Post on 18-Oct-2015
description
TROBOSAN
AD
VER
TISI
NG
Edisi interaktif OPINI, 7 aPRIL 2014
Politik Untuk Mahasiswa, Edukasi atau Indoktrinasi (?)
TROBOSAN
- e
dis
i In
tera
ktif
Op
ini -
Ap
ril 2
01
4
Sekapur Sirih, Esensi Politik
Halaman 2
Sikap, Menyoal Kepekaan Masisir
Halaman 3
Opini I, Masisir, Antara Apatisme dan Sikap Positif
Halaman 4
Opini II, Masisir Berpolitik, Why Not?
Halaman 5
Opini III, Masisir Berpolitik, Pentingkah?
Halaman 6
Opini IV, Al-Quran Itu Pedoman, Bukan Mainan!
Halaman 7
Opini V, Bagaimana Hubungan Ideal Mahasiswa
Dengan Politik?
Halaman 8,14
Opini VI, Politik Aktif Dua Arah
Halaman 9
Opini VII, Masisir dan Politik
Halaman 10
Opini VIII, Masisir, Antara Politik dan Ideologi
Halaman 11, 14
Opini IX, Realitas Kita & Urgensi Politik Tingkat
Tinggi
Halaman 12, 15
Opini X, Politik Untuk Mahasiswa, Edukasi atau
Indoktrinasi?
Halaman 13, 14
Terbit perdana pada 21 Ok-tober 1990. Pendiri: Syari-fuddin Abdullah, Tabrani Sabirin. Pemimpin Umum: Heni Septianing Pemimpin Redaksi: Supriatna. Pem-impin Perusahaan: Ainun Mardiyah. Dewan Redaksi: Tsabit Qodami, M. Hadi Bakri. Reportase: Abdul Latif Harahap, Ahmad
Ramdani, Fachry Ganiardi, Rijal W. Rizkillah, Thai-burrizqi Ananda Hafifuddin, Zammil Hidayat, Ahmad Bayhaqi, Ikmal Al Hudawi, Aulia Khairunnisa, Is-ti`anah, Difla Nabila, Maimunah Hamid, Ukhti Muth-mainnah Hamid,. Editor: Fahmi Hasan Nugroho. Lay Outer: Abdul Malik Pembantu Umum: Keluarga TROBOSAN. Alamat Redaksi: Indonesian Hostel-302 Floor 04, 08 el-Wahran St. Rabea el-Adawea, Nasr City Cairo-Egypt. Telepon: 22609228, E-mail: terobosanmasisir@yahoo.com. Facebook : Terobo-san Masisir. Untuk pemasangan iklan, pengaduan atau berlangganan silakan menghubungi nomor tel-epon : 01158270269 (Heni), 01122217176 (Fahmi), 01110578138 (Ainun)
Di tengah persiapan mahasiswa al-
Azhar (baca: mahasiswa Indonesia) da-
lam menjelang ujian termin akhir mulai
memanas, persaingan partai politik pun
turut ikut memanasi Masisir seiring
mendekatnya pesta demokrasi pemilu
2014.
Secara serempak semua partai gen-
car menarik simpatisan guna mencari
suara dan popularitas. Berbagai kampa-
nye dilakukan. Sayangnya, sebagian par-
tai mengimplementasikan politiknya
secara praktis, memperjualkan agama di
hadapan simpatisan, beranggapan bahwa
methode perpolitikan yang diterapkan
sesuai pembenaran Islam. Namun, sikap
apatis mereka muncul ketika diajak dia-
log terkait pembenaran politik secara
Islami. Acuh tak acuh.
Tak luput dari itu semua, Indonesia
sebagai negara penduduk terbanyak
mayoritasnya Muslim, budaya dan tradisi
yang beragam, serta ribuan suku dan ras
yang berbeda-beda. Tentunya Indonesia
sangat memiliki peran penting di kancah
dunia Islam, terutama dilihat dari sisi
politiknya. Apakah implementasi perpoli-
tikan yang selama ini terjadi di Bumi
pertiwi sesuai dengan ajaran Rasulullah
dan para Sahabatnya?
Syekh Usamah Sayyid al-Azhari
pernah berkata Allah SWT marah kepa-
da orang yang mengambil agama sebagai
mainan, sementara sebagian orang
mengambil agama sebagai wasilah atau
alat untuk kepentingan-kepentingan poli-
tik.
Ungkapan diatas sudah menjadi ba-
rang realita bahwa politik selalunya men-
cakar segala cara untuk kemenangan
partainya. Sehingga tak ayal intensitas
partai mereka melambung tinggi, semen-
tara status agama mereka sudah terco-
reng dari nama baik Islam.
Lantas, dengan demikian apakah
mereka yang ngakunya partai Islamisasi
yang tabu sebaiknya tidak diperun-
tunkan menguasai kursi-kursi pejabat,
disamping cara pola pikir dan gaya im-
plementasi perpolitikannya yang ber-
beda dan mengundang anarkisme
masyarakat?
Pada hakikatnya, semuanya sah-sah
saja, terlebih ia yang nantinya
menduduki kekuasaan harus melayani
umat bukan hanya golongannya saja.
Namun yang mesti digaris bawahi adalah
merubah pola pikir fanatik yang mewa-
bah dalam dirinya.
Berangkat dari itu semua
TROBOSAN di edisi sekarang cukup
lumayan berbeda dari edisi sebelumnya,
karena TROBOSAN di Edisi khusus
sekarang menyajikan opini-opini terkait
perpolitikan dan Masisir yang kini men-
jadi bahan sorotan nusantara.
Menyaksikan aksi unjuk gigi semua
partai ketika berkampanye, juga berdam-
pak pada praktik poliitik. Lantas penera-
pan politik seperti apakah yang dinilai
cara berpola pikirnya tidak selayaknya
gambaran diatas?
Kritik dan saran dari pembaca sanga-
tlah kami nantikan. Karena dengan kritik
dan saran andalah kami akan bangkit
dan berdiri untuk mendongkrak
semangat penulis dan khususnya para
kru TROBOSAN. Terima kasih kami
ucapkan dari lubuk hati kami yang paling
dalam, atas saran dan kritik yang telah
anda sampaikan pada kami selama ini.
Selamat membaca! []
Esensi Politik
Doc. Google.com
TROBOSAN
- edisi In
teraktif O
pin
i Ap
ril
Rubrik Sikap adalah editorial buletin TROBOSAN. Ditulis oleh tim redaksi TROBOSAN dan mewakili suara resmi dari TROBOSAN terhadap
suatu perkara. Tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab redaksi.
esta demokrasi di negeri kita kem-
bali digelar. Seperti pawai lima
tahunan yang wajib diramaikan.
Kampanye dengan segala atributnya
telah digencarkan. Pun bisik-bisik ten-
tang masa depan bangsa lebih dahulu men-
jadi topik hangat yang dimuat berbagai
ragam media. Semarak itu sampai juga di
Mesir yang mayoritas WNI-nya mahasiswa
dan pelajar. Masisir.
Pemilu Caleg DPR RI sudah di depan
mata. Caleg dari beberapa partai juga sudah
unjuk gigi dalam ragam cara kampanye-nya.
Kalau mau sedikit kritis, ada yang patut
dicurigai dari praktik kampanye yang meli-
batkan beberapa lembaga belajar al-quran
di Kairo kemarin. Karenanya patut diper-
tanyakan, apakah lembaga yang mengkaji
kitab suci itu layak diseret dalam arena
perpolitikan?
Tapi politik memang begitu. Partai
beserta segenap anggotanya adalah agen
politik yang memiliki tujuan bersama.
Kekuasaan. Maka berbagai cara untuk men-
cari perhatian dan meraup suara dilakukan.
Oleh karena itu, Masisir sebagai insan akad-
emis seharusnya jeli dan kritis dalam me-
nyikapi berbagai fenomena berbau politik
disekitarnya.
Di sisi lain, nampaknya sikap kritis dan
kepekaan Masisir patut dipertanyakan juga.
Hal ini dapat kita lihat dengan berkaca pada
pemilu lima tahun lalu. Tepatnya pemilu
tahun 2009. Antusiasme masisir terhadap
pemilu tanah air saat itu dapat terlihat dari
diselenggarakannya sosialisasi pemilu oleh
PPLN pada tahun sebelumnya, tepatnya di
akhir tahun 2008. Tidak tanggung-
tanggung, acara digelar dengan menyewa
gedung ACC yang megah. Sementara tahun
ini, meskipun diiming-imingi Lomba kolom
dengan hadiah yang menggiurkan, sosial-
isasi pemilu di Limas pada 23 Maret lalu
hanya mampu menarik minat 200 Masisir
saja. Nampaknya sosialisasi lewat kalender
PPLN yang kertasnya tebal dan mengkilap
itu lebih luas jangkauannya di Masisir.
Mungkin Masisir sekarang sudah mulai
menutup mata dengan praktik politik para
politisi tanah air. Lihat saja! Dalam kurun
lima tahun belakangan, partai mana yang
tidak terungkap korupsi dan kebusukan di
dalamnya? Banyak jejak hitam eksponen
politisi tanah air yang berujung pada
kekecewaan rakyat akan carut marutnya
politik di negeri sendiri. Mau tak mau,
Masisir yang juga WNI di negeri orang ikut
merasakannya. Barangkali itu pula yang
menambah lesu antusiasme Masisir dalam
pemilu 2014 ini.
Seharusnya wajah perpolitikan tanah
air yang sudah tercoreng itu membuat
Masisir lebih kritis. Idealnya, mahasiswa
merupakan kaum cerdik pandai yang men-
jadi saluran penyambung antara penguasa
(baca: pejabat pemerintahan) dengan
masyarakat biasa. Menutup mata akan fe-
nomena perpolitikan-yang nantinya
mengesahkan pejabat pemerintahan- berar-
ti menyumbat saluran antara pemerintah
dan masyakarat. Mirisnya, fenomena itu
mulai nampak batang hidungnya di Mesir.
Lihat saja yang nampak sekarang, hubungan
Masisir dengan KBRI misalnya, hanyalah
sebatas birokrasi dan hubungan yang hanya
tersambung dengan proposal dan dana.
Jika kita lihat pada skala yang lebih
kecil, dalam dinamika perpolitikan Masisir
yang disetir oleh PPMI misalnya. Saat ini,
siapakah yang masih peduli dengan induk
organisasi Masisir tersebut?
Banyaknya permasalahan dalam tubuh
PPMI yang diekspos oleh media tak lebih
menjadi angin lalu. DPP PPMI yang tiba-tiba
berubah menjadi broker dadakan, carut
marut Camaba yang selalu berulang dan tak
kunjung terselesaikan. Perjalanan SGS yang
semakin jauh dari relnya, dan semakin hari
semakin nampak cacatnya. Namun siapa
lagi yang mau peduli? Mau tak mau awak
media gigit jari, berita yang seharusnya
mencambuk kepekaan Masisir itu tidak
mendapat feed back yang setimpal dengan
harapan.
Fungsi pemangku kebijakan dalam
tubuh PPMI (baca: MPA, BPA dan DPP) tak
banyak yang tahu apalagi peduli, padahal
saat Pemilu Raya digelar kursi PPMI selalu
diperebutkan. Tidak dipungkiri, masing-
masing kelompok saling sikut kanan-kiri
agar orangnya bisa tampil di depan. Na-
mun selepas itu kembali sepi. Seolah-olah
PPMI hanyalah milik suatu kelompok yang
pentolannya telah duduk di kursi Presiden.
Pun tidak banyak yang peduli apakah
jalannya 3 lembaga inti PPMI itu sesuai
fungsinya atau tidak. Sungguh aneh, toh jika
akhirnya kembali sepi, apa yang sebenarnya
diperebutkan saat pemilu raya. Jika toh,
PPMI tidak lagi menjadi tempat mengasah
kemampuan Masisir untuk berorganisasi.
Mengapa fenomena ketidakpedulian ini
terus terjadi? Apakah SGS dalam PPMI telah
ditinggalkan pegiat dan perumusnya, se-
hingga ia berjalan seperti anak ayam ke-
hilangan induknya? Ataukah memang
Masisir sudah benar-benar angkat tangan
dengan induk organisasi mereka sendiri?
Tentu tidak serta merta kita berharap
bahwa pembenahan dalam induk organisasi
Masisir ini dilakukan oleh generasi selanjut-
nya, tanpa peran dari generasi yang tengah
menjabat saat ini. Mewarisi generasi baru
dengan kecacatan generasi sebelumnya,
dengan harapan agar mereka mampu
melakukan pembenahan, ibarat memad-
amkan api dengan bensin.
Jika saja kita masih menutup mata ter-
hadap permasalahan yang nyata terjadi di
sekitarnya, maka bukan hal yang tidak
wajar, terhadap urusan nasional tanah air
yang lebih besar juga kita tidak peduli. Acuh
tak acuh. Jika terhadap permasalahan kecil
saja tidak semua dapat bersikap peduli,
apakah Masisir masih berhak untuk peduli
dengan permasalahan yang lebih besar? []
Menyoal Kepekaan Masisir
TROBOSAN
- e
dis
i In
tera
ktif
Op
ini -
Ap
ril 2
01
4
Masisir panik. Pesta demokrasi yang
sebentar lagi dihelat menjadi akar perkara.
Banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia di
Mesir tidak tahu harus berbuat apa dalam
pemilu 5 April nanti. PPLN (Panitia Pemili-
han Luar Negri) telah mengadakan sosial-
isasi, tapi acara beranggaran besar itu seper-
tinya belum cukup mengusir kebingungan.
23 Maret lalu, di Aula Limas, PPLN punya
hajatan besar, sosialisasi pemilu. Agenda
dikemas dengan presentasi pemenang lomba
kolom dan dilanjutkan dengan debat per-
wakilan parpol. Yang unik, di tengah presen-
tasi, lampu mati. Menurut saya, kejadian itu
menyuguhkan metafora yang tepat sekali: di
tengah glamornya usaha pemerintah mem-
populerkan pemilu, kelamnya apatisme
Masisir tak dapat seluruhnya diterangi.
Belum lama ini, saya baca komentar di
facebook kerabat saya bahwa golput akan
menang. Sebelumnya, seorang kawan yang
lain menulis status yang membela prinsip-
prinsip golput. Teman sekamar saya juga
bilang tidak akan memilih. Dia beralasan
selain tidak mengenal caleg yang maju,
kekecewaan terhadap wakil rakyat yang
menjabat saat ini juga membuatnya memu-
tuskan abstain.
Apatisme ini sebenarnya tak jauh beda
dengan wabah pesimisme yang melanda
masyarakat Indonesia secara umum. Masisir
hanya cermin kecil pemantul wajah asli dina-
mika politik nasional. Karim Raslan, penulis
berkebangsaan Malaysia yang sangat
memerhatikan dinamika kebangsaan Indo-
nesia, mengatakan bahwa kampanye politik
edisi kali ini adalah yang paling suram. Ka-
rim, yang punya proyek Ceritalah Indonesia,
telah mengikuti perkembangan politik na-
sional sejak 1999.
Karim meneliti antusiasme masyarakat
di dua propinsi paling padat penduduk, Jabar
dan Jatim. Di Sidoarjo, Karim menemukan
Nugroho, 57 tahun, yang menyatakan akan
golput karena muak dengan politik uang
para caleg. Di Ponorogo, ia berjumpa dengan
Arif, pemulung sampah usia 31 tahun yang
bilang bahwa pemilu legislatif hanya sebuah
kemubaziran. Tak akan ada yang berubah,
ujar Arif. Akibat keadaan ini, Karim menyim-
pulkan bahwa masalah utama bangsa Indo-
nesia saat ini bukan lagi perihal disintegrasi,
tetapi kekecewaan masyarakat yang mening-
kat terhadap demokrasi nasional.
Menurut saya, kekecewaan semacam ini
wajar. Kita sama-sama muak dengan marak-
nya kasus korupsi, kelambanan dan tidak
efektifnya pemerintah, perilaku buruk elit
politik, juga seperti yang teman sekamar
saya bilang, ketidaktersediaan calon legislatif
yang ideal. Hal ihwal ini membuat orang
banyak berpikir bahwa barangkali golput
adalah solusi instan.
Tetapi apakah benar golput akan me-
nyelesaikan masalah? Secara tidak langsung,
tidak menggunakan hak pilih adalah mem-
berikan legitimasi bagi pemenang pemilu
yang belum tentu menyuarakan aspirasi kita.
Dr Hamid Fahmi Zarkasyi, cendekiawan
Muslim tanah air, menyuarakan retorika
menohok untuk mereka yang berniat golput:
Jika Anda tidak mau ikut pemilu karena
kecewa dengan pemerintah, atau anggota
DPR, atau parpol Islam, itu hak Anda. Tetapi
jika Anda dan jutaan orang lain tidak ikut
pemilu maka jutaan orang fasik, sekuler, lib-
eral, atheis, akan ikut pemilu untuk berkuasa
dan menguasai kita. Niatlah berbuat baik
meski hasilnya belum tentu sebaik yang
engkau inginkan.
Lebih jauh, golput dapat menimbulkan
gonjang-ganjing politik hingga mengancam
persatuan nasional. Bayangkan jika ke-
banyakan orang, karena putus asa dengan
keadaan saat ini, memutuskan untuk tidak
ikut berpartisipasi. Akibatnya, pemerintah
akan kehilangan legitimasi, kemudian tiap-
tiap kelompok komunis, radikal, anarkis, dll
- merasa berkuasa atas negri ini. Perang
saudara bisa jadi akan menjadi masa depan
buruk bangsa ini.
Bahwa demokrasi nasional saat ini ber-
jalan buruk, kita sama-sama mengetahui.
Namun kita juga tak boleh menutup mata
bahwa masih banyak hal positif dalam dina-
mika kenegaraan kita. Indonesia adalah
negara demokratis terbesar ketiga di dunia.
Anis Baswedan, rektor Universitas Para-
madina, menyebutkan bahwa salah satu sisi
positif negara ini adalah kedewasaan politik.
Peserta konvensi capres partai Demokrat ini
menjelaskan lebih jauh bahwa sebenarnya
ada banyak sekali kasus dalam pilkada. Teta-
pi semua kasus itu selesai di meja peradilan
lalu masing-masing pihak berbesar hati
menerima putusan hakim. Yang jadi masa-
lah jika setiap pihak yang tak puas turun ke
jalan lalu bakar-bakaran semua -seperti di
Timur Tengah-, ujar Anis. Sikap bangsa In-
donesia yang legowo itu, kata Anis, adalah
tanda bangsa beradab.
Perlu diperhatikan bahwa Indonesia
adalah bangsa yang masih muda dalam pen-
carian sistem pemerintahan ideal. Sepatut-
nya kita menyadari bahwa dalam proses
pencarian itu akan ada trial and error.
Amerika Serikat saja pernah mengalami
perang saudara sebelum menjadi negara
super power. Yang dibutuhkan Indonesia
sekarang adalah solusi berwujud peran aktif,
bukan sikap apatis.
Kita harus optimis masalah demi masa-
lah dapat diselesaikan dengan sikap politik
yang aktif, cerdas dan tepat. Bukankah
korupsi, efektifitas pemerintah, perilaku elit,
dapat ditanggulangi dengan memilih wakil
dengan integritas baik. Pula, bila masalahnya
adalah ketidaktersediaan calon yang dibu-
tuhkan masyarakat, mengapa tidak meman-
taskan diri menjadi wakil rakyat?
Tidak menggunakan hak suara, seperti
menggunakannya, adalah opsi. Tetapi setiap
pilihan memiliki konsekuensi, dan golput
dapat membawa akibat yang amat buruk.
Dalam khazanah keislaman, para salaf
menggunakan istilah setan bisu untuk
mereka yang diam dari kebenaran. Bagi saya,
golput termasuk golongan itu. Bukankah
dalam demokrasi, setiap individu dijamin
kebebasan menyuarakan kebenaran?
Bahkan kebenaran versi apa saja.
Maka, Masisir sebagai komunitas akade-
mis, menurut saya perlu mempertimbangkan
lebih jauh sikap politiknya. Kita bukanlah
masyarakat tak berpendidikan yang men-
dasari setiap pilihan tanpa pertimbangan
nalar berpikir dan landasan ilmiah. Kita ada-
lah komunitas terdidik yang tindak tan-
duknya jadi teladan. Terutama karena kita
adalah entitas pelajar yang mayoritas-
berkecimpung dengan khazanah keilmuan
Islam. Tugas kita adalah menjadi pionir yang
mendorong perspektif optimis dan harapan
atas masa depan bangsa ini. Karena
masyarakat yang tak punya harapan, kata
Gulen, akan lumpuh.
*Penulis adalah Mahasiswa tingkat
akhir Jurusan Aqidah Wa Falsafah.
Masisir, Antara Apatisme dan Sikap Positif Oleh: Kurniawan Saputra*
Masyarakat yang tidak memiliki
harapan akan lumpuh, M Fethullah
Gulen.
TROBOSAN
- edisi In
teraktif O
pin
i Ap
ril
Doc. Foto PPMI
Masisir Berpolitik, Why Not? Oleh: Salman Arif*
Akhirnya rakyat Indonesia masuk pada
tahun yang mana para pengamat politik me-
nyebutnya dengan "Tahun Politik". Tahun ini
adalah moment dimana calon wakil rakyat
unjung gigi, bursa calon presiden tumpah
ruah. Suhu demokrasi kembali memanas,
bahkan hawanya menerobos garis teritorial
hingga menyapa para Masisir di Negeri
Firaun.
Kalau kita perhatikan, ada segmen baru
dalam roda aktivitas Masisir. Biasanya
Masisir sibuk dengan aktivitas kuliah, bisnis,
organisasi (politik non-praktis) dan berbagai
macam aktivitas lain, maka saat ini ada seg-
men dimana Masisir lebih intens berbicara
tentang kepemimpinan, cita-cita dan masa
depan bangsa. Tiba-tiba banyak yang
"keranjingan" berbicara politik bahkan ikut
"latah" perpartisipasi dalam politik praktis.
Terkait pesta rakyat yang sedang ber-
langsung, fakta membuktikan bahwa Masisir
terbagi dalam 3 golongan. Golongan pertama
adalah mereka yang simpati dengan partai
politik. Partai politik masih dipercayai men-
jadi penampung aspirasi publik dan masih
dipandang sebagai salah satu instrument
menuju bangsa yang berperadaban. Indone-
sia masih punya wajah. Generasi dengan
background religius seperti Masisir akan bisa
mengubah atsmosfir politik yang penuh in-
trik dan aroma busuk menuju arena yang
asyik dan menyenangkan.
Bukti kongkritnya, biasanya hanya PKS
yang hadir di tengah-tengah Masisir, akhirn-
ya PKB, Nasdem dan beberapa parpol ikut
menemani. Walaupun dalam tatanan praktis,
ada yang perlu diperbaiki. Sebagai contoh
kecil tentang pengelolaan sosial media resmi
perwakilan partai yang seharusnya merupa-
kan white account, dilain kesempatan kadang
berubah menjadi grey account yang
digunakan untuk demarket-
ing rival poli-
tik. Semo-
ga
hal
ini men-
jadi pembela-
jaran menuju aktor politik yang lebih dewasa
dan profesional.
Penulis sangat mengapresiasi sikap poli-
tik seperti ini karena masih ada Masisir yang
vokal berjuang dalam jalur ini. Karena me-
mang, laju politik harus dikawal oleh orang-
orang berlatar belakang agama yang paham
timbangan baik dan buruk sehingga kursi
wakil rakyat tidak didominasi oleh para
pelacur politik. Dan kita patut berbangga
dengan banyaknya caleg dari rahim Masisir
yang berkiprah di dunia politik dengan latar
belakang parpol yang beragam.
Golongan kedua adalah golongan yang
antipati dengan politik. Dalam perspektif
kelompok ini mengatakan bahwa politik itu
kotor. Tak ada kawan atau lawan abadi da-
lam kamus politik, yang abadi hanya satu
yaitu kepentingan. Seseorang bisa menjadi
sangat jahat dan baik dan sulit mengklasifi-
kasikan tokoh baik dan tokoh jahat tersebut.
Belum lagi kasus-kasus yang menerpa partai
politik. Semuanya menjadi abu-abu. Hingga
mereka cendrung apolitik yang berujung
pada golput saat pemilu. Mereka terbelenggu
dengan jargon yang mereka gaung-gaungkan
yaitu independent. Mereka selalu mengkritik
namun mereka tidak mampu memberikan
solusi yang relevan atas problematika bang-
sa. Satu lagi sikap para barisan anti politik
yaitu adanya usaha mendepolitisasi kegiatan
politik walaupun kegiatan itu diperuntukkan
untuk konstituen politik.
Sebenarnya masih banyak orang-orang
baik yang duduk dikursi parlemen walaupun
jumlahnya minoritas, hanya saja mereka
kalah voting dalam hak angket yang mem-
ihak pada rakyat. Kalau yang terjadi seperti
ini maka logikanya pelaku golput tidak etis
dan tak berhak mengkritisi kinerja
pemerintah karena mereka tak ikut ber-
partisipasi dalam euforia pesta demokrasi.
Yang paling menarik adalah apa yang
dikatakan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, MA.,
M.Phil (Ketua MIUMI), "Jika anda tidak mau
ikut pemilu karena kecewa dengan
pemerintah dan anggota DPR, atau parpol
Islam, itu hak anda. Tapi ingat jika anda dan
jutaan yang lain tidak ikut pemilu maka
jutaan orang fasik, sekuler, liberal, atheis
akan ikut pemilu untuk berkuasa dan men-
guasai kita. Niatlah berbuat baik meskipun
hasilnya belum tentu sebaik yang engkau
inginkan." Belum lagi statement Aa Gym, Ust.
Yusuf Mansur dan Habib Rizieq semakin
membantah mitos bahwa agama berseber-
angan dengan politik. Kiyai dan santri/
jebolan pesantren harus care terkait hub-
ungan politik dengan isu keumatan.
Golongan ketiga adalah-- golongan yang
melek politik tapi tidak terjun dalam politik
praktis. Alasannya beragam, ada yang kelak
ingin berdakwah secara normal dan mem-
bina generasi penerus. Ini masuk akal dan
layak diapresiasi karena semua kita harus
masuk dalam ruang lingkup keindonesiaan
yang konperhensif menuju Indonesia yang
lebih maju.
Sebenarnya politik itu sangat urgent dan
tidak ada sekat antara politik dengan tujuan
Masisir menuntut ilmu ke Mesir ini. Apabila
keduanya bergabung dan berakumulasi da-
lam satu bentuk maka itu akan menciptakan
percepatan kematangan diri saat terjun ke
masyarakat saat pulang ke tanah air. Masisir
akan mudah beradaptasi dan cepat berbaur
saat bergabung dengan parpol atau LSM ter-
tentu. Politik juga tidak mempengaruhi pres-
tasi akademik. Tanpa menyebutkan parpol,
banyak kader partai tertentu meraih mumtaz
dan melanjutkan study ke jenjang magister
dan doktoral. Politik dan akademik keduanya
berjalan seiringan tanpa mendahului satu
sama lain. Walaupun sebenarnya semua
kembali pada individu masing-masing.
Disisi lain memang terbentuk banyak
friksi di tubuh Masisir. Dalam politik,
gesekan dan ketegangan yang sering terjadi
di sosial media merupakan suatu yang wajar.
Walapupun kelemahan ini menjadi sasaran
bully dan adu bomba para barisan anti poli-
tik namun hal ini akan menjadi pembelajaran
menuju Masisir politik yang matang.
Terakhir, apapun sikap politik anda, jan-
gan sampai merusak hubungan horizontal
sesama Masisir. Perbedaan itu wajar, keraga-
man itu indah. Kolaborasi golongan dengan
misi keindonesian bersama golongan dengan
misi keumatan itu yang barangkali akan
menjadikan bangsa kita hebat dan kuat.[]
*Penulis adalah mahasiswa Universi-
tas Al-Azhar, Fakultas Syariah wal Qanun,
Jurusan Syari'ah Islamiyah
Doc. Google.com
TROBOSAN
- e
dis
i In
tera
ktif
Op
ini -
Ap
ril 2
01
4
Melihat definisi politik yang telah
dikatakan oleh para tokoh itu, kita bisa me-
mahami bahwa politik adalah hal yang mulia,
dan aktifitasnya merupakan suatu ibadah.
Namun tak bisa dipungkiri, pada kenyataanya
politik tidak lepas dari trik-trik yang licik dan
menghalalkan segala cara untuk mencapai
kekuasaan.
Semua warga negara Indonesia di luar
negeri mempunyai hak suara yang sama. Mes-
kipun jumlah WNI yang berada di Mesir hanya
berjumlah sekitar empat ribu jiwadan
mayoritas adalah mahasiswa, tapi geliat poli-
tiknya cukup hangat. Banyak yang mengatakan
bahwa Masisir adalah fotokopiannya Indone-
sia. Di Masisir hampir semua lembaga afiliatif
tersedia, seperti NU, Muhammadiyah, Persis
dan yang lainnya. Pun begitu ketika menjelang
pemilu, beberapa wakil partai politik unjuk
gigi untuk berebut suara.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah:
Apakah penting bagi Masisir untuk terlibat
langsung dalam politik praktis? Dalam kata
lain, apakah penting dan pantas mahasiswa
menjadi pengurus parpol tertentu? Belum atau
tidak ada kata sepakat tentang jawabannya.
Namun di sini penulis akan mencoba
mengemukakan beberapa pendapat yang
beredar di Masisir terkait hal itu. Ada yang
mengatakan penting, adapula yang menga-
takan tidak penting.
Pertama, pendapat yang mengatakan bah-
wasanya tidak penting bagi Masisir untuk
terjun langsung ke dunia politik praktis.
Alasannya, kedatangan Masisir ke bumi Mesir
ini adalah untuk belajar, bukan untuk berpoli-
tik.
Politik memang tidak selalunya kotor, tapi
masuk ke dunia politik juga sulit untuk tetap
bersih. Tujuan belajar adalah mencari kebena-
ran, dan mencari kebenaran dalam politik itu
bukan ikut-ikutan terjerumus ke dalam
kepentingan sesaat. Kuliah lancar, me-
manfaatkan waktu sebaik-baiknya, menjalin
hubungan baik dengan KBRI dan berinteraksi
dengan sesama warga Indonesia atau non
Indonesia adalah hal-hal yang seharusnya
menjadi topik politik Masisir.
Masih menurut pendapat yang pertama
ini, kalau ingin belajar berpolitik lebih dalam,
bukankah sudah ada PPMI dan kekeluargaan?
di sana terdapat pembelajaran berpolitik, teru-
tama di PPMI yang menganut sistem Trias
Politika. Warna politik di PPMI sudah mirip
dengan politik di Indonesia, ada Pemilu Raya
dengan segala atributnya; kampanye, debat
kandidat dan lain sebagainya. Demikian juga di
kekeluargaan yang kurang lebih sama.
Jika tujuan politik adalah untuk mense-
jahterakan rakyat, maka belajar politik di or-
ganisasi Masisir adalah pilihan tepat. Sebelum
mengurus rakyat banyak, belajar dulu mengu-
rus kawan-kawan yang notabene adalah sesa-
ma mahasiswa, bukan ikut berkecimpung di
politik praktis.
Lagi pula, pemilu hanya berjalan lima ta-
hun sekali. Jika standar masa belajar di al-
Azhar adalah empat tahun, maka tidak semua
orang bisa belajar berpolitik lewat partai. Ten-
tu tidak cukup belajar satu kali dalam lima
tahun, karena sesunggunya belajar politik itu
perlu waktu yang lama. Mahasiswa berpolitik
praktis justru merobohkan citra mahasiswa
itu sendiri yang sejatinya adalah insan intel-
ektual. Hal itu terkait sebagian Masisir yang
terjun dadakan menjelang pemilu. Adapun
bagi mereka yang sepanjang tahun bergelut di
dunia politik, karena memang mereka adalah
kader partai politik tertentu yang selalu aktif
di Masisir, mereka terkesan telah lompat dari
tujuan asli sebagai pelajar atau mahasiswa dan
memilih jalur yang sebenarnya bukan jalurn-
ya.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa
Masisir perlu berpolitik praktis. Alasannya
adalah bahwa mahasiswa yang berada di Me-
sir adalah WNI juga. Jika di Masisir terdapat
berbagai organisasi afiliatif, kenapa parpol
tidak? Asal bisa tertib dan rapi, tidak menjadi
masalah jika mahasiswa berpolitik. Toh itu
merupakan sebuah pembelajaran dalam dunia
perpolitikan.
Masih menurut pendapat ini, di lingkungan
mahasiswa Indonesia di Tanah Air terdapat
BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) yang mem-
bawahi kegiatan mahasiswa yang bersifat
ekstra. Dari sanalah kawan-kawan mahasiswa
Indonesia belajar berorganisasi, sekaligus
belajar berpolitik. Dalam hal ini, PPMI dan
kekeluargaan di Masisir--meskipun sudah
menganut sistem Trias Politika, belum bisa
disamakan dengan BEM, karena aktifitas PPMI
masih dalam lingkup mahasiswa saja, tidak
melebar ke warga Indonesia yang non maha-
siswa. PPMI seperti OSIS di SMP atau SMA
yang ruang lingkupnya adalah sekolahan. Jadi
belum cukup untuk menjadi tempat belajar
berpolitik.
Alasan yang tidak kalah pentingnya adalah
masalah kesempatan. Banyak yang menga-
takan bahwa mahasiswa yang kuliah di Indo-
nesia lebih banyak kesempatannya untuk
menjadi politisi, karena mereka berada di
Tanah Air. Sementara Masisir yang jauh di luar
negeri sulit untuk menggapai kesempatan itu.
Sebuah proses politik bukanlah abra kadabra
seperti tukang sulap yang satu kali jadi. Karier
politik memerlukan proses panjang. Masisir
juga berhak untuk menjadi seorang politisi,
supaya dengan keilmuan dan kesalehannya
bisa mewarnai perpolitikan di Indonesia. Ka-
lau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau tidak di
Mesir, lalu di mana lagi? Memang benar bahwa
politik tidak bisa lepas dari uang. Tapi justru
itulah yang menjadi tantangan Masisir;
bagaimana menghindari praktek politik uang
yang kotor itu.
Masisir yang berpolitik bisa menjadi
percontohan untuk Indonesia, bahwa politik
ala mahasiswa adalah bersih. Dari dua pen-
dapat di atas, penulis ingin menyimpulkan
bahwasanya Masisir berpolitik itu penting.
Selain untuk belajar, Masisir yang berpolitik
secara bersih juga bisa menjadi percontohan
bahwa mahasiswa al-Azhar mampu berpolitik
secara bersih. Namun ada yang lebih penting
dari sekedar berpolitik, yaitu belajar di al-
Azhar dengan sungguh-sungguh, karena al-
Azhar lah yang membuat sebagian besar
Masisir datang ke bumi Mesir ini. Kata orang
bijak, jangan sampai mencari jarum melupa-
kan kapak, mengejar hal yang tidak begitu
penting tapi meninggalkan hal yang sangat
penting. Jangan karena niat belajar berpolitik,
belajar di al-Azhar terlupakan.
*Penulis adalah Mahasiswa tingkat III
jurusan Syariah Islamiyah.
Masisir Berpolitik, Pentingkah? Oleh: Ahmad Hujaj Nurrohim*
Ada banyak definisi tentang politik. Se-
mentara pakar mengatakan bahwa politik
adalah seni untuk mencapai kekuasaan, dan
kekuasaan adalah alat untuk mengatur negara
dan memakmurkan rakyat. Menurut mantan
Mufti Mesir, Syekh Ali Jumah, politik adalah
riyat syun al-ummah fi al-dakhl wa al-
khrij (menjaga urusan umat dari luar dan
dalam). Barangkali definisi beliau itu merujuk
kepada Imam al-Ghazali yang mengatakan
bahwa politik adalah alat untuk mengatur
manusia demi mencapai kebahagiaan dunia
dan akhiratnya.
TROBOSAN
- edisi In
teraktif O
pin
i Ap
ril
Salah satu penafsiran yang muncul ada-
lah pengkaitan nomer urut surat di dalam al
-Quran dengan nomor urut sebuah partai.
Mereka dengan sengaja tanpa memper-
hatikan beberapa syarat dan ketentuan
kaidah penafsiran, mencoba -lebih tepatnya
memaksakan untuk mengambil kesimpulan
antara makna surat tersebut dengan partai
yang dimaksud. Hal ini tentunya tidak
dibenarkan, karena semua kesimpulannya
benar-benar tidak rasional.
Semua penafsiran tersebut secara lang-
sung untuk meraup simpati masyarakat,
karena mungkin jika dikaitkan dengan al-
Quran maka akan memunculkan nilai atau
kesan lebih baik. Contohnya ketika ada sa-
lah satu partai yang bernomer urut 24,
maka sebagian mereka (red: oknum)
mengaitkan nomer tersebut dengan surat
yang ada di dalam al-Quran yang di mana
surat ke-24 adalah surat al-Nur. Sehingga
mereka pun mengambil kesimpulan bahwa
partai tersebut dalam segala hal seperti
cahaya.
Jika memang seperti itu, berarti partai-
partai lain selain partai tersebut adalah
kegelapan? Apakah ada syarat atau tahapan
-tahapan di mana sebuah partai bisa
dikatakan partai yang bercahaya?
Sungguh tidak masuk akal. Bisa jadi ada
partai lain yang sepak terjangnya sebaik
partai tersebut atau mungkin lebih baik
sehingga lebih pantas disebut partai yang
bercahaya.
Ada lagi sebagian simpatisan (red: ok-
num) partai PAN yang mengajak masyara-
kat untuk mendukung mereka karena di
dalam al-Quran hanya partai tersebut yang
disebut, Kullu man alaihaa faan.
Penafsiran seperti ini benar-benar harus
ditiadakan, karena bisa mengotori pema-
haman orang awam khususnya terhadap al-
Quran. Di sisi lain apa yang telah dilakukan
ini sesuai dengan larangan Allah bahwa kita
dilarang untuk menjual ayat-ayat Allah
dengan hal-hal yang tidak berharga. Allah
berfirman, ... dan janganlah kamu jual ayat-
ayat-Ku dengan harga murah ... (QS. Al-
Maidah: 44).
Memang benar dewasa ini telah muncul
metode penafsiran al-Quran perspektif poli-
tik, namun tidak seperti di atas caranya.
Satu hal yang penting dalam metode ini
adalah menjaga kefanatikan terhadap
sebuah paham, seorang individu atau ke-
lompok. Artinya, ketika menafsirkan ayat,
khususnya yang berkaitan dengan hukum
bermasyarakat, maka seyogianya untuk
menjauhkan sifat kefanatikan. Karena jika
tidak, maka penafsiran tersebut secara
langsung akan cenderung mengikuti hawa
nafsu.
Saya di sini tidak membenci mereka
secara individu atau kelompok, namun
membenci cara mereka dalam menarik
simpati masyarakat yang sangat keliru,
apalagi menggunakan al-Quran. Al-Quran
itu pedoman, bukan mainan!
Di sisi lain, yang perlu dicatat adalah
salah satu kesimpulan yang kurang benar
bahwa al-Quran (red: agama) tidak bisa
dibawa-bawa ke dalam ranah politik karena
bisa menodai kefitrahan agama. Sebagaima-
na yang dituliskan Syeikh Ghadlban dalam
mukadimah bukunya, Al-Manhaj Al-Siyasi li
Sirah Nabawiah, bahwa politik itu cender-
ung dengan hal-hal busuk, najis dan jauh
dari kebaikan, sedangkan agama itu suci,
bersih, sesuai dengan norma dan nilai-nilai
kebaikan. Sehingga keduanya tidak bisa
disatukan, seperti minyak dan air.
Hal di atas tentu keliru, karena jika
benar maka apa bedanya saya dengan orang
-orang liberal yang berusaha menyebarkan
pemahaman bahwa agama hanya ada di
masjid saja sedangkan hal-hal di luar masjid
yang berhubungan dengan sosial, agama
tidak berkepentingan.
Apa yang dipahami orang-orang liberal
sebetulnya merendahkan agama Islam ka-
rena sebagaimana yang kita ketahui bahwa
Islam dengan al-Quran dan sunnah
Rasulullah Saw. sebagai pedoman, men-
cakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada
satu pun perkara di dalam ke-
hidupan, kecuali su-
dah ada
pen-
jelasannya di dalam agama
Islam. Bahkan salah satu sabda Rasulullah
Saw. ada yang mengandung kata siyasah
atau politik. Kaanat banu Israil tasuusuhum
al-Anbiya (HR. Bukhari).
Pada akihirnya kita bisa mengambil
beberapa poin penting. Pertama, agama dan
politik benar-benar tidak bisa dipisahkan
seperti halnya yang dipahami orang-orang
liberal. Namun sebaliknya, karena sifat aga-
ma Islam yang universal, maka politik pun
termasuk cakupannya, sebagaimana yang
dikatakan Syeikh Ghadlban bahwa politik
dengan segala apa yang terkait dengannya
harus dikontrol atau di bawah naungan
hukum syari.
Kedua, sebagai insan akademis, kita
secara tidak langsung bertanggungjawab
dengan hal-hal yang terjadi di Indonesia,
khususnya pesta demokrasi. Jika ada hal
yang mengganjal atau bertentangan dengan
agama, maka seyogyanya kita meluruskann-
ya meski melalui tulisan yang mungkin tid-
ak dibaca banyak orang, tapi kita minimal
sudah memberikan kontribusi positif untuk
membangun Indonesia menjadi lebih baik.
Ketiga, bagi partai yang merasa menjadi
representasi dari agama, maka perlu hati-
hati dalam melangkah. Karena menurut
saya, dewasa ini agama bukan lagi menjadi
pedoman untuk berpolitik, tapi sebagai alat
berpolitik. Hal inilah yang ditakutkan, kare-
na jika ada kebijakan-kebijakan yang jauh
dari nilai dan norma agama, maka masyara-
kat pun akan memandang negatif, bukan
kepada partai saja tetapi juga pada agama
itu sendiri.
*Penulis adalah Mahasiswa tingkat
akhir jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin.
Setelah munculnya mufasir kesasar,
Abu Marlo dan penafsiran keliru tentang
musibah Gunung Kelud, baru-baru ini kita
kembali dikagetkan dengan adanya
penafsiran al-Quran yang dikaitkan dengan
kepentingan-kepentingan mereka dalam
meraup kekuasaan dalam kancah politik.
Tidak tau apa alasan atau argumen mereka,
yang jelas mereka telah menyalahgunakan
al-Quran demi sebuah kepentingan sesaat.
Padahal al-Quran sebagai kitab suci, terlalu
mulia jika digunakan untuk kepentingan
duniawi yang cenderung kotor tersebut.
Al-Quran Itu Pedoman, Bukan Mainan! Oleh: Hilmy Mubarok*
TROBOSAN
- e
dis
i In
tera
ktif
Op
ini -
Ap
ril 2
01
4
Bagaimana Hubungan Ideal Mahasiswa Dengan Politik? Oleh: Ahmad Sastriawan Hadi*
Ada beberapa hal dari dinamika politik
mahasiswa yang banyak mengundang tanya.
Apakah itu latar belakang yang menyebabkan
para mahasiswa pegiat politik ini begitu
ngotot dan fanatik terhadap partai tertentu,
ataukah semangat berpolitik yang jarang
sekali kita temui tandingannya di dalam ak-
tivitas-aktivitas mereka yang lain.
Kemudian dalam berbagai kesempatan,
kita seringkali terheran-heran dengan eksis-
tensi sikap politis mereka yang kian menjadi-
jadi seiring dekatnya pemilu. Bahkan bebera-
pa kawan mahasiswa ataupun mahasiswi
yang selama ini kita kenal sebagai sosok pen-
diam dan pemalu, kini begitu lantang
mengkampanyekan partai mereka, dan tidak
segan-segan lagi untuk memamerkan momen-
momen politis mereka bersama teman separ-
tai.
Lalu di dalam ranah dunia maya, artikel-
artikel politis mereka akhir-akhir ini semakin
banyak menghiasi timeline kita. Bahkan tidak
jarang kita temui argumen-argumen ten-
densius mereka, agar kita memilih partai
tertentu. Sehingga, semua hal yang berkaitan
dengan suksesnya propaganda politis ini,
tidak akan luput dari perhatian mereka.
Kita pun bertanya-tanya, bagaimana par-
tai politik ini masuk ke dalam kehidupan
mereka, hingga layaknya sebuah mazhab?
Mengapa mahasiswa politik ini begitu intens
melakukan aktivitas politiknya? Apa motif
yang melatarbelakangi mereka melakukan hal
demikian? Lalu seperti apa hubungan ideal
mahasiswa dengan politik?
Pertanyaan-pertanyaan di atas, tentu
sangat sulit untuk penulis jawab, mengingat
penulis --dan harus diakui-- termasuk golon-
gan mahasiswa yang antipati dengan politik
praktis ala mahasiswa.
Namun penulis berani menjamin adanya
relasi yang dipaksakan saat mereka mengait-
kan kepentingan politis mereka dengan aga-
ma maupun masyarakat. Jika anda tidak
percaya, lihatlah editorial media partai politik
masisir yang berjudul "Anak-Anak Cinta".
Dalam artikel ini anda akan mendapati
bagaimana berbagai macam kegiatan sebuah
partai politik, yang nyata-nyata
dibelakangnya ada kepentingan politis --
terlepas dari nilai positif dan negatifnya--
dikait-kaitkan dengan mauqif-mauqif Nabi
yang semuanya bersumber dari wahyu.
Sungguh jauh antara kepentingan politis
kekinian dan wahyu. Sungguh jauh antara
cinta Nabi dengan cinta yang di belakangnya
ada kepentingan politis. Sungguh jauh antara
rahmatan lil alamin dan cinta yang diobaral-
obral untuk sebuah suara di parlemen dan
beberapa kursi di kementerian.
Penulis juga berani menjamin adanya
analisis tendensius, saat membaca media
partai politik dan tulisan-tulisan lepas mereka
di media sosial. Jika ada ragu, simaklah
bagaimana tendensiusnya analisis seorang
mahasiswa yang merupakan kader partai
tertentu di Mesir. Lihatlah bagaimana ia
dengan yakinnya menegaskan bahwa jika
Islam tidak didakwahkan lewat kekuasaan,
maka Islam hanya akan ada di buku-buku dan
masjid-masjid. Tidak hanya itu, ia menam-
bahkan, "Bahkan bisa saja jika buku-buku dan
surau-suraunya pun tidak akan dibiarkan
ada."
Penulis tidak menafikan pentingnya
dakwah lewat kekuasaan. Namun anda tidak
bisa mendiskreditkan begitu saja peranan
masjid sebagai sekolah sosial dan buku se-
bagai realisasi intelektual. Jika masih ragu
juga, lihatlah al-Azhar pada Revolusi 1919, ke
-Sunni-an rakyat Mesir pada zaman Dinasti
Fatimiyah, Muhammadiyah dan pendidikan
Indonesia, Hizmet dan Fethullah Gu len, Islam
dan proses penyebarannya di nusantara, dan
lain-lain.
Semuanya membuktikan bahwa tidak
selamanya Islam harus didakwahkan lewat
kekuasaan. Begitu juga tidak selamanya
penggunaan kekuasaan selalu berhasil dalam
menyebarkan dakwah. Bahkan, tidak jarang
jika masjid --yang notabene adalah sekolah
sosial-- menjadi hulu revolusi melawan tirani.
Jadi, tidak salah jika penulis menegaskan bah-
wa anda terlalu overaktif dengan kek-
hawatiran anda yang berlebihan, ketika Islam
tidak didakwahkan lewat kekuasaan.
Oleh karena itu, meskipun penulis tidak
ikut-ikutan nimbrung ke dalam sebuah partai
politik, paling tidak apa yang ditampakkan
oleh para mahasiswa pegiat politik --secara
verbal maupun literer-- bisa menjadi acuan
untuk mengetahui nafsiyah dan aqliyah mere-
ka, terkait dunia politik yang mereka geluti.
Sehingga kita, sedikit tidak bisa meraba-raba
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas.
Dalam hal ini penulis menggunakan pendeka-
tan mental untuk menjawab tiga pertanyaan
pertama. Sedangkan untuk pertanyaan tera-
khir, penulis menjawabnya dengan
menggunakan pendekatan nalar.
Mari kita jawab tiga pertanyaan pertama
tersebut! Jika kita ingin mengetahui bagaima-
na partai politik ini masuk ke dalam ke-
hidupan mahasiswa, lalu menjelma layaknya
sebuah mazhab, maka setidaknya kita harus
tahu sebuah titik yang mempertemukan tabi-
at mahasiswa dan partai politik tersebut.
Sudah maklum jika mahasiswa selalu
terpukau dengan hal-hal yang membakar
idealisme mereka. Sudah maklum juga jika
darah muda mereka selalu condong kepada
hal-hal yang bersifat revolusioner, baik dalam
agama maupun negara. Begitu juga dengan
hal-hal lain yang menjadi ciri khas gaya pikir
dan tabiat mahasiswa.
Di sisi lain, ada semacam kecocokan anta-
ra idealisme yang diusung partai politik ter-
tentu dengan tabiat mahasiswa yang ber-
sangkutan. Sehingga tak ayal, terjadilah per-
temuan, lalu kekaguman, hingga diakhiri
dengan fusi. Di samping itu, ada semacam
asupan mental dari pegiat partai yang senan-
tiasa menjaga keberlangsungan fusi tersebut.
Fusi inilah yang menjadikan partai yang
didukung oleh mahasiswa layaknya sebuah
mazhab, yang secara tidak langsung
menuntut penganutnya untuk fanatik dan
selalu berbaik sangka terhadap petinggi ma-
zhabnya.
Selanjutnya jika kita ingin tahu mengapa
mahasiswa pegiat politik itu begitu intens
berkampanye berikut motifnya, maka kita
harus kembalikan itu semua kepada petinggi
partainya. Iya, para petinggi partai itulah otak
dari semua aktivitas mahasiswa dalam
kegiatan politisnya. Dengan begitu, anda tidak
Lanjut ke hal. 14...
Doc. Google.com
TROBOSAN
- edisi In
teraktif O
pin
i Ap
ril
Pemilu bukan acara satu-satunya dalam
kehidupan bernegara. Bukan berarti
mengecilkan arti dari pemilu. Adalah benar
bahwa pesta ini merupakan rangkaian acara
terbesar dalam demokrasi, tapi bukan segala
-galanya. Layaknya mengadakan sebuah
acara, keberhasilan dari acara tersebut tidak
hanya sekedar keberhasilan secara teknis,
tapi keberhasilan yang sesuai dengan target-
target jangka panjangnya. Sebagai mana
sebuah pesta apapun, ia membutuhkan
persiapan yang dalam dan matang dari jauh-
jauh hari.
Euforia pesta pemilihan wakil-wakil
baru rentan kehilangan makna. Apa maksud
kehilangan makna? Maksudnya bisa jadi
acara ramai, orang banyak, media ribut, tapi
yang lebih besar dari pada itu adalah bahwa
kontrak-kontrak politik perjanjian antara si
pemilih dan si calon wakil harus tetap
dikawal. Komunikasi rakyat dengan calon
wakil tidak boleh hanya terjadi secara instan
beberapa saat jelang pemilu. Selanjutnya
akses rakyat untuk mengetahui kinerja para
wakilnya harus semakin diperluas dan
berkelanjutan hingga berakhirnya masa
kerja.
Pada saat yang sama dengan pemilu juga
diadakan pertanggung jawaban dalam
sidang MPR. Tanpa memberikan porsi yang
memadai untuk pertanggung jawaban ini,
seolah-olah pemilihan umum hanya seperti
lingkaran dengan jalur berputar-putar disitu
saja. Memilih lagi dan lagi tanpa evaluasi.
Parameter paling akurat dalam
mengevaluasi para wakil adalah cita-cita
bangsa sebagaimana yang termaktub dalam
pembukaan UUD 1945 berupa negara yang
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Wakil-
wakil mana yang mampu membawa rakyat
menuju negara yang telah dicanangkan
dalam cita-cita bangsa. Pertanyaannya
adalah apa wadah bagi rakyat untuk
melakukan evaluasi dan pengukuran itu?
Biasanya cita-cita negara secara simbolis
menjadi pusat perhatian hanya pada saaat
dirgahayu kemerdekaan. Anehnya selama
masa pemilu menyinggung hal ini seolah
tabu. Persaingan para kompetitor untuk
mendapat suara rakyat murni berisi intrik-
intrik perebutan kursi. Mengapa kita sebagai
konstituen tidak sepakat untuk menilai
parpol atau calon anggota DPR dan DPD
secara personal berdasarkan kriteria
implementasi dari cita-cita negara yang
dirumuskan oleh pendiri bangsa. Setidaknya
harus ada mobilisasi opini secara besar
rakyat menginginkan negara yang bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.
Yang diinginkan dalam negara yang kuat
dan berpotensi besar adalah peran serius
tidak hanya dari wakil tapi juga dari yang
terwakilkan. Berakhirnya pesta pemilu raya
adalah titik awal dimulainya peran
pengawalan oleh konstituen sebagaimana
menjadi titik awal pekerjaan wakil terpilih.
Sebagaimana wakil yang duduk di kursi
basah penuh fasilitas terobsesi
mempergunakan berbagai haknya,
konstituen juga tidak boleh lengah dan
malas mengawasi. Agar periode pemilu
mendatang tidak menjadi ajang caci maki
ketidakpuasan sepihak. Arah kebijakan
negara diharapkan terlaksana secara
berkesinambungan di jalurnya menuju cita-
cita. Pada akhirnya, setiap pemilu adalah
hasil persiapan luar biasa besar, rumit dan
panjang beberapa tahun sebelumnya.
Berdasarkan model politik aktif dua arah
ini kita anggap penting dan kita inginkan
anak-anak semenjak kecil diajarkan secara
netral bagaimana itu negara. Negara
sebenarnya adalah kesepakatan. Setiap
anggota negara berjuang menyatukan
persepsi dan langkah secara jujur untuk
tetap berada di garis kesepakatan itu.
Barangkali kondisi negara tempat kita
tinggal saat ini dapat menjadi pelajaran.
Perjanjian atau kesepakatan bernegara tidak
kuat. Akhirnya tidak ada imun agar tidak
tumbang. Negara bisa tidak memiliki MPR
dan DPR dalam waktu lama. Suatu waktu
bahkan tanpa kabinet.
Kita berharap dapat membangun negara
yang dewasa, mandiri, dan komitmen
dengan cita-cita bersama. Hal ini hanya bisa
dilakukan oleh penyelenggara yang netral
dan atau orang-orang yang secara praktis
tidak berkepentingan seperti ormas dan elit
pelajar dan mahasiswa.
Nalar kritis yang menjadi ciri mahasiwa
belumlah cukup jika tidak dibarengi dengan
antusias keterlibatan dalam agenda para
penyelenggara negara. Jika poin terakhir
diabaikan, mahasiswa menjadi kelompok
kuat yang tidak menyadari potensinya. Di
dalam tataran teori, sebagai contoh,
mahasiswa dapat saja fasih mengkritik
sistem demokrasi. Sesungguhnya di saat
yang sama, tuntutan realita nan mendesak
mengharuskannya untuk terjun langsung
dalam mekanisme sumbang peran yang ada.
Mahasiswa tidak boleh malas untuk
bersinggungan secara langsung dengan
wakilnya sebagai konstituen aktif. Berbagai
kesempatan audiensi, ambil bagian dalam
juridical review terhadap wakil rakyat,
optimalisasi kesempatan dengar aspirasi
dalam tugas reses anggota dewan, dan
sebagainya, idealnya menjadi fokus peran
politik mahasiswa. Dengan iklim politik
seperti ini masalah-masalah mendasar
akibat sistem demokrasi yang dianut negara
dapat diurai.
Sebagai contoh kasus, permasalahan
mendasar demokrasi bahkan di negara
kampiunnya adalah campur tangan kuat
pemilik modal besar bahkan hingga
mendikte kebijakan penyelenggara negara.
Dengan pengawasan dan peran aktif
konstituen -utamanya dari kalangan elit
yang teredukasi dengan baik-, hal ini dapat
ditekan. Adapun sikap masa bodoh, maka
hanya akan membuat kalangan tertentu
semakin menancapkan cakarnya dalam
kebijakan-kebijakan umum secara tidak adil.
Selamat memilih representasi bangsa!
Bersiap untuk mengawasi wakil-wakil
terpilih!
*Penulis adalah Mahasiswi tingkat
akhir jurusan Tafsir.
Politik Aktif Dua Arah Oleh: Fatimah Insani Zikra*
Express Copy Menerima segala jenis
fotokopi
Mahatthah Mutsallas,
Hay `Asyir
Building 102 Sweesry.
Hp: 01001726484
TROBOSAN
- e
dis
i In
tera
ktif
Op
ini -
Ap
ril 2
01
4
Berkaca pada sebuah era di Indonesia,
disaat reformasi 1998 telah memberikan
kekecewaan yang mendalam bagi sebagian
kalangan, namun kondisi tersebut dimaknai
oleh sebagian mahasiswa sebagai jalan
menuju perbaikan, karena mereka yakin
pada kesempatan itulah mereka dapat meru-
muskan jalan menuju perubahan ke arah
yang lebih baik lagi.
Berhasil atau tidak, yang jelas pada saat
itu mahasiswa berhasil mengidentifikasikan
diri sebagai anggota masyarakat yang sudah
bosan dan kecewa terhadap kesenjangan
ekonomi dan ketidakadilan yang ada.
Belakangan ini hiruk pikuk dinamika
organisasi Masisir mulai ramai di-
gandrungi oleh para politisi dada-
kan, ratusan politisi hasil dari
rekruitmen politik partai politik ini
telah dan sedang melakukan akrobat
politik guna mendapatkan simpati di
sanubari hati Masisir dan bersuara
lantang seolah sedang merepresenta-
sikan diri atas nama rakyat dengan
tujuan untuk mendapatkan dukungan
pada Pemilu Legislatif atas calon legis-
latif yang mereka usung.
Terlepas dari nilai-nilai yang
terkesan pragmatis itu, hal yang harus kita
pahami bersama adalah; untuk mendapatkan
kepercayaan masyarakat (dalam hal ini
Masisir khususnya) sudah barang tentu tidak
semudah membalikkan tangan, namun dibu-
tuhkan komitmen, keselarasan antara uca-
pan dan perbuatan. Sebab kepercayaan han-
ya bisa didapat melalui sebuah manifestasi
keyakinan kolektif. Keyakinan Masisir tidak
akan tumbuh begitu saja, hanya dengan bu-
alan manis, seabreg event, bagi-bagi angpao
atau umpan silang atau apalah dengan sea-
breg istilah sinonim lainnya. Kepercayaan
pun tidak datang begitu saja ketika rasa ka-
gum kian membuncah, ketika bahasa lisan
mulai memanah, namun kepercayaan akan
timbul dari sebuah bukti konkrit atas segala
sikap, perbuatan, tutur kata maupun sapa
yang selama ini dilakukan oleh calon mau-
pun para politisi dadakan tersebut. Maka
jangan harap jika Masisir akan menginte-
grasikan ucapan dan perbuatannya jika para
calon dan politisi dadakan tersebut belum
memulainya. Masisir sudah terlalu pintar
jika akrobat yang dilakukan masih saja beru-
pa tipu-tipu dalam hal yang bersifat material,
mereka sudah sangat paham, calon mana
yang ikhlas berbuat dan calon mana yang
giat melumat.
Namun terlepas dari pada itu, Masisir
sebagai kaum intelektual yang agamis, cen-
dekiawan yang paham Quran dan Hadist
harus turut berperan dalam kegiatan politik.
Masisir harus mampu memberikan citra
positif di mata masyarakat Indonesia. Harus
kita sadari bersama, bahwa partai politik
adalah kendaraan untuk menuju kekuasaan
formal. Hal ini berarti gerakan menuju
gerbang perubahan setidaknya harus juga
dimulai dalam wadah yang bernama partai
politik. Sistem demokrasi telah terma-
teraikan, kita semua harus merasa terpanggil
untuk mewujudkan demokrasi yang adil dan
sejahtera, tanggung jawab tersebut telah kita
lakukan dalam bentuk partisipasi aktif dalam
Pemilihan Umum Legislatif pada 5 April
kemarin. Pada hari itulah tonggak per-
juangan dan penentuan nasib Indonesia sela-
ma lima tahun kedepan ditentukan.
Dalam diri para politisi itulah amanat
rakyat dititipkan. Mahasiswa yang notabene
sebagai agen perubahan harus turut ambil
bagian dalam mengembalikan cita-cita Indo-
nesia sebagaimana yang dahulu diharapakan
oleh para pendiri Bangsa yaitu; menjadikan
pancasila sebagai jati diri bangsa dan dasar
kehidupan bersama. Kita harus bergandeng
tangan bersama dalam merekonstruksi pola
pikir masyarakat Indonesia dari kepura-
puraan menjadi keterusterangan. Konsisten-
si gerakan perubahan dalam merekonstruksi
pola pikir masyarakat di Indonesia inilah
yang harus kita mulai dari sekarang. Tak
hanya bermodal keluasan ilmu pengetahuan,
idealisme yang bercokol dalam pikiran,
melainkan partisipasi dan terjun ke dalam
arena politik praktis pun kelak bisa jadi akan
menelurkan gagasan-gagasan baru bagi pem-
bangunan Indonesia di masa yang akan da-
tang. Bukan akan menghancurkan kesakra-
lan nama besar al-Azhar, melainkan kita
semua diharapkan membawa harapan dan
mata air baru di tengah kegersangan dan
kesemerawutan Bangsa Indonesia saat ini.
Ketika manusia-manusia jahat bersatu,
maka sudah seharusnya manusia-manusia
baik bersekutu dan bergotong-royong, agar
manusia-manusia baik itu tidak jatuh satu-
persatu. Adalah tulisan seorang Negarawan
asal Irlandia, Edmund Burke itulah yang
sampai saat ini penulis yakini bahwa masih
ada harapan untuk menuju sebuah perbai-
kan bagi Indonesia yang satu. Indonesia yang
harmonis dalam kemajemukan, toleransi
dalam perbedaan.
Dengan melihat antusiasme mahasiswa
Indonesia di Mesir, yang setiap lima
tahunnya turut memeriahkan pesta
demokrasi melalui pendirian perwaki-
lan luar negeri dari masing-masing
partai, penulis optimis kedepan akan
banyak corak baru yang turut me-
warnai dinamika ideologi fundamental
partai. Karena kita harus pahami bersa-
ma bahwa nilai-nilai kebaikan yang
diajarkan al-Azhar tak mesti harus
berkumpul dalam satu wadah partai
yang bernafaskan islami, melainkan
juga nilai-nilai tersebut harus kita
tiupkan kedalam partai-partai nasionalis.
Agar manusia-manusia baik yang terdidik
dapat terus bersinergi membentuk
kumparan energi untuk Indonesia yang lebih
baik lagi.
Dengan turut aktifnya masyarakat Indo-
nesia di Mesir (mahasiswa khususnya) da-
lam geliat perpolitikan menjelang Pemilu
Legislatif nanti, hal ini tentu akan mem-
berikan efek pula bagi warga negara Indone-
sia di belahan dunia lain, bahwa Islam juga
mengajarkan seperangkat tata nilai politik
dan etika dalam kehidupan bernegara. Dan
terakhir yang perlu kita garis bawahi bersa-
ma adalah, kita merupakan aset bangsa dan
generasi cendekiawan Indonesia yang dipas-
tikan kelak akan mewarnai dinamika sosio-
politik di Indonesia. Bahkan bukan tidak
mungkin, jika diantara kitalah nanti yang
akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa
Indonesia di masa yang akan datang. Amin
Ya Rabbal Alamin!
*Penulis adalah Mahasiswa tingkat
akhir Jurusan Syariah Islamiyah.
Masisir dan Politik Oleh: Abdul baits Subhi*
Doc. Google.com
TROBOSAN
- edisi In
teraktif O
pin
i Ap
ril
Masisir, Antara Politik dan Ideologi
Oleh: Yahya Ibrahim*
Kali pertama saya bersentuhan dengan
perpolitikan Masisir adalah ketika menjadi
anggota panitia sidang MPA PPMI 2011.
Gambaran pertama yang saya tangkap dari
organisasi ini sedikit negatif. PPMI bagaikan
sebuah kue yang hanya diperebutkan oleh
dua kelompok besar, dalam hal ini ke-
lompok kader suatu partai bersama sim-
patisannya dan kelompok yang anti partai
tersebut. Keduanya memiliki massa yang
kuat dengan fanatisme yang tinggi.
Persaingan dua kubu ini menghasilkan
iklim politik yang tidak sehat di tubuh
Masisir. Mahasiswa bagai kehilangan jati
diri. Mereka tidak lagi memiliki objektivitas
dalam menilai segala sesuatu. Mereka sep-
erti kehilangan kebebasan dan idealisme.
Dalam menilai dan menentukan sikap mere-
ka bagaikan kerbau yang ditusuk hidungnya
oleh masing-masing kelompok. Persaingan
saling menjatuhkan tanpa melihat baik bu-
ruk atau benar salah.
Contoh yang bisa disebutkan untuk ma-
salah ini sangat banyak. Misalnya dalam
pemilihan presiden PPMI, para pemilih han-
ya memandang kelompok asal dari masing-
masing calon. Mereka merasa tidak perlu
mempelajari kepribadian dan visi misi sang
calon, apalagi menganalisa program-
program yang ditawarkan. Bahan kampa-
nye hanya si anu dari kelompok ini dan si
anu dari kelompok itu. Keadaan ini di-
perparah dengan pembunuhan karakter di
media sosial bahkan sms gelap. Mahasiswa
tidak dibiarkan berpikir selayaknya maha-
siswa.
Begitu juga ketika nanti presiden
menggulirkan program-programnya. Acara
hanya diramaikan oleh kelompok pen-
gusungnya, sedangkan yang lain seolah-olah
boikot atau tidak mau tahu. Di akhir
pemerintahan setiap tahun juga seperti itu,
maksud saya ketika sidang MPA dan LPJ
pengurus PPMI. Masing-masing beretorika
untuk menyudutkan lawannya sehingga
seakan-akan masukan dan kritikan untuk
PPMI yang lebih baik terabaikan.
Hal yang sama ketika para mahasiswa
dituntut untuk menilai segala apa yang ter-
jadi di lingkungan sekitar Masisir. Sangat
tidak masuk akal ketika ada pula yang men-
dukung kudeta dan segala kezaliman yang
terjadi hanya dengan alasan partai yang
menjadi lawan politiknya mendukung
Ikhwan Muslimin. Kebencian kepada partai
tersebut lebih dulu menguasai daripada
analisa dan berpikir objektif. Dari sisi kader
partai tadi sendiri juga saya rasakan hal
demikian. Terlihat pada awalnya ada yang
mendukung IM hanya karena partainya
mendukung, bukan dengan analisa siapa
mereka dan kenapa harus mendukung. Ter-
bukti ketika diskusi banyak juga yang ke-
hilangan arah.
Sikap Presiden PPMI juga tidak lepas
dari hal ini. Setiap ucapan atau postingan
tidak lepas dari sindiran kepada kelompok
lawannya. Sebagai pengayom setiap golon-
gan tentu sikap seperti ini menyebabkan
keretakan yang semakin melebar di tengah
Masisir. Lalu secara mengejutkan muncul
pengumuman bahwa presiden ternyata juga
kader partai yang lain. Setiap informasi
tentang partai itu silahkan ditanyakan kepa-
da beliau. Maka bisa saja setiap tindakan
diambil dibawah kontrol partai yang ber-
sangkutan. Hal mana yang juga selalu di-
tuduhkan apabila presiden PPMI berasal
dari kader partai yang berbeda. Mereka
menyebutnya di Indonesia sebagai kontrak
politik. Artinya alasan-alasan seperti demi
al-Azhar dan demi Masisir bisa saja hanya
hiasan bibir.
Dari contoh-contoh di atas, inti yang
ingin saya sampaikan adalah bahwa politik
di Masisir telah menumpulkan ciri khas dari
seorang mahasiswa, yaitu cara berfikir yang
sarat dengan idealisme, objektivitas dan
rasionalitas. Padahal dengan tiga modal
inilah maka mahasiswa mampu memiliki
peran sebagai agen perubahan.
Mahasiswa yang sebenarnya lebih dari
yang dijelaskan oleh defininya seperti yang
termaktub di KBBI, yaitu orang yang belajar
di perguruan tinggi dan terdaftar secara
administrasi. Mahasiswa tidak hanya duduk
di belakang meja, mendengarkan dosen
berbicara, kemudian berharap mendapat-
kan pekerjaan yang bagus. Akan tetapi ma-
hasiswa mempunyai peran dalam
melaksanakan perubahan untuk bangsa.
Mahasiswa mempunyai tanggung jawab
yang besar, mulai dari tanggung jawab
keagamaan, intelektual, sosial kemasyara-
katan, dan tanggung jawab individual baik
sebagai hamba Allah Swt maupun sebagai
warga Negara dan bangsa.
Kondisi kebanyakan mahasiswa yang
seperti inilah yang membuat saya sedikit
apatis terhadap dinamika perpolitikan
Masisir. Hal mana yang juga menyebabkan
saya menarik diri, tidak peduli, bahkan
pernah dua kali tidak ikut pemilihan presi-
den PPMI.
Namun seiring bertambahnya waktu,
saya semakin paham bahwa dinamika poli-
tik Masisir tidaklah sesederhana itu. Tern-
yata di balik semuanya bukanlah hal remeh
temeh seperti pertarungan antar partai
politik yang ingin berkuasa. Melainkan ada
semacam persaingan antar dua ideologi,
atau antar beberapa ideologi dengan se-
buah ideologi yang menjadi musuh bersa-
ma. Ini sebuah kenyataan yang luar biasa
yang mungkin jarang ditemukan lagi ketika
kuliah di Indonesia, kecuali mungkin pada
masa-masa peletakan dasar ideologi ke-
bangsaan yang digagas mahasiswa 1910-
1930-an, atau ketika mahasiswa tampil
sebagai sumber kepemimpinan bangsa yang
dominan hingga 1950-an, dan ketika mun-
culnya angin perubahan dalam diri ma-
haiswa yang menjelma menjadi generasi
reformasi pada trahun 1990-an akhir.
Misalnya, di Indonesia dalam per-
saingan menjadi presiden BEM tidak akan
terasa persaingan ideologi. Hanya per-
saingan ketokohan, ketenaran atau prestasi.
Sedangkan setiap ideologi sudah memiliki
wadah tersendiri pada organisasi-
organisasi mahasiswa yang ada untuk mas-
ing-masingnya. Hal yang berbeda dengan
PPMI ketika ideologi mempunyai pengaruh
signifikan kepada organisasi pemersatu ini.
Hal ini mungkin akibat beragamnya ideologi
yang ada dengan jumlah mahasiswa yang
terbatas, sedangkan interaksi keluar ling-
kungan mahasiswa tidak memungkinkan.
Jadi semacam persaingan pengaruh.
Kemudian ditambah lagi jumlah mahasiswa
yang sangat banyak hingga mengurangi
interaksi antar kalangan untuk mempererat
hubungan.
Hal ini cukup tergambar dengan jelas
dari sikap dan program-program yang dite-
lurkan oleh PPMI. Setiap pemerintahan
mempunyai corak tersendiri sesuai dengan
kelompoknya. Dorongan kepentingan terpa-
par dengan jelas. Bahkan setiap kelompok
ternyata memiliki tim ahli yang akan
mengkaji siapa calon yang akan diusung
dan bagaimana suksesi pemilihannya, wa-
Lanjut ke hal. 14...
TROBOSAN
- e
dis
i In
tera
ktif
Op
ini -
Ap
ril 2
01
4
Shaid bin Ahmad (w. 419 H) dalam buku
Thabaqt al-Umam-nya, Al-Syahrastani (w.
548 H) dalam al-Milal wa al-Nihal-nya ber-
pandangan hampir senada bahwa orang Arab
tak memiliki pengetahuan filsafat kecuali
sedikit di antara mereka. Saya tak tau
seorang pun dari kalangan Arab yang
masyhur pengetahuan filsafatnya kecuali Al-
Kindi dan Al-Hasan Hl-hamadani ungkap
Shaid dalam Thabaqt al-Umam. Hanya saja,
kurang dijelaskan oleh mereka faktor apa
saja dibalik fenomena demikian.
Berikutnya datang Ibnu Khaldun (w. 808
H.), sosiolog, filosof dan sejarawan Islam
terkemuka. Dalam buku Muqaddimah-nya ia
berpandangan bahwa kebanyakan pembawa
ilmu pengetahuan dalam Islam adalah ajam
(non Arab), disertai analisa faktor apa saja
penyebab orang Arabbaik pra maupun
pasca Islam--tak memperhatikan ilmu penge-
tahuan dan filsafat. Faktor-faktor inilah yang
menjadi poin inti dimana harus menjadi per-
hatian bersama. Lantas, apa saja faktornya?
Di antaranya: disibukkan oleh politik!
Ibnu Kholdun membagi orang Arab
kedalam dua kelompok: Arab primitif pedala-
man, jauh dari buku, dari praktik dan sumber
keilmuan serta perangkat-perangkatnyaini
menjadi faktor lain selain politik. Sementara
mereka yang hidup di kota, di mana buku
mudah didapat, ulama mudah ditemu, praktik
keilmuan, forum-forum diskusi dan
perangkat-perangkatnya lengkap tersedia
namun, justru disibukkan oleh kekuasaan.
Politik praktis, bersiasat melindungi
kekuasaannya dari rong-rongan kelompok
lain dst. membuat mereka tak sempat
memikirkan ilmu pengetahuan.
Hasil analisa beberapa ilmuwan kita di
atas setidaknya mengajarkan pada kita, Ma-
hasiswa Indonesia Mesir (Masisir), bahwa
politik mampu menjadi dinding penghalang
ilmu pengetahuan. Agaknya, kita perlu sabar
dan sadar bahwa masing-masing memiliki
masa dimana di dalamnya terdapat
tanggungjawab dan pekerjaan yang sesuai
dengan masanya itu: masa menjadi pelajar
tanggung jawab dan pekerjaannya adalah
belajar: membaca, menulis, dan berbicara
keilmuan. Sementara berpolitik adalah
tanggungjawab dan pekerjaan para politikus
dimana ia memiliki masa tersendiri pula.
Kita dan Politik
Lantas, bagaimana realitas kita sampai
saat ini? Apakah kita hidup di tengah sam-
udera di mana sumber pengetahuan melim-
pah namun justru sedang tersibukkan oleh
politik praktis, pikiran terperas habis demi
membela partainya dari rong-rongan, semen-
tara beberapa yang lain memprimitifkan
diri (terjebak di gua-gua dan pedalaman
ruang maya) seperti orang Arab di atas? Di
Mesir, kita jumlahnya ribuan, namun sebera-
pa banyak karya ilmiah yang telah kita la-
hirkan dari rahim kita? Atau kita hanya masih
sebatas mampu menelurkan buku hiburan
pengobat penat? Atau barangkali malah
sedang mandul sama sekali?
Realitasnya, Masisir sedang hidup bersa-
ma para partaibaik yang musiman, maupun
yang selalu eksis. Tak jarang terjadi gesekan
dan saling sikut antara partai satu dengan
partai/pihak lain. Diantara yang sengit ada-
lah sejak bulan Juni 2013 tatkala Presiden
Mesir dari Ikhwanul Muslimun digulingkan.
Mesir terbakar. Percikan apinya lalu mampu
membakar sebagian Masisir. Ketika yang lain
ikut tersulut perang maya pun berkecamuk.
Masing-masing dibuat sibuk saling serang
dan menjatuhkan. Yang sangat disayangkan,
perang yang sempat membikin gaduh Face-
book (FB) dan Twitter itu tak jarang berujung
debat kusir, bahkan cacian dan makian. Kita
harus mengakui itu. Fenomena lain yang
berbarengan dengan itu, ketika status FB
tentang konflik politik maka yang nge-like
banyak dan nampak antusias. Ketika sta-
tusnya keilmuan, seperti tak laku (cat. status
ditulis oleh satu orang yang sama). Ini bisa
diartikan, daya responsif dan perhatian kita
terhadap konflik dan politik masih lebih ting-
gi daripada kepada keilmuan!.
Yang perlu diperhatikan adalah dampak
negatifnya terhadap relasi sosial dan
kehidupan keilmuannya kita. Terkait dam-
pak negatif terhadap relasi sosial penulis kira
kita sama-sama sudah tau, sebab sudah nam-
pak begitu jelas. Yang-barangkali-jarang ter-
fikirkan adalah dampak terhadap kehidupan
keilmuannya, yakni semakin meredupkan--
kalau malah bukan mematikan--dialektika
keilmuan Masisir (penulis katakan semakin
karena sebelum polemik politik meledak
dialektika keilmuan Masisir sedang lemah,
kalau sekira tak boleh disebut sedang mati).
Padahal, dialektika, sebagaimana dalam fil-
safatnya Hegel, adalah sumber kehidupan,
gerak dinamis dan perkembangandalam
hal ini: kehidupan, gerak-dinamis dan
perkembangan pemikiran. Tanpa dialektika
dalam keilmuan dan pemikiran maka dunia
keilmuan dan pemikiran akan mati dengan
sendirinya. Ketika penulis ditanya; kenapa
dunia keilmuan dan pemikiran Masisir seper-
ti melemah ya, mas? saya jawab dengan
tegas: karena sedang takada dialektika. Yang
sedang berdialektika kuat adalah politik.
Bukti bahwa dialektika adalah sumber
hidup, gerak dinamis dan pekermbangan
pemikiran adalah realitas di sekitar kita.
Lihat, ke toko-toko buku, International Book
Fair beberapa bulan yang lalu, bagaiamana
Arab Spring mampu memproduksi buku-
buku baru bertemakan politik. Lihat, ke me-
dia-media Masisir, FB, twitter bagaimana di
sana setiap harinya politik memproduksi
tulisan-tulisan, status-status dan komentar-
kamentaryang kadang sangat panjang
yang jika dihimpun, setiap harinya, tak ku-
rang menjadi satu buku. Dialog politik men-
jadi begitu aktif--walau tak jarang berujung
dialog tanpa makna--dan semakin menyedot
perhatian teman-teman yang lain. Sampai-
sampai seorang teman yang konsen di dunia
kajian dan talaqqi pun ikut tersedot. Ba-
yangkan, seumpama dialektika ini terjadi
dalam dunia keilmuan, berapa buku ilmiah
yang sudah terlahir?
Ketika isu politik praktis terus menjadi
perbincangan, terus bergulir dan berpusar
maka kemudian akan membentuk suatu ling-
karan magnetis dimana apa yang ada di seki-
tarnya akan ikut tersedot masuk kedalam.
Kemudian lambat laun akan menjadi bulatan
besar magnetis yang daya tariknya sulit ter-
bendung. Di sini politik kemudian benar-
benar telah menjadi poros dan pusat per-
hatian. Jika sudah demikian maka, keilmuan
dan pemikiran dengan sendirinya akan dit-
inggalkan atau paling tidak redup.
Politik Tingkat Tinggi
Lantas, apa berarti kita tinggalkan saja
politik secara total, masa bodoh lalu benar-
benar menjadi bodoh politik? Tidak! Sebab,
disamping tak ada di antara kita yang sepe-
nuhnya terbebas dari politik serta menjadi
mudah dipolitisir, juga, jika kita cermati,
kekacauan dan saling tuduh antara kita (di
samping agaknya ada kesalahan dalam world
view kita terhadap politik) adalah juga akibat
kekurangpahaman terhadap politik itu
sendiri. Misalkan, sebagian menuduh secara
serampangan bahwa partai tententu menjual
agama, ini bisa saja akibat kurang memahami
Realitas Kita dan Urgensi Politik Tingkat Tinggi Oleh: Muhammad Amrullah*
Lanjut ke hal. 15...
TROBOSAN
- edisi In
teraktif O
pin
i Ap
ril
Politik Untuk Mahasiswa, Edukasi atau Indoktrinasi?
Oleh: Ahwazy Anhar*
Mahasiswa adalah elemen masyarakat
yang paling berpengaruh terhadap
kemajuan suatu negara. Jika ingin
menghancurkan suatu negara, maka cukup
hanya dengan meracuni golongan
mahasiswa, lalu beberapa tahun yang akan
datang negara ini akan mengalami gejala
kejang-kejang, lemas dan pada akhirnya
akan tewas. Sebaliknya, jika ingin
membangun suatu negara maka berikanlah
makanan yang sehat dan bergizi kepada
mahasiswa.
Untuk menganalisa apa yang terjadi
dengan negara kita, maka penulis akan
menjelaskan secara panjang lebar dua
golongan mahasiswa jika dilihat dari
keikutsertaannya dalam sebuah partai
politik, berikut dengan plus minus tiap
golongan mahasiswa tersebut.
Dalam hal ini, ada dua golongan
mahasiswa. Pertama, mereka adalah orang-
orang yang tidak berpastisipasi dalam
partai politik. Artinya mereka tidak ikut
bersentuhan langsung dengan partai politik
apapun baik menjadi partisan ataupun
simpatisan.
Kelompok ini juga bisa dibagi menjadi
bagian. Bagian pertama adalah mereka yang
apatis terhadap setiap peritiwa politik.
Mahasiswa yang berpandangan seperti ini
merasa nihil terhadap politik. Mereka
beranggapan bahwa siapapun yang akan
terpilih nantinya, tidak akan memberikan
perubahan bagi negara. Semuanya akan
sama saja.
Kelompok ini muncul akibat melihat
carut-marut yang mereka saksikan di
panggung politik. Mereka menganggap
bahwa segala usaha yang dilakukan partai
apapun untuk membawa Indonesia ke arah
yang lebih baik adalah omong doang.
Dengan cara berpikir pragmatis seperti ini,
mereka tidak mau ikut berpikir untuk
memberikan solusi terhadap masalah
bangsa. Kelompok ini lebih mementingkan
diri pribadi atau lingkungan terdekatnya.
Sikap apatis tersebut juga muncul kare-
na kurangnya sosialisasi baik dari lembaga
penyelenggara pemilu maupun kampanye
dari partai politik yang ada. Penyebab terse-
but sangat berpengaruh terutama bagi pem-
ilih yang berdomisili di luar negeri.
Bagian kedua adalah mahasiswa yang
memang tidak mau bersentuhan langsung
dalam dunia politik namun mereka
memikirkan solusi terhadap masalah
bangsa dan negara. Mahasiswa seperti ini
adalah mereka yang memegang teguh
idealisme sebagai seorang pelajar.
Idealisme yang dilandaskan atas dasar
logika objektif, kritis, merdeka, tidak mau
diperbudak dan berpikir maju tanpa mau
terseret oleh kepentingan politik yang
cenderung sempit.
Mahasiswa seperti ini menyibukkan
dirinya dengan hal yang bersifat edukatif,
membangun karakter diri hingga nantinya
siap menjadi seseorang yang mempunyai
spesialisasi di suatu bidang dan ikut
berkontribusi kepada negaranya.
Untuk kelompok mahasiswa yang ikut
dalam sebuah partai, baik partisan ataupun
simpatisan juga bisa dibagi menjadi dua
kelompok. Pertama, politikus mahasiswa
yang profesional.
Mahasiswa seperti ini bisa
menyeimbangkan mana yang kepentingan
politik dan mana yang kepentingan
pendidikan. Jika ada satu kegiatan dalam
ruang lingkup kampus yang akan
memancing permasalahan karena berbau
politis, maka dia meninggalkan kegiatan
tersebut. Jika dia diharuskan untuk memilih
kepentingan bersama atau kepentingan
politik, maka dia lebih mendahulukan
maslahat bersama.
Misalkan di organisasi mahasiswa
seperti PPMI, kekeluargaan atau bahkan
lembaga penyelenggara pemilu. Mahasiswa
kelompok ini, meski dia aktif di sebuah
partai politik, dia bisa membedakan antara
kepentingan politik dengan kepentingan
bersama. Mereka hanya akan menggunakan
fasilitas umum untuk kepentingan umum.
Misalkan, mereka tidak menggunakan
media sosial seperti Facebook untuk
melakukan kampanye ataupun hal-hal yang
menjurus kepada kepentingan politik
lainnya.
Kelompok ini tidak mau menutup mata
terhadap kesalahan-kesalahan yang ada
dalam partainya. Mereka tidak akan ikut
mengamini suatu hal yang bertentangan
dengan idealismenya sebagai mahasiswa
jika melihat sesuatu yang tidak benar
dilakukan oleh partainya. Dia akan
berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki
cacat partainya dan berani menanggung
resiko jika nanti harus mengambil
keputusan berbeda dengan partainya.
Mahasiswa seperti ini muncul akibat
dari ajaran yang diberikan oleh para tokoh
dalam partai tersebut. Maksudnya, para
tokoh dalam partai tersebut berusaha untuk
memberi pemahaman yang benar tanpa
mengikis identitas mahasiswa para
kadernya. Partai ini memberikan atmosfer
yang lebih hidup dan mendukung agar para
kadernya bisa berpikir dan menganalisa
segala peristiwa tanpa harus didikte dari
pimpinan partai.
Kelompok yang kedua adalah mereka
yang fanatik terhadap partai politiknya. Ini
adalah kelompok yang sangat berbahaya.
Tidak mau diajak dialog dan selalu
mengklaim dirinya dan apapun yang
dilakukan partainya adalah kebenaran
mutlak. Pada kelanjutannya, kelompok ini
menjadikan partainya layaknya sebuah
agama yang selalu benar, lepas dari cacat
dan kesalahan.
Dua kelompok mahasiswa terakhir
muncul dari satu permasalahan yang sangat
mendasar: apakah politik merupakan
produk edukasi atau indoktrinasi?
Jika para politikus senior, atau petinggi
sebuah partai politik mengajarkan sikap
objektif, terbuka, mengajarkan cara berpikir
yang benar, maka politikus mahasiswa akan
menjadi sosok yang sangat berwibawa,
bijak dan sangat dinantikan oleh Indonesia.
Sebaliknya, jika politik hanya dijadikan
sarana untuk meraup suara sehingga partai
memaksa untuk melepas baju objektivitas
mahasiswa, mengikis jiwa kritis mahasiswa
sehingga mau fanatik terhadap partainya,
maka Indonesia hingga puluhan tahun atau
bahkan ratusan tahun yang akan datang
tidak pernah berubah ke arah yang lebih
baik.
Kelompok ini akan melakukan hal
apapun demi menyebarluaskan dan
memasyhurkan partainya tanpa melihat
kondisi di sekitarnya. Terlebih lagi bagi
partai yang mengaku berlandaskan Islam.
Politikus mahasiswa yang ada dalam partai
ini akan menyetir ayat al-Quran dan segala
hal yang berkaitan dengan agama untuk
kepentingan politiknya tanpa menyadari
bahwa prilakunya adalah bentuk menginjak
dan menodai agama Islam.
Meski pada akhirnya para mahasiswa
Lanjut ke hal. 14...
TROBOSAN
- e
dis
i In
tera
ktif
Op
ini -
Ap
ril 2
01
4
perlu heran saat melihat kebanyakan para
mahasiswa pegiat partai politik, terkait jar-
gon, slogan, dan ekspresi fisik hasil kreativi-
tas petinggi partai; anda saksikan seperti
anak-anak yang mengimitasi prilaku orang
dewasa.
Intensitas mereka yang begitu tinggi da-
lam berkampanye, bisa juga kita kembalikan
pada faktor asupan mental petinggi partai
terhadap mereka, terlebih jika kegiatan
politis ini dikait-kaitkan dengan agama. Se-
hingga dalam hal ini, secara tidak sadar, kita
akan dibuat ternganga oleh jerih payah tanpa
batas dan determinasi para mahasiswa pegiat
partai politik ini. Anda bisa bayangkan
bagaimana kuatnya sebuah fisik dan mental,
jika idealisme, darah muda, dan agama; ber-
satu padu dalam diri seseorang.
Lalu apakah kehidupan politik semacam
ini baik untuk mahasiswa? Secara nalar, kita
tidak bisa begitu saja menggeneralisir baik
atau tidaknya sesuatu. Karena hal tersebut
hanya akan membuat kita terkucilkan, baik
dalam kehidupan ilmiah maupun sosial. Oleh
sebab itu, di sinilah pentingnya sikap mode-
rat ketika kita dihadapkan pada sebuah per-
masalahan. Konsep keterbukaan --yang
merupakan ciri utama dari kemoderatan--
adalah langkah awal untuk mengetahui baik
atau tidaknya kehidupan politik tersebut bagi
mahasiswa.
Jika kehidupan politik yang demikian
membuat mahasiswa menjadi tidak peka
terhadap komunitasnya, dan berpikiran sem-
pit kerena terbatasnya regional 'kebenaran'
pada partai politiknya; maka iklim politik
seperti ini jelas tidak baik untuk mahasiswa.
Jika partai politik tersebut membuat maha-
siswa menjadi overaktif dalam kehidupan
politik, lalu mengaitkan hal-hal politis dengan
hal-hal tabu dalam agama, sehingga memanc-
ing kemarahan saudara seiman; jelas tidak
baik juga. Akan tetapi jika kehidupan politik
membuat mahasiswa menjadi semangat me-
raih prestasi dan menuntutnya menjadi
orang terdepan dalam segala hal; maka tentu
sangat dianjurkan. Jika kehidupan politik
berhasil menghapus jejak hitam kegagalan
mahasiswa dalam merealisasikan idealisme,
sehingga tak ada lagi "Gede idealisme nol
perbuatan"; maka kenapa tidak.
Dengan penjelasan di atas, setidaknya
terbayang di hadapan kita bagaimana hub-
ungan ideal mahasiswa dengan politik.
*Penulis adalah Mahasiswa tingkat
akhir Fakultas Dirasat Islamiyah
ini diingatkan oleh segala pihak, baik guru
ataupun temannya, mereka tidak akan
mampu berpikir logis untuk mengakui
kesalahan yang mereka perbuat. Parahnya,
kelompok ini pada kelanjutannya akan
enggan diajak berdialog untuk mencari
kebenaran.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Ada dua
kemungkinan, bisa jadi karena mereka
takut dikucilkan dalam komunitas partainya
dan diberi sangsi sosial sehingga tetap
melakukan hal-hal yang melanggar
idealisme sebagai mahasiswa, atau karena
mereka menganggap bahwa partainya
memiliki kebenaran mutlak sehingga otak
mereka menjadi tumpul dan tidak bisa
berlaku kritis terhadap kesalahan yang
dilakukan partainya. Dia akan selalu
mencari pembenaran terhadap kesalahan
yang dilakukan partainya, bukan mencari
kebenaran.
Prilaku seperti ini akan merusak rasa
cinta dan keharmonisan antar mahasiswa
dalam lingkungan kampus. Kelompok ini
muncul sebagai akibat dari indoktrinasi
yang dilakukan oleh partainya. Kelompok
ini diberikan ajaran secara mendalam
mengenai suatu pemahaman atau doktrin
tertentu dengan melihat suatu kebenaran
dari arah tertentu saja dengan sistem
berpikir tanpa adanya kriktik. Pada
akhirnya, partai seperti ini sedang
melakukan proses cuci otak terhadap para
kadernya dan mempersiapkan bom waktu
bagi negaranya sebagaimana yang terjadi di
Mesir saat ini.
Sebenarnya kelompok yang ikut
ataupun tidak ikut dalam sebuah partai,
keduanya sah-sah saja selama mereka
mampu mempersiapkan dirinya untuk
memberikan k