Post on 07-Aug-2015
description
Manajemen Hemoptisis yang Mengancam Jiwa di Daerah
Insidensi TB tinggi
Latar belakang: Penanganan darurat dengan hemoptisis yang mengancam jiwa di daerah
dengan insidensi tinggi tuberculosis (TB) di Universitas Stellenbosch dan Rumah Sakit
Akademi Tygerberg, Afrika Selatan. Tidak jelas apakah reseksi paru dapat diindikasikan
untuk mencegah kekambuhan yang sebelumnya dilakukan Embolisasi Arteri Bronkial
(EAB).
Tujuan: untuk mengevaluasi secara prospektif faktor risiko kekambuhan dari kriteria
seleksi untuk pembedahan diikuti embolisasi sebelumnya: hemoptisis kurang dapat
berhenti sempurna, kebutuhan untuk transfusi darah, aspergilloma dan tidak terdapat TB
aktif.
Desain penelitian: Studi intervensi prospektif dengan pemantauan selama 1 tahun.
Hasil: Dalam periode 7 bulan, 101 pasien konsekutif dirawat. Tujuh tidak termasuk dan
12 meninggal tidak lama setelah dirawat. Hemoptisis berhenti dengan pengobatan itu
sendiri dalam waktu 24 jam di 21 dari 82 pasien yang tersisa. Kematian dari 1 tahun
mereka adalah 10%. Sebelas dari 61 pasien ditujukan untuk embolisasi darurat meninggal
sebelum dipulangkan. Dari 50 pasien yang tersisa mempunyai risiko kekambuhan, 38
pasien (76%) dengan risiko rendah dan 12 pasien dengan risiko tinggi. Lima dari pasien
(10% dari mereka yang berisiko) menjalani operasi. Pasien dengan risiko rendah dan
yang dioperasi tidak mengalami kejadian apapun lebih dari 1 tahun, tetapi dua kematian
terjadi diantara tujuh pasien yang tidak dioperasi dengan risiko tinggi.
Kesimpulan: Pembedahan dengan reseksi paru setelah dilakukan EAB yang berhasil
untuk hemoptisis yang mengancam jiwa dapat dihindari secara aman pada pasien risiko
kekambuhan yang rendah.
Kata Kunci: Hemoptisis; Embolisasi Arteri Bronkial; Tuberkulosis; Aspergilloma
Hemoptisis masif dapat mengancam jiwa, baik sebagai hasil gangguan pertukaran
gas atau karena pecahnya pembuluh darah yang mengakibatkan kehilangan darah akut.
Tanpa pengobatan yang tepat, hemoptisis yang mengancam jiwa mempunyai angka
1
kematian sampai dengan 50-100%. Penyebab utama dari area yang terdapat penyakit
endemik adalah tuberkulosis (TB). Setelah stabilisasi fungsi-fungsi vital, umumnya
diterima pilihan-pilihan pengobatan yang termasuk observasi, embolisasi arteri bronkial
(EAB) dan reseksi pembedahan, yang membawa angka kematian meningkat sampai 40 %
ketika dilakukan sebagai prosedur darurat. EAB direkomendasikan sebagai metode
invasif pilihan pada pasien dengan TB paru. EAB adalah prosedur darurat yang ideal,
seperti risiko dari komplikasi yang rendah dan kontrol segera dari perdarahan dicapai
oleh 75-94% pasien. Namun, insiden dari perdarahan ulang jangka panjang tinggi.
Penelitian retrospektif memperlihatkan angka kekambuhan setelah dilakukan EAB
sebelumnya antara 18% dan 42%, dengan risiko yang tinggi terhadap kematian. Oleh
karena ini, tindakan kuratif, seperti pembedahan terhadap fokus perdarahan, sering di
anjurkan. Kepustakaan yang diterbitkan dan pengalaman klinis kami mengindikasikan
bahwa terdapat kelompok pasien dengan perdarahan ulang tidak terjadi dan yang EAB
atau pembedahan dapat tertahan aman. Pasien dengan hemoptisis yang mengancam jiwa
membutuhkan EAB darurat, dan apakah semua pasien membutuhkan pembedahan
konsolidasi untuk mencegah kekambuhan belum pasti.
Ditempat sumber daya yang terbatas, adalah suatu keharusan untuk memakai
pengobatan yang mahal, seperti reseksi paru atau EAB untuk pasien-pasien yang paling
ingin mendapatkan keuntungan. Studi sebelumnya di institusi kami mengidentifikasi 4
faktor risiko kekambuhan setelah EAB yang berhasil terhadap hemoptisis yang
mengancam jiwa, yaitu: kurangnya penghentian lengkap dari hemoptisis dalam 7 hari
setelah EAB, membutuhkan transfusi darah, aspergilloma dan tidak adany TB aktif. Skor
risiko untuk perdarahan berulang yang masif atau kematian setelah EAB dikembangkan
berdasarkan dari empat kriteria, yang terprediksi bahwa pasien dengan risiko rendah (0
atau 1 faktor risiko) mempunyai 10% peluang terjadinya perdarahan berulang yang tidak
fatal, sedangkan pasien dengan risiko tinggi (2-4 faktor risiko), mempunyai 73% peluang
terjadinya perdarahan berulang dan 31% peluang terjadinya kematian karena kambuhnya
hemoptisis.
Kami menghipotesiskan bahwa pemilihan pasien-pasien untuk reseksi paru
berdasarkan risiko memungkinkan penggunaan ekonomis sumber daya bedah tanpa
meningkatkan risiko jangka panjang kekambuhan dan kematian. Tujuan utama penelitian
ini adalah untuk mengevaluasi secara prospektif skor risiko diatas. Tujuan sekunder
adalah untuk mengobservasi dan mengkarakterisasi pasien dengan hemoptisis yang
mengancam jiwa yang tidak menjalani EAB darurat.
POPULASI PENELITIAN & METODE
Desain penelitian dan kriteria inklusi
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Akademik Tygerberg, rumah sakit pendidikan di
Cape Town, Afrika Selatan, dengan insidensi TB setiap tahun diperkirakan >1000 per
100.000 penduduk. Calon-calon potensial untuk EAB darurat adalah pasien-pasien
dengan kriteria sebagai berikut:
1) Hemoptisis >200 ml / jam atau 600 ml/24 jam,
2) Hipovolemia karena hemoptisis akut dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg, atau
3) Gagal napas karena hemoptisis akut yang memerlukan intubasi endotrakeal dan
ventilasi mekanik
Pasien dengan kondisi medis yang tidak terkait yang mungkin dapat bertahan hidup lebih
dari 1 tahun dan faktor-faktor tidak terkait yang mengganggu dengan keputusan
pengobatan tidak termasuk.
Pengumpulan data dan definisi
Dalam 7 bulan, 101 pasien konsekutif dengan hemoptisis yang mengancam jiwa dan
dievaluasi untuk penelitian ini. Penilaian dasar termasuk riwayat medis dan pemeriksaan,
hematologi rutin, koagulasi dan parameter serum kimia, sputum untuk pemeriksaan
mikroskopi dan kultur TB, dan foto toraks postero-anterior. Pada foto toraks, penyakit
paru struktural didefinisikan sebagai perubahan interstisial seperti garis subpleural,
parenchymal bands, formasi kistik dan fibrosis. Bronkiektasis terdiagnosis ketika
terdapat penebalan dinding bronkus, bayangan cincin kistik dan impaksi lendir terlihat.
Dugaan aspergilloma dikonfirmasi dengan computed tomography. Lima pasien
melakukan bronkoskopi diagnostik disamping dari perdarahan secara radiologi, atau
untuk investigasi dengan dugaan karsinoma bronkogenik. Syok hipovolemik
didefinisikan sebagai supine hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg) dengan tanda-
tanda perfusi jaringan yang tidak adekuat. Kriteria untuk transfusi darah adalah selain
3
penurunan hemoglobin sampai <10 g/dl dalam 6 jam pertama resusitasi cairan atau
kehilangan darah masif (>600 ml) dengan syok hipovolemik.
Strategi manajemen
Setidaknya satu dokter berpengalaman terlibat dengan penelitian mengunjungi pasien
dalam 24 jam masa perawatan untuk menentukan apakah BAE darurat terindikasi atas
dasar keparahan hemoptisis yang pengobatan medis sejak perawatan dan informasi dokter
tersedia pada waktu itu. Keputusan ini terdokumentasikan secara prospektif untuk
memberi izin audit retrospektif dari proses pengambilan keputusan klinis terhadap hasil
selanjutnya. Manajemen konservatif terdiri dari stabilisasi fungsi-fungsi vital dan
pengobatan medis yang optimal (antibiotik spektrum luas, sedatif, penekan rasa batuk
dan inhalasi dari nebulisasi vasokonstriksi agen) tanpa perawatan invasif seperti EAB
atau pembedahan.
Sebagai pilihan pengobatan invasif yang pertama, EAB dilakukan di departemen
radiologi dengan menggunakan partikel polivinil alkohol (Contour, Boston-Scientific,
Natick, MA, USA). Pembuluh darah yang dianggap bertanggung jawab atas perdarahan
saat itu dilakukan embolisasi selengkap mungkin. Pasien yang bertahan sampai
dipulangkan dievaluasi untuk pembedahan berpotensi untuk menghilangkan fokus
perdarahan menggunakan skor risiko dari 4 kriteria:
1). Tidak terdapat TB aktif, didefinisikan dengan BTA di sputum dan/atau kultur dengan
hasil positif Mycobacterium tuberculosis.
2). Aspergilloma
3). Kebutuhan untuk transfusi darah, dan
4). Kelanjutan hemoptisis dengan tingkatan apapun lebih dari 7 hari setelah EAB.
Setiap faktor risiko mempunyai 1 poin, hasil dari skor kemungkinan mempunyai risiko
yaitu 0-4. Risiko rendah dengan skor 0-1, sedangkan risiko tinggi dengan skor 2-4. Pasien
yang baik-baik saja tanpa EAB dan pasien dengan risiko rendah setelah EAB
dipulangkan dan diobservasi, dengan EAB atau pembedahan dilakukan untuk kasus
dengan kekambuhan dari hemoptisis. Pasien dengan risiko tinggi dievaluasi untuk
pembedahan menurut algoritma yang disetujui untuk reseksi paru. Dengan pasti, pasien
dianggap dapat dioperasi atau tidak dengan dasar volume ekspirasi paksa dalam satu
detik dan kapasitas difusi untuk pengukuran karbon monoksida, dilengkapi dengan kasus
borderline dengan studi fungsi split dan tes latihan.
Follow up
Pasien ditindak lanjuti dengan telepon 3,6, 9 dan 12 bulan setelah dipulangkan. Jika tidak
dapat dihubungi, dilakukan kunjungan rumah atau perjanjian klinik. Nilai akhir adalah
kekambuhan dari hemoptisis dan kematian. Hemoptisis yang berulang didefinisikan
sebagai ekspektorasi (batuk) >200ml darah dalam periode 24 jam atau berapapun jumlah
hemoptisis yang membutuhkan perhatian medis. Kejadian kecil dicatat apabila pasien
melaporkan hemoptisis yang hilang sendiri tanpa memenuhi kriteria diatas dan tanpa
pertolongan medis. Penyebab kematian diinvestigasi sejauh kondisi memungkinkan.
Statistika dan pertimbangan etik
Perbandingan antara kelompok dibuat menggunakan uji X2 untuk data kategori dan uji t
data kontinyu. Signifikansi yang digunakan adalah 5% (P<0.05). The Committee for
Human Research of the University of Stellenbosch menyetujui penelitian ini. Semua
pasien mendapatkan informed consent tertulis.
5
HASIL
Pasien
Karakteristik klinis dasar dari 101 pasien konsekutif yang dirawat dengan hemoptisis
yang mengancam jiwa terdaftar pada tabel 1. Mayoritas pasien mengalami TB aktif atau
kelanjutan dari TB sebelumnya, seperti bronkiektasis atau aspergiloma. Penyebab-
penyebab yang tidak berhubungan dengan TB adalah Ca Paru dan pengobatan
antikoagulasi. Tidak ada pasien yang didiagnosis dengan emboli paru, abses paru, infeksi
jamur, penyakit paru imunologis atau penyakit jantung yang mengakibatkan hemoptisis.
Tujuh pasien tidak termasuk karena karsinoma bronkogenik tingkat lanjut (n=3),
kehamilan (n=1), penyakit jantung koroner tidak stabil (n=1), tidak adanya persetujuan
(n=1) dan rujukan langsung ke departemen bedah tanpa konsultasi dengan tim peneliti
(n=1). Tersisa 94 pasien, 12 (13%) meninggal sebelum prosedur dilakukan, 21 (22%)
ditangani secara konservatif dan 61 (65%) dilakukan EAB darurat.
EAB dan stratifikasi risiko
Setelah EAB darurat, 11 pasien meninggal karena hemoptisis lanjutan yang tidak
terkontrol (n=7) atau dari komplikasi seperti pneumonia (n=2), kerusakan otak iskemik
(n=1) dan sepsis (n=1). 50 pasien bertahan hidup dan diklasifikasikan sebagai risiko
rendah (n= 38,67%) atau risiko tinggi (12,24%) dari kekambuhan dan kematian (tabel 2).
Seperti yang diharapkan, semua faktor yang digunakan untuk stratifikasi risiko lebih
sering pada kelompok risiko tinggi seperti bronkiektasis dan penyakit paru struktural.
Hanya 5 dari 12 pasien risiko tinggi yang dapat dioperasi dan berhasil dilakukan
lobektomi atau pneumonektomi. 7 pasien tidak dilakukan pembedahan karena tidak ada
persetujuan (n=2). Penyakit bilateral dengan fokus perdarahan yang tidak jelas (n=3),
non-resectability karena cadangan paru yang tidak cukup (n=1) dan tidak dapat dioperasi
karena kondisi umum yang jelek (n=1).
7
Hasil
Dua puluh satu pasien (22%) yang dianggap secara klinis cukup stabil tidak
membutuhkan EAB darurat. Secara retrospektif dibandingkan dengan pasien yang dipilih
untuk EAB (tabel 3), keputusan untuk menunda EAB dihubungkan dengan penghentian
hemoptisis dengan pengobatan medis sendiri dalam 24 jam, tidak membutuhkan transfusi
darah (keduanya P < 0.001), kecenderungan TB aktif sebagai penyakit yang mendasari
dan tidak terdapat aspergilloma. Tidak ada pasien yang dipulangkan tetapi 2 pasien
meninggal pada saat follow up dengan setidaknya satu disebabkan oleh kekambuhan.
Secara keseluruhan angka kematian 1 tahun pada pasien-pasien ini adalah 10%.
Sebelas dari mereka yang dipilih untuk embolisasi meninggal sebelum dipulangkan dan
dua lagi pada saat follow up. Setidaknya satu kematian karena hemoptisis masif yang
kambuh. Keduanya diantara tujuh pasien risiko tinggi yang tidak dilakukan pembedahan.
Pasien-pasien risiko rendah setalah EAB (n=38) dan yang dilakukan pembedahan (n=5)
tidak mengalami kekambuhan atau kematian. Hemoptisis minor terjadi hanya pada
sebagian kecil pasien yang tidak dilakukan pembedahan. Secara keseluruhan, angka
kematian selama 1 tahun pada pasien yang diembolisasi adalah 21%. Angka kematian
dari 10% pada kelompok yang ditangani secara konservatif tidak lebih bermakna
daripada pasien yang pulang setelah EAB berhasil (angka kematian 4%, P = 0.36).
DISKUSI
Penelitian ini menegaskan bahwa hemoptisis yang mengancam jiwa di daerah dengan
insidensi tinggi TB memiliki angka kematian yang tinggi, bahkan di pusat rujukan tersier
(24% dari keseluruhan pada penelitian ini). Pada penderita-penderita yang selamat
setelah EAB darurat berhasil, kami memvalidasi secara prospektif 4 kriteria pilihan yang
sebelumnya ditentukan untuk reseksi paru dan disediakan untuk pasien dengan:
1. Kurangnya penghentian lengkap hemoptisis dalam 7 hari setelah EAB
2. Membutuhkan transfusi darah
3. Terdapat aspergilloma
4. Tidak ada TB aktif
Pembedahan ini diperbolehkan untuk dihindari pada 38 dari 50 calon (76%) yang tetap
bebas dari kekambuhan hemoptisis masif sesudah 1 tahun dilakukan EAB. Kelompok
kecil pasien dengan respons awal yang baik terhadap pengobatan medis sendiri secara
klinis dipilih untuk tidak dilakukan EAB atau pembedahan. Kelompok ini memiliki hasil
di rumah sakit dan jangka panjang yang sama baik. Sebuah aturan baru kriteria pilihan
muncul dari karakterisasi retrospektif pasien-pasien ini, yang masih butuh untuk di
divalidasi sebagai sebuah alat untuk memilih pasien-pasien untuk pengobatan konservatif
atau EAB darurat.
Program anti tuberkulosis yang efektif sudah membuat hemoptisis yang mengancam jiwa
menjadi kejadian yang langka di dunia industrialisasi saat ini. Oleh karena itu, ada
kekurangan data prospektif dimana pedoman manajemen dapat dijadikan dasar.
Penelitian ini menambah sedikit pengetahuan tentang hemoptisis masif dengan cara yang
berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Pertama, entitas klinis yang jelas dari
hemoptisis yang mengancam jiwa diteliti secara prospektif pada pasien konsekutif,
sehingga menghindari bias dalam pemilihan dan tidak dilaporkannya hasil yang buruk
dengan memasukan kasus yang kurang berat atau hanya yang bertahan hidup dari awal
perawatan. Kedua, penelitian ini adalah penelitian lanjutan,yang dilakukan retrospektif di
institusi sama yang mengidentifikasi faktor-faktor risiko hemoptisis yang berulang
setelah EAB digunakan dan dilaporkan pada penelitian ini. Ketiga, penelitian ini
menggabungkan banyak kasus yang diambil selama waktu yang singkat dari satu rumah
sakit. Aspek positifnya adalah tingkat keadilan dalam membuat keputusan medis dan
9
intervensi teknis dan follow up lengkap selama 1 tahun.
Evaluasi prospektif dari kriteria pilihan untuk pasien post EAB dan reseksi paru sangat
berhasil. Dalam konteks manajemen sumber daya, sebelumnya 50 pasien yang berisiko
setelah EAB akan menjalani evaluasi pembedahan, hanya 12 pasien yang dievaluasi dan
hanya 5 pasien yang sebenarnya memenuhi syarat untuk menjalani pembedahan. Ini
berarti penghematan sumber daya yang signifikan sambil tetap mempertahankan angka
kekambuhan yang sangat rendah yaitu 4%. Lebih jauh, ini hanya terjadi pada pasien-
pasien yang diidentifikasi sebagai risiko tinggi tetapi tidak dapat dibedah.
Bagian observasional dari penelitian ini menyelidiki secara retrospektif kriteria mana
yang diterapkan saat menentukan apakah merujuk atau tidak pasien untuk EAB darurat.
Faktor-faktor terkuat dihubungkan dengan keputusan untuk mengobati secara konservatif
adalah penghentian hemoptisis dalam 24 jam dan kurangnya anemia yang bergantung
transfusi. Hal ini masuk akal, seperti ini adalah penanda keparahan dan persistensi
perdarahan. Faktor-faktor minor adalah tidak terdapat aspergilloma dan TB aktif, yang
diketahui menjadi faktor risiko dari penelitian sebelumnya. Hasil di rumah sakit yang
tidak banyak peristiwanya dan angka kematian jangka panjang yang rendah hanya 10%
pada pasien adalah hasil baik yang mengejutkan. Namun, hanya 21% dari populasi
penelitian yang dipilih untuk observasi, mungkin karena keengganan para dokter untuk
menunda prosedur yang dapat menyelamatkan jiwa dalam ketiadaan kriteria yang
umumnya diterima atas yang bergantung. Sebuah alat keputusan resmi sekarang dapat
dibuat menggunakan data yang menunggu evaluasi berhasil pada kohort baru dari pasien,
dapat secara signifikan meningkatkan proporsi pasien yang tidak dilakukan pengobatan
invasif. Ini mungkin juga diartikan bahkan kedalam manajemen sumber daya yang lebih
baik.
Keterbatasan penelitian ini adalah hasilnya relevan hanya untuk daerah-daerah dengan
insidensi TB yang tinggi dihubungkan dengan hemoptisis. Penemuan kami tidak berlaku
jika hemoptisis disebabkan oleh kasus lain seperti underlying neoplastic disease, kelainan
pembuluh darah atau penyakit sistemik lain selain TB, seperti pada kasus-kasus
hemoptisis yang kurang parah dan pengobatan adalah variabel yang bergantung pada
penyebab yang mendasari. Penelitian ini juga tidak termasuk kasus kronis, hemoptisis
yang tidak mengancam jiwa merupakan sebagian besar indikasi EAB di banyak tempat.
KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukan bahwa hemoptisis yang berhubungan dengan TB sering terjadi
di daerah dengan insidensi TB yang tinggi, memiliki angka kematian yang tinggi dan
berkontribusi secara bermakna pada biaya pelayanan kesehatan. Ini membuat strategi
pengobatan terdengar secara medis dan ekonomis yang penting. Penelitian ini
menunjukan bahwa saat EAB dilakukan harus diikuti oleh stratifikasi risiko dan
pembedahan harus dilakukan hanya pada pasien risiko tinggi. Lebih secara tentatif, kami
mengidentifikasi kriteria pilihan untuk pasien yang menerima pengobatan konservatif di
awal dapat diambil. Seperti strategi berdasarkan risiko yang cenderung menggunakan
EAB dan atau pembedahan hanya pada pasien yang membutuhkan sambil
mempertahankan angka kekambuhan dan kematian yang rendah setelah pulang dari
rumah sakit.
11