Post on 02-Apr-2019
Oleh:AHMAD ERANI YUSTIKA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam
Bidang Ilmu Ekonomi Kelembagaan
Pada Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Disampaikan Pada Rapat Senat TerbukaUniversitas Brawijaya
Malang, 30 Desember 2010
Kebijakan Reformasi dan Kerapuhan Kelembagaan Ekonomi: Ikhtiar Meluruskan Arah Perekonomian Nasional
Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ekonomi Kelembagaan
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Bismillahirrahmanirrahim,
Yth. Bapak Rektor Universitas Brawijaya
Yth. Bapak Ketua Senat Universitas Brawijaya
Yth. Bapak/Ibu Anggota Senat Universitas Brawijaya
Yth.Bapak/Ibu Pimpinan Universitas, Fakultas, Jurusan/Bagian dan
Lembaga di Lingkungan Universitas Brawijaya
Yth. Para Dosen, Mahasiswa, Staf Administrasi, dan Para Undangan serta
Hadirin yang saya muliakan
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Salam sejahtera bagi kita semua,
Pada hari yang berbahagia ini, izinkanlah saya mengajak hadirin
sekalian untuk mengucapkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT karena
berkat rahmat dan karunia-Nya kita semua dapat hadir dalam
penyelenggaraan pengukuhan saya sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas
Ekonomi Universitas Brawijaya.
Bapak rektor dan hadirin yang saya muliakan,
Selama lebih dari satu dekade ini terdapat perubahan yang cukup
mendasar dalam perekonomian nasional. Krisis ekonomi datang silih
berganti dan menjadi salah satu alasan penting terjadinya perubahan
ekonomi tersebut. Pemerintah telah berbuat semampunya untuk
menghadapi dan mengatasi krisis ekonomi itu, salah satunya dengan
mendesain kebijakan reformasi ekonomi. Terlepas dari keberhasilan
1AHMAD ERANI YUSTIKA
beberapa aspek tertentu, namun reformasi ekonomi itu masih
meninggalkan tumpukan masalah. Salah satu yang menjadi sumber
persoalan adalah masih diabaikannya aspek kelembagaan sebagai pilar
penting dalam menjalankan reformasi ekonomi. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini perkenankanlah saya menyampaikan pidato pengukuhan
yang berjudul:
Kebijakan Reformasi dan Kerapuhan Kelembagaan Ekonomi:
Ikhtiar Meluruskan Arah Perekonomian Nasional
Rasanya sekarang merupakan momentum yang tepat untuk
menelaah secara reflektif dan jernih perjalanan ekonomi Indonesia
pascakrisis 1997/1998. Sekurangnya terdapat dua alasan menempatkan
krisis 1997/1998 sebagai titik pijak mengkaji ulang perekonomian
nasional. Pertama, krisis periode tersebut sangat dahsyat sehingga
menghancurkan seluruh sendi perekonomian, meskipun sebenarnya
pemicunya dimulai hanya dari sisi moneter, khususnya nilai tukar. Krisis itu
bukan cuma mengguncang pondasi sektor finansial, tetapi juga
merontokkan bangunan sektor riil. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi
terperosok hingga minus 13,1% pada 1998 (Nasution, 2002:158). Kedua,
setelah krisis tersebut wajah perekonomian nasional berubah secara 1drastis, terutama akibat kebijakan reformasi ekonomi . Secara normatif,
lanskap perekonomian nasional menjadi lebih ramah kepada pasar,
terbuka, dan terdesentralisasi. Kebijakan reformasi ini dalam prosesnya
didorong oleh dua kekuatan penting: institusi eksternal maupun aspirasi
domestik.
Bapak rektor dan hadirin yang saya hormati,
Krisis Ekonomi: Dimensi Ekonomi Politik
Sejak dekade 1980-an dinamika perekonomian dunia memang
berjalan dengan cepat. Hal itu bukan hanya terjadi di negara maju, tetapi
juga di negara-negara berkembang (seperti terlihat pada Tabel 1). Di
wilayah Asia Tenggara, misalnya dengan mengambil data 1996 (sebelum
krisis 1997/1998), output ekonomi berhasil mengakumulasi pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi dan stabil. Selama periode tersebut
pertumbuhan ekonomi di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura,
Thailand, dan Vietnam rata-rata selalu di atas lima persen setiap tahunnya.
Sebaliknya, yang lebih menggembirakan, tingkat inflasi berhasil ditekan
kurang dari dua digit, yang sekaligus menunjukkan adanya stabilitas harga
di kawasan tersebut. Dengan inflasi yang stabil membikin investor memiliki
kepastian usaha, sementara bagi konsumen (masyarakat) daya belinya
cukup kuat akibat tidak tergerus oleh kenaikan harga. Pertemuan antara
ekspektasi positif dari pemilik modal dan daya beli masyarakat inilah yang
menopang pertumbuhan ekonomi di wilayah Asia Tenggara pada kurun 2waktu tersebut.
Tabel 1: Indikator Ekonomi Negara-negara
Asia Tenggara, 1996 – 1998 (%)
1 Mengaitkan krisis dengan reformasi ekonomi sebetulnya merupakan hal yang alamiah karena keduanya memang saling terkait. Krisis ekonomi kerap dianggap sebagai pemicu terjadinya reformasi. Menurut Krueger (1993:109), reformasi ekonomi sendiri dilakukan ketika “kondisi ekonomi memburuk sehingga terdapat dorongan politik untuk memperbaiki kinerja ekonomi.” Lihat Dani Rodrik, Understanding Economic Policy Reform, Journal of Economic Literature, Vol. 34, No. 1, 1996, hal. 26
Sumber: Hill, 1999:6
2 Bank Dunia sendiri pada 1993 menempatkan beberapa negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand (plus Taiwan, Hongkong, China, dan India) sebagai negara ajaib yang pertumbuhan ekonominya sangat mencengangkan. Lihat laporan World Bank, East Asia Miracle: Economic Growth and Public Policy, World Bank Publication, 1993
In dik ator Indone sia M alay sia Filipin a Sing apura T haila nd V ie tnam
Pertum b. GD P 1996 1997 1998
8,0 4,7
-13,1
8,6 8,0 -5,8
5,5 5,1 -0 ,2
6 ,9 7 ,8 -0,2
5 ,5
-0,4 -8,0
9,4 9,0 7,0
In flas i 1996 1997 1998
6,5
11,6 75,0
3,5 2,6 5,0
8,4 5,1 8,0
1 ,4 2 ,0 2 ,0
5 ,8 5 ,6 8 ,0
4,5 4,0 5,0
2 3KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
fundamental dalam memformulasikan kebijakan ekonomi domestik.
Kedua, keyakinan bahwa sumber krisis tidak lain adalah kepanikan yang
terjadi di sektor keuangan (financial panic) yang berinteraksi dengan
ekspektasi pelaku ekonomi sehingga berpengaruh langsung terhadap
kebijakan makroekonomi. Penjelasan ini kerap disebut dengan “second
generation model” [yang diusung oleh Obstfeld (1996)] yang memberi
penjelasan deskripsi generik hubungan teoritis antara model
makroekonomi dengan ekspektasi rasional, di mana diyakini ekspektasi
yang terjadi di pasar berpengaruh secara langsung terhadap keputusan
membuat kebijakan ekonomi (lihat juga Roubini dan Mihm, 2010:29).
Namun, secara mendadak pada pertengahan 1997 krisis ekonomi
menyerang wilayah Asia dan terus merembet ke negara-negara lainnya
(Stiglitz, 2004:5).Krisis ekonomi tersebut dipicu oleh jatuhnya nilai tukar
Bath (Thailand) terhadap US
d o l a r p a d a 2 J u l i 1 9 9 7
(Charoenseang dan Manakit, 32 0 0 2 : 5 9 7 ) . S e l a n j u t n y a ,
depresiasi nilai tukar itu tanpa
d a p a t d i i s o l a s i m e n j a l a r
(contagion effect) secara cepat
ke Malaysia, Indonesia, Korea
Selatan, dan lain-lain. Tercatat,
indeks harga saham di Thailand
turun 80% dan mata uangnya
terdevaluasi 100%; harga
saham di Indonesia anjlok 60%
dan mata uangnya terdevaluasi sangat parah sebesar 600%; sedangkan di
Korea Selatan harga saham turun 65% dan mata uangnya terdevaluasi
sebesar 100% (Jang dan Sul, 2002:94). Dari data-data tersebut terlihat
betapa parahnya dampak krisis moneter saat itu sehingga memengaruhi
kinerja ekonomi secara keseluruhan, termasuk sektor riil (kronologis krisis
ekonomi itu bisa dilihat pada Tabel 2).
Mengenai sumber krisis ekonomi itu sendiri banyak versi yang
mengemuka. Charoenseang dan Manakit (2002:598) mengeksplorasi
sekurangnya dua sudut pandang dalam melihat pemicu krisis 1997/1998.
Pertama, pandangan yang berargumentasi bahwa fundamental ekonomi
yang rapuh dan inkonsistensi kebijakan sebagai sumber utama krisis.
Perspektif ini kerap disebut dengan “first generation model” [yang
dikembangkan oleh Krugman (1979) serta Flood dan Garber (1986)] yang
menjelaskan krisis mata uang (currency) sebagai hasil dari inkonsistensi
3 Sebetulnya krisis di Thailand tersebut sudah bermula pada Juni 1997, yang ditandai oleh jatuhnya harga-harga saham secara tajam. Lihat Hoyoon Jang dan Wonsik Sul, The Asian Financial Crisis and the Co-movement of Asian Stock Markets, Journal of Asian Economics, Vol. 13, 2002, hal. 95 Sumber: Jang dan Sul, 2002:96
4 5KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
P e r i o d e T h a il a n d I n d o n e s ia K o r e a Se l a t a n
J u n i 1 9 9 7 ( 1 7 Ju n 1 ) : T h a ila n d ’s C om p o sit e In d e x ja t u h d i
b a w a h le v e l 5 0 0
-
-
J u ly ( 2 J u l i) : P e m e ri n t a h
T h a ila n d m e n c o b a m e n g e l o la B a t h ( 1 1 Ju l i) : B a th m e lu n c u r k e le v e l B 3 0 / $
( 2 8 Ju l i) : T h a ila n d m e m i n t a b a n tu a n I M F ( re s c u e p a c k ag e )
-
-
A g u s t u s ( 1 1 A g u s t u s ) : I M F
m e n y e tu ju i d a n a t a la n g a n $ 1 7 , 9 m il ia r
( 2 9 A g u s t u s ) : In d o n e s ia ’ s
C o m p o sit e I n d e x ja t u h d i b a w a h le v e l 5 0 0
-
S e p te m b e r
-
( 2 S e p t. ) : R u p ia h
m e lu n c u r k e le v e l R p 3 0 0 0 / $
-
O k to b e r
-
( 8 O kt . ) : I n d on e s ia m e m i n t a b a n tu a n k e u a n g a n k e p a d a IM F ( 3 0 O k t. ) : IM F
m e n g u m u m k a n b a n t u a n $ 2 3 m il ia r ( f in a n c ia l p a c k ag e )
-
N o v e m b e r
-
-
(7 N o v . ) : K o re a m e n c o b a m e m p e r ta h a n k a n W o n . W o n m e lu n c u r k e le v e l
W 1 0 0 0 / $ (2 1 N o v .) : K o re a m e m in ta b a n t u a n I M F (r e sc u e p a c k a g e )
D e c e m b e r ( 2 6 D e s . ) : T h a ila n d ’s
C om p o sit e In d e x ja t u h k e l e v e l 3 5 7 , 1
( 1 2 D e s .) : I n d o ne s ia ’s
C o m p o sit e I n d e x ja t u h k e le v e l 3 3 9 ,5
(1 D e s .) : K or e a ’s C o m p o sit e
I n de x ja tu h d i b a w a h le v e l 4 0 0 (3 D e c .) : I M F m e n y e t u ju i d a n a t a la n g a n $ 5 7 m il ia r
(b a ilo u t p a c k ag e ) (2 4 D e c .) : K o re a ’ s C o m p os it e I n d e x ja t u h k e le v e l 3 5 1 ,5
J a n u a r i 1 9 9 8 ( 6 J a n .) : B a t h m e lu n c u r k e le v e l B 5 0 / $
( 8 J a n . ) : R u p ia h m e lu n c u r k e le v e l R p 1 0 0 0 0 / $
(1 2 J a n . ) : W o n m e l u n c u r k e le v e l W 1 8 0 0 / $
Tabel 2: Kronologis Krisis Ekonomi di Asia 1997-1998
Krisis ekonomi tersebut
dipicu oleh jatuhnya
nilai tukar Bath (Thailand)
terhadap US dolar pada 2 Juli 1997 .
Selanjutnya, depresiasi nilai tukar itu
tanpa dapat diisolasi menjalar
(contagion effect) secara cepat
ke Malaysia, Indonesia, Korea Selatan,
dan lain-lain.
Kebijakan ini dipandang sangat menyederhanakan masalah, karena IMF
merasa bank-bank tersebut tergolong kecil, hanya memberikan kontribusi
sekitar 2,5% dari total aset sektor perbankan, sehingga dipastikan tidak akan
menciptakan komplikasi masalah yang berlebihan (Indrawati, 2002:582). IMF
tidak memerhitungkan realitas bahwa kebijakan itu diambil ketika krisis dan
kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian (khususnya perbankan) 5dalam titik nadir. Akibatnya, begitu kebijakan likuidasi dilakukan terjadi
penarikan uang nasabah secara besar-besaran (rush) sehingga perbankan
mengalami kesulitan likuiditas. Akumulasi dari rangkaian pengambilan
kebijakan ini membuat perekonomian justru makin terpuruk dan pengambil 6kebijakan kehilangan kendali untuk mengatasinya.
Di luar penjelasan tersebut, Hill (1999:9) mengingatkan pentingnya
membedakan antara “pemicu” (trigger) dan “efek tular” (contagion effect),
serta antara apa yang disebut dengan faktor “inti” (core) dan “sampiran”
(exacerbating) dalam menjelaskan krisis ekonomi. Di sini penting pula
ditekankan mengenai interaksi antara faktor ekonomi teknis (technical
economic) dan ekonomi politik (political economy): bagaimana sistem politik
dan aktor-aktor politik pada umumnya bereaksi dalam menangani krisis
tersebut. Dari sudut pandang ekonomi teknis, terdapat konsensus bahwa
sumber krisis adalah penerapan tingkat nilai tukar tetap/semu (fixed or quasi-
fixed exchange rates), dalam bingkai banyaknya jumlah utang jangka pendek
Dalam kasus Indonesia, pandangan “first generation model” itu dapat
dilacak kebenarannya setelah melihat situasi fundamental ekonomi nasional.
Indrawati (2002:578), misalnya, mengungkapkan periode sebelum krisis
perekonomian Indonesia ditandai kerentanan di sektor perbankan maupun
struktur korporasi. Usaha konglomerasi tumbuh secara agresif sehingga
mendominasi seluruh kegiatan ekonomi pada hampir semua wilayah di
Indonesia. Sebagian besar perbankan dimiliki oleh para konglomerat yang
memanfaatkan bank tersebut untuk membiayai perusahaan satu induknya,
sehingga kerap melanggar regulasi “legal lending limit”. Perusahaan milik
negara (BUMN) juga dipaksa
melakukan penyimpangan
untuk mengongkosi proyek
p e m e r i n t a h y a n g s t u d i
kelayakannya t idak jelas
maupun proyek yang berisiko
tinggi (yang dipunyai kroni
presiden). Jadi, meskipun
menerapkan prinsip tata kelola
yang buruk dan ketiadaan
transparansi (juga akuntabilitas publik), korporasi-korporasi itu melanjutkan
ekspansi usahanya dengan menggunakan utang perbankan maupun sumber
lain dari luar negeri. Praktik ini bersua dengan tata kelola perbankan yang
tidak hati-hati (imprudent banking) dan kebijakan kredit yang buruk sehingga
menciptakan risiko finansial, baik pada perusahaan maupun bank sendiri.
Sedangkan menurut pendekatan yang kedua (second generation
model), krisis ekonomi di Indonesia tidak akan menyebar secara cepat dan
mengalami pendalaman yang parah bila pemerintah tidak mengambil 4keputusan melikuidasi 16 bank (sesuai anjuran IMF) pada November 1997.
4 Kebijakan IMF sendiri secara umum dikritik karena terlalu luas cakupannya, tidak fokus, ambisius, dan tidak realistis dalam kerangka waktu, khususnya dikaitkan dengan transisi politik Indonesia yang masih rentan (saat itu) dan kapasitas pemerintah masih lemah untuk mengimplementasikan program dengan jadwal yang ketat. Lihat Sri Mulyani Indrawati, Indonesia Economic Recovery Process and the Role of Government, Journal of Asian Economics, Vol. 13, 2002, hal. 580
5 Secara umum IMF dan Bank Dunia sebetulnya dipandang tidak memiliki informasi yang memadai mengenai situasi politik domestik negara yang hendak dibantu ketimbang aktor-aktor politik di negara bersangkutan. Lihat Tony Addison dan Mina Baliamoune-Lutz, Economic Reform When Institutional Quality is Weak: The Case of the Maghreb, Journal of Policy Modeling, Vol. 28, 2006, hal. 10306 Kebijakan itu diperburuk oleh respons kebijakan moneter yang kurang tepat pada saat itu. Untuk memer-tahankan nilai tukar rupiah kala itu, otoritas moneter menaikkan suku bunga acuan amat tinggi sampai ke kisaran 70% (Juli 1998) sehingga suku bunga pinjaman pun naik dengan sangat tajam. Kebijakan tersebut memberi kesan bahwa BI sedang melakukan kebijakan moneter ketat. Padahal, sebenarnya kala itu Indonesia melakukan kebijakan uang longgar. Menurut Milton Friedman, untuk melihat suatu kebijakan moneter ketat atau longgar, maka harus melihat laju pertumbuhan suplai uang, bukan hanya memandang tingkat suku bunga saja. Saat itu laju pertumbuhan uang (base money) tinggi sekali, bahkan sempat mencapai di atas 100%. Kebijakan yang membingungkan itu telah memperburuk keadaan ekonomi nasional. Laju pertumbuhan uang yang tinggi (di tengah permintaan riil yang menurun) menimbulkan godaan untuk berspekulasi dolar. Jadi, laju pertumbuhan uang yang tinggi pada masa itu memberi amunisi tambahan untuk menyerang rupiah. Akibatnya, rupiah pun terpuruk amat dalam dan kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia pun runtuh. Lihat Purbaya Yudhi Sadewa, Mencari Hal Positif dari Arah Ekonomi, Kompas, 12 Juli 2010
6 7KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
Meskipun menerapkan prinsip
tata kelola yang buruk dan ketiadaan
transparansi (juga akuntabilitas publik),
korporasi-korporasi itu melanjutkan
ekspansi usahanya dengan menggunakan
utang perbankan maupun sumber lain
dari luar negeri.
AHMAD ERANI YUSTIKA
7(short-term debt) dan sistem keuangan (perbankan) yang rentan. Sebagian
besar utang luar negeri (ULN) tersebut tidak dilindungi (hedging) sehingga
ketika nilai tukar mata uang domestik merosot terhadap dolar, maka jumlah
ULN menjadi membengkak. Sementara itu, secara politik, dalam kasus
Indonesia krisis ekonomi itu dijadikan momentum menurunkan pemerintah
Orde Baru yang dianggap telah keluar jauh dari amanat konstitusi, terutama
dalam merumuskan kebijakan ekonomi (pada masa itu peran negara sangat
eksesif dalam perekonomian, struktur usaha yang terkonsentrasi
(monopoli/oligopoli), sentralisasi manajemen ekonomi, dan patronase
politik-bisnis yang tidak sehat). Implikasinya, pada saat itu terjadi
kompleksitas ekonomi politik sehingga menimbulkan pendalaman krisis yang
amat parah.
Bapak rektor dan hadirin yang
saya muliakan,
Reformasi Ekonomi Terbalik
Sejak krisis ekonomi
politik pada 1997/1998 itulah
proyek reformasi ekonomi (dan
politik) dijajaki . Reformasi
e k o n o m i d i m a k n a i d a l a m
pengertian yang berbeda-beda,
bahkan banyak yang memberi
stempel sama antara “reformasi”
dengan “transisi”. Tetapi dalam penelusuran yang lebih detail, sesungguhnya
di antara keduanya terdapat pemaknaan yang berlainan. Reformasi mengacu
kepada upaya intensif untuk mengubah beberapa elemen dari sebuah sistem
(features of the system), sedangkan transisi merujuk kepada peristiwa yang
terjadi selama suatu negara bergerak dari suatu pola tertentu (misalnya dalam
hal hak kepemilikan) menuju ke pola lainnya, d
proses perubahan menuju sistem yang ingin dituju (Colombatto dan Macey,
1997:4-5). Dengan pengertian semacam itu, reformasi bisa dikatakan lebih
menitikberatkan pada perubahan kebijakan, sebaliknya transisi menekankan
pada kejadian-kejadian yang berlangsung akibat munculnya perubahan
kebijakan.
Sampai di sini, barang kali tidak ada lembaga internasional yang
paling berpengaruh melebihi institusi Bank Dunia dan Dana Moneter
Internasional (IMF) dalam mempromosikan reformasi ekonomi (Hayami, 82003:40; Shafaeddin, 2005:3; Addison dan Baliamoune-Lutz, 2006:1029).
Kedua lembaga ini merupakan bentukan saat berlangsung Konferensi Bretton
Woods seusai Perang Dunia II, dengan tujuan utama merekonstruksi
infrastruktur dunia dan membantu pembangunan negara-negara anggota.
Menarik untuk dicermati bahwa kedua institusi ini juga memiliki fungsi lain
yang penting, yakni menghadang pengaruh negara-negara sosialis dalam
memperluas ide dan sistem ekonominya, terutama ke negara dunia ketiga
(Kloby, 1997:171-172). Sehingga, tidaklah mengherankan bila sejak awal
lembaga tersebut sangat getol menyalurkan dana (utang luar negeri) ke
negara-negara dunia ketiga dengan persyaratan yang cukup lunak (soft loan),
yaitu bunga ringan dan tenggang pembayaran (gestation period) yang lama.
Williamson mengkompilasi kebijakan-kebijakan yang bertujuan
menformulasikan kebijakan reformasi ekonomi tersebut dengan sebutan
Konsensus Washington (Washington Consensus). Konsensus Washington ini
didasarkan pada upaya stabilisasi ekonomi lewat jalur kebijakan penyesuaian 9struktural (structural adjustment) yang direkomendasikan oleh organisasi
an bukan berbicara mengenai
8 Secara prinsip, sebenarnya ada perbedaan tugas yang jelas antara IMF dan Bank Dunia. Fungsi IMF dibatasi pada urusan ekonomi makro (macroeconomics), yang di antaranya lebih banyak bersinggungan dengan aspek defisit anggaran pemerintah, kebijakan moneter, inflasi, defisit perdagangan, dan utang luar negeri. Sedangkan Bank Dunia lebih banyak berurusan dengan isu-isu struktural (structural issues), seperti bagaimana pemerintah harus mengalokasikan anggarannya, kelembagaan keuangan negara, pasar tenaga kerja, dan kebijakan perdagangan. Lihat Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents, Penguin Books, England, 2002, hal. 149 Balassa mendefinisikan penyesuaian struktural sebagai “respons kebijakan untuk menyikapi aneka kejutan/ gangguan eksternal (external shocks), yang dilakukan dengan tujuan mengembalikan jalur pertumbuhan ekonomi domestik seperti sebelum terjadi krisis.” Selama periode penyesuaian, pertumbuhan biasanya mengalahkan distribusi dan produksi meminggirkan tujuan keadilan sosial. Lihat Biplab Dasgupta, Structural Adjustment, Global Trade, and the New Political Economy of Development, Zed Books, New York, 1998, hal. 66
8 9KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
7 Krugman secara lugas menyampaikan bahwa krisis di Asia pada saat itu sebetulnya disebabkan oleh dua faktor penting, yakni perekonomian sangat rentan akibat pembukaan pasar keuangan dan upaya mendapatkan popularitas baru dari para debitor internasional dengan jalan melakukan utang yang berlebihan. Lihat Paul Krugman, The Return of Depression Economics and the Crisis of 2008, W.W. Norton & Company, New York, 2009, hal. 97
Reformasi mengacu kepada
upaya intensif untuk mengubah
beberapa elemen dari sebuah sistem
(features of the system), sedangkan
transisi merujuk kepada peristiwa
yang terjadi selama suatu negara
bergerak dari suatu pola tertentu
(misalnya dalam hal hak kepemilikan)
menuju ke pola lainnya
AHMAD ERANI YUSTIKA
lebih menitikberatkan kepada strategi “bottom-up” serta menempatkan
reformasi pada level mikro ekonomi, seperti reformasi kelembagaan
(reformasi di sektor pertanian dan reformasi usaha-usaha industri) dan
reformasi harga; mendahului reformasi pada level makro ekonomi (kebijakan
fiskal, moneter, dan reformasi perdagangan luar negeri). Sebaliknya,
“Pendekatan Eropa Timur” cenderung mengerjakan reformasi ekonomi lewat
perubahan yang radikal (big-bang approach), seperti tampak dalam
perubahan hak kepemilikan, penghapusan kontrol harga, serta liberalisasi 11nilai tukar dan perdagangan (Ghai, 1997:33).
Berikutnya, dalam mendesain perbaikan kinerja perusahaan,
khususnya perlakuan terhadap BUMN, pendekatan Asia lebih banyak
menempuh upaya-upaya perluasan otonomi dan akuntabilitas. Sedangkan di
negara-negara Eropa Timur lebih menyukai cara privatisasi untuk
mereformasi kinerja BUMN. Dari kasus ini bisa ditarik sebuah pernyataan
bahwa negara-negara Asia menganggap yang diperlukan sebuah korporasi
untuk mengembangkan diri adalah adanya otonomi dan akuntabilitas, bukan
terletak pada masalah kepemilikannya: apakah dipunyai oleh negara atau
swasta. Sebaliknya, negara-negara Eropa Timur memandang pasar (swasta)
akan lebih mampu secara efektif dan efisien memajukan sebuah perusahaan
dibandingkan apabila dikelola oleh negara. Tampak di sini terdapat basis
asumsi yang berbeda di antara dua pendekatan tersebut dalam meningkatkan 12kinerja BUMN-nya.
Bretton Woods dan pengambil kebijakan ekonomi pemerintah AS. Konsensus
Washington menekankan kepada pembuatan kebijakan finansial dan makro
ekonomi yang hati-hati (prudent), nilai tukar mata uang yang kompetitif,
liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan, privatisasi, dan deregulasi
(Rodrik, 1996:17; McCleery dan De Paolis, 2008:438). Kebijakan itu secara
implisit mengajak pemerintah/negara menahan diri untuk tidak turut campur
langsung dalam kegiatan ekonomi, melainkan justru lebih memfokuskan
k e p a d a k e b i j a k a n m o n e t e r,
menjamin hak kepemilikan (property
r i g h t s ) , d a n m e n y i a p k a n 10infrastruktur pendidikan dasar.
Dalam implementasinya,
terdapat dua kubu dalam mendesain
reformasi ekonomi, yakni kubu Asia
dan kubu Eropa Timur. “Pendekatan
A s i a” c e n d e r u n g m e n d e s a i n
reformasi ekonomi lewat penahapan
yang berurutan. Ghai (1997:33)
menyebut dengan istilah “gradual
tetapi sistematis”. Pendekatan ini
10 Terdapat pengalaman dari dua negara yang menyelenggarakan proses penyesuaian berbeda, yang bermanfaat sebagai
pedoman pembelajaran. Pertama, penyesuaian struktural yang dilakukan oleh Chile dan dikenal sebagai “shock therapy”. Program penyesuaian ini didesain untuk mengatasi krisis ekonomi yang berujung pada perjuangan politik dan krisis minyak. Paket kebijakan tersebut antara lain pengurangan secara tajam pengeluaran pemerintah, pemindahan subsidi, PHK (pemutusan hubungan kerja) pada sektor publik, mengeliminasi kontrol kuantitatif terhadap alokasi sumber daya, liberalisasi perdagangan dan pasar modal, penyatuan tingkat nilai tukar mata uang, privatisasi perusahaan negara, dan kebijakan di sektor pertanian. Akibat kebijakan yang serba drastis tersebut muncul beberapa implikasi ekonomi jangka pendek, seperti penurunan yang cepat dalam kegiatan ekonomi dan upah riil, eskalasi pengangguran yang sangat tinggi, dan peningkatan jumlah orang miskin. Kedua, program penyesuaian ekonomi Kuba yang memiliki dua target secara bersamaan, yakni memfasilitasi capaian sosial untuk revolusi dan mengamankan karakter sosialis dalam perekonomiannya. Pada awal krisis, dari 1989 sampai 1993, kebijakan penyesuaian yang dikeluarkan adalah pengurangan penggunaan energi, penurunan investasi, pengetatan barang-barang konsumen, dan penguatan sektor ekonomi tertentu (seperti pariwisata, bioteknologi, produksi makanan, dan investasi asing). Setelah itu, penyesuaian yang diambil pada 1993 bertujuan untuk penguatan produksi dan fleksibilitas perekonomian melalui transformasi pertanian milik negara ke bentuk koperasi, sewa lahan kepada petani individual, pemberian otoritas kepada pasar pertanian sehingga harga produk tidak lagi dikontrol oleh pemerintah, legalisasi pekerja mandiri dalam kegiatan ekonomi maupun kepemilikan aset, dan penggunaan dolar di pasar domestik. Dengan kebijakan penyesuaian seperti ini, sejak 1995-1996 pertumbuhan ekonomi Kuba mulai stabil. Lihat Dharam Ghai, Social Development and Public Policy: Some Lessons from Successful Experiences, UNRISD (United Nations Research Institute for Social Development), Discussion Paper, 1997, No. 89, hal. 34-35
11 Penulis lain menggunakan istilah evolutionary and radical approaches sebagai padanan reformasi gradual dan big-
bang. Pendekatan radikal dimaknai sebagai perubahan yang cepat, merusak tatanan yang lama, konversi organisasi yang cepat menuju praktik ekonomi kapitalis di negara-negara maju. Sementara itu, evolutionary approach dimaksudkan sebagai perubahan yang tidak terlalu cepat dalam meredesain organisasi lama, tetapi dengan tetap menumbuhkan sektor privat dalam kegiatan ekonomi. Lihat Peter Murrel, Evolutionary and Radical Approaches to Economic Reform, Economics and Planning, Vol. 25, 1992, hal. 80-82 12
Lebih dari itu terdapat beberapa penemuan penting lagi sebagai penjelasan atas terjadinya reformasi ekonomi Asia dan Eropa Timur. Penjelasan itu antara lain adalah: (i) sektor pertanian dan industri menengah/kecil bisa dipakai sebagai dasar keuntungan (advantage) bagi perekonomian nasional; (ii) asumsi bahwa pasar bebas akan bisa berjalan secara cepat (overnight) adalah salah. Langkah penahapan secara terukur adalah kondisi yang penting untuk menuju kepada evolusi ke sistem pasar; (iii) penciptaan kesempatan berusaha bagi BUMS dan mengembangkan perilaku berusaha (corporate governance) bagi BUMN lebih penting daripada privatisasi; (iv) kebijakan perdagangan yang berorientasi ekspor akan meningkatkan efisiensi dan daya saing (competitiveness), serta meningkatkan prospek investasi dan pertumbuhan; (v) reformasi secara gradual bisa berjalan hanya apabila situasi sosial politik mendukung; dan (vi) kebijakan fiskal dan moneter kurang penting pada jangka pendek dan menengah. Reformasi kelembagaan dan harga lebih berguna pada fase ini. Dharam Ghai, op. cit., hal. 33
10 11KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
Pendekatan ini lebih
menitikberatkan kepada strategi
“bottom-up” serta menempatkan
reformasi pada level mikro ekonomi,
seperti reformasi kelembagaan
(reformasi di sektor pertanian
dan reformasi usaha-usaha industri)
dan reformasi harga; mendahului
reformasi pada level makro ekonomi
(kebijakan fiskal, moneter,
dan reformasi perdagangan
luar negeri).
AHMAD ERANI YUSTIKA
Jika deskripsi di atas direlasikan dengan situasi Indonesia, maka di
sini justru mempraktikkan reformasi ekonomi terbalik, di mana pemerintah
menggeber perombakan pada level makro ekonomi terlebih dulu, persis
seperti yang dijalankan di Eropa Timur. Pertama, pemerintah mengubah
secara drastis hak kepemilikan sumber daya ekonomi menuju kepemilikan
swasta (private property rights), termasuk sumber daya ekonomi yang
seharusnya dimiliki dan dikuasai oleh negara. Kedua, kontrol harga dilepas
satu per satu, khususnya yang berkenaan dengan komoditas pertanian,
padahal kelembagaan produksi dan distribusi belum sepenuhnya disentuh
pemerintah. Implikasinya, harga komoditas pangan melambung tetapi
penikmatnya adalah pelaku ekonomi di sektor hilir (bukan petani). Ketiga,
liberalisasi dijalankan secara ekstensif, baik di sektor perdagangan maupun
investasi asing (Kuncoro dan Resosudarmo, 2006:350). Liberalisasi itu
mengikuti keterbukaan sektor keuangan yang telah dilakukan sejak lama
(lihat Bagan 1) sehingga membuat perekonomian menjadi lebih mudah
terguncang apabila terjadi instabilitas eksternal. Dalam soal keterbukaan ini,
indeks keterbukaan pasar keuangan Indonesia berada pada posisi kedua
tertinggi setelah Singapura pada 2006. Sebaliknya, pasar keungan di China dan
Berkaitan dengan program reformasi ekonomi di Asia tersebut, kasus
privatisasi di Vietnam menarik untuk dicermati. Seperti diketahui, sebagian
besar BUMN di Vietnam adalah usaha yang berskala kecil atau menengah.
Agenda reformasi di Vietnam menghendaki adanya evaluasi ekonomi yang
komprehensif terhadap seluruh BUMN, baik menyangkut konsolidasi utang,
proyek acuan privatisasi, dan formasi unit usaha besar. Pertama, seluruh
BUMN diwajibkan melakukan daftar
ulang untuk bisa melanjutkan
operasi perusahaan secara legal.
Komite Perencanaan Nasional
bertanggung jawab mengevaluasi
proposal dan memutuskan mana
perusahaan yang memiliki potensi
berkembang tanpa harus dibantu.
Kedua , pada 1995 manajemen
sentralistis BUMN digantikan dengan
supervisi langsung di bawah departemen baru (Departemen Keuangan). Pada
saat yang sama UU Perusahaan Negara diubah dengan memberikan otonomi
manajerial yang lebih besar, memperbaiki supervisi terhadap BUMN, dan
membatasi tanggung jawab keuangan negara untuk tujuan komersial BUMN.
Ketiga, pada 1996 sekitar setengah dari BUMN dikelompokkan dalam 18
perusahaan induk yang terkenal sebagai “Perusahaan Umum”. Keempat,
proyek percontohan privatisasi didesain pada awal 1992, di mana kurang lebih
10 industri BUMN dijual kepada pekerja dalam bentuk kepemilikan saham dan 13investor luar (Diehl, 1998:53-54).
Sumber: Bank Indonesia, 2009
13 Pengalaman Portugal juga bisa menjadi bahan pembelajaran, di mana privatisasi yang dikerjakan harus berada dalam kerangka hukum yang diciptakan sebelumnya dengan beberapa tujuan pokok. Setidaknya ada 7 tujuan penting dari proyek privatisasi di Portugal: (i) memodernisasi perusahaan melalui peningkatan daya saing dan kebutuhan restrukturisasi; (ii) penguatan kapasitas kewirausahaan nasional; (iii) pengurangan peran negara dalam perekonomian; (iv) pengembangan pasar modal; (v) perluasan bagian kepemilikan bagi warga Portugal (pribumi); (vi) menjaga kepentingan negara dalam perekonomian; dan (vii) mengurangi beban utang negara dalam perekonomian. Lihat Stephen C.R. Munday, Stephen Current Developments in Economics. MacMillan Press Ltd., London, 1996, hal. 72-73
12 13KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
Bagan 1: Indeks Keterbukaan Pasar Keuangan
AHMAD ERANI YUSTIKA
Agenda reformasi di Vietnam
menghendaki adanya evaluasi
ekonomi yang komprehensif
terhadap seluruh BUMN,
baik menyangkut konsolidasi utang,
proyek acuan privatisasi,
dan formasi unit usaha besar.
domestik dianggap tidak memiliki kemampuan yang memadai.
Kedua, reformasi ekonomi pada level meso, yakni mendesain
manajemen pembangunan ekonomi (politik) yang mulai didesentralisasi,
yang kemudian dikenal dengan istilah otonomi daerah. Manajemen
sentralisasi di masa lalu dipandang sebagai sumber macetnya pembangunan
ekonomi, padahal potensi yang seharusnya dicapai jauh lebih besar dari yang
telah digapai. Sasaran desentralisasi ekonomi (fiskal) di Indonesia secara
umum adalah (Simanjuntak, 2002:165): (i) memenuhi aspirasi daerah
menyangkut penguasaan atas sumber-sumber keuangan negara; (ii)
mendorong akuntabilitas dan transparansi pemerintah daerah; (iii)
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah;
(iv) mengurangi ketimpangan antardaerah; (v) menjamin terselenggaranya
pelayanan publik minimum di setiap daerah; dan (vi) meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara umum. Meskipun model ini dipandang
memiliki risiko politik yang cukup besar (di antaranya isu separatisme),
namun tetap dipilih karena dianggap sebagai jalan paling rasional untuk
mengurus ekonomi (politik) Indonesia.
Ketiga, reformasi pada level mikro perekonomian berjalan secara
sehat, yang dirumuskan dalam UU No. 5/1999 tentang “Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.” Sebelum periode 1997/1998,
perekonomian nasional dikenal sangat distortif karena penguasaan ekonomi
digenggam oleh segelintir pelaku ekonomi. Struktur ekonomi yang sangat
monopolis dan oligopolis merupakan pemandangan jamak pada hampir 15 semua sektor perekonomian nasional sebelum masa reformasi ekonomi.
Implikasi dari praktik ekonomi tersebut membuat daya saing ekonomi
rendah, akses sebagian besar pelaku ekonomi tertutup, dan masyarakat
India sangat ketat.
membangun kultur korporasi dan efisiensi BUMN. Pemerintah meyakini
sektor swasta (domestik atau asing)
lebih mampu memperbaiki kinerja
BUMN yang sedang sekarat.
Secara lebih sistematis, jika
reformasi ekonomi Indonesia dibuat
dalam hirarkhi, maka dapat dibaca dari
tiga level berikut. Pertama, reformasi
ekonomi pada lapis makro dimulai pada
dekade 1980-an ketika beberapa sektor
ekonomi (manufaktur, perbankan,
transportasi, dan lain-lain) dideregulasi dan diliberalisasi cukup massif
(McCawley, 2002:262; Indrawati, 2002:578). Perkembangan sektor
perbankan dan pasar modal menjadi penanda penting dari hasil deregulasi itu,
sehingga hidup mati kegiatan ekonomi dan perilaku rumah tangga tidak lepas 14dari perkembangan sektor keuangan tersebut. Deregulasi dan liberalisasi itu
disusul pada sektor riil dan perdagangan, saat dikeluarkannya PP No. 20/1994
tentang “Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka
PMA” yang memberi keleluasan pelaku ekonomi asing menerobos sudut-sudut
perekonomian nasional. Peraturan itu dirancang untuk menjawab kebutuhan
investasi yang sangat besar (demi menafkahi tujuan pertumbuhan ekonomi
dan penciptaan lapangan kerja), sementara modal dan pelaku ekonomi
Keempat, strategi privatisasi lebih dipilih pemerintah untuk
14 Meskipun terlambat, Pemerintah Indonesia akhirnya juga memberikan independensi kepada bank sentral (Bank
Indonesia) pada 1999. Secara teoritis, dalam arena pembuatan kebijakan makroekonomi, reformasi ekonomi memang salah satunya harus dimulai dari bank sentral. Beberapa studi menunjukkan bahwa independensi bank sentral dengan mandat yang jelas untuk melakukan stabilisasi harga menghasilkan kinerja makroekonomi yang baik (Alesina dan Summers, 1993; Cukierman, et. al., 1992). Oleh karena itu, otoritas bank sentral harus diubah dengan memberikan mandat hanya kepada pengendalian inflasi daripada tujuan lain yang lebih luas tapi berpotensi saling bertubrukan (conflicting objectives). Sungguh pun begitu, Fischer (1995) mengingatkan bahwa independensi bank sentral hanya merujuk kepada “independensi instrumen” dan bukan “independensi tujuan.” Bank sentral tidak disarankan memiliki independensi untuk menentukan tujuannya sendiri, tetapi diharapkan dibatasi hanya menjalankan tujuan yang telah ditetapkan secara jelas. Lihat Anis Chowdhury, Political Economy of Macroeconomic Management: The Need for Institutional Change, International Journal of Social Economics, Vol. 26, No. 1/2/3, 1999, hal. 398
15 Studi yang dilakukan oleh Kuncoro dan Abimanyu pada 1995 menyebutkan bahwa 7 dari 9 sub-sektor industri manufaktur di Indonesia memiliki rasio konsentrasi di atas 40%, sehingga tergolong terkonsentrasi atau oligopolis. Hanya industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan produk kayu yang memiliki konsentrasi relatif rendah, yakni antara 13-14%. Sedangkan untuk industri sub-sektor makanan, minuman, tembakau, kertas, kimia, barang galian bukan logam, logam dasar, barang dari logam, mesin dan peralatannya, dan pengolahan lain menunjukkan konsentrasi yang sangat tinggi, yakni antara 40-82%. Lihat Mudrajad Kuncoro dan Anggito Abimanyu, Struktur dan Kinerja Industri Indonesia dalam Era Deregulasi dan Liberalisasi: Sebuah Catatan Empiris, FE UGM, Yogyakarta, 1995, tidak dipublikasikan
14 15KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
Dalam soal keterbukaan ini,
indeks keterbukaan
pasar keuangan Indonesia
berada pada posisi kedua
tertinggi setelah Singapura.
Sebaliknya, pasar keuangan
di China dan India sangat ketat.
Sungguh pun begitu, terdapat soal ekonomi lain yang belum dapat
dipecahkan, bahkan dalam beberapa aspek tertentu terjadi pemburukan,
meskipun proyek reformasi ekonomi telah dijalankan lebih dari satu dekade.
Pertama, terdapat tendensi yang makin nyata pertumbuhan (tinggi) yang
dicapai diiringi dengan naiknya ketimpangan pendapatan antar-
individu/kelompok maupun 16antardaerah. Realitas ini tentu
menyedihkan, karena dengan
begitu kebijakan reformasi hanya
menguntungkan segelintir pelaku
ekonomi atau sebagian daerah.
Kedua, deregulasi dan liberalisasi
dianggap sebagai instrumen
mujarab untuk meningkatkan
(konsumen) dirugikan. Oleh karena
itu, perubahan sistem persaingan
ekonomi merupakan terapi mujarab
untuk merancang ekonomi ke arah
persaingan yang sehat sehingga semua
pelaku ekonomi memiliki akses yang
sama, masyarakat (konsumen)
d i u n t u n g k a n , d a n d aya s a i n g
diharapkan meningkat.
Bapak rektor dan hadirin yang saya hormati,
Ongkos Reformasi Ekonomi
Harus diakui telah banyak kemajuan ekonomi yang dicapai berkat
kebijakan reformasi ekonomi yang didesain selama satu dekade terakhir.
Keberhasilan paling mencolok adalah pencapaian stabilitas makroekonomi
pada satu dekade terakhir, meskipun sempat diinterupsi pada tahun-tahun
tertentu akibat turbulensi ekonomi, seperti 2005 dan 2008. Pada 2005
perekonomian sempat limbung akibat kenaikan harga minyak dan pangan di
pasar internasional. Akibatnya, pada tahun itu inflasi bertengger pada angka
17,11%. Sementara itu, pada 2008 terjadi megakrisis finansial dengan
episentrum di Amerika Serikat akibat kasus subprime mortgage (Stiglitz,
2010:2). Krisis ini juga menikam perekonomian Indonesia cukup dalam,
seperti turunnya ekspor, goyahnya sektor keuangan/perbankan, dan
perlambatan kegiatan ekonomi domestik. Bahkan, dikemudian hari krisis
2008 itu memunculkan problem perbankan yang berujung menjadi isu politik,
yakni kasus Bank Century. Namun, terlepas dari peristiwa 2005 dan 2008 itu,
stabilitas makroekonomi relatif terjaga, hal ini dapat dilihat dari indikator
pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga acuan, nilai, tukar, dan lain-lain
(Tabel 3).
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
16 Data BPS menunjukkan, pada 1971 PDRB Pulau Jawa memberikan kontribusi sebesar 54,5% terhadap PDB, diikuti Sumatera (29,0%), Sulawesi (6,0%), Kalimantan (5,4%), Bali dan Nusa Tenggara (3,4%), serta Maluku dan Papua (1,7%). Pada 2008 sebagian besar kontribusi PDRB daerah tersebut mengalami penurunan, kecuali Jawa dan Kalimantan. Secara lebih detail, pada 2008 sumbangan PDRB Jawa (60,7%), Sumatera (21,6%), Kalimantan (8,8%), Sulawesi (4,6%), Bali dan Nusa Tenggara (2,7%), serta Maluku dan Papua (1,6%). Sebagai catatan, distribusi kontribusi PDRB ini tidak memasukkan Timor Timur. Lihat Suahazil Nazara, Pemerataan Antardaerah sebagai Tantangan Utama Transformasi Struktural Pembangunan Ekonomi Indonesia Masa Depan, Pidato Pengukuhan Guru Besar FE UI, 10 Maret 2010, hal. 12, tidak dipublikasikan
16 17KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
Struktur ekonomi yang sangat
monopolis dan oligopolis
merupakan pemandangan jamak
pada hampir semua sektor
perekonomian nasional sebelum
masa reformasi ekonomi.
Tabel 3: Indikator Makroekonomi Indonesia 2000-2010
Deregulasi dan liberalisasi
dianggap sebagai instrumen mujarab
untuk meningkatkan efisiensi ekonomi,
namun efisiensi dan daya saing
ekonomi nasional justru tidak
bergerak maju secara proporsional
dengan percepatan liberalisasi.
Indikator 2005 2006 2007 2008 2009
Pertumbuhan Ekonomi (%)
5,6 5,5 6,2 6,1 4,5
PDB Nominal (Harga Berlaku/Rp Miliar)
2.774.281,1
3.339.216,8 3.950.893,2 4.951.356,7 5.613.441,7
Inflasi (%) 17,4 6,6 6,59 11,06 2,78
Nilai Tukar (Rp/US$) 9.850 9.197 9.376 10.450 9.447
BI Rate (%) 12,75 9,75 8,00 9,25 6,5
Penduduk Miskin (Juta Jiwa)
35,10 39,10 37,20 34,96 32,53
Penduduk Miskin (%) 15,9 17,6 16,6 15,42 14,15
Pengangguran Terbuka (%)
11,24 10,26 9,11 8,39 8,14
makro (institutional environment) berkonsentrasi kepada penyusunan
kerangka hukum, ekonomi, dan politik agar kebijakan yang diproduksi bisa
menjawab tujuan yang ditargetkan [(Tian, 2001:387; Kherallah dan Kirsten,
2001:4)].
Secara definitif, kelembagaan itu sendiri bisa dimaknai sebagai
regulasi perilaku yang secara umum diterima oleh anggota-anggota kelompok
sosial, untuk perilaku spesifik dalam situasi yang khusus, baik yang bisa
diawasi sendiri maupun dimonitor oleh otoritas luar (external authority)
[Rutherford, 1994:1]. North (1994:360) memaknai kelembagaan sebagai
aturan-aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia (humanly
devised) untuk membangun struktur interaksi politik, ekonomi, dan sosial.
Dalam pengertian yang kurang lebih sama, Yeager (1999:9) secara ringkas
menjelaskan kelembagaan sebagai aturan main (rules of the game) dalam
masyarakat. Aturan main tersebut mencakup regulasi yang memapankan
masyarakat untuk melakukan interaksi. Kelembagaan dapat mengurangi
ketidakpastian yang inheren dalam interaksi manusia melalui penciptaan pola
perilaku (Pejovich, 1995:30). Termasuk dalam kelembagaan adalah
efektivitas penegakan hak kepemilikan (property rights), kontrak dan jaminan
formal, trademarks, limited liability, regulasi kebangkrutan, organisasi
korporasi besar dengan struktur tata kelola yang membatasi persoalan-
persoalan agency, dan –seperti yang ditekankan oleh Williamson- kontrak
yang tidak lengkap dan oportunisme pasca-kontrak (ex-post opportunism)
[Bardhan, 1996:4].
Kembali kepada soal reformasi ekonomi, pengalaman di China dan
India barangkali bisa dijadikan pijakan untuk melakukan perbandingan.
Reformasi ekonomi di China diawali pada 1978 dan dilanjutkan pada awal
1980-an, yang fokus kepada pembukaan perdagangan internasional dan
pengenalan tanggung jawab kontrak (contract responsibilities) pada aktivitas
di sektor pertanian. Dengan sistem ini, petani diarahkan menjual surplus
komoditasnya ke pasar, yang dibantu dengan pemapanan Township-Village
Enterprises (TVEs). Selanjutnya, pada akhir 1980-an dan awal 1990-an,
reformasi ekonomi difokuskan kepada penciptaan sistem harga (pricing
efisiensi ekonomi, namun efisiensi dan daya saing ekonomi nasional justru 17tidak bergerak maju secara proporsional dengan percepatan liberalisasi.
Ketiga, akses angkatan kerja masuk ke sektor formal semakin sempit sehingga
proporsi jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal bertambah dari
waktu ke waktu. Dengan kata lain, persaingan usaha yang telah diatur belum
mampu mendongkrak kapasitas ekonomi sehingga penyerapan tenaga kerja
sangat sedikit.
Terdapat dua argumen penting untuk menelisik kegagalan sebagian
program reformasi ekonomi di Indonesia tersebut. Pertama, analisis yang
fokus kepada pilihan dan urutan
kebi jakan reformasi ekonomi .
Pendekatan ini meyakini bahwa
p i l i h a n k e b i j a k a n r e f o r m a s i
antarnegara tidak bisa dibikin
seragam karena masing-masing
negara mempunyai karakteristik dan
problem ekonomi yang berlainan.
Model reformasi ekonomi “Asia” dan
“Eropa Timur”, seperti yang telah
diulas di muka, merupakan respons
terhadap karakteristik ekonomi yang berbeda antarnegara tersebut. Kedua,
alasan lemahnya desain dan penegakan kelembagaan (rules of the game)
sebagai “kaki” dari kebijakan yang telah diproduksi. Pendekatan ini pada level
18 19KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
17 Hal paling mendasar yang dilupakan pemerintah adalah bahwa perekonomian yang berbasis pasar tetap perlu aturan
main (kelembagaan) yang rinci sehingga pasar dapat bekerja sesuai amanat yang dipanggul. Dalam perekonomian yang berbasis pasar, fungsi terpenting kelembagaan bisa dipilah dalam tiga klasifikasi berikut: (i) meregulasi pasar (market regulating), khususnya untuk mengatasi persoalan-persoalan ekternalitas (externalities), skala ekonomi (economies of scale), dan informasi yang tidak sempurna (imperfect information). Contoh dari regulasi pasar termasuk peraturan di bidang telekomunikasi, transportasi, dan jasa keuangan; (ii) menstabilisasi pasar (market stabilizing), yang bertujuan menurunkan inflasi, meminimalisasi volatilitas makro ekonomi, dan mencegah krisis keuangan. Contoh dari stabilisasi pasar ini adalah pemapanan bank sentral, rezim nilai tukar, serta aturan fiskal dan anggaran; dan (iii) melegitimasi pasar (market legitimizing), yakni kebijakan untuk menopang 'kegagalan pasar', seperti asuransi dan perlindungan sosial, redistribusi, dan manajemen konflik. Kebijakan-kebijakan yang bisa diciptakan antara lain: sistem pensiun, skema asuransi pengangguran, dan dana sosial lainnya. Lihat Dani Rodrik dan Arvind Subramanian, The Primacy of Institutions (and what this does and does not mean), Finance and Development, Vol. 40, No. 2, June 2003, hal. 32
Pada level mikro
(institutional arrangement)
pendekatan kelembagaan ini
secara spesifik mendesain
aturan main yang memungkinkan
semua pelaku ekonomi dapat
bersaing (competition)
atau bekerjasama (cooperation)
secara adil (fair)
system), yang dicapai lewat sistem harga dua jalur (dual track pricing system)
dan pengurangan peran negara dalam alokasi sumber daya (ekonomi).
Pemerintah China juga mulai mendiversifikasi sistem kepemilikan badan
usaha yang memberi tempat bagi swasta maupun modal asing. Pada periode
ini China juga mengenalkan pembangunan zona ekonomi khusus (special 18economic zone/SEZ)), terutama di Shanghai Pudong, yang kelak di kemudian
hari menjadi lokomotif ekonomi China (Hu, 2005:5).
Sementara itu, reformasi ekonomi di India dapat dibagi dalam
beberapa babak berikut. Pertama, mengurangi praktik monopoli pada semua
sektor industri agar sektor privat bisa bergerak lebih leluasa. Kedua, reformasi
perdagangan internasional digalakkan sejak 1991 dengan cara mencabut
lisensi impor dan digantikan dengan lisensi umum terbuka (open general
licencing). Meskipun kebijakan ini terkesan sangat liberal, namun dalam
praktiknya hanya mencakup 30% impor. Tarif impor juga diturunkan secara
dramatis, di mana dulunya 60% tarif impor berada dalam rentang 110-150%
(bahkan paling tinggi ada yang mencapai 400%) dan hanya 4% yang tarif
impornya di bawah 60%. Saat ini, tarif impor yang paling tinggi 45% dengan
rata-rata tarif kurang dari 25%. Ketiga, reformasi ekonomi juga dilakukan
pada area infrastruktur, terutama jalan, rel kereta api, dan pelabuhan agar
terjadi perbaikan pada kualitas dan pelayanan, tapi disadari dalam
perjalanannya kemajuan pembangunan infrastruktur ini sangat lamban
(Panagariya, 2002:2-4)
19
20 21KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
18 Daerah-daerah berikutnya yang dikembangkan menjadi SEZ antara lain Tianjin, Shenzhen, Guangzhou, dan Dalian. Lihat Jude Howell, China Opens Its Doors: The Politics of Economic Transition, Lynne Rienner Publishers, USA, 1993, hal. 10419 Dalam sudut pandang yang lain, Qian (2003) mendeskripsikan empat faktor kunci sukses China dalam menaklukkan proses transisi ekonomi. Pertama, mendesain pendekatan dua jalur (dual-track approach) liberalisasi yang tetap memberlakukan kuota dan kontrol harga produksi sampai pada jumlah yang direncanakan (sebelum reformasi), namun membebaskan harga ketika produksi telah melewati rencana. Kedua, memformulasikan TVEs sebagai mekanisme melindungi hak kepemilikan yang terdesentralisasi ketika negara (pusat) tidak bisa menjamin bentuk lain yang lebih formal. Ketiga, memperjelas mekanisme desentralisasi pemerintahan. Keempat, mencegah terjadinya penyimpangan komitmen sektor perbankan dan mengurangi kemungkinan pemerintah memanfaatkan perbankan untuk hal-hal yang tidak semestinya melalui pengurangan aliran informasi. Lihat Peter Murrell, Institutions and Firms in Transition Economies. Dalam Claude Menard dan Mary M. Shirley (eds.), Handbook of New Institutional Economics, Springer, The Netherlands, 2005, hal. 689 C
atat
an: I
SI =
ind
ust
ri s
ub
stit
usi
imp
or
1.
Ber
ada
di
sek
elil
ing
rezi
m m
ilit
er S
oeh
arto
dan
bir
ok
rasi
pad
a 1
97
0-a
n,
dan
terk
on
sen
tras
i sek
itar
So
ehar
to p
ada
19
80
-an
2.M
enin
gkat
k
aren
a p
enti
ngn
ya
per
an
org
anis
asi
per
dag
anga
n
sep
erti
AP
EC
dan
AF
TA
Sum
ber
: Bas
ri d
an H
ill,
20
02
:31
9
Ta
ble
4: K
eb
ija
ka
n P
erd
ag
an
ga
n I
nd
on
esi
a, 1
96
6-9
5
Berikutnya, basis perekonomian Indonesia berada di sektor
pertanian, industri, dan perdagangan (kontribusinya terhadap PDB hampir
mencapai 60% dan penyerapan tenaga kerja sekitar 71%, seperti yang terlihat
pada Tabel 5) dengan masalah utama rata-rata kepemilikan lahan yang sempit
di sektor pertanian (dan posisi tawar petani yang lemah), local content yang
rendah di sektor industri, dan dominasi pelaku ekonomi skala ekonomi besar
di sektor perdagangan. Dalam agenda reformasi ekonomi, problem itu diatasi
dengan kebijakan pelepasan kontrol harga pada sebagian besar komoditas
pertanian, promosi non-tradeable sector, dan penciptaan akses yang luas bagi
sektor perdagangan besar untuk membuka usaha sampai ke level
kecamatan/desa. Kebijakan reformasi ekonomi tersebut memang tidak
memengaruhi kinerja makroekonomi, bahkan dalam beberapa hal justru
menopang pertumbuhan ekonomi secara pesat, namun dengan
mengorbankan sasaran ekonomi lainnya.
Grafik 2: Nilai Tukar Petani 2004-2009
Dalam kasus Indonesia, reformasi gelombang pertama justru
menyentuh sektor keuangan, khususnya kontrol modal. Sejak awal masa Orde
Baru kontrol modal sudah dilepas sehingga arus modal asing (portofolio
maupun investasi langsung) berseliweran secara bebas. Hal itu diteruskan
pada dekade 1980-an ketika sektor perbankan diberi keleluasaan membuka
cabang dan kemudahan bank asing beroperasi di Indonesia. Kebijakan
liberalisasi sektor keuangan ini dijalankan saat sektor perdagangan masih 20diselimuti oleh praktik proteksi dan iklim monopoli yang pekat. Tabel 4
menunjukkan secara jelas sampai 1995 (sebelum krisis 1997/1998)
kebijakan perdagangan masih bersemangat proteksionis. Pada saat itu, peran
kaum teknokrat yang pro-pasar cenderung menurun dan kelompok ekonom
nasionalis menguat, sehingga kebijakan proteksi memeroleh panggungnya.
Dengan kata lain, liberalisasi sektor keuangan di Indonesia mendahului sektor
perdagangan (berbeda dengan China dan India).
22 23KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
Tabel 5: Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Ekonomi
2007-2009
Sumber: Diolah dari BPS, berbagai terbitan
20 Dalam kasus ini Indonesia dianggap menerapkan urutan yang salah dalam proses liberalisasi. McKinnon (1973, 1993) menyatakan kontrol modal seharusnya merupakan fase terakhir dari proses liberalisasi, setelah liberalisasi keuangan, perbankan, dan perdagangan. Di Indonesia, setelah kontrol modal dilepas, sektor perbankan justru melanjutkan tradisi represi dan intervensi yang intensif. Bank sentral jauh dari praktik independen, baik dalam hal menjalankan kebijakan moneter maupun meregulasi/mensupervisi bank. Liberalisasi parsial sektor perbankan pada pertengahan dekade 1980-an memang telah menambah jumlah bank secara drastis, namun diiringi dengan kelemahan struktur dan kepemilikan bank-bank tersebut. Pada saat yang sama, sektor riil masih ditandai dengan kebijakan yang distortif, misalnya proteksi tarif yang tinggi, kompetisi yang tidak adil, serta praktik monopoli dan oligopoli yang massif. Lihat Sri Mulyani Indrawati, op. cit., hal. 578 Sumber: Diolah dari BPS, 2010
AHMAD ERANI YUSTIKA
Sekto r 20 07 2 00 8 2 00 9 Persentase
P ertani an 4 1.20 6.47 4 41.331.7064 43 .029 .493 41,18
P ertam bang a n da n pe ngg a lian 99 4.61 4 1 .070 .540 1 .139 .495 1,09
Indu stri Pen gola ha n 1 2.36 8.72 9 12 .549 .376 12 .615 .440 12,07
Li strik, Ga s, dan Air 17 4.88 4 201 .114 209 .441 0,20
Kon struksi 5.25 2.58 1 5 .438 .965 4 .610 .695 4,42
P erda ga nga n, H otel dan restoran 2 0.55 4.65 0 21 .221 .744 21 .836 .768 20,90
T ranspo rtasi da n T e lekomu nika si 5.95 8.81 1 6 .179 .503 5 .947 .673 5,69
Ke ua nga n, Asuran si , P eruma ha n dan Ja sa 1.39 9.94 0 1 .459 .985 1 .484 .598 1,42
M asyaraka t, S osial da n Jasa Priba di 1 2.01 9.98 4 13 .099 .817 13 .611 .841 13,03
T otal 9 9.93 0.66 7 102 .552 .750 104 .485 .444 100,00
23perdagangan. Kelima, akumulasi dari rangkaian kebijakan reformasi
ekonomi tersebut membuat ketimpangan pendapatan meningkat seiring laju
pertumbuhan ekonomi yang tinggi (seperti yang terlihat pada Grafik 3, Rasio 24Gini meningkat hingga mencapai 0,36 pada 2009). Lima implikasi ini
25merupakan ”cost of economic reform” yang harus ditanggung masyarakat.
Implikasi serius dari kebijakan reformasi ekonomi tersebut bisa
dibaca dari lima tampilan berikut. Pertama, liberalisasi keuangan hanya
menjadi instrumen menafkahi kepentingan sektor keuangan itu sendiri,
bukan menumbuhkan sektor riil. Sebagian dana perbankan (domestik
maupun asing) tidak disalurkan dalam wujud kredit, tapi diparkir ke SBI
(Sertifikat Bank Indonesia) dan SUN (Surat Utang Negara). Laporan BI
menunjukkan sampai Mei 2010 dana perbankan yang ditaruh di SBI mencapai
Rp 253,6 triliun, ditempatkan di
Fasilitas Simpanan BI (FASBI)
sejumlah Rp 47 triliun, dan
diinvestasikan ke surat-surat
berharga (plus piutang lainnya)
sebesar Rp 333,3 triliun (BI,
2010:33). Kedua, petani makin
terjerembab karena kontrol harga
dilepas, sementara penentu harga (price maker) adalah pedagang/ distributor.
Hasilnya, harga komoditas melambung, tapi nisbah ekonomi terbesar tidak 21jatuh ke petani (pernyataan ini didukung oleh NTP yang terus merosot,
seperti terlihat pada Grafik 2). Ketiga, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh
non-tradeable sector yang import content-nya tinggi dan penyerapan tenaga 22kerjanya rendah. Akibatnya, impor terus bertambah dan sektor informal kian
membengkak (sebagai penampung tenaga kerja yang tidak dapat masuk ke
sektor formal). Keempat, marginalisasi pelaku ekonomi tradisional dan skala
kecil akibat kalah bersaing dengan pelaku ekonomi besar di sektor
24 25KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
Liberalisasi keuangan
hanya menjadi instrumen menafkahi
kepentingan sektor keuangan
itu sendiri, bukan menumbuhkan
sektor riil.
21 Data BPS terbaru mewartakan angka kemiskinan 2010 turun tipis menjadi 13,33% (pada 2009 mencapai 14,15%). Dengan begitu, jumlah orang miskin pada 2010 mencapai 31,02 juta penduduk. Namun, walaupun persentase kemiskinan turun, tapi persentase jumlah orang miskin di pedesaan justru meningkat (dari 63,35% pada 2009 menjadi 64,23% pada 2010). Fakta ini merupakan konfirmasi yang meyakinkan bahwa pembangunan (ekonomi) selama ini cenderung meminggirkan wilayah pedesaan, khususnya yang bekerja di sektor pertanian. Lihat Ahmad Erani Yustika, Kemiskinan dan Dualisme Ekonomi, Jawa Pos, 13 Juli 201022 Sektor manufaktur di Indonesia masih tergantung dari bahan baku impor yang tinggi, terentang dari mulai 10,9% (industri kertas dan produk kertas) sampai 63,7% (industri peralatan telekomunikasi). Bahkan untuk industri peralatan rumah tangga dan kantor pun masih tergantung bahan baku impor sebesar 56,7%. Ini yang membuat sebagian nilai tambah komoditas manufaktur lari ke luar negeri. Lihat Mohamad Ikhsan Modjo, Proyeksi Ekonomi 2010, makalah dipresentasikan pada seminar Indef Economic Outlook 2010, Jakarta, 25 Januari 2010, tidak dipublikasikan
Sumber: Diolah dari BPS, 2010
23 Riset AC Nielsen pada 2007 menunjukkan pertumbuhan pasar tradisional secara nasional minus 8,1 persen, sementara laju pertumbuhan pasar modern secara nasional mencapai 37 persen. Lihat Harian Ekonomi Neraca, Pemda Harus Kendalikan Pertumbuhan Ritel Modern, 3 September 201024
Rasio Gini berada dalam rentang 0 – 1, di mana 0 berarti pemerataan sempurna dan 1 bermakna ketimpangan sempurna. Sungguh pun begitu, data Gini Rasio Indonesia tersebut tidak terlalu buruk jika dibandingkan dengan Brazil 0,57 (2005), Malaysia 0,46 (2002), Filipina 0,46 (2006), India 0,37 (2004) ataupun China (2007). Lihat Suahazil Nazara, op. cit., hal. 825 Di luar itu, tidak dapat disangkal bila proses reformasi ekonomi sarat dengan rintangan-rintangan politik yang seringkali tidak ramah. Setidaknya ada tiga palang/rintangan politik (political barriers) yang kerap terjadi untuk menelikung perjalanan reformasi ekonomi. Pertama, kebijakan reformasi ekonomi yang menyentuh barang-barang publik (public goods) selalu menimbulkan masalah penunggang gelap (free-rider), sehingga pada titik ini sangat mungkin bagi munculnya tindakan kolektif (collective action). Jika penunggang gelap reformasi tersebut mendapatkan keuntungan yang berlebih, maka reformasi ekonomi berpotensi mengalami kegagalan. Kedua, dalam pandangan model distributif (distributive model) kebijakan reformasi diasumsikan akan didukung oleh kelompok pemenang (the winners) dan sekaligus akan dilawan oleh kelompok pecundang (the losers), sehingga hasil dari reformasi ekonomi sangat tergantung dari kekuatan politik di antara koalisi pemenang. Ketiga, masalah klasik dari reformasi ekonomi adalah biaya reformasi biasanya terkonsentrasi pada satu kelompok tertentu, tetapi keuntungannya menyebar kepada banyak kelompok sehingga keberhasilannya sangat tergantung seberapa kuat perlawanan dari kelompok yang paling terkena dampak reformasi tersebut. Lihat Stephen Haggard dan Robert R. Kaufman, The Political Economy of Democratic Transitions, Princeton University Press, New Jersey, 1995, hal. 156-157
Grafik 3: Pertumbuhan Ekonomi dan Rasio Gini Indonesia 2002-2009
AHMAD ERANI YUSTIKA
dengan basis efisiensi. Implikasi paling serius dari semangat ini tentu bukan
menghilangkan peran pemerintah, namun justru melakukan pilihan
intervensi yang tepat dengan cakupan yang lebih terbatas. Dalam bahasa yang
lebih sederhana, reformasi ekonomi menghendaki pemerintahan yang kuat
tetapi dengan cakupan ruang lingkup
yang terbatas (strong but limited
government). Cakupan yang terbatas
dimaknai pemerintah dan organ yang
menjalankannya (baca: birokrasi)
hanya masuk ke area di mana pasar
tidak dapat bekerja atau mengalami
kegagalan (market failure). Dengan
kata lain, bukanlah peranan negara yang minimal (minimal state), melainkan
dibutuhkan negara yang kapabel (capable state) demi membuat reformasi 28kebijakan yang berorientasi pasar dapat dijalankan (Ahrens, 2000:84). Ini
tentu berkebalikan dengan praktik yang dijalankan sebelum masa reformasi
ekonomi di Indonesia, di mana peran pemerintah masuk ke hampir semua
lekuk kegiatan ekonomi, namun dengan kapasitas pemerintah (birokrasi)
yang tidak memadai. Oleh karena itu, justru pada momentum reformasi
ekonomi kapasitas dan kompetensi administrasi menjadi sangat penting 29sehingga tidak boleh dilalaikan. Dengan demikian, reformasi administrasi
(administrative reform) di sini dimaknai sebagai upaya sadar dan sengaja
untuk memperbaiki birokrasi dalam rangka mencapai tujuan pembangunan
(ekonomi) nasional (Shah, 2002:1).
Bapak rektor dan hadirin yang saya muliakan,
Kerapuhan Kelembagaan Makro
Selain argumentasi tentang pilihan dan urutan kebijakan reformasi
ekonomi yang salah, problem reformasi ekonomi yang menghasilkan capaian
tidak optimal disebabkan juga oleh ketiadaan kelembagaan, atau lebih 26tepatnya tidak ada strategi reformasi kelembagaan (institutional reform).
Dalam perspektif ini, kebijakan reformasi ekonomi membutuhkan 27kelembagaan yang lebih detail, sehingga tanpa adanya kelembagaan yang
solid seluruh kebijakan yang didesain akan berhenti di tengah jalan. Pada titik
ini, reformasi kelembagaan merupakan “enabling environment” yang
membuat kebijakan reformasi
dapat berjalan seperti yang
diharapkan. Sekurangnya terdapat
tiga aspek reformasi kelembagaan
pada level makro (institutional
environment) yang kurang disentuh
pada saat pemerintah menjalankan
kebijakan reformasi ekonomi.
Ketiga aspek kelembagaan itu tidak
lain adalah kelembagaan reformasi administrasi (administrative reform),
sistem hukum (legal system reform), dan politik (political reform) [Chowdhury,
1999:389].
Salah satu spirit reformasi ekonomi adalah memberi tempat yang
layak kepada pasar untuk menjalankan misi percepatan kegiatan ekonomi
26 27KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
Ketiga aspek kelembagaan itu
tidak lain adalah kelembagaan
reformasi administrasi
(administrative reform),
sistem hukum (legal system reform),
dan politik (political reform)
26 Reformasi kelembagaan dalam ruang lingkup yang paling luas dimaknai sebagai perubahan-perubahan yang menekankan kepada relasi negara-masyarakat, hubungan pusat-daerah, dan kaitan negara-partai. Lihat Scott Fritzen, Growth, Inequality and the Future Poverty Reduction in Vietnam, Journal of Asian Economics, Vol. 13, 2002: 635-65727 Dari sudut pandang teoritis, sekurangnya terdapat 3 pendekatan besar dalam studi kelembagaan. Pertama, “the historical perspective” yang dikembangkan oleh North (1990). Kedua, “comparative institutional analysis” yang diformulasikan oleh Aoki (2001). Ketiga, “imperfect information theory” yang dielaborasi oleh Bardhan (2000). Lihat Francesca Gagliardi, Institutions and Economic Change: A Critical Survey of the New Institutional Approaches and Empirical Evidence, The Journal of Socio-economics, Vol. 37, 2008, hal. 418
28 Menurut Sen, memang amat sulit (bahkan tidak mungkin) proses pembangunan (ekonomi) dapat dilakukan tanpa keterlibatan pasar secara ekstensif. Namun, pasar tidak akan bisa bekerja tanpa dukungan sosial, regulasi publik, atau keterlibatan negara yang nantinya akan memperkaya kualitas kehidupan manusia. Lihat Amartya Sen, Development as a Freedom, Anchor Books, New York, 1999, hal. 729 Studi yang dilakukan di China menunjukkan bahwa kualitas pemerintah yang bagus merupakah salah syarat hadirnya FDI (foreign direct investment). Di sini, kelembagaan yang mapan juga membutuhkan mutu pemerintah yang baik, yang berarti mempersyaratkan adanya politisi dan birokrat yang berkualifikasi tinggi. Lihat Joseph P.H. Fan et. al. Institutions and Foreign Direct Investment: China versus the Rest of the World, World Development, Vol. 37, No. 4, 2009, hal. 855
AHMAD ERANI YUSTIKA
Reformasi ekonomi menghendaki
pemerintahan yang kuat
tetapi dengan cakupan
ruang lingkup yang terbatas
(strong but limited government).
tersebut (Tabel 6). Inilah yang kemudian membuat prosedur dan biaya
memulai bisnis di Indonesia menjadi tidak efisien (meskipun telah mengalami
perbaikan dalam beberapa tahun
terakhir). Saat ini lama memulai
bisnis di Indonesia pada 2009
masih 60 hari (hanya lebih bagus
daripada Kamboja dan Timor
Leste) dan ongkos memulai bisnis
mencapai 26% dari pendapatan
per kapita (cuma lebih murah
ketimbang Kamboja dan Filipina) 3 0[Tabel 7]. Jadi , kebijakan
r e f o r m a s i e k o n o m i y a n g
bersemangat deregulasi dalam derajat tertentu sudah benar, tapi karena tidak
ditopang oleh kelembagaan administrasi yang mapan mengakibatkan
kebijakan itu tidak dapat berjalan (secara efektif).
Berikutnya, pokok soal dalam kegiatan ekonomi yang penting adalah
kejelasan hak kepemilikan (property rights) dan respek terhadap aturan
hukum/rule of the law (termasuk penegakannya/law enforcement) sebagai
faktor mendasar yang menentukan stabilitas makroekonomi, pengembangan
pasar modal, pembangunan sektor usaha, dan investasi dalam inovasi (Fan et.
al., 2009:853). Seperti yang telah disinggung di muka, kegagalan pasar
merupakan keniscayaan dalam ekonomi yang berbasis pasar. Di luar faktor
eksternalitas, barang publik, dan praktik monopoli/oligopoli, dalam
Masalahnya, aspek reformasi administrasi-birokrasi ini justru nyaris
tidak disentuh dalam desain besar reformasi ekonomi di Indonesia. Laporan
yang dilansir oleh World Economic Forum (2009) secara jelas mengungkapkan
penyebab daya saing ekonomi Indonesia yang rendah diakibatkan oleh
inefisiensi birokrasi. Pada aspek ini, Indonesia ketinggalan jauh dari negara-
negara tetangga (seperti Malaysia, Thailand, China, dan Singapura). Indonesia
hanya sedikit lebih bagus ketimbang Filipina pada aspek ini. Padahal, bila
dilihat pada aspek yang lain, semisal instabilitas kebijakan, akses pendanaan,
dan inflasi; posisi Indonesia sangat bisa bersaing dengan negara-negara
28 29KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
Keterangan: Warna lebih gelap menunjukkan masalah terbesar
Sumber: Diolah dari WEF, 2009
Tabel 6: Masalah Utama Daya Saing Beberapa Negara
30 Laporan World Economic Forum yang terbaru menunjukkan bahwa peringkat daya saing Indonesia meningkat cukup drastis dari semula peringkat 54 (2009) menjadi 44 (2010), meskipun masih tertinggal cukup jauh dari Malaysia (peringkat 26), Brunei Darussalam (peringkat 28), dan Thailand (peringkat 38). Beberapa pilar yang membuat daya saing Indonesia tertinggal dengan negara lain adalah karena masalah kelembagaan, infrastruktur, dan pendidikan. Sedangkan pilar yang dianggap cukup bagus dalam mendongkrak daya saing Indonesia ialah lingkungan makroekonomi, pengembangan bisnis, dan ukuran pasar. Sementara itu, faktor yang dianggap paling problematik dalam menjalankan bisnis di Indonesia masih didominasi oleh inefisiensi birokrasi dan korupsi. Lihat Klaus Schwab (ed.), The Global Competitiveness Report 2010-2011, World Economic Forum, Switzerland, 2010, hal. 184-185
Saat ini lama memulai bisnis
di Indonesia pada 2009
masih 60 hari (hanya lebih bagus
daripada Kamboja dan Timor Leste)
dan ongkos memulai bisnis
mencapai 26% dari pendapatan
per kapita (cuma lebih murah
ketimbang Kamboja dan Filipina).
AHMAD ERANI YUSTIKA
Masalah Daya Saing China Indonesia Malaysia Singapura Thailand Filipina
Inefisiensi birokrasi pemerintah 15,3 20,2 11,3 3,4 13,3 20,6
Ketidakcukupan ketersediaan infrastruktur 2,8 14,8 5,5 6,2 2,8 15
Instabilitas kebijakan 19,9 9 8,5 1,1 15,4 12,6
Korupsi 0,9 8,7 10,4 0,8 11 24,3
Akses pendanaan 9,7 7,3 12,8 12,6 7,2 5,2
Restriksi regulasi tenaga kerja 8,8 7,1 6,4 15,1 1,9 2,4
Regulasi pajak 9 6,8 4,9 9,4 6,3 4,8
Inflasi 6,7 6,1 4,4 20,3 2 0,6
Regulasi mata uang asing 6,5 5,2 3 4,8 1,8 0
Ketidakcukupan tenaga kerja terdidik 1,6 4,7 8 11,9 6,7 0,7
Etika kerja yang lemah dalam angkatan kerja 1,2 3,7 7,9 5,7 3,5 2
Instabilitas pemerintah/coups 2,8 3,6 3,1 0 23,7 2,8
Tingkat pajak 14,5 1,9 6,9 7,9 2,9 3,3 Kesehatan masyarakat yang rendah 0 0,5 1 0,4 0,2 2,4
Kejahatan dan pencurian 0,2 0,4 5,9 0,3 1,4 3,3
dengan seberapa jauh pemerintah (melalui sistem hukumnya) mampu
melindungi investor dari praktik-praktik pencurian hak cipta, penjiplakan,
pembajakan, dan lain sebagainya (Nelson, 2008:6). Dalam kasus Indonesia, di
sinilah masalah itu muncul, yakni ketidakmampuan sistem legal memproteksi
investor dari perilaku menyimpang (opportunism) pelaku ekonomi lainnya.
Pencurian hak cipta, penjiplakan, dan pembajakan merupakan hal yang wajar
dalam keseharian kegiatan ekonomi, sementara sistem legal tidak sanggup
memberikan penalti terhadap pihak yang berperilaku menyimpang.
Implikasinya, insentif ekonomi untuk melakukan investasi menjadi 31berkurang. Praktik ini terjadi pada hampir semua sektor ekonomi sehingga
secara makro menyebabkan rasio kredit terhadap PDB di Indonesia sangat
rendah dibandingkan negara-negara lain. Tabel 8 mewartakan rasio kredit
terhadap PDB di Indonesia hanya sekitar 26,5%, sangat jauh dibandingkan
dengan Thailand (88,4%), Malaysia (116,1%), Singapura (112,8%), dan
Korsel (93,2%). Jadi, meskipun pemerintah Indonesia berhasil melakukan
pandangan ekonomi neoklasik kegagalan pasar kerap terjadi akibat
ketidakjelasan hak kepemilikan (Caporaso dan Levine, 1993:92). Jika hak
kepemilikan terhadap sumber daya ekonomi diberikan kepada privat
(terlepas dari kontroversi di baliknya), maka hal itu akan menjadi sumber
terpenting bagi munculnya produksi dan kreativitas ekonomi. Kejelasan hak
kepemilikan juga membuat transaksi lebih mudah dilakukan karena masing-
masing pelaku ekonomi memiliki kepastian tentang status suatu barang/jasa;
demikian sebaliknya. Selanjutnya, hak kepemilikan itu dijamin kepastiannya
melalui sistem legal yang kukuh untuk mencegah munculnya pelaku ekonomi
yang berbuat curang, seperti pencurian, penjiplakan, pembajakan, dan lain-
lain.
Pada titik ini, investasi yang terjadi disuatu negara bukan hanya fungsi
dari tingkat suku bunga, ekspektasi ekonomi, ketersediaan infrastruktur,
ataupun pasokan kredit. Dalam tradisi kelembagaan, investasi juga berkaitan
30 31KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
Jumlah prosedur memulai
bisnis
Jumlah hari memulai
bisnis
Biaya (% dari pendapatan per
kapita)
Modal Minimal (% dari
pendapatan per kapita)
Singapura 3 3 0,7 0
Thailand 3 3 6,3 0
Indonesia 9 60 26 59,7
Kamboja 9 85 138,4 36,3
Malaysia 9 11 11,9 0 Timor-Leste 10 83 4,1 202,9
Vietnam 11 50 13,3 0
Filipina 15 52 28,2 5,5 Rata-rata OECD 5,7 13 4,7 15,5
Asia Pasifik 8,1 41,1 25,8 21,3
Sumber: World Bank, 2009
Tabel 7: Indikator Biaya Memulai Bisnis pada Beberapa Negara
Negara Rasio Kredit Bank terhadap PDB (%)
Rasio Aset Sektor Keuangan terhadap PDB (%)
Indonesia 26,5 80,5 Malaysia 116,1 351,9
Filipina 36,3 152,0
Thailand 88,4 183,7 Singapura 112,8 553,2
Korsel 93,2 200,1 Sumber: CEIC Data; dalam Bank Indonesia, 2010
31 Studi yang dilakukan oleh PERC (Political and Economic Risk Counsultancy) pada 2010 menyebutkan Indonesia memiliki catatan terburuk dalam melindungi hak kekayaan intelektual di Asia (peringkat paling buncit dari 12 negara Asia yang disurvei). Skor Indonesia mencapai 8,5 (skor 10 paling buruk dalam melindungi hak kekayaan intelektual). Secara lebih lengkap, Singapura memimpin daftar dengan skor 1,5, diikuti oleh Jepang (2,1), Hong Kong (2,8), Taiwan (3,8) dan Korea Selatan (4,1). Di ujung lain dari skala yang buruk, Vietnam kedua terburuk (8,4), China (7,9), Filipina (6,84), India (6,5), Thailand (6,17), dan Malaysia 5,8. Lihat Media Indonesia, Pembajakan di Indonesia Tertinggi di Asia, 25 Agustus 2010
Tabel 8: Rasio Kredit Bank dan Aset Sektor Keuangan terhadap PDB 2009
AHMAD ERANI YUSTIKA
dalam almari anggaran negara (APBN/APBD) sebagian habis dibagi untuk
pengelola/pejabat negara atau kerabatnya. Lebih dramatis lagi, proyek
pembangunan itu diberikan kepada “political fund managers” yang
sebelumnya menjadi sponsor pemenangan salah satu kontestan pemilu yang
kemudian menjadi pemimpin (daerah/pusat). Implikasinya, proyek itu tidak
mungkin dijalankan sesuai term of reference karena birokrasi telah kehilangan
simpul terpenting dalam proses penilaian sebuah proyek: monitoring dan
evaluasi. Jadi, jika sampai sekarang infrastruktur ekonomi selalu dalam
kondisi buruk sehingga mengganggu iklim investasi, maka alasannya
sebetulnya bukan karena pemerintah tidak punya dana. Di lapangan,
sebenarnya yang terjadi sebagian (besar) anggaran itu dipotong dan dibagi-
bagi kepada para pemburu rente tersebut, yang kemudian disisakan sedikit
untuk proyek pembangunan yang sesungguhnya. Inilah sebagian dari
kedangkalan dan kerapuhan kelembagaan makro yang dijalankan Indonesia
selama satu dekade terakhir ini.
Bapak rektor dan hadirin yang saya hormati,
Kerapuhan Kelembagaan Mikro
Di luar agenda kegagalan menciptakan perubahan kelembagaan
makro yang menjadi enabling environment perjalanan reformasi ekonomi,
masalah kelembagaan juga muncul pada level mikro (institutional
arrangement). Reformasi ekonomi yang tujuan besarnya adalah menciptakan
stabilitas makroekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, inflasi,
suku bunga, neraca pembayaran, disiplin fiskal, dan lain-lain menghendaki
dukungan kelembagaan yang rinci agar pencapaian stabilitas makroekonomi
tersebut berjalan dalam koridor yang benar. Dalam beberapa kasus, stabilitas
makroekonomi yang dicapai disuatu negara dapat terjadi di tengah problem-
problem ekonomi yang mendasar, seperti kemiskinan, ketimpangan
pendapatan, dan pengangguran. Hal ini bisa berlangsung karena output
ekonomi itu dapat dicapai lewat dua kaki, yaitu kebijakan dan kelembagaan.
Fungsi kebijakan menunjukkan arah/target/tujuan ekonomi (misalnya
stabilitas makroekonomi, namun akibat jaminan hak kepemilikan yang
keropos menyebabkan insentif investasi menjadi menurun (di samping alasan
lainnya, misalnya keterbatasan infrastruktur).
Terakhir, pekerjaan rumah dianggap berakhir ketika reformasi politik
telah dijalankan. Makna reformasi politik yang betul bukan hanya secara
prosedur sudah mengadopsi unsur-unsur penting dari demokrasi, seperti
pemilihan umum yang terjadwal, eksistensi parlemen, dan pelembagaan
media untuk berekspresi.
Lebih penting dari itu,
demokrasi sebagai output
dari reformasi politik harus
menyediakan jalan bagi
t e r j a d i n y a l a l u l i n t a s
transaksi kepentingan yang
transparan dan akuntabel. Di
sini diandaikan jika kegiatan
ekonomi sudah dideregulasi dan sistem politik telah demokratis, maka
patronase antara politisi dan birokrat dapat dibatasi dalam sistem ekonomi
yang dipandu oleh pasar (market-driven economic system). Padahal, semua itu
hanya bisa terjadi bila sistem politik demokratis tersebut dilengkapi dengan
aturan main dan norma yang jelas (well-defined rules and norms) sehingga
sistem tersebut dapat mengakomodasi aspirasi politik rakyat (Chowdhury,
1999:398). Sebaliknya, jika sistem politik demokratis itu tidak ditopang
dengan aturan main yang rinci, maka agenda reformasi ekonomi berpotensi 32ditelikung oleh political rent-seekers.
Jika postulat itu dibawa ke konteks politik di Indonesia, maka akan
dijumpai realitas berikut. Program atau proyek pembangunan yang ditaruh
32 33KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
Di sini diandaikan jika kegiatan ekonomi
sudah dideregulasi dan sistem politik
telah demokratis, maka patronase antara
politisi dan birokrat dapat dibatasi dalam
sistem ekonomi yang dipandu oleh pasar
(market-driven economic system).
32 Di dalam masyarakat yang demokratis (secara subtansial), kekuasaan politik terdistribusikan secara lebih merata dan pelaku yang lebih lemah memiliki kesempatan mencegah elite berperilaku sebagai pemegang kuasa mutlak (monopoly power) di pasar. Beberapa kasus di negara berkembang yang merefleksikan ketidakseimbangan kuasa politik dan ekonomi menghasilkan kelembagaaan ekonomi-pasar yang tidak menyediakan akses setara terhadap pemanfaatan sumber daya ekonomi. Lihat Antonio Savoia, et. al., Inequality, Democracy, and Institutions: A Critical Review of Recent Research, World Development, Vol. 38, No. 2, 2010, hal. 146
AHMAD ERANI YUSTIKA
dibutuhkan adalah aturan hak kepemilikan sehingga terdapat kepastian
berusaha serta pedoman ke luar dan masuk bagi individu-individu yang
bertransaksi di pasar. Tentu saja target dari perubahan kelembagaan mikro ini 33adalah mencoba menurunkan biaya transaksi. Tidak berhenti sampai di sini,
perubahan kelembagaan informal juga harus dikreasikan sehingga, baik
secara makro maupun mikro, turut menyokong tujuan perubahan
kelembagan formal. Seperti yang terlihat, masalah reputasi, konsensus sosial,
perilaku individu, dan sikap terhadap risiko menjadi perhatian penting dari
perubahan kelembagaan informal ini (Diehl, 1998:51).
pertumbuhan ekonomi), sedangkan
kelembagaan mendesain tata cara
bagaimana tujuan itu hendak
dicapai. Jadi, meskipun kebijakan
ekonomi yang diproduksi oleh dua
negara sama, tapi output ekonomi
bisa berlainan akibat perbedaan
kelembagaan yang digunakan untuk
menjalankan kebijakan tersebut.
Pada titik ini menjadi penting dibuat target, variabel kunci, tindakan
pada berbagai level, dan jenis kelembagaan yang dibutuhkan dalam setiap
menjalankan kebijakan (reformasi) ekonomi. Sekadar ilustrasi, Tabel 9
mendeskripsikan bagaimana suatu pendalaman kelembagaan mesti dibuat
untuk mencapai tujuan kebijakan ekonomi. Khusus mengenai perubahan
kelembagaan formal, tampak bahwa pada level makro harus terdapat
peraturan yang tegas berkenaan dengan fungsi dan kewenangan bank sentral
serta pemberdayaan anggaran negara untuk mendukung kegiatan
perekonomian. Sedang pada level mikro, perubahan kelembagaan formal yang
34 35KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
Fungsi kebijakan menunjukkan
arah/target/tujuan ekonomi
(misalnya pertumbuhan ekonomi),
sedangkan kelembagaan mendesain
tata cara bagaimana tujuan itu
hendak dicapai.
Aspek/Level M akro Mikro Meso
Ta rget Stabilitas Efisie nsi Inova si
Va riabel kunci Uan g, nilai tukar Harga Pe ngeta huan
Tin dakan Manajem en ne gara Pilih an in divid u Intera ksi
K elemba gaan formal
Bank sen tral, kew enan gan angga ran ne gara
Hak kepem ilikan, atura n keluar d an masuk pasa r
Infrastruktur, sistem pe ndidikan, asosiasi pe rdagan gan
K elemba gaan informa l
Reputasi, konsensus sosial te rhadap ca ra panda ng pe rilaku
Tata kelola peru sahaa n, peri la ku rasion al ind ividu
Sika p terha dap risiko, faktor mobilitas, pe rilaku me nabun g
Sumber: Diehl, 1998:51
Tabel 9: Target Ekonomi, Tindakan, dan
Kelembagaan pada Beberapa Level
Sumber: Statistik Indonesia & Data Sosial Ekonomi, BPS (berbagai tahun)
Grafik 4: Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin 1990-2010
33 Furubotn dan Richter (seperti dikutip oleh Benham dan Benham, 2000:368) mendefinisikan biaya transaksi sebagai ongkos untuk menggunakan pasar (market transaction costs) dan biaya melakukan hak untuk memberikan pesanan (orders) di dalam perusahaan (managerial transaction costs). Di samping itu, ada juga rangkaian biaya yang diasosiasikan untuk menggerakkan dan menyesuaikan dengan kerangka politik kelembagaan (political transaction costs). Untuk masing-masing tiga jenis biaya transaksi tersebut bisa dibedakan menurut dua tipe: (1) biaya transaksi 'tetap' ('fixed' transaction costs), yaitu investasi spesifik yang dibuat di dalam menyusun kesepakatan kelembagaan (institutional arrangements); dan (2) biaya transaksi 'variabel' ('variable' transaction costs), yakni biaya yang tergantung pada jumlah dan volume transaksi. Lihat Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi, Bayumedia, Malang, 2008, hal. 83
kerja (public expenditure), pajak progresif dan sistem pengupahan yang adil;
akan menjamin bahwa setiap tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai
lebih banyak dinikmati oleh kelompok miskin (pro-poor growth) [Deolalikar,
et. al, 2002:7]. Sementara itu, kelembagaan yang mesti dipersiapkan antara
lain aturan main hubungan antarpelaku ekonomi (misalnya di sektor
pertanian), mengurangi dominasi pedagang lokal, menghidupkan aset orang 37miskin yang mati, dan lain-lain. Harus diakui dengan rendah hati pekerjaan
inilah yang terabaikan oleh pemerintah selama ini.
Di sini akan diulas secara singkat, mengapa reformasi ekonomi di
Indonesia menghasilkan stabilitas makroekonomi yang relatif bagus, namun
dengan meninggalkan residu yang tidak kalah gawat, yakni kemiskinan, 34ketimpangan pendapatan, dan pengangguran. Pertama, meskipun dana dan
segepok kebijakan ekonomi sudah diproduksi untuk mengatasi masalah
kemiskinan, namun penurunan jumlah orang miskin tidak menunjukkan data 35yang impresif (Grafik 4). Pada 1990, persentase kemiskinan sebesar 15,1%
atau setara 27,2 juta penduduk kala itu. Pada 2010, persentase penduduk
miskin sebesar 13,33% (31,02 juta jiwa). Jadi, selama 20 tahun terakhir bisa
dikatakan tidak ada kemajuan dalam mengatasi kemiskinan karena
persentase penduduk miskin tidak banyak mengalami penurunan). Hal ini
dapat terjadi karena pemerintah alpa merumuskan kebijakan langsung (direct
policies) yang mengaitkan kelembagaan dengan strategi pengurangan 36kemiskinan (poverty reduction). Seperti yang tertera dalam Bagan 1, yang
bisa memengaruhi kualitas pertumbuhan ekonomi dan distribusi
(pendapatan) adalah jenis kelembagaan dan kebijakan (ekonomi). Dalam
kasus ini, pilihan kebijakan ekonomi semacam perdagangan internasional
(pengenaan tarif untuk produk pertanian), fleksibilitas nilai tukar
(disesuaikan dengan daya saing produksi nasional), penciptaan lapangan
36 37KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
34 Ahli ekonomi pembangunan yang cukup termasyhur, Dudley Seers, lebih dari 40 tahun lalu telah menyatakan bahwa jika di suatu negara terdapat salah satu atau lebih dari masalah berikut ini, yakni kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran; maka pembangunan yang dijalankan di negara tersebut berada di dalam masalah yang besar. Lihat Dudley Seers, The Meaning of Development, paper dipresentasikan dalam “the Eleventh World Conference of the Society for International Development”, New Delhi, 4-17 November 196935 Pada 2005 pemerintah menganggarkan Rp 23 triliun untuk penanggulangan kemiskinan. Anggaran ini naik hampir tiga kali lipat menjadi Rp 66,2 triliun pada 2009. Selama kurun waktu 2005-2009 total dana yang telah digulirkan untuk mengatasi kemiskinan sebesar Rp 245,2 triliun. Tetapi, anggaran tersebut hanya berhasil menurunkan angka kemiskinan kurang dari 2 persen (tepatnya 1,8 persen) dari 16,0 persen (2005) menjadi 14,2 persen (2009). Ini artinya efektivitas pemanfaatan anggaran untuk pengurangan kemiskinan sangat rendah karena hanya mampu menurunkan tingkat kemiskinan kurang dari 2 persen dalam waktu 5 tahun.36 Pada periode 1980-1993 Indonesia (bersama dengan Malaysia) dimasukkan sebagai kasus negara terbaik (best case) yang dalam waktu bersamaan dapat memadukan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Sebaliknya, Rusia (1980-1993) merupakan kasus terburuk (worst case) karena memeroleh pertumbuhan ekonomi rendah dan ketimpangan pendapatan tinggi. China (1985-1993) dan Thailand (1981-1992) pertumbuhan ekonominya tinggi, namun pemerataan pendapatannya jelek. Sedangkan Srilanka (1981-1990) pemerataan pendapatan bagus, namun pertumbuhan ekonominya rendah. Lihat Scott Fritzen, Growth, Inequality and the Future of Poverty Reduction in Vietnam, Journal of Asian Economics, Vol. 13, 2002, hal. 651
Kelembagaan
Kebijakan
Pertumbuhan
Ekonomi
Distribusi
Pendapatan
Pertumbuhan
yang Memihak Kel. Miskin
Pengurangan Kemiskinan
Sumber: Deolalikar, et. al, 2002:7
37 Kaum miskin sebetulnya memiliki aset yang dapat dikonversi untuk transaksi ekonomi, misalnya mengajukan kredit ke perbankan. Masalahnya, aset orang miskin itu dalam kondisi “mati”. Misalnya, tanah atau rumahnya tidak bersertifikat, usahanya tidak memiliki izin, dan seterusnya. Seandainya itu bisa dihidupkan, maka aset tersebut dapat dipakai untuk melakukan kegiatan ekonomi sehingga berkontribusi terhadap program pengurangan kemiskinan. Lihat Hernando de Soto, The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else, Black Swan. Second Edition, 2001, hal. 7. Cara lainnya adalah dengan mengatasi “hukuman kemiskinan” (poverty penalty) yang dialami oleh penduduk miskin dalam rupa kuatnya monopoli lokal, ketiadaan akses, distribusi yang buruk, dan dominasi kelas pedagang tradisional (traditional intermediaries). Lihat C.K. Prahalad, The Fortune at the Bottom of the Pyramid: Eradicating Poverty Through Profits, Pearson Education, Inc., USA, 2006, hal. 11
Bagan 1: Hubungan antara Kelembagaan, Pertumbuhan
Ekonomi, dan Pengurangan Kemiskinan
AHMAD ERANI YUSTIKA
Kedua, di bagian awal sudah dinyatakan pertumbuhan ekonomi yang
stabil dalam beberapa tahun terakhir justru menjadi lahan yang subur bagi
peningkatan ketimpangan pendapatan. Dalam perspektif kelembagaan hal ini
dapat dijelaskan lewat dua cara: (i) inflasi sepenuhnya tidak dapat
dikendalikan oleh pemerintah dan bank sentral, yang celakanya inflasi
tersebut sangat merugikan kelompok miskin karena sebagian sumbernya 38berasal dari harga pangan yang meningkat (kelompok miskin sebagian besar
pendapatannya digunakan untuk konsumsi pangan). Pemerintah tidak dapat
mengatasi inflasi pangan karena kelembagaan produksi dan distribusi
pertanian tidak disentuh; (ii) terdapat tendensi kesenjangan antara inflasi dan
upah minimum (provinsi) semakin tipis. Beberapa tahun lalu (misalnya 2001),
persentase kenaikan upah minimum jauh lebih besar ketimbang inflasi,
namun dalam beberapa tahun terakhir (misalnya 2008) proporsi kenaikan
inflasi nyaris sama dengan kenaikan upah minimum (Grafik 5). Mengapa ini
bisa terjadi? Jawabannya karena tidak ada kelembagaan dalam bentuk statuta
formal yang dibuat pemerintah untuk mengatur proporsi kenaikan upah
minimum tersebut; dan (iii) liberalisasi keuangan hanya menjadi instrumen
memutar dana dari satu saku ke saku lainnya (pemilik modal) tanpa memiliki
dampak terhadap kegiatan ekonomi riil (investasi). Perekonomian memang
tumbuh (dengan pemicu sektor keuangan), namun terus berputar pada
segelintir pemangku modal/uang. Sekali lagi, liberalisasi keuangan tidak
diimbangi dengan kelembagaan yang mengatur bagaimana seharusnya dana
tersebut dikelola dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, pengangguran terbuka secara sistematis menunjukkan
penurunan (meskipun amat pelan), tapi jumlah pekerja yang tergolong
setengah menganggur (bekerja kurang dari 35 jam per minggu) masih sangat
besar, diperkirakan mencapai 30 juta
jiwa. Lebih mengecewakan lagi,
jumlah pekerja yang masuk ke sektor
informal terus tumbuh sehingga saat
ini mencapai hampir 65% dari total
tenaga kerja (Tabel 10). Fenomena
ini terjadi karena faktor-faktor
berikut: desain insentif yang tidak
bekerja di sektor pertanian,
mahalnya biaya izin usaha, perilaku rent-seeking dalam promosi sektor
ekonomi, akses permodalan yang tidak berjalan maksimal, dan ketiadaan
38 39KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
Grafik 5: Pertumbuhan Upah Minimum Provinsi
dan Inflasi yoy 2001-2009 (%)
AHMAD ERANI YUSTIKA
38 Sekadar contoh, harga beras meningkat rata-rata 18,40% per tahun dan harga minyak goreng tanpa merk naik 22,77% per tahun (periode 2004-2008). Lihat Departemen Perdagangan, Statistik Perdagangan, Oktober 2008. Kenaikan itu jauh lebih tinggi dari rata-rata inflasi yang ”hanya” sekitar 9,5% pada periode tersebut. Jadi, inflasi riil yang harus ditanggung orang miskin sebetulnya setara dengan inflasi bahan pangan, yakni sekitar 18%.
*Data tahun 2001-2004 merupakan rata-rata pertumbuhan UMR 15 Provinsi; 2008 data 32 provinsi dan 2009 data 33 provinsiSumber: Kompas 2 Desember 2008; BPS, 2009
Seluruh penyebab itu adalah
masalah kelembagaan yang tidak
disiapkan secara serius oleh
pemerintah sehingga menimbulkan
komplikasi masalah ekonomi,
khususnya pengangguran.
perlindungan hukum terhadap sektor informal.
masalah kelembagaan yang tidak disiapkan secara serius oleh pemerintah
sehingga menimbulkan komplikasi masalah ekonomi, khususnya
pengangguran.
Jadi, dilihat dari tiga kasus persoalan ekonomi yang meruap ke
permukaan tersebut, terlihat aspek kelembagaan mikro yang rapuh (weak of
institutions) menjadi sumber munculnya masalah-masalah tersebut. Ini bukan
hanya khas Indonesia, tetapi negara-negara lain juga mengalaminya, seperti
Algeria, Maroko, dan Tunisia (Addison dan Baliamoune-Lutz, 2006:1029).
Studi yang dilakukan di kawasan “Magreb” tersebut menunjukkan bahwa
“kualitas kelembagaan” (institutional quality) memainkan peran kunci dalam
menyukseskan reformasi kebijakan, khususnya reformasi sektor perdagangan
dan keuangan. Sebaliknya, di negara-negara Asia Timur yang telah
meningkatkan kualitas kelembagaannya, menghasilkan capaian reformasi
ekonomi yang lebih baik. Keberhasilan itu tidak hanya diukur dari stabilitas
makroekonomi, tetapi juga dibarengi dengan mutu pembangunan ekonomi
yang lebih menonjol.
Seluruh penyebab itu adalah
40 41KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
Tenaga Kerja Informal Agustus 2008 Agustus 2009
Jumlah TK informal (juta) 63,82 67,86
Proporsi TK informal
terhadap total TK (%)
61,3 64,7
Total TK (juta) 102,55 104,86
Sumber: ILO, 2010; dalam INDEF, 2010:94
Tabel 10: Tenaga Kerja Informal di Indonesia, 2008 - 2009
AHMAD ERANI YUSTIKA
tentang pekerjaan-pekerjaan kelembagaan yang harus diformulasikan dan
dijalankan secara serius sejak sekarang. Pada level makro, kelembagaan
sistem administrasi, legal, dan politik menjadi fokus yang tidak boleh
dilupakan. Sementara itu, pada
l eve l m i k ro , ke l e m b a g a a n
ekonomi yang langsung berkaitan
dengan penurunan kemiskinan,
ketimpangan pendapatan, dan
pengangguran mesti dirumuskan
dengan detail, seperti statuta
hubungan antarpelaku ekonomi,
menghidupkan aset orang miskin,
p r o m o s i u s a h a k e c i l d a n
menengah, pengendalian harga
pangan, aturan upah minimum,
menyederhanakan prosedur izin
usaha, perlindungan pelaku
sektor informal, dan lain-lain.
Berikutnya, kelembagaan makro
dan mikro saja belum cukup, tapi masih harus ditopang dengan kelembagaan
sosial, berupa jaminan sosial dan transfer pendapatan untuk memastikan
setiap individu dapat hidup secara laik.
Analisis di atas secara jelas memberikan petunjuk bahwa salah satu
tugas terpenting pemerintah ke depan dalam menyelamatkan reformasi
ekonomi adalah mendesain kelembagaan mikro yang lebih rinci agar masalah-
masalah ekonomi yang pokok (khususnya kemiskinan, ketimpangan
pendapatan, dan pengangguran) dapat diatasi. Tabel 11 memberi arahan
Pada level mikro,
kelembagaan ekonomi yang
langsung berkaitan dengan penurunan
kemiskinan, ketimpangan pendapatan,
dan pengangguran mesti dirumuskan
dengan detail, seperti statuta
hubungan antarpelaku ekonomi,
menghidupkan aset orang miskin,
promosi usaha kecil dan menengah,
pengendalian harga pangan,
aturan upah minimum,
menyederhanakan prosedur izin usaha,
perlindungan pelaku sektor informal,
dan lain-lain.
Bapak rektor dan hadirin yang saya muliakan,
Catatan Penutup
Krisis ekonomi 1997/1998 harus diakui merupakan titik pijak
penting yang mengubah watak perekonomian nasional secara cukup drastis.
Sebelum masa krisis ekonomi tersebut, karakteristik ekonomi Indonesia
digambarkan dengan peran negara yang eksesif dalam perekonomian,
struktur usaha yang terkonsentrasi (monopoli/oligopoli), sentralisasi
manajemen ekonomi, kebijakan fiskal dan moneter yang kurang kredibel, dan
patronase politik-bisnis yang tidak sehat. Meskipun krisis ekonomi
1997/1998 tidak berangkat dari masalah-masalah tersebut, tetapi disadari
karakteristik ekonomi itu membuat krisis ekonomi menjadi lebih dalam dan
sulit diatasi. Pada akhirnya, krisis ekonomi pada saat itu merembet menjadi
krisis politik (kepemimpinan) sebagai cikal bakal terjadinya reformasi
ekonomi dan politik. Di sini, reformasi politik menjadi pintu pembuka
terjadinya reformasi ekonomi secara lebih intensif.
Reformasi ekonomi yang dipilih Indonesia agak berbeda dengan jalan
reformasi ekonomi di negara-negara Asia lainnya. Indonesia memulai
reformasi ekonomi pada level makro, mendahului reformasi ekonomi pada
tingkat mikro. Secara umum, Indonesia tergolong
negara yang telah mengambil pilihan melakukan
reformasi ekonomi secara besar-besaran, di
antaranya ditandai dengan liberalisasi sektor
keuangan dan perdagangan, desentralisasi ekonomi,
menjalankan sistem ekonomi pasar (termasuk
proyek privatisasi BUMN), disiplin fiskal (menjaga
defisit fiskal) dan moneter (termasuk independensi
bank sentral), dan pengenalan regulasi persaingan
usaha yang sehat. Buah reformasi ekonomi itu perlu diakui sebagian telah
menghasilkan kinerja ekonomi yang bagus, khususnya dalam mencapai
stabilitas makroekonomi. Sungguh pun begitu, di luar stabilitas
42 43KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
Tabel 11: Reformasi Kelembagaan yang Perlu Dibangun
Level K e lem b agaan Ri ncian A turan M ain H asil y ang Dih arapk an
K el em bag aan M ak r o Refor m a si a dm in istra si - Siste m m e ritokra si
- Re m un er asi ya n g lay a k - Pe ne ra pa n r ew ard an d
punishm ent - Pe nin gka ta n kom pe te nsi
ap ar a t biro kra si
S istem b irokra si d an a dm inistr asi y an g m a m pu m e njalan ka n keb ija kan re for m asi eko nom i seca ra ef ektif
Refor m a si h ukum /leg al - M em p er kua t in de pe nde nsi - Re m un er asi ya n g lay a k - Pe ne ga ka n a tu ra n m a in y an g
konsiste n - Pe rlind un ga n ter ha da p h ak
kep em ilikan
S istem leg al y an g b isa dia kses se m ua m a sya ra ka t, a da k epa stia n, ad il, kon siste n, da n ce pa t
Refor m a si p olit ik - Pe ng ua tan che ck s and balan ces
- T ra nspa ra n si p roses pe ng am bila n ke pu tu sa n
- Sir kulasi da n p em b ag ia n keku asa an
S istem p olit ik y a ng be ker ja de m i m em enu hi ke butuh an ra ky at , buka n b er ja la n ka re na m otif-m otif keu ntun ga n p riba di (r ent-seek ing)
K elem b agaan M ik ro Kele m ba ga an pe ng ura n ga n ke m iskin an
- Sta tuta h ubu ng a n an ta rp ela ku e konom i
- M em a ng ka s d om ina si p osisi pe da ga ng lokal
- Re gu la si p en am b ah an la ha n - M en gh id up kan ase t y an g m ati - Pe ng ua tan ko pe ra si ser ta
usa ha kecil d an m en en ga h
P en gu ra ng an kem iskina n seca ra cepa t da n m e m be ri pe lu an g ber usa ha pe rm an en se car a m em ad ai/la ik
Kele m ba ga an pe ng ura n ga n ke tim p an ga n pe nda pa ta n
- Pe ng e nda lia n h ar ga pa ng a n - Sta tuta u pa h m in im u m y an g
lay a k - Pe ng a tu ra n ke pe m ilikan ase t
pr odu ktif - Ku ota kre dit ke sektor
pe rtan ian da n IB T ( lu ar Jaw a)
P em e ra ta an pe nd ap atan , ba ik a nta rind ividu , a nta r se kto r, m au pu n a nta r wila y ah
Kele m ba ga an pe ng ura n ga n pe ng an gg ur an
- Pe nin gka ta n inse ntif di se ktor pe rtan ian , ter m a su k m er om b ak ke le m ba g aa n distr ibusi
- M en y ed erh an ak an d a n m e ng ura n gi biay a iz in usah a
- Pe nin gka ta n a kses m od al - Pe rlind un ga n se ktor in for m a l
P en gu ra ng an pe ng a ng gu ra n, khu su sny a a kib at pe ne ra pa n ke bija kan y an g sa la h, seh in gg a t iap ora ng d ap at m em aksim alisasikan ka pa bilita s in div id u
K el em ba gaan So sial Jam ina n k ebu tu ha n da sar - Jam in an sosia l
- Sk em a pe nd id ika n d an kese ha ta n
M en ja m in se tiap ora ng da pa t m em e nu hi keb utuha n hidu p se ca r a lay a k
Tr a nsfer pe nd ap atan - Pa jak d an su bsid i - Jam in an kese m pa ta n ke rja - Asur an si p en ga ng g ur an
M em a stika n set iap ora ng da pa t b eke rja se hing ga m em ba ntu p erc epa ta n pe ng ur an g an k em iskin an da n ke tim p an ga n pe nd ap atan
Indonesia memulai
reformasi ekonomi
pada level makro,
mendahului
reformasi ekonomi
pada tingkat mikro.
makroekonomi, reformasi ekonomi justru menciptakan ragam masalah yang
mencemaskan bagi masa depan ekonomi nasional, misalnya ketimpangan
pendapatan yang meningkat, kemiskinan yang stagnan, dan penurunan
pengangguran yang lambat.
Penyebab pemburukan sebagian penampilan ekonomi tersebut
bukan saja dapat dilihat dari pilihan kebijakan reformasi ekonomi, tetapi juga
kelemahan dalam mendesain kelembagaan yang bermutu. Dalam bingkai
besar, kelembagaan yang tidak berkualitas itu terpantul dari kegagalan
pemerintah menciptakan “institutional environment” berupa reformasi
kelembagaan administrasi, sistem legal (hukum), dan sistem politik
(demokrasi). Ketiganya merupakan “syarat perlu” agar kebijakan reformasi
ekonomi dapat dikerjakan di lapangan. Berikutnya, kelembagaan makro
(institutional environment) saja tidak cukup (necessary but not sufficient),
karena masih dibutuhkan lagi kelembagaan mikro (institutional
arrangements) untuk memperkuat kebijakan reformasi ekonomi.
Kelembagaan pada level mikro dalam kasus ketimpangan pendapatan antara
lain adalah rincian regulasi upah minimum, kebijakan harga pangan, dan
pemanfaatan sumber daya di sektor
keuangan. Berikutnya, kelembagaan yang
terkait masalah kemiskinan adalah aturan
m a i n te n t a n g s t a t u t a h u b u n ga n
antarpelaku ekonomi, menghidupkan
aset ekonomi yang mati, dan perdagangan
internasional yang selektif. Terakhir,
dalam soal pengangguran, kelembagaan
yang mesti disiapkan adalah desain
insentif yang tidak bekerja di sektor
pertanian, mahalnya biaya izin usaha,
perilaku rent-seeking dalam promosi
sektor ekonomi, akses permodalan yang tidak berjalan maksimal, dan
ketiadaan perlindungan hukum terhadap sektor informal. Sayangnya,
kelembagaan mikro ini absen dalam implementasi kebijakan reformasi
ekonomi di Indonesia. Last but not least, kelembagaan sosial harus dihadirkan
untuk memastikan bahwa dalam proses reformasi tersebut tidak ada
kelompok masyarakat yang tergilas roda perubahan ekonomi, yaitu dengan
instrumen jaminan sosial dan transfer pendapatan.
Akhirnya, terdapat mata rantai lain yang tidak boleh dialpakan, yakni
reformasi ekonomi tidak dilakukan di ruang kedap politik, sosial, budaya,
hukum, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, konsep reformasi ekonomi tidak
boleh steril dari napas hidup sebuah negara. Demikian pula, menjalankan
kebijakan reformasi ekonomi akan menemui jalan terjal bila tanpa
mengadopsi keseluruhan karakteristik sosio-budaya di negara yang
bersangkutan. Pada titik ini, penting untuk mendesain kebijakan reformasi
ekonomi yang otentik sesuai karakteristik dan kebutuhan ekonomi nasional.
Sehingga, kebijakan reformasi ekonomi harus disusun oleh bangsa sendiri,
bukan diformulasikan oleh pihak lain yang menyimpang dari karakter dan
kebutuhan ekonomi Indonesia. Tentu saja, panduan yang paling lurus agar
kebijakan reformasi ekonomi tidak tersesat di jalan yang keliru adalah
konstitusi (UUD 1945). Saat ini pekerjaan rumah yang penting bagi bangsa ini,
selain meluruskan agenda reformasi ekonomi, adalah memproduksi Undang-
undang Sistem Ekonomi Nasional yang diturunkan dari konstitusi.
Seterusnya, kebijakan dan kelembagaan reformasi ekonomi yang didesain
tidak boleh menabrak spirit UU tersebut. Wallahu'alam bissawab.
Bapak rektor dan hadirin yang saya hormati,
Sebagai penutup pidato ini, tanpa mengurangi rasa hormat kepada
semua pihak yang telah berjasa menjadikan saya seperti saat ini, izinkan saya
secara khusus menyampaikan ucapan terima kasih kepada mereka yang telah
berperan penting dalam proses yang memungkinkan saya dikukuhkan
sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Ekonomi Kelembagaan di
Universitas Brawijaya ini.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih dan
44 45KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
Last but not least,
kelembagaan sosial harus
dihadirkan untuk memastikan
bahwa dalam proses reformasi
tersebut tidak ada kelompok
masyarakat yang tergilas
roda perubahan ekonomi,
yaitu dengan instrumen
jaminan sosial dan
transfer pendapatan.
penghargaan kepada Menteri Pendidikan Nasional RI Prof. Dr. Mohammad
Nuh dan Rektor Universitas Brawijaya Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito yang telah
menyetujui pengusulan dan pengangkatan saya menjadi Guru Besar. Di
samping itu juga kepada para Rektor terdahulu, khususnya Prof. Drs. Zaenal
Arifin Achmady, MPA., Prof. Drs. Hasyim Baisoeni, Prof. Dr. Eka Afnan Troena,
SE., dan Prof. Dr. Ir. Bambang Guritno, saya menyampaikan terima kasih atas
kesempatan yang diberikan sehingga saya dapat menapak karir hingga ke
jenjang Guru Besar ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Senat
Guru Besar dan Badan Pertimbangan Senat (BPS) Universitas Brawijaya dan
Senat Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya yang telah menyetujui
pengusulan dan pengangkatan saya menjadi Guru Besar.
Kepada Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Bapak Gugus
Irianto, SE, MSA, Ak, Ph.D., dan Dekan FE UB sebelumnya, khususnya Prof. Dra.
H.O.S. Hastoeti Harsono, Prof. Dr. Muhammad Saleh, Drs. Abidin Lating, MS.,
Prof. Dr. Drs. Umar Burhan, MS., Prof. Dr. Harry Susanto, SE, SU., dan Prof. Dr.
Bambang Soebroto, SE, Ak., M.M., saya menyampaikan ucapan terima kasih
atas kesempatan, bimbingan, dan dorongannya selama saya menjadi dosen di
FE UB. Secara khusus saya menyampaikan terima kasih kepada Dekan FE UB,
Bapak Gugus Irianto, SE, MSA, Ak, Ph.D, yang telah membimbing saya saat
menjadi Pembantu Dekan I FE UB dalam periode yang singkat (Agustus 2009-
April 2010). Terima kasih juga kepada Pembantu Dekan II Bapak Didit Affandi,
SE, MBA, Ak., dan Pembantu Dekan III Bapak Nanang Suryadi, SE, MSi, yang
telah menjadi mitra menyenangkan dalam mengembangkan FE UB. Tentu saja,
kegiatan akademik di bawah koordinasi PD I tidak mungkin berjalan tanpa
dukungan dari para Ketua Jurusan. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ghozali Maski, SE, MS (Ketua Jurusan
Ilmu Ekonomi), Dr. Fatchur Rohman, SE, MM (Ketua Jurusan Manajemen), dan
Dr. Unti Ludigdo, SE, Ak., MSi (Ketua Jurusan Akuntansi), yang telah bersama-
bersama membangun komitmen dalam meningkatkan kualitas akademik yang
berstandar tinggi di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Hal yang sama
juga saya sampaikan kepada para pengelola dan staf administrasi di
lingkungan pascasarjana FE UB. Terima kasih pula kepada Dias Satria, SE,
MAppEC., yang telah banyak membantu tugas-tugas saya selama menjadi PD I.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Bagian Personalia
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya dan Personalia Universitas Brawijaya
yang dengan ikhlas telah membantu memproses pengusulan jabatan Guru
Besar dari Tingkat Fakultas, Universitas, hingga Kementerian Pendidikan
Nasional. Terima kasih juga ingin saya layangkan kepada seluruh panitia yang
terlibat dalam pelaksanaan acara pengukuhan pada hari ini.
Secara khusus saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
para senior dan guru saya di lingkungan FE UB yang telah mengantarkan,
membina, dan mendukung pengembangan karir saya menjadi dosen dan
peneliti di FE UB. Di sini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr.
Munawar Ismail, SE, DEA dan Prof. Dr. Agus Suman, SE, DEA., yang tanpa
mereka sadari telah menjadi guru saya untuk memahami ilmu ekonomi secara
lebih baik sejak saya masih mahasiswa. Kepada Prof. Dr. Candra Fajri Ananda,
SE, MSc. dan Prof. Dr. Ir. Syamsulbahri, MS saya mengucapkan terima kasih atas
kemitraan dalam kegiatan penelitian, khususnya seusai saya pulang studi
doktoral. Berikutnya, saya berhutang budi kepada Prof. Dr. Harry Susanto, SE,
SU., yang selalu mendukung pada saat saya menempuh studi doktoral (ketika
itu beliau menjadi Dekan FE UB), serta selalu memberi penguatan atas minat
bidang ilmu yang saya tekuni seusai saya menyelesaikan studi doktoral. Saya
mendoakan semoga beliau lekas diberi kesembuhan dan dapat bergabung
kembali di Jurusan Ilmu Ekonomi FE UB. Amin.
Saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua guru
dan dosen yang telah mendidik saya dari mulai TK sampai Universitas. Berkat
jasa merekalah hari ini saya dapat berdiri di sini untuk menyampaikan pidato
pengukuhan Guru Besar saya di hadapan para hadirin yang saya muliakan.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Prof. Dr. Winfried Manig, Prof. Dr.
Hans Meliczek, dan Prof. Dr. Beatrice Knerr yang telah menuntun saya menjadi
seorang akademisi yang benar. Mereka bukan hanya menjadi pembimbing dan
penguji disertasi, tapi juga mitra yang sabar dalam mengasah kemampuan
46 47KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
intelektual saya, terutama untuk menulis karya ilmiah.
Kepada semua kolega di Fakultas Ekonomi, khususnya di Jurusan
Ilmu Ekonomi FE UB, saya menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga,
terlebih dalam memberi ruang kepada saya untuk mengembangkan ilmu,
membangun etos kerja, dan menumbuhkan solidaritas. Mereka adalah teman-
teman diskusi yang gigih, rekan kerja yang cekatan, dan kawan berjuang yang
tidak kenal pamrih. Saya betul-betul merasa beruntung dapat bekerja di
tengah lingkungan yang amat menyenangkan tersebut.
Saya juga hendak memberikan penghargaan kepada seluruh
mahasiswa, baik program sarjana maupun pascasarjana, yang selama kegiatan
perkuliahan maupun pembimbingan (skripsi, tesis, dan disertasi) telah
menyumbangkan inspirasi kepada saya. Dari para mahasiswa tersebut, saya
memeroleh banyak ilmu, sesuatu yang mungkin tidak mereka sadari. Lebih
kurang, dalam proses interaksi itu sebetulnya telah terjadi barter ilmu
pengetahuan di antara kita. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
atas donasi inspirasi dan ilmu pengetahuan tersebut. Juga tidak saya lupakan
ucapan terima kasih kepada para kolega di ECORIST (The Economic Reform
Institute) yang sejak 2005 mencoba berjuang menghidupkan lembaga kajian
di Malang, sambil pada saat yang bersamaan memberi ruang alternatif kepada
para mahasiswa (ataupun yang baru lulus) untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Selain bergumul dengan rekan-rekan kerja di Fakultas Ekonomi UB,
saya juga bersyukur mendapatkan kesempatan bernaung dibeberapa lembaga
yang berperan penting dalam pematangan kemampuan akademik maupun
non-akademik. Pertama, saya mengucapkan terima kasih kepada lembaga
kajian INDEF (Institute for Develoment of Economics and Finance), khususnya
kepada Prof. Dr. Didik J. Rachbini, Dr. Fadhil Hasan, Dr (Cand.) Aviliani, Prof. Dr.
Bustanul Arifin dan Dr. Drajad Wibowo yang memberi ruang kepada saya
mengenal kerja-kerja akademik secara lebih intens dan mengampanyekan
hasil karya akademik tersebut ke para perumus kebijakan. Saya mengucapkan
pula terima kasih kepada para staf peneliti dan administrasi INDEF yang
selama ini telah mendukung saya dalam memimpin lembaga kajian ini. Kedua,
Tim Visi 2033, khususnya Dr. (Cand.) Andrinof Chaniago, SIP., MSi., Dr.
Jehansyah Siregar, Tata Mustafa, SE, MA., dan Ian Suherlan, S.HI, MSi yang tiada
lelah mencoba menafkahkan pikiran dan energinya untuk memikirkan masa
depan Indonesia yang lebih baik. Saya mengucapkan terima kasih atas
persahabatannya yang tulus selama ini.
Ketiga, sejak Maret 2010 saya harus membagi pikiran dan waktu
dengan rekan-rekan kerja di BSBI (Badan Supervisi Bank Indonesia), yang
sebagian besar diisi dengan kerja intelektual dan mengembangkan
kesepahaman antarlembaga negara demi membangun bank sentral yang lebih
kredibel. Saya berterima kasih kepada Bapak Umar Juoro, MA., MAPE (sebagai
Ketua BSBI) dan para anggota BSBI, Bapak Prof. Dr. Akhmad Syahroza, Dr.
Marsuki, SE, DEA dan Rama Pratama, SE, MSi. Terima kasih juga saya
sampaikan kepada seluruh staf analisis BSBI (Achmad Nur Hidayat, ST, MPP,
Dhani Irawan, SE, Ak., Gufron Albayroni, SE, Ak., Handoyo Prihatanto, SH, MH,
dan Abdul Manap Pulungan, SE), kepala sekretariat (Heru Saptaji, SH, MBA),
dan perangkat administrasi BSBI yang selama ini sangat mendukung
pekerjaan saya di BSBI. Dalam menjalankan tugas di BSBI ini pula saya
berinteraksi dengan dua institusi penting, yakni DPR RI (khususnya Komisi XI)
dan Bank Indonesia (BI). Oleh karena itu, saya menyampaikan terima kasih
kepada para pimpinan dan anggota Komisi XI DPR RI dan mitra kerja di Bank
Indonesia, khususnya Gubernur, Deputi Gubernur, Direktur BI, para staf BI,
serta Pimpinan Kantor Perwakilan dan Kantor BI (baik di daerah maupun di
luar negeri, yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu) atas kerjasamanya
selama ini.
Bapak rektor dan hadirin yang saya hormati,
Dengan kerendahan hati dan penuh rasa syukur, kepada kedua orang
tua Bapak M. Sofwan Chudhorie dan Ibu Sri Ismiyanti yang telah menanamkan
saripati hidup dengan cara yang amat bersahaja, saya bersimpuh sebagai
wujud terima kasih yang tak bertepi. Ucapan terima kasih ini pasti tidak akan
48 49KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
pernah bisa menebus cinta dan kasih sayang mereka kepada saya. Bapak dan
Ibu secara terus-menerus mendoakan, merawat, menuntun, dan
menunjukkan arah ke mana saya mesti berjalan. Tanpa seluruh “intervensi”
tersebut mustahil sekarang saya bisa berdiri di sini. Selebihnya, saya hanya
mampu mendoakan semoga kedua orang tua saya diberi umur yang
bermanfaat, rizki yang barokah, dan nikmat kesehatan oleh Allah SWT. Amin.
Tentu saja, saya juga mohon doanya agar tetap diberi sikap rendah hati, laku
yang lurus, dan komitmen sosial yang terjaga. Juga terima kasih kepada
Bapak/Ibu mertua, Bapak Abdullah Baksh (almarhum) dan Ibu Hadjidjah
Ponulele, yang selama ini tanpa disadari turut memberi lingkungan yang
nyaman bagi saya untuk menggapai cita-cita. Mereka selalu mendukung dan
mendoakan semua langkah yang saya ayunkan selama ini. Kepada Bapak
mertua, semoga Allah SWT menerima semua amal ibadahnya dan
mengampuni seluruh dosa-dosanya. Kepada Ibu mertua, semoga Allah SWT
selalu melimpahkan nikmat kesehatan, rizki, dan kebahagiaan. Amin
Terima kasih kepada kedua adikku tercinta, Ronny (dan keluarga
kecilnya: Lina, Ocha, Thoriq, dan Firza) dan Denny, dua adik yang selalu
memahami kekurangan dan keterbatasan kakaknya sehingga terbiasa
menawarkan pertolongan pada saat benar-benar dibutuhkan. Semoga Allah
SWT membalas seluruh budi baik itu dengan kebahagiaan dan seluruh cita-
cita kalian dapat tercapai. Juga kepada kakak ipar tersayang, Toar Magaribi dan
Eka Rifka (dan putra-putranya: Rizki, Bintang, Ananta, dan Ara), saya
mengucapkan terima kasih atas suasana ceria yang selalu diciptakan setiap
kali kita bertemu. Last but not least, saya menyampaikan penghargaan kepada
istri tercinta, Rukavina Baksh, yang telah memberikan seluruh komitmennya
kepada saya (tanpa reserve) untuk menggumuli dunia gagasan. Terlebih, saya
menyampaikan terima kasih atas keikhlasannya mengambil alih seluruh
urusan keluarga yang tak mampu saya lakukan atas nama pekerjaan.
Selanjutnya, sulit mengekspresikan perasaan yang satu ini, tetapi kehadiran
Amartya Iqra Akhlaqi (Tya) dan Nayaka Iqra Aufklara (Naya) telah membuat
hidup saya menjadi lebih utuh. Mereka adalah alasan terbesar munculnya
inspirasi saya yang tidak pernah putus. Kejenakaan dan keceriaan mereka
mampu mendonorkan energi yang tidak pernah ada ujungnya. Mudah-
mudahan dalam kegelapan atau keremangan pemahaman mereka tentang apa
yang terjadi hari ini, kalian dapat merasakan betapa besarnya rasa syukur dan
terima kasih Ayah pada kalian berdua.
Sebagai penutup, saya memanjatkan rasa syukur kepada Allah SWT
yang telah menganugerahi kesejatian hidup dan kepada semua pihak yang
telah saya sebutkan di atas (serta seluruh pihak lain yang telah membantu
perjalanan hidup dan karir saya, yang tidak mungkin saya sebutkan satu per
satu), semoga Allah SWT melimpahkan karunia dan hidayah-Nya kepada kita
semua. Amin. Kepada hadirin yang telah meringankan langkah hadir di forum
yang berbahagia ini, saya mohon maaf apabila dalam penyelenggaraan acara
ini ada sesuatu yang kurang berkenan di hati. Terima kasih.
50 51KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
Daftar Pustaka
Addison, T. and Mina B.L. 2006. Economic Reform When Institutional Quality is Weak: The Case of the Maghreb. Journal of Policy Modeling. Vol. 28: 1029-1043
Ahrens, J. 2000. Toward a Post-Washington Consensus: The Importance of Governance Structures in Less Developed Countries and Economies in Transition. Journal for Institutional Innovation, Development, and Transition. Vol. 4: 78-96
Bank Indonesia. 2009. Outlook Ekonomi Indonesia 2009 - 2014: Krisis Finansial Global dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia. Jakarta
---------. 2010. Memperkuat Ketahanan, Mendorong Momentum Pemulihan Ekonomi Nasional: Laporan Perekonomian Indonesia 2009. Jakarta
---------. 2010. Laporan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Bank Indonesia: Triwulan II - 2010. Bank Indonesia. Jakarta
Bardhan, P. 1996. The Nature of Institutional Impediments to Economic Development. Institute of Business and Economics. Center for International and Development Economics Research. University of C a l i f o r n i a . B e r k e l e y . U S A . I n t e r n e t w e b s i t e : http://repositories.cdlib.org/cgi/ viewcontent.cgi?article= 1041 &context =iber/cider (Diakses pada 25 Desember 2002)
Basri, M.C. and Hal H. 2002. The Political Economy of Manufacturing Protection in Indonesia. Dalam Mohamad Ikhsan et. al. 80 Tahun Mohamad Sadli: Ekonomi Indonesia di Era Politik Baru. Penerbit Kompas. Jakarta
Caporaso, J.A. and David P.L. 1993. Theories of Political Economy. Cambridge University Press. England
Charoenseang, J. and Pornkamol M. 2002. Financial Crisis and Restructuring in Thailand. Journal of Asian Economics. Vol. 13: 597-613
Chowdhury, A. 1999. Political Economy of Macroeconomic Management: The Need for Institutional Change. International Journal of Social Economics. Vol. 26, No. 1/2/3: 389-401
Colombatto, E. and Jonathan R.M. 1997. Lessons from Transition in Eastern Europe: A Property-Right Interpretation. International Bulletin. Vol. 1, No. 1: 23-29
Dasgupta, B. 1998. Structural Adjustment, Global Trade, and the New Political Economy of Development. Zed Books. New York
Departemen Perdagangan. 2008. Statistik Perdagangan. Oktober
Diehl, M. 1998. The Role of Institutions in the Economic Transition Process: The Reform of State-owned Enterprises in Vietnam. Journal for Institutional Innovation, Development, and Transition. Vol. 2: 49-58
Fan, J.P.H., Randall M., Lixin Colin X., and Bernard Y. 2009. Institutions and Foreign Direct Investment: China versus the Rest of the World. World Development. Vol. 37, No. 4: 852-865
Fritzen, S. 2002. Growth, Inequality and the Future Poverty Reduction in Vietnam. Journal of Asian Economics, Vol. 13: 635-657
Gagliardi, F. 2008. Institutions and Economic Change: A Critical Survey of the New Institutional Approaches and Empirical Evidence. The Journal of Socio-economics. Vol. 37: 416-443
Ghai, D. 1997. Social Development and Public Policy: Some Lessons from Successful Experiences. UNRISD (United Nations Research Institute for Social Development). Discussion Paper. No. 89
Haggard, S. and Robert R.K. 1995. The Political Economy of Democratic Transitions. Princeton University Press. New Jersey.
Harian Ekonomi Neraca. 2010. Pemda Harus Kendalikan Pertumbuhan Ritel Modern. 3 September
Harney, A. 2009. The China Price: The True of Chinese Competitive Advantage. The Penguin Press. USA
Hayami, Y. 2003. From Washington Consensus to the Post-Washington Consensus: Retrospect and Prospect. Asian Development Review. Vol. 20, No. 2: 40-65
Hill, H. 1999. An Overview of the Issues. Dalam H.W. Arndt dan Hal Hill. Southeast Asia's Economic Crisis: Origins, Lessons, and the Way Forward. St. Martin's Press. New York
Howell, J. 1993. China Opens Its Doors: The Politics of Economic Transition. Lynne Rienner Publishers. USA
Hu, V. 2005. The Chinese Economic Reform and Chinese Entrepreneurship. Jornadaeconomia.http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/apcity/unpan023535.pdf (diakses pada 29 Agustus 2010)
52 53KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
Indrawati, S.M. 2002. Indonesia Economic Recovery Process and the Role of Government, Journal of Asian Economics, Vol. 13: 577-596
Jang, H. and Wonsik S. 2002. The Asian Financial Crisis and the Co-movement of Asian Stock Markets. Journal of Asian Economics, Vol. 13: 94-104
Kherallah, M. and Johann K. 2001. The New Institutional Economics: Application for Agricultural Policy Research in Developing Countries. MSSD Discussion Paper. No. 41, June. IFPRI. Washington DC
Kloby, J. 1997. Inequality, Power, and Development: The Task of Political Sociology. Humanities Press. New Jersey
Krugman, P. 2009. The Return of Depression Economics and the Crisis of 2008. W.W. Norton & Company. New York
Kuncoro, A. and Budi S.R. 2006. The Political Economy of Indonesia Economic Reforms 1983-2000. Oxford Development Studies. Taylor and Francis Journal. Vol. 34, No. 3: 341-355
Kuncoro, M. dan Anggito A. 1995. Struktur dan Kinerja Industri Indonesia dalam Era Deregulasi dan Liberalisasi: Sebuah Catatan Empiris. FE UGM. Yogyakarta. Tidak Dipublikasikan
McCawley, P. 2002. Economic Policy During the Soeharto Era: A Balance Sheet. Dalam Mohamad Ikhsan et. al. 80 Tahun Mohamad Sadli: Ekonomi Indonesia di Era Politik Baru. Kompas. Jakarta
McCleery, R.K. and Fernando D.P. 2008. The Washington Consensus: A Post-Morten. Journal of Asian Economics. Vol. 19: 438-446
Media Indonesia. 2010. Pembajakan di Indonesia Tertinggi di Asia. 25 Agustus
Modjo, M.I. 2010. Proyeksi Ekonomi 2010. Makalah dipresentasikan pada seminar Indef Economic Outlook 2010. Jakarta. 25 Januari. Tidak dipublikasikan
Munday, S.C.R. 1996. Current Developments in Economics. MacMillan Press Ltd. London
Murrel, P. 1992. Evolutionary and Radical Approaches to Economic Reform. Economics of Planning. Vol. 25: 79-95
Murrell, P. 2005. Institutions and Firms in Transition Economies. Dalam Claude Menard dan Mary M. Shirley (eds.). Handbook of New Institutional Economics. Springer. The Netherlands
Nasution, A. 2002. The Indonesian Economic Recovery from the Crisis in 1997-1998. Journal of Asian Economics. Vol. 13: 157-180
Nazara, S. 2010. Pemerataan Antardaerah Sebagai Tantangan Utama Transformasi Struktural Pembangunan Ekonomi Indonesia Masa Depan. Pidato Pengukuhan Guru Besar FE UI. 10 Maret. Tidak dipublikasikan
Nelson, R.R. 2008. What Enables Rapid Economic Progress: What are the Needed Institutions?. Research Policy. Vol. 37: 1-11
North, D.C. 1994. Economic Performance Through Time. The American Economic Review. Vol. 84, Issue 3, June: 359-368
Panagariya, A. 2002. India's Economic Reforms: What Has Been Accomplished? What Remains to Be Done? ERD Policy Brief No. 2
Pejovich, S. 1995. Economic Analysis of Institutions and Systems. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht. The Netherlands
Prahalad, C.K. 2006. The Fortune at the Bottom of the Pyramid: Eradicating Poverty Through Profits. Pearson Education, Inc. USA
Rodrik, D. and Arvind S. 2003. The Primacy of Institutions (and what this does and does not mean). Finance and Development. Vol. 40, No. 2, June: 31-34
Rodrik, D. 1996. Understanding Economic Policy Reform. Journal of Economic Literature. Vol. 3. Issue 1: 9-41
Roubini, N. and Stephen M. 2010. Crisis Economics: A Crash Course in the Future of Finance. The Penguin Press. New York
Rutherford, M. 1994. Institutions in Economics: The Old and the New Institutionalism. Cambridge University Press. Cambridge
Sadewa, P.Y. 2010. Mencari Hal Positif dari Arah Ekonomi. Kompas. 12 Juli
Savoia, A., Joshy E., and Andrew M. 2010. Inequality, Democracy, and Institution: A Critical Review of Recent Research. World Development. Vol. 38, No. 2: 142-154
Schwab, K. (ed.). 2009. The Global Competitiveness Report 2009-2010. World Economic Forum. Geneva. Switzerland
---------. 2010. The Global Competitiveness Report 2010–2011. World Economic Forum Geneva. Switzerland
Seers, D. 1969. The Meaning of Development. Paper Presented at the Eleventh World Conference of the Society for International Development. New Delhi. 4-17 November
Sen, A. 1999. Development as a Freedom. Anchor Books. New York
54 55KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
Shafaeddin, S.M. 2005. Trade Liberalization and Economic Reform in Developing Countries: Structural Change or De-Industrialization?. Discussion Papers. United Nations Conference on Trade and Development. No. 179. April
Shah, M. 2002. An Overview of the Aministrative Reform in the Malaysian Public. Internet Website service. http://unpan1.un.org/intradoc/groups/ public/documents/apcity/unpan003924.pdf (diakses pada 21 Oktober 2010)
Simanjuntak, R.A. 2002. Enambelas Bulan Perjalanan Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Dalam Mohamad Ikhsan et. al. 80 Tahun Mohamad Sadli: Ekonomi Indonesia di Era Politik Baru. Kompas. Jakarta
Steer, L. and Kunal S. 2010. Formal and Informal Institutions in a Transition Economy: The Case of Vietnam. World Development. Vol. xx, No. x: 1-13
Stiglitz, J. 2002. Globalization and Its Discontents. Penguin Books. England
---------. 2004. The Roaring Nineties: Why We're Paying the Price for the Greediest Decade in History. Penguin Books. 2004
---------. 2010. Freefall: America, Free Markets, and the Sinking of the World Economy. W.W. Norton & Company. New York
Stone, A. 2008. Institutional Reform: A Decision-making Process View. Research in Transportation Economics. Vol. 22: 164-178
Tian, G. 2001. A Theory of Ownership Arrangements and Smooth Transition to a Free Market Economy. Journal of Institutional and Theoretical Economics. Vol. 157, No. 3, September: 380-412
World Bank. 1993. East Asia Miracle: Economic Growth and Public Policy. World Bank Publication. September
World Bank. 2009. Doing Business 2009. http://www.doingbusiness.org/ (diakses pada 3 September 2010)
Yeager, T.J. 1999. Institutions, Transition Economies, and Economic Development. Political Economy of Global Interdependence. Oxford
Yustika, A.E. 2008. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Bayumedia. Malang
----------. 2010. Kemiskinan dan Dualisme Ekonomi. Jawa Pos. 13 Juli
Yustika, A.E. et. al. 2010. Kerentanan Mikroekonomi di Balik Stabilitas Makroekonomi. INDEF. Jakarta
RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama : Ahmad Erani Yustika
Pangkat/Golongan : Penata Tk. I/IIId
NIP : 19730322 199702 1 001
Jabatan Akademik : Guru Besar Ilmu
Ekonomi Kelembagaan
Jurusan : Ilmu Ekonomi
Fakultas : Ekonomi
Tanggal lahir : 22 Maret 1973
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama Istri : Rukavina Baksh
Nama Anak : Amartya Iqra Akhlaqi
Nayaka Iqra Aufklara
Alamat Kantor : Jl. M.T. Haryono 165, Malang, 65145
Telp.: +62-341-551396
Alamat Rumah : Perum. Permata Jingga BB 57, Malang, 65142
Telp.: +62-341-7089220, 08123300355
Alamat Email : erani@fe.ub.ac.id; erani73@yahoo.com
Riwayat Pendidikan
1985 MI Syuhada' Ngunut, Babadan, Ponorogo
1988 SMP Ma'arif I Ponorogo
1991 SMAN I Ponorogo
1996 Sarjana (SE) - Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
2001 Master (MSc) Institute fuer Rurale Entwicklung - Universitaet Göttingen, Jerman
2005 Doktor (Ph.D) Institute fuer Rurale Entwicklung - Universitaet Göttingen, Jerman
56 57KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
Riwayat Jabatan Akademik
1. Asisten Ahli Madya, Penata Muda/CPNS, Golongan IIIa, TMT 1 Februari 1997 berdasarkan SK Menteri Pendidikan Nasional No. 4117/A2/KP/1997
2. Asisten Ahli Madya, Penata Muda/PNS, Golongan IIIa, TMT 1 Februari 1 9 9 8 b e rd a s a r k a n S K M e n t e r i Pe n d i d i k a n N a s i o n a l No. 4953/PT.13.H15/C3/ 1997
3. Asisten Ahli, Penata Muda Tk. I, Golongan IIIb, TMT 1 April 2002 b e r d a s a r k a n S K M e n t e r i P e n d i d i k a n N a s i o n a l No. 4881/J10.11/KP/2002
4. Lektor, Penata, Golongan IIIc, TMT 1 April 2004 berdasarkan SK Menteri Pendidikan Nasional No. 1847/J.10/KP/2004
5. Lektor Kepala, Penata Tk. I, Golongan IIId, TMT 1 April 2007 b e r d a s a r k a n S K M e n t e r i P e n d i d i k a n N a s i o n a l No. 34710/AA5/KP/2007
6. Guru Besar, Penata Tk. I, Golongan IIId, TMT 1 Juni 2010 berdasarkan SK Menteri Pendidikan Nasional No. 59742/A4.5/KP/2010
Riwayat Pekerjaan dan Jabatan
1. Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi - Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
2. Sekretaris Eksekutif P3BE (Pusat Pengkajian Pembangunan, Bisnis, dan Etika), 1997 - 2002
3. Ketua Biro Publikasi PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Göttingen – Jerman, 2000-2001
4. Ketua Biro Kajian Ilmiah PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Göttingen – Jerman, 2004-2005
5. Ketua Pusat Dokumentasi dan Publikasi Ilmiah (PDPI) dan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi (BPFE) Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2005 – 2007
6. Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute), 2005 – 2008
7. Direktur PHK A3 Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2006 - 2008
8. Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2007 - 2009
9. Direktur Eksekutif INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), 2008 - sekarang
10. Pembantu Dekan I (Akademik), Fakultas Ekonomi – Universitas of Brawijaya, 2009 (Agustus) – 2010 (April)
11. Ketua Departemen Fiskal dan Anggota (merangkap sekretaris) Staf Ahli KADIN Jawa Timur, 2009 – sekarang
12. Anggota BSBI (Badan Supervisi Bank Indonesia), 2010 - sekarang
Tanda Penghargaan1. Penghargaan sebagai penerima beasiswa GTZ dari pemerintah Jerman
pada 1999 – 2001 (studi master)2. Penghargaan sebagai penerima beasiswa DAAD dari pemerintah Jerman
pada 2002 – 2005 (studi doktoral)3. Penghargaan sebagai dosen berprestasi I Universitas Brawijaya pada
20064. Penghargaan sebagai penulis buku paling produktif di Fakultas Ekonomi -
Universitas Brawijaya pada 20075. Penghargaan sebagai dosen berprestasi I Universitas Brawijaya dan
dosen berprestasi tingkat nasional pada 20096. Best Paper Award 2009 - Journal of Indonesian Economic and Business,
FE-UGM7. Satyalancana Karya Satya, 2010
Keanggotan Profesi
1. Anggota ISNIE (International Society for New Institutional Economics)
2. Anggota dan Pengurus ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia)
3. Anggota IRSA (Indonesian Regional Science Association)
4. Deklarator dan anggota AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia)
Pengalaman Bidang Penelitian
1. Analisis Ekonomi Politik Sektor Informal di Wilayah Kotamadya Malang: Studi Terhadap Kebijakan Sektor Informal Perkotaan, FE Unibraw, 1996
2. Sistem Pemasaran Produk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia, BPPT, 1997
58 59KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
3. Profil Industri Kecil di Wilayah Kotamadya Malang, FE Unibraw, 1998
4. Analisis Sektor Informal di Wilayah Kotamadya Malang: Studi Model Pembinaan dan Alokasi Ruang, FE Unibraw, 1998
5. Model Pengawasan dan Pembinaan Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia, 1998
6. Analisis Sosial Ekonomi Industri Kecil di Kodya Malang, FE Unibraw, 1999
7. Studi Eksplorasi BPRS di Jawa Timur, Bank Indonesia, 1999
8. Analisis Pola Pendapatan Rumah Tangga Petani di Kabupaten Malang, FE Unibraw, 2001
9. Ekonomi Biaya Transaksi Industri Gula di Jawa Timur, FE Unibraw, 2003/2004
10. Evaluasi dan Pemantauan Dana Kompensasi BBM, Menko Kesra, 2005
11. Key-Action Revitalisasi Sektor Pertanian di Jawa Timur, Bappeda Jatim, 2005
12. Desain Program Pengembangan Komoditas Agro di Jawa Timur, Bappeda Jatim, 2005
13. Desain Program Pengembangan Perdagangan Antar-provinsi Jawa Timur, Bappeda Jatim, 2005
14. Model Implementasi Revitalisasi Pertanian di Beberapa Kabupaten di Jawa Timur, Bappeda Jatim, 2006
15. Implikasi Dinamika Perubahan Pasar terhadap Fenomena Kemiskinan di Provinsi Jawa Timur, Bappeda Jatim, 2006
16. Perubahan Kelembagaan Kepemilikan Lahan, Hubungan Kerja, dan Perkreditan di Sektor Pertanian: Studi Kasus di Kabupaten Malang, FE Unibraw, 2006
17. Kontribusi Sektoral PDRB di Kabupaten Sumenep dan Implikasinya terhadap Pembangunan Ekonomi, Bappeda Sumenep, 2007
18. Kajian Pengembangan Wilayah untuk Mengurangi Kesenjangan Pembangunan di Kabupaten Sumenep, Bappeda Sumenep, 2007
19. Ekonomi Politik Kebijakan Antidumping Industri Pulp dan Paper: Studi Kasus Perdagangan Internasional antara Indonesia dan AS, Indef, 2007
20. Dampak Ekonomi Keputusan KPPU Mengenai Kepemilikan Silang PT Temasek terhadap PT Telkomsel dan PT Indosat, Indef, 2007
21. Ketahanan Pangan dan Perubahan Kelembagaan: Studi Perubahan Kelembagaan Terhadap Kepemilikan Lahan, Hubungan Kerja, dan Akses Kredit di Pedesaan, Kementerian Ristek, 2008
22. Making Rural Livelihoods Work for the Poor: Case Study of Oil Palm, Rice, and Shrimp Production, Oxfam GB, 2008
23. RUPM dan Roadmap Investasi, BKPM dan Indef, 2008
24. Kajian Pemetaan Kesejahteraan Keluarga di Kabupaten Sumbawa Barat, Indef, 2008
25. Pengurangan Kemiskinan Melalui Penguatan Ketahanan Pangan dan Stabilisasi Harga Produk Pangan, Batch I, LIPI, 2009
26. Hak Kepemilikan dan Ketahanan Pangan: Studi Implikasi Pengelolaan Irigasi Terhadap Akses Air dan Pendapatan Petani, Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, 2009
27. Desain Sistem Persaingan Usaha di Indonesia, KPPU dan FE UB, 2009
28. Policy Note on Public Financial Management of the Agriculture Budget, Bank Dunia, 2010
29. Pengurangan Kemiskinan Melalui Penguatan Ketahanan Pangan dan Stabilisasi Harga Produk Pangan, Batch II, LIPI, 2010
30. Pengkajian tentang Beban-beban Administrasi Terkait Kegiatan Penanaman Modal yang Ditanggung oleh Perusahaan, Indef dan BKPM, 2010
Pengalaman Instruktur/Konsultan
1. Pelatihan Ekonomi dan Manajemen (TEKOMAN) Partai Keadilan, diselenggarakan oleh Pusat Informasi dan Pelayanan Partai Keadilan (PIPPK) Region 3 di Negara Jerman, 2003
2. Pelatihan menulis dengan topik “Ide, Opini, Kritik”, diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi - Universitas Brawijaya, 2004
3. Lokakarya Peninjauan Kurikulum Berbasis Kompetensi, diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Studi Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Jember, 2005
4. Pelatihan Strategi Pembentukan Kebijakan Ekonomi dalam Menghadapi Globalisasi, diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum - Universitas Brawijaya dan Pemda Sumenep, 2005
60 61KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
5. Pelatihan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah, diselenggarakan oleh Pusat Studi dan Kebijakan Publik (PSE KP) – Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Georgia State University (GSU) dan The World Bank, 2005
6. Workshop Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi - Universitas Brawijaya, 2005
7. Workshop Ekonomi Kelembagaan Berbasis Masyarakat: Kasus Program Pengembangan Kecamatan, diselenggarakan oleh Program Pengembangan Kecamatan Konsultan Manajemen Nasional (Regional Management Unit – VII), Bank Dunia, Surabaya, 2005
8. Pelatihan Penanganan Program dan Proyek: Perspektif Ekonomi Kelembagaan, diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Batu, 2006
9. Pelatihan Penulisan Buku Teks dan Referensi, diselenggarakan oleh UPT Universitas Jember, 2006
10. Pelatihan Politik Anggaran dan Korupsi, diselenggarakan oleh Malang Corruption Watch, Batu, 2006
11. Pelatihan Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi - Universitas Brawijaya, 2006
12. Pelatihan Peningkatan Kapasitas Bagi Pelaku Pemberdayaan, diselenggarakan oleh Pemprov Jatim – Badan Koordinasi Wilayah III Malang, Malang, 2007
13. Pelatihan Buruh Mengenai Sistem Kapitalisme dan Sosialisme, diselenggarakan oleh Serikat Buruh Surabaya, Malang, 2007
14. Pelatihan Desentralisasi, Pembangunan Ekonomi Lokal, dan Kesejahteraan Masyarakat, diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya dan Pemerintah Kabupaten Sumenep, 2007
15. Pelatihan Perencanaan Partisipatif dan Analisis Stakeholders, diselenggarakan oleh Bappeprov Jatim, Surabaya, 2008
16. Palatihan Desain APBD dan Pengembangan Ekonomi Kerakyatan, diselenggarakan dalam rangka acara Pelatihan dan Bimbingan Teknis DPRD Kabupaten Sidoarjo, Bali, 2008
17. Legislative Budget Office, Workshop yang diselenggarakan oleh Asia Foundation, Jakarta, 10 Desember 2008
18. Pelatihan tentang Industrialisasi, Sektor Informal, dan Ketahanan Pangan, diselenggarakan oleh Lead Indonesia, Jakarta, 2009
19. Pelatihan Penyusunan Rencana Strategis SKPD, Bimbingan teknis yang diselenggarakan oleh Bappeda Kota Pasuruan, Malang, 2009
20. Workshop Masalah dan Prospek UMKM di Jawa Timur, diselenggarakan oleh Dinas Koperasi, UMKM, dan Indag Kota Pasuruan, 2009
21. Workshop Anggaran dan Pengawasan Keuangan DPD, diselenggarakan oleh UNDP, Jakarta, 2009
22. Workshop Peran Lembaga Keuangan Mikro dalam Pengembangan UMKM, diselenggarakan oleh Bappeda Jawa Timur, Sidoarjo, 2010
23. Workshop Urgensi UMKM dalam Pembangunan Ekonomi Lokal, diselenggarakan oleh Dinas Kopindag dan UKM Pasuruan, Malang, 2010
24. Workshop Perbankan, Persaingan Usaha, dan Tata Kelola, diselenggarakan oleh Bank Tabungan Negara (BTN), Jakarta, 2010
Karya Ilmiah
Jurnal
1. Ahmad Erani Yustika, 2001, The Role of Government in Economic Development: The Case Study in Indonesia, Jurnal Lintasan Ekonomi, Vol. XVIII, No. 2
2. Ahmad Erani Yustika, 2002, Comparative Analysis of Small Farm Household in Periurban and Rural Areas in Malang District – Indonesia, Jurnal Lintasan Ekonomi, Vol. XIX, No. 2
3. Ahmad Erani Yustika, 2002, Melacak Akar Krisis dari Sudut Lain, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 2, No. 2, Juni – September
4. Ahmad Erani Yustika, 2002, Demokrasi dan Pembangunan Ekonomi, Jurnal Humanika, Vol. 6, No. 2, Desember
5. Ahmad Erani Yustika, 2003, Rural Poverty in Indonesia: A New Institutional Economics Perspective, Jurnal Humanika, Vol. 7, No. 1, Juli
6. Ahmad Erani Yustika, 2003, Sirkulasi Pembangunan dan Konfigurasi Krisis Ekonomi Dunia Ketiga, Lintasan Ekonomi, Vol. XX, No. 2, Juli
7. Ahmad Erani Yustika, 2004, Reformasi Ekonomi, Konsensus Washington, dan Rintangan Politik, Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 6, No. 1, Maret
62 63KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
8. Ahmad Erani Yustika, 2004, Patologi Otonomi Daerah: Duplikasi Perda dan Misalokasi Anggaran, SIMPUL Perencana Bappenas, Vol. 3, No. 2, Oktober
9. Ahmad Erani Yustika, 2005, Problems of the Indonesian Sugar Industry: An Institutional Economics Perspective, Journal of Indonesian Economy and Business, Vol. 20, No. 4
10. Ahmad Erani Yustika, 2006, Pembangunan Perdesaan dan Formulasi Lembaga Keuangan, Jurnal Lintasan Ekonomi, Vol. XXIII, No. 2, Juli
11. Ahmad Erani Yustika, 2007, Desentralisasi Ekonomi, Tata Kelola Pemerintahan, dan Rent-seeking, Jurnal Transisi, Vol. 1, No. 1, Mei
12. Rukavina Baksh dan Ahmad Erani Yustika, 2007, Sugarcane Farmers in East Java: Institutional Arrangement Perspective, Journal of Indonesian Applied Economics, Vol. 2, No. 1
13. Aldila Nuris Shoumi dan Ahmad Erani Yustika, 2007, Analisis Biaya Transaksi Kelompok Tani Padi Kontrak dan Nonkontrak (Studi Kasus di Desa Tegalgondo Kecamatan Karangploso, Jurnal Ekonomi Terapan Indonesia, Vol. 2, No. 2
14. Ahmad Erani Yustika dan Sugiyono, 2007, Perkembangan Ekonomi Indonesia Triwulan III Tahun 2007, Jurnal Bisnis dan Ekonomi Politik - Indef, Vol. 9, No. 1
15. Ahmad Erani Yustika, 2007, Perdesaan, Pertanian, dan Modal: Tinjauan Ekonomi Kelembagaan, Jurnal Ekonomi Indonesia, No. 2, Desember
16. Ahmad Erani Yustika, 2008, Sistem Politik, Pembangunan Ekonomi, dan Kebijakan Afirmatif, Jurnal Katalis, Edisi Khusus
17. Ahmad Erani Yustika dan Jati Andrianto, 2008, Zakat, Justice, and Social Equality. Journal of Thoughts and Ideas. Vol. I, August: 6-14, 2008
18. Ahmad Erani Yustika, 2008, The Transaction Cost of Sugarcane Farmers: An Explorative Study, Journal of Indonesian Economy and Business, Vol. 23, No. 3
19. Ahmad Erani Yustika, 2008, Transaction Cost and Corporate Governance of Sugar Mills in Indonesia, Journal of Corporate Ownership and Control, Vol. 6, December
20. Ahmad Erani Yustika dan M. Fadhil Hasan, 2008, Situasi Pangan Ke Depan dan Kebijakan Ketahanan Pangan, Jurnal Pangan, No. 51/XVII/Juli – September
21. Ahmad Erani Yustika dan Eko Listiyanto, 2009, Ekonomi Politik Pertanian
dan Kedaulatan Pangan, Jurnal Transisi, Vol. 3, No. 1
22. Faradilla Kutsiyah, Muslich Mustadjab, Ratya Anindita, dan Ahmad Erani Yustika, 2009, Performance Analysis of Community Block Grant through Pesantren in Madura, Agro Economics Journal, Vol. 27, No. 2
23. Ahmad Erani Yustika dan Eka Heni Sulistiani, 2010, Kebijakan Moneter, Sektor Perbankan, dan Peran Badan Supervisi, Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 14, No. 3
Buku
1. Agus Suman dan Ahmad Erani Yustika, 1997, Perspektif Baru Pembangunan Indonesia: Catatan Kritis terhadap Isu-Isu Aktual, Brawijaya University Press and P3BE, Malang
2. Ahmad Erani Yustika, 2000, Industrialisasi Pinggiran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
3. Ahmad Erani Yustika, 2002, Pembangunan dan Krisis: Memetakan Perekonomian Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta
4. Ahmad Erani Yustika, 2003, Economic Analysis of Small Farm Households, Brawijaya University Press, Malang
5. Ahmad Erani Yustika, 2003, Negara Vs Kaum Miskin, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
6. Iwan Triyuwono dan Ahmad Erani Yustika (eds.), 2003, Emansipasi Kebijakan Lokal: Ekonomi dan Bisnis Pascasentralisasi Pembangunan, Bayumedia, Malang
7. Ahmad Erani Yustika (ed.), 2005, Perekonomian Indonesia: Deskripsi, Preskripsi, dan Kebijakan, Bayumedia, Malang
8. Ahmad Erani Yustika (ed.), 2005, Menjinakkan Liberalisme: Revitalisasi Sektor Pertanian dan Kehutanan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
9. Ahmad Erani Yustika, 2006, Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi, Bayumedia, Malang
10. Ahmad Erani Yustika, 2007, Perekonomian Indonesia: Satu Dekade Pascakrisis Ekonomi, BPFE Unibraw, Malang
11. Ahmad Erani Yustika et. al., 2008, Minyak, Pangan, dan Kemiskinan: Malpraktek Kebijakan Pemerintah, INDEF, Jakarta
12. Ahmad Erani Yustika et. al., 2008, Krisis Ekonomi, Kontestasi Politik, dan
64 65KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
Proyeksi Ekonomi 2009, INDEF, Jakarta
13. Ahmad Erani Yustika et. al., 2009, Krisis Keuangan, Stimulus Fiskal, dan Daya Saing Ekonomi Indonesia, INDEF, Jakarta
14. Ahmad Erani Yustika, 2009, Ekonomi Politik: Kajian Teoritis dan Analisis Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
15. Ahmad Erani Yustika (ed.), 2010, Kejahatan Pengelolaan Sumber Daya Alam, PNM dan ITS Press, Surabaya
16. Ahmad Erani Yustika, 2010, Kaleidoskop Perekonomian Indonesia: Peristiwa, Narasi, dan Analisis, PNM dan ITS Press, Surabaya
17. Ahmad Erani Yustika et. al., 2010, Kerentanan Mikroekonomi di Balik Stabilitas Makroekonomi, INDEF, Jakarta
Artikel dalam Buku
1. Ahmad Erani Yustika, 2003, Social Conflicts in Indonesia: Economic and Political Approaches. Dalam Regina Birner, Dodik Ridho Nurrochmat, and Slamet Rosyadi (eds.), Sustainable Development: Socio-Economic and Environmental Problems, Focused on Indonesian Cases, Cuvillier Verlag Göttingen, Germany
2. Ahmad Erani Yustika, 2003, Industrialisasi, Urbanisasi, dan Sektor Informal: Perspektif Kebijakan Lokal. Dalam Iwan Triyuwono dan Ahmad Erani Yustika (eds.), Emansipasi Nilai Lokal: Ekonomi dan Bisnis Pascasentralisasi Pembangunan, Bayumedia, Malang
3. Ahmad Erani Yustika, 2003, Gagasan Reformasi Ekonomi di Indonesia. Dalam Ahmad Erani Yustika (ed.), Perekonomian Indonesia: Deskripsi, Preskripsi dan Kebijakan, Bayumedia, Malang
4. Ahmad Erani Yustika, 2005, Restrukturisasi Kelembagaan Ekonomi di Sektor Perikanan. Dalam Ahmad Erani Yustika (ed.), Menjinakkan Liberalisme: Revitalisasi Sektor Pertanian dan Kehutanan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
5. Ahmad Erani Yustika, 2006, Dinamika Sektor Pertanian Indonesia: 2004-2006. Dalam Eep Saefullah Fatah (ed.), 2 Tahun Pemerintahan SBY – JK: Puisi Indah Prosa Buruk, Simbiosis dan Sekolah Demokrasi Indonesia, Jakarta
6. Ahmad Erani Yustika, 2007, Pasar, Informasi, dan Regulasi. Dalam Bagus Dharmawan (ed.), Esai-esai Nobel Ekonomi, Penerbit Kompas, Jakarta
7. Ahmad Erani Yustika, 2009, Optimalisasi Sumber Daya Pertanian bagi Peningkatan Produksi Pertanian. Dalam Purwanto (ed.), Pengurangan Kemiskinan Melalui Penguatan Ketahanan Pangan, LIPI, Jakarta
8. Purwanto dan Ahmad Erani Yustika, 2009, Kebijakan Peningkatan Ketahanan Pangan dan Produktivitas Sektor Pertanian. Dalam Purwanto (ed.), Pengurangan Kemiskinan Melalui Penguatan Ketahanan Pangan, LIPI, Jakarta
9. Ahmad Erani Yustika, 2010, Kejahatan Ekonomi, Kutukan SDA, dan Piramida Korban. Dalam Ahmad Erani Yustika (ed.), Kejahatan Pengelolaan Sumber Daya Alam, PNM dan ITS Press, Surabaya
Makalah
1. The Role of Government in Economic Development: The Case Study in Indonesia, seminar diselenggarakan oleh PPI Göttingen, 2001
2. Globalisasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, seminar diselenggarakan HMJ IESP Fakultas Ekonomi – Universitas Brawijaya, 2002
3. Demokrasi Ekonomi: Ancaman Domestik dan Teror Globalisasi, seminar diselenggarakan BEM Universitas Merdeka, Malang, 2002
4. The Structure of Poverty in Indonesia: A New Institutional Economics Perspective, seminar diselenggarakan PPI Göttingen, Germany, 2003
5. Development and Poverty in Indonesia: A New Institutional Economics Perspective, IRSA International Conference, Bandung, 2003
6. Transaction Cost Economics of Sugar Industry in East Java – Indonesia: A Comparative Study, Tropentag Conference, Goettingen – Germany, Oktober 2003
7. Urban Informal Sector: A New Institutional Economic Perspective, IRSA International Conference, University of Gadjah Mada, Yogyakarta, 2004
8. Lack of Institutional Arrangements: The Root of Poverty in Agricultural Sector, Tropentag Conference, Humbold University, Berlin – Germany, 2004
9. Gelombang Ketiga Perekonomian Asia: Pembangunan Ekonomi Berbasis Etnis, seminar internasional diselenggarakan oleh Universitas Padjadjaran dan Universiti Kebangsaan Malaysia, Bandung, 2005
10. Konsep Revitalisasi Pertanian di Jatim, seminar diselenggarakan oleh Bappeprov Jatim, Surabaya, 2005
66 67KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
11. Pembangunan Perdesaan dan Sektor Finansial: Perspektif Ekonomi Kelembagaan, Universitas Islam Kadiri - Program Pascasarjana, diselenggarakan dalam rangka kuliah umum Program Pascasarjana, Kediri, 2005
12. Imperialisme dan Utang Luar Negeri, seminar diselenggarakan oleh Koalisi Anti Utang (KAU) dan FISIP UNAIR, Surabaya, 2006
13. Tata Kelola Pemerintah dan Daya Saing Ekonomi di Jawa Timur, Universitas Islam Balitar, disampaikan dalam rangka Dies Natalis dan Launching Program Studi Akuntansi dan Fakultas Hukum Universitas Islam Balitar, Blitar, 2006
14. Gagasan Ekonomi Kerakyatan: Perspektif Ekonomi Kelembagaan, seminar diselenggarakan oleh Nationalist Center dan DPC GMNI Malang Raya, 2006
15. Kebijakan Ekonomi, Keadilan Sosial, dan Kesejahteraan Rakyat, seminar diselenggarakan oleh BEM FE Unibraw, 2006
16. Rekonstruksi Pembangunan Ekonomi Berbasis Sumber Daya Alam, seminar diselenggarakan oleh Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI) dan Universitas Negeri Malang (UM), Malang, 2006
17. Perdesaan, Pertanian, dan Modal: Pendekatan Ekonomi Kelembagaan, seminar dalam rangka Kongres ISEI, Manado, 2006
18. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Aplikasi, pidato ilmiah yang disampaikan dalam Acara Dies Natalis Universitas Brawijaya yang ke-44, Malang, 2007
19. Pembangunan Pertanian dari Perspektif Ekonomi Kelembagaan, disampaikan dalam Forum Diskusi Sosial Ekonomi Jurusan Sosek - Pertanian Fakultas Pertanian Unibraw, Malang, 2007
20. Prospek Ekonomi Indonesia 2007: Modal Aktual dan Ekspektasi Ekonomi, kuliah tamu diselenggarakan oleh FE UMM, Malang, 2007
21. Perkembangan dan Dinamika UMKM di Jawa Timur, seminar diselenggarakan oleh HMJM Fakultas Ekonomi – Universitas Negeri Malang, Malang, 2007
22. Potret Perekonomian Kota Malang: Potensi dan Ancaman, seminar diselenggarakan oleh BPS Malang, Malang, 2007
23. Pembangunan Ekonomi Kota Batu, seminar diselenggarakan oleh BPS Batu, Batu, 2007
24. Kinerja Pembangunan Ekonomi Kota Blitar, seminar diselenggarakan oleh BPS Kota Blitar, Blitar, 2007
25. Perbankan dan Pembiayaan UMKM, seminar diselenggarakan oleh ISMEI dan Fakultas Ekonomi Unair, Surabaya, 2007
26. Gurita Kemiskinan dan Negara Kesejahteraan, Diskusi Publik dalam rangka Dies Natalis LPME ECPOSE ke XVIII di FE Unej, Jember, 2007
27. Panduan Pembangunan Ekonomi 2008: Tanggapan atas RAPBN 2008, presentasi di depan DPD PAH IV, Jakarta, 2007
28. Desentralisasi dan Pembangunan Sumber Daya Alam, seminar diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Sosiologi Indonesia, Unibraw, Malang, 2007
29. Perkembangan Perekonomian Indonesia 2007, seminar diselenggarakan dalam rangka Indef Outlook 2008, Jakarta, 2007
30. Perkembangan Perekonomian Jawa Timur 2007, seminar diselenggarakan dalam rangka Insef Outlook 2008, Surabaya, 2007
31. Keadilan, Ekonomi Islam, dan Pembangunan, seminar diselenggarakan oleh CIEBERD FE Unair, Surabaya, 5 Januari 2008
32. Penetrasi Asing dalam Perekonomian Indonesia, seminar diselenggarakan oleh ISMEI (Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia), Jombang, 12 Februari 2008
33. Memetakan Ekonomi Kerakyatan di Indonesia, seminar diselenggarakan oleh HMJ Manajemen Fakultas Ekonomi – Universitas Jember, 3 Maret 2008
34. BLBI, Moral Hazard, dan Malpraktek BPPN, seminar diselenggarakan oleh BEM Unair, Surabaya, 12 Maret 2008
35. Krisis, BLBI, dan Kejahatan Sistemik, seminar diselenggarakan oleh BEM Universitas Brawijaya, Malang, Mei 2008
36. Menata Ekonomi Kerakyatan di Indonesia, seminar diselenggarakan oleh Majelis Daerah Kahmi Probolinggo, 5 April 2008
37. Kejahatan Ekonomi dan Piramida Korban, seminar diselenggarakan oleh Universitas Paramadina, Jakarta, 12 April 2008
38. Problem dan Pembangunan UMKM di Indonesia, seminar diselenggarakan oleh ISMEI dan BEM FE Unair, Surabaya, 4 Mei 2008
39. Keadilan Sosial, Orde Pasar, dan Reformasi Terbalik, seminar diselenggarakan oleh Reform Institute, Jakarta, 21 Mei 2008
68 69KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
40. Intermediasi Perbankan dan Pembangunan Ekonomi, seminar diselenggarakan oleh BEM FE Unair, Surabaya, 18 Juni 2008
41. Prioritas Pemberdayaan UMKM di Indonesia, seminar diselenggarakan oleh Kemitraan (Partnership), Malang, Juni 2008
42. Review 10 Tahun Reformasi Ekonomi, seminar diselenggarakan oleh The Habibie Center, Jakarta, 8 Juli 2008
43. Minyak, Pangan, dan Kemiskinan, seminar diselenggarakan oleh Indef, Jakarta, 10 Juli 2008
44. Kebijakan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat, seminar diselenggarakan oleh The Habibie Center, Jakarta, 31 Juli 2008
45. Spektrum Ekonomi Kelembagaan, kuliah tamu yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi – Universitas Airlangga, Surabaya, 8 Agustus 2008
46. Indonesia dalam Pusaran Ekonomi Politik Global, seminar diselenggarakan oleh Averroes, Malang, 14 Agustus 2008
47. Ekonomi Politik Pertanian dan Kesejahteraan Masyarakat, seminar diselenggarakan oleh BEM Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, 15 Agustus 2008
48. Pembangunan Ekonomi, Kebijakan Fiskal, dan Optimalisasi Pajak, seminar diselenggarakan oleh Kanwil Pajak Jawa Timur III, Jember, 15 Oktober 2008
49. Krisis, Pasar, dan Regulasi, seminar diselenggarakan CID (Center of Information and Development), Jakarta, 17 Oktober 2008
50. Fundamental, Struktur, dan Krisis Ekonomi, seminar diselenggarakan oleh IBS (Institute Banking School), Jakarta, 25 Oktober 2008
51. Ekonomi Politik Kebijakan Pemerintah, Konferensi INFID dengan tema “Dinamika Demokrasi dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia: Refleksi atas Masa Kini dan Menatap Masa Depan”, Jakarta, 27 Oktober 2008
52. Krisis Global dan Ekonomi Jawa Timur, seminar diselenggarakan oleh DPRD Jatim (Komisi B), Jakarta, 9 November 2008
53. Kemandirian Ekonomi: Pangan, Energi, dan Keuangan, Simposium Nasional Kebangkitan Indonesia: 13 Agenda Kemandirian dan Kedaulatan Bangsa, PKB, Jakarta, 11 November 2008
54. Market and Regulation: The Political Economy of Crisis, seminar diselenggarakan oleh Asia Foundation dan USAID, Jakarta, 18 November 2008
55. Mendesain Fundamental Ekonomi Indonesia, seminar diselenggarakan oleh Indef, Jakarta, 26 November 2008
56. Alternatif Model Ekonomi Indonesia, Simposium Nasional Ekonomi untuk memperingati Ulang Tahun Emas (50 tahun) Fakultas Ekonomi - Universitas Jayabaya, Jakarta, 27 November 2008
57. Krisis Ekonomi dan Proyeksi Ekonomi 2009, seminar diselenggarakan oleh DPD (Dewan Perwakilan Daerah), Jakarta, 28 November 2008
58. Partai Politik, Demokrasi, dan Modal, seminar yang diselenggarakan oleh Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), Surabaya, 11 Desember 2008
59. Pembangunan Ekonomi, Kedaulatan Pertanian, dan Krisis Global, seminar diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis Fakultas Pertanian - Universitas Jember, 23 Desember 2008
60. Tata Kelola Pemerintah dan Kinerja Ekonomi, seminar diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Universitas Brawijaya (IKA UB), Jakarta, 17 Januari 2009
61. Reformasi Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia, seminar diselenggarakan oleh Program Doktor Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 19 Februari 2009
62. Fundamental Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat , seminar diselenggarakan oleh ISMEI dan FE UMM, Malang, 3 April 2009
63. Menakar Efektivitas Stimulus Fiskal, seminar diselenggarakan oleh Sekretariat Kabinet, Jakarta, 15 April 2009
64. Penguatan Pasar Domestik dan Restrukturisasi Sektor Industri, seminar diselenggarakan oleh Lemhanas, Jakarta, 21 April 2009
65. Food Security Cooperation in East Asia, seminar diselenggarakan oleh Japan Forum on International Relations, Tokyo, 1 Juli 2009
66. Isu-isu Strategis Perekonomian Nasional, seminar diselenggarakan oleh Indef, Jakarta, 13 Agustus 2009
67. Transmigrasi dan Ketahanan Pangan, seminar diselenggarakan oleh Departemen Transmigrasi, Jakarta, 15 Agustus 2009
68. Pembangunan Ekonomi, Kebijakan Fiskal, dan Reformasi Pajak, seminar diselenggarakan oleh FE Unri dan ISEI Riau, 22 Agustus 2009
69. Pembangunan Desa: Perspektif Ekonomi Kelembagaan, seminar diselenggarakan oleh Depdagri, Jakarta, 9 Oktober 2009
70 71KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
70. Pembangunan Pedesaan: Model dan Pendekatan, seminar diselenggarakan oleh PMD Depdagri, Jakarta, 12 Oktober 2009
71. Pembangunan Perdesaan: 5 Tahap Pengembangan, seminar diselenggarakan oleh Pemberdayaan Masyarakat Desa Depdagri, Jakarta, 29 Oktober 2009
72. Kinerja Ekonomi dan Agenda 2009-2014, seminar diselenggarakan oleh BEM FE UM, Malang, 22 November 2009
73. Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro, seminar diselenggarakan oleh Dinas Koperasi dan UMKM Jatim, Surabaya, 2 Desember 2009
74. Masalah Lahan dan Program Komoditas Unggulan, seminar diselenggarakan oleh BPN, Jakarta, 5 Desember 2009
75. Efektivitas Kebijakan Penargetan Inflasi: Pendekatan Ekonomi Kelembagaan, seminar diselenggarakan oleh Bank Indonesia¸ Jakarta, 9 Desember 2009
76. Ekonomi Indonesia 2010: Potensi dan Ancaman, diskusi diselenggarakan oleh Rumah Baca Cerdas, Malang, 29 Desember 2009
77. Prospek Ekonomi Indonesia 2010 dan Peran Modal Sosial Perbankan, seminar diselenggarakan oleh BRI Bantul DIY, 31 Desember 2009
78. Prospek Pembangunan Ekonomi Kabupaten Blitar 2011, Lokakarya yang diselenggarakan oleh Bappeda Kabupaten Blitar, Blitar, 15 Maret 2010
79. Prospek dan Problem Ekonomi Indonesia 2010, seminar diselenggarakan oleh KAMMI Wilayah Jawa-Bali-dan NTB, Malang, 27 Maret 2010
80. Tinjauan Ekonomi Politik Perekonomian Indonesia, seminar diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya, Malang, 13 April 2010
81. Reformasi Total Sistem Perpajakan, seminar diselenggarakan oleh Fraksi Kebangkitan Bangsa, Jakarta, 11 Mei 2010
82. OJK dan Nasib BPR, seminar diselenggarakan oleh Asosiasi Bankir Profesional BPR, Jakarta, 27 Mei 2010
83. Merumuskan Visi untuk Anak Negeri, disampaikan dalam acara bedah buku Khofifah Indar Parawansa, Surabaya, 30 Mei 2010
84. Peran Instrumen Ekonomi Lingkungan dalam Pembangunan Ekonomi, seminar diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, 3 Juni 2010
85. Pembangunan dan Agenda Kesejahteraan Rakyat , diskusi diselenggarakan oleh Kahmi Jatim, Surabaya, 19 Juni 2010
86. Pembangunan Ekonomi, Reformasi Birokrasi, dan Desain Kelembagaan, Diskusi Ahli Kompas, Jakarta, 1 Juli 2010
87. Dukungan LKM dalam Pengembangan UKM dan Koperasi, seminar diselenggarakan oleh Dinas Koperasi dan UKM Jatim, Surabaya, 9 Juli 2010
88. Problem Inflasi Bahan Pangan, diskusi diselenggarakan oleh DPD RI (Dewan Perwakilan Daerah), Jakarta, 16 Juli 2010
89. Overview Perekonomian Indonesia, seminar diselenggarakan oleh Indef, Jakarta, 29 Juli 2010
90. Kebijakan Fiskal, Moneter, dan Pembangunan Ekonomi, Orasi Ilmiah Wisuda STIE Canda Bhirawa, Kediri, 31 Juli 2010
91. Ekonomi Pasar Sosial: Sebuah Kritik, seminar diselenggarakan oleh DEMOS dan Pascasarjana UI, Jakarta, 19 Agustus 2010
92. Struktur Persaingan Usaha di Sektor Perbankan, seminar diselenggarakan oleh Perbarindo Jatim, Surabaya, 22 September 2010
Editor/Mitra Bestari (Jurnal)
1. Indonesian Journal of Applied Economics, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
2. Jurnal Riset Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga
3. Jurnal Arise, Jurusan Ekonomi Islam - Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga
4. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Universitas Merdeka Malang
5. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Politik, Indef – Jakarta
6. Jurnal Transisi, Malang Corruption Watch
7. Jurnal Ekonomi dan Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Manado
Pengalaman Mengajar
1. Program Sarjana dan Pascasarjana - Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya (Mata Kuliah Ekonomi Kelembagaan, Ekonomi Politik, Ekonomi Pembangunan, Perekonomian Indonesia, Teori dan Kebijakan Pembangunan, dan Metodologi Penelitian)
72 73KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL
AHMAD ERANI YUSTIKA
2. Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (Mata Kuliah Ekonomi Kelembagaan)
3. Program Magister Ilmu Administrasi Publik STIA LAN (Lembaga Administrasi Negara), Jakarta (Mata Kuliah Ekonomi Politik)
4. Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia (Mata Kuliah Ekonomi Politik)
Lain-lain
Sejak 1991 - 2010 telah menerbitkan kurang lebih 500 artikel diberbagai surat kabar, tabloid, dan majalah nasional (Majalah Adil, Majalah Warta Ekonomi, Kompas, Suara Pembaruan, Investor Daily, Bisnis Indonesia, Jurnal Nasional, Koran Neraca, Kontan, Media Indonesia, Surabaya Post, Surabaya Pagi, Seputar Indonesia, Republika, Jawa Pos, Tabloid Inspirasi, dan lain-lain)
74KEBIJAKAN REFORMASI DAN KERAPUHAN KELEMBAGAAN EKONOMI: IKHTIAR MELURUSKAN ARAH PEREKONOMIAN NASIONAL