Post on 07-Mar-2016
description
Kanal | Edisi 10 | 2009 1
D
sssss Bahaya Ketertutupan Informasi
Desa Siring Barat Kecamatan Porong terletak tak
lebih dari 50 meter dari tanggul lumpur Lapindo, praktis
hanya dibatasi Jalan Raya Porong. Dari pusat semburan,
Desa Siring Barat berjarak kurang dari 500 meter. Di
sinilah Astuti tinggal. Pada 5 Januari 2009 lalu, Astuti
mendengar suara keras. Perempuan 45 tahun ini saat itu
sedang berada di rumah saudara, yang persis terletak di
belakang rumah. Hanya setelah beberapa detik, Astuti
menyadari suara itu bersumber dari rumahnya sendiri.
bahaya di sekitar rumah mereka,
bahkan di dalam rumah
mereka?
Informasi yang diberikan
pihak otoritas setempat pun
simpang siur. “Kawasan Siring Barat masih layak
ditempati. Munculnya semburan dan bubble dengan
kandungan gas belum berbahaya,” kata Humas Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Achmad
Begitu bergerak menuju pusat suara, pagi sekira
pukul 08.00 itu, Astuti menyaksikan kamar yang biasa ia
tinggali bersama suaminya, Sulkan, telah runtuh. Tinggal
puing-puing. Amblesan tanah (land subsidence)
sebagai dampak lumpur yang terus meluap dari dalam
tanah telah mengakibatkan ambruknya rumah Astuti.
Meski tidak siap atas peristiwa ini, Astuti selamat,
persis karena keberuntungan. Ya, keberuntungan. Sebab,
bagaimana mungkin siap jika pejabat pemerintahan tak
menyediakan sistem peringatan dini, early warning
system (EWS), di kawasan berisiko ini? Jika warga tidak
diberi informasi yang sejelas-jelasnya tentang kondisi
Zulkarnain kepada warga setempat.
“Asal warga berhati-hati,” imbuh
Zulkarnain.
Sementara, Panitia Khusus
(Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo
Jalaluddin Alham menyatakan,
Siring Barat “tidak layak
huni”. Analisis Tim Pemantau
Gas, Fergaco Indonesia, juga
menunjukkan Siring Barat
sebagai kawasan
berbahaya. “Kadar gas yang
mudah terbakar di perumahan
warga sudah mencapai 77
persen. Kondisi itu
menunjukkan sudah tidak aman,”
kata Dodie Ernawan, anggota tim
Fergaco Indonesia, kepada Antara.
Toh, pemerintah tetap tak memberikan informasi
yang jelas kepada warga. Padahal ini bisa berakibat
fatal: warga bisa sewaktu-waktu tewas terkena
runtuhan tanah atau terbakar gas berbahaya.
Berbagai Sektor
Penyumbatan akses publik atas informasi dalam
Kasus Lumpur Lapindo ini terjadi di berbagai sektor.
Tidak saja informasi soal resiko di sekitar tanggul
penahan lumpur yang ditutup-tutupi, informasi soal skala
dan kuantitas korban semburan pun tidak diketahui
secara pasti. Publik tidak diberitahu berapa persisnya
KKKKKorban Lumpur Laorban Lumpur Laorban Lumpur Laorban Lumpur Laorban Lumpur Lapindopindopindopindopindo Hak atas Informasi
Kabar
Opini
hal 5
sssss Gas Liar Muncul di Ketapang
hal 6 - 7
Hilangnya Hak Publik Atas Informasi Lapindo
Kanal | Edisi 10 | 20092
Diterbitkan oleh Kanal Korban Lapindo Penanggung Jawab Mujtaba Hamdi (LapisBudaya Indonesia) Sidang Redaksi Mujtaba Hamdi, Winarko, Rahman Seblat, JamboreC, Imam Shofwan Reporter A. Novik, Ahmad S Nizar Desain & Fotografi RahmanSeblat Alamat Jl KusumaBangsa 36 Gedang Porong Sidoarjo Telp. 0343-851823Website www.korbanlapindo.net Email kontak[at]korbanlapindo.net
Didukung oleh Lapis Budaya Indonesia dan Yayasan Tifa
jumlah korban kini, berapa keluarga,
berapa jiwa, berapa desa, dan seterusnya.
BPLS tidak pernah mempublikasikan data tersebut.
Bahkan, badan yang dibentuk khusus untuk menangani
lumpur ini tidak memiliki website resmi.
Di sisi lain, pihak PT Lapindo Brantas Inc. senantiasa
mendominasi pasokan informasi ke publik. PT Minarak
Lapindo Jaya memiliki website yang selalu menampilkan
angka korban yang mereka sudah bayarkan ganti rugi.
Jelas, informasi ini menguntungkan Lapindo. Dan publik,
warga korban sendiri? Tetap tidak tahu angka korban
yang sebenarnya.
Di sektor kesehatan, publik maupun warga korban
sendiri juga tidak diberikan informasi atas kondisi
sesungguhnya. Orang yang hidup di Porong dan
sekitarnya sudah tentu merasakan bau menyengat yang
luar biasa. Tapi, Pemerintah melalui Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Jatim
justru mengatakan kualitas baku mutu udara (KBMU) di
sekitar luapan lumpur Lapindo “masih berada di bawah
ambang batas”. Menurut pernyataan yang dikutip
Antara itu, kesimpulan tersebut diperoleh Bapedal
setelah melakukan pengujian pada Mei 2008 di Desa
Siring Barat RT 12 RW 2 Porong.
Padahal kenyataannya, orang mudah terkena
gangguan pernafasan. Lihat saja, setelah adanya
semburan lumpur, penderita gangguan pernafasan
meningkat drastis bahkan hingga dua kali lipat. Data
Puskesmas Porong menunjukkan, angka pasien Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada 2005-2006
berada pada kisaran 20-25 ribu kasus. Pada 2007, angka
itu melonjak hingga 50 ribu kasus!
Lalu, soal ganti rugi, berapa sebenarnya total ganti
rugi yang harus dibayar Lapindo? Berapa yang sudah
terbayarkan dan berapa yang belum? Di sini publik juga
senantiasa disuguhi informasi dari sisi Lapindo saja.
Pemerintah? BPLS tidak mempublikasikan informasi
yang bisa diakses sewaktu-waktu. Informasi selalu
dikendalikan Lapindo, sementara warga korban
dibiarkan tanpa “amunisi”. Sehingga wajar jika warga
korban mudah diombang-ambingkan, mudah dipaksakan
memilih skema ganti rugi yang disodorkan Lapindo.
Jika menengok ke belakang, warga awalnya
menuntut pembayaran ganti rugi langsung 100 persen.
Tetapi Lapindo menolak. Gubernur Jatim saat itu, Imam
Utomo, malah menilai tuntutan ini tidak masuk akal.
Ketika ditanya wartawan di Surabaya, Utomo
mengatakan, pihaknya telah dihubungi Nirwan Bakrie.
“Dia (Nirwan) bilang Lapindo hanya mampu membayar
20 persen di awal, sisanya saat kontrak mau selesai.
Siapa yang punya duit sebesar itu?” ujar Utomo.
Di kemudian hari, ketika tiba saatnya untuk melunasi
sisa 80 persen, Lapindo berkilah lagi. Kali ini, krisis
keuangan global dijadikan alasan. Pada 3 Desember
2008, akhirnya Lapindo mengatakan hanya bisa
membayar cicilan per bulan 30 juta. Tapi ini pun tak
ditepati, dan Lapindo mengatakan hanya bisa
mengangsur 15 juta per bulan. “Saat ini dengan keadaan
krisis, maksimal (kemampuan kami) per bulan 40 miliar,”
kata General Manager PT Minarak Lapindo Jaya Imam
Agustino saat itu.
Padahal, Lapindo sendiri telah mendapat dana dari
klaim asuransi, dengan nilai sedikitnya US$ 25 juta.
Begitu pula, Lapindo juga memperoleh dana dari Santos.
Sampai 2007 saja, Santos dalam laporan akhir tahunnya
menyebutkan telah mengucurkan sedikitnya US$ 72 juta
khusus untuk penanganan dampak semburan lumpur.
Krisis global jelas tidak bisa melepaskan Lapindo dari
tanggung jawab melunasi ganti rugi sesuai aturan.
Anehnya, tanpa mempublikasikan data posisi keuangan
maupun perolehan dana yang diterima dari berbagai
pihak, Lapindo memutuskan membayar ganti rugi
dengan cara cicilan. Lebih aneh lagi, Pemerintah diam
dan bahkan menguatkan pernyataan Lapindo, juga tanpa
mengumumkan data keuangan Lapindo yang terlaporkan
kepada Pemerintah sendiri.
Dijamin KonstitusiFakta-fakta tersebut menunjukkan hak warga atas
informasi terang-terangan dilanggar, dan berakibat
lenyapnya hak-hak lainnya. Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) pun mengakui, hak atas
informasi merupakan salah satu hak dasar yang paling
dilanggar dalam kasus Lapindo ini. Melalui salah satu
harian nasional, Syafruddin Ngulma Simeuleu,
komisioner yang mengetuai Tim Investigasi Kasus
Lumpur Lapindo mengatakan, dalam kasus Lumpur
Lapindo diduga telah terjadi 18 bentuk pelanggaran hak
asasi manusia. Dan yang paling awal disebut adalah hak
atas informasi.
Padahal, hak atas informasi ini dijamin utuh oleh
Konstitusi. Pasal 28 F UUD 1945 bilang, “Setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia.” Jaminan serupa
juga tercantum dalam UU Nomor 39 tentang HAM
pasal 14.
Lantas, apa yang bisa dilakukan terhadap berbagai
pelanggaran hak atas informasi di atas? Sudah tentu, kita
harus merebut kembali hak kita sendiri, hak
konstitusional kita. Kita tidak bisa lagi menerima bahwa
informasi mengenai keberlangsungan hidup kita dikuasai
hanya oleh pihak yang kuat. Informasi-informasi yang
disumbat dan ditutup-tutupi itu harus bisa kita akses.
Dan kita sebenarnya sudah memiliki bekal Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan
Informasi Publik (UU KIP). Undang-Undang ini telah
Kanal | Edisi 10 | 2009 3
disahkan pada 30 April 2008 dan akan berlaku pada 30
April 2010. Namun karena hak ini dijamin Konstitusi
maka publik berhak meminta sejumlah dokumen publik
yang ada dalam penguasaan pemerintah, partai politik,
lembaga negara, universitas, LSM, organisasi
masyarakat, dan lembaga lainnya yang menerima
sumbangan masyarakat maupun sumbangan luar negeri
yang didefinisikan sebagai badan publik.
Manfaat InformasiSegera setelah UU KIP disahkan oleh Sidang
Paripurna DPR RI, Dewan Pengawas LBH Pers Bayu
Wicaksono menurunkan tulisan soal contoh-contoh
kerugian tidak diperolehnya informasi dan manfaat hak
atas informasi. Dalam artikel yang dipublikasikan Koran
Tempo 10 April 2008 itu, Wicaksono mencontohkan
kasus terbunuhnya aktivis hak asasi Munir dalam
penerbangannya ke Belanda. Pada 6 September 2006,
Suciwati, janda almarhum Munir, menggugat PT Garuda
Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Gugatan
perdata ini dilayangkan karena beberapa informasi yang
diminta tidak diberikan oleh PT Garuda Indonesia,” tulis
Wicaksono. Perusahaan publik milik negara ini seolah
menyembunyikan informasi dengan alasan yang tak
jelas.
Ketertutupan informasi itu juga dilakukan secara
institusional. Institusi yang tidak memberikan keterangan
yang dibutuhkan istri korban adalah Departemen Luar
Negeri dan Kepolisian terkait hasil otopsi almarhum
Munir. Tapi Suciwati terus mendesak agar informasi
diberikan. “Hak-hak saya sebagai istri dan keluarga
Munir untuk memperoleh informasi harus dipenuhi,” ujar
Suciwati dalam sebuah wawancara dengan majalah
Tempo. Akhirnya, dokumen itu diberikan dan kemudian
terbukti hasil otopsi menunjukkan korban meninggal
karena diracun arsenik.
Wicaksono, masih dalam tulisan yang sama, juga
menjelaskan perbedaan Cina dan India dalam
hubungannya dengan akses informasi. Kedua negara
tersebut memiliki jumlah penduduk besar dengan
penghasilan rendah. Di India, sekalipun penghasilan rata-
rata penduduknya rendah, tidak pernah terjadi kelaparan
massal. Tapi di Cina, kelaparan massal kerap terjadi.
Apa yang membuat beda? “India memiliki keterbukaan
informasi,” tulis Wicaksono merujuk pemikiran Amartya
Sen, peraih Nobel Ekonomi 1988.
Dengan keterbukaan informasi, bahaya kelaparan
dapat menjadi alert dan kemudian bisa dicegah.
“Kegagalan panen,” lanjut Wicaksono, “bisa langsung
diwartakan sebelum terjadi kematian massal akibat
kekurangan makanan di sebuah desa.” Mengacu Sheilla
Coronel, dalam jurnal Development Dialogue,
Wicaksono juga menunjukkan bagaimana kelaparan
yang terjadi di sebuah desa di Cina karena tidak adanya
keterbukaan informasi.
Ringkasnya, terpenuhinya hak atas informasi akan
memberikan kita pengetahuan apa yang harus kita
lakukan untuk memenuhi hak-hak kita lainnya. Tanpa
informasi yang cukup, warga tidak dapat berbuat banyak
untuk menuntut hak, dan dalam
konteks komunitas adanya akses
informasi bisa menjadi early warning
system terhadap bahaya kelaparan, wabah penyakit, dan
berbagai ancaman lainnya.
Informasi PublikLantas, informasi apa saja yang menjadi hak kita?
Kita sesungguhnya berhak memperoleh setiap informasi
publik.
Dalam UU KIP, informasi didefinisikan begini,
“Informasi adalah keterangan, pernyataan,
gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai,
makna, pesan, baik data, fakta maupun
penjelasannya yang dapat dilihat, didengar dan
dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan
format sesuai dengan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun
non elektrik .” Sedangkan, informasi publik adalah,
“Informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola,
dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik
yang berkaitan dengan penyelenggara dan
penyelenggaraan negara dan/ atau penyelenggara
dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang
sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi
lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.”
Istilah “badan publik” di situ mencakup lembaga
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi
dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan
negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber
dari APBN/APBD, organisasi non pemerintah sepanjang
sebagian atau seluruh dananya bersumber APBN/
APBD, sumbangan masyarakat, dan atau luar negeri.
Dalam kasus lumpur Lapindo, seluruh informasi
publik terkait kasus ini adalah hak publik, yang bisa
diperoleh warga korban sendiri. Warga bisa meminta
informasi atau dokumen mengenai, misalnya:
s s s s s Data korban menurut BPLS yang harus iberikan
ganti rugi dan juga bantuan sosial dari Lapindo
maupun Pemerintah.
sssss Data hasil pengawasan BPLS mengenai berapa
jumlah ganti rugi yang telah diselesaikan oleh
Lapindo.
sssss Dokumen rencana Lapindo menuntaskan hingga
100 persen ganti rugi keseluruhan korban.
sssss Dokumen mengenai klaim asuransi Lapindo dan
dana yang diterimanya.
sssss Data resmi kondisi kesehatan di wilayah
terdampak maupun luar peta terdampak.
sssss Laporan Pertanggungjawaban Kerja BPLS
selama kasus ini berlangsung.
sssss Dokumen Rencana BPLS untuk menuntaskan
penyelesaian kasus lumpur Lapindo, anggaran,
dan jenis bantuan atau tindakan yang akan
diambil.
sssss Data resmi skema penyelesaian bantuan
pendidikan bagi anak-anak korban lumpur
Lapindo.
s s s s s Data resmi mengenai informasi keuangan
Kanal | Edisi 10 | 20094
pemerintah yang
membuktikan pemerintah tidak sanggup
membayar dana talangan bagi penyelesaian
ganti rugi warga korban lumpur Lapindo.
sssss Dokumen kontrak karya antara Pemerintah dan
Lapindo yang menunjukkan pembagian tanggung
jawab antara Pemerintah dan Lapindo.
Daftar ini masih bisa diperpanjang sejauh warga
korban maupun publik memerlukan. Informasi tersebut
akan menjadi landasan penting
bagi korban untuk melakukan
tuntutan hak-hak, termasuk
bantuan sosial dan penyelesaian
ganti rugi. Dalam hal ini, korban
berhak meminta tanggapan dari
Pemerintah, karena pemerintah
yang memiliki kewajiban untuk
memenuhi dan melindungi hak-
hak asasi korban, tak terkecuali
hak atas informasi.
Meminta InformasiUU KIP menandaskan,
warga korban maupun publik
berhak memperoleh setiap
informasi publik dengan cepat
dan tepat, biaya ringan dan cara sederhana.
Warga korban maupun publik bisa melakukan tahapan-
tahapan seperti berikut. Pertama, warga dapat membuat
surat permintaan informasi yang berisi permintaan
informasi yang disebutkan di atas satu persatu. Setiap
surat berisi satu permintaan atas satu dokumen publik.
Permintaan informasi juga dapat dilakukan bersama-
sama dengan korban yang lain. Namun surat tetap ditulis
masing-masing tetapi dokumen yang diminta tetap sama.
Kedua, permintaan tersebut dikirimkan ke BPLS,
misalnya, atau dapat diantar langsung. Surat itu ditujukan
untuk Pimpinan BPLS atau bagian humasnya. Jangan
lupa meminta tanda terima atas surat, dan tanyakan
kapan balasan atas surat ini bisa diperoleh, dan kepada
siapa meminta balasan surat ini, juga nomor telepon yang
bisa dihubungi untuk menanyakan balasan atas
permintaan informasi ini. Jika dibutuhkan alasan, maka
sebutkan alasannya adalah dokumen publik itu berguna
untuk korban meminta hak-haknya sesuai dengan
ketentuan undang-undang yang berlaku.
Ketiga , tanyakan sesuai waktu yang dijanjikan oleh
mereka. Menurut UU KIP, waktu permintaan maksimal
10 hari dengan perpanjangan 7 hari kerja untuk bisa
direspon oleh badan publik. Selama 17 hari mintalah
konfirmasi mengenai permintaan informasi anda.
Jika korban membutuhkan bantuan untuk melakukan
permintaan informasi, korban bisa meminta bantuan
organisasi masyarakat sipil setempat, misalnya Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim. Organisasi tersebut
dan jaringannya bisa membantu melakukan pembuatan
surat maupun proses lanjutan setelah permintaan
informasi ditolak, misalnya, dan membantu melakukan
analisa informasi yang berhasil diperoleh.
Permintaan Ditolak?Korban Lapindo sendiri barangkali sudah terlalu
sering mengalami penolakan ketika meminta informasi
tertentu secara lisan, misalnya soal kapan ganti rugi
dicairkan. Jika permintaan informasi di atas juga ditolak,
atau tidak ada jawaban dan sudah ditanyakan langsung,
upaya hukum bahkan bisa ditempuh. Walhi Jatim dan
j a r i n g a n n y a dapat membantu proses
hukum ini untuk korban lumpur
Lapindo.
Sebagai ilustrasi, upaya
hukum soal merek susu
tercemar bisa disebutkan di sini.
Februari 2008 lalu, para
orangtua yang memiliki balita
diresahkan oleh hasil penelitian
yang mengatakan sejumlah
merek susu formula telah
terkontaminasi bakteri.
Penelitian tersebut dilakukan oleh
tim dari Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM), Menteri
Kesehatan, dan Institut Pertanian
Bogor (IPB). Karena nama-nama
susu tercemar itu tidak diumumkan, para orangtua
tidak bisa memilih merek susu apa bagi balita
mereka. “Mungkin keresahan dan kebingungan itu tidak
terlalu berlebihan jika pemerintah maupun pihak IPB
mengumumkan secara resmi nama-nama susu yang
tercemar bakteri,” ujar Ny Wiwin, warga Kota Bogor,
kepada Sinar Harapan. Menghadapi situasi ini, David
ML Tobing, salah satu orangtua yang mencemaskan
kesehatan balitanya, mengajukan gugatan hukum.
Tobing melayangkan gugatan terhadap tim peneliti
dari BPOM, Menteri Kesehatan, dan IPB. Tobing
menggugat agar ketiga institusi tersebut
mempublikasikan hasil penelitian mereka. Pada 20
Agustus 2008, Ketua Majelis Hakim Reno Listowo
mengabulkan gugatan tersebut. Pertimbangannya,
perbuatan ketiga institusi tersebut yang tidak
mengumumkan merek susu tercemar kepada publik
perbuatan melawan hukum seperti didalilkan Pasal 1365
KUH Perdata. “Tindakan menutup-nutupi informasi
adalah perbuatan melawan hukum,” ujar Reno Listowo
sebagaimana dikutip Kompas.
Tak ayal, dalam kasus Lapindo, sebagaimana
diutarakan di awal tulisan ini, tindakan menutup-nutupi
informasi telah menciptakan tidak hanya keresahan,
melainkan kerugian, di berbagai sektor. Publik dan
warga korban bisa melayangkan gugatan terhadap
badan-badan publik yang menghalang-halangi akses
informasi mengenai kasus yang berlarut-larut hampir tiga
tahun ini.
[Mujtaba Hamdi/Tanti Budi Suryani]
Kanal | Edisi 10 | 2009 5
ejumlah komponen masyarakat sipil
mendiskusikan problem ketertutupan informasi
kasus lumpur Lapindo. Diskusi meja bundar
(roundtable discussion) ini dilaksanakan di kantor Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Surabaya, Sabtu (28/2).
“Ketertutupan informasi ini hampir merata di semua
level,” kata Mujtaba Hamdi dari Lapis Budaya. Soal ganti
rugi, misalnya, warga tiba-tiba hanya tahu Lapindo tidak
mampu bayar. Sementara, Lapindo tidak pernah
mengumumkan kekayaan mereka. Pemerintah juga tidak
mempublikasikan posisi keuangan Lapindo yang
terlaporkan ke pihaknya. Di level lain, berbagai bahaya di
sekitar lumpur juga tidak diinformasikan ke warga. “Bahkan
5 Januari kemarin, ada rumah warga ambrol, dan
sebelumnya tidak ada informasi apapun tentang bahaya,”
imbuh Mujtaba.
Bambang Catur Nusantara dari Walhi Jatim
menuturkan, ketertutupan informasi soal pemboran sumur-
sumur gas merambah juga di wilayah lain, tidak hanya
Sidoarjo. “Jadi, publik tidak banyak tahu bahwa wilayah
Jatim Utara sudah dibor semua, ataupun akan ada sumur
baru di Jatim Selatan,” ujar Catur. Pemboran itu dilakukan
di wilayah padat huni, sehingga sangat berbahaya. Tapi
publik tidak pernah diberitahu, dan Pemerintah cenderung
menutup-nutupi. “Betapa kemudian informasi yang sangat
strategis tidak bisa diakses,” kata Catur. Analisis Catur ini
didukung Munir, aktivis lingkungan dari Forum Warga Peduli
Kenjeran. “Informasi yang tidak diketahui publik, Lapindo
tidak hanya di Porong, tapi ada juga di wilayah lain, 47
sumur. Wilayah padat huni. Ini kan berbahaya,” ujarnya.
Joeni Arianto Kurniawan, pengajar di Fakultas Hukum
Universitas Airlangga (Unair), menambahkan, ketertutupan
informasi di kasus Lapindo ini sangat parah. “Memang
aneh, ya, bagaimana mungkin saya punya lingkungan, saya
punya rumah, tapi kemudian di halaman sebelah saya mau
diapa-apain saya tidak tahu. Tiba-tiba rumah saya ambrol
begitu saja,” ujar Joeni. Bagi Joeni, problem ini sudah ada
sejak sebelum pemboran Lapindo dimulai. Berbagai
permasalahan hukum juga ditutup-tutupi, sejak perizinan
eksploitasi gas hingga penanganan semburan lumpur. “Ini
skandal,” tandas Joeni.
Bagi relawan yang sehari-hari hidup bersama korban
Lapindo, problem ketiadaan informasi bagi warga sangat
terasa. Ahmad Novik, warga asal Jatirejo yang kini aktif
sebagai relawan pusat informasi Kanal, menuturkan
bahwa sejak awal masyarakat setempat tidak pernah
diberitahu keberadaan Lapindo. “Semua tidak diketahui
warga. Soal tanah yang diperuntukkan pemboran, warga
tidak tahu. Tahunya untuk peternakan. Warga juga tidak
tahu adanya aktifitas pemboran. Baru tahu setelah muncul
semburan lumpur,” kisah Novik.
Begitu semburan muncul, warga pun tidak diberitahu
adanya bahaya, sehingga tidak siap jika terjadi sesuatu.
Rere Christanto, salah seorang relawan, mengungkapkan,
dalam penanganan bencana, termasuk bencana akibat
kesalahan manusia macam semburan lumpur Lapindo ini,
kata kuncinya adalah siaga. “Hampir tidak mungkin kita
omong kesiapsiagaan tanpa ada informasi,” ujar Rere.
Baginya, informasi adalah titik tolak. Selain itu, Rere juga
mengeluhkan, warga korban sendiri tidak bisa mengakses
informasi di pemerintahan soal tanah mereka. “Menurut
saya ini aneh. Orang mau tahu luas tanahnya sendiri tidak
bisa,” ucap Rere.
Senada dengan Rere, advokat dari Lembaga Hukum
dan Keadilan HAM Indonesia (LHKI) Subagyo
mengomentari jujur, “Kalau bicara right to know dalam
pelaksanannya di Indonesia, kita bisa berkesimpulan Indo-
nesia adalah negara terbelakang.” Dengan sungguh-
sungguh, Cak Bagyo memaparkan bagaimana meski dalam
Konstitusi, hak untuk tahu dijamin, tapi kebanyakan
kebijakan justru membatasi hak tersebut.
Imam Shofwan, jurnalis asal Pantau yang juga relawan
Kanal, memperlihatkan adanya ketidakseimbangan
informasi antara warga, pemerintah desa, pemerintah
daerah, dan pemerintah pusat. Imam mengusulkan agar
forum mengidentifikasi sumbatan-sumbatan informasi di
berbagai level itu. Sehingga, strategi untuk menuntut kembali
hak atas informasi bisa dirancang. Forum pun kemudian
melakukan analisis atas bentuk-bentuk informasi yang
ditutup-ditutupi dalam kasus Lapindo. Forum menyepakati
untuk menindaklanjuti dengan melakukan tuntutan bersama
atas informasi yang teridentifikasi tersebut.[ba]
Ketertutupan Informasi
Bahaya
S
Kanal | Edisi 10 | 20096
Tiga gelembung gas liar muncul di Ketapang,
Tanggulangin, Sidoarjo. Gelembung gas atau
bubble gas ini muncul di pinggir dan tengah sungai
Ketapang, tak jauh dari RT 08/03 dan di depan
rumah Suharjo (39 tahun), warga RT 08. Dua bulan
sebelumnya, warga RT 09 dan 08 mulai mencium
bau gas namun sumbernya baru dikethaui setelah warga
Ketapang terkena banjir sejak Selasa (24/2). “Sudah ada dua
bulan, ada air jadi kelihatan,” tutur Agus Setiawan (28 tahun),
warga RT 03 Ketapang.
Warga menjadikan gas liar ini sebagai mainan. Semburan
di pinggir kali diberi kaleng roti yang dilubangi, lalu api bisa
dinyalakan di atasnya. Warga Ketapang berkumpul
menyaksikan pertunjukan baru ini. Mereka tak tahu betul
bahaya gas-gas liar ini. Gas serupa juga muncul di Desa
Siring Barat, Jatirejo Barat, Besuki dan Mindi. Di Jatirejo
Barat, beberapa waktu lalu beberapa orang harus dilarikan ke
rumah sakit, karena menghirup gas yang tak berbau itu.
Ketua RT 8 Ahmad Sofa sudah melaporkan kejadian ini
kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), dan
hari Jumat (27/2) beberapa orang BPLS ditemani sekretaris
desa Ketapang mendatangi lokasi. Menurut Suharjo, setelah
menengok lokasi semburan selama setengah jam, BPLS
menyatakan tempat tersebut masih aman. Suharjo mendengar
informasi tersebut dari obrolan petugas BPLS dengan
sekretaris desa. Secara langsung, informasi tentang seberapa
berbahayanya semburan gas ini terhadap kehidupan warga
belum disampaikan pada warga.[mam]
Muncul di Ketapang
Setelah gagal memenuhi kesepakatan yang dibuat pada
awal Desember 2008, Lapindo kembali membuat janji baru
kepada korban lumpur. Dengan alasan mengalami krisis, PT
Minarak Lapindo Jaya (MLJ) kembali berjanji akan
membayar Rp 15 juta per keluarga per bulan. Bahkan
sebelumnya, untuk meyakinkan bahwa PT MLJ sedang
mengalami krisis, Vice President PT MLJ Andi Darussalam
Tabusalla, seperti yang ditulis Koran Tempo (20 Februari),
mengaku aset perusahaannya kini tersisa kurang dari Rp 100
miliar.
Celakanya, pemerintah untuk kesekian kalinya percaya
begitu saja kepada alasan krisis keuangan yang dikemukakan
oleh Lapindo. Padahal selama ini Lapindo belum pernah
mempublikasi hasil audit mengenai asset-asetnya ke publik.
Pihak Lapindo berkilah bahwa uang yang dimilikinya bukan
uang negara, sehingga tidak ada kewajiban untuk
mempublikasinya. Mungkin Lapindo lupa bahwa informasi
terhadap audit tersebut sangat penting untuk menyelesaikan
persoalan dengan korban lumpur secara lebih adil.
Hilangnya Hak Publik atas Informasi Lapindo
Gas Liar
Firdaus Cahyadi
Kanal | Edisi 10 | 2009 7
Pemerintah, yang memiliki mandat untuk melindungi
keselamatan rakyat, wajib memaksa Lapindo
mempublikasi hasil audit mengenai aset-asetnya
tersebut. Selama hasil audit tersebut belum dipublikasi,
terlalu naif rasanya untuk percaya begitu saja bahwa PT
MLJ sedang mengalami krisis keuangan. Betapa tidak,
seperti ditulis dalam buku berjudul Bahaya Industri
Migas di Kawasan Padat Huni, di luar sumur migas
Banjar Panji 1 (BJP-1) yang ditenggelamkan lumpur
panas, PT Lapindo ternyata masih menguasai
48 sumur migas (minyak dan gas) di blok
Brantas, yang meliputi Kabupaten
Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan. Selain
itu, Lapindo ternyata juga sudah
mendapatkan klaim pembayaran asuransi
atas sumur BJP-1 pada 2006. Nah, dari
fakta di atas, pertanyaannya kemudian tentu
saja adalah mungkinkah aset Lapindo kurang
dari Rp 100 miliar.
Hak publik atas informasi yang benar dalam
kasus Lapindo ini tampaknya secara
sistematis dihilangkan. Bukan hanya
mengenai aset Lapindo yang
terkait dengan persoalan ganti
rugi. Namun, sudah sejak
awal eksplorasi di blok
Brantas, hak publik atas
informasi juga terus-
menerus diabaikan.
Pada saat penentuan lokasi eksplorasi,
misalnya, publik tidak pernah diberi
informasi mengenai risiko kecelakaan
industri migas dengan kondisi geologis di
wilayah Porong, Sidoarjo. Publik pun tidak
pernah diberi informasi bahwa sebenarnya
penentuan lokasi sumur migas Lapindo tidak
sesuai dengan ketentuan Badan Standar Nasional
Indonesia tentang operasi pengeboran darat dan
lepas pantai di Indonesia.
Ketentuan Standar Nasional Nomor 13-
6910-2002 itu menyebutkan bahwa sumur
pengeboran migas harus dialokasikan sekurang-
kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel
kereta api, pekerjaan umum, perumahan, atau
tempat-tempat lain yang berpotensi
menimbulkan sumber nyala api. Sementara
itu, sumur BJP-1 hanya berada 5 meter dari
wilayah permukiman, 37 meter dari sarana
publik, dan kurang dari 100 meter dari pipa
gas Pertamina.
Setelah semburan lumpur panas keluar, hak publik
atas informasi semakin diabaikan. Semua informasi yang
terkait dengan kandungan racun lumpur Lapindo beserta
dampak buruknya seakan hilang ditelan bumi. Namun,
yang justru muncul di ruang publik adalah komentar
pejabat yang cenderung menyesatkan informasi. Mayjen
TNI Syamsul Mapparepa, yang pada saat menjabat
menjadi Panglima Kodam Brawijaya, misalnya, pernah
mengatakan bahwa lumpur Lapindo yang berwarna
kehitam-hitaman tersebut tidak mengandung racun.
Bahkan salah seorang pejabat Badan Penanggulangan
Lumpur Sidoarjo (BPLS) berani menjamin bahwa
lumpur Lapindo tidak berbahaya.
Padahal peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB),
Dr Dwi Andreas Santosa, menemukan kandungan logam
berat berupa cadmium (Cd), chromium (Cr), arsen,
merkuri, serta kandungan bakteri patogen (pembawa
bibit penyakit) seperti Coliform, Salmonella, dan
Staphylococcus aureus dalam lumpur Lapindo di atas
ambang batas yang dipersyaratkan. Bukan hanya air dan
lumpur yang mengandung racun, lumpur Lapindo juga
dinilai telah menyebabkan polusi udara di kawasan
Porong dan sekitarnya. Bahkan, terkait dengan
semburan lumpur Lapindo, dalam rekomendasinya
Gubernur Jawa Timur pada Maret 2008 telah
menyebutkan bahwa kandungan hidrokarbon di udara
telah mencapai 55 ribu ppm. Padahal ambang batas
normalnya hanya 0,24 ppm.
Hal itu kemudian diperkuat oleh temuan Walhi Jawa
Timur pada Oktober 2008 perihal adanya peningkatan
jumlah orang yang menderita ISPA (infeksi saluran
pernapasan akut) di Porong. Pada 2006, saat
muncul semburan lumpur Lapindo, jumlah
penderita ISPA mencapai 26 ribu orang,
namun pada 2008 meningkat menjadi 46 ribu
orang. Sayangnya, informasi yang dapat
mengancam keselamatan warga itu seperti tidak
dinilai penting oleh pemerintah. Hingga kini belum
ada tindak lanjut dari pemerintah atas informasi
tersebut. Padahal informasi itu sebenarnya dapat
digunakan pemerintah untuk melakukan tindakan
darurat guna menyelamatkan warga.
Disembunyikannya informasi yang berkaitan dengan
dampak buruk lumpur Lapindo bagi kesehatan manusia
jelas bukan sebuah kebetulan, melainkan sebuah
kesengajaan agar korban lumpur dan warga Porong
lainnya tidak menuntut ganti rugi di luar mekanisme
jual-beli aset fisik. Dari uraian di atas, sudah mulai
terlihat bahwa apa pun mekanisme yang dibuat
untuk menyelesaikan kasus Lapindo ini akan
selalu jauh dari kata adil bila hak publik atas
informasi mengenai kasus ini selalu
dihilangkan. Dengan sebuah informasi yang
benar mengenai kasus ini, akan diketahui
dengan mudah ganti rugi seperti apa yang
harusnya diterima oleh korban dan siapa
sebenarnya pihak yang harus bertanggung
jawab atas terjadinya semburan lumpur itu.
*) Knowledge Sharing Officer for Sustainable
Development, OneWorld-Indonesia
Artikel ini pernah dimuat Koran Tempo, 28
Februari 2009
Kanal | Edisi 10 | 20098
Pelatihan
Foto: Rahman
Bertempat di posko bersama, Desa Gedang, difasilitasi
relawan dari Yayasan Air Putih, beberapa remaja korban
lumpur Lapindo belajar membuat blog pribadi. Mereka
membuat ilustrasi foto, menulis kisah mereka sendiri, dan
menelola alamat blog di situs penyedia blog gratiis.“Ngeblog”