KANAL: Saluran Aspirasi Korban Lapindo edisi 10 th 2009

8
Kanal | Edisi 10 | 2009 1 D Bahaya Ketertutupan Informasi Desa Siring Barat Kecamatan Porong terletak tak lebih dari 50 meter dari tanggul lumpur Lapindo, praktis hanya dibatasi Jalan Raya Porong. Dari pusat semburan, Desa Siring Barat berjarak kurang dari 500 meter. Di sinilah Astuti tinggal. Pada 5 Januari 2009 lalu, Astuti mendengar suara keras. Perempuan 45 tahun ini saat itu sedang berada di rumah saudara, yang persis terletak di belakang rumah. Hanya setelah beberapa detik, Astuti menyadari suara itu bersumber dari rumahnya sendiri. bahaya di sekitar rumah mereka, bahkan di dalam rumah mereka? Informasi yang diberikan pihak otoritas setempat pun simpang siur. “Kawasan Siring Barat masih layak ditempati. Munculnya semburan dan bubble dengan kandungan gas belum berbahaya,” kata Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Achmad Begitu bergerak menuju pusat suara, pagi sekira pukul 08.00 itu, Astuti menyaksikan kamar yang biasa ia tinggali bersama suaminya, Sulkan, telah runtuh. Tinggal puing-puing. Amblesan tanah (land subsidence) sebagai dampak lumpur yang terus meluap dari dalam tanah telah mengakibatkan ambruknya rumah Astuti. Meski tidak siap atas peristiwa ini, Astuti selamat, persis karena keberuntungan. Ya, keberuntungan. Sebab, bagaimana mungkin siap jika pejabat pemerintahan tak menyediakan sistem peringatan dini, early warning system (EWS), di kawasan berisiko ini? Jika warga tidak diberi informasi yang sejelas-jelasnya tentang kondisi Zulkarnain kepada warga setempat. “Asal warga berhati-hati,” imbuh Zulkarnain. Sementara, Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo Jalaluddin Alham menyatakan, Siring Barat “tidak layak huni”. Analisis Tim Pemantau Gas, Fergaco Indonesia, juga menunjukkan Siring Barat sebagai kawasan berbahaya. “Kadar gas yang mudah terbakar di perumahan warga sudah mencapai 77 persen. Kondisi itu menunjukkan sudah tidak aman,” kata Dodie Ernawan, anggota tim Fergaco Indonesia, kepada Antara. Toh, pemerintah tetap tak memberikan informasi yang jelas kepada warga. Padahal ini bisa berakibat fatal: warga bisa sewaktu-waktu tewas terkena runtuhan tanah atau terbakar gas berbahaya. Berbagai Sektor Penyumbatan akses publik atas informasi dalam Kasus Lumpur Lapindo ini terjadi di berbagai sektor. Tidak saja informasi soal resiko di sekitar tanggul penahan lumpur yang ditutup-tutupi, informasi soal skala dan kuantitas korban semburan pun tidak diketahui secara pasti. Publik tidak diberitahu berapa persisnya K K Korban Lumpur La orban Lumpur La orban Lumpur La orban Lumpur La orban Lumpur Lapindo pindo pindo pindo pindo Hak atas Informasi Kabar Opini hal 5 Gas Liar Muncul di Ketapang hal 6 - 7 Hilangnya Hak Publik Atas Informasi Lapindo

description

berisi tentang aspirasi masyarakat korban lapindo

Transcript of KANAL: Saluran Aspirasi Korban Lapindo edisi 10 th 2009

Kanal | Edisi 10 | 2009 1

D

sssss Bahaya Ketertutupan Informasi

Desa Siring Barat Kecamatan Porong terletak tak

lebih dari 50 meter dari tanggul lumpur Lapindo, praktis

hanya dibatasi Jalan Raya Porong. Dari pusat semburan,

Desa Siring Barat berjarak kurang dari 500 meter. Di

sinilah Astuti tinggal. Pada 5 Januari 2009 lalu, Astuti

mendengar suara keras. Perempuan 45 tahun ini saat itu

sedang berada di rumah saudara, yang persis terletak di

belakang rumah. Hanya setelah beberapa detik, Astuti

menyadari suara itu bersumber dari rumahnya sendiri.

bahaya di sekitar rumah mereka,

bahkan di dalam rumah

mereka?

Informasi yang diberikan

pihak otoritas setempat pun

simpang siur. “Kawasan Siring Barat masih layak

ditempati. Munculnya semburan dan bubble dengan

kandungan gas belum berbahaya,” kata Humas Badan

Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Achmad

Begitu bergerak menuju pusat suara, pagi sekira

pukul 08.00 itu, Astuti menyaksikan kamar yang biasa ia

tinggali bersama suaminya, Sulkan, telah runtuh. Tinggal

puing-puing. Amblesan tanah (land subsidence)

sebagai dampak lumpur yang terus meluap dari dalam

tanah telah mengakibatkan ambruknya rumah Astuti.

Meski tidak siap atas peristiwa ini, Astuti selamat,

persis karena keberuntungan. Ya, keberuntungan. Sebab,

bagaimana mungkin siap jika pejabat pemerintahan tak

menyediakan sistem peringatan dini, early warning

system (EWS), di kawasan berisiko ini? Jika warga tidak

diberi informasi yang sejelas-jelasnya tentang kondisi

Zulkarnain kepada warga setempat.

“Asal warga berhati-hati,” imbuh

Zulkarnain.

Sementara, Panitia Khusus

(Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo

Jalaluddin Alham menyatakan,

Siring Barat “tidak layak

huni”. Analisis Tim Pemantau

Gas, Fergaco Indonesia, juga

menunjukkan Siring Barat

sebagai kawasan

berbahaya. “Kadar gas yang

mudah terbakar di perumahan

warga sudah mencapai 77

persen. Kondisi itu

menunjukkan sudah tidak aman,”

kata Dodie Ernawan, anggota tim

Fergaco Indonesia, kepada Antara.

Toh, pemerintah tetap tak memberikan informasi

yang jelas kepada warga. Padahal ini bisa berakibat

fatal: warga bisa sewaktu-waktu tewas terkena

runtuhan tanah atau terbakar gas berbahaya.

Berbagai Sektor

Penyumbatan akses publik atas informasi dalam

Kasus Lumpur Lapindo ini terjadi di berbagai sektor.

Tidak saja informasi soal resiko di sekitar tanggul

penahan lumpur yang ditutup-tutupi, informasi soal skala

dan kuantitas korban semburan pun tidak diketahui

secara pasti. Publik tidak diberitahu berapa persisnya

KKKKKorban Lumpur Laorban Lumpur Laorban Lumpur Laorban Lumpur Laorban Lumpur Lapindopindopindopindopindo Hak atas Informasi

Kabar

Opini

hal 5

sssss Gas Liar Muncul di Ketapang

hal 6 - 7

Hilangnya Hak Publik Atas Informasi Lapindo

Kanal | Edisi 10 | 20092

Diterbitkan oleh Kanal Korban Lapindo Penanggung Jawab Mujtaba Hamdi (LapisBudaya Indonesia) Sidang Redaksi Mujtaba Hamdi, Winarko, Rahman Seblat, JamboreC, Imam Shofwan Reporter A. Novik, Ahmad S Nizar Desain & Fotografi RahmanSeblat Alamat Jl KusumaBangsa 36 Gedang Porong Sidoarjo Telp. 0343-851823Website www.korbanlapindo.net Email kontak[at]korbanlapindo.net

Didukung oleh Lapis Budaya Indonesia dan Yayasan Tifa

jumlah korban kini, berapa keluarga,

berapa jiwa, berapa desa, dan seterusnya.

BPLS tidak pernah mempublikasikan data tersebut.

Bahkan, badan yang dibentuk khusus untuk menangani

lumpur ini tidak memiliki website resmi.

Di sisi lain, pihak PT Lapindo Brantas Inc. senantiasa

mendominasi pasokan informasi ke publik. PT Minarak

Lapindo Jaya memiliki website yang selalu menampilkan

angka korban yang mereka sudah bayarkan ganti rugi.

Jelas, informasi ini menguntungkan Lapindo. Dan publik,

warga korban sendiri? Tetap tidak tahu angka korban

yang sebenarnya.

Di sektor kesehatan, publik maupun warga korban

sendiri juga tidak diberikan informasi atas kondisi

sesungguhnya. Orang yang hidup di Porong dan

sekitarnya sudah tentu merasakan bau menyengat yang

luar biasa. Tapi, Pemerintah melalui Kepala Badan

Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Jatim

justru mengatakan kualitas baku mutu udara (KBMU) di

sekitar luapan lumpur Lapindo “masih berada di bawah

ambang batas”. Menurut pernyataan yang dikutip

Antara itu, kesimpulan tersebut diperoleh Bapedal

setelah melakukan pengujian pada Mei 2008 di Desa

Siring Barat RT 12 RW 2 Porong.

Padahal kenyataannya, orang mudah terkena

gangguan pernafasan. Lihat saja, setelah adanya

semburan lumpur, penderita gangguan pernafasan

meningkat drastis bahkan hingga dua kali lipat. Data

Puskesmas Porong menunjukkan, angka pasien Infeksi

Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada 2005-2006

berada pada kisaran 20-25 ribu kasus. Pada 2007, angka

itu melonjak hingga 50 ribu kasus!

Lalu, soal ganti rugi, berapa sebenarnya total ganti

rugi yang harus dibayar Lapindo? Berapa yang sudah

terbayarkan dan berapa yang belum? Di sini publik juga

senantiasa disuguhi informasi dari sisi Lapindo saja.

Pemerintah? BPLS tidak mempublikasikan informasi

yang bisa diakses sewaktu-waktu. Informasi selalu

dikendalikan Lapindo, sementara warga korban

dibiarkan tanpa “amunisi”. Sehingga wajar jika warga

korban mudah diombang-ambingkan, mudah dipaksakan

memilih skema ganti rugi yang disodorkan Lapindo.

Jika menengok ke belakang, warga awalnya

menuntut pembayaran ganti rugi langsung 100 persen.

Tetapi Lapindo menolak. Gubernur Jatim saat itu, Imam

Utomo, malah menilai tuntutan ini tidak masuk akal.

Ketika ditanya wartawan di Surabaya, Utomo

mengatakan, pihaknya telah dihubungi Nirwan Bakrie.

“Dia (Nirwan) bilang Lapindo hanya mampu membayar

20 persen di awal, sisanya saat kontrak mau selesai.

Siapa yang punya duit sebesar itu?” ujar Utomo.

Di kemudian hari, ketika tiba saatnya untuk melunasi

sisa 80 persen, Lapindo berkilah lagi. Kali ini, krisis

keuangan global dijadikan alasan. Pada 3 Desember

2008, akhirnya Lapindo mengatakan hanya bisa

membayar cicilan per bulan 30 juta. Tapi ini pun tak

ditepati, dan Lapindo mengatakan hanya bisa

mengangsur 15 juta per bulan. “Saat ini dengan keadaan

krisis, maksimal (kemampuan kami) per bulan 40 miliar,”

kata General Manager PT Minarak Lapindo Jaya Imam

Agustino saat itu.

Padahal, Lapindo sendiri telah mendapat dana dari

klaim asuransi, dengan nilai sedikitnya US$ 25 juta.

Begitu pula, Lapindo juga memperoleh dana dari Santos.

Sampai 2007 saja, Santos dalam laporan akhir tahunnya

menyebutkan telah mengucurkan sedikitnya US$ 72 juta

khusus untuk penanganan dampak semburan lumpur.

Krisis global jelas tidak bisa melepaskan Lapindo dari

tanggung jawab melunasi ganti rugi sesuai aturan.

Anehnya, tanpa mempublikasikan data posisi keuangan

maupun perolehan dana yang diterima dari berbagai

pihak, Lapindo memutuskan membayar ganti rugi

dengan cara cicilan. Lebih aneh lagi, Pemerintah diam

dan bahkan menguatkan pernyataan Lapindo, juga tanpa

mengumumkan data keuangan Lapindo yang terlaporkan

kepada Pemerintah sendiri.

Dijamin KonstitusiFakta-fakta tersebut menunjukkan hak warga atas

informasi terang-terangan dilanggar, dan berakibat

lenyapnya hak-hak lainnya. Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia (Komnas HAM) pun mengakui, hak atas

informasi merupakan salah satu hak dasar yang paling

dilanggar dalam kasus Lapindo ini. Melalui salah satu

harian nasional, Syafruddin Ngulma Simeuleu,

komisioner yang mengetuai Tim Investigasi Kasus

Lumpur Lapindo mengatakan, dalam kasus Lumpur

Lapindo diduga telah terjadi 18 bentuk pelanggaran hak

asasi manusia. Dan yang paling awal disebut adalah hak

atas informasi.

Padahal, hak atas informasi ini dijamin utuh oleh

Konstitusi. Pasal 28 F UUD 1945 bilang, “Setiap orang

berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh

informasi untuk mengembangkan pribadi dan

lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,

memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan

menyampaikan informasi dengan menggunakan

segala jenis saluran yang tersedia.” Jaminan serupa

juga tercantum dalam UU Nomor 39 tentang HAM

pasal 14.

Lantas, apa yang bisa dilakukan terhadap berbagai

pelanggaran hak atas informasi di atas? Sudah tentu, kita

harus merebut kembali hak kita sendiri, hak

konstitusional kita. Kita tidak bisa lagi menerima bahwa

informasi mengenai keberlangsungan hidup kita dikuasai

hanya oleh pihak yang kuat. Informasi-informasi yang

disumbat dan ditutup-tutupi itu harus bisa kita akses.

Dan kita sebenarnya sudah memiliki bekal Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan

Informasi Publik (UU KIP). Undang-Undang ini telah

Kanal | Edisi 10 | 2009 3

disahkan pada 30 April 2008 dan akan berlaku pada 30

April 2010. Namun karena hak ini dijamin Konstitusi

maka publik berhak meminta sejumlah dokumen publik

yang ada dalam penguasaan pemerintah, partai politik,

lembaga negara, universitas, LSM, organisasi

masyarakat, dan lembaga lainnya yang menerima

sumbangan masyarakat maupun sumbangan luar negeri

yang didefinisikan sebagai badan publik.

Manfaat InformasiSegera setelah UU KIP disahkan oleh Sidang

Paripurna DPR RI, Dewan Pengawas LBH Pers Bayu

Wicaksono menurunkan tulisan soal contoh-contoh

kerugian tidak diperolehnya informasi dan manfaat hak

atas informasi. Dalam artikel yang dipublikasikan Koran

Tempo 10 April 2008 itu, Wicaksono mencontohkan

kasus terbunuhnya aktivis hak asasi Munir dalam

penerbangannya ke Belanda. Pada 6 September 2006,

Suciwati, janda almarhum Munir, menggugat PT Garuda

Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Gugatan

perdata ini dilayangkan karena beberapa informasi yang

diminta tidak diberikan oleh PT Garuda Indonesia,” tulis

Wicaksono. Perusahaan publik milik negara ini seolah

menyembunyikan informasi dengan alasan yang tak

jelas.

Ketertutupan informasi itu juga dilakukan secara

institusional. Institusi yang tidak memberikan keterangan

yang dibutuhkan istri korban adalah Departemen Luar

Negeri dan Kepolisian terkait hasil otopsi almarhum

Munir. Tapi Suciwati terus mendesak agar informasi

diberikan. “Hak-hak saya sebagai istri dan keluarga

Munir untuk memperoleh informasi harus dipenuhi,” ujar

Suciwati dalam sebuah wawancara dengan majalah

Tempo. Akhirnya, dokumen itu diberikan dan kemudian

terbukti hasil otopsi menunjukkan korban meninggal

karena diracun arsenik.

Wicaksono, masih dalam tulisan yang sama, juga

menjelaskan perbedaan Cina dan India dalam

hubungannya dengan akses informasi. Kedua negara

tersebut memiliki jumlah penduduk besar dengan

penghasilan rendah. Di India, sekalipun penghasilan rata-

rata penduduknya rendah, tidak pernah terjadi kelaparan

massal. Tapi di Cina, kelaparan massal kerap terjadi.

Apa yang membuat beda? “India memiliki keterbukaan

informasi,” tulis Wicaksono merujuk pemikiran Amartya

Sen, peraih Nobel Ekonomi 1988.

Dengan keterbukaan informasi, bahaya kelaparan

dapat menjadi alert dan kemudian bisa dicegah.

“Kegagalan panen,” lanjut Wicaksono, “bisa langsung

diwartakan sebelum terjadi kematian massal akibat

kekurangan makanan di sebuah desa.” Mengacu Sheilla

Coronel, dalam jurnal Development Dialogue,

Wicaksono juga menunjukkan bagaimana kelaparan

yang terjadi di sebuah desa di Cina karena tidak adanya

keterbukaan informasi.

Ringkasnya, terpenuhinya hak atas informasi akan

memberikan kita pengetahuan apa yang harus kita

lakukan untuk memenuhi hak-hak kita lainnya. Tanpa

informasi yang cukup, warga tidak dapat berbuat banyak

untuk menuntut hak, dan dalam

konteks komunitas adanya akses

informasi bisa menjadi early warning

system terhadap bahaya kelaparan, wabah penyakit, dan

berbagai ancaman lainnya.

Informasi PublikLantas, informasi apa saja yang menjadi hak kita?

Kita sesungguhnya berhak memperoleh setiap informasi

publik.

Dalam UU KIP, informasi didefinisikan begini,

“Informasi adalah keterangan, pernyataan,

gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai,

makna, pesan, baik data, fakta maupun

penjelasannya yang dapat dilihat, didengar dan

dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan

format sesuai dengan perkembangan teknologi

informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun

non elektrik .” Sedangkan, informasi publik adalah,

“Informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola,

dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik

yang berkaitan dengan penyelenggara dan

penyelenggaraan negara dan/ atau penyelenggara

dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang

sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi

lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.”

Istilah “badan publik” di situ mencakup lembaga

eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi

dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan

negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber

dari APBN/APBD, organisasi non pemerintah sepanjang

sebagian atau seluruh dananya bersumber APBN/

APBD, sumbangan masyarakat, dan atau luar negeri.

Dalam kasus lumpur Lapindo, seluruh informasi

publik terkait kasus ini adalah hak publik, yang bisa

diperoleh warga korban sendiri. Warga bisa meminta

informasi atau dokumen mengenai, misalnya:

s s s s s Data korban menurut BPLS yang harus iberikan

ganti rugi dan juga bantuan sosial dari Lapindo

maupun Pemerintah.

sssss Data hasil pengawasan BPLS mengenai berapa

jumlah ganti rugi yang telah diselesaikan oleh

Lapindo.

sssss Dokumen rencana Lapindo menuntaskan hingga

100 persen ganti rugi keseluruhan korban.

sssss Dokumen mengenai klaim asuransi Lapindo dan

dana yang diterimanya.

sssss Data resmi kondisi kesehatan di wilayah

terdampak maupun luar peta terdampak.

sssss Laporan Pertanggungjawaban Kerja BPLS

selama kasus ini berlangsung.

sssss Dokumen Rencana BPLS untuk menuntaskan

penyelesaian kasus lumpur Lapindo, anggaran,

dan jenis bantuan atau tindakan yang akan

diambil.

sssss Data resmi skema penyelesaian bantuan

pendidikan bagi anak-anak korban lumpur

Lapindo.

s s s s s Data resmi mengenai informasi keuangan

Kanal | Edisi 10 | 20094

pemerintah yang

membuktikan pemerintah tidak sanggup

membayar dana talangan bagi penyelesaian

ganti rugi warga korban lumpur Lapindo.

sssss Dokumen kontrak karya antara Pemerintah dan

Lapindo yang menunjukkan pembagian tanggung

jawab antara Pemerintah dan Lapindo.

Daftar ini masih bisa diperpanjang sejauh warga

korban maupun publik memerlukan. Informasi tersebut

akan menjadi landasan penting

bagi korban untuk melakukan

tuntutan hak-hak, termasuk

bantuan sosial dan penyelesaian

ganti rugi. Dalam hal ini, korban

berhak meminta tanggapan dari

Pemerintah, karena pemerintah

yang memiliki kewajiban untuk

memenuhi dan melindungi hak-

hak asasi korban, tak terkecuali

hak atas informasi.

Meminta InformasiUU KIP menandaskan,

warga korban maupun publik

berhak memperoleh setiap

informasi publik dengan cepat

dan tepat, biaya ringan dan cara sederhana.

Warga korban maupun publik bisa melakukan tahapan-

tahapan seperti berikut. Pertama, warga dapat membuat

surat permintaan informasi yang berisi permintaan

informasi yang disebutkan di atas satu persatu. Setiap

surat berisi satu permintaan atas satu dokumen publik.

Permintaan informasi juga dapat dilakukan bersama-

sama dengan korban yang lain. Namun surat tetap ditulis

masing-masing tetapi dokumen yang diminta tetap sama.

Kedua, permintaan tersebut dikirimkan ke BPLS,

misalnya, atau dapat diantar langsung. Surat itu ditujukan

untuk Pimpinan BPLS atau bagian humasnya. Jangan

lupa meminta tanda terima atas surat, dan tanyakan

kapan balasan atas surat ini bisa diperoleh, dan kepada

siapa meminta balasan surat ini, juga nomor telepon yang

bisa dihubungi untuk menanyakan balasan atas

permintaan informasi ini. Jika dibutuhkan alasan, maka

sebutkan alasannya adalah dokumen publik itu berguna

untuk korban meminta hak-haknya sesuai dengan

ketentuan undang-undang yang berlaku.

Ketiga , tanyakan sesuai waktu yang dijanjikan oleh

mereka. Menurut UU KIP, waktu permintaan maksimal

10 hari dengan perpanjangan 7 hari kerja untuk bisa

direspon oleh badan publik. Selama 17 hari mintalah

konfirmasi mengenai permintaan informasi anda.

Jika korban membutuhkan bantuan untuk melakukan

permintaan informasi, korban bisa meminta bantuan

organisasi masyarakat sipil setempat, misalnya Wahana

Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim. Organisasi tersebut

dan jaringannya bisa membantu melakukan pembuatan

surat maupun proses lanjutan setelah permintaan

informasi ditolak, misalnya, dan membantu melakukan

analisa informasi yang berhasil diperoleh.

Permintaan Ditolak?Korban Lapindo sendiri barangkali sudah terlalu

sering mengalami penolakan ketika meminta informasi

tertentu secara lisan, misalnya soal kapan ganti rugi

dicairkan. Jika permintaan informasi di atas juga ditolak,

atau tidak ada jawaban dan sudah ditanyakan langsung,

upaya hukum bahkan bisa ditempuh. Walhi Jatim dan

j a r i n g a n n y a dapat membantu proses

hukum ini untuk korban lumpur

Lapindo.

Sebagai ilustrasi, upaya

hukum soal merek susu

tercemar bisa disebutkan di sini.

Februari 2008 lalu, para

orangtua yang memiliki balita

diresahkan oleh hasil penelitian

yang mengatakan sejumlah

merek susu formula telah

terkontaminasi bakteri.

Penelitian tersebut dilakukan oleh

tim dari Badan Pengawas Obat

dan Makanan (BPOM), Menteri

Kesehatan, dan Institut Pertanian

Bogor (IPB). Karena nama-nama

susu tercemar itu tidak diumumkan, para orangtua

tidak bisa memilih merek susu apa bagi balita

mereka. “Mungkin keresahan dan kebingungan itu tidak

terlalu berlebihan jika pemerintah maupun pihak IPB

mengumumkan secara resmi nama-nama susu yang

tercemar bakteri,” ujar Ny Wiwin, warga Kota Bogor,

kepada Sinar Harapan. Menghadapi situasi ini, David

ML Tobing, salah satu orangtua yang mencemaskan

kesehatan balitanya, mengajukan gugatan hukum.

Tobing melayangkan gugatan terhadap tim peneliti

dari BPOM, Menteri Kesehatan, dan IPB. Tobing

menggugat agar ketiga institusi tersebut

mempublikasikan hasil penelitian mereka. Pada 20

Agustus 2008, Ketua Majelis Hakim Reno Listowo

mengabulkan gugatan tersebut. Pertimbangannya,

perbuatan ketiga institusi tersebut yang tidak

mengumumkan merek susu tercemar kepada publik

perbuatan melawan hukum seperti didalilkan Pasal 1365

KUH Perdata. “Tindakan menutup-nutupi informasi

adalah perbuatan melawan hukum,” ujar Reno Listowo

sebagaimana dikutip Kompas.

Tak ayal, dalam kasus Lapindo, sebagaimana

diutarakan di awal tulisan ini, tindakan menutup-nutupi

informasi telah menciptakan tidak hanya keresahan,

melainkan kerugian, di berbagai sektor. Publik dan

warga korban bisa melayangkan gugatan terhadap

badan-badan publik yang menghalang-halangi akses

informasi mengenai kasus yang berlarut-larut hampir tiga

tahun ini.

[Mujtaba Hamdi/Tanti Budi Suryani]

Kanal | Edisi 10 | 2009 5

ejumlah komponen masyarakat sipil

mendiskusikan problem ketertutupan informasi

kasus lumpur Lapindo. Diskusi meja bundar

(roundtable discussion) ini dilaksanakan di kantor Lembaga Bantuan

Hukum (LBH) Surabaya, Sabtu (28/2).

“Ketertutupan informasi ini hampir merata di semua

level,” kata Mujtaba Hamdi dari Lapis Budaya. Soal ganti

rugi, misalnya, warga tiba-tiba hanya tahu Lapindo tidak

mampu bayar. Sementara, Lapindo tidak pernah

mengumumkan kekayaan mereka. Pemerintah juga tidak

mempublikasikan posisi keuangan Lapindo yang

terlaporkan ke pihaknya. Di level lain, berbagai bahaya di

sekitar lumpur juga tidak diinformasikan ke warga. “Bahkan

5 Januari kemarin, ada rumah warga ambrol, dan

sebelumnya tidak ada informasi apapun tentang bahaya,”

imbuh Mujtaba.

Bambang Catur Nusantara dari Walhi Jatim

menuturkan, ketertutupan informasi soal pemboran sumur-

sumur gas merambah juga di wilayah lain, tidak hanya

Sidoarjo. “Jadi, publik tidak banyak tahu bahwa wilayah

Jatim Utara sudah dibor semua, ataupun akan ada sumur

baru di Jatim Selatan,” ujar Catur. Pemboran itu dilakukan

di wilayah padat huni, sehingga sangat berbahaya. Tapi

publik tidak pernah diberitahu, dan Pemerintah cenderung

menutup-nutupi. “Betapa kemudian informasi yang sangat

strategis tidak bisa diakses,” kata Catur. Analisis Catur ini

didukung Munir, aktivis lingkungan dari Forum Warga Peduli

Kenjeran. “Informasi yang tidak diketahui publik, Lapindo

tidak hanya di Porong, tapi ada juga di wilayah lain, 47

sumur. Wilayah padat huni. Ini kan berbahaya,” ujarnya.

Joeni Arianto Kurniawan, pengajar di Fakultas Hukum

Universitas Airlangga (Unair), menambahkan, ketertutupan

informasi di kasus Lapindo ini sangat parah. “Memang

aneh, ya, bagaimana mungkin saya punya lingkungan, saya

punya rumah, tapi kemudian di halaman sebelah saya mau

diapa-apain saya tidak tahu. Tiba-tiba rumah saya ambrol

begitu saja,” ujar Joeni. Bagi Joeni, problem ini sudah ada

sejak sebelum pemboran Lapindo dimulai. Berbagai

permasalahan hukum juga ditutup-tutupi, sejak perizinan

eksploitasi gas hingga penanganan semburan lumpur. “Ini

skandal,” tandas Joeni.

Bagi relawan yang sehari-hari hidup bersama korban

Lapindo, problem ketiadaan informasi bagi warga sangat

terasa. Ahmad Novik, warga asal Jatirejo yang kini aktif

sebagai relawan pusat informasi Kanal, menuturkan

bahwa sejak awal masyarakat setempat tidak pernah

diberitahu keberadaan Lapindo. “Semua tidak diketahui

warga. Soal tanah yang diperuntukkan pemboran, warga

tidak tahu. Tahunya untuk peternakan. Warga juga tidak

tahu adanya aktifitas pemboran. Baru tahu setelah muncul

semburan lumpur,” kisah Novik.

Begitu semburan muncul, warga pun tidak diberitahu

adanya bahaya, sehingga tidak siap jika terjadi sesuatu.

Rere Christanto, salah seorang relawan, mengungkapkan,

dalam penanganan bencana, termasuk bencana akibat

kesalahan manusia macam semburan lumpur Lapindo ini,

kata kuncinya adalah siaga. “Hampir tidak mungkin kita

omong kesiapsiagaan tanpa ada informasi,” ujar Rere.

Baginya, informasi adalah titik tolak. Selain itu, Rere juga

mengeluhkan, warga korban sendiri tidak bisa mengakses

informasi di pemerintahan soal tanah mereka. “Menurut

saya ini aneh. Orang mau tahu luas tanahnya sendiri tidak

bisa,” ucap Rere.

Senada dengan Rere, advokat dari Lembaga Hukum

dan Keadilan HAM Indonesia (LHKI) Subagyo

mengomentari jujur, “Kalau bicara right to know dalam

pelaksanannya di Indonesia, kita bisa berkesimpulan Indo-

nesia adalah negara terbelakang.” Dengan sungguh-

sungguh, Cak Bagyo memaparkan bagaimana meski dalam

Konstitusi, hak untuk tahu dijamin, tapi kebanyakan

kebijakan justru membatasi hak tersebut.

Imam Shofwan, jurnalis asal Pantau yang juga relawan

Kanal, memperlihatkan adanya ketidakseimbangan

informasi antara warga, pemerintah desa, pemerintah

daerah, dan pemerintah pusat. Imam mengusulkan agar

forum mengidentifikasi sumbatan-sumbatan informasi di

berbagai level itu. Sehingga, strategi untuk menuntut kembali

hak atas informasi bisa dirancang. Forum pun kemudian

melakukan analisis atas bentuk-bentuk informasi yang

ditutup-ditutupi dalam kasus Lapindo. Forum menyepakati

untuk menindaklanjuti dengan melakukan tuntutan bersama

atas informasi yang teridentifikasi tersebut.[ba]

Ketertutupan Informasi

Bahaya

S

Kanal | Edisi 10 | 20096

Tiga gelembung gas liar muncul di Ketapang,

Tanggulangin, Sidoarjo. Gelembung gas atau

bubble gas ini muncul di pinggir dan tengah sungai

Ketapang, tak jauh dari RT 08/03 dan di depan

rumah Suharjo (39 tahun), warga RT 08. Dua bulan

sebelumnya, warga RT 09 dan 08 mulai mencium

bau gas namun sumbernya baru dikethaui setelah warga

Ketapang terkena banjir sejak Selasa (24/2). “Sudah ada dua

bulan, ada air jadi kelihatan,” tutur Agus Setiawan (28 tahun),

warga RT 03 Ketapang.

Warga menjadikan gas liar ini sebagai mainan. Semburan

di pinggir kali diberi kaleng roti yang dilubangi, lalu api bisa

dinyalakan di atasnya. Warga Ketapang berkumpul

menyaksikan pertunjukan baru ini. Mereka tak tahu betul

bahaya gas-gas liar ini. Gas serupa juga muncul di Desa

Siring Barat, Jatirejo Barat, Besuki dan Mindi. Di Jatirejo

Barat, beberapa waktu lalu beberapa orang harus dilarikan ke

rumah sakit, karena menghirup gas yang tak berbau itu.

Ketua RT 8 Ahmad Sofa sudah melaporkan kejadian ini

kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), dan

hari Jumat (27/2) beberapa orang BPLS ditemani sekretaris

desa Ketapang mendatangi lokasi. Menurut Suharjo, setelah

menengok lokasi semburan selama setengah jam, BPLS

menyatakan tempat tersebut masih aman. Suharjo mendengar

informasi tersebut dari obrolan petugas BPLS dengan

sekretaris desa. Secara langsung, informasi tentang seberapa

berbahayanya semburan gas ini terhadap kehidupan warga

belum disampaikan pada warga.[mam]

Muncul di Ketapang

Setelah gagal memenuhi kesepakatan yang dibuat pada

awal Desember 2008, Lapindo kembali membuat janji baru

kepada korban lumpur. Dengan alasan mengalami krisis, PT

Minarak Lapindo Jaya (MLJ) kembali berjanji akan

membayar Rp 15 juta per keluarga per bulan. Bahkan

sebelumnya, untuk meyakinkan bahwa PT MLJ sedang

mengalami krisis, Vice President PT MLJ Andi Darussalam

Tabusalla, seperti yang ditulis Koran Tempo (20 Februari),

mengaku aset perusahaannya kini tersisa kurang dari Rp 100

miliar.

Celakanya, pemerintah untuk kesekian kalinya percaya

begitu saja kepada alasan krisis keuangan yang dikemukakan

oleh Lapindo. Padahal selama ini Lapindo belum pernah

mempublikasi hasil audit mengenai asset-asetnya ke publik.

Pihak Lapindo berkilah bahwa uang yang dimilikinya bukan

uang negara, sehingga tidak ada kewajiban untuk

mempublikasinya. Mungkin Lapindo lupa bahwa informasi

terhadap audit tersebut sangat penting untuk menyelesaikan

persoalan dengan korban lumpur secara lebih adil.

Hilangnya Hak Publik atas Informasi Lapindo

Gas Liar

Firdaus Cahyadi

Kanal | Edisi 10 | 2009 7

Pemerintah, yang memiliki mandat untuk melindungi

keselamatan rakyat, wajib memaksa Lapindo

mempublikasi hasil audit mengenai aset-asetnya

tersebut. Selama hasil audit tersebut belum dipublikasi,

terlalu naif rasanya untuk percaya begitu saja bahwa PT

MLJ sedang mengalami krisis keuangan. Betapa tidak,

seperti ditulis dalam buku berjudul Bahaya Industri

Migas di Kawasan Padat Huni, di luar sumur migas

Banjar Panji 1 (BJP-1) yang ditenggelamkan lumpur

panas, PT Lapindo ternyata masih menguasai

48 sumur migas (minyak dan gas) di blok

Brantas, yang meliputi Kabupaten

Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan. Selain

itu, Lapindo ternyata juga sudah

mendapatkan klaim pembayaran asuransi

atas sumur BJP-1 pada 2006. Nah, dari

fakta di atas, pertanyaannya kemudian tentu

saja adalah mungkinkah aset Lapindo kurang

dari Rp 100 miliar.

Hak publik atas informasi yang benar dalam

kasus Lapindo ini tampaknya secara

sistematis dihilangkan. Bukan hanya

mengenai aset Lapindo yang

terkait dengan persoalan ganti

rugi. Namun, sudah sejak

awal eksplorasi di blok

Brantas, hak publik atas

informasi juga terus-

menerus diabaikan.

Pada saat penentuan lokasi eksplorasi,

misalnya, publik tidak pernah diberi

informasi mengenai risiko kecelakaan

industri migas dengan kondisi geologis di

wilayah Porong, Sidoarjo. Publik pun tidak

pernah diberi informasi bahwa sebenarnya

penentuan lokasi sumur migas Lapindo tidak

sesuai dengan ketentuan Badan Standar Nasional

Indonesia tentang operasi pengeboran darat dan

lepas pantai di Indonesia.

Ketentuan Standar Nasional Nomor 13-

6910-2002 itu menyebutkan bahwa sumur

pengeboran migas harus dialokasikan sekurang-

kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel

kereta api, pekerjaan umum, perumahan, atau

tempat-tempat lain yang berpotensi

menimbulkan sumber nyala api. Sementara

itu, sumur BJP-1 hanya berada 5 meter dari

wilayah permukiman, 37 meter dari sarana

publik, dan kurang dari 100 meter dari pipa

gas Pertamina.

Setelah semburan lumpur panas keluar, hak publik

atas informasi semakin diabaikan. Semua informasi yang

terkait dengan kandungan racun lumpur Lapindo beserta

dampak buruknya seakan hilang ditelan bumi. Namun,

yang justru muncul di ruang publik adalah komentar

pejabat yang cenderung menyesatkan informasi. Mayjen

TNI Syamsul Mapparepa, yang pada saat menjabat

menjadi Panglima Kodam Brawijaya, misalnya, pernah

mengatakan bahwa lumpur Lapindo yang berwarna

kehitam-hitaman tersebut tidak mengandung racun.

Bahkan salah seorang pejabat Badan Penanggulangan

Lumpur Sidoarjo (BPLS) berani menjamin bahwa

lumpur Lapindo tidak berbahaya.

Padahal peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB),

Dr Dwi Andreas Santosa, menemukan kandungan logam

berat berupa cadmium (Cd), chromium (Cr), arsen,

merkuri, serta kandungan bakteri patogen (pembawa

bibit penyakit) seperti Coliform, Salmonella, dan

Staphylococcus aureus dalam lumpur Lapindo di atas

ambang batas yang dipersyaratkan. Bukan hanya air dan

lumpur yang mengandung racun, lumpur Lapindo juga

dinilai telah menyebabkan polusi udara di kawasan

Porong dan sekitarnya. Bahkan, terkait dengan

semburan lumpur Lapindo, dalam rekomendasinya

Gubernur Jawa Timur pada Maret 2008 telah

menyebutkan bahwa kandungan hidrokarbon di udara

telah mencapai 55 ribu ppm. Padahal ambang batas

normalnya hanya 0,24 ppm.

Hal itu kemudian diperkuat oleh temuan Walhi Jawa

Timur pada Oktober 2008 perihal adanya peningkatan

jumlah orang yang menderita ISPA (infeksi saluran

pernapasan akut) di Porong. Pada 2006, saat

muncul semburan lumpur Lapindo, jumlah

penderita ISPA mencapai 26 ribu orang,

namun pada 2008 meningkat menjadi 46 ribu

orang. Sayangnya, informasi yang dapat

mengancam keselamatan warga itu seperti tidak

dinilai penting oleh pemerintah. Hingga kini belum

ada tindak lanjut dari pemerintah atas informasi

tersebut. Padahal informasi itu sebenarnya dapat

digunakan pemerintah untuk melakukan tindakan

darurat guna menyelamatkan warga.

Disembunyikannya informasi yang berkaitan dengan

dampak buruk lumpur Lapindo bagi kesehatan manusia

jelas bukan sebuah kebetulan, melainkan sebuah

kesengajaan agar korban lumpur dan warga Porong

lainnya tidak menuntut ganti rugi di luar mekanisme

jual-beli aset fisik. Dari uraian di atas, sudah mulai

terlihat bahwa apa pun mekanisme yang dibuat

untuk menyelesaikan kasus Lapindo ini akan

selalu jauh dari kata adil bila hak publik atas

informasi mengenai kasus ini selalu

dihilangkan. Dengan sebuah informasi yang

benar mengenai kasus ini, akan diketahui

dengan mudah ganti rugi seperti apa yang

harusnya diterima oleh korban dan siapa

sebenarnya pihak yang harus bertanggung

jawab atas terjadinya semburan lumpur itu.

*) Knowledge Sharing Officer for Sustainable

Development, OneWorld-Indonesia

Artikel ini pernah dimuat Koran Tempo, 28

Februari 2009

Kanal | Edisi 10 | 20098

Pelatihan

Foto: Rahman

Bertempat di posko bersama, Desa Gedang, difasilitasi

relawan dari Yayasan Air Putih, beberapa remaja korban

lumpur Lapindo belajar membuat blog pribadi. Mereka

membuat ilustrasi foto, menulis kisah mereka sendiri, dan

menelola alamat blog di situs penyedia blog gratiis.“Ngeblog”