............................(7)
Analisis regresi multivariat menunjukkan kekeringan pada usahatani
tumpangsari menyebabkan penurunan produksi padi dan jagung, sedangkan
analisis regresi berganda menunjukkan banjir dan kekeringan mengakibatkan
penurunan produksi padi pada usahatani monokultur. Penggunaan air optimum
meningkatkan produksi padi sehingga irigasi sangat penting dilakukan (Morid et
al. 2004). Dampak banjir, kekeringan dan faktor produksi lain pada pertanian
tumpangsari dan monokultur ditampilkan pada Tabel 18.
56
Table 18. Hasil Analisis Regresi Multivariat untuk Produksi Pertanian
Tumpangsari dan Regresi Berganda untuk Produksi Pertanian Monokultur
di DAS Tono
Input Tumpangsari
Input Padi Sawah Padi Jagung K.Tanah
Konstanta 5,63 2,87 4,95 Konstanta 3,44
Luas lahan 0,11 0,35***)
-0,01 Benih 0,34*)
T. Kerja 0,19 0,30***)
0,13 Pupuk 0,39***)
Dpt 0,18 0,32***)
0,26*) T.Kerja 0,31*)
Db 0,02 -0,22 -0,10 Db -0,78**)
Dk -0,59***)
-0,60***)
-0,22 Dk -0,80***)
R2 36,16 60,11 17,92 R
2 67,10
Note: *)
: Nyata α = 0,10 **)
: Nyata α = 0,05 ***)
: Nyata a α = 0,01
Produksi usahatani monokultur yang mengalami banjir berbeda -0,78
persen dibanding usahatani yang tidak mengalami banjir. Produksi usahatani
monokultur juga rentan terhadap kekeringan, yakni berbeda -0,80 persen dari
usahatani yang tidak mengalami kekeringan. Adapun usahatani tumpangsari
rentan terhadap kekeringan, ditunjukkan dengan perbedaan produksi sebesar -0,59
persen untuk tanaman padi (dibanding usahatani yang tidak mengalami
kekeringan), dan -0,60 untuk tanaman jagung (dibanding usahatani yang tidak
mengalami kekeringan). Setiap kombinasi penambahan input yang digunakan
petani akan menghasilkan produksi pertanian yang dikategorikan menjadi: (i)
increasing return to scale, (ii) constan return to scale, (iii) decreasing return to
scale. Secara kurva dapat ditampilkan pada Gambar 19.
Y
0 X
AP,MP
CRS
IRS DRS
0 X* X
Gambar 19. Ilustrasi Kurvas TP, AP dan MP
AP
MP
TP
57
Input yang berada pada daerah I (rasional tetapi tidak efisien) adalah
benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja. Penambahan input-input ini pada usahatani
di DAS Tono akan meningkatkan total produksi (TP) dan penambahan produksi
(MP) lebih tinggi dibanding rata-rata produksi (AP). Daerah I merupakan daerah
IRS (increasing return to scale) sehingga petani akan meningkatkan penggunaan
input untuk meningkatkan produksi.
Adapun input yang berada pada daerah II tidak ada di wilayah penelitian.
CRS (constan return to scale) merupakan daerah yang efisien dan rasional.
Tambahan input akan meningkatkan produksi (TP), dan penambahan produksi
(MP) sama dengan rata-rata produksi (AP). Input yang berada pada daerah III
adalah banjir dan kekeringan karena peningkatkan peluang banjir dan kekeringan
akan menurunkan total produksi (TP) dan penambahan produksi (MP) lebih
rendah dari rata-rata produksi (AP). Akibatnya terjadi loss economic sehingga
implikasinya dibutuhkan penggunaan teknologi yang tepat pada usahatani dan
kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara.
Pendapatan Usahatani
Usahatani umumnya ditujukan untuk memperoleh produksi pertanian yang
optimum. Pemberian harga (Pi) terhadap produksi pertanian (Yi) yang diperolah
(dipasarkan maupun tidak dipasarkan) merupakan sumber penerimaan petani.
Secara matematik diformusaikan sebagai berikut.
TR=∑YiPi ................................ (8)
Biaya input pertanian, secara matematis dirumuskan sebagai berikut:
TC=∑XiPi ................................ (9)
Selisih penerimaan usahatani dengan biaya merupakan pendapatan usahatani.
Secara matematis dirumuskan sebagai berikut:
I=TR–TC ................................ (10)
Keterangan:
I : income (pendapatan) TR: total revenue (total penerimaan)
TC: total cost (total biaya) Xi: input ke-i Pi: harga input ke-i
Hasil analisis menunjukan pendapatan usahatani lahan basah di DAS Tono
(Rp 2.051.000,- per bulan) lebih tinggi dibanding usahatani lahan kering (Rp
1.535.00,- per bulan). Namun, luas lahan sawah terbatas (yakni: 1.300 ha di
Timor-Leste dan 95 ha di Indonesia), sedangkan pertanian lahan kering seluas
28.045 ha (meliputi: 6.231 ha di Indonesia dan 21.814 ha). Data pendapatan
usahatani lahan kering dan lahan basah di DAS Tono ditampilkan pada Tabel 19.
Tabel 19. Rataan Pendapatan Bulanan Usahatani Lahan Kering dan Lahan Basah
di DAS Tono
Uraian Usahatani Monokultur
(Rp)
Usahatani Tumpangsari
(Rp)
Total Penerimaan 2.277.000,00 1.652.000,00
Total Biaya 226.000,00 117.000,00
Total Pendapatan 2.051.000,00 1.535.000,00
58
Elastisitas Pendapatan Usahatani
Analisis elastisitas pendapatan bermanfaat untuk mengetahui pengaruh
setiap input secara ekonomi terhadap pendapatan usahatani di DAS Tono. Analisis
elastisitas pendapatan usahatani lahan basah dan usahatani lahan kering dilakukan
secara terpisah. Analisis didahului dengan pengujian asumsi BLUE (best linear
unbiased estimator). Hasilnya terdapat multikolinearitas antara biaya pupuk dan
biaya benih. Biaya pupuk merupakan biaya yang dikeluarkan petani, sedangkan
benih umumnya diperoleh dari benih pada musim panen tahun sebelumnya
sehingga variabel yang digunakan adalah biaya pupuk. Hasil analisis ditampilkan
pada Tabel 20.
Tabel 20. Hasil Analisis Dampak Banjir, Kekeringan dan Faktor Produksi Lain
terhadap Pendapatan Usahatani di DAS Tono
Usahatani Lahan Kering Koefisien Usahatani Lahan Basah Koefisien
Konstanta 5,563 Konstanta -1,540
Sewa Lahan -0,018 Biaya Benih 0,265
Biaya Benih 0,626***)
Biaya Pupuk 0,545***)
Biaya Tenaga Kerja 0,262*)
Biaya Tenaga Kerja 0,598**)
Pola Tanam 0,267***)
Sewa Traktor 0,030
Kelebihan Air/Banjir -0,088 Kelebihan Air/Banjir -0,722*)
Kekurangan Air/Kering -0,400***)
Kekurangan Air/Kering -0,835***)
Dnegara 5,723*)
Dnegara 16,29
Dnegara*biaya benih -0,124 Dnegara*biaya pupuk 0,163
Dnegara*biaya tenaga kerja -0,311
*) Dnegara*biaya tenaga kerja -1,508
Uji F=12,61***)
Uji F=12,42***
R2 adjusted =52,60% R
2 adjusted=67,7%
Keterangan:***)
:nyata α=0,01, **)
:nyata α=0,05, *)
:nyata α=0,10
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai F nyata pada taraf nyata α=0,01
yang berarti secara bersama-sama peubah-peubah bebas berpengaruh nyata
terhadap pendapatan usahatani lahan basah dan usahatani kering. Peubah-peubah
bebas pada usahatani lahan basah dapat menjelaskan 67,7% pendapatan usahatani,
dibanding peubah-peubah bebas pada usahatani lahan kering (52,60%). Namun,
uji F (α=0,01) menunjukkan usahatani lahan basah maupun usahatani lahan kering
dipengaruhi peubah-peubah bebas yang dimasukkan di dalam model.
Secara parsial, banjir (α=0,10) dan kekeringan (α=0,01) mengakibatkan
penurunan pendapatan usahatani monokultur, sedangkan kekeringan (α=0,01)
berperan mengurangi pendapatan usahatani lahan kering. Pendapatan usahatani
monokultur yang mengalami banjir, berbeda -0,72% dibanding usahatani yang
tidak mengalami banjir. Pendapatan usahatani monokultur juga rentan terhadap
kekeringan, yang berbeda -0,84% dari usahatani yang tidak mengalami
kekeringan. Adapun usahatani tumpangsari rentan terhadap kekeringan,
ditunjukkan dengan perbedaan sebesar -0,40% dibanding usahatani yang tidak
mengalami kekeringan.
Peningkatan penggunaan tenaga kerja meningkatkan pendapatan usahatani
lahan basah sebesar 0,26% untuk pertanian lahan kering (α=0,10), dan sebesar
0,60% untuk pertanian lahan basah (α=0,05). Biaya pupuk meningkatkan
pendapatan usahatani lahan basah (α=0,01), yang berarti pemberian pupuk dapat
ditingkatkan untuk meningkatkan pendapatan usahatani lahan basah sebesar
0,55% di DAS Tono, sedangkan biaya benih meningkatkan pendapatan usahatani
lahan kering sebesar 0,63% (α=0,01).
59
Budidaya usahatani lahan kering dengan pola tanam tumpangsari.
Tumpangsari tanaman yang kurang dari dan/atau lebih dari 3 tanaman pangan
akan menurunkan pendapatan, karena kemampuan kondisi biofisik lahan yang
terbatas. Secara administrasi kewilayahan, usahatani tanaman pangan lahan kering
di Indonesia umumnya lebih baik dibanding Timor Leste. Nilai uji t menunjukkan
terdapat perbedaan yang nyata pada taraf nyata α=0,05. Usahatani lahan kering di
Indonesia seluruhnya berada pada bagian hulu DAS, dibanding Timor Leste yang
tersebar pada bagian hulu, tengah, dan hilir yang tentunya memiliki kondisi
biofisik yang berbeda.
Efisiensi Ekonomi Usahatani
Hasil analisis frontier menunjukkan rata-rata nilai efisiensi ekonomi
usahatani tumpangsari di DAS Tono adalah 0,30 (kisaran 0,10-0,81), dan
usahatani monokultur adalah 0,36 (kisaran 0,23-0,67). Ini berarti usahatani
tumpangsari dan usahatani monokultur di DAS Tono belum efisien. Coelli et al
(1996) menyatakan nilai efisiensi ekonomi berkisar antara 0-1, dan usahatani akan
efisien bila nilai efisiensi ekonomi ≥ 0,8. Nilai efisiensi ekonomi rendah karena
pengaruh dari banjir dan kekeringan. Peningkatan temperatur meningkatkan
penggunaan air, dan mengurangi pertumbuhan dan produksi pertanian (Droogers
et al. 2004); Warren et al (2006) menyatakan sektor pertanian sangat bergantung
pada iklim, setiap peningkatan 3°C temperature mengakibatkan 600 juta orang
mengalami resiko kekurangan pangan, terutama negara-negara berkembang. Klein
et al (2004) menyatakan peningkatan peningkatan frekuensi dan level banjir
menyebabkan penurunan produksi dan nilai produksi pertanian.
Rendahnya efisiensi usahatani lahan basah dan lahan kering di DAS Tono
menimbulkan kerentanan pangan dan ekonomi sehingga mengancam pencapaian
tujuan pembangunan berkelanjutan di wilayah perbatasan. Perubahan iklim dan
perubahan penggunaan lahan menjadi penghambat untuk mempertahankan
dan/atau meningkatkan produksi, juga membatasi kemampuan untuk memperoleh
keuntungan usahatani pada skala ekonomis. Rendahnya efisiensi ekonomi
usahatani karena belum adanya kelembagaan pengelolaan DAS lintas negara
Indonesia dan Timor Leste. North (1990) menyatakan kelembagaan yang baik
akan membantu pengalokasian sumberdaya secara tepat sehingga perekonomian
menjadi lebih efisien, sebaliknya kelembagaan yang kurang baik menghalangi
tercapainya efisiensi ekonomi.
Adaptasi terhadap penurunan produksi akibat, banjir dan kekeringan dapat
dilakukan dengan penggunaan pupuk pada pertanian tumpangsari, dan
peningkatan pupuk pada usahatani monokultur (α=0,01). Rendahnya produksi dan
efisiensi usahatani berkorelasi dengan teknologi pertanian dan akses terhadap
pasar (Scheider et al. 2011). Efisiensi ekonomi dapat ditingkatkan dengan
penggunaan teknologi (Trewavas, 2001). Teknologi (selain pupuk) yang dapat
digunakan adalah pembuatan teras-sering, dan pola taman tumpangsari dengan
kombinasi tanaman pangan dan tanaman umur panjang. Pola ini telah dilakukan di
Indonesia, sedangkan Timor Leste belum menerapkannya (α=0,10). Minh (2009)
menyatakan full economic efficiency dapat mengurangi biaya produksi hingga 46
persen. Pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara dapat mengatasi persoalan
banjir dan dampak turunannya (Wondwosen 2008), dan adaptasi untuk
mewujudkan ekosistem dan pembangunan berkelanjutan sebagaimana dinyatakan
oleh McEvoy et al (2008).
60
Simulasi Perubahan Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim terhadap
Peluang Banjir dan Kekeringan, dan Dampaknya terhadap Produksi dan
Pendapatan Usahatani di DAS Tono
Perubahan penggunaan lahan akan terus-menerus terjadi disertai dengan
perubahan curah hujan dan temperatur. Akibatnya meningkatkan peluang
terjadinya banjir dan kekeringan di DAS Tono, sehingga berdampak terhadap
penurunan hasil pertanian. Simulasi peluang banjir dan kekeringan, dan
dampaknya terhadap hasil usahatani tumpangsari dan monokultur.
Simulasi Peluang Banjir di DAS Tono
Banjir di DAS Tono disebabkan oleh peningkatan curah hujan bulanan,
peningkatan luas pertanian lahan kering campur, penurunan luas hutan dan luas
lahan sawah. Simulasi peluang banjir didasarkan pada persamaan berikut:
Peluangbanjir .....(11)
Simulasi peluang banjir dilakukan dengan 5 skenario sebagaimana ditampilkan
Tabel 21.
Tabel 21. Ringkasan Simulasi Banjir di DAS Tono
Simulasi CH PLKCC Sawah Hutan Peluang Banjir
I Tetap Meningkat Tetap Tetap Meningkat
II Meningkat Meningkat Tetap Tetap Meningkat
III Meningkat Meningkat Meningkat Tetap Menurun
IV Meningkat Meningkat Meningkat Turun Meningkat
V Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Menurun
Simulasi ke-1, menunjukkan apabila luas pertanian lahan kering campur
meningkat, dan variabel lain tetap akan menyebabkan peluang banjir meningkat
(Tabel 22). Asumsi peningkatan luas pertanian lahan kering campur seluas 550
ha/tahun sesuai laju peningkatan sejak tahun 2000 hingga 2014. Peubah yang
diasumsikan konstan adalah hutan (675 ha), sawah (1.300 ha), dan curah hujan
bulanan 250 mm. Hasil simulasi menunjukkan peluang banjir 0,85 pada saat ini
(dalam 10 tahun terjadi banjir 8 kali), dan terus mengalami peningkatan hingga
mencapai 0,98 pada 10 tahun mendatang (selalu terjadi banjir tiap tahun), saat
luas pertanian lahan kering campur mencapai 33.500 ha. Total lahan yang tersedia
untuk dikonversi adalah semak belukar 13.651 ha (1.352 ha berada di Indonesia
dan hulu DAS Tono) dan lahan terbuka 1.095 ha (15 ha berada di Indonesia dan
hulu DAS Tono). Hasil simulasi ditampilkan pada Tabel 22.
Tabel 22. Simulasi Perubahan Pertanian Lahan Kering Campur Saat Faktor Lain
Konstan Terhadap Peluang Banjir di DAS Tono
CH (mm) 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250 250
Hutan
(000ha) 0,675 0,675 0,675 0,675 0,675 0,675 0,675 0,675 0,675 0,675 0,675
Sawah
(000ha) 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3 1,3
PLKCC
(000ha) 28 28,55 29,1 29,65 30,2 30,75 31,3 31,85 32,4 32,95 33,5
Peluang
Banjir 0,85 0,87 0,89 0,91 0,93 0,94 0,95 0,96 0,97 0,98 0,98
61
Simulasi ke-2 dengan asumsi luas pertanian lahan kering campur dan
curah hujan bulanan mengalami peningkatan; sedangkan variabel lain (hutan dan
sawah) konstan. Peningkatan curah hujan bulanan dan luas pertanian lahan kering
campur secara bersama-sama akan meningkatkan peluang banjir hingga 0,98 (tiap
tahun terjadi banjir). Kondisi ini hanya terjadi pada 2 tahun ke depan, saat curah
hujan bulanan mencapai 350 mm/bulan dan luas pertanian lahan kering campur
bertambah 1.100 ha (28.000 ha menjadi 29.100 ha). Banjir akan semakin luas bila
curah hujan mengalami peningkatan hingga 450 mm/bulan (atau lebih) dan/atau
luas pertanian lahan kering campur meningkat hingga 33.500 ha. Banjir akan
semakin meningkat bila terjadi fenomena la nina karena curah hujan akan
mengalami peningkatan dalam durasi yang lebih lama (yakni 3 bulan menjadi 7
bulan) dengan intensitas yang lebih tinggi. Hasil simulasi ditunjukkan Tabel 23.
Tabel 23. Simulasi Perubahan Perubahan Curah Hujan Bulanan dan Pertanian
Lahan Kering Campur terhadap Peluang Banjir di DAS Tono
Luas PLKCC (000 ha)
28 28,55 29,1 29,65 30,2 30,75 31.3 31,85 32,4 32,95 33,5
Hu
jan
(m
m)
0 0,09 0,11 0,13 0,16 0,19 0,23 0,27 0,31 0,36 0,41 0,47
50 0,18 0,21 0,25 0,30 0,34 0,40 0,45 0,50 0,56 0,61 0,66
100 0,33 0,38 0,43 0,49 0,54 0,59 0,65 0,69 0,74 0,78 0,81
150 0,52 0,58 0,63 0,68 0,72 0,77 0,80 0,84 0,86 0,89 0,91
200 0,71 0,75 0,79 0,83 0,85 0,88 0,90 0,92 0,93 0,95 0,96
250 0,85 0,87 0,89 0,91 0,93 0,94 0,95 0,96 0,97 0,98 0,98
300 0,92 0,94 0,95 0,96 0,97 0,97 0,98 0,98 0,99 0,99 0,99
350 0,96 0,97 0,98 0,98 0,99 0,99 0,99 0,99 0,99 0,99 1,00
400 0,98 0,99 0,99 0,99 0,99 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
450 0,99 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
500 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
550 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
600 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
Simulasi ke-3 dengan asumsi adanya peningkatan curah hujan bulanan,
dan peningkatan luas pertanian lahan kering campur dan luas sawah (Hasil
simulasi ditampilkan Tabel 24). Peningkatan luas pertanian lahan kering campur
dan curah hujan bulanan sebagaimana diuraikan pada simulasi ke-2. Adapun
peningkatan luas sawah karena adanya rencana pembangunan sawah baru oleh
pemerintah Indonesia seluas 100 ha dan pemerintah Timor Leste seluas 300 ha.
Hasil simulasi pada Tabel 24 menunjukkan banjir akan terjadi 8 kali dalam 10
tahun bila curah hujan mencapai 450 mm dan luas pertanian lahan kering campur
33.500 mm. Implikasinya dibutuhkan penambahan luas sawah untuk mengurangi
terjadi banjir, tentunya dibarengi dengan pembangunan embung-embung,
bendungan dan saluran air.
Kondisi sebaliknya terjadi (peluang dan luas banjir mengalami
peningkatan) bila saat bersamaan luas hutan mengalami penurunan sebagaimana
simulasi ke-4 (tidak ada variabel dalam model yang ceteris paribus). Hasil
simulasi menunjukkan peluang banjir akan mencapai 0,99 (banjir terjadi tiap
tahun) dalam 10 tahun ke depan. Kondisi ini terjadi saat hutan mengalami
62
penurunan luas 25 ha (675 ha menjadi 650 ha), curah hujan bulanan 250 mm dan
luas sawah 1.700 ha. Penurunan luas hutan di DAS Tono dapat terjadi karena
adanya kebakaran hutan dan pembabatan hutan untuk perluasan pertanian lahan
kering campur. Ini terjadi karena koefisien limpasan air untuk penggunaan lahan
hutan kecil sekali yakni 0,01 dan bila terjadi kebakaran akan menjadi lahan
terbuka yang memiliki koefisien limpasan mencapai 0,70. Hasil simulasi
ditampilkan Tabel 25.
Tabel 24. Simulasi Perubahan Curah Hujan Bulanan dan Perubahan Penggunaan
Lahan (Pertanian Lahan Kering Campur dan Sawah) terhadap Peluang Banjir
di DAS Tono PLKCC
(000ha) 28 28,55 29,1 29,65 30,2 30,75 31,3 31,85 32,4 32,95 33,5
Sawah
(000ha) 1,30 1,34 1,38 1,42 1,46 1,50 1,54 1,58 1,62 1,66 1,70
Hu
jan
(m
m)
0 0,09 0,06 0,05 0,03 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,00 0,00
50 0,18 0,13 0,10 0,07 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0,01 0,01
100 0,33 0,26 0,20 0,15 0,11 0,08 0,06 0,04 0,03 0,02 0,02
150 0,52 0,44 0,35 0,28 0,22 0,16 0,12 0,09 0,07 0,05 0,03
200 0,71 0,63 0,55 0,47 0,38 0,30 0,24 0,18 0,13 0,10 0,07
250 0,85 0,79 0,73 0,66 0,58 0,49 0,41 0,33 0,26 0,20 0,15
300 0,92 0,90 0,86 0,81 0,76 0,69 0,61 0,52 0,44 0,36 0,28
350 0,96 0,95 0,93 0,91 0,87 0,83 0,78 0,71 0,64 0,55 0,47
400 0,98 0,98 0,97 0,96 0,94 0,92 0,89 0,85 0,80 0,73 0,66
450 0,99 0,99 0,99 0,98 0,97 0,96 0,95 0,92 0,90 0,86 0,81
500 1,00 1,00 0,99 0,99 0,99 0,98 0,97 0,96 0,95 0,93 0,91
550 1,00 1,00 1,00 1,00 0,99 0,99 0,99 0,98 0,98 0,97 0,96
600 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 0,99 0,99 0,99 0,99 0,98
Simulasi ke-5 dengan asumsi terjadi peningkatkan luas hutan karena
adanya upaya rehabilitasi lahan hutan dan aktivitas pertanian dengan sistem
agroforestry. Peningkatan luas hutan seluas 5 ha/tahun akan mengurangi banjir,
meskipun peubah lain juga mengalami peningkatan (curah hujan bulanan,
pertanian lahan kering campur, sawah). Banjir akan terjadi 8 kali dalam 10 tahun
saat curah hujan bulanan mencapai 450 mm (bukan 250 mm per bulan seperti saat
ini). Implikasinya bila luas hutan ditingkatkan dan/atau pertanian dikembangkan
dengan sistem agroforestry akan mengurangi banjir dalam jangka panjang. Lahan
yang dapat digunakan untuk meningkatkan luas hutan dan agroforestry di
Indonesia seluas 1.352 ha (hulu DAS Tono) di wilayah Indonesia (sesuai pola
ruang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten TTU). Peningkatan luas hutan
mengurangi peluang banjir, karena koefisien limpasan air untuk penggunaan lahan
hutan kecil sekali yakni 0,01 dan bila terjadi kebakaran akan menjadi lahan
terbuka yang memiliki koefisien limpasan mencapai 0,70. Hasil simulasi
ditampilkan Tabel 26.
63
Tabel 25. Simulasi Perubahan Curah Hujan Bulanan dan Perubahan Penggunaan
Lahan (Pertanian Lahan Kering Campur, Sawah, Hutan Berkurang) terhadap
Peluang Banjir di DAS Tono
Luas Penggunaan Lahan (000 ha)
PLKCC 28 28,55 29,1 29,65 30,2 30,75 31,3 31,85 32,4 32,95 33,5
Sawah 13,0 13,4 13,8 14,2 14,6 15,0 15,4 15,8 16,2 16,6 17,0
Hutan 0,675 0,6725 0,67 0,6675 0,665 0,6625 0,66 0,6575 0,655 0,6525 0,65
Hu
jan
(m
m)
0 0,09 0,11 0,14 0,18 0,22 0,27 0,33 0,39 0,46 0,53 0,59
50 0,18 0,22 0,27 0,33 0,39 0,46 0,52 0,59 0,65 0,71 0,76
100 0,33 0,39 0,46 0,52 0,59 0,65 0,71 0,76 0,81 0,85 0,88
150 0,52 0,59 0,65 0,71 0,76 0,81 0,85 0,88 0,90 0,93 0,94
200 0,71 0,76 0,81 0,85 0,88 0,90 0,93 0,94 0,95 0,97 0,97
250 0,85 0,88 0,90 0,92 0,94 0,95 0,97 0,97 0,98 0,98 0,99
300 0,92 0,94 0,95 0,96 0,97 0,98 0,98 0,99 0,99 0,99 0,99
350 0,96 0,97 0,98 0,98 0,99 0,99 0,99 0,99 1,00 1,00 1,00
400 0,98 0,99 0,99 0,99 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
450 0,99 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
500 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
550 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
600 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
Tabel 26. Simulasi Perubahan Curah Hujan Bulanan dan Perubahan Penggunaan
Lahan (Pertanian Lahan Kering Campur, Sawah, Hutan Meningkat) terhadap
Peluang Banjir di DAS Tono
Luas Penggunaan Lahan (000 ha)
PLKCC 28 28,55 29,1 29,65 30,2 30,75 31,3 31,85 32,4 32,95 33,5
Sawah 1,30 1,34 1,38 1,42 1,46 1,50 1,54 1,58 1,62 1,66 1,70
Hutan 0,675 0,680 0,685 0,690 0,695 0,700 0,705 0,710 0,715 0,720 0,725
Hu
jan
(m
m)
0 0,09 0,06 0,05 0,03 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,00 0,00
50 0,18 0,13 0,10 0,07 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0,01 0,01
100 0,33 0,26 0,20 0,15 0,11 0,08 0,06 0,04 0,03 0,02 0,02
150 0,52 0,44 0,35 0,28 0,22 0,16 0,12 0,09 0,07 0,05 0,03
200 0,71 0,63 0,55 0,47 0,38 0,30 0,24 0,18 0,13 0,10 0,07
250 0,85 0,79 0,73 0,66 0,58 0,49 0,41 0,33 0,26 0,20 0,15
300 0,92 0,90 0,86 0,81 0,76 0,69 0,61 0,52 0,44 0,36 0,28
350 0,96 0,95 0,93 0,91 0,87 0,83 0,78 0,71 0,64 0,55 0,47
400 0,98 0,98 0,97 0,96 0,94 0,92 0,89 0,85 0,80 0,73 0,66
450 0,99 0,99 0,99 0,98 0,97 0,96 0,95 0,92 0,90 0,86 0,81
500 1,00 1,00 0,99 0,99 0,99 0,98 0,97 0,96 0,95 0,93 0,91
550 1,00 1,00 1,00 1,00 0,99 0,99 0,99 0,98 0,98 0,97 0,96
600 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 0,99 0,99 0,99 0,99 0,98
Simulasi Peluang Kekeringan di DAS Tono
Simulasi peluang kekeringan didasarkan pada hasil analisis logit, yang
menunjukkan kekeringan di DAS Tono ditentukan oleh penurunan curah hujan
64
bulanan, peningkatan suhu dan luas pertanian lahan kering campur. Secara
matematis sebagai berikut:
Peluangkekeringan .....(12)
Simulasi peluang kekeringan dilakukan dengan 3 skenario sebagaimana
ditampilkan Tabel 27.
Tabel 27. Ringkasan Simulasi Kekeringan di DAS Tono
Simulasi CH Temperatur PLKCC Peluang Kekeringan
I Tetap Tetap Meningkat Meningkat
II Meningkat Tetap Meningkat Meningkat
III Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat
Simulasi ke-1, apabila terjadi peningkatan luas pertanian lahan kering
campur, dan peubah lain (curah hujan bulanan dan temperatur bulanan) tetap.
Pertanian lahan kering campur meningkat seluas 550 ha/tahun sesuai laju
perubahan pertanian lahan kering campur selama 15 tahun terakhir (2000 s.d.
2014). Peubah yang konstan, disesuaikan dengan rataan saat terjadi kekeringan.
Curah hujan bulanan 50 mm merupakan rata-rata curah hujan bulanan saat terjadi
kekeringan, dan temperatur 26oC merupakan temperatur saat terjadi kekeringan di
DAS Tono. Hasil simulasi pada Tabel 28, menunjukkan peluang kekeringan di
DAS Tono mencapai 0,85 (kekeringan terjadi 8 kali dalam 10 tahun). Peningkatan
luas pertanian lahan kering campur akan meningkatkan peluang kekeringan
hingga akan mencapai 0,92 (terjadi kekeringan 9 kali dalam 10 tahun). Kondisi ini
terjadi pada 10 tahun mendatang, ketika luas pertanian lahan kering campur
mencapai 33.500 ha. Total lahan di DAS Tono yang tersedia untuk dikonversi
adalah lahan semak belukar seluas 13.651 ha (1.352 ha secara administrasi berada
di Indonesia dan secara ekologi berada di hulu DAS Tono) dan lahan terbuka
seluas 1.095 ha (15 ha berada di Indonesia).
Tabel 28. Simulasi Perubahan Luas Pertanian Lahan Kering Campur Saat Faktor
Lain Konstan terhadap Peluang Kekeringan di DAS Tono
PLKCC(000ha) 28 28,55 29,1 29,65 30,2 30,75 31,3 31,85 32,4 32,95 33,5
CH(mm) 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50
T (oC) 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26 26
Peluangkering 0,85 0,86 0,87 0,87 0,88 0,89 0,89 0,90 0,91 0,91 0,92
Simulasi ke-2, bila terjadi peningkatan luas pertanian lahan kering campur
dan curah hujan mengalami perubahan secara bersama-sama, sedangkan
temperatur tetap. Peningkatan curah hujan bulanan dengan skala 0-100 mm
dengan temperatur dibuat tetap pada 26oC. Tabel 29 menunjukkan bila curah
hujan 10 mm per bulan akan menyebabkan peningkatan peluang kekeringan
menjadi 0,92 (9 kali dalam 10 tahun) dan sebaliknya ketika curah hujan
meningkat hingga mencapai 100 mm per bulan, peluang kekeringan mengalami
penurunan (8 kali dalam 10 tahun).
Simulasi ke-3, bila terjadi peningkatan luas pertanian lahan kering campur,
perubahan curah hujan bulanan dan temperatur terjadi secara bersama-sama. Hasil
simulasi pada Tabel 30 menunjukkan hasilnya relatif sama dengan menambahkan
peningkatan temperatur yang berkisar 22-32oC. Hasil simulasi pada Tabel 30,
65
menunjukkan penurunan temperatur hingga 24oC akan menurunkan peluang
kekeringan (terjadi 2 tahun sekali). Sebaliknya peningkatan temperatur hingga
28oC meningkatkan peluang kekeringan menjadi 0,98-1 untuk curah hujan
bulanan 0-100 dan luas pertanian lahan kering campur 31.300 ha. Kekeringan
akan semakin parah bila terjadi fenomena el nino karena curah hujan bulanan
akan mengalami penurunan (15-20% dari kondisi normal), sedangkan temperatur
mengalami peningkatan.
Tabel 29. Simulasi Perubahan Luas Pertanian Lahan Kering Campur dan Curah
Hujan Bulanan terhadap Peluang Kekeringan di DAS Tono
Luas PLKCC (000 ha)
28 28,55 29,1 29,65 30,2 30,75 31,3 31,85 32,4 32,95 33,5
Hu
jan
(m
m)
0 0,93 0,93 0,94 0,94 0,94 0,95 0,95 0,95 0,96 0,96 0,96
10 0,92 0,92 0,93 0,93 0,93 0,94 0,94 0,95 0,95 0,95 0,96
20 0,90 0,91 0,91 0,92 0,92 0,93 0,93 0,94 0,94 0,94 0,95
30 0,89 0,89 0,90 0,91 0,91 0,92 0,92 0,93 0,93 0,94 0,94
40 0,87 0,88 0,88 0,89 0,90 0,90 0,91 0,91 0,92 0,93 0,93
50 0,85 0,86 0,87 0,87 0,88 0,89 0,89 0,90 0,91 0,91 0,92
60 0,83 0,84 0,85 0,85 0,86 0,87 0,88 0,89 0,89 0,90 0,90
70 0,80 0,81 0,82 0,83 0,84 0,85 0,86 0,87 0,88 0,88 0,89
80 0,78 0,79 0,80 0,81 0,82 0,83 0,84 0,85 0,86 0,86 0,87
90 0,75 0,76 0,77 0,78 0,79 0,80 0,82 0,83 0,84 0,84 0,85
100 0,71 0,73 0,74 0,75 0,77 0,78 0,79 0,80 0,81 0,82 0,83
Tabel 30. Simulasi Perubahan Luas Pertanian Lahan Kering Campur Curah Hujan
Bulanan dan Temperatur terhadap Peluang Kekeringan di DAS Tono
Suhu (oC) 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
PLKCC(ha) 28 28,55 29,1 29,65 30,2 30,75 31,3 31,85 32,4 32,95 33,5
Hu
jan
(m
m)
0 0,06 0,20 0,50 0,80 0,94 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
10 0,05 0,17 0,46 0,78 0,93 0,98 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
20 0,04 0,15 0,42 0,75 0,92 0,98 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
30 0,04 0,13 0,38 0,72 0,91 0,98 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00
40 0,03 0,11 0,34 0,68 0,90 0,97 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00
50 0,03 0,10 0,31 0,64 0,88 0,97 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00
60 0,02 0,08 0,27 0,61 0,86 0,96 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00
70 0,02 0,07 0,24 0,57 0,84 0,96 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00
80 0,02 0,06 0,21 0,53 0,82 0,95 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00
90 0,01 0,05 0,19 0,49 0,79 0,94 0,98 1,00 1,00 1,00 1,00
100 0,01 0,05 0,16 0,44 0,77 0,93 0,98 1,00 1,00 1,00 1,00
Simulasi Dampak Banjir dan Kekeringan terhadap Produksi dan
Pendapatan Usahatani Lahan Kering
Peningkatan peluang banjir dan kekeringan di DAS Tono, lebih
berdampak terhadap hasil pertanian. Sebagian besar (55%) wilayah DAS Tono
66
terdiri atas lahan pertanian (pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur
dan sawah). Usahatani lahan kering dibudidayakan secara tumpangsari sehingga
simulasi dampak banjir dan kekeringan terhadap hasil usahatani lahan kering
menggunakan persamaan hasil analisis multivariat, secara matematis sebagai
berikut:
lnYjagung = 2,87 + 0,35 lnLlahan + 0,30 lnTk + 1,32Dpt - 0,02Db – 0,60Dk......(13)
lnYpadi = 5,63 + 0,11 lnLlahan + 0,19 lnTk + 0,18Dpt + 0,02Db – 0,59Dk......(14)
lnYk.tanah= 4,95 - 0,01 lnLlahan + 0,13 lnTk + 0,26Dpt - 0,10Db – 0,22Dk.....(15)
Peluang kekeringan saat ini adalah 0,85, sama dengan peluang banjir yakni
0,85. Kekeringan pada usahatani lahan kering umumnya terjadi pada bulan April
dan Mei (saat rata-rata curah hujan bulanan 50 mm dan rata-rata temperatur
bulanan 26oC). Adapun banjir/kelebihan air pada usahatani lahan kering terjadi
pada bulan Januari, Februari, dan Maret. Kelebihan air ini menyebabkan usahatani
lahan kering pada dataran rendah terendam air, sedangkan usahatani lahan kering
pada dataran tinggi (lahan terjal) mengalami erosi karena tingginya aliran
permukaan sehingga mengalami penurunan produksi. Banjir/kelebihan air pada
usahatani umumnya terjadi saat rata-rata curah hujan bulanan 250 mm per bulan.
Dampaknya rata-rata produksi jagung mengalami penurunan dari 645
kg/ha menjadi 320 kg/ha. Produksi padi ladang mengalami penurunan dari 1.485
kg/ha menjadi 910 kg/ha, dan produksi kacang tanah mengalami penurunan dari
360 kg/ha menjadi 200 kg/ha. Total produksi tanaman pangan usahatani lahan
kering mengalami penurunan produksi dari 2.490 kg/ha menjadi 1.430 kg/ha
(terjadi penurunan sebesar 36%). Penurunan produksi usahatani lahan kering akan
mengurangi pendapatan petani. Total pendapatan petani dari usahatani lahan
kering mengalami penurunan sebesar Rp 10.000.000 per ha.
Peluang kekeringan dan banjir akan terus mengalami peningkatan bila
tidak ada upaya-upaya untuk melakukan rehabilitasi hutan dan mengubah sistem
pertanian menjadi agroforestry. Akibatnya total produksi tanaman pangan di DAS
Tono akan terus mengalami penurunan. Dibutuhkan kelembagaan pengelolaan
DAS yang lebih koordinatif antara kelembagaan masyarakat, kelembagaan
unilateral (instansi-instansi terkait) dan kelembagaan bilateral. Hasil analisis
dengan menggunakan model Monte Carlo ditampilkan gambar-gambar berikut.
Gambar 20. Hasil Simulasi Model Monte Carlo untuk Komoditas Jagung
67
Gambar 21. Hasil Simulasi Model Monte Carlo untuk Komoditas Padi
Gambar 22. Hasil Simulasi Model Monte Carlo untuk Komoditas Kacang Tanah
Gambar 23. Hasil Simulasi Model Monte Carlo untuk 3 Komoditas
68
Simulasi Dampak Banjir dan Kekeringan terhadap Produksi dan
Pendapatan Usahatani Lahan Basah
Banjir dan kekeringan pada lahan sawah mengurangi produksi padi sawah.
Simulasi dampak banjir dan kekeringan terhadap produksi padi didasarkan pada
hasil analisis regresi berganda, secara matematis sebagai berikut:
Ypadi = 3,44 + 0,34 lnJBenih + 0,39 lnJPupuk + 0,31 lnTk - 0,78Db – 0,80Dk..(16)
Peluang kekeringan saat ini adalah 0,85, sama dengan peluang banjir yakni 0,85.
Kekeringan pada usahatani lahan basah umumnya terjadi pada bulan April dan
Mei (saat rata-rata curah hujan bulanan 50 mm dan rata-rata temperatur bulanan
26oC). Adapun banjir/kelebihan air pada usahatani lahan basah terjadi saat rata-
rata curah hujan bulanan 250 mm, yang umumnya terjadi pada bulan Januari,
Februari, dan Maret.
Dampaknya produksi padi sawah mengalami penurunan dari 6.485 kg/ha
menjadi 1.695 kg/ha atau mengalami penurunan sebesar 66%. Penurunan produksi
menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan petani sebesar Rp 47.920.000,-
per ha atau sebesar Rp 62.270.000.000,- untuk 1.300 ha lahan sawah. Penurunan
produksi dan pendapatan petani sawah akan terus terjadi bila peluang banjir dan
kekeringan mengalami peningkatan.
Penurunan produksi ini terjadi karena property right yang tidak sempurna
(Coase, 1960; Allen, 2002) dan pengalokasian sumberdaya yang tidak efisien
karena kelembagaan yang kurang baik (North, 1990). Implikasinya dibutuhkan
evaluasi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara. Kelembagaan
yang dimaksud adalah kelembagaan masyarakat, unilateral, dan bilateral. Evaluasi
kelembagaan menjadi landasan untuk disain kelembagaan pengelolaan DAS
wilayah perbatasan negara.
Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, terdapat beberapa hal yang perlu
disimpulkan sebagai berikut:
1. Peningkatan luas pertanian lahan kering campur (sebagai konversi dari
semak belukar dan hutan) menyebabkan terjadinya banjir dan kekeringan.
Peningkatan luas sawah mengurangi terjadinya banjir karena konversi dari
lahan terbuka dan sebagian air dialirkan melalui saluran menuju sawah.
Peubah iklim yang menyebabkan banjir dan kekeringan adalah curah hujan
bulanan (peningkatannya menyebabkan banjir, dan penurunannya
menyebabkan kekeringan), sedangkan peningkatan temperatur
menyebabkan terjadinya kekeringan.
2. Banjir pada bulan Januari-Maret dan kekeringan April-Mei berdampak
terhadap penurunan 66% produksi padi sawah dan 36% penurunan
produksi tanaman pangan (jagung, padi, dan kacang tanah) pada usahatani
lahan kering. Akibatnya efisiensi ekonomi usahatani menjadi rendah,
yakni: 0,30 untuk usahatani tanaman pangan pada lahan kering dan 0,36
untuk usahatani padi sawah.
3. Simulasi menunjukkan dalam 10 tahun saat luas pertanian lahan kering
campur mencapai 33.500 ha akan menyebabkan peluang banjir 0,98 dan
peluang kekeringan mencapai 0,92. Akibatnya produksi usahatani padi
sawah dan usahatani tanaman pangan pada lahan kering akan terus
mengalami penurunan.
69
4. EVALUASI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN
SUNGAI WILAYAH PERBATASAN NEGARA
Pendahuluan
Latar Belakang
Pembangunan wilayah perbatasan negara bertujuan meningkatkan pilihan-
pilihan kepada masyarakat agar tidak terisolir dan terbelakang. Pembangunan di
wilayah perbatasan membutuhkan lahan sehingga terjadi perubahan penggunaan
lahan di DAS Tono sebagai salah satu DAS di perbatasan negara. Dampaknya
terjadi banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Akibatnya
terjadi penurunan produksi dan efisiensi usahatani.
Salah satu penyebabnya adalah lemahnya koordinasi antara kelembagaan
masyarakat, kelembagaan unilatreal dan kelembagaan bilateral. Koordinasi yang
lemah juga terjadi pada kelembagaan unilateral yakni pengelolaan DAS wilayah
perbatasan negara dengan pembangungan wilayah perbatasan. Kelembagaan
pengelolaan dimaksud terdiri atas kelembagaan masyarakat dan kelembagaan
negara. Kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan DAS merupakan
kelembagaan adat yang melakukan perlindungan terhadap DAS secara parsial
yakni perlindungan khusus terhadap sumberdaya air dan hutan. Kelembagaan
negara meliputi: regulasi, lembaga-lembaga dan dokumen-dokumen pengelolaan
DAS dan pembangunan wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste.
Kelembagaan masyarakat dan negara kurang terkoordinasi dengan baik. Demikian
pula koordinasi yang masih lemah antar kelembagaan negara dalam melakukan
pengelolaan DAS dan pembangunan wilayah perbatasan negara.
Aerts et al (2004) menyatakan pengelolaan DAS di perbatasan negara
dilakukan dengan menentukan catchment area beserta aktivitas di hulu DAS dan
hubungannya dengan bagian hilir DAS, sehingga dibentuk kelembagaan untuk
meningkatkan manfaat DAS. Pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara saat ini
lebih perspektif wilayah administratif, dan kurang menjangkau aspek fungsional.
DAS merupakan wilayah fungsional ekologi yang memiliki keterkaitan hulu,
tengah dan hilir.
Keberadaan DAS Tono di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor-Leste
membutuhkan pengelolaan yang memperhatikan keterpaduan antar negara, antar
stakeholder, antar sektor. Kajian terhadap aspek kelembagaan pengelolaan DAS
wilayah perbatasan negara diperlukan untuk menjadi dasar pengambilan kebijakan
pembangunan berkelanjutan.
Dunn (1999) menyatakan sebagai proses penelitian, analisis kebijakan
menggunakan prosedur analisis umum yang biasa dipakai untuk memecahkan
masalah-masalah kemanusiaan, yaitu: deskripsi, evaluasi, prediksi, dan
rekomendasi. Kajian ini dilakukan terhadap aspek-aspek kelembagaan yakni: (i)
ketentuan-ketentuan mengenai pembangunan wilayah perbatasan negara dan
pengelolaan DAS, (ii) lembaga-lembaga yang berwenang terhadap pembangunan
wilayah perbatasan negara dan pengelolaan DAS, (iii) hubungan antar ketentuan-
ketentuan dan lembaga-lembaga terkait.
70
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana dipaparkan, muncul
pertanyaan-pertanyaan penelitian berikut:
1. Bagaimana performance kelembagaan pengelolaan DAS wilayah
perbatasan negara dalam kerangka pembangunan berkelanjutan ?
2. Bagaimana strategi pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS
wilayah perbatasan negara?
Tujuan
Tujuan dari kajian ini adalah:
1. Melakukan evaluasi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan
negara dalam kerangka pembangunan berkelanjutan
2. Menganalisis dan merekomendasikan strategi pengembangan kelembagaan
pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara
Metode Penelitian
Kerangka Analisis
Dunn (1999) menyatakan analisis kebijakan adalah jenis analisis yang
menghasilkan dan menyajikan informasi sebagai dasar pengambilan kebijakan.
Analisis kebijakan pengelolaan DAS dalam kerangka pembangunan wilayah
perbatasan negara, dirinci menjadi: (i) evaluasi hubungan kelembagaan
masyarakat, unilateral, dan bilateral (ii) evaluasi secara rinci kelembagaan
masyarakat, unilateral, dan bilateral, (iii) disain model kelembagaan pengelolaan
DAS wilayah perbatasan negara dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.
Kajian kelembagaan diawali dengan mengevaluasi koordinasi antar
kelembagaan masyarakat (RI-RDTL), kelembagaan unilateral (RI-RDTL) dan
kelembagaan bilateral RI-RDTL dalam pembangunan wilayah perbatasan negara
dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Kajian dilanjutkan dengan analisis
kewenangan lembaga-lembaga pengelola pembangunan wilayah perbatasan dan
pengelolaan DAS. Evaluasi dilakukan terhadap aturan-aturan dan kewenangan
serta koordinasi antar lembaga dalam pembangunan wilayah perbatasan negara
dan pengelolaan DAS. Disain model kelembagaan dianalisis terpisah pada bagian
lain (bab tersendiri) dari penelitian ini. Siklus analisis dan pembuatan kebijakan,
secara skematis ditampilkan Gambar 24.
Gambar 24. Siklus Kebijakan (sumber: Dunn, 1999)
Metode Pelaksanaan Kajian
Pelaksanaan kajian menggunakan data sekunder dan data primer. Data
sekunder berupa studi kepustakaan untuk identifikasi landasan yuridis, lembaga
pengelola pembangunan wilayah perbatasan dan pengelola daerah aliran sungai,
dan dokumen-dokumen lain yang terkait. Data primer dikumpulkan dengan cara
Policy Formation Policy Evaluation
Policy Recomendation Policy Prediction
71
dengan cara melakukan wawancara terhadap pemangku kepentingan
menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Responden sebanyak 30
orang, dengan rincian 15 responden berasal dari Indonesia dan 15 responden
berasal dari Timor Leste. Teknik pengambilan sampel secara purposive sampling
dengan kriteria mewakili pemerintah, masyarakat lokal, dan pemerhati DAS yang
memahami pengelolaan DAS di lokasi penelitian.
Metode Analisis Data
Evaluasi kelembagaan menggunakan analisis deskriptif untuk mengetahui
hubungan antar kelembagaan. Analisis dilanjutkan dengan Content analysis untuk
analisis landasan yuridis dan analisis deskriptif untuk analisis kewenangan
lembaga pengelola daerah aliran sungai dan pembangunan wilayah perbatasan
negara. Adapun strategi pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS dilakukan
dengan pembobotan faktor lingkungan internal (strengths, weaknesses) dan
lingkungan eksternal (opportunities, threats).
Hasil dan Pembahasan
Evaluasi Hubungan Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan
Negara
Evaluasi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara
dilakukan terhadap kelembagaan masyarakat, unilateral (Indonesia dan Timor
Leste), bilateral (JBC Indonesia dan Timor Leste). Pengelompokkan ini
didasarkan pada North (1990), Kasper et al (1998). North (1990)
mengelompokkan kelembagaan menjadi kelembagaan formal dan informal.
Kelembagaan formal merupakan kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah,
sedangkan kelembagaan informal merupakan kelembagaan yang berkembang di
masyarakat (adat-istiadat, pemali, kesepakatan tidak tertulis). Adapun Kasper et al
(1998) mengelompokkan kelembagaan menjadi kelembagaan internal dan
kelembagaan eksternal. Kelembagaan internal merupakan kelembagaan yang
tumbuh dan berkembang pada suatu komunitas, sedangkan kelembagaan eksternal
merupakan kelembagaan yang dibentuk dari luar (kelembagaan nasional,
internasional).
Pengelolaan DAS wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste
dilakukan secara parsial oleh masing-masing negara dan tidak dalam perspektif
adanya keterkaitan ekologi hulu, tengah, hilir DAS. Kelembagaan bertujuan untuk
mengarahkan perilaku individu menuju arah yang diinginkan oleh masyarakat,
mengurangi perilaku oportunis, dan meningkatkan kepastian dan keteraturan
dalam masyarakat (Ostrom, 1990). Keteraturan dalam masyarakat merupakan
wujud dari modal social (trust, norm, networking). Bærenholdt et al (2002)
menyatakan ketergantungan socio-spatial yang diantaranya disebabkan oleh
ketergantungan sumberdaya alam membentuk modal sosial. Trust antar
masyarakat di wilayah perbatasan membentuk norm yang berkembang dalam
kelembagaan lokal masyarakat dan selanjutnya dapat diformalkan oleh
pemerintah melalui network yang baik.
Evaluasi kelembagaan diperlukan karena perilaku masyarakat yang
cenderung eksploitatif dalam melakukan aktivitas usahatani. Demikian pula
pembangunan wilayah perbatasan negara oleh pemerintah Indonesia dan Timor
72
Leste yang kurang perspektif ekologi. Akibatnya terjadi perubahan lahan
konservasi (semak belukar dan hutan) menjadi lahan budidaya (pertanian lahan
kering dan pertanian lahan kering campur). Kondisi ini menyebabkan
ketidakpastian dalam pencapaian produksi usahatani karena rentan terhadap banjir
dan kekeringan. Lebih dari itu, kondisi ini terjadi karena kelembagaan
pengelolaan DAS yang belum koordinatif.
Perubahan kelembagaan dibutuhkan agar lebih terjalin koordinasi antar
kelembagaan masyarakat, kelembagaan unilateral dan kelembagaan bilateral.
Ostrom (1990) menyatakan perubahan kelembagaan diklasifikasikan atas 3 yakni:
level operasional rule, level collective choice rule dan level constitutional choice
rule. Perubahan kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara
Indonesia dan Timor-Leste dilakukan pada tiap level kelembagaan sesuai
pandangan Ostrom (1990).
Perubahan kelembagaan pada level operasional dalam kaitannya dengan
pemanfataan sumberdaya lahan secara berkelanjutan. Lahan di DAS yang selama
ini dimanfaatkan untuk pertanian lahan kering campur dengan sistem tebas-bakar
diubah menjadi pertanian dengan sistem agroforestry, dan lahan semak belukar
direhabilitasi menjadi hutan. Perubahan pada level ini terjadi pada kelembagaan
masyarakat, dan kelembagaan unilateral (menetapkan reward dan punishment).
Williamson (2000) menyatakan perubahan kelembagaan terjadi pada kelembagaan
formal dan informal.
Perubahan pada level collective choice rule, dengan cara mengubah
ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan kewenangan dan koordinasi antar
lembaga-lembaga pengelola DAS dan pembangunan wilayah perbatasan negara.
Perubahan pada level collective choice rule terjadi pada kelembagaan masyarakat,
kelembagaan unilateral dan bilateral. Perubahan kelembagaan dengan cara
pemerintah melembagakan lembaga adat, memuat kawasan-kawasan perlindungan
sumberdaya air dan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal menjadi kawasan
lindung dengan pertimbangan kelestarian budaya dan lingkungan. Rekonstruksi
kelembagaan JBC dengan memasukkan pengelolaan DAS wilayah perbatasan
negara merupakan perubahan kelembagaan bilateral pada level collective choice
rule.
Perubahan kelembagaan pada level constitutional choice rule dengan cara
mengubah landasan yuridis di Indonesia agar pembangunan tidak hanya perspektif
administratif, tetapi lebih perspektif ekologi. Pemerintah Timor-Leste juga perlu
menyiapkan regulasi mengenai pengelolaan sumberdaya alam dan penataan ruang
di Timor-Leste. Perubahan regulasi pada masing-masing negara menjadi syarat
bagi terlaksananya kerjasama yang lebih berkelanjutan. Perubahan kelembagaan
yang disesuaikan dengan perubahan lingkungan (adaptasi perubahan iklim)
bersifat kontinyu, sesuai dengan teori perubahan kelembagaan Williamson (2000).
Perubahan kelembagaan pada level operasional rule, collective choice
rule, constitutional choice rule diharapkan mengurangi aktivitas masyarakat yang
cenderung eksploitatif dan mengurangi eksternalitas pembangunan wilayah
perbatasan negara. Dampaknya efisiensi ekonomi mengalami peningkatan,
sebagaimana dikemukakan Hayek (1968); Williamson (2000). Evaluasi ini
menjadi dasar untuk melakukan disain kelembagaan pengelolaan DAS wilayah
perbatasan negara Indonesia dan Timor-Leste yang adaptif terhadap perubahan
iklim dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
73
Gambar 25. Kerangka Hubungan Kelembagaan dalam Pengelolaan DAS dan Pembangunan Wilayah Perbatasan Negara
Landasan
Yuridis
Indonesia Pengelola DAS
Pengelola wily.
perbatasan
RPP DAS
Grand Design
Pengelolaan
Wilyh.Perbatasan
Wilyh
Perbatasan
DAS Wilyh.
Perbatasan
Upacara adat
SD air, hutan
dan lahan di
DAS
Masyarakat di
wilyh.perbatasan
Joint Border
Commette (JBC)
Kesepakatan
ekonomi, PLB,
pengelolaan SDA
Pasar batas,
PLB
Kesepakatan
Internasional
dan Masyarakat
Landasan
Yuridis TL
Pembangunan Rencana strategis
nasional
Pengelolaan
SDA
Pelarangan
penebangan hutan
Kelembagaan
pengelolaan
DAS wilayah
perbatasan
negara yang
adaptif
terhadap
perubahan
iklim dan
koordinatif
antar
lembaga
Pengelolaan
parsial
(hulu,
tengah,
hilir) dan
terbatas
pada
wilayah
administrasi
tertentu
(Indonesia
dan Timor-
Leste)
Dasar Hukum Lembaga Rencana Aksi Objek&Lokasi
Nasional
dan Daerah
Hutan dan
Air
Output&
Impact
Solusi
Kelembagaan
73
74
Evaluasi Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan DAS Wilayah
Perbatasan Negara
Penduduk di Pulau Timor (Timor Barat dan Timor Leste) memiliki
kesamaan budaya. Ditunjukkan dengan penggunaan bahasa komunikasi yang
sama (yakni: Bahasa Dawan/Baiqueno) di Kabupaten TTU dan District Oecusi.
Penduduk di perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste juga memiliki ikatan
kekerabatan yang kuat karena memiliki kelembagaan adat yang sama.
Penghormatan terhadap simbol-simbol adat meningkatkan fungsi lembaga adat
dalam mengatur tata kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan negara.
Interaksi penduduk yang berasal dari suku yang sama sulit dipisahkan oleh batas
administrasi dan teritori negara. Suku-suku yang penduduknya bermukim di
wilayah perbatasan negara adalah: Bikomi, Tunbaba, Naibenu, dan Musi.
Penduduk suku Bikomi umumnya secara administrasi berada di Indonesia
(Kecamatan Bikomi Utara, Bikomi Tengah, Bikomi Nilulat) dan Timor Leste
(Oesilo dan Passabe). Adapun penduduk suku Tunbaba umumnya menyebar di
Kecamatan Miomafo Timur (Indonesia) dan Pante Makasar (Timor Leste).
Penyebaran penduduk suku Naibenu meliputi: Kecamatan Naibenu (Indonesia),
dan Oesilo dan Pante Makasar (Timor Leste). Penduduk Suku Musi umumnya
menyebar di Indonesia (Musi, Bikomi Nilulat) dan Timor-Leste (Passabe, Nitibe).
Acara-acara adat yang dilakukan setiap tahun oleh masing-masing suku
melibatkan penduduk di District Oecussi dan Kabupaten TTU. Acara-acara adat
biasanya dipimpin oleh usif (raja), yang didampingi oleh amaf-amaf. Wilayah
kewenangan seorang raja biasanya meliputi 1 kecamatan atau beberapa
kecamatan. Suku Bikomi, Tunbaba, Naibenu, Musi dibentuk oleh beberapa amaf,
dan turunannya biasanya menggunakan marga dari amaf atau usif (raja) sehingga
meskipun berada pada wilayah administrasi atau teritori lain, tetap dilibatkan
dalam acara-acara adat pada tiap suku.
Kelembagaan adat berperan mengatur tata kehidupan masyarakat,
kepemilikan lahan, dan tata cara menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Kepemilikan lahan adat didistribusikan kepada: individu, komunal, dan bahkan
negara (lahan adat yang diserahkan kepada negara). Pendistribusian kepemilikan
lahan kepada amaf-amaf biasanya dilakukan oleh usif (raja) dan didampingi oleh
salah satu amaf (tobe). Setiap amaf diberikan kewenangan (otonom) untuk
mengelola lahan dan sumberdaya alam yang telah didistribusikan oleh usif. Luas
wilayah kewenangan seorang amaf biasanya meliputi 1 desa atau beberapa desa.
Lahan yang dimiliki secara individu biasanya untuk lahan pertanian dan
pemukiman, sedangkan lahan yang dimiliki secara komunal adalah lahan yang
diperuntukan bagi kawasan peternakan, hutan dan sumberdaya air. Lahan yang
diserahkan kepada pemerintah, biasanya diperuntukan bagi pemukiman (kantor
dan sekolah), kebun desa dan hutan.
Kelembagaan adat mengelola peruntukan sumberdaya lahan dan aktivitas
pada masing-masing peruntukan lahan. peruntukan lahan oleh masyarakat adat di
perbatasan negara dikategorikan menjadi pertanian dan peternakan, pemukiman,
dan kawasan lindung (hutan dan sumberdaya air). Kawasan peternakan
merupakan savana dan semak belukar yang kepemilikannya komunal. Peternakan
yang berkembang dan memiliki nilai sosial tinggi adalah peternakan sapi, yang
umumnya dikembangkan secara tradisional dengan cara menggembalakan ternak
di savana.
75
Kawasan pertanian umumnya merupakan lahan yang kepemilikannya
merupakan milik individu dan sebagian merupakan milik komunal. Budaya
pertanian yang berkembang di masyarakat adalah pertanian lahan kering campur
dengan sistem tebas-bakar. Pengelolaannya dilakukan oleh kepala suku dengan
cara menentukan lokasi pertanian lahan kering campur yang umumnya berpindah-
pindah setiap 2-3 tahun sekali. Upacara adat juga dilakukan pada setiap tahapan
kegiatan usahatani lahan kering dimaksudkan untuk memperoleh produksi yang
tinggi. Pengelolaan sumberdaya lahan seperti ini merupakan pengelolaan yang
berorientasi terhadap peningkatan produksi jangka pendek dan pertumbuhan
ekonomi semata dan kurang memperhatikan keberlanjutannya.
Meskipun demikian, di lain sisi kelembagaan masyarakat sesungguhnya
telah mengenal perlindungan terhadap sumberdaya air dan sumberdaya hutan.
Adanya ketentuan yang mewajibkan masyarakat agar tidak melakukan
penebangan pohon dekat sumber mata air dan hutan. Larangan dilakukan dalam
upacara adat yang disebut dengan “banut” atau “tarabandu”. Setiap tahun selalu
ada upacara-upacara adat pada sinbol-simbol adat (rumah adat dan oekanaf) yang
dihadiri oleh anggota suku, tanpa mempedulikan batas administrasi. Lembaga adat
ini juga memberikan sanksi terhadap masyarakat yang melanggar, dalam bentuk
denda dan hukuman adat lainnya.
Evaluasi Kelembagaan Bilateral dalam Pengelolaan DAS Wilayah
Perbatasan
Kelembagaan bilateral pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara adalah
joint border committe (JBC) Indonesia dan Timor Leste. Kelembagaan JBC
didukung oleh kesepakatan-kesepatakan internasional yang berhubungan
pembangunan, dan dampak pembangunan terhadap pengelolaan sumberdaya alam
lintas negara.
JBC RI-RDTL merupakan forum kerjasama Pemerintah Indonesia dengan
Timor Leste. JBC menangani kerjasama yang meliputi: (i) penentuan batas darat
dan laut, (ii) kebijakan pelintas batas, (iii) pengelolaan sumberdaya alam lintas
negara. JBC telah melakukan pertemuan-pertemuan untuk kerjasama penentuan
batas negara, pemberlakuan pas lintas batas (PLB), pembangunan pasar
perbatasan; sedangkan pengelolaan DAS lintas negara belum dilakukan. Analisis
kelembagaan JBC RI-RDTL disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan JBC RI-RDTL
Aspek Kelembagaan Hasil Analisis
Struktur JBC dipimpin oleh Dirjen PUM Depdagri, dan
membawahi 7 (tujuh) sub komisi teknis.
Visi, Misi dan Tujuan Membahas isu dan permasalahan perbatasan RI dan
RDTL, merumuskan program-program pada masing-
masing bidang yang dilaksanakan oleh instansi-
instansi terkait di tingkat pusat dan daerah
Sumberdaya Tidak memiliki anggaran, aparatur dan prasarana
mandiri, berfungsi sebagai forum ad hoc dan bukan
institusi yang bersifat struktural
Tugas, Fungsi dan
Kewenangan
Koordinatif
76
Kelembagaan JBC Indonesia dan Timor Leste didasarkan pada Konvensi
Wina. Konvensi Wina merupakan peraturan internasional mengenai perjanjian
internasional dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam lintas negara
sebagaimana tertuang dalam konvensi internasional di Wina tahun 1969.
Konvensi tersebut menjamin azas perjanjian internasional, multilateral dan
bilateral.
Kelembagaan bilateral pada beberapa negara di dunia dalam
perkembangannya dibentuk karena adanya kesepakatan untuk mengurangi gas
emisi rumah kaca dengan melaksanakan pembangunan yang ramah lingkungan.
Negara-negara maju sebagai penyumbang terbesar terhadap terbentuknya gas
rumah kaca dan perubahan iklim diwajibkan membayar kompensasi bagi negara-
negara berkembang untuk menjaga kelestarian hutan (tropis) sebagai paru-paru
dunia.
Kesepakatan internasional dalam mengatasi eksternalitas negatif
pengelolaan sumberdaya alam antar negara dilakukan dalam KTT Rio+20 tahun
2012. KTT Rio+20 menghasilkan dokumen the future we want yang
merekomendasikan pengelolaan sumberdaya alam lintas negara dengan cara: (i)
green economic, (ii) institutional framework for sustainable development, (iii)
instrumen dan rencana aksi.
Kesepakatan ini sesuai dengan salah satu tujuan Sustainable Development
Goal’s adalah menjaga kelestarian lingkungan hidup dan membina kerjasama
global bagi pembangunan. Pelaksanaannya melalui integrasi prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan dan program negara, dan
mengurangi kerusakan sumberdaya alam. Sejak tahun 2016 dilaksanakan
sustainable development goal’s, yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan
recilience terhadap resiko perubahan iklim terhadap komponen sosial, ekonomi
dan ekologi.
Kesepakatan-kesepakatan internasional dimaksud melandasi pembentukan
JBC Indonesia dan Timor Leste. Kerjasama bilateral yang telah dilakukan oleh
Indonesia dan Timor Leste adalah:
- Penentuan batas laut dan batas darat Indonesia dan Timor Leste,
meskipun pada beberapa titik lokasi belum ada kesepakatan (technical
sub committee on border demarcation and regulation).
- Pemberlakukan pas lintas batas bagi penduduk di desa-desa yang
berbatasan langsung, dan dibukanya pasar perbatasan negara (technical
sub committe on cross border movement of persons and goods
crossing).
- Kerjasama dalam menjaga keamanan perbatasan negara (technical sub
committe on border security)
Kerjasama bilateral river water management belum dilakukan karena beberapa
lokasi merupakan lahan sengketa. Sumberdaya lahan yang disengketakan oleh
masyarakat pada kedua negara memiliki sumberdaya air berlimpah. Solusinya
dibutuhkan kelembagaan yang melakukan pengelolaan terhadap daerah aliran
sungai lintas negara sebagai satu-kesatuan wilayah fungsional ekologi. Kerjasama
pengelolaan untuk wilayah yang lebih luas akan memberikan beberapa opsi
kerjasama bilateral Indonesia dan Timor Leste dalam mengelola sumberdaya alam
lintas wilayah administratif kenegaraan. Kerjasama bilateral pengelolaan
sumberdaya alam lintas negara akan mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
77
Evaluasi Kelembagaan Unilateral Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Wilayah Perbatasan Negara
Evaluasi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara
dianalisis terhadap komponen-komponen berikut: (i) landasan yuridis pengelolaan
DAS wilayah perbatasan negara yang terdiri atas peraturan internasional,
perundang-undangan di Indonesia dan Timor-Leste, (ii) lembaga-lembaga
pengelola DAS dan pembangunan wilayah perbatasan negara Indonesia dan
Timor Leste, (iii) dokumen-dokumen pengelolaan DAS dan pembangunan
wilayah perbatasan negara yang dijadikan rujukan dalam pengelolaan DAS
wilayah perbatasan negara.
Landasan Yuridis Pembangunan Wilayah Perbatasan Negara dan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Landasan yuridis sebagai landasan pengelolaan yang umumnya
mengarahkan lembaga negara yang berwenang melakukan pengelolaan. Lembaga
negara yang melakukan pengelolaan DAS dan pembangunan wilayah perbatasan
negara menerbitkan dokumen yang digunakan sebagai rujukan dalam melakukan
pengelolaan.
Landasan Yuridis Pemerintah Indonesia
Tabel 32. Landasan Yuridis Pembangunan Wilayah Perbatasan dan Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai
No Perundang-Undangan Tentang
Pembangunan Wilayah Perbatasan
1 UU No. 26 tahun 2007 Penataan Ruang
2 UU No. 43 tahun 2008 Wilayah negara
3 UU No. 17 tahun 2007 Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025
4 PP No. 26 tahun 2008 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Tahun 2008-2028
5 Perpres No. 5 tahun 2010 Badan Nasional Pengelola Perbatasan
6 Perpres No. 179 tahun 2014 Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan
Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur
7 Perda Provinsi NTT No. 5
tahun 2010
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi NTT
tahun 2010-2030
8 Perda Provinsi NTT No.1
tahun 2008
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah Provinsi NTT tahun 2005-2025
9 Perda Kabupaten TTU No.
8 tahun 2008
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
TTU tahun 2008-2028
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
1 UU No.37 tahun 2014 Konservasi Tanah dan Air
2 PP No. 42 tahun 2008 Pengaturan Sumberdaya Air
3 PP No. 37 tahun 2012 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
4 Peraturan Menteri PU
Nomor: 11 A/PRT/M/2006
Penetapan Wilayah Sungai
5 Peraturan Menteri Kehutanan
RI No.P.39/Menhut-II/2009 Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu
6 Peraturan daerah Provinsi
NTT No. 5 tahun 2008
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara
Terpadu
78
Landasan yuridis pembangunan wilayah perbatasan negara sebagaimana
diamanatkan UUD 1945 pasal 25A tentang wilayah negara. Pengelolaan daerah
aliran sungai termaktub dalam UUD 1945 pasal 33 tentang pengelolaan
sumberdaya alam yang dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Penjabaran pasal-pasal UUD 1945 tersebut menjadi Undang-Undang (UU),
Peraturan Pemerintah (PP) dan peraturan terkait menjadi dasar pembangunan
wilayah perbatasan negara dan pengelolaan daerah aliran sungai. Rincian landasan
yuiridis ditampilkan Tabel 28.
Demsetz (1967); Allen (2002) menyatakan property rights yang tidak
sempurna pada sumberdaya alam membutuhkan regulasi yang dijadikan sebagai
landasan untuk mengelola sumberdaya alam dimaksud. DAS Tono merupakan
contoh property rights yang tidak sempurna karena secara administrasi berada di
dua negara (Indonesia dan Timor-Leste). Sumberdaya lahan yang berada pada
DAS Tono juga berbeda-beda dalam property rights. Rinciannya lahan hutan
merupakan state property dan common property, lahan semak belukar (common
property) dan lahan pertanian umumnya merupakan individual property. Regulasi
yang telah diterapkan di Indonesia untuk mengelola DAS di wilayah perbatasan
sebagaimana ditampilkan bagian berikut.
Kebijakan Pembangunan Wilayah Perbatasan
UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang menyatakan wilayah
dikategorikan menjadi: wilayah perencanaan, wilayah homogen dan wilayah
nodal. Wilayah perencanaan yang umum adalah negara, provinsi, kabupaten,
kecamatan, dan desa. Wilayah homogen dan wilayah nodal dapat pula ditetapkan
sebagai wilayah perencanaan dengan pertimbangan tertentu.
UU No. 26 tahun 2007 menyatakan pemerintah, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten berwenang melakukan penataan ruang sesuai
kewenangannya masing-masing. Salah satu kewenangan dalam penataan ruang
adalah menetapkan kawasan strategis (nasional, provinsi, dan kabupaten) dengan
pertimbangan tertentu, termasuk mempertimbangkan aspek homogenitas dan
nodalitas wilayah. Kawasan strategis nasional merupakan wilayah yang penataan
ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara
nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi,
sosial, budaya, dan/atau lingkungan hidup, termasuk wilayah yang telah
ditetapkan sebagai warisan nasional.
Tujuan penataan ruang sesuai UU No. 26 tahun 2007 adalah: (i)
terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, (ii)
terwujudnya keterpaduan antara sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan
memperhatikan sumberdaya manusia, (ii) terwujudnya perlindungan fungsi ruang
dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Meskipun demikian, dampak negatif dapat terjadi karena pembangunan yang
kurang perspektif ekologi, terutama di wilayah perbatasan negara.
Pemerintahan RI mendefinisikan kawasan perbatasan sebagai wilayah
administrasi kecamatan-kecamatan yang berbatasan langsung dengan negara lain
(UU No. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara). Pembangunan yang
mengedepankan wilayah administrasi, dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan yang berkaitan secara ekologi. Koordinasi antar lembaga
dapat mengurangi eksternalitas negatif pembangunan.
79
Pemerintah Indonesia membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan
(BNPP) sebagai lembaga yang berwenang melakukan koordinasi pembangunan
wilayah perbatasan negara (sesuai Peraturan Presiden Indonesia No. 12 tahun
2010). BNPP telah menetapkan grand design pengelolaan batas wilayah negara
dan kawasan perbatasan negara 2011-2025 yang diantaranya memuat keterkaitan
pertahanan keamanan, ekonomi, sosial, budaya, sumberdaya alam dan lingkungan.
Kebijakan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dalam Kerangka Pembangunan
Wilayah Perbatasan
UU No. 37 tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air menyatakan
daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke
laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di
laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Dibutuhkan pengelolaan DAS (PP RI No. 37 tahun 2012) sebagai upaya manusia
mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di
dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian
ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara
berkelanjutan.
Pengelolaan DAS lintas negara dan/atau lintas provinsi dilakukan oleh
menteri, sedangkan DAS dalam provinsi dan lintas kabupaten oleh gubernur.
Adapun DAS dalam kabupaten/kota merupakan kewenangan bupati/walikota.
Pemerintah melalui Permen PU Nomor: 11 A/PRT/M/2006 menetapkan wilayah
sungai yang berada di perbatasan negara. Terdapat 10 (sepuluh) DAS yang berada
di perbatasan Indonesia dan Timor Leste. DAS Tono merupakan salah satu DAS
yang berada di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor-Leste. Kenyataannya,
selama ini Indonesia meperlakukan Sub DAS Banain dan Sub DAS Ekat sebagai
DAS yang berada dalam Kabupaten. Perpres No. 179 tahun 2014 menyatakan
DAS Banain dan DAS Ekat merupakan DAS wilayah perbatasan negara, yang
sesungguhnya merupakan bagian dari DAS Tono.
Keterkaitan Perundang-Undangan Pembangunan Wilayah Perbatasan Negara dan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
UU No. 26 tahun 2007 menyatakan tipologi wilayah meliputi: (i) wilayah
perencanaan, (ii) wilayah homogen, (iii) wilayah nodal. UU No. 43 tahun 2008
menyatakan kawasan perbatasan merupakan wilayah kecamatan yang berbatasan
dengan negara lain. UU No. 37 tahun 2014 menyatakan DAS merupakan wilayah
yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air.
DAS Tono yang berada di perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste
merupakan wilayah fungsional yang terdiri atas bagian hulu, tengah, dan hilir.
Pengelolaannya dibatasi oleh wilayah teritori masing-masing negara, dan dalam
tataran spatial terjadi benturan antara definisi kawasan perbatasan yang berbasis
wilayah administrasi kecamatan, dengan DAS yang memiliki keterkaitan ekologi.
Rencana tata ruang kawasan perbatasan di Provinsi NTT disusun terbatas
pada kecamatan-kecamatan yang berada di kawasan perbatasan, dan implementasi
pembangunan melalui lokasi-lokasi prioritas yang bias administrasi. Dampaknya
perencanaan dan implementasi pembangunan tidak terpadu karena terdapat
kecamatan yang tidak termasuk dalam kawasan perbatasan, namun secara ekologi
80
merupakan bagian dari DAS Tono sebagai DAS wilayah perbatasan negara.
Perubahan kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara, dibutuhkan
untuk menjamin pembangunan berkelanjutan di wilayah perbatasan negara.
Perundang-Undangan Timor-Leste
Konstitusi Negara Republik Demokratic Timor Leste pasal 5 menetapkan
District Oecussi sebagai wilayah yang diberikan kewenangan otonomi khusus.
Kewenangan untuk mengelola wilayah sendiri karena District Oecussi merupakan
wilayah yang enclave di wilayah NKRI. Konsekuensinya Pemerintah Timor Leste
menetapkan menteri muda (secretario estado) sebagai perwakilan pemerintah
pusat di District Oecussi. Pemerintah district dipimpin oleh seorang Bupati yang
berwenang melakukan perencanaan pembangunan jangka menengah, sedangkan
perencanaan pembangunan jangka panjang ditetapkan oleh pemerintah pusat
melalui kementerian perencanaan pembangunan nasional.
Pemerintah Timor Leste menetapkan kebijakan guna membatasi
penebangan pohon di hutan, dan tidak memperbolehkan ekspor kayu dari Timor
Leste. Pemerintah juga memfasilitasi suco-suco (baca: desa-desa) untuk
menghidupkan kembali pemeliharaan terhadap kawasan hutan dan sumberdaya air
yang dikenal dengan tarabandu.
Tugas dan Fungsi Lembaga-Lembaga Unilateral Pengelola Daerah Aliran
Sungai Wilayah Perbatasan Negara
Lembaga-lembaga pengelola DAS dan pembangunan wilayah perbatasan
negara terdiri atas: (i) lembaga-lembaga pengelola di tingkat pusat Indonesia dan
Timor Leste, (ii) lembaga-lembaga di tingkat daerah, meliputi: Provinsi NTT,
Kabupaten TTU dan District Oecussi. Analisis lembaga pengelola daerah aliran
sungai wilayah perbatasan meliputi: (i) struktur dan fungsi masing-masing
lembaga pengelola tingkat pusat dan daerah, (ii) koordinasi antar lembaga-
lembaga tersebut.
Lembaga-Lembaga RI Pengelola DAS Wilayah Perbatasan Negara
Lembaga-lembaga di Indonesia yang berwenang melakukan pengelolaan
DAS wilayah perbatasan negara dan pembangunan wilayah perbatasan negara,
dikategorikan menjadi: (i) Badan Nasional Pengelola Perbatasan, (ii) Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (iii) Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat. Masing-masing kementerian dan badan membentuk lembaga
di tingkat provinsi, dan kabupaten bila dibutuhkan. Kementerian lingkungan
hidup dan kehutanan RI membentuk badan pengelola DAS (BP-DAS) di tingkat
pusat dan BP-DAS di tingkat provinsi atau beberapa kabupaten. BP-DAS dapat
membentuk forum DAS yang berfungsi koordinatif antar pemangku kepentingan
dan sektor. Kementerian pekerjaan umum dan perumahan rakyat (PUPR)
membentuk lembaga teknis di tingkat provinsi berupa balai wilayah sungai. BNPP
membentuk badan daerah pengelola perbatasan di tingkat provinsi dan kabupaten.
Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) RI
BNPP merupakan badan yang dibentuk berdasarkan UU No. 43 tahun
2008 yang dijabarkan dalam Peraturan Presiden No.12 tahun 2010. Badan ini
selanjutnya membentuk instansi teknis di provinsi dan kabupaten yang berbatasan
dengan negara lain. Pemerintah Provinsi NTT membentuk BDPP Provinsi NTT,
sedangkan Pemerintah Kabupaten TTU membentuk BDPP Kabupaten TTU.
81
Analisis aspek-aspek kelembagaan BNPP, BDPP Provinsi, dan BDPP Kabupaten
ditampilkan pada Tabel 33, 34 dan 35. Badan pengelola perbatasan yang dibentuk
pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten menjalankan tugas dan
berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait lainnya.
Tabel 33. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan BNPP
Aspek Kelembagaan Hasil Analisis
Struktur BNPP dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri. BNPP
terdiri atas 3 Deputi yang menangani bidang
infrastruktur kawasan perbatasan, potensi kawasan
perbatasan, batas wilayah negara
Visi, Misi dan Tujuan Mempercepat penyelesaian batas antar negara;
pengembangan pusat pertumbuhan baru di kawasan
perbatasan; mewujudkan kawasan perbatasan yang
kondusif bagi aktifitas ekonomi, sosial, budaya;
meningkatkan pembangunan prasarana dan sarana
perbatasan; meningkatkan pengelolaan SDA;
mengembangkan sistem kerjasama pembangunan
Sumberdaya Tidak memiliki anggaran karena berfungsi sebagai
forum ad hoc. Memiliki aparatur dan prasarana
mandiri.
Tugas, Fungsi dan
Kewenangan
Menetapkan kebijakan program pembangunan
perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan
anggaran, mengkoordinasikan pelaksanaan, dan
melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap
batas wilayah negara dan kawasan perbatasan
Tabel 34. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan BDPP Provinsi NTT
Aspek Kelembagaan Hasil Analisis
Struktur BNPP Provinsi NTT dipimpin oleh pejabat eselon II,
yang terdiri atas 3 kepala bidang yang menangani
bidang infrastruktur kawasan perbatasan, potensi
kawasan perbatasan, batas wilayah negara
Visi, Misi dan Tujuan Mempercepat penyelesaian batas antar negara;
mempercepat pengembangan pusat pertumbuhan
baru di kawasan perbatasan; mewujudkan kawasan
perbatasan yang kondusif bagi aktifitas ekonomi,
sosial, budaya; meningkatkan pembangunan
prasarana dan sarana perbatasan; meningkatkan
pengelolaan sumberdaya alam; mengembangkan
sistem kerjasama pembangunan
Sumberdaya Memiliki anggaran, aparatur dan prasarana mandiri.
Tugas, Fungsi dan
Kewenangan
Melaksanakan kebijakan pemerintah dan
menetapkan kebijakan dalam kerangka otonomi
daerah dan tugas perbantuan, melakukan koordinasi
pembangunan kawasan perbatasan, melakukan
pengawasan pembangunan kawasan perbatasan
tingkat kabupaten, menetapkan kebutuhan anggaran
82
Tabel 35. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan BDPP Kabupaten TTU
Aspek Kelembagaan Hasil Analisis
Struktur BNPP dipimpin oleh pejabat eselon II, yang
membawahi 3 kepala bidang yang menangani bidang
infrastruktur kawasan perbatasan, potensi kawasan
perbatasan, batas wilayah negara.
Visi, Misi dan Tujuan Mempercepat penyelesaian batas antar negara;
mempercepat pengembangan pusat pertumbuhan
baru di kawasan perbatasan; mewujudkan kawasan
perbatasan yang kondusif bagi aktifitas ekonomi,
sosial, budaya; meningkatkan pembangunan
prasarana dan sarana perbatasan; meningkatkan
pengelolaan sumberdaya alam; mengembangkan
sistem kerjasama pembangunan
Sumberdaya Memiliki anggaran, aparatur dan prasarana mandiri.
Tugas, Fungsi dan
Kewenangan
Melaksanakan kebijakan pemerintah, pemerintah
provinsi; dan menetapkan kebijakan lainnya dalam
kerangka otonomi daerah, menjaga dan memelihara
tanda batas; melakukan koordinasi pelaksanaan tugas
pembangunan kawasan perbatasan di wilayahnya;
menetapkan rencana kebutuhan anggaran
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI
Kementerian ini dibentuk sesuai dengan Peraturan Presiden No. 16 tahun
2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk Badan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (BP-DAS) di tingkat pusat. BP-DAS membentuk BP-DAS Benain-
Noelmina yang melakukan pengelolaan terhadap DAS Benenain dan DAS
Noelmina. Sub DAS Banain dan Sub DAS Ekat yang merupakan bagian DAS
Tono merupakan DAS yang berada dalam wilayah pengelolaan BP-DAS Benain.
BP-DAS Benain juga telah membentuk forum DAS Benain yang berfungsi
melakukan kajian, koordinasi antar stakeholder dan sektor dalam pengelolaan
DAS Benain. Forum DAS Benain berperan melakukan koordinasi terhadap
pengelolaan DAS Benain. Kajian dan koordinasi pengelolaan DAS Benain saat ini
lebih menitikberatkan pada DAS Benain, bukan seluruh wilayah pengelolaan BP-
DAS Benain.
Tabel 36. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan RI
Aspek Kelembagaan Hasil Analisis
Struktur Dipimpin oleh Menteri yang membawahi beberapa
direktorat termasuk direktorat pengendalian daerah
aliran sungai dan hutan lindung.
Visi, Misi dan Tujuan Mengendalikan konversi lahan DAS, hutan lindung.
Sumberdaya Memiliki anggaran, aparatur dan prasarana mandiri.
Tugas, Fungsi dan
Kewenangan
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan; penyusunan
standar, kriteria dan prosedur; koordinasi, bimbingan
teknis, evaluasi dan pelaporan
83
Tabel 37. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan BP-DAS
Aspek Kelembagaan Hasil Analisis
Struktur Dipimpin oleh seorang dirjen yang membawahi
beberapa direktur termasuk direktur perencanaan dan
evaluasi pengelolaan DAS.
Visi, Misi dan Tujuan Peningkatan fungsi dan daya dukung DAS berbasis
pemberdayaan masyarakat
Sumberdaya Memiliki anggaran, aparatur dan prasarana mandiri.
Tugas, Fungsi dan
Kewenangan
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan
DAS, penyusunan standar, kriteria dan prosedur di
bidang pengelolaan DAS
Tabel 38. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan BP-DAS Benain
Aspek Kelembagaan Hasil Analisis
Struktur Badan yang berada dibawah pimpinan dirjen
pengendalian daerah aliran sungai dan hutan lindung.
Dipimpin oleh seorang pejabat eselon II dan
membawahi beberapa bidang.
Visi, Misi dan Tujuan Melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan
pada DAS, bila diperlukan membentuk forum DAS
Sumberdaya Memiliki anggaran, aparatur dan prasarana mandiri.
Tugas, Fungsi dan
Kewenangan
Merumuskan dan menetapkan kebijakan program
pengelolaan daerah aliran sungai yang berada di
NTT. Dilanjutkan dengan pelaksanaan, evaluasi dan
pengawasan pengelolaan DAS tersebut
Tabel 39. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan Forum DAS Benain
Aspek Kelembagaan Hasil Analisis
Struktur Dipimpin oleh ketua forum yang dipilih dari
pemangku kepentingan.
Visi, Misi dan Tujuan Memfasilitasi komunikasi dan koordinasi antar
stakeholder di kabupaten-kabupaten yang berada di
DAS Benain
Sumberdaya Tidak memiliki anggaran, aparatur dan prasarana
mandiri.
Tugas, Fungsi dan
Kewenangan
Merumuskan kebijakan dan program pembangunan
pada DAS Benain yang dapat dilaksanakan oleh
instansi terkait.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) RI
Kementerian PUPR merupakan kementerian yang bertugas membangun
infrastruktur di seluruh Indonesia, termasuk wilayah perbatasan negara dan
wilayah DAS. Pembangunan infrastruktur wilayah perbatasan yang telah
dilaksanakan adalah perluasan jalan dan pembangunan jalan baru. Pembangunan
infrastruktur pada sempadan sungai dan wilayah sungai merupakan kewenangan
Kementerian PUPR. Kementerian PUPR membentuk balai wilayah sungai di
Provinsi NTT yang berkedudukan di Kupang. Berikut ditampilkan analisis
kelembagaan kementerian PUPR dan balai wilayah sungai NTT I.
84
Tabel 40. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan Kementerian PUPR RI
Aspek Kelembagaan Hasil Analisis
Struktur Dipimpin oleh Menteri yang membawahi beberapa
direktorat termasuk direktorat sumber daya air.
Visi, Misi dan Tujuan Menyelenggarakan pengelolaan sumberdaya air
secara efektif dan optimal untuk meningkatkan
kelestarian fungsi, keberlanjutan pemanfaatan
sumberdaya air, mengurangi resiko daya rusak air.
Sumberdaya Memiliki anggaran, aparatur dan prasarana mandiri.
Tugas, Fungsi dan
Kewenangan
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan; penyusunan
standar, kriteria dan prosedur; bimbingan teknis dan
pelaksanaannya
Tabel 41. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan Balai Wilayah Sungai NTT I
Aspek Kelembagaan Hasil Analisis
Struktur Balai yang berada di bawah pimpinan dirjen
sumberdaya air. Berada di Provinsi NTT dan
dipimpin oleh pejabat eselon II.
Visi, Misi dan Tujuan Mewujudkan pembangunan pada wilayah sungai
secara terpadu.
Sumberdaya Memiliki anggaran, aparatur dan prasarana mandiri.
Tugas, Fungsi dan
Kewenangan
Merumuskan dan menetapkan kebijakan program
pembangunan pada wilayah sungai. Dilanjutkan
dengan pelaksanaan dan evaluasi terhadap program
pembangunan tersebut
Sumber: Olahan Data, 2014
Lembaga Pengelola DAS Wilayah Perbatasan Negara di RDTL
Sistem pemerintahan Timor Leste merupakan republik demokratik.
Presiden adalah kepala negara, sedangkan perdana menteri sebagai kepala
pemerintahan. Lembaga-lembaga negara yang berwenang melakukan pengelolaan
terhadap daerah aliran sungai adalah kementerian pekerjaan umum, dan
kementerian kehutanan, pertanian dan perikanan. Adapun kementerian yang
berwenang melakukan perencanaan pembangunan nasional adalah kementerian
pembangunan nasional dan kementerian dalam negeri.
Kementerian dalam negeri berwenang menditribusikan wewenang kepada
pemerintah daerah (district) untuk melakukan pembangunan di wilayahnya.
Pembangunan didasarkan pada perencanaan pembangunan jangka menengah
daerah yang merujuk pada rencana pembangunan strategik nasional, yang
merupakan kewenangan kementerian perencanaan pembangunan nasional.
Pemerintah District Oecusi telah menyusun dokumen perencanaan jangka
menengah 2014-2018. Adapun kementerian kehutanan, pertanian dan perikanan
berwenang melakukan pengelolaan terhadap kawasan hutan, pertanian dan
perikanan. Koordinasinya dengan kementerian pekerjaan umum untuk
pembangunan irigasi dan prasarana penunjang lainnya. Rincian analisis
kelembagaan kementerian-kementerian yang terkait dengan lembaga pengelola
DAS wilayah perbatasan negara di Timor-Leste ditampilkan pada Tabel 42, 43,
44, 45.
85
Tabel 42. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan Kementerian PU Republik
Demokratik Timor Leste
Aspek Kelembagaan Hasil Analisis
Struktur Dipimpin oleh Menteri yang membawahi beberapa
direktorat.
Visi, Misi dan Tujuan Menyelenggarakan pembangunan dan pemeliharaan
terhadap infrastruktur wilayah termasuk perpipaan,
bendungan dan jaringan primer irigasi guna
meningkatkan fungsi sumberdaya air.
Sumberdaya Memiliki anggaran, aparatur dan prasarana mandiri.
Tugas, Fungsi dan
Kewenangan
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan; penyusunan
standar, kriteria dan prosedur; bimbingan teknis dan
pelaksanaannya
Tabel 43. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan Kementerian Kehutanan,
Pertanian dan Perikanan Republik Demokratik Timor Leste
Aspek Kelembagaan Hasil Analisis
Struktur Dipimpin oleh Menteri yang membawahi beberapa
direktorat yakni: direktorat kehutanan, pertanian, dan
perikanan.
Visi, Misi dan Tujuan Menyelenggarakan pengelolaan terhadap
sumberdaya kehutanan guna menjaga kelestarian
sumberdaya air. Menyelenggarakan pemberdayaan
masyarakat yang berada di DAS.
Sumberdaya Memiliki anggaran, aparatur dan prasarana mandiri.
Tugas, Fungsi dan
Kewenangan
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan; penyusunan
standar, kriteria dan prosedur; bimbingan teknis dan
pelaksanaannya
Tabel 44. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan Kementerian dalam Negeri
Republik Demokratik Timor Leste
Aspek Kelembagaan Hasil Analisis
Struktur Dipimpin oleh Menteri yang membawahi beberapa
direktorat.
Visi, Misi dan Tujuan Menyelenggarakan pengembangan kelembagaan,
dan menyelenggarakan pembangunan dalam rangka
meningkatkan ketahanan nasional dan menjaga
keutuhan wilayah RDTL.
Sumberdaya Memiliki anggaran, aparatur dan prasarana mandiri.
Tugas, Fungsi dan
Kewenangan
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan; penyusunan
standar, kriteria dan prosedur; bimbingan teknis dan
pelaksanaannya
86
Tabel 45. Analisis Aspek-Aspek Kelembagaan Kementerian Pembangunan
Nasional Republik Demokratik Timor Leste
Aspek Kelembagaan Hasil Analisis
Struktur Dipimpin oleh Menteri yang membawahi beberapa
direktorat
Visi, Misi dan Tujuan Merencanakan dan menyelenggarakan pembangunan
nasional dan wilayah.
Sumberdaya Memiliki anggaran, aparatur dan prasarana mandiri.
Tugas, Fungsi dan
Kewenangan
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan; penyusunan
standar, kriteria dan prosedur; bimbingan teknis dan
pelaksanaannya
Hubungan Lembaga-Lembaga Pengelola DAS Wilayah Perbatasan Negara
Kerjasama bilateral Indonesia dengan Timor Leste dilakukan dengan
membentuk Joint Border Comitte (JBC) RI-RDTL. Fungsinya melakukan
koordinasi penentuan batas negara, kerjasama keamanan dan pelintas batas, serta
pengelolaan sumberdaya alam lintas negara. Terdapat beberapa titik perbatasan
negara yang dipermasalahkan karena konflik sumberdaya alam. Penyelesaian
konflik tersebut dilakukan melalui pertemuan-pertemuan dalam JBC juga dengan
menghadirkan tokoh-tokoh adat di wilayah perbatasan negara.
JBC RI-RDTL juga telah mengaktifkan pasar perbatasan dan pemberikan
PLB (pas lintas batas) bagi penduduk di desa-desa yang berbatasan langsung,
sebagai solusi bagi pelintas batas ilegal yang selama ini melakukan aktivitas
sosial, ekonomi dan budaya. Implikasinya berkurangnya black market dan
mengurangi transaction cost.
Adapun koordinasi pembangunan yang belum dilaksanakan oleh Joint
Border Comitte RI-RDTL adalah pengelolaan sumberdaya alam di perbatasan
negara. Terdapat sumberdaya alam yang memiliki keterkaitan ekologis yang
letaknya berada di perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste. DAS merupakan
sumberdaya pembangunan yang memiliki keterkaitan antara hulu, tengah dan
hilir. Terdapat beberapa DAS yang berada di perbatasan negara Indonesia dan
Timor Leste.
Kendalanya pemerintah menetapkan pembangunan berbasis wilayah
administratif. Pembangunan wilayah perbatasan negara sesuai dengan lokasi
prioritas I, II, dan III yang telah ditetapkan dalam grand design pembangunan
kawasan perbatasan oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Lokasi
prioritas meliputi: kecamatan-kecamatan yang berbatasan dengan negara tetangga
dan ibukota kabupaten dari kabupaten-kabupaten yang berbatasan dengan negara
tetangga. Sedangkan DAS merupakan wilayah fungsional yang berbeda secara
spatial dengan wilayah admnistrasi kecamatan.
Pengelolaan DAS Tono dilakukan oleh masing-masing negara dengan
perspektif parsial karena meliputi wilayah teritori masing-masing negara.
Pengelolaan daerah aliran sungai wilayah perbatasan negara seyogyanya
melibatkan kementerian-kementerian terkait dan seluruh stakeholder. Kerjasama
pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara akan meningkatkan pencapaian
tujuan pembangunan berkelanjutan, karena menjadi landasan pelaksanaan
program-program pembangunan berkelanjutan.
87
Dokumen-Dokumen Perencanaan Pembangunan Wilayah Perbatasan dan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Peraturan-peraturan dan institusi-institusi pemerintah pengelola
pembangunan wilayah perbatasan dan pengelola daerah aliran sungai
melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan dokumen-dokumen operasional
yang dituangkan dalam perencanaan pembangunan. Dokumen-dokumen
perencanaan dikelompokkan menjadi dokumen perencanaan spatial dan
perencanaan pembangunan.
Dokumen perencanaan spatial meliputi: Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, rencana tata ruang kawasan perbatasan negara, rencana tata ruang
Provinsi NTT, rencana tata ruang Kabupaten TTU. Adapun pemerintah Timor
Leste belum memiliki dokumen perencanaan spatial (penataan ruang). Dokumen
perencanaan pembangunan meliputi: Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) RI, RPJP Daerah Provinsi NTT, RPJP Daerah Kabupaten TTU. Dokumen
perencanaan strategis nasional pemerintah Timor Leste dan perencanaan
pembangunan District Oecussi tahun 2014-2018.
UU No. 26 tahun 2007 dioperasionalkan secara nasional melalui PP No.
26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).
RTRWN menyatakan pemerintah menetapkan pembangunan wilayah perbatasan
negara dengan prioritas keamanan. Pendekatan ekonomi juga dilakukan dengan
menetapkan Kupang (ibukota Provinsi NTT) ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan
Strategis Nasional (PKSN), Atambua (ibukota Kabupaten Belu) ditetapkan
sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), dan Kefamenanu (ibukota Kabupaten
TTU) ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW).
Kota Atambua dan Kefamenanu dalam perkembangannya, statusnya
mengalami peningkatan menjadi Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN), yang
ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 179 tahun 2014 tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Prioritas
pembangunan kawasan perbatasan negara di NTT meliputi: (i) keamanan untuk
menetapkan batas-batas darat dan laut yang bebas konflik, (ii) kesejahteraan
melalui penetapan kawasan agropolitan dan kawasan perdagangan, (iii) perpaduan
keamanan dan kesejahteraan melalui penetapan kawasan industri, (iv) lingkungan
hidup melalui penetapan buffer zone sebagai kawasan lindung.
Pemerintah Provinsi NTT menetapkan RTRW Provinsi NTT 2010-2030
merujuk pada RTRWN dan UU No. 26 tahun 2007. Pemerintah Kabupaten TTU
juga telah menetapkan kawasan perbatasan sebagai kawasan strategis daerah
sesuai RTRW Kabupaten TTU 2008-2028. Pemerintah Provinsi NTT dan
Kabupaten TTU selanjutnya melaksanakan pembangunan pada kawasan
perbatasan negara dengan maksud meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui pengelolaan sumberdaya alam di wilayah perbatasan negara.
Pelaksanaan pembangunan pada kawasan perbatasan negara sebagaimana
ditetapkan BNPP dalam dokumen grand design. Lokasi prioritas pengembangan
perbatasan negara dalam grand design yang dirinci dalam lokasi prioritas I, II, III.
Lokasi prioritas I di perbatasan sektor timur adalah Kecamatan Insana Utara,
Kecamatan Bikomi Utara, Kecamatan Amfoang Utara. Lokasi prioritas II di
perbatasan sektor timur meliputi: Kecamatan Bikomi Nilulat, Bikomi Tengah,
Naibenu, Musi, Miomafo Barat, Mutis. Adapun lokasi prioritas III adalah
Kefamenanu sebagai ibukota Kabupaten TTU.
88
Pembangunan yang dilaksanakan pemerintah Timor Leste mendasarkan
pada Rencana Strategis Pembangunan di Timor Leste tahun 2011-2030.
Pemerintah Enclave District Oecussi menjabarkannya dalam rencana jangka
menengah daerah District Oecussi 2014-2018. Pembangunan infrastruktur
dikoordinir oleh kementerian pekerjaan umum. Infrastruktur yang telah dibangun
adalah: infrastruktur listrik, pembangunan puskesmas, irigasi, pembangunan
tembok penahan di sempadan sungai. Adapun pembangunan pertanian dalam arti
luas (pertanian, perikanan, dan kehutanan). Kegiatan pemberdayaan yang telah
dilaksanakan berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan adalah: pembentukan
kelompok tani kebun menetap.
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan
Negara Indonesia dan Timor-Leste
Strategi pengembangan kelembagaan dilakukan dalam 2 (tahap) yakni: (i)
identifikasi dan pembobotan faktor internal dan eksternal, (ii) pengembangan
strategi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara. Faktor internal
dikategorikan menjadi kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses),
sedangkan faktor eksternal dikategorikan menjadi peluang (opportunities) dan
ancaman (threarts). Analisis dilanjutkan dengan membuat matriks berbobot.
Identifikasi dan Pembobotan Faktor Internal
Kekuatan (S):
1. Memiliki perundang-undangan yang mengatur mengenai pembangunan
wilayah perbatasan, dan pengelolaan daerah aliran sungai
2. Pemerintah telah menunjuk lembaga yang berwenang dalam melakukan
pengelolaan DAS lintas negara
3. Pemangku kepentingan memiliki komitmen untuk bekerjasama dalam
pengelolaan daerah aliran sungai
4. Penduduk di wilayah perbatasan RI dan RDTL memiliki hubungan
kekerabatan yang erat dan memiliki budaya perlindungan terhadap
sumberdaya air dan sumberdaya hutan
5. Sebagian penduduk telah menjadi anggota kelompok tani dan memiliki
kebun menetap
Kelemahan (W):
1. Definisi antara kawasan perbatasan dengan DAS dalam beberapa kasus
tidak sinkron secara spatial.
2. Belum ada pengelolaan daerah aliran sungai wilayah perbatasan negara
3. Perspektif pembangunan belum sepenuhnya mengakomodir pembangunan
berkelanjutan
4. Belum ada kajian fisik wilayah DAS lintas negara, karena penelitian-
penelitian yang telah dilakukan umumnya dibatasi oleh teritori negara
5. Pemangku kepentingan umumnya berpandangan bahwa pengelolaan DAS
dibatasi oleh wilayah administrasi
6. Pengelolaan bersifat parsial yakni hanya berkaitan dengan sumberdaya air,
irigasi, dan pembangunan bronjong/tembok penahan di sempadan sungai.
89
7. Perubahan penggunaan lahan konservasi menjadi lahan budidaya
mengakibatkan banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim
kemarau di DAS Tono
8. Rendahnya produksi dan efisiensi ekonomi usahatani di DAS Tono
(terutama pada usahatani lahan kering karena aktivitas usahatani lahan
kering dengan sistem tebas bakar)
Faktor internal yang telah diidentifikasi, diberi bobot untuk mengetahui
prioritas persepsi pemangku kepentingan terhadap masing-masing faktor.
Pembobotan faktor eksternal ditampilkan pada Tabel 46.
Tabel 46. Matriks Faktor Analisis Lingkungan Internal
Faktor-Faktor Internal Bobot Skor Total
Strengths
Penduduk di wilayah perbatasan RI dan RDTL memiliki
hubungan kekerabatan dan memiliki budaya perlindungan
terhadap sumberdaya air dan hutan
0,15 3,03 0,45
Memiliki perundang-undangan yang mengatur mengenai
pembangunan wilayah perbatasan
0,06 2,50 0,16
Memiliki perundang-undangan yang mengatur mengenai
pengelolaan daerah aliran sungai
0,08 2,53 0,20
Pembentukan kelompok tani kebun menetap disertai
penyuluhan dan pendampingan
0,06 2,23 0,12
Pemangku kepentingan memiliki komitmen untuk
bekerjsama dalam pengelolaan daerah aliran sungai
0,13 3,13 0,40
Weaknesses
Definisi antara kawasan perbatasan dan DAS dalam beberapa
kasus tidak sinkron (berbenturan) secara spatial
0,12 3,53 0,43
Belum ada pengelolaan DAS yang berada di perbatasan
negara dalam kerangka pembangunan wilayah perbatasan
0,08 1,90 0,15
Belum ada kesepakatan antar negara mengenai pengelolaan
daerah aliran sungai yang berada di perbatasan negara dalam
kerangka pembangunan berkelanjutan
0,14 3,63 0,49
Belum ada kajian fisik DAS lintas negara 0,04 1,87 0,07
Pemangku kepentingan umumnya berpandangan bahwa
pengelolaan DAS dibatasi oleh wilayah administrasi
0,12 2,43 0,28
Pengelolaan DAS selama ini bersifat parsial yakni hanya
berkaitan dengan sumberdaya air dan irigasi, serta
pengelolaannya umumnya perspektif jangka pendek
0,03 1,83 0,06
Perubahan penggunaan lahan konservasi menjadi lahan
budidaya mengakibatkan banjir dan kekeringan
0,06 2,53 0,16
Rendahnya produksi dan efisiensi ekonomi usahatani 0,06 2,70 0,16
Kekuatan terbesar yang menjadi pendorong adalah pemerintah RI dan
RDTL telah membentuk joint border committe dan komitmen stakeholder untuk
melakukan kerjasama pengelolaan DAS. Komitmen pengelolaan DAS secara
bersama telah dilakukan negara-negara di Afrika sejak tahun 1972, untuk
mengatasi persoalan distribusi air di Afrika (Lautze dan Guardano 2005).
Kelemahan yang menjadi penghambat utama adalah definisi kawasan perbatasan
negara yang berbeda secara spatial dengan definisi DAS, dan belum adanya
kerjasama pengelolaan DAS lintas negara dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan.
90
Identifikasi dan Pembobotan Faktor Eksternal
Peluang (O):
1. Konvensi internasional memungkinkan adanya kerjasama antar negara
dalam pengelolaan sumberdaya alam lintas negara
2. Pengalaman beberapa negara di dunia dalam mengelola DAS lintas negara
dapat dijadikan sebagai rujukan
3. Agenda lingkungan internasional
4. Telah memiliki joint border committe (JBC) RI-RDTL
5. Prioritas pembangunan di wilayah perbatasan negara
Ancaman (T):
1. Fenomena alam la nina dan el nino
2. Peningkatan suhu global
3. Perubahan iklim yang terjadi lebih sering dan semakin sulit diprediksi secara
tradisional 4. Mekanisme penganggaran kelembagaan pengelola DAS wilayah
perbatasan negara dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang
rumit.
Faktor eksternal yang telah diidentifikasi, diberi bobot untuk mengetahui
prioritas persepsi stakeholder terhadap masing-masing faktor. Pembobotan faktor
eksternal ditampilkan pada Tabel 47.
Tabel 47. Matriks Faktor Analisis Lingkungan Eksternal
Faktor-Faktor Eksternal Bobot Skor Total
Opportunities Konvensi internasional memungkinkan adanya kerjasama
antar negara dalam pengelolaan sumberdaya alam lintas
negara
0,14 2,77 0,39
Pengalaman beberapa negara di dunia dalam melakukan
pengelolaan DAS dapat dijadikan sebagai rujukan
0,15 3,37 0,52
Agenda lingkungan internasional 0,16 3,10 0,48
Telah membentuk joint border comitte RI-RDTL 0,14 2,97 0,41
Prioritas pembangunan di wilayah perbatasan negara 0,14 2,67 0,36
Threats Fenomena alam el nino dan la nina 0,09 1,83 0,17
Pemanasan global 0,10 3,50 0,35
Perubahan iklim yang terjadi lebih sering dan semakin sulit
diprediksi secara tradisional
0,04 1,47 0,05
Mekanisme penganggaran pengelolaan DAS lintas negara 0,05 1,97 0,10
Peluang kerjasama pengelolaan DAS lintas negara untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan, sebagaimana dinyatakan Lautze et al (2005)
mengenai agenda lingkungan internasional. Hubungan kekerabatan yang kuat,
sehingga interaksi sosial, budaya dan ekonomi di wilayah perbatasan tidak
terbatas pada batas administrasi negara (Taena et al. 2013). Ancaman berasal dari
budaya usahatani lahan kering dengan sistem tebas-bakar, sehingga terjadi banjir
dan kekeringan.
Analisis data pada tabel pembobotan faktor internal dan eksternal
menunjukkan faktor-faktor strengths memperoleh nilai 1,34 dan weaknesses
memperoleh nilai 1,49. Nilai total skor faktor-faktor opportunities adalah 2,16 dan
91
nilai total faktor-faktor threats adalah 0,67. Matriks SWOT ditampilkan pada
Gambar 26.
Opportunities (+2,16)
III. Ubah Strategi (OW) I. Progresif (SO)
-1,49 +1,34
Weaknesses Strenghts
IV. Defence (WT) II. Diversifikasi (ST)
Threats (-0,67)
Gambar 26. Diagram Cartesius Analisis SWOT Kelembagaan Pengelolaan DAS
Wilayah Perbatasan Negara dalam Pembangunan Berkelanjutan
Matriks SWOT sesuai diagram Cartesius menunjukkan posisi dari nilai-
nilai tersebut. Rangkuty (2006) menyatakan diagram Cartesius memiliki 4 (empat)
kuadran, setiap kuadran mewakili masing-masing strategi. Kuadran I merupakan
kuadran faktor internal dan eksternal positif sehingga strategi yang digunakan
adalah progresif (menggunakan kekuatan internal untuk memanfaatkan peluang).
Kuadran II memiliki ciri faktor internal positif dan faktor eksternal negatif,
sehingga strategi yang diterapkan adalah diversifikasi strategi (memanfaatkan
kekuatan untuk mengatasi ancaman).
Kuadaran III dicirikan oleh faktor internal negatif dan faktor eksternal
positif, sehingga strategi yang diterapkan adalah mengubah strategi
(memanfaatkan peluang untuk memperbaiki kelemahan). Kuadran IV dicirikan
oleh faktor internal dan eksternal negatif, sehingga strategi yang diterapkan adalah
strategi bertahan (defence). Kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan
negara RI dan RDTL berada pada kuadran III. Selisih nilai antara strengths dan
weaknesses adalah sebesar -0,15. Selisih nilai antara opportunities dan threats
adalah 1,49.
Rekomendasi Strategi Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan
Negara
Strategi-strategi pengembangan kelembagaan dikategorikan menjadi
progresif (SO), diversifikasi (ST), ubah strategi (OW), dan defence (WT) dirinci
dalam alternatif-alternatif strategi. Analisis diagram cartesius menunjukkan
strategi yang digunakan dalam pengembangan kelembagaan adalah memanfaatkan
peluang untuk mengatasi kelemahan (OW).
Strategi-strategi pembangunan yang telah diterapkan menjadi dasar
perubahan strategi guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Perubahan
strategi pembangunan wilayah perbatasan dilakukan dengan cara pebaikan
kelembagaan, meliputi: (i) Pembangunan di Indonesia tidak hanya perspektif
-0,15
1,49
92
administrasi, tetapi juga perspektif ekologi (hulu, tengah, hilir), (ii) pemerintah
Timor-Leste menyusun regulasi mengenai pengelolaan DAS dan penataan ruang,
(iii) rekonstruksi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara
menjadi lebih adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan
berkelanjutan, dan (iv) meningkatkan produktifitas usahatani melalui penerapan
tekhnologi yang tepat.
Salah satu strategi pada kuadran III yang mengakomodir strategi yang lain
adalah rekonstruksi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara
menjadi lebih adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan
berkelanjutan. Adanya keterkaitan antar dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan
sebagai tiga dimensi pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan DAS
wilayah perbatasan negara. Selanjutnya adanya keterpaduan program antar
pemangku kepentingan Indonesia dan Timor Leste. Struktur kelembagaan
pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara dalam JBC RI-RDTL sebelum dan
setelah mengalami rekonstruksi ditampilkan pada Gambar 27.
Gambar 27. Rekonstruksi Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Negara dalam
JBC RI-RDTL
Rekonstruksi
Joint Border Committe (JBC) RI-RDTL
Technical
Sub
Committe
on Border
Demarcatio
n and
Regulation
(BIG)
Technical Sub
Committe on
Cross Border
Movement of
Persons and
Goods
Crossing
(Kementerian
Perdagangan)
Technical
Sub
Committe
River Water
Managemen
(Kementeria
n PUPR)
Technical
Sub
Committe
on Border
Security
(Mabes
TNI)
Special
Working
Grup
Unresolved
and
unsurveyed
(Direktur
Batas Negara,
Kemendagri)
Border
Liaison
Committe
(Pemprov
NTT)
Joint Border Committe (JBC) RI-RDTL
Technical
Sub
Committe
on Border
Demarcatio
n and
Regulation
(BIG)
Technical Sub
Committe on
Cross Border
Movement of
Persons and
Goods
Crossing
(Kementerian
Perdagangan)
Technical
Sub
Committe
River Water
Managemen
&Watershed
(Kementeria
n PUPR dan
Kementerian
LH &
Kehutanan)
Technical
Sub
Committe
on Border
Security
(Mabes
TNI)
Special
Working
Grup
Unresolved
and
Unsurveyed
(Direktur
Batas Negara,
Kemendagri)
Border
Liaison
Committe
(Pemprov
NTT)
93
Rekonstruksi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara
dilakukan dengan memasukkan pengelolaan DAS dalam struktur kelembagaan
JBC RI-RDTL. Pengelolaan DAS menjadi bagian dari komite sub teknis
pengelolaan sungai dan DAS. Kementerian PUPR, dan lingkungan hidup dan
kehutanan menjadi kementerian yang berwenang melakukan pengelolaan secara
bersama. Pengelolaan bersama ini bertujuan untuk menata penggunaan lahan di
DAS Tono menjadi lebih adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan
pembangunan berkelanjutan di wilayah perbatasan negara.
Pengelolaan DAS lintas negara pada negara lain di dunia dapat dijadikan
rujukan, Wondwosen (2008) menyatakan kerjasama pengelolaan antar negara-
negara yang dilintasi DAS Nil bertujuan untuk: (i) pembangunan di DAS Nil lebih
adil, berkelanjutan, sejahtera, aman dan menciptakan kedamaian, (ii) pengelolaan
air secara efektif dan penggunaan air secara optimum, (iii) meningkatkan
collective actions antar negara-negara anggota, (iv) mengurangi kemiskinan dan
meningkatkan integrasi ekonomi. Kelembagaan pengelolaan DAS wilayah
perbatasan negara RI-RDTL diharapkan mengurangi dampak banjir dan
kekeringan.
Kelembagaan bilateral sebagai salah bentuk adaptasi terhadap perubahan
penggunaan lahan dan perubahan iklim. Kelembagaan bilateral ini tidak
meniadakan kelembagaan masyarakat dan kelembagaan unilateral, namun sebagai
pengikat antar lembaga-lembaga ini. Kelembagaan masyarakat tetap melakukan
upaya-upaya perlindungan terhadap sumberdaya hutan dan air. Pemerintah
Indonesia dan Timor Leste menyiapkan regulasi dan program-program
pembangunan yang mendukung. Adapun kelembagaan bilateral mengkoordinir
pelaksanaan dan pengawasannya. Kelembagaan bilateral sebagai solusi dalam
mengelola property right DAS Tono yang tidak sempurna, sebagaimana
dikemukakan Demsetz (1967); Allen (2002)..
Simpulan
Berdasarkan analisis dan pembasahan mengenai aspek kelembagaan
pengelolaan daerah aliran sungai perbatasan negara guna mewujudkan
pembangunan berkelanjutan, disimpulkan:
1. Koordinasi yang lemah antar kelembagaan masyarakat, kelembagaan
unilateral, kelembagaan bilateral Indonesia dan Timor Leste dalam
pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara. Ditunjukkan pembangunan
yang lebih perspektif wilayah administrasi dibanding wilayah ekologi
sehingga pembangunan berkelanjutan sulit dicapai.
2. Posisi kelembagaan pengelolaan DAS dalam kerangka pembangunan
wilayah perbatasan negara berada pada kuadran III yang berarti mengubah
strategi karena adanya peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi
kelemahan. Peluang yang dimaksud adalah agenda lingkungan
internasional, adanya JBC Indonesia dan Timor Leste untuk mengatasi
pengelolaan DAS yang parsial. Strategi yang dimaksud adalah diperlukan
rekonstruksi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara
dalam JBC Indonesia dan Timor Leste, sehingga pengelolaan DAS lebih
terpadu sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim guna
mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
94
5. DISAIN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS WILAYAH
PERBATASAN NEGARA YANG ADAPTIF TERHADAP
PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
Pendahuluan
Latar Belakang
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan wilayah fungsional secara
ekologis, batasnya tidak selalu sama dengan wilayah administrasi tertentu. DAS
Tono berada di perbatasan negara Indonesia dan Timor-Leste. Kebijakan-
kebijakan pembangunan masing-masing negara berpengaruh terhadap
pemanfaatan lahan di DAS Tono.
Kebijakan pembangunan yang parsial dan pengelolaan DAS tidak terpadu
mengakibatkan terjadinya loss economic dan kerentanan pangan di DAS Tono.
Perspektif pembangunan wilayah perbatasan negara RI dan RDTL secara spatial
tidak memperhitungkan keterkaitan ekologi DAS dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan.
Kebijakan pembangunan lembaga-lembaga terkait pembangunan wilayah
perbatasan dan pengelolaan DAS lebih perspektif administrasi dibanding wilayah
fungsional ekologi. Akibatnya individu dan common di DAS Tono bertindak
untuk memperoleh keuntungan produksi tanpa memperhatikan dampak
lingkungan yang ditimbulkan. Akumulasinya dengan kebijakan pembangunan
parsial pada masing-masing lembaga di setiap negara menyebabkan terjadinya
eksternalitas. Eksternalitas negatif menimbulkan biaya sosial yang harus
ditanggung oleh masyarakat (Coase, 1960).
Konferensi Rio+20 tahun 2012 menyatakan eksternalitas negatif
pembangunan dapat diatasi dengan perpektif pembangunan berkelanjutan yang
dapat dicapai melalui: ekonomi hijau, kerangka kelembagaan untuk pembangunan
berkelanjutan, dan aksi bersama. Kajian-kajian tentang ekonomi hijau telah
banyak dilakukan, tetapi kajian kelembagaan sebagai tools untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan (terutama di wilayah perbatasan negara) belum
banyak dilakukan.
Evaluasi terhadap kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan
negara menjadi dasar untuk mendisain model kelembagaan yang adaptif terhadap
perubahan iklim untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan
berkelanjutan terdiri atas 3 (tiga) dimensi yakni: ekologi, ekonomi dan sosial.
Masing-masing dimensi dapat dirinci sesuai dengan kekhasan DAS Tono yang
berada di wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste.
Keberhasilan beberapa negara di dunia yang telah memiliki kelembagaan
pengelolaan DAS lintas negara dapat dijadikan sebagai rujukan untuk menentukan
prioritas disain model kelembagaan pengelolaan DAS di wilayah perbatasan
negara Indonesia dan Timor Leste. Lautze et al (2005) menyatakan pembentukan
badan pengelola air pada Sungai Senegal (meliputi: Mali, Mauritania, Senegal,
Guine, Niger, Nigeria, Cameroon) dipengaruhi oleh faktor intenal dan eksternal.
Faktor internal meliputi: pengelolaan bersama, pelestarian air, dan pembagian air.
Faktor eksternal, meliputi: geopolitik, ikatan budaya, agenda lingkungan
internasional, dan keprihatinan global mengenai konflik air.
95
Negara-negara di Eropa lebih memilih membuat perjanjian antar negara
dalam pengelolaan DAS lintas negara. Faktor pendorongnya adalah kesenjangan
pembangunan antara negara. Negara-negara di Asia (Laos, Nyanmar, Kamboja,
China, Thailand, Vietnam) yang berada di DAS Mekong memilih membentuk
badan pengelola DAS Mekong. Faktor yang mendorong terbentuknya, adalah
peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan permintaan terhadap air.
Kelembagaan pengelolaan DAS yang telah dibentuk pada negara-negara
dimaksud didasarkan pada salah satu dari 3 dimensi pembangunan berkelanjutan
(ekologi, sosial dan ekonomi DAS). Penelitian ini mengkaji 3 (tiga) dimensi
pembangunan berkelanjutan secara bersamaan. Dimensi ekologi memasukkan
perubahan iklim dan dampaknya terhadap ekologi, sosial dan ekonomi. Dimensi-
dimensi pembangunan berkelanjutan menjadi landasan dalam kerjasama
pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan
iklim.
Setiap model kelembagaan menerapkan strategi yang berbeda, seperti:
penguatan kapasitas pemerintah dan masyarakat lokal, mitigasi dan adaptasi
bersama, pembayaran jasa lingkungan, usaha bersama yang terintegrasi hulu,
tengah dan hilir. Fauzi (2010) menyatakan strategi mengatasi eksternalitas
pengelolaan sumberdaya alam dilakukan dengan cara: internalisasi (usaha
bersama), koreksi dengan pajak, memfungsikan pasar. Strategi lain dikemukakan
Rosa et al (2004) menegani pengalaman di Benua Amerika yang menerapkan
compensation for ecosystem services.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan, muncul pertanyaan penelitian
berikut: bagaimana persepsi stakeholder mengenai model kelembagaan
pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan
iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan?
Tujuan
Tujuan penelitian adalah: untuk menganalisis persepsi stakeholder
mengenai model kelembagaan DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif
terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Metode Penelitian
Hipotesis
Hipotesis penelitian adalah: diduga stakeholder memiliki kesamaan
persepsi mengenai model kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan
negara yang adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan
berkelanjutan.
Metode Pengambilan Data
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui wawancara dengan pemangku kepentingan sebagai key person.
Key person ditentukan secara purposive sampling dengan mempertimbangkan
keterwakilan pemerintahan (Indonesia dan Timor Leste), masyarakat lokal
96
(Indonesia dan Timor Leste), dan pemerhati DAS (Indonesia dan Timor Leste)
yang mengetahui tentang lokasi penelitian. Pemerhati DAS merupakan
NGO/LSM, perguruan tinggi dan tokoh agama. Jumlah key person sebanyak 30
orang, dengan rincian 15 responden Indonesia dan 15 responden Timor-Leste.
Metode Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dalam bentuk tabulasi data, analisis data,
interpretasi data, dan sintesa hasil penelitian. Analisis data menggunakan Analisis
Hirarki Proses (AHP) untuk mendisain model kelembagaan pengelolaan DAS
wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan iklim guna
mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Hasil AHP dilengkapi dengan analisis
deskriptif.
Saaty (1994) menyatakan penentuan tingkat kepentingan pada setiap
tingkat hierarki dilakukan dengan judgement dari narasumber yang memahami
permasalahan. Penilaian dilakukan dengan pembobotan masing-masing komponen
secara komparasi berpasangan yang dimulai dari tingkat yang paling tinggi
sampai dengan yang terendah. Pembobotan dilakukan berdasarkan judgement
narasumber berdasarkan skala komparasi 1-9. Nilai skala komparasi digunakan
untuk mengkuatitatifkan data yang bersifat kualitatif. Skala yang digunakan
tergantung dari pandangan responden sebagaimana tertera pada Tabel 48.
Tabel 48. System Urutan Saaty dalam Hierarchy Process
Tingkat
Kepentingan
Definisi
1 Kedua elemen sama pentingnya
3 Perbedaan penting yang lemah antara yang satu dengan lainnya
5 Sifat lebih penting dari salah satu elemen kuat
7 Menunjukkan sifat sangat penting yang menonjol dari salah
satu elemen
9 Salah satu elemen penting absolute terhadap elemen lainnya
2,4,6,8 Nilai tengah diantara nilai di atas/di bawahnya
Sumber: Saaty, 1994
AHP untuk mengetahui persepsi pemangku kepentingan mengenai model
kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara dalam kerangka
pembangunan berkelanjutan. Tahapan analisisnya sebagai berikut:
a) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan
Hasil identifikasi faktor internal dan faktor eksternal menjadi dasar dalam
menentukan solusi, sebagaimana dinyatakan dalam kuadran III diagram
Cartesius. Secara ringkas, permasalahan pembangunan di wilayah perbatasan
negara Indonesia dan Timor-Leste berbasis administrasi termasuk pengelolaan
DAS Tono. Akibatnya menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan
karena terjadi banjir dan kekeringan, sehingga menyebabkan penurunan
produksi dan efisiensi ekonomi usahatani. Solusinya diperlukan rekonstruksi
kerangka kelembagaan menjadi lebih adaptif terhadap perubahan iklim guna
mewujudkan pembangunan berkelanjutan di wilayah perbatasan negara.
b) Membuat struktur hirarki
Struktur hirarki analisis kelembagaan meliputi: fokus, faktor, aktor, dan tujuan.
Faktor dirinci menjadi sub-sub faktor, sedangkan tujuan diuraikan menjadi
97
model kelembagaan dan strategi. Struktur hirarki selengkapnya ditampilkan
Gambar 28.
Gambar 28. Struktur Hirarki AHP Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah
Perbatasan Negara dalam Pembangunan Berkelanjutan
Hirarki pertama, penentuan fokus yakni: kelembagaan pengelolaan DAS
wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan iklim dalam
mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Level ke-2 merumuskan prioritas
faktor yakni: faktor ekologi, sosial, dan ekonomis DAS Tono sebagai
komponen pembangunan berkelanjutan. Masing-masing faktor dirinci menjadi
sub-sub faktor, dengan memasukkan unsur-unsur iklim.
Faktor ekologi meliputi: penggunaan lahan, hidrologi, keanekaragaman hayati,
suhu dan curah hujan (UNDP, 2004). Faktor sosial meliputi: ketergantungan
Strategi
Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara yang
Adaptif terhadap Perubahan Iklim dalam
Pembangunan Berkelanjutan Fokus
Alternatif
Ekologi
s
Ekonomi
s
Sosial Faktor
Aktor
Peningkatan
kapasitas
pemerintah
dan masy.lokal
Pembayaran
jasa lingk.
Mitigasi
dan
adaptasi
bersama
Pengembangan
usaha bersama
Pemerintah RI
(Pusat & Daerah)
Pemerintah RDTL
(Pusat & Daerah)
Masy.
RI
Masy.
TL
Tujuan Perjanjian kerjasama bilateral
pengelolaan DAS bersama
Pembentukan forum
DAS Tono
Pembentukan badan
pengelola DAS lintas negara
Land Use
Ketahanan
pangan
Tekanan penduduk
Culture
Biodiversity
Suhu&
Rainfall
Pendapatan
masy.&wil.
Pengeluaran
masyarakat&
pemerintah
Ketergantungan
masy.thd DAS
Property right&
aturan formal
Akses&potensi
konflik
pemanfaatan DAS
Hidrologi
Pemerhati
DAS Tono
Jasa LH
98
penduduk terhadap lahan, tekanan penduduk, berkembangnya kebudayaan
penduduk lokal, berkembangnya aturan formal pengeloaan DAS, akses dan
potensi konflik yang bersumber dari pemanfaatan DAS Tono. Adapun faktor
ekonomi meliputi sub faktor: ketahanan pangan, pendapatan masyarakat dan
pendapatan wilayah yang berumber dari DAS Tono, pengeluaran masyarakat
dan pemerintah dalam rangka melestarikan DAS Tono, nilai jasa lingkungan
hidup DAS.
Hirarki berikutnya, menentukan prioritas aktor yang memperoleh manfaat, dan
berperan dalam setiap model kelembagaan pengelolaan DAS Tono. Masing-
masing aktor mewakili masing-masing negara yang berasal dari unsur
pemerintahan, masyarakat dan pemerhati DAS.
Hirarki berikutnya, tujuan dari model-model kelembagaan yang adaptif
terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Model kelembagaan yang dimaksud adalah: badan pengelola DAS wilayah
perbatasan negara, forum/komisi DAS wilayah perbatasan negara, perjanjian
kerjasama pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara.
Pencapaian tujuan melalui alternatif strategi berikut: pengembangan usaha
bersama, pembayaran jasa lingkungan hidup, peningkatan kapasitas pemerintah
daerah dan masyarakat lokal kedua negara, melakukan mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim secara bersama.
c) Membuat matriks dan nilai perbandingan berpasangan
Pembuatan matriks dan nilai perbandingan berpasangan dimaksudkan untuk
menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap
masing-masing kriteria yang setingkat di atasnya. Matriks perbandingan
ditampilkan pada Tabel 49. Jika vektor pembobotan elemen–elemen kegiatan
A1, A2, ...An dinyatakan sebagai vektor W=(W1, W2,...Wn), maka intensitas
kepentingan elemen kegiatan A1 dibandingkan dengan A2 dinyatakan sebagai
perbandingan bobot elemen kegiatan A1 terhadap A2. Nilai perbandingan
elemen kegiatan A1 terhadap A2 adalah 1 dibagi dengan nilai perbandingan
elemen kegiatan A2 terhadap A1.
Tabel 49. Matriks Perbandingan Berpasangan
A1 A2 A3 ... An
A1 W1/W1 W1/W2 W1/W3 ... W1/Wn
A2 W2/W1 W2/W2 W2/W3 ... W2/Wn
A3 W3/W1 W3/W2 W3/W3 ... W3/Wn
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
An Wn/W1 Wn/W2 Wn/W3 ... Wn/Wn
Sumber: Saaty, 1994
99
d) Penentuan prioritas dan konsistensi logis
Setelah setiap kriteria dan alternatif ditetapkan, selanjutnya dilakukan
perbandingan berpasangan (pair wise comparisons). Nilai-nilai perbandingan
relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh
alternatif. Perhitungan bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks
atau melalui penyelesaian persamaan matematik. Semua elemen
dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan
suatu kriteria yang logis. Penentuan konsistensi pendapat menggunakan
software expert choice 2000.
Hasil Dan Pembahasan
Kelembagaan pengelola DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif
terhadap perubahan iklim sebagai salah satu upaya mewujudkan pembangunan
berkelanjutan. Williamson (1975) menyatakan new institutional economic
merupakan kombinasi dari ilmu sosial, ekonomi, lingkungan dan politik sebagai
upaya untuk meningkatkan kehidupan manusia. Kartodihadjo at al (2000)
mengartikan kelembagaan sebagai inovasi manusia untuk mengontrol
interdependensi antar manusia terhadap kondisi atau situasi tertentu melalui
inovasi hak kepemilikan atau batas yuridiksi. Setiap model kelembagaan memiliki
seperangkat ketentuan yang mengatur pemberian kewenangan dan tanggungjawab
yang harus dilakukan oleh pemangku kepentingan sebagai aktor. Sebagaimana
dikatakan Soekanto (1999), kelembagaan berfungsi sebagai: pedoman bagi
masyarakat dalam bertingkah laku, kontrol sosial, untuk menjaga keutuhan
masyarakat.
Disain kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara
Indonesia dan Timor Leste yang adaptif terhadap perubahan iklim guna
mewujudkan pembangunan berkelanjutan, didasarkan pada prioritas faktor yang
dirumuskan dalam analisis hirarki proses. Hasil analisis prioritas faktor, aktor,
tujuan dan strategi. Analisis prioritas dilanjutkan dengan analisis deskriptif
disesuaikan dengan hasil simulasi perubahan penggunaan lahan dan perubahan
iklim, sebab kelembagaan ini merupakan salah satu bentuk adaptasi terhadap
perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim.
Prioritas Faktor Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan
Negara
Tiga dimensi pembangunan berkelanjutan yang dianalisis dalam penelitian
ini adalah ekologi, ekonomi dan sosial sebagaimana dinyatakan oleh World
Commission on Environment and Development (1987). DAS Tono lebih
bermanfaat secara sosial (63,50%) dibanding ekologi (22,40%) dan ekonomi
(14,10%). Hasil analisis AHP faktor menggunakan software expert choice 2000
ditampilkan Gambar 29. Analisis dilanjutkan untuk mengetahui sub faktor yang
dominan dari masing-masing faktor. Analisis prioritas sub-sub faktor dari setiap
faktor ditampilkan pada Tabel 50.
100
Gambar 29. Hasil Pembobotan Faktor Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan
Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim dalam Pembangunan
Berkelanjutan
Tabel 50. Hasil Pembobotan Masing-Masing Sub Faktor Pengelolaan DAS
Wilayah Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim dalam
Pembangunan Berkelanjutan
Uraian Factor Bobot Prioritas
Sosial Tekanan penduduk 0,358 2
Ketergantungan penduduk terhadap lahan 0,380 1
Berkembangnya kebudayaan masyarakat 0,128 3
Berkembangnya aturan formal pengelolaan DAS 0,082 4
Akses dan potensi konflik pemanfaatan DAS 0,051 5
Ekologi
Hidrologi 0,429 1
Penggunaan lahan 0,394 2
Keanekaragaman hayati 0,093 3
Suhu dan curah hujan 0,084 4
Ekonomi
Ketahanan pangan 0,504 1
Peningkatan pendapatan masyarakat&wilayah 0,323 2
Pengeluaran masyarakat&pemerintah untuk pemeliharaan
DAS 0,087 3
Pembayaran jasa lingkungan hidup 0,086 4
Faktor Sosial
Penduduk di DAS Tono memiliki ketergantungan terhadap lahan dan air di
DAS Tono. Pengelolaan terhadap sumberdaya lahan dan air menumbuh-
kembangkan budaya masyarakat dan aturan-aturan formal pengelolaan DAS.
Paimin et al (2012) menyatakan DAS berfungsi secara sosial, seperti:
ketergantungan penduduk terhadap lahan untuk pertanian, pemukiman,
berkembangnya kebudayaan masyarakat, berkembangnya aturan formal, akses
dan potensi konflik pemanfaatan sumberdaya.
Prioritas pertama faktor sosial adalah DAS Tono menyediakan lahan untuk
penduduk setempat. Data penggunaan lahan menunjukkan penduduk setempat
0.635
0.224
0.141
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Sosial
Ekologi
Ekonomi
101
memiliki ketergantungan terhadap lahan di DAS Tono, terdapat 66,59% lahan
yang difungsikan untuk pertanian dan peternakan. Rinciannya: 52,23% lahan di
DAS Tono dimanfaatkan untuk pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering
campur, 2,38% untuk lahan sawah dan 11,98% sebagai lahan penggembalaan
ternak (savana).
Kondisi lahan DAS yang terjal dan berbukit-bukit menjadi faktor
pembatas pemanfaatan lahan untuk pemukiman dibanding pertanian, sehingga
tekanan penduduk terhadap lahan sebagai prioritas ke-2. Peningkatan jumlah
penduduk di DAS Tono menyebabkan tekanan penduduk makin tinggi terhadap
DAS Tono. Luas pemukiman makin meningkat yakni 262 ha pada tahun 2000
menjadi 550 ha pada tahun 2014. Prawiranegara (2014) menyatakan banjir di
DAS Marikina-Filipina disebabkan oleh: pembentukan kota-kota baru sebagai
konversi lahan hutan, pemukiman ilegal di konservasi area, penggunaan lahan
yang tidak berkelanjutan di bagian hilir, konflik pada wilayah perbatasan, dan isu
hak kepemilikan lahan.
Interaksi penduduk dengan lahan dan sumberdaya lain di DAS Tono
membentuk budaya masyarakat. Berkembangnya budaya penduduk lokal sebagai
prioritas ke-3. Koentjaraningrat (2009) mendefinisikan budaya sebagai ide,
sistem, aksi, dan produksi kreatif oleh penduduk sebagai hasil dari proses belajar.
Budaya yang berkembang adalah: banul/banut (RI) dan tarabandu (RDTL) untuk
melestarikan hutan dan sumberdaya air. Budaya melestarikan sumberdaya air juga
dilakukan oleh setiap suku pada oekanaf (air pemali). Oekanaf juga berperan
sebagai pemersatu bagi anggota-anggota tiap suku yang tersebar di RI dan RDTL
karena penyelenggaraan acara adat di oekanaf melibatkan anggota masing-masing
suku tanpa memandang batas wilayah administrasi dan teritori negara. Oii et al
(2010), menyatakan komponen sosial dan budaya memiliki norma yang mengikat
setiap orang dalam institusinya.
Berkembangnya norma sosial dan budaya membentuk aturan formal yang
menentukan property right sebagai prioritas ke-4. Hutan di DAS Tono seluas 675
ha merupakan hak milik negara. Pertanian lahan kering, pertanian lahan kering
campur, sawah, dan pemukiman merupakan hak milik individu. Adapun savana,
semak belukar, lahan terbuka merupakan hak milik komunal. Hak kepemilikan di
hulu DAS Tono didominasi oleh tipe individual and common property.
Implikasinya, negara memiliki akses yang terbatas untuk melakukan pengelolaan
terhadap DAS (Sudarmalik et al. 2014), pemerintah juga memiliki keterbatasan
pengawasan terhadap hutan yang dikelola oleh industri dan masyarakat. Rustiadi
et al (2011) menyatakan hak kepemilikan terhadap sumberdaya alam umumnya
dikategorikan menjadi: (i) state property, klaim kepemilikan berada di tangan
pemerintah, (ii) private property, klaim kepemilikan berada pada individu, (iii)
commom property atau communal property, kelompok individu memiliki klaim
atas sumberdaya yang dikelola bersama.
Perbedaan tipe property right berimplikasi terhadap akses dan memiliki
potensi konflik dalam pemanfaatannya, yang merupakan prioritas ke-5.
Kombinasi hak kepemilikan dan akses di wilayah perbatasan negara berpotensi
untuk menimbulkan konflik sebagai prioritas terakhir dari sub faktor sosial.
Terdapat beberapa lokasi masih disengketakan oleh Indonesia dan Timor-Leste di
Suni, Pistana, Fautben (Sub DAS Ekat) dan Nelu-Laokfoan (Sub DAS Banain).
Sengketa terjadi karena kepemilikan lahan dibatasi oleh state property, namun
102
akses terhadap lahan savana masih terbuka. Fauzi (2010) menyatakan secara
umum ada empat kemungkinan kombinasi hak kepemilikan dan akses, yakni:
- Tipe pertama: hak kepemilikan berada pada negara atau komunal
dengan akses yang terbatas. Tipe kombinasi ini, memungkinkan
pengelolaan sumberdaya alam yang lestari.
- Tipe kedua: hak kepemilikan berada pada individu dengan akses yang
terbatas. Kekhasan tipe ini adalah karakteristik hak kepemilikan
terdefinisikan dengan jelas dan pemanfaatan yang berlebihan dapat
dihindari.
- Tipe ketiga: kombinasi antara kepemilikan komunal dan akses terbuka.
Tipe ini dalam perspektif Hardin (1968) menyebabkan“tragedy of the
common”. Tragedi terjadi karena hasil sumberdaya dalam jangka
panjang tidak sebanding dengan pemanfaatan.
- Tipe keempat: sumberdaya dimiliki individu, namun akses dibiarkan
terbuka. Pengelolaan sumberdaya ini tidak bertahan lama karena rentan
terhadap pemanfaatan yang tidak sah sehingga sumberdaya akan cepat
habis terkuras.
Faktor Ekologi
Faktor ekologi terdiri atas: hidrologi, penggunaan lahan, keanekaragaman
hayati, suhu dan curah hujan (UNDP, 2004). DAS Tono bermanfaat secara
ekologi karena DAS merupakan ekosistem yang tidak terpisahkan dari hulu,
tengah dan hilir yang berarti aktivitas di hulu berpengaruh terhadap bagian tengah
dan hilir DAS. Terdapat 1,26% penggunaan lahan di DAS Tono merupakan hutan
yang diharapkan turut menjaga keseimbangan ekologi.
Analisis prioritas sub factor ekologi dengan AHP menunjukkan sub factor
ekologi yang paling prioritas adalah DAS menyediakan air bagi aktivitas
rumahtangga, pertanian dan peternakan. Sumberdaya air merupakan sumberdaya
yang langka di wilayah perbatasan negara RI dan RDTL sehingga air lebih
menjadi prioritas dibanding land use, biodiversity, suhu dan curah hujan.
Penduduk di DAS Tono memanfaatkan air di DAS Tono untuk memenuhi
kebutuhan rumahtangga, kebutuhan pertanian dan peternakan. Bagian hilir DAS
Tono memperoleh akumulasi air dalam debit yang lebih tinggi dibanding bagian
tengah dan hilir karena memperoleh air dari bagian tengah dan hulu yang berada
pada beberapa sub DAS. Pemanfaatan lahan di hulu sungai berdampak terhadap
ketersediaan air di hulu, tengah dan hilir DAS Tono. Data sumber mata air di
DAS Tono yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan
ditampilkan pada Tabel 51.
Prioritas ke-2 sub factor ekologi adalah penggunaan lahan. Berkurangnya
jumlah sumber mata air dan penurunan debit air pada sumber-sumber mata air,
diakibatkan oleh meningkatnya permintaan lahan untuk pemukiman, dan
pertanian sehingga sebagian hutan desa dikonversi. Penggunaan lahan dengan
tanaman yang berfungsi konservasi dibutuhkan dalam DAS agar terjadi
peningkatan tutupan sehingga meningkatkan kesersediaan air sehingga produksi
pertanian turut meningkat (Keller et al. 1998).
Prioritas ke-3 adalah keanekaragaman hayati. Hutan yang semakin gundul
dan terdapatnya tanaman tertentu yang tidak dapat dibudidayakan lagi (seperti:
apel) menjadi prioritas dalam pengelolaan DAS Tono. Consens (2010)
menyatakan sistem ekologi yang resilience terhadap perubahan lingkungan dapat
103
ditingkatkan melalui pengurangan pengelolaan parsial dan meningkatkan
kerjasama pengelolaan lintas negara. Pemerintah Canada dan Amerika Serikat
melakukan perjanjian kerjasama untuk mengurangi persaingan pemanfaatan air
dan mengurangi dampak negatif pengelolaan DAS lintas negara.
Prioritas ke-4 adalah suhu dan curah hujan. Perubahan penggunaan lahan
untuk konservasi juga berdampak terhadap perubahan suhu udara dan curah hujan.
Akibatnnya terjadinya kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim
hujan, sehingga berdampak terhadap penurunan produksi pertanian. Debit air pada
sumber-sumber mata air pun berkurang hingga sebagian kering (data sumber mata
ait ditampilkan pada Tabel 51). Schernewski et al (2010) menyatakan perubahan
iklim dan interaksinya dengan faktor lain meningkatkan resiko banjir, dan
penurunan biodiversity, sehingga Jerman dan Polandia melakukan kerjasama
pengelolaan DAS.
Tabel 51. Data Sumber Mata Air pada Desa-Desa di DAS Tono
Kecamatan Desa Nama Sumber Mata Air
Miomafo Timur Amol 5 Sumber Mata Air: Oel Atois Bani, Oel Kaemobu,
Oelnitebe, Oelmanu, Oel Bonak
Bokon 6 Sumber Mata Air: Oel Punu, Oel Lelo, Oel Bo’es, Oel
Nuban, Oel Auspaan, Oel Mat Ibu
Kaenbaun 8 Sumber Mata Air: Oel Mabaki, Oel Lauklete, Oel Tulu,
Oel Tali, Oel Taneseb, Oe Boen, Oe Tueneb, Oel Letkase
Bitefa 19 Sumber Mata Air: Oel Sene, Oel Tasona, Oel Punu,
Tolkae, Boi Maunleu, Paumbam, Luman, Insae, Oe Hala,
Oel Neonpen, Oel Manu, Oel Kiak, Oel Nail, Oe Poitnan,
Oe Nekneo, Oe Nomese, Oe Miomafo dan Oel Paifala
Bikomi Utara Banain B 7 Sumber Mata Air: Oelsusi, Oeltaupi, Oel Suakabun,
Oekolo, Oefeot, Oekaem, Oe’tolo’.
Tes 4 Sumber Mata Air: Oeana, Oenaek, Oel pa’un, Oepaha
Napan 7 Sumber Mata Air: Oelmasi, Bibona, Oe beu, Oelme, Oe
Kona, Oelfaub, Oeltafelok.
Baas 4 Sumber Mata Air: Oel Tilmat, Oel Ob, Oel Teno dan Oel
Feun
Haumeni 8 Sumber Mata Air: Oel Apot, Oel Talile, Oemenu, Oel
Umeke, Oelbetas, Oehak dan satu sumur pompa.
Bikomi Tengah Oelbonak 3 Sumber Mata Air: Oel Meokona, Oel Sikan, Oel Kolo
Buk 4 Sumber Mata Air: Oebikase, Oelbuk, Oel Sono dan
Oelola
Nimasi 2 Sumber Mata Air: Oel Ekam dan Oel Noah
Bikomi Nilulat Inbate 5 Sumber Mata Air: Oelbate, Oel’laun, Oelliso, A’oe,
Oelben’non
Nainaban 5 Sumber Mata Air: Oe Luan, Oe Menu, Oe Apot, Oe Poej
dan Oel Bisone
Sunkaen 2 Sumber Mata Air: Oel Ekam dan Oel Faot Pe
Sumber: Profil Lingkungan Kabupaten TTU, 2000
Faktor Ekonomi
Pengelolaan DAS meningkatkan ketahanan pangan, pendapatan
masyarakat, pembangunan wilayah (UNDP, 2004), dan pembayaran jasa
lingkungan (Rosa et al. 2004). Hasil analisis prioritas sub-sub faktor ekonomi
DAS Tono menempatkan ketahanan pangan sebagai prioritas pertama. DAS Tono
secara ekologi menyediakan lahan dan air, yang secara sosial dimanfaatkan
penduduk setempat untuk usahatani guna meningkatkan ketahanan pangan
penduduk di DAS Tono.
104
Sebagian hasil pertanian dipasarkan untuk memperoleh peningkatan
pendapatan penduduk dan pendapatan wilayah, yang merupakan prioritas ke-2.
Peningkatan aktivitas usahatani lahan kering dan lahan basah turut meningkatkan
transaksi ekonomi sehingga menggerakkan perekonomian secara keseluruhan di
DAS Tono. Backward linkages dan forward linkages dari usahatani di DAS Tono.
Perdagangan input pertanian dan output pertanian membutuhkan fasilitas
penunjang, yang berarti diperlukan pengeluaran pemerintah dan masyarakat
sebagai prioritas ke-3. Fasilitas penunjang (seperti: pasar perbatasan, bendungan,
irigasi, tembok penahan, bronjong, pembukaan sawah baru, dan jalan).
Pengeluaran pemerintah untuk melakukan pemeliharaan mengurangi kerusakan
terhadap sumberdaya alam (Santoso et al. 2014).
Prioritas ke-4 adalah pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara dalam
kerangka pembangunan berkelanjutan membutuhkan mekanisme pembayaran jasa
lingkungan hidup. Kebijakan dan aktivitas pembangunan pada bagian tertentu dari
DAS menimbulkan eksternalitas bagi wilayah lain sehingga perlu mekanisme
pembayaran jasa lingkungan sebagai reward dan punishment bagi stakeholder
pada masing-masing wilayah.
Kebijakan economic services juga menimbulkan beberapa permasalahan
seperti dikemukakan Wondwosen (2008) berdasarkan hasil kajian di DAS Nil.
Permasalahan yang dimaksud adalah: tidak ada kepercayaan antar negara untuk
distribusi air, terdapat permasalahan politik diantara negara-negara yang
melakukan kerjasama, ketidakpercayaan antar wilayah hilir sebagai penerima air
dengan wilayah hulu dengan penjaga kelestarian sumberdaya hutan pada DAS.
Wondwosen (2008) menambahkan, dibutuhkan pengembangan kerjasama
berbasis pembagian keuntungan bukan distribusi air.
Analisis Prioritas Pemangku Kepentingan (Aktor)
Persepsi pemangku kepentingan mengenai pemangku kepentingan yang
paling memperoleh manfaat (sosial, ekonomi dan ekologi) DAS Tono menjadi
dasar kebijakan kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara dalam
kerangka pembangunan berkelanjutan. Datta et al (2015) menyatakan kelompok
masyarakat pengguna dan masyarakat yang mengetahui tentang DAS merupakan
kelompok yang penting untuk dilibatkan dalam penentuan prioritas kelembagaan.
Pemangku kepentingan (aktor) dikelompokkan menjadi: (i) masyarakat (Indonesia
dan Timor Leste), (i) pemerintah (Indonesia dan Timor Leste), (iii) pemerhati
DAS. Hasil AHP dengan menggunakan expert choice 2000 ditampilkan Tabel 52.
Faktor sosial DAS Tono lebih dominan untuk masyarakat di Oecussi.
Ketergantungan penduduk Oecussi terhadap lahan di DAS Tono cukup tinggi
karena 47,47 persen wilayah District Oecussi berada di DAS Tono dibanding
wilayah TTU di DAS Tono (10 persen). Faktor ekologi DAS Tono lebih prioritas
terhadap masyarakat di Kabupaten TTU. Terdapat keanekaragaman hayati yang
hilang di Kabupaten TTU (yakni: apel). Datta et al (2015) menjelaskan banyak
orang yang kurang paham mengenai pentingnya pengelolaan ekosistem untuk
mempertahankan keanekaragaman hayati.
Adapun faktor ekonomi DAS Tono lebih dominan bagi wilayah Oecussi
dibanding Kabupaten TTU. DAS Tono merupakan “lumbung padi” di Oecussi.
Luas sawah di Oecussi yang memanfaatkan DAS Tono 1.300 ha dengan produksi
rata-rata 2-3 ton per ha, dibanding 95 ha lahan sawah di Kabupaten TTU.
105
Tabel 52. Hasil Pembobotan Manfaat yang Diterima Pemangku Kepentingan dari
DAS Tono
Manfaat Bobot Prioritas
Sosial
Masyarakat RI 0,369 2
Masyarakat RDTL 0,386 1
Pemerintah RI 0,112 3
Pemerintah RDTL 0,079 4
Pemerhati DAS 0,054 5
Ekologi
Masyarakat RI 0,410 1
Masyarakat RDTL 0,343 2
Pemerintah RI 0,123 3
Pemerintah RDTL 0,066 4
Pemerhati DAS 0,058 5
Ekonomi
Masyarakat RI 0,352 2
Masyarakat RDTL 0,390 1
Pemerintah RI 0,106 3
Pemerintah RDTL 0,097 4
Pemerhati DAS 0,055 5
Persepsi pemangku kepentingan turut menentukan peran masing-masing
pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS. Pemerintah mendominasi dalam
kerjasama pengelolaan DAS, dibanding pembentukan forum DAS dan
pembentukan badan pengelola DAS yang membutuhkan peran lebih seimbang
antara pemerintah, masyarakat dan pemerhati DAS. Sriburi (2008) menyatakan
setiap aktor wajib berperan aktif dan memiliki komitmen yang kuat.
Komitmen masing-masing pemangku kepentingan Indonesia dan Timor
Leste memudahkan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara. Kesepakatan-
kesepakatan pembangunan dan aktivitas masyarakat pada zona-zona yang
berfungsi budidaya (pemukiman, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering
campur, sawah, savana) dan berfungsi lindung akan mengikat pemangku
kepentingan pada masing-masing negara.
Pemerintah berwenang menerbitkan aturan-aturan, membentuk lembaga
yang berkewajiban melakukan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian
terhadap DAS wilayah perbatasan negara guna mewujudkan pembangunan
berkelanjutan. Perguruan tinggi melakukan kajian-kajian untuk dikembangkan
oleh pemerintah dan LSM. Koordinasi antar level pemerintahan (pusat, provinsi,
kabupaten) dan sektor-sektor terkait sangat membantu dalam implementasi
program pembangunan. Implementasi program pembangunan (yang diperoleh dari
kajian yang baik) oleh masyarakat lokal akan berguna dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan di wilayah perbatasan negara. Dunia usaha
membangun kemitraan yang strategis dengan masyarakat yang melakukan
pengelolaan secara individu dan komunal. Rincian peran masing-masing
stakeholder ditampilkan Tabel 53.
106
Tabel 53. Peran Masing-Masing Pemangku Kepentingan dalam Pengelolaan DAS
No Stakeholder Keterangan
1 Pemerintah
Pusat
Melakukan pembinaan, monitoring, pengawasan, dan
pengendalian pengelolaan DAS
2 Pemerintah
Provinsi
Memfasilitasi pelaksanaan pembinaan, monitoring,
pengawasan dan pengendalian pengelolaan DAS
3 Pemerintah
Kabupaten
Menjabarkan rencana makro DAS yang dibuat oleh
pemerintah pusat ke dalam perencanaan kabupaten,
memfasilitasi pemerintah desa menjabarkan perencanaan
pengelolaan DAS kabupaten dalam perencanaan desa;
mengawasi dan mengkoordinasikan pengelolaan unit-unit
lahan (building block) yang dilakukan kelembagaan desa;
membuat petunjuk teknis dan aturan-aturan sistem
pengelolaan DAS dan aturan-aturan hubungan antar desa di
wilayah kabupaten, Mengembangkan kelembagaan adat;
melakukan pembinaan, monitoring, pengawasan dan
pengendalian pelaku usaha di catchment area DAS.
4 Pemerintah
Desa
Menjabarkan perencanaan kabupaten dalam perencanaan
desa; melaksanakan pengelolaan unit-unit lahan (building
block) di desa; pemerintah desa membuat aturan mengenai
hak dan kewajiban pelaku usaha di catchment area DAS
5 LSM
Mengembangkan kapasitas masyarakat; memperkuat
kelembagaan lokal masyarakat; memfasilitasi terjalinnya
komunikasi yang intensif dan produktif antara masyarakat
dengan pihak-pihak terkait; melakukan advokasi dan
sosialisasi kebijakan kepada masyarakat untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat
6 Perguruan
Tinggi
Melakukan kajian-kajian ilmiah sebagai dasar pertimbangan
terhadap pengelolaan DAS
7 Swasta
Membina masyarakat dalam nuansa kemitraan usaha yang
mendukung sustainability
8 Masyarakat
Setempat
Mengelola lahan pada DAS secara individu atau kelompok
dengan tetap memperhatikan dampak yang ditimbulkan
terhadap lingkungan; berpartisipasi dalam pengelolaan DAS;
kerjasama dengan kelembagaan terkait dengan pengelolaan
DAS
Sumber: Supratman, 2008
Analisis Prioritas Model dan Strategi Kelembagaan Pengelolaan DAS
Wilayah Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim
Hasil analisis prioritas model kelembagaan menunjukkan 53,60%
menyatakan prioritas pada perjanjian kerjasama pengelolaan DAS Tono.
Pembentukan forum DAS lintas negara sebesar 35,20%, dan pembentukan badan
pengelola DAS lintas negara sebersar 8,50%. Kelembagaan ini juga akan
menyesuaikan dengan kondisi lingkungan (khususnya: perubahan penggunaan
lahan dan perubahan iklim) yang berdampak terhadap kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat di DAS Tono. Selengkapnya ditampilkan Gambar 30.
107
Gambar 30. Hasil Pembobotan Prioritas Model Kelembagaan Pengelolaan DAS
Wilayah Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim dalam
Pembangunan Berkelanjutan
Perjanjian Kerjasama Bilateral Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan
Negara
Perjanjian kerjasama bilateral Indonesia dan Timor Leste dilakukan oleh
Joint Border Committe RI-RDTL setelah direkonstruksi dengan memasukkan
aspek pengelolaan DAS (bukan hanya pengelolaan sungai). Mengingat
pengelolaan DAS lintas negara belum dilakukan, sedangkan bidang-bidang lain
telah dikerjasamakan. Kerjasama Indonesia dan Timor-Leste dalam pengelolaan
DAS menunjukkan pemahaman yang sama mengenai keterkaitan ekologi hulu,
tengah dan hilir DAS. Pemangku kepentingan paham mengenai aktivitas yang
cenderung eksploitatif pada bagian hulu akan menyebabkan eksternalitas negatif
pada bagian hilir. Demikian pula sebaliknya, bila aktivitas penduduk pada bagian
hulu DAS lebih ramah lingkungan akan berdampak baik terhadap bagian hilir
DAS, yang secara administrasi berada pada negara lain.
Kerjasama pengelolaan DAS lintas negara diimplementasikan dengan
meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat lokal agar memiliki
pemahaman yang sama mengenai keterkaitan ekologis dimaksud. Dilanjutkan
dengan upaya-upaya mitigasi dan adaptasi pada masing-masing wilayah. Upaya
mitigasi dilakukan oleh masing-masing negara dengan cara menyiapkan regulasi-
regulasi penunjang. Adaptasi dilakukan dengan pembangunan embung-embung,
bendungan, bronjong, dan saluran air.
Pembentukan Forum DAS Wilayah Perbatasan Negara RI-RDTL
Perjanjian kerjasama pengelolaan DAS ditindaklanjuti dengan
pembentukan forum (komisi) DAS wilayah perbatasan negara. Pembentukan
forum DAS diperlukan agar pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara menjadi
lebih bersifat operasional dan teknis. Forum DAS merupakan organisasi
multipihak yang saling berkoordinasi dalam pengelolaan DAS. Forum DAS
beranggotakan pemerintah Indonesia dan Timor Leste (pusat dan daerah),
masyarakat lokal Indonesia dan Timor Leste, pemerhati DAS.
Masyarakat lokal yang terlibat dalam forum DAS adalah masyarakat adat
yang tersebar di Indonesia dan Timor Leste. Masyarakat adat yang melakukan
pengelolaan dan pemanfaatan terhadap DAS. Sebagaimana diketahui, masyarakat
0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600
Perjanjian Kerjasama Pengelolaan DAS
Pembentukan Forum DAS Lintas Negara
Pembentukan Badan Pengelola DASLintas Negara
0.563
0.352
0.085
108
lokal melakukan usahatani secara eksploitatif, namun di lain sisi memiliki budaya
perlindungan terhadap sumberdaya air dan sumberdaya hutan di DAS Tono.
Prioritas strategi yang dilaksanakan adalah mitigasi dan adaptasi dilakukan
secara bersama. Mitigasi dilakukan dengan kajian-kajian yang implementatif
untuk melaksanakan aksi-aksi sesuai dengan regulasi yang telah disiapkan pada
tahap sebelumnya (kerjasama). Adaptasi dilakukan dengan rehabilitasi hutan dan
usahatani dengan sistem agroforestry. Kendalanya, forum DAS bersifat
koordinatif dan tidak memiliki memiliki kewenangan. McKee (2010)
menunjukkan pengalaman di DAS Jordan yang pengelolaannya didasarkan pada
isu keamanan dan politik.
Pembentukan Badan Pengelola DAS Wilayah Perbatasan Negara RI-RDTL
Kelembagaan yang memiliki kewenangan adalah pembentukan badan
pengelola DAS wilayah perbatasan negara yang diberikan otonomi oleh
pemerintah Indonesia dan Timor Leste untuk melakukan pengelolaan DAS.
Prioritas strategi yang dilakukan adalah mitigasi dan adaptasi bersama (hasil
pembobotan strategi ditampilkan Tabel 54). Bentuk mitigasi dan adaptasi
dilakukan dengan cara menyiapkan regulasi untuk menunjang integrasi usaha
bersama (hulu, tengah, hilir DAS) dan/atau mekanisme pembayaran jasa
lingkungan. Regulasi yang disiapkan mengikat pemangku kepentingan pada kedua
negara karena kesepakatan penggunaan lahan merupakan kesepakatan bersama
pemangku kepentingan Indonesia dan Timor Leste. Badan pengelola DAS
berwenang untuk melakukan penjajakan pengelolaan dengan badan-badan
lingkungan hidup internasional. Wondwosen (2008) menyatakan negara-negara di
DAS Nil membentuk badan pengelola DAS Nil pada tahun 1999, dan
memperoleh legitimasi internasional pada tahun 2003. Pengambilan keputusan
oleh dewan menteri setelah memperoleh pertimbangan dari 2 (dua) tenaga ahli
dari tiap negara.
Tabel 54. Hasil Pembobotan Strategi Pengelolaan DAS Tono
Model Bobot Prioritas
Perjanjian kerjasama pengelolaan DAS
Mitigasi dan adaptasi bersama 0,390 2
Penguatan kapasitas masyarakat dan pemerintah setempat 0,420 1
Pengelolaan usaha secara bersama di perbatasan 0,118 3
Pembayaran jasa lingkungan hidup 0,072 4
Pembentukan forum DAS lintas negara
Mitigasi dan adaptasi bersama 0,489 1
Penguatan kapasitas masyarakat dan pemerintah setempat 0,328 2
Pengelolaan usaha secara bersama di perbatasan 0,119 3
Pembayaran jasa lingkungan hidup 0,063 4
Pembentukan Badan Pengelola DAS Lintas Negara
Mitigasi dan adaptasi bersama 0,534 1
Penguatan kapasitas masyarakat dan pemerintah setempat 0,194 3
Pengelolaan usaha secara bersama di perbatasan 0,209 2
Pembayaran jasa lingkungan hidup 0,064 4
109
Road Map Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara yang
Adaptif terhadap Perubahan Iklim
Prioritas model dan strategi kelembagaan pengelolaan DAS Tono
menunjukkan kecenderungan sesuai tahapan pembangunan, perkembangan
masyarakat, dan sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Selaras
dengan itu, Mumme (2010) menyatakan kelembagaan pengelolaan DAS
disesuaikan dengan tahapan pembangunan, karakteristik masyarakat, dan kondisi
lingkungan. Dibutuhkan perhitungan kebutuhan air dan upaya konservasi.
Pengelolaan DAS Rio Grande (USA dan Mexico) didasarkan pada 4 (empat)
tahapan pembangunan yakni: pembangunan dan pertumbuhan, pembangunan
berkelanjutan, perlindungan terhadap keberlanjutan sumberdaya air,
pembangunan berkelanjutan yang memberikan kesejahteraan dan kenyamanan.
Road map kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara
terdiri atas: posisi kelembagaan, pemangku kepentingan yang terlibat, aksi-aksi
yang akan dilaksanakan, pembiayaan, hasil yang dicapai. Road map kelembagaan
ditampilkan Tabel 55 dan Gambar 31.
Tabel 55. Road map Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara
Indonesia dan Timor Leste
Komponen Kerjasama Forum DAS Badan Pengelola DAS
Posisi
kelembagaan
Kementerian
kehutanan masing-
masing negara
Lembaga
independen yang
dibentuk oleh kedua
negara
Badan otonom yang
dibentuk oleh kedua
negara
Stakeholder
yang terlibat
Dominasi
Pemerintah RI dan
RDTL
Keseimbangan
peran pemerintah,
masyarakat, dan
pemerhati DAS
Keseimbangan peran
pemerintah, masyarakat,
dan pemerhati DAS
Perubahan
penggunaan
lahan
Luas pertanian
lahan kering
campur 28.000 ha
Luas pertanian
lahan kering campur
30.000 ha
Luas pertanian lahan
kering campur > 30.000
ha
Aksi-aksi Penguatan
kapasitas
pemerintah daerah
dan masyarakat
lokal
Mitigasi dan
adaptasi bersama
Mitigasi dan adaptasi
bersama, pengelolaan
usaha secara bersama
(terintegrasi hulu, tengah
dan hilir)
Pembiayaan Pemerintah RI di
wilayah RI dan
pemerintah RDTL
di wilayah RDTL
Pembiyaan bersama
(Pemerintah RI dan
Pemerintah RDTL
Pembiayaan bersama
(Pemerintah RI dan
RDTL, lembaga donatur
internasional)
Hasil yang
dicapai
MoU dan dokumen
rencana
pengelolaan DAS
wilayah perbatasan
negara
Pengawasan trhadap
pengelolaan DAS
wilayah perbatasan
negara dalam
kerangka pemb.
berkelanjutan
Kewenangan penuh
pengelolaan DAS
wilayah perbatasan
negara dalam kerangka
pembangunan
berkelanjutan
Institusi yang
berwenang
melakukan
pengelolaan
Kementrian
kehutanan masing-
masing negara dan
dibahas dalam JBC
JBC RI-RDTL JBC RI-RDTL dan
lembaga donatur
internasional
Target waktu Tahun ke-1,2 Tahun ke-3,4,5 Tahun ke-6-10, dst
110
Gambar 31. Kerangka Road Map Kelembagaan DAS Wilayah Perbatasan Negara
dalam Pembangunan Berkelanjutan
Jumlah
penduduk (+)
Pembangunan
infrastruktur (+)
Penggunaan Lahan DAS {semak belukar
(-), hutan (-), PLK (+), PLKC (+)}
Iklim: curah hujan (±),
suhu (+)
Banjir (+) Kering (+) Input lain (faktor
produksi)
Produksi (-)
Income (-) &efisiensi
ekonomi usahatani (-)
Kelembagaan yang adaptif terhadap perubakan iklim
Harga
Pengelolaan DAS lintas
negara Indonesia dan TL
belum terpadu&terintegrasi
Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah
Perbatasan Negara Indonesia dan TL
Ekologi: PLKCC 28.000
ha, ch&suhu stabil,
Peluang (banjir 0,85,
kering 0,85). Sosial:
orientasi pertumbuhan,
sanksi adat. Ekonomi:
produksi 1,40 ton/ha
PLK, 1,70 ton/ha sawah
Ekologi: PLKCC 30.000
ha, ch&suhu stabil, Peluang
(banjir 0,92, kering 0,90).
Sosial: pemb.berkelanjutan,
penguatan lembaga adat.
Ekonomi: produksi 1,30
ton/ha PLK, 1,55 ton/ha
sawah
Ekologi: PLKCC > 30.000
ha, ch&suhu fluktuatif,
Peluang (banjir 0,98,
kering 0,97). Sosial:
pemb.berkelanjutan,
insentif. Ekonomi:
produksi 1,25 ton/ha PLK,
1,40 ton/ha sawah
Kerjasama Forum DAS Badan Pengelola DAS
111
Perjanjian kerjasama antara Indonesia dan Timor Leste mewajibkan
masing-masing negara menyiapkan anggaran pengelolaan pada masing-masing
wilayah secara independen. Aktor pada perjanjian kerjasama didominasi oleh
pemerintah kedua negara, dan menjadi lebih berimbang antara pemerintah,
masyarakat, dan pemerhati DAS pada forum DAS. Pembentukan forum DAS oleh
JBC, yang penganggarannya di-share oleh masing-masing negara. Forum DAS
menjadi cikal-bakal dibentuknya badan pengelola DAS wilayah perbatasan
negara. Wondwosen (2008) menyatakan badan pengelola DAS Nil memperoleh
status internasional pada tahun 2003 setelah melalui proses panjang.
Kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan
Timor Leste dalam bentuk road map sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan
penggunaan lahan dan perubahan iklim. Diawali dengan perjanjian kerjasama,
pembentukan forum DAS, hingga membentuk badan pengelola DAS wilayah
perbatasan negara. Prioritas kelembagaan ini disesuaikan dengan tahapan
pembangunan, karakteristik masyarakat, dan kondisi lingkungan (Mumme, 2010).
Tahapan pembangunan di wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor
Leste meliputi: orientasi pertahanan dan keamanan, peningkatan kesejahteraan
dan pertumbuhan, pembangunan yang berimbang dan pengelolaan sumberdaya
alam secara berkelanjutan. Pembangunan wilayah perbatasan yang
direpresentasikan oleh penetapan wilayah centre-hinterland, pembangunan
infrastruktur meningkatkan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk
meningkatkan permintaan terhadap lahan pemukiman dan pemenuhan kebutuhan
pangan yang diperoleh dari lahan pertanian sehingga meningkatkan luas pertanian
lahan kering campur. Akibatnya terjadi konversi lahan yang berfungsi konservasi
(hutan dan semak belukar) menjadi lahan budidaya.
Adapun kondisi lingkungan yang dimaksud adalah perubahan penggunaan
lahan, perubahan iklim, dan ekternalitas yang ditimbulkan. Perjanjian kerjasama
dilakukaan saat ini, pada kondisi pertanian lahan kering campur seluas 28.000 ha,
suhu rata-rata saat kekeringan 26oC, dan rata-rata curah hujan bulanan saat
kekeringan 50 mm. Adapun suhu udara rata-rata saat banjir 24oC dan curah hujan
rata-rata saat banjir 250 mm, dengan luas pertanian lahan kering campur 28.000
ha.
Forum DAS dibentuk saat luas pertanian lahan kering campur mencapai ≥
29.000 ha dan ≤ 30.000 ha. Rata-rata kisaran curah hujan minimal 250 mm s.d
350 mm saat banjir dan 50 mm saat kering. Temperatur minimal saat kekeringan
berkisar 26-27oC, dan 23-24
oC saat hujan. Pembentukan badan pengelola DAS
wilayah perbatasan negara dilakukan saat luas pertanian lahan kering campur
mencapai > 30.000 ha. Rata-rata kisaran curah hujan minimal saat banjir 250-450
mm dan 50 mm saat kekeringan. Rata-rata temperatur bulanan saat kering 26-
28oC dan 22-24
oC saat hujan.
Perubahan penggunaan lahan, perubahan iklim, banjir dan kekeringan
merupakan faktor ekologi yang merupakan salah satu faktor yang menjadi dasar
dalam disain kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara. Produksi
pertanian dan ketahanan pangan, pendapatan, efisiensi usahatani dan interaksi
spatial pendapatan merupakan faktor ekonomi yang juga menjadi dasar untuk
disain kelembagaan pengelolaan DAS. North (1990) dan Williamson (2000)
menyatakan efisiensi ekonomi tercapai bila kelembagaan berfungsi dengan baik
dalam mengurangi eksternalitas negatif.
112
Faktor lainnya yang turut menjadi landasan dalam disain kelembagaan
pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara adalah fakor sosial yang terdiri atas:
hubungan kekerabatan yang kuat antar penduduk di wilayah perbatasan yang
meningkatkan interaksi spatial, budaya perlindungan terhadap sumberdaya alam
dan sumberdaya hutan di DAS Tono. Karakteristik masyarakat yang dimaksud
adalah adanya hubungan kekerabatan dan interaksi (sosial, ekonomi dan budaya)
yang kuat antar kedua negara.
Masyarakat adat di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor-Leste
memiliki kearifan lokal. Kearifan lokal dalam pengelolaan DAS dalam bentuk
perlindungan terhadap sumberdaya air dan sumberdaya hutan, yang dikenal
dengan banul/tarabandu. Masyarakat lokal juga memiliki kearifan lokal dalam
mengelola pertanian lahan kering campur. Kearifan-kearifan lokal ini dapat
diakomodir dalam kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara.
Perubahan kelembagaan formal yang mengakomodir kelembagaan informal
sebagaimana dikemukakan North (1990); Ostrom (1990); dan Williamson (2000).
Kerjasama pengelolaan DAS melibatkan masyarakat lokal dengan cara
meningkatkan kapasitas masyarakat agar paham mengenai keterkaitan ekologi
hulu, tengah, hilir DAS (meskipun secara teritori berbeda). Pembentukan forum
DAS akan melibatkan masyarakat lokal dalam melakukan rehabilitas hutan dan
sistem usahatani secara agroforestry. Badan pengelola DAS berwenang
memberikan insentif terhadap pihak-pihak (termasuk masyarakat adat) yang
melakukan upaya-upaya pemeliharaan DAS, dan juga memberikan disinsentif
terhadap pihak-pihak yang tidak memanfaatkan DAS sesuai kesepakatan.
Faktor ekologi, ekonomi, dan sosial merupakan tiga dimensi dalam
pembangunan berkelanjutan. Setiap model kelembagaan melakukan strategi dan
program aksi yang berbeda untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Strategi-strategi yang dilakukan terdiri atas: penguatan kapasitas pemerintah dan
masyarakat lokal, mitigasi dan adaptasi bersama, pengembangan mekanisme aksi
bersama lainnya (pemberian insentif dan economic services). Sebagaimana telah
dilakukan oleh USA dan Mexico dalam melakukan pengelolaan DAS Rio Grande
(Parcher et al. 2010). Kajian-kajian juga diperlukan untuk melakukan
pembaharuan terhadap pengelolaan DAS, sebagaimana direkomendasikan McKee
(2010) mengenai kajian-kajian di DAS Jordan yang meliputi: ekonomi, politik,
lingkungan, kelembagaan, distribusi air untuk pertanian dan perkotaan.
Kelembagaan sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim guna
mewujudkan pembangunan berkelanjutan mendukung teori ekaternalitas dan
social cost (Coase, 1960), property rights dan regulasi (Demsetz, 1967; Allen,
2002), transaction cost (Allen, 1991) yang merupakan bagian dari teori new
institutional economic sebagaimana dikemukakan Williamson (2000).
Kelembagaan bilateral pengelolaan DAS Indonesia dan Timor Leste untuk
mengatasi eksternalitas dan biaya sosial (Coase, 1960) yang ditanggung akibat
terjadinya banjir dan kekeringan di DAS. Kelembagaan ini membutuhkan
pengaturan terhadap property right (Demsetz, 1967; Allen, 2002) di DAS Tono
yang terdistribusi dalam state property (Indonesia dan Timor Leste), common
property (masyarakat adat di Indonedia dan Timor Leste), dan individu property
(Indonesia dan Timor Leste).
113
Simpulan
Model kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara guna
mewujudkan pembangunan berkelanjutan disesuaikan dengan tahapan
pembangunan, karakteristik masyarakat, dan perubahan iklim dilakukan melalui
tahapan: (i) perjanjian kerjasama Indonesia dan Timor Leste dilakukan saat luas
pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur 28.000 ha, (ii) forum
DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste dibentuk saat luas
pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur 30.000 ha, (iii) badan
pengelola DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste dibentuk
saat luas pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur > 30.000 ha.
Strategi yang dilakukan melalui: penguatan kapasitas pemerintah dan masyarakat
lokal, mitigasi dan adaptasi bersama Indonesia dan Timor-Leste, regulasi
mengenai private property dan common property, perlindungan terhadap
sumberdaya air yang dilakukan dengan cara banul/tarabandu.
6. ARAHAN KEBIJAKAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
WILAYAH PERBATASAN NEGARA YANG ADAPTIF TERHADAP
PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Pembangunan wilayah perbatasan negara berbasis wilayah administrasi
melalui penetapan lokasi prioritas dengan kriteria: (i) kecamatan yang berbatasan
langsung dengan negara tetangga, (ii) ibu kota kabupaten yang berbatasan dengan
negara tetangga. Pembangunan di wilayah perbatasan ditujukan untuk menjaga
kedaulatan wilayah negara kesatuan republik Indonesia dengan cara:
meningkatkan pertahanan dan keamanan, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, melakukan pengelolaan sumberdaya alam wilayah perbatasan secara
berkeadilan.
Prioritas pembangunan di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste
tahun 2000 hingga 2009 lebih prioritas pada aspek pertahanan dan keamanan,
sejak tahun 2009 hingga kini prioritas pembangunan lebih menekankan pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya ini dilakukan dengan cara: (i)
pembangunan infrastruktur (jalan, listrik, telekomunikasi), (ii) membuka pasar
perbatasan negara, (iii) pemberlakukan pas lintas batas bagi penduduk yang
berada di desa-desa yang berbatasan langsung. Pembangunan pasar dan
pemberlakukan PLB sebagai bentuk implementasi kesepakatan Joint Border
Committe (JBC) Indonesia dan Timor Leste.
Orientasi pembangunan untuk meningkatkan akses dan mengurangi
keterisolasian, tetapi belum prioritas terhadap pengelolaan sumberdaya alam
wilayah perbatasan negara. Pembangunan yang dilakukan di wilayah perbatasan
negara berbasis administrasi dan homogenitas (wilayah perbatasan negara),
namun kurang memperhatikan wilayah fungsional ekologis. Rustiadi et al (2011)
menyatakan pembangunan diarahkan agar tidak hanya berbasis administrasi,
tetapi juga berbasis wilayah fungsional (ekologi, ekonomi, sosial).
Dampak dari orientasi pembangunan seperti ini, menimbulkan
eksternalitas negatif terhadap wilayah lain di perbatasan negara. Eksternalitas
negatif menimbulkan biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat (Coase,
1960). Kondisi ini terjadi karena tidak sempurnanya property right (Allen, 2002)
114
pada sumberdaya alam lintas negara. Kepemilikan sumberdaya alam sebagian
oleh Indonesia dan sebagian lagi oleh Timor Leste.
Dibutuhkan arahan kebijakan yang sebelumnya lebih berorientasi pada
pertumbuhan dan pemerataan menjadi pembangunan yang berimbang dan
berkelanjutan. Syaratnya kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam lintas
negara direkonstruksi agar lebih koordinatif antara kelembagaan masyarakat,
kelembagaan unilateral dan kelembagaan bilateral. North (1990) menyatakan
kelembagaan dikategorikan menjadi kelembagaan formal dan informal. Ostrom
(1990) mengelompokkan kelembagaan menjadi kelembagaan internal dan
kelembagaan eksternal. Kelembagaan mengalami perubahan menyesuaikan
dengan kondisi lingkungan sebagaimana dikemukakan Williamson (2000).
Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara
Pembangunan diarahkan untuk mencapai tujuan pembangunan yakni:
growth (pertumbuhan, efisiensi dan produktifitas), equity (pemerataan, keadilan
dan keberimbangan), dan keberlanjutan. Orientasi pembangunan selama ini
dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan pada pusat-pusat pertumbuhan,
mulai mengalami pergeseran menjadi lebih berorientasi pada pemerataan
pembangunan.
Pemerintah Indonesia menetapkan wilayah perbatasan nasional sebagai
prioritas nasional sejak tahun tahun 2004 (tertuang dalam RPJMN tahun 2004-
2009). Pemerintahan saat ini melanjutkannya dengan agenda pembangunan:
membangun Indonesia dari pinggiran (Nawa Cita ke-3). Pembangunan dengan
perspektif pemerataan termasuk di wilayah perbatasan negara mulai membuka
keterisolasian, meningkatkan akses dan interaksi dengan wilayah lain.
Pembangunan jalan-jalan di wilayah perbatasan membuka akses
masyarakat sehingga lebih mudah melakukan interaksi di dalam negeri juga
dengan negara lain dalam posisi yang lebih setara. Pembangunan infrastruktur
sosial (termasuk sekolah dan perguruan tinggi) memudahkan akses terhadap
pendidikan. Pembangunan sarana ekonomi di wilayah perbatasan meningkatkan
transaksi ekonomi. Pembangunan di wilayah perbatasan ini mengurangi
ketimpangan wilayah dan ketimpangan dalam masyarakat.
Program-program pembangunan umumnya berorietasi pada pertumbuhan
dan pemerataan pembangunan. Rincian program-program pembangunan di
wilayah perbatasan negara oleh pemerintah Indonesia (pusat dan daerah) dan
Timor Leste (pusat dan daerah) yang telah dilakukan di wilayah perbatasan.
Pemerintah Indonesia
1. Pemerintah Pusat
- Pembangunan jalan
- Penegerian Universitas Timor sebagai universitas di perbatasan negara
- Pelatihan dan bantuan tekhnologi pertanian di kawasan perbatasan
- Pengaktifan pasar perbatasan dan pemberlakuan pas lintas batas
- Pengalokasian dana untuk otonomi desa termasuk desa-desa di
perbatasan negara
2. Pemerintah Provinsi
- Melaksanakan program anggur merah (anggaran untuk rakyat menuju
sejahtera), termasuk pada kecamatan-kecamatan wilayah perbatasan
115
- Menetapkan kawasan strategis, pada segitiga antara Kabupaten TTU,
TTS dan kupang, yang salah satu pertimbangannya karena berada pada
wilayah perbatasan negara
3. Pemerintah Kabupaten
- Melakukan pemekaran kecamatan, sehingga kecamatan perbatasan yang
semula hanya 3 kecamatan menjadi 8 kecamatan di Kabupaten TTU
- Melaksanakan program sari tani (desa mandiri cinta petani)
- Melaksanakan program padat karya pangan
- Menetapkan kawasan perbatasan sebagai kawasan strategis daerah
Pemerintah Timor Leste
1. Pemerintah Pusat
- Menetapkan District Oecussi sebagai district khusus karena letaknya
yang enclave di wilayah indonesia
- Melakukan percepatan pembangunan di Oecussi dengan program JEMS
(pembangunan pelabuhan, bandara, jalan, listrik dan infrastruktur
pariwisata)
- Melakukan pembangunan bendungan dan irigasi
- Kebijakan tidak adanya ekspor kayu dari Timor Leste
2. Pemerintah Daerah
- Menetapkan rencana pembangunan jangka menengah District Oecussi
Tahun 2014-2018
- Melakukan pemekaran desa
Pembangunan ini telah meningkatkan growth dan mulai menciptakan
pemerataan, namun pembangunan berkelanjutan belum tercapai. Temuan
sebelumnya menunjukkan pembangunan wilayah perbatasan menimbulkan
eksternalitas negatif terhadap bagian tengah dan hilir DAS. Pembangunan di
wilayah perbatasan diarahkan selain berorientasi pada pertumbuhan dan
pemerataan juga berorientasi pada pembangunan berkelanjutan. Sebagaimana
dinyatakan Rees (1996) mengenai perencanaan pembangunan yang diarahkan
untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan di wilayah perbatasan negara diarahkan untuk
mengubah aktivitas usahatani masyarakat yang cenderung eksploitatif menjadi
lebih ramah lingkungan. Caranya usahatani tebas-bakar dengan konversi lahan
semak belukar diarahkan menjadi usahatani dengan sistem agroforestry.
Perlindungan terhadap sumberdaya alam (air dan hutan) yang selama ini telah
dilakukan oleh masyarakat adat dipertahankan dan ditingkatkan dengan
memberikan insentif. Insentif dilakukan dengan cara bantuan bibit untuk
melakukan penghijauan pada kawasan lindung adat. Selain itu, pemerintah daerah
dapat melegalkan kawasan-kawasan adat yang dimanfaatkan sebagai perlindungan
sumberdaya air dan sumberdaya hutan menjadi kawasan lindung dari sisi budaya
dan lingkungan. Sesuai dengan North (1990) yang menyatakan kelembagaan
formal dapat melegalkan kelembagaan informal yang berkembang di masyarakat.
Pembangunan kawasan perbatasan juga diarahkan pada pembangunan
wilayah perbatasan yang lebih perspektif fungsional (ekologi, ekonomi, sosial)
dibanding administrasi. Pembangunan juga diarahkan untuk tidak hanya
mengakomodir interaksi sosial, budaya dan ekonomi penduduk; tetapi juga
ketergantungan spasial-ekologi dan heterogenitas ekologi. Terdapat 10 DAS di
116
wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste, yang memiliki karakteristik yang
berbeda-beda.
Implikasinya dibutuhkan rekonstruksi kerangka kelembagaan pengelolaan
sumberdaya alam wilayah perbatasan negara. Kelembagaan yang melakukan
pengelolaan secara parsial diarahkan untuk melakukan pengelolaan yang lebih
koordinatif dan memasukkan aspek tahapan pembangunan, sosial, dan lingkungan
(Mumme, 2010) dalam pengelolaan DAS. Perubahan kerangka kelembagaan ini
mendukung kesepakatan KTT Rio+20 tahun 2012, yang menyatakan
pembangunan berkelanjutan dapat dicapai dengan cara: ekonomi hijau, perubahan
kerangka kelembagaan, dan aksi bersama.
Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara dan Kelembagaan yang
Adaptif terhadap Perubahan Iklim
Daerah aliran sungai di wilayah perbatasan negara dimanfaatkan untuk
kegiatan produksi pertanian secara ekstensif sehingga cenderung eksploitatif,
sehingga menyebabkan perubahan penggunaan lahan konservasi menjadi lahan
budidaya. Pengelolaan DAS secara co-management dibutuhkan untuk sharing
power antara pemerintah dan masyarakat di wilayah perbatasan negara.
Darmawan et al (2005) menyatakan co-management dikategorikan menjadi 3
model yakni: (i) model Ostrom yang memasukkan common property ke dalam
sistem kepemilikan formal, (ii) model Vertical Harvard Poncas yang
mendistribusikan hak kepemilikan pada hirarki pemerintahan, (iii) co-existence
yang menganjurkan adanya wilayah administrasi sesuai dengan batas ekologis.
Pengelolaan DAS di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste
merupakan modifikasi dari model Ostrom, Vertical Harvard Poncas, dan co-
Existence. Pengelolaan DAS diarahkan untuk memformalkan lokasi-lokasi
kawasan perlindungan sumberdaya air dan hutan oleh pemerintah daerah dan
pemerintah pusat sehingga membutuhkan koordinasi yang lebih baik. Koordinasi
akan lebih mudah bila pembangunan wilayah perbatasan negara tidak hanya
perspektif administrasi, tetapi juga fungsional sebagaimana model co-existence.
Kodoatie et al (2010) menyatakan pengelolaan DAS mencakup beberapa
aspek, yakni: (i) aspek teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan, (ii) keterpaduan
antar sektor, (iii) kelembagaan. Kartodihardjo et al. (2004) menyatakan
pengelolaan DAS sebagai suatu sistem sumberdaya ekologis, satuan
pengembangan sosial ekonomi, dan satuan pengaturan tata ruang wilayah yang
mengisyaratkan keterpaduan dan keseimbangan antara prinsip produktifitas dan
konservasi sumberdaya alam.
Pengelolaan DAS diarahkan untuk mempertahankan kualitas air,
mengendalikan banjir, meningkatkan penangkapan air hujan sehingga
dimanfaatkan pada musim kemarau, meningkatkan produktivitas usahatani. Kerr
(2007) menyatakan secara umum pengelolaan DAS memiliki tiga tujuan utama,
yakni: (i) melestarikan dan memperkuat basis sumberdaya alam dengan
mengoptimalkan penggunaan sumberdaya untuk konservasi, (ii) meningkatkan
produktivitas pertanian dan sumberdaya alam lainnya (termasuk tanah, air, padang
gembalaan, irigasi, produksi biomassa), (iii) mendukung mata pencaharian
pedesaan untuk mengurangi dan/atau mengentaskan kemiskinan.
Perubahan pengelolaan DAS diharapkan dapat meningkatkan daya dukung
lingkungan untuk menyediakan sumberdaya air yang dapat dimanfaatkan pada
117
bagian hulu, tengah dan hilir DAS. Perubahan pengelolaan DAS diarahkan untuk
mengubah perspektif produksi dan konsumsi menjadi peningkatan daya dukung
lingkungan, tentunya disertai dengan upaya-upaya yang lebih komprehensif.
Arahan kebijakan yang lebih komprehensif adalah perubahan kelembagaan
menjadi lebih kontinyu sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan (Williamson,
2000).
Kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara sebagai bentuk
adaptasi terhadap perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim.
Kelembagaan ini membutuhkan adaptasi terhadap kelembagaan masyarakat,
kelembagaan unilateral dan kelembagaan bilateral. Kelembagaan bilateral
berperan memformalkan kerjasama pengelolaan DAS dalam JBC Indonesia dan
Timor Leste.
Kelembagaan unilateral diarahkan untuk menyiapkan regulasi-regulasi
yang berhubungan dengan pengelolaan DAS lintas negara, sehingga pengelolaan
menjadi lebih terpadu dan terintegrasi. Pengelolaan DAS wilayah perbatasan
secara terpadu meliputi: keterpaduan wilayah fungsional (hulu, tengah, hilir),
keberlanjutan pembangunan (sosial, ekonomi, ekologi), keterpaduan antar
pemangku kepentingan (masyarakat, pemerhati DAS, pemerintah). Pengeloaan
DAS wilayah perbatasan secara terintegrasi meliputi wilayah administrasi
(Indonesia dan Timor Leste). Pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara
dimungkinkan karena adanya agenda lingkungan internasional yang dituangkan
dalam millenium development goals (MDG’s), dan telah di-update menjadi
sustainable development goal,s (SDG’s).
Kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan
Timor Leste diarahkan untuk dilakukan dengan cara reformulasi regulasi. Ostrom
(1990) menyatakan reformulasi regulasi juga dilakukan pada level constitutional
rule. Pemerintah Indonesia menetapkan pembangunan wilayah perbatasan dengan
perspektif keterkaitan spasial-ekologi, selain perspektif administrasi, sosial
budaya dan ekonomi. Pemerintah Timor Leste menyiapkan regulasi mengenai
pembangunan wilayah perbatasan, pengelolaan sumberdaya alam, dan penataan
ruang.
Arahan kebijakan juga untuk menentukan kewenangan dan koordinasi
antar kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara, sebagaimana
Ostrom (1990) menyatakan mengenai collective choice rule. Kementerian dalam
negeri, kementerian PUPR, kementerian perdagangan dan industri, kementerian
kehutanan dan lingkungan hidup yang berada dalam joint border committee
Indonesia dan Timor-Leste melakukan koordinasi di dalam negeri, sebelum
melakukan koordinasi dengan kementerian terkait dari Timor Leste dalam JBC.
Reformulasi regulasi pada tataran operasional sebagaimana dinyatakan
Ostrom (1990), dengan mengarahkan pemerintah daerah menetapkan kawasan
perlindungan sumberdaya air dan sumberdaya hutan pada rencana tata ruang
wilayah (RTRW) kabupaten. Pemerintah pusat juga menetapkannya dalam
peraturan presiden mengenai penataan ruang kawasan strategis nasional. Penataan
ruang menjadi pedoman bagi masing-masing lembaga dalam melakukan
perencanaan pembangunan. BNPP juga dapat mereformulasi grand design
pengelolaan wilayah perbatasan negara dengan memasukkan ketergantungan
spasial-ekologi. Rincian stakeholder dan kelembagaan yang terlibat dalam
kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara ditampilkan Tabel 56.
118
Tabel 56. Stakeholder dan Lembaga yang Terlibat dalam Pengelolaan DAS
Wilayah Perbatasan Negara Stakeholder Lembaga Peran
Pemerintah RI-RDTL Joint Border
Committee (JBC)
RI-RDTL
Kerjasama antara RI dan RDTL
Pemerintah Pusat BNPP Koordinasi pembangunan wilayah perbatasan
BP-DAS Mengelola DAS lintas provinsi dan lintas negara
Pemerintah Provinsi BNPP Provinsi Mengelola pembangunan di wilayah perbatasan
yang menjadi urusan pusat melalui tugas
perbantuan dan dekonsentrasi
BP-DAS Benain-
Noelmina
Mengelola DAS lintas kabupaten
Pemerintah
Kabupaten
BNPP Kabupaten Mengelola pembangunan wilayah perbatasan
yang menjadi kewenangan daerah
Masyarakat Masyarakat Adat Melakukan pemeliharaan terhadap DAS
Forum DAS NTT Melakukan fungsi koordinasi antar stakeholder
dalam pengelolaan DAS di NTT
NGO Lokal dan
internasional
Mendorong pembangunan yang berwawasan
lingkungan
PBB UN, UNDP, World
Bank,
Development Bank
Menjembatani dialog antar negara, dan
mendorong terwujudnya kerjasama bilateral
Sumber: Grand Design Pengelolaan Perbatasan RI (2012), PP RI tentang Pengelolaan
DAS (2012), Kartodihardjo et al. (2004)
Implikasi Penataan Ruang Dalam Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah
Perbatasan Negara
Interaksi sosial dan interaksi spatial berimplikasi pada penataan ruang di
wilayah perbatasan. Penataan ruang terdiri atas: perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian ruang. Penataan ruang mengarahkan pemangku kepentingan dalam
melakukan aktivitas di dalam ruang (pemanfaatan ruang), dan menjadi dasar bagi
pemerintah dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengendalian pemanfaatan
ruang di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste.
Perencanaan Ruang di Wilayah Perbatasan Indonesia dan Timor Leste
Pemerintah Indonesia menetapkan wilayah perbatasan Indonesia dengan
Timor Leste sebagai Kawasan Strategis Nasional dalam RTRWN. Implikasinya
disusun rencana rinci tata ruang sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 26
tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Perencanaan ruang pada wilayah perbatasan
Indonesia dan Timor Leste diatur dalam Perpres No. 179 Tahun 2014 tentang
Penataan Ruang Wilayah Perbatasan Negara Indonesia di Provinsi NTT.
Perencanaan ruang dilakukan di Indonesia, sedangkan pemerintah Timor Leste
belum memiliki perencanaan ruang. Penataan ruang khusus untuk wilayah
Indonesia dan tidak ada komunikasi antar pemaku kepentingan kedua negara.
Perencanaan ruang sebagaimana diamanatkan perspektif administrasi dan kurang
perspektif interaksi sosial dan ketergantungan ekologi. Secara skematis
perencanaan ruang (yang tertuang dalam Perpres No. 179 tahun 2014) di wilayah
perbatasan Indonesia di Provinsi NTT ditampilkan Gambar 32.
Perencanaan ruang dengan skema seperti ini menunjukkan adanya
interaksi sosial dan spatial antar kecamatan-kecamatan perbatasan, dan kecamatan
119
perbatasan dengan dengan Kota Atambua dan Kota Kefamenanu sebagai Pusat
Kegiatan Strategis Nasional (PKSN). Perencanaan ruang ini kurang perspektif
wilayah ekologi, sedangkan terdapat sumberdaya alam yang lintas negara.
Dibutuhkan penataan ruang yang mengakomodir wilayah ekologi dan administrasi
sebagaimana juga dikemukakan Sirojuzilam (2007).
Implikasi adanya interaksi sosial dan interaksi spatial pada wilayah
ekologi dan wilayah administrasi seyogyanya memperoleh perhatian dalam
proporsi yang sama dalam perencanaan ruang wilayah perbatasan negara. Aminah
(2012) menyatakan pendekatan socio-spatial digunakan untuk merefleksikan
kondisi sosial, ekonomi dan politik dalam penataan ruang. Secara skematis
perencanaan ruang wilayah perbatasan perspektif wilayah administrasi dan
ekologi ditampilkan Gambar 33.
Pemerintah Kabupaten TTU juga menetapkan kawasan perbatasan negara
dengan enclave District Oecusi sebagai kawasan strategis daerah, sebagaimana
diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten TTU No. 8 tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten TTU tahun 2008-2028. Kawasan hutan
pada wilayah perbatasan yang termasuk dalam DAS Tono seluas 1.352 ha yang
berada di Desa Nainaban, Inbate, Banain, Bitefa, Kaenbaun, Bokon, Fatusene.
Selebihnya (13.313 ha) merupakan lahan di DAS Tono yang direncanakan dengan
fungsi budidaya (pertanian, pemukiman, padang penggembalaan, lahan terbuka).
Kendalanya, perencanaan ruang oleh pemerintah Indonesia dilakukan pada
wilayah Indonesia tanpa koordinasi dengan pemerintah Timor Leste sehingga
kurang perspektif interaksi sosial dan ketergantungan ekologi antar negara.
Perencanaan ruang pada wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste telah
dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada tingkat pusat dan daerah, sedangkan
pemerintah Timor Leste belum melakukan perencanaan ruang baik pada tingkat
pusat maupun pada tingkat daerah.
Arahan kebijakan pada wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste
pada perencanaan ruang adalah:
- perencanaan ruang wilayah perbatasan pada wilayah Indonesia direvisi
dengan memasukkan perspektif wilayah fungsional ekologi (DAS
perbatasan negara), yang dilakukan dalam tahap kerjasama
pengelolaan DAS lintas negara.
- perencanaan ruang penting dilakukan di wilayah Timor Leste oleh
pemerintah Timor Leste, yang dilakukan dalam tahap kerjasama
pengelolaan DAS lintas negara
- koordinasi perencanaan ruang antara pemerintah Indonesia dan Timor
Leste dalam perencanaan ruang wilayah perbatasan negara, yang
dilakukan oleh forum DAS dalam tahap pengelolaan DAS lintas
negara
- konektivitas perencanaan raung Indonesia dan Timor Leste pada
kawasan perbatasan, yang dilakukan oleh badan pengelola DAS dalam
tahap pengelolaan DAS lintas negara
Koordinasi hingga tercapainya konektivitas perencanaan ruang Indonesia dan
Timor Leste pada wilayah perbatasan menjadi landasan pemanfaatan dan
pengendalian ruang oleh pemangku kepentingan di Indonesia dan Timor Leste.
120
Gambar 32. Peta Ilustrasi Skema Penataan Ruang Wilayah Perbatasan Negara Indonesia di NTT
120
121
Gambar 33. Peta Ilustrasi Skema Desain Penataan Ruang Wilayah Perbatasan Negara Indonesia dan Timor Leste
121
122
Perencanaan ruang wilayah perbatasan negara perlu perspektif ekologi
dengan memasukkan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara sebagai salah
satu sumberdaya pembangunan. Kelembagaan pengelolaan DAS wilayah
perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste dapat memulai dari pengelolaan
DAS Tono sebagai model, dan memperluas wilayah pengelolaan untuk DAS yang
lebih luas wilayahnya. Sebagai gambaran DAS wilayah perbatasan negara
Indonesia dan Timor Leste secara administrasi meliputi: (i) Kabupaten TTU
dengan District Oecussi, (ii) Kabupaten TTU, TTS, Kupang, dan District Oecussi,
(iii) Kabupaten TTS, TTU, Malaka, District Kovalima (iv) Kabupaten Malaka,
Belu, District Kovaliva. Kabupaten TTS merupakan kabupaten di Pulau Timor
yang tidak berbatasan langsung dengan Timor-Leste, namun umumnya
merupakan hulu DAS besar di Pulau Timor.
Pemanfaatan Ruang di Wilayah Perbatasan Indonesia dan Timor-Leste Pemanfaatan ruang di Indonesia pada DAS Tono tidak konsisten dengan
perencanaan ruang karena luas hutan direncanakan seluas 1.320 ha, namun
penggunaan lahan hutan yang ada hanya seluas 589 ha (selisih 731 ha). Konversi
lahan hutan menjadi lahan semak belukar dan lahan pertanian rentan terjadi
karena terdapat beberapa desa yang enclave pada kawasan hutan. Perbandingan
konsistensi perencanaan ruang dengan pemanfaatan ruang di wilayah perbatasan
pada DAS Tono-RI ditampilkan Gambar 34.
Pemanfaatan ruang dengan konversi lahan hutan menjadi lahan budidaya
(pertanian lahan kering dengan sistem tebas-bakar) menyebabkan terjadinya
penurunan pendapatan petani lahan kering (36%) dan petani lahan basah (66%)
karena terjadi banjir dan kekeringan sebagaimana hasil analisis pada Bab 3.
Arahan kebijakannya adalah konsistensi pemanfaatan ruang di Indonesia
diharapkan dapat mengurangi terjadinya banjir dan kekeringan karena infiltrasi
yang tinggi. Demikian pula perencanaan dan pemanfaatan ruang di Timor Leste
yang lebih berfungsi konservasi terutama pada wilayah dengan kemiringan
(>40%) akan mengurangi terjadinya banjir dan kekeringan pada DAS Tono.
Arahan kebijakan lainnya adalah pemanfaatan ruang pada kawasan hutan
dengan fungsi budidaya dapat diperbolehkan kepada masyarakat, namun dengan
sistem agroforestry sehingga tetap berfungsi konservasi. Konservasi dan budidaya
secara bersamaan pada sistem agroforestry diharapkan dapat meningkatkan
produksi dan pendapatan petani karena berkurangnya banjir dan kekeringan di
DAS Tono.
Pemanfaatan ruang dengan perspektif yang sama juga dilakukan di
wilayah perbatasan Timor Leste sehingga turut menjamin pembangunan
berkelanjutan. Suweda (2011) menyatakan pemanfaatan ruang dengan
memperhatikan interaksi komponen sosial politik, ekonomi dan lingkungan hidup
dapat menjamin kehidupan manusia yang hidup pada masa kini dan masa
mendatang, asalkan pembangunan sosial ekonomi tidak melampaui ambang batas
lingkungan.
Pemanfaataan ruang dengan perspektif administrasi dan ekologi
membutuhkan komunikasi antar pemangku kepentingan Indonesia dan Timor
Leste; sebab mengakibatkan berkurangnya fungsi hidrologi. Komunikasi dapat
dilakukan dalam forum-forum Joint Border Comitte (JBC) Indonesia dan Timor
Leste.
123
Gambar 34. Peta Pola Ruang dan Penggunaan Lahan di DAS Tono RI
123
124
Pengendalian Ruang di Wilayah Perbatasan Indonesia dan Timor Leste
Mekanisme pengendalian ruang sesuai UU Penataan Ruang yang
dijabarkan dalam dokumen perencanaan ruang (Penataan Ruang Kawasan
Perbatasan Negara dan RTRW Kabupaten) adalah pemberian insentif dan
disinsentif. Insentif bagi pihak-pihak yang memanfaatkan ruang sesuai dengan
perencanaan ruang, sedangkan disinsentif bagi pihak-pihak yang tidak
memanfaatkan ruang sesuai peruntukannya. Pengendalian ruang sebagaimana
dimaksud belum dilakukan sehingga terjadi inkonsistensi pemanfaatan ruang
dengan perencanaan ruang.
Arahan kebijakannya adalah sosialisasi dan konsisten dalam implementasi
rencana tata ruang wilayah termasuk rencana pengendaliannya guna mewujudkan
pembangunan berkelanjutan di wilayah perbatasan negara. Tukidi et al (2007)
menyatakan pemberian insentif dan disinsentif merupakan kebijakan penataan
ruang untuk mewujudkan tujuan dan sasaran pengembangan wilayah, sekaligus
mengatasi berbagai permasalahan aktual pembangunan.
Arahan kebijakan penataan ruang wilayah perbatasan secara umum adalah
dibutuhkannya revisi penataan ruang (perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian) dengan memasukkan DAS sebagai wilayah fungsional ekologi,
sehingga lebih menjamin pembangunan berkelanjutan. Revisi penataan ruang juga
memperhatikan kesepakatan-kesepakatan Indonesia dan Timor Leste mengenai
pengelolaan sumberdaya alam lintas negara.
Kesepakatan RI-RDTL mengenai penataan ruang wilayah perbatasan
dengan cara menentukan pola ruang dan struktur ruang. Pola ruang berhubungan
dengan kawasan budidaya dan kawasan lindung, sedangkan struktur ruang
berhubungan dengan penempatan pusat-pusat aktivitas dan jaringan interaksi
antara masing-masing pusat aktivitas. Pola ruang yang ditata sesuai dengan
property right karena DAS lintas negara dimiliki secara bersama (property right
tidak sempurna karena dimiliki Indonesia dan Timor Leste).
Pola ruang dengan peruntukan lahan hutan, diarahkan untuk direhabilitasi
kembali hingga mencapai lebih dari 30 persen luas DAS atau 16.040 ha lahan
hutan dari 53.464 ha luas DAS Tono. Distribusinya, luas hutan pada DAS Tono di
Indonesia (4.430 ha dari 14.763 ha) dan Timor-Leste (11.610 ha dari 38.701 ha).
Bandingkan dengan luas hutan saat ini di DAS Tono adalah 675 ha (589 ha di
Indonesia dan 86 ha di Timor Leste).
Kondisi saat ini luas lahan DAS Tono di Indonesia yang dapat dikonversi
menjadi lahan hutan seluas 1.352 ha. Lahan seluas 1.352 ha merupakan lahan
milik negara (state property). Luas hutan di Indonesia setelah direhabilitasi belum
mencapai luas hutan minimal (4.430 ha). Dibutuhkan lahan milik individu
(individual property) dan komunal (common property) untuk dikonversi. Konversi
dimaksud adalah pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur sistem
tebas-bakar menjadi sistem agroforestry seluas 2.748 ha. Total luas lahan hutan
dan agroforestry DAS Tono di Indonesia setelah direhabilitasi seluas 4.838 ha
atau luasannya lebih 408 ha.
Lahan hutan dan agroforestry seluas 4.838 ha seluruhnya berada pada
bagian hulu dan tengah DAS Tono. Lokasi rehabilitasi lahan secara spatial
ditampilkan Gambar 34. Topografinya pada daerah ketinggian dengan kemiringan
> 40% sehingga akan mengurangi aliran permukaan, erosi, banjir. Peningkatan
125
luas hutan dan agroforestry juga akan meningkatkan curah hujan karena tingginya
evapotranspirasi sehingga dalam jangka panjang akan mengurangi kekeringan.
Penataan ruang berimplikasi terhadap pelaksanaan program-program
pembangunan berkelanjutan disesuaikan dengan kondisi ekologi, sosial, dan
ekonomi. Arahan kebijakan penataan ruang dalam pengelolaan DAS wilayah
perbatasan negara pada tiap tahapan kelembagaan sebagai berikut:
- Kerjasama pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara: meningkatkan
kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat lokal mengenai keterkaitan
ekologi DAS (hulu, tengah, dan hilir) meskipun DAS berada pada wilayah
administrasi yang berbeda, meningkatkan pemahaman mengenai
terwujudnya pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu tujuan
pembangunan (selain growth dan equity).
- Forum DAS wilayah perbatasan negara: mitigasi dan adaptasi bersama,
kajian-kajian untuk memastikan fungsi hidrologi DAS wilayah perbatasan.
Perhitungan-perhitungan fungsi hidrologi karena adanya perlindungan
terhadap lahan konservasi, dan rehabilitasi lahan yang diperlukan untuk
menjaga kelestarian fungsi hidrologi.
- Badan pengelola DAS wilayah perbatasan negara: menggunakan kajian
yang telah dilakukan forum DAS untuk melaksanakan willingness to pay
dan willingness to accept, pengelolaan usaha bersama secara terintegrasi,
pemberian insentif bagi pihak-pihak yang menjaga kelestarian sumberdaya
alam, usahatani lahan kering dengan sistem agroforestry, penguatan
kelembagaan adat untuk melakukan perlindungan terhadap sumberdaya air
dan hutan, pembangunan stasiun agroklimat dan sistem informasi yang
dapat diakses oleh kedua negara, sistem tata air dan alokasi penggunaan
air, pembangunan infrastruktur seperti: bendungan, embung-embung,
jaringan irigasi.
Penataan ruang yang dalam pelaksanaannya berbeda antar tahapan kelembagaan
sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan penggunaan lahan dan perubahan
iklim.
Salah satu kelemahan dari kelembagaan pengelolaan DAS wilayah
perbatasan adalah terbatasnya kewenangan pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten serta pemerintah desa dalam melakukan perencanaan pembangunan
pada wilayahnya secara otonom. Meskipun otonomi daerah telah diterapkan
sesuai UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan otonomi desa
sesuai UU No. 6 tahun 2014 tetang Desa. Penataan ruang pada wilayah perbatasan
sifatnya mengikat antar kedua negara, sehingga mengurangi kebebasan individu,
pemerintah desa dan pemerintah daerah dalam merencanakan pembangunan pada
wilayah perbatasan.
Solusinya dibutuhkan komunikasi dan koordinasi yang baik antar
kelembagaan masyarakat, unilateral, bilateral akan memudahkan implementasi
kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara sebagai bentuk
adaptasi terhadap perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim. Adaptasi
perubahan iklim ini dilakukan secara terintegrasi dengan program untuk
meningkatkan ketahanan (recilience) ekonomi, sosial, dan lingkungan yang
berarti selaras dengan upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
126
7. SIMPULAN UMUM DAN SARAN
Simpulan Umum
Berdasarkan hasil analisis data dan sintesis setiap permasalahan, simpulan
umum penelitian adalah: kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan
negara yang adaptif terhadap perubahan iklim sebagai solusi mewujudkan
pembangunan berkelanjutan di wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor-
Leste. Simpulan umum dirinci dalam simpulan-simpulan berikut:
1. Pembangunan wilayah perbatasan negara yang direpresentasikan oleh
jumlah penduduk dan akses ke pusat pertumbuhan berhubungan positif
dengan penggunaan lahan pemukiman, pertanian lahan kering campur dan
sawah.
2. Peluang banjir dan kekeringan mengalami peningkatan di DAS Tono.
Peningkatan peluang banjir disebabkan oleh: (i) peningkatan luas
pertanian lahan kering campur sebagai konversi dari lahan semak belukar
yang memiliki fungsi konservasi, (ii) penurunan luas hutan, (iii)
peningkatan luas sawah karena sebagian air dialirkan melalui saluran
menuju sawah, dan merupakan konversi dari lahan terbuka, (iv)
peningkatan curah hujan bulanan. Adapun peningkatan peluang
kekeringan terjadi karena: penurunan curah hujan bulanan, peningkatan
temperatur bulanan dan luas pertanian lahan kering campur. Banjir dan
kekeringan berdampak terhadap penurunan produksi dan efisiensi ekonomi
usahatani (tumpangsari dan monokultur) di DAS Tono.
3. Kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang ada saat
kurang koordinatif antara kelembagaan masyarakat, unilateral dan
bilateral. Kelembagaan unilateral juga kurang koordinasi antar sektor
karena pembangunan wilayah perbatasan lebih perspektif wilayah
administrasi dibanding wilayah fungsional ekologi. Dibutuhkan perubahan
strategi dengan rekonstruksi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah
perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan iklim.
4. Model kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang
adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan
berkelanjutan dilakukan dalam bentuk road map berikut: perjanjian
kerjasama, forum DAS, dan badan pengelola DAS. Pelaksanaannya
sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan penggunaan lahan dan
perubahan iklim, yang berdampak terhadap dimensi sosial dan ekonomi.
Saran
Saran yang diajukan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pembangunan wilayah perbatasan negara tidak hanya perspektif
administrasi tetapi juga perspektif ekologi, guna mewujudkan
pembangunan berkelanjutan. Dibutuhkan pemahaman dan sosialisasi
mengenai keterkaitan ekologi DAS wilayah hulu, tengah, dan hilir yang
berada di wilayah Indonesia dan Timor Leste.
2. Konversi lahan konservasi dikurangi, dengan cara melakukan agroforestry
sehingga tutupan lahan tetap dipertahankan dan secara ekonomi tetap
menguntungkan bagi masyarakat.
3. Penguatan lembaga adat guna menjaga kelestarian sumberdaya air dan
sumberdaya hutan yang berada di DAS wilayah perbatasan negara.
127
Dilanjutkan dengan pemberian insentif untuk pihak-pihak yang menjaga
kelestarian sumberdaya air dan hutan di DAS wilayah perbatasan negara.
4. Diperlukan kajian lanjutan mengenai sumberdaya fisik wilayah, debit air,
distribusi air dan economic services.
DAFTAR PUSTAKA
Aerts JCJH, Droogers P. 2004. Climate Change In Constraining River Basins:
Adaptation Strategies For Water, Food and Environment. London(GB):
CABI Publishing.
Allen DW. 2002. The Rhino’s Horn: Incomplete Property Rights and the Optimal
Value of an Asset. Journal of Legal Studies 31:359-368
Aminah S. 2015. Konflik dan Kontestasi Penataan Ruang Kota Surabaya.
Masyarakat: Jurnal Sosiologi 20 (1):59-79.
Ananda J, Proctor W. 2013. Collaborative Approaches to Water Management and
Planning: An Institutional Perspective. Ecological Economics 86:97-106.
Anwar M. 2012. Pewilayahan Hidroklimat Untuk Optimasi Penggunaan Lahan
Pertanian Menggunakan Model SWAT: Kasus DAS Barito Hulu
Kalimantan Tengah. Disertasi Program Studi Agroklimat Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Ansofino. 2005. Peranan Kebijakan Penentuan Harga Air (Water Pricing Policy)
bagi Pemanfaatan Sumberdaya Air ke Arah Berkelanjutan dengan Fokus
Studi di Wilayah DKI Jakarta. Disertasi Program Studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Bærenholdt JO, Aarsæther N. 2002. Coping Strategies, Social Capital and Space.
European Urban and Regional Studies 9:151-165.
[BNPP] Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia. 2011. Grand
Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan 2011-
2025. Jakarta (ID): BNPP RI.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. 2011.
Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Jakarta (ID):
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Badan
Penelitian Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. 2010. Analisis
Dampak Kejadian Iklim Ekstrim terhadap Efisiensi Teknis Usahatani.
Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian Badan Penelitian Pengembangan Pertanian Kementerian
Pertanian.
Bapedalda Kabupaten TTU. 2006. Profil Lingkungan Hidup Kabupaten TTU.
Kefamenanu (ID): Bapedalda Kabupaten TTU.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 1999. Menata ke Depan
Perekonomian Nasional. Jakarta (ID): Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional.
. 2005. Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan. Jakarta (ID): Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
128
BPS Kabupaten TTU. 2012. Kabupaten TTU dalam Angka 2014. Kefamenanu
(ID): BPS Kabupaten TTU.
. 2014. Kabupaten TTU dalam Angka 2014. Kefamenanu (ID): BPS
Kabupaten TTU.
BPS Provinsi NTT. 2014. Provinsi NTT dalam Angka 2014. Kupang (ID): BPS
Provinsi NTT.
BPS Provinsi Timor Timur. 1997. Provinsi Timor-Timur dalam Angka 1997. Dili
(ID): BPS Provinsi Timor-Timur.
Bronstert A. 2003. Floods and Climate Change: Iteraction and Impacts. Risk
Analyisis 23(3):545-57
Cline W. 2007. Global Warming and Agriculture: Impact Estimates by Country.
Washington DS(US): Center for Global Development and Peterson
Institute for International Economics.
Coase RH. 1960. The Problem of Social Cost. Journal of Law and Economics.
3:1-44.
Coelli T, Rao DSP, Battese GE. 1998. An Introduction to Efficiency and
Productivity Analysis. London (GB): Kluwer Academic Publishers.
Cosens B. 2010. Transboundary River Governance in the Face of Uncertainty:
Resilience Theory and the Columbia River Treaty. Journal of Land,
Resources and Environmental Law 30(2):229-265.
Dasanto BD, Boer R, Pramudya B, Suharnoto Y. 2014. Simple Method for
Assesing Spread of Flood Prone Areas Under Historical and Future
Rainfall In The Upper Citarum Wateshed. Environment Asia 7(2):79-86.
Datta D, Gosh PK. 2015. Evaluating Sustainability Of Community Endeavours in
an Indian Floodplain Wetland Using Multi-Criteria Decision Analysis.
Singapore Journal of Tropical Geography 36(1):38-56.
Darmawan AH, Krisnamurthi B, Tanjung D, Tonny F, Prasetyo LB, Fauzia L,
Prasodjo NW, Suharno, Indrayanti Y, Mardyaningsih DI. 2004.
Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya
Alam: Daerah Aliran Sungai Citanduy. Bogor (ID): Pusat Studi
Pembangunan Institut Pertanian Bogor.
Davis LS, Jhonson KN. 1987. Forest Management: Third Edition. New York
(US): Mcgrow-Hill Book Company.
de Jong W. 2008. Transborder Environmental and Natural Resource Management.
Kyoto: Center for Integrated Area Studies-Kyoto University.
Demtesz H. 1967. Toward a Theory of Property Rights. The American Economic
Review 57 (2):347-359
Departemen PU. 2007. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang. Jakarta (ID): Departemen PU.
Departemen PU. 2014. Peraturan Presiden Nomor 179 Tahun 2014 Tentang
Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Nusa Tenggara
Timur. Jakarta (ID): Departemen PU.
Depdagri. 2005. Rencana Induk Pengembangan Wilayah Perbatasan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta (ID): Depdagri.
Direktorat Penataan Ruang Wilayah Nasional. 1992. Studi Tipologi Kabupaten.
Jakarta (ID): Direktorat Penataan Ruang Wilayah Nasional.
129
Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal BAPPENAS. 2004.
Tata Cara Perencanaan Pengembangan Kawasan untuk Percepatan
Pembangunan Daerah. Jakarta (ID): Direktorat Pengembangan Kawasan
Khusus dan Tertinggal BAPPENAS.
Drestha M, Opang Y. 2009. Laporan Hasil Kajian Kondisi Biofisik DAS Tono
dan Kecenderungannya. Denpasar (ID): World Neighbors.
Droogers P, Van Dam J, Hoogeveen J, Loeve R. 2004. Adaptation Strategies to
Climate Change to Sustain Food Security. In: Climate Change in
Constrasting River Basins: Adaptation Strategies for Water, Food and
Environment (Eds: Aerts JCJH, Droogers P). London (GB): CABI
Publishing.
Dwiastuti R. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air di Daerah Tangkapan
Air Bendungan Sutami dan Sengguruh: Suatu Pendekatan Optimasi
Ekonomi. Disertasi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
[UN] European Union. 2000. Directive 2000/60/EC:EU Water Framework.
Brussle: European Commision Environment.
European Spatial Planning. Adapting to Climate Events. 2008. Climate Changes
Impact and Spatial Planning Decision Support Guidance. German:
European Spatial Planning.
Fauzi A. 2010. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi.
Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
Febriabi N. 2008. Kajian Konservasi Lahan di hulu DAS Citarum Dalam Upaya
Mendukung Pengembangan Wilayah Berbasis Sumberdaya Alam yang
Berkelanjutan. Thesis Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Hayek FA. 1968. Competition as a Discovery Procedure. The Quartely Journal of
Australian Economics 5(3):9-23.
Herold M, Latham JS, Di Gregorio A, Schumulius CC. 2006. Evolving Standar in
Land Cover Characterization. Journal of Land Use Science 1:157-68.
Hilyana S. 2011. Optimasi Pemanfaatan Ruang Kawasan Konservasi Gili Sulat-
Gili Lawang Kabupaten Lombok Timur. Disertasi Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hoanh CT, Guttman H, Droogers P, Aerts J. 2004. Will We Produce Sufficient
Food Under Climate Change? Mekong Basin (South-East Asia). In:
Climate Change in Constrasting River Basins: Adaptation Strategies for
Water, Food and Environment (Eds: Aerts JCJH, Droogers P). London
(GB): CABI Publishing.
http://chg-ftpout.geog.ucsb.edu/puborg/chg/products/CHIRPS-2.0/global-
monthly/tifs/.
http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.UEA/.CRU/.TS3p0/
Juanda B. 2009. Ekonometrik Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Press.
Kadar I. 2003. Analisis Pengaruh Tata Ruang Terhadap Konservasi Air dan
Penerimaan Daerah di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor. Disertasi
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah
130
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Kaimuddin. 2000. Kajian Dampak Perubahan Iklim Dan Tata Guna Lahan
Terhadap Keseimbangan Air Wilayah Sulawesi Selatan (Studi Kasus DAS
Walanae Hulu dan DAS Saddang). Disertasi Program Studi
Agroklimatologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Kartasapoetra AG. 2012. Klimatologi: Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan
Tanaman. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara.
Kartodihadjo H, Murtilaksono M, Sudadi U. 2004. Institusi Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai: Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kartodihardjo H, Jhamtani H (Editor). 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan
di Indonesia. Jakarta (ID):Equinox.
Karyana A. 2007. Analisis Posisi dan Peran Lembaga Serta Pengembangan
Kelembagaan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Disertasi
Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kasan. 2012. Dampak Liberalisasi Perdagangan dan Perubahan Iklim Pada
Komoditi Pangan di Berbagai Negara Terhadap Makro dan Sektoral
Ekonomi Indonesia: Pendekatan Model Ekonomi Keseimbangan Umum.
Disertasi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Katiandagho TM. 2007. Model Pengelolaan Sumberdaya Air Dalam Kompetisi
Antar Sektor di Wilayah Hilir Daerah Irigasi Jatiluhur: Pendekatan
Optimasi Dinamik. Disertasi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Kerr J. 2007. Wathershed Management: Lessons From Common Property Theory.
International Journal of The Commons I(1):89-109.
Keller J, Keller A, Davids G. 1998. River Basin Development Phases and
Implications of Closure. Journal of Applied Irrigation Science 33(2)145-
163.
Klein H, Douben KJ, Van Deursen W, Van Steveninck EDR. 2004. Inreasing
Climate Variabilityin the Rhine Basin: Business as Usual?. In: Climate
Change in Constrasting River Basins: Adaptation Strategies for Water,
Food and Environment (Eds: Aerts JCJH, Droogers P). London (GB):
CABI Publishing.
Kodoatie RJ, Sjarief R. 2010. Tata Ruang Air. Yogyakarta (ID): Andi.
Kontjraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta (ID): PT. Gramedia.
Kundzewicz ZW, Kanae S, Seneviratne SI, Handmer J, Nicholls N, Peduzzi P,
Mechler R, Bouwer LM, Arnell N, Mach K, Muir-Wood R, Brakenridge
GR, Kron W, Benito G, Honda Y, Takahashi K, Sherstyukov B. 2012.
Flood Risk and Climate Change: Global and Regional Perspectives.
Hydrological Sciences Journal 59(1):1-28.
Lusiana B, Widodo R, Mulyoutami E, Nugroho DA, Van Noorwidjk M. 2008.
Kajian Kondisi Hidrologis DAS Talau Kabupaten Belu Nusa Tenggara
Timur. Bogor (ID): World Agroforestry Centre.
131
Malik IB, Winadjo N, Fauzi A, Royo. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan
Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumberdaya Alam. Jakarta (ID):
Yayasan Kemala.
Maulida S, Santoso H, Subagyo H, Rifqiyyah Q. 2012. Dampak Perubahan Iklim
terhadap Produksi dan Pendapatan Usahatani Cabai Rawit (Studi Kasus di
Desa Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri). SEPA 8(2) 51–182.
Masuku BB. 2014. Economic Efficiency of Smallholder Dairy Farmers in
Swaziland: an Application of the Profit Function. Journal of Agriculture
Studies 2(2):132-146.
McEvoy D, Cots F, Lonsdael K, Tabara JD, Werners S. 2008. The Role of
Institution Capacity in Enabling Climate Change Adaptation: The Case of
the Guardian River Basin. In: Transborder Environment and Natural
Resources Management (Eds: de Jong W). Kyoto: Center for Integrated
Area Studies-Kyoto University.
McKee M. 2010. Future Solutions: Research Needs in the Jordan River
Watershed. Journal of Transboundary Water Resources 01:179-187.
Mclaren SJ, Kniveton DR. 2000. Linking Climate Change to Land Surface
Change. Kluwer Academic Publisher. Netherland: Dordecht. Editor.
Ministerio Administrasaun Estatal Republica Democratica De Timor Leste. 2014.
Planu Estratejiku Dezenvolvimentu Districtu Oecussi. Dili: Ministru
Administrasaun Estatal.
Ministerio De Agricultura E Pescas Republica Democratica De Timor Leste.
2010. Laporan Hidrologi Daerah Irigasi Tono. Dili: Ministerio De
Agricultura E Pescas.
Morid S, Massah AR, Alikhani MA, Mohammadi K. 2004. Maintaining
sustainable agricultural under climate change: Zayandeh Rud Basin (Iran).
In: Climate Change in Constrasting River Basins: Adaptation Strategies
for Water, Food and Environment (Eds: Aerts JCJH, Droogers P). London
(GB): CABI Publishing.
Minh NK, Long GT. 2009. Efficiency Estimates for the Agricultural Production in
Vietnam: A Comparison of Parametric and Non-Parametric Approaches.
Agricultural Economic Review 10(2):62-78.
Mumme SP. 2010. Environmental Governance in the Rio Grande Watershed:
Binational Institutions and the Transboundary Water Crisis: An Agenda
for Strengthening Binational Water Governance Along the Rio Grande.
Journal of Transboundary Water Resources 01:43-67.
Munibah K. 2008. Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dan Arahan
Penggunaan Lahan Berwawasan Lingkungan (Studi Kasus DAS Cidanau,
Provinsi Banten). Disertasi Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Murdyarso D. 2003. Protokol Kyoto: Implikasinya Bagi Negara Berkembang.
Jakarta (ID): Kompas Media Nusantara.
Muslich M. 2009. Metode Pengambilan Keputusan Kuantitatif. Jakarta (ID):
Bumi Aksara.
Nasoetion M. 1999. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat sebagai Perwujudan
Demokrasi Ekonomi: Implementasi dalam Pembangunan Kehutanan dan
Perkebunan. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
132
National Statistic Directorat Republica Democratica De Timor Leste. 2010. Social
and Economic Characteristics. Dili: National Statistic Director.
. 2010. Distribuisaun Populasaun Tuir Area Administrativu.
RDTL: National Statistic Director.
North DC. 1990. Institutions, Institutional Changes and Economic Performance.
London (GB): Cambridgs University Press.
North DC. 1991. Institutions. The Journal of Economic Perspectives 5 (1):97-112.
Nurdjaman P, Rahardjo SP. 2005. Platform Penanganan Permasalahan Perbatasan
Antar Negara. Jakarta (ID): Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jendral
Pemerintahan Umum dan Direktorat Wilayah Administrasi Dan
Perbatasan.
Oii CS, Ek R. 2010. Culture, Work and Emotion. Culture Unbound: Journal of
Current Culture Research 2:303-310.
Ostrom E. 1990. Govering the Commons: The Evolution of Institutions for
Collective Action. Cambridge (GB): Cambridge University.
Paimin, Pramono IB, Purwanto, Indrawati DR. 2012. Sistem Perencanaan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Bogor (ID):
Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(BPTKPDAS).
Parera ADM. 1994. Sejarah Pemerintahan Raja-Raja Timor. Jakarta (ID): Pustaka
Sinar Harapan.
Parcher JW, Woodward DG, Dural RA. 2010. A Descriptive Overview of the Rio
Grande-Rio Bravo Watershed: The Physical and Cultural Surroundings of
the Transboundary Watershed of the Fifth Longest River in North America
is Challenged by Environmental Issues which Require Collaborative
Technical Solutions Developed in Alliance by U.S. and Mexican
Scientists. Journal of Transboundary Water Resources 01:159-177.
Pemerintah Republik Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Jakarta (ID):Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2011. Peraturan Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Timur No. 5 tahun 2008 tentang Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai Secara Terpadu. Jakarta (ID):Kementerian Kehutanan
Republik Indonesia.
Pradan B. 2009. Flood Susceptible Mapping and Risk Area Delineation Using
Logistic Regression, GIS and Remote Sensing. Journal of Spatial
Hydrology 9(2):1-18.
Pramono AA. 2006. Konversi Hutan Rakyat di DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten
Bogor (Analisis Land Rent dan Jasa Lingkungan). Thesis Program Studi
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor.
Pratiwi S. 2008. Model Pengembangan Institusi Ekowisata Untuk Penyelesaian
Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Disertasi Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor.
133
Prawiranegara M. 2014. Spatial Multi-Criteria Analysis (SMCA) for Basin-Wide
Flood Risk Assessment as a Tool for Improving Spatial Planning and
Urban Resilience Policy Making: A Case Study of Marikina River Basin,
Metro Manila-Philippines. Proedia-Social and Behavioral Science 135:18-
24
Purnomo H. 2012. Pemodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan Adaptif Sumber
Daya Alam dan Lingkungan. Bogor (ID): IPB Press.
Randolph J. 2004. Environmental Land Use Planning and Management.
Washington (US): Island Press.
Rembet UNWJ. 2012. Optimasi Fungsi Ekologi-Ekonomi Dalam Pengelolaan
Ekosistem Terumbu Karang Berbasis Ikan Target (Kasus Pulau Hogow
dan Pulau Putus-Putus Sulawesi Utara). Disertasi Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor.
[RDTL] Republic Democtratic Timor-Leste. 2000. Konstitusaun Republika
Demokratika Timor-Leste. Dili: Pemerintah Republic Democtratic Timor
Leste.
Riyadi, Bratakusumah DS. 2003. Prencanaan Pembangunan Daerah. Jakarta (ID):
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rosa H, Kandel S, Dimas L. 2004. Compensation for Ecolosystem Services and
Rural Comunities: Lessons from the Americas. http://www.prisma.org.sv
Roy L, Leconte R, Brissette FCB, Marche C. 2001. The Impact of Climate
Change on Seasonal Floods of a Southern Quebec River Basin.
Hydrological Processes 15:3167–79.
Rustiadi, E dan S. Pranoto. 2007. Agropolitan Membangun Ekonomi Perdesaan.
Bogor (ID):Crestpent Press.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Bogor (ID): Indopress.
Saaty T. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin: Proses Hirarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi yang Komplek.
Jakarta (ID): PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Santoso EB, Ketut DME, Aulia BU, Ghozali Achmad. 2014. Concept of Carrying
Capacity: Challenges in Spatial Planning (Case Study of East Java
Province, Indonesia). Procedia-Social and Behavioral Sciences 135:130–
135.
Sailer K, Pomeroy R, Haslem R. 2015. Data-Driven Design-Using Data on
Human Behaviour and Spatial Configuration to Inform Better Workplace
Design. Corporate Real Estate Journal 4(3).
Saridewi TR. 2015. Instrumen Pembayaran Jasa Lingkungan dalam Mendukung
Penataan Ruang Daerah Aliran Sungai Ciliwung. Disertasi Program
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Scheider K, Gugerty MK. 2011. Agricultural Productivity and Poverty Reduction:
Linkages and Pathways. The Evans School Review 1(1):56-74
Schernewski G. Löser N, Sekścińska A. 2005. Integrated Coastal Area and River
Basin Management (ICARM): The Oder/Odra Case Study. Coastline
Reports 6:43-54.
134
Schmidtner E, Lippert C, Engler B, Häring AM, Aurbacher J, dan Dabbert S.
2012. Spatial distribution of organic farming in Germany: does
neighbourhood matter?. European Review of Agricultural Economics
39(4):661-683.
Scwab GO, Frevert RK, Edminster TW, Barnes KK. 1981. Soil and Water
Conservation Engineering. Third Edition. Canada:Publised Simultaneously
by Canada.
Snelder DJ. 2008. Fighting Floods or Living with Floods? Striving for Coherence
in Multiple of Flood Risk Management in European River Basins. In:
Transborder Environmental and Natural Resources Management (Eds: de
Jong W). Kyoto:Center for Integrated area studies-Kyoto University.
Sihite JHS. 2004. Valuasi Ekonomi dari Perubahan Penggunaan Lahan di Sub
DAS BESAI-DAS Tulang Bawang-Lampung. Disertasi Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Cetakan Keempat. Jakarta
(ID): PT. Raja Grafindo Persada.
Sriburi T. 2008. Transborder and Natural Resources Manajemen: Transborder
Environmental Management in The East-West Economic Corridor Project.
Kyoto: Centre for Integrated Area Studies-Kyoto University.
Subroto. 2003. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Samarinda (ID):Fajar
Gumilang.
Sudarmalik, Kartodiharjo H, Soedomo S, Adiwibowo S. 2014. The State and
Development of Industrial Plantation Forest. Jurnal Manajemen Hutan
Tropika 20(3):150-158.
Supriyadi H, Heryana N. 2011. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produksi
Jambu Mete dan Upaya Penanggulangannya. Buletin RISTRI 2 (2).
Sutopo MF. 2011. Pengembangan Kebijakan Pembayaran Jasa Lingkungan
Dalam Pengelolaan Air Minum. Disertasi Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Suryadi E, Agus F. 2005. Perubahan Penggunaan Lahan dan Dampaknya terhadap
Karakteristik Hidrologi: Suatu Studi di DAS Cijalupang, Bandung, Jawa
Barat. Prosiding Multifungsi Pertanian.
Suweda IW. 2011. Penataan Ruang Perkotaan Yang Berkelanjutan, Berdaya saing
dan Berotonomi: Suatu Tinjauan Pustaka. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil 15(2). Syarif E, Darjosanjoto ETS, Antaryama IGN. 2015. The Coastal Changes and Its
Influence on the Spatial Configuration of Mariso Settlement, Indonesia.
International Journal of Education and Research 3(3).
Taena W, Rustiadi E, Hariyoga H. 2013. Kajian Persepsi Stakeholder Mengenai
Pengembangan Ekonomi Wilayah Perbatasan Kabupaten Timor Tengah
Utara dengan District Enclave Oecussi. Forum Pascasarjana 36(4):215-
232.
Tarigan R. 2004. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID):Bumi
Aksara.
[UN] The United Nations. 2012. The Future We Want. www.un.org/futurewewant.
[WCED] The Word Commission on Environment and Development. 1987. Our
Common Future. UK:Oxford University.
135
Tisdell CA. Economics of Environmental Conservation: Second Edition.
Massachusetts (US): Edward Elgar.
Todaro MP, Smith SC. 2002. Pembangunan Ekonomi Jilid 1. Jakarta (ID):
Erlangga.
Trewavas AJ. 2001. The Population/Biodiversity Paradoks: Agricultural
Efficiency to Save Wilderness. Plant Physiology. 125:174-79.
[UNDP] United Nations Development Programme. 2004. Adaptation Polcy
Frameworks for Climate Changes: Developing Strategies, Polices, and
Measures. Cambridge (GB): Cambridge University Press.
Warren R, Amell N, Nichols R, Levy P, Price J. 2006. Understanding The
Regional Impact of Climate Change. Research Report Perpared for The
stern Review, Tyndall Center Working Paper 90. Norwich. Avialable from
www.tyndall.ac.uk/publications/working.paper/twp90.pdf.
Wibowo M. 2005. Analisis Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap
Debit Sungai: Studi Kasus Sub-DAS Cikapung Gandok, Bandung. Jurnal
Teknik Lingkungan P3TL-BPPT 6(1):283-290.
Williamson OE. 1975. Markets and Hierarchies: Analysis and Antitrust
Implications. Organizational Forms and Internal Efficiency 63(2):316-326 Williamson OE. 2000. The New Institutional Economics: Tacking Stock, Looking
Ahead. Journal of Economic Literature 38:595-613.
Wondwosen TB. 2008. Transboundary Water Cooperation in Africa: The Case of
the Nile Basin Initiative (NBI). Alternatives: Turkish Journal of
International Relations 7 (4):34-43
Wulan YC, Yasmi YC, Purba C, Wollenberg E. 2004. Analisa Konflik Sektor
Kehutanan di Indonesia 1997-2003. Bogor (ID):Center for International
Forestry Research (CIFOR).
Yakin A. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan
Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta (ID):Akademi Pressindo.
Yu CH, Chen CH, Ling CF, Liaw SL. 2003. Development of system dynamics
model for sustainable land use management. Journal of The Chinese
Institute of Engineers 26(5):607-618.
136
L A M P I R A N
1. Output Multivariat Hubungan Pembangunan dengan Penggunaan Lahan
Equation Obs Parms RMSE "R-sq" F P
----------------------------------------------------------------------
mukim 20 3 31.59062 0.5217 9.272464 0.0019
PLKT 20 3 1962.24 0.5020 8.569399 0.0027
Sawah 20 3 174.2797 0.7658 27.80078 0.0000
------------------------------------------------------------------------------
| Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
mukim |
pnddk | .0019813 .0007789 2.54 0.021 .0003379 .0036247
waktu | -.6051796 .2236471 -2.71 0.015 -1.077034 -.1333253
_cons | 67.73262 18.12198 3.74 0.002 29.49859 105.9666
-------------+----------------------------------------------------------------
PLKT |
pnddk | .1789512 .0483833 3.70 0.002 .0768713 .2810311
waktu | 38.15479 13.89176 2.75 0.014 8.845732 67.46385
_cons | -1224.13 1125.64 -1.09 0.292 -3599.024 1150.763
-------------+----------------------------------------------------------------
Sawah |
pnddk | .0295389 .0042972 6.87 0.000 .0204725 .0386053
waktu | -1.270058 1.23382 -1.03 0.318 -3.873192 1.333076
_cons | -86.40917 99.97564 -0.86 0.399 -297.3393 124.521
------------------------------------------------------------------------------
Correlation matrix of residuals:
mukim PLKT Sawah
mukim 1.0000
PLKT 0.0223 1.0000
Sawah -0.1514 -0.5620 1.0000
Breusch-Pagan test of independence: chi2(3) = 6.786, Pr = 0.0790
2. Output Binary Logistic Banjir
Logistic Regression Table
Odds 95% CI
Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper
Constant 170.653 62.3966 2.73 0.006
CH 0.0161400 0.0024599 6.56 0.000 1.02 1.01 1.02
PLKCC 0.0003810 0.0002172 1.75 0.079 1.00 1.00 1.00
Hutan -0.245729 0.0864812 -2.84 0.004 0.78 0.66 0.93
Sawah -0.0141000 0.0065531 -2.15 0.031 0.99 0.97 1.00
3. Output Binary Logistic Kekeringan
Logistic Regression Table
Odds 95% CI
Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper
Constant -35.7898 7.40889 -4.83 0.000
CH -0.0163860 0.0027915 -5.87 0.000 0.98 0.98 0.99
PLKCC 0.0001253 0.0000763 1.64 0.101 1.00 1.00 1.00
T 1.33777 0.263169 5.08 0.000 3.81 2.27 6.38
4. Output Multivariat Dampak Banjir dan Kekeringan terhadap
Produksi Usahatani Tumpangsari
Equation Obs Parms RMSE "R-sq" F P
----------------------------------------------------------------------
lnPadi 95 6 .6000396 0.3616 8.307691 0.0000
LnJagung 95 6 .5200668 0.6011 22.1008 0.0000
lnKacang Tanah 95 6 .708778 0.1792 3.201614 0.0069
----------------------------------------------------------------------
| Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
-------------+--------------------------------------------------------
lnPadi |
lnLuas Lahan | .1045542 .1181686 0.88 0.379 -.130281 .3393895
lnTenagakerja| .0194219 .123882 0.16 0.876 -.2267675 .2656113
Dpt | .1775103 .1302709 1.36 0.176 -.0813758 .4363964
Dbk | .0230139 .2223809 0.10 0.918 -.4189215 .4649492
Dkr |-.5874506 .2163744 -2.71 0.008 -1.017449 -.1574519
_cons |5.634451 .6756502 8.34 0.000 4.291738 6.977163
-------------+--------------------------------------------------------
lnJagung |
lnLuas Lahan | .3495399 .1024192 3.41 0.001 .1460033 .5530765
lnTenagaKerja| .3013069 .1073711 2.81 0.006 .0879294 .5146843
Dpt | .3227522 .1129085 2.86 0.005 .0983702 .5471341
Dbk |-.2187867 .1927422 -1.14 0.259 -.6018212 .1642478
Dkr |-.5991417 .1875362 -3.19 0.002 -.9718305 -.2264529
_cons |2.872543 .5856001 4.91 0.000 1.708786 4.0363
-------------+--------------------------------------------------------
lnKacg Tanah |
lnLuas Lahan |-.0070975 .139583 -0.05 0.960 -.2844893 .2702943
lnTenagakerja| .1296934 .1463317 0.89 0.378 -.1611101 .420497
Dpt | .2569368 .1538784 1.67 0.099 -.0488643 .5627378
Dbk |-.0994787 .2626805 -0.38 0.706 -.621501 .4225436
Dkr |-.2218628 .2555855 -0.87 0.388 -.7297854 .2860597
_cons |4.946528 .7980907 6.20 0.000 3.360491 6.532566
----------------------------------------------------------------------
Correlation matrix of residuals:
lny1 lny2 lny3
lny1 1.0000
lny2 0.2698 1.0000
lny3 0.2214 -0.3141 1.0000
5. Output Cobb Douglass Usahatani Lahan Basah
The regression equation is
lnPadi = 3.44 + 0.342lnBenih + 0.389lnUrea + 0.305lnTK - 0.783Dbb
- 0.795Dkk
Predictor Coef SE Coef T P
Constant 3.4366 0.8694 3.95 0.000
lnBenih 0.3417 0.1713 1.99 0.052
lnUrea 0.38946 0.08938 4.36 0.000
lnTK 0.3050 0.1615 1.89 0.066
Dbb -0.7828 0.3111 -2.52 0.016
Dkk -0.7950 0.2051 -3.88 0.000
6. Output Analisis Cobb Douglass Dampak Banjir, Kekeringan
dan Faktor Produksi Lain terhadap Pendapatan Usahatani
Lahan Kering The regression equation is
LnPendapatan = 5.56 - 0.0181LnSlahan + 0.626LnBbibit + 0.261LnBiayaTK
- 0.088Dbk - 0.400Dkr + 0.267Dpt + 5.72Dnegara
- 0.124Bbibit*negara - 0.311BTK*negara
Predictor Coef SE Coef T P
Constant 5.563 1.969 2.82 0.006
LnSlahan -0.01814 0.07790 -0.23 0.816
LnBbibit 0.6256 0.1352 4.63 0.000
LnBiayaTK 0.2615 0.1334 1.96 0.053
Db -0.0883 0.1420 -0.62 0.536
Dkr -0.4001 0.1406 -2.85 0.006
Dpt 0.26671 0.08786 3.04 0.003
Dnegara 5.723 2.919 1.96 0.053
Bbibit*negara -0.1238 0.1829 -0.68 0.500
BTK*negara -0.3110 0.1802 -1.73 0.088
S = 0.370298 R-Sq = 57.2% R-Sq(adj) = 52.6%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 9 15.5591 1.7288 12.61 0.000
Residual Error 85 11.6553 0.1371
Total 94 27.2144
7. Output Analisis Cobb Douglass Dampak Banjir, Kekeringan
dan Faktor Produksi Lain terhadap Pendapatan Usahatani
Lahan Basah
The regression equation is
LnPendapatan = - 1.54 + 0.545LnBpupuk + 0.265Bbenih + 0.030LnStraktor
+ 0.598LnTK - 0.722Dbb - 0.835Dkk + 16.3Dnegara
+ 0.16Bpupuk*negara - 1.51BTK*negara
Predictor Coef SE Coef T P
Constant -1.540 3.379 -0.46 0.651
LnBpupuk 0.5454 0.1327 4.11 0.000
Bbenih 0.2649 0.2109 1.26 0.216
LnStraktor 0.0304 0.2411 0.13 0.900
LnTK 0.5983 0.2572 2.33 0.025
Dbb -0.7221 0.4237 -1.70 0.096
Dkk -0.8349 0.2436 -3.43 0.001
Dnegara 16.29 10.76 1.51 0.138
Bpupuk*negara 0.163 1.006 0.16 0.872
BTK*negara -1.508 1.219 -1.24 0.223
S = 0.694528 R-Sq = 73.7% R-Sq(adj) = 67.7%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 9 53.9406 5.9934 12.42 0.000
Residual Error 40 19.2948 0.4824
Total 49 73.2354