Buletin Terobosan Edisi Interaktif Opini

16
TëROBOSAN ADVERTISING Edisi interaktif OPINI, 7 aPRIL 2014 Politik Untuk Mahasiswa, Edukasi atau Indoktrinasi (?)

description

Buletin Terobosan adalah media independen yang dikelola oleh mahasiswa Indonesia yang berdomisili di Mesir. Terbit pertama kali sejak 21 Oktober 1990

Transcript of Buletin Terobosan Edisi Interaktif Opini

TëROBOSAN

AD

VER

TISI

NG

Edisi interaktif OPINI, 7 aPRIL 2014

Politik Untuk Mahasiswa, Edukasi atau Indoktrinasi (?)

TëROBOSAN

- e

dis

i In

tera

ktif

Op

ini -

Ap

ril 2

01

4

Sekapur Sirih, Esensi Politik

Halaman 2

Sikap, Menyoal Kepekaan Masisir

Halaman 3

Opini I, Masisir, Antara Apatisme dan Sikap Positif

Halaman 4

Opini II, Masisir Berpolitik, Why Not?

Halaman 5

Opini III, Masisir Berpolitik, Pentingkah?

Halaman 6

Opini IV, Al-Quran Itu Pedoman, Bukan Mainan!

Halaman 7

Opini V, Bagaimana Hubungan Ideal Mahasiswa

Dengan Politik?

Halaman 8,14

Opini VI, Politik Aktif Dua Arah

Halaman 9

Opini VII, Masisir dan Politik

Halaman 10

Opini VIII, Masisir, Antara Politik dan Ideologi

Halaman 11, 14

Opini IX, Realitas Kita & Urgensi Politik Tingkat

Tinggi

Halaman 12, 15

Opini X, Politik Untuk Mahasiswa, Edukasi atau

Indoktrinasi?

Halaman 13, 14

Terbit perdana pada 21 Ok-tober 1990. Pendiri: Syari-fuddin Abdullah, Tabrani Sabirin. Pemimpin Umum: Heni Septianing Pemimpin Redaksi: Supriatna. Pem-impin Perusahaan: Ainun Mardiyah. Dewan Redaksi: Tsabit Qodami, M. Hadi Bakri. Reportase: Abdul Latif Harahap, Ahmad

Ramdani, Fachry Ganiardi, Rijal W. Rizkillah, Thai-burrizqi Ananda Hafifuddin, Zammil Hidayat, Ahmad Bayhaqi, Ikmal Al Hudawi, Aulia Khairunnisa, Is-ti`anah, Difla Nabila, Maimunah Hamid, Ukhti Muth-mainnah Hamid,. Editor: Fahmi Hasan Nugroho. Lay Outer: Abdul Malik Pembantu Umum: Keluarga TëROBOSAN. Alamat Redaksi: Indonesian Hostel-302 Floor 04, 08 el-Wahran St. Rabea el-Adawea, Nasr City Cairo-Egypt. Telepon: 22609228, E-mail: [email protected]. Facebook : Terobo-san Masisir. Untuk pemasangan iklan, pengaduan atau berlangganan silakan menghubungi nomor tel-epon : 01158270269 (Heni), 01122217176 (Fahmi), 01110578138 (Ainun)

Di tengah persiapan mahasiswa al-

Azhar (baca: mahasiswa Indonesia) da-

lam menjelang ujian termin akhir mulai

memanas, persaingan partai politik pun

turut ikut memanasi Masisir seiring

mendekatnya pesta demokrasi pemilu

2014.

Secara serempak semua partai gen-

car menarik simpatisan guna mencari

suara dan popularitas. Berbagai kampa-

nye dilakukan. Sayangnya, sebagian par-

tai mengimplementasikan politiknya

secara praktis, memperjualkan agama di

hadapan simpatisan, beranggapan bahwa

methode perpolitikan yang diterapkan

sesuai pembenaran Islam. Namun, sikap

apatis mereka muncul ketika diajak dia-

log terkait pembenaran politik secara

Islami. Acuh tak acuh.

Tak luput dari itu semua, Indonesia

sebagai negara penduduk terbanyak

mayoritasnya Muslim, budaya dan tradisi

yang beragam, serta ribuan suku dan ras

yang berbeda-beda. Tentunya Indonesia

sangat memiliki peran penting di kancah

dunia Islam, terutama dilihat dari sisi

politiknya. Apakah implementasi perpoli-

tikan yang selama ini terjadi di Bumi

pertiwi sesuai dengan ajaran Rasulullah

dan para Sahabatnya?

Syekh Usamah Sayyid al-Azhari

pernah berkata “Allah SWT marah kepa-

da orang yang mengambil agama sebagai

mainan, sementara sebagian orang

mengambil agama sebagai wasilah atau

alat untuk kepentingan-kepentingan poli-

tik”.

Ungkapan diatas sudah menjadi ba-

rang realita bahwa politik selalunya men-

cakar segala cara untuk kemenangan

partainya. Sehingga tak ayal intensitas

partai mereka melambung tinggi, semen-

tara status ‘agama’ mereka sudah terco-

reng dari nama baik Islam.

Lantas, dengan demikian apakah

mereka yang ngakunya partai ‘Islamisasi’

yang ‘tabu’ sebaiknya tidak diperun-

tunkan menguasai kursi-kursi pejabat,

disamping cara pola pikir dan gaya im-

plementasi perpolitikannya yang ber-

beda dan mengundang anarkisme

masyarakat?

Pada hakikatnya, semuanya sah-sah

saja, terlebih ia yang nantinya

menduduki kekuasaan harus melayani

umat bukan hanya golongannya saja.

Namun yang mesti digaris bawahi adalah

merubah pola pikir fanatik yang mewa-

bah dalam dirinya.

Berangkat dari itu semua

TëROBOSAN di edisi sekarang cukup

lumayan berbeda dari edisi sebelumnya,

karena TëROBOSAN di Edisi khusus

sekarang menyajikan opini-opini terkait

perpolitikan dan Masisir yang kini men-

jadi bahan sorotan nusantara.

Menyaksikan aksi unjuk gigi semua

partai ketika berkampanye, juga berdam-

pak pada praktik poliitik. Lantas penera-

pan politik seperti apakah yang dinilai

cara berpola pikirnya tidak selayaknya

gambaran diatas?

Kritik dan saran dari pembaca sanga-

tlah kami nantikan. Karena dengan kritik

dan saran andalah kami akan bangkit

dan berdiri untuk mendongkrak

semangat penulis dan khususnya para

kru TëROBOSAN. Terima kasih kami

ucapkan dari lubuk hati kami yang paling

dalam, atas saran dan kritik yang telah

anda sampaikan pada kami selama ini.

Selamat membaca! [ë]

Esensi Politik

Doc. Google.com

TëROBOSAN

- edisi In

teraktif O

pin

i– Ap

ril

Rubrik Sikap adalah editorial buletin TëROBOSAN. Ditulis oleh tim redaksi TëROBOSAN dan mewakili suara resmi dari TëROBOSAN terhadap

suatu perkara. Tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab redaksi.

esta demokrasi di negeri kita kem-

bali digelar. Seperti pawai lima

tahunan yang wajib diramaikan.

Kampanye dengan segala atributnya

telah digencarkan. Pun bisik-bisik ten-

tang masa depan bangsa lebih dahulu men-

jadi topik hangat yang dimuat berbagai

ragam media. Semarak itu sampai juga di

Mesir yang mayoritas WNI-nya mahasiswa

dan pelajar. Masisir.

Pemilu Caleg DPR RI sudah di depan

mata. Caleg dari beberapa partai juga sudah

unjuk gigi dalam ragam cara kampanye-nya.

Kalau mau sedikit kritis, ada yang patut

dicurigai dari praktik kampanye yang meli-

batkan beberapa lembaga belajar al-quran

di Kairo kemarin. Karenanya patut diper-

tanyakan, apakah lembaga yang mengkaji

kitab suci itu layak diseret dalam arena

perpolitikan?

Tapi politik memang begitu. Partai

beserta segenap anggotanya adalah agen

politik yang memiliki tujuan bersama.

Kekuasaan. Maka berbagai cara untuk men-

cari perhatian dan meraup suara dilakukan.

Oleh karena itu, Masisir sebagai insan akad-

emis seharusnya jeli dan kritis dalam me-

nyikapi berbagai fenomena berbau politik

disekitarnya.

Di sisi lain, nampaknya sikap kritis dan

kepekaan Masisir patut dipertanyakan juga.

Hal ini dapat kita lihat dengan berkaca pada

pemilu lima tahun lalu. Tepatnya pemilu

tahun 2009. Antusiasme masisir terhadap

pemilu tanah air saat itu dapat terlihat dari

diselenggarakannya sosialisasi pemilu oleh

PPLN pada tahun sebelumnya, tepatnya di

akhir tahun 2008. Tidak tanggung-

tanggung, acara digelar dengan menyewa

gedung ACC yang megah. Sementara tahun

ini, meskipun diiming-imingi Lomba kolom

dengan hadiah yang menggiurkan, sosial-

isasi pemilu di Limas pada 23 Maret lalu

hanya mampu menarik minat 200 Masisir

saja. Nampaknya sosialisasi lewat kalender

PPLN yang kertasnya tebal dan mengkilap

itu lebih luas jangkauannya di Masisir.

Mungkin Masisir sekarang sudah mulai

menutup mata dengan praktik politik para

politisi tanah air. Lihat saja! Dalam kurun

lima tahun belakangan, partai mana yang

tidak terungkap korupsi dan kebusukan di

dalamnya? Banyak jejak hitam eksponen

politisi tanah air yang berujung pada

kekecewaan rakyat akan carut marutnya

politik di negeri sendiri. Mau tak mau,

Masisir yang juga WNI di negeri orang ikut

merasakannya. Barangkali itu pula yang

menambah lesu antusiasme Masisir dalam

pemilu 2014 ini.

Seharusnya wajah perpolitikan tanah

air yang sudah tercoreng itu membuat

Masisir lebih kritis. Idealnya, mahasiswa

merupakan kaum cerdik pandai yang men-

jadi saluran penyambung antara penguasa

(baca: pejabat pemerintahan) dengan

masyarakat biasa. Menutup mata akan fe-

nomena perpolitikan-yang nantinya

mengesahkan pejabat pemerintahan- berar-

ti menyumbat saluran antara pemerintah

dan masyakarat. Mirisnya, fenomena itu

mulai nampak batang hidungnya di Mesir.

Lihat saja yang nampak sekarang, hubungan

Masisir dengan KBRI misalnya, hanyalah

sebatas birokrasi dan hubungan yang hanya

tersambung dengan proposal dan dana.

Jika kita lihat pada skala yang lebih

kecil, dalam dinamika perpolitikan Masisir

yang disetir oleh PPMI misalnya. Saat ini,

siapakah yang masih peduli dengan induk

organisasi Masisir tersebut?

Banyaknya permasalahan dalam tubuh

PPMI yang diekspos oleh media tak lebih

menjadi angin lalu. DPP PPMI yang tiba-tiba

berubah menjadi broker dadakan, carut

marut Camaba yang selalu berulang dan tak

kunjung terselesaikan. Perjalanan SGS yang

semakin jauh dari relnya, dan semakin hari

semakin nampak cacatnya. Namun siapa

lagi yang mau peduli? Mau tak mau awak

media gigit jari, berita yang seharusnya

mencambuk kepekaan Masisir itu tidak

mendapat feed back yang setimpal dengan

harapan.

Fungsi pemangku kebijakan dalam

tubuh PPMI (baca: MPA, BPA dan DPP) tak

banyak yang tahu apalagi peduli, padahal

saat Pemilu Raya digelar kursi PPMI selalu

diperebutkan. Tidak dipungkiri, masing-

masing kelompok saling sikut kanan-kiri

agar ‘orang’nya bisa tampil di depan. Na-

mun selepas itu kembali sepi. Seolah-olah

PPMI hanyalah milik suatu kelompok yang

pentolannya telah duduk di kursi Presiden.

Pun tidak banyak yang peduli apakah

jalannya 3 lembaga inti PPMI itu sesuai

fungsinya atau tidak. Sungguh aneh, toh jika

akhirnya kembali sepi, apa yang sebenarnya

diperebutkan saat pemilu raya. Jika toh,

PPMI tidak lagi menjadi tempat mengasah

kemampuan Masisir untuk berorganisasi.

Mengapa fenomena ketidakpedulian ini

terus terjadi? Apakah SGS dalam PPMI telah

ditinggalkan pegiat dan perumusnya, se-

hingga ia berjalan seperti anak ayam ke-

hilangan induknya? Ataukah memang

Masisir sudah benar-benar angkat tangan

dengan induk organisasi mereka sendiri?

Tentu tidak serta merta kita berharap

bahwa pembenahan dalam induk organisasi

Masisir ini dilakukan oleh generasi selanjut-

nya, tanpa peran dari generasi yang tengah

menjabat saat ini. Mewarisi generasi baru

dengan kecacatan generasi sebelumnya,

dengan harapan agar mereka mampu

melakukan pembenahan, ibarat memad-

amkan api dengan bensin.

Jika saja kita masih menutup mata ter-

hadap permasalahan yang nyata terjadi di

sekitarnya, maka bukan hal yang tidak

wajar, terhadap urusan nasional tanah air

yang lebih besar juga kita tidak peduli. Acuh

tak acuh. Jika terhadap permasalahan kecil

saja tidak semua dapat bersikap peduli,

apakah Masisir masih berhak untuk peduli

dengan permasalahan yang lebih besar? [ë]

Menyoal Kepekaan Masisir

TëROBOSAN

- e

dis

i In

tera

ktif

Op

ini -

Ap

ril 2

01

4

Masisir panik. Pesta demokrasi yang

sebentar lagi dihelat menjadi akar perkara.

Banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia di

Mesir tidak tahu harus berbuat apa dalam

pemilu 5 April nanti. PPLN (Panitia Pemili-

han Luar Negri) telah mengadakan sosial-

isasi, tapi acara beranggaran besar itu seper-

tinya belum cukup mengusir kebingungan.

23 Maret lalu, di Aula Limas, PPLN punya

hajatan besar, sosialisasi pemilu. Agenda

dikemas dengan presentasi pemenang lomba

kolom dan dilanjutkan dengan debat per-

wakilan parpol. Yang unik, di tengah presen-

tasi, lampu mati. Menurut saya, kejadian itu

menyuguhkan metafora yang tepat sekali: di

tengah glamornya usaha pemerintah mem-

populerkan pemilu, kelamnya apatisme

Masisir tak dapat seluruhnya diterangi.

Belum lama ini, saya baca komentar di

facebook kerabat saya bahwa golput akan

menang. Sebelumnya, seorang kawan yang

lain menulis status yang membela prinsip-

prinsip golput. Teman sekamar saya juga

bilang tidak akan memilih. Dia beralasan

selain tidak mengenal caleg yang maju,

kekecewaan terhadap wakil rakyat yang

menjabat saat ini juga membuatnya memu-

tuskan abstain.

Apatisme ini sebenarnya tak jauh beda

dengan wabah pesimisme yang melanda

masyarakat Indonesia secara umum. Masisir

hanya cermin kecil pemantul wajah asli dina-

mika politik nasional. Karim Raslan, penulis

berkebangsaan Malaysia yang sangat

memerhatikan dinamika kebangsaan Indo-

nesia, mengatakan bahwa kampanye politik

edisi kali ini adalah yang paling suram. Ka-

rim, yang punya proyek Ceritalah Indonesia,

telah mengikuti perkembangan politik na-

sional sejak 1999.

Karim meneliti antusiasme masyarakat

di dua propinsi paling padat penduduk, Jabar

dan Jatim. Di Sidoarjo, Karim menemukan

Nugroho, 57 tahun, yang menyatakan akan

golput karena muak dengan politik uang

para caleg. Di Ponorogo, ia berjumpa dengan

Arif, pemulung sampah usia 31 tahun yang

bilang bahwa pemilu legislatif hanya sebuah

kemubaziran. “Tak akan ada yang berubah,”

ujar Arif. Akibat keadaan ini, Karim menyim-

pulkan bahwa masalah utama bangsa Indo-

nesia saat ini bukan lagi perihal disintegrasi,

tetapi kekecewaan masyarakat yang mening-

kat terhadap demokrasi nasional.

Menurut saya, kekecewaan semacam ini

wajar. Kita sama-sama muak dengan marak-

nya kasus korupsi, kelambanan dan tidak

efektifnya pemerintah, perilaku buruk elit

politik, juga seperti yang teman sekamar

saya bilang, ketidaktersediaan calon legislatif

yang ideal. Hal ihwal ini membuat orang

banyak berpikir bahwa barangkali golput

adalah solusi instan.

Tetapi apakah benar golput akan me-

nyelesaikan masalah? Secara tidak langsung,

tidak menggunakan hak pilih adalah mem-

berikan legitimasi bagi pemenang pemilu

yang belum tentu menyuarakan aspirasi kita.

Dr Hamid Fahmi Zarkasyi, cendekiawan

Muslim tanah air, menyuarakan retorika

menohok untuk mereka yang berniat golput:

“Jika Anda tidak mau ikut pemilu karena

kecewa dengan pemerintah, atau anggota

DPR, atau parpol Islam, itu hak Anda. Tetapi

jika Anda dan jutaan orang lain tidak ikut

pemilu maka jutaan orang fasik, sekuler, lib-

eral, atheis, akan ikut pemilu untuk berkuasa

dan menguasai kita. Niatlah berbuat baik

meski hasilnya belum tentu sebaik yang

engkau inginkan.”

Lebih jauh, golput dapat menimbulkan

gonjang-ganjing politik hingga mengancam

persatuan nasional. Bayangkan jika ke-

banyakan orang, karena putus asa dengan

keadaan saat ini, memutuskan untuk tidak

ikut berpartisipasi. Akibatnya, pemerintah

akan kehilangan legitimasi, kemudian tiap-

tiap kelompok –komunis, radikal, anarkis, dll

- merasa berkuasa atas negri ini. Perang

saudara bisa jadi akan menjadi masa depan

buruk bangsa ini.

Bahwa demokrasi nasional saat ini ber-

jalan buruk, kita sama-sama mengetahui.

Namun kita juga tak boleh menutup mata

bahwa masih banyak hal positif dalam dina-

mika kenegaraan kita. Indonesia adalah

negara demokratis terbesar ketiga di dunia.

Anis Baswedan, rektor Universitas Para-

madina, menyebutkan bahwa salah satu sisi

positif negara ini adalah kedewasaan politik.

Peserta konvensi capres partai Demokrat ini

menjelaskan lebih jauh bahwa sebenarnya

ada banyak sekali kasus dalam pilkada. Teta-

pi semua kasus itu selesai di meja peradilan

lalu masing-masing pihak berbesar hati

menerima putusan hakim. “Yang jadi masa-

lah jika setiap pihak yang tak puas turun ke

jalan lalu bakar-bakaran semua -seperti di

Timur Tengah-,” ujar Anis. Sikap bangsa In-

donesia yang legowo itu, kata Anis, adalah

tanda bangsa beradab.

Perlu diperhatikan bahwa Indonesia

adalah bangsa yang masih muda dalam pen-

carian sistem pemerintahan ideal. Sepatut-

nya kita menyadari bahwa dalam proses

pencarian itu akan ada trial and error.

Amerika Serikat saja pernah mengalami

perang saudara sebelum menjadi negara

super power. Yang dibutuhkan Indonesia

sekarang adalah solusi berwujud peran aktif,

bukan sikap apatis.

Kita harus optimis masalah demi masa-

lah dapat diselesaikan dengan sikap politik

yang aktif, cerdas dan tepat. Bukankah

korupsi, efektifitas pemerintah, perilaku elit,

dapat ditanggulangi dengan memilih wakil

dengan integritas baik. Pula, bila masalahnya

adalah ketidaktersediaan calon yang dibu-

tuhkan masyarakat, mengapa tidak meman-

taskan diri menjadi wakil rakyat?

Tidak menggunakan hak suara, seperti

menggunakannya, adalah opsi. Tetapi setiap

pilihan memiliki konsekuensi, dan golput

dapat membawa akibat yang amat buruk.

Dalam khazanah keislaman, para salaf

menggunakan istilah “setan bisu” untuk

mereka yang diam dari kebenaran. Bagi saya,

golput termasuk golongan itu. Bukankah

dalam demokrasi, setiap individu dijamin

kebebasan menyuarakan kebenaran?

Bahkan kebenaran versi apa saja.

Maka, Masisir sebagai komunitas akade-

mis, menurut saya perlu mempertimbangkan

lebih jauh sikap politiknya. Kita bukanlah

masyarakat tak berpendidikan yang men-

dasari setiap pilihan tanpa pertimbangan

nalar berpikir dan landasan ilmiah. Kita ada-

lah komunitas terdidik yang tindak tan-

duknya jadi teladan. Terutama karena kita

adalah entitas pelajar yang –mayoritas-

berkecimpung dengan khazanah keilmuan

Islam. Tugas kita adalah menjadi pionir yang

mendorong perspektif optimis dan harapan

atas masa depan bangsa ini. Karena

masyarakat yang tak punya harapan, kata

Gulen, akan lumpuh.

*Penulis adalah Mahasiswa tingkat

akhir Jurusan Aqidah Wa Falsafah.

Masisir, Antara Apatisme dan Sikap Positif Oleh: Kurniawan Saputra*

“Masyarakat yang tidak memiliki

harapan akan lumpuh,” M Fethullah

Gulen.

TëROBOSAN

- edisi In

teraktif O

pin

i– Ap

ril

Doc. Foto PPMI

Masisir Berpolitik, Why Not? Oleh: Salman Arif*

Akhirnya rakyat Indonesia masuk pada

tahun yang mana para pengamat politik me-

nyebutnya dengan "Tahun Politik". Tahun ini

adalah moment dimana calon wakil rakyat

unjung gigi, bursa calon presiden tumpah

ruah. Suhu demokrasi kembali memanas,

bahkan hawanya menerobos garis teritorial

hingga menyapa para Masisir di Negeri

Firaun.

Kalau kita perhatikan, ada segmen baru

dalam roda aktivitas Masisir. Biasanya

Masisir sibuk dengan aktivitas kuliah, bisnis,

organisasi (politik non-praktis) dan berbagai

macam aktivitas lain, maka saat ini ada seg-

men dimana Masisir lebih intens berbicara

tentang kepemimpinan, cita-cita dan masa

depan bangsa. Tiba-tiba banyak yang

"keranjingan" berbicara politik bahkan ikut

"latah" perpartisipasi dalam politik praktis.

Terkait pesta rakyat yang sedang ber-

langsung, fakta membuktikan bahwa Masisir

terbagi dalam 3 golongan. Golongan pertama

adalah mereka yang simpati dengan partai

politik. Partai politik masih dipercayai men-

jadi penampung aspirasi publik dan masih

dipandang sebagai salah satu instrument

menuju bangsa yang berperadaban. Indone-

sia masih punya wajah. Generasi dengan

background religius seperti Masisir akan bisa

mengubah atsmosfir politik yang penuh in-

trik dan aroma busuk menuju arena yang

asyik dan menyenangkan.

Bukti kongkritnya, biasanya hanya PKS

yang hadir di tengah-tengah Masisir, akhirn-

ya PKB, Nasdem dan beberapa parpol ikut

menemani. Walaupun dalam tatanan praktis,

ada yang perlu diperbaiki. Sebagai contoh

kecil tentang pengelolaan sosial media resmi

perwakilan partai yang seharusnya merupa-

kan white account, dilain kesempatan kadang

berubah menjadi grey account yang

digunakan untuk demarket-

ing rival poli-

tik. Semo-

ga

hal

ini men-

jadi pembela-

jaran menuju aktor politik yang lebih dewasa

dan profesional.

Penulis sangat mengapresiasi sikap poli-

tik seperti ini karena masih ada Masisir yang

vokal berjuang dalam jalur ini. Karena me-

mang, laju politik harus dikawal oleh orang-

orang berlatar belakang agama yang paham

timbangan baik dan buruk sehingga kursi

wakil rakyat tidak didominasi oleh para

pelacur politik. Dan kita patut berbangga

dengan banyaknya caleg dari rahim Masisir

yang berkiprah di dunia politik dengan latar

belakang parpol yang beragam.

Golongan kedua adalah golongan yang

antipati dengan politik. Dalam perspektif

kelompok ini mengatakan bahwa politik itu

kotor. Tak ada kawan atau lawan abadi da-

lam kamus politik, yang abadi hanya satu

yaitu kepentingan. Seseorang bisa menjadi

sangat jahat dan baik dan sulit mengklasifi-

kasikan tokoh baik dan tokoh jahat tersebut.

Belum lagi kasus-kasus yang menerpa partai

politik. Semuanya menjadi abu-abu. Hingga

mereka cendrung apolitik yang berujung

pada golput saat pemilu. Mereka terbelenggu

dengan jargon yang mereka gaung-gaungkan

yaitu independent. Mereka selalu mengkritik

namun mereka tidak mampu memberikan

solusi yang relevan atas problematika bang-

sa. Satu lagi sikap para barisan anti politik

yaitu adanya usaha mendepolitisasi kegiatan

politik walaupun kegiatan itu diperuntukkan

untuk konstituen politik.

Sebenarnya masih banyak orang-orang

baik yang duduk dikursi parlemen walaupun

jumlahnya minoritas, hanya saja mereka

kalah voting dalam hak angket yang mem-

ihak pada rakyat. Kalau yang terjadi seperti

ini maka logikanya pelaku golput tidak etis

dan tak berhak mengkritisi kinerja

pemerintah karena mereka tak ikut ber-

partisipasi dalam euforia pesta demokrasi.

Yang paling menarik adalah apa yang

dikatakan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, MA.,

M.Phil (Ketua MIUMI), "Jika anda tidak mau

ikut pemilu karena kecewa dengan

pemerintah dan anggota DPR, atau parpol

Islam, itu hak anda. Tapi ingat jika anda dan

jutaan yang lain tidak ikut pemilu maka

jutaan orang fasik, sekuler, liberal, atheis

akan ikut pemilu untuk berkuasa dan men-

guasai kita. Niatlah berbuat baik meskipun

hasilnya belum tentu sebaik yang engkau

inginkan." Belum lagi statement Aa Gym, Ust.

Yusuf Mansur dan Habib Rizieq semakin

membantah mitos bahwa agama berseber-

angan dengan politik. Kiyai dan santri/

jebolan pesantren harus care terkait hub-

ungan politik dengan isu keumatan.

Golongan ketiga adalah-- golongan yang

melek politik tapi tidak terjun dalam politik

praktis. Alasannya beragam, ada yang kelak

ingin berdakwah secara normal dan mem-

bina generasi penerus. Ini masuk akal dan

layak diapresiasi karena semua kita harus

masuk dalam ruang lingkup keindonesiaan

yang konperhensif menuju Indonesia yang

lebih maju.

Sebenarnya politik itu sangat urgent dan

tidak ada sekat antara politik dengan tujuan

Masisir menuntut ilmu ke Mesir ini. Apabila

keduanya bergabung dan berakumulasi da-

lam satu bentuk maka itu akan menciptakan

percepatan kematangan diri saat terjun ke

masyarakat saat pulang ke tanah air. Masisir

akan mudah beradaptasi dan cepat berbaur

saat bergabung dengan parpol atau LSM ter-

tentu. Politik juga tidak mempengaruhi pres-

tasi akademik. Tanpa menyebutkan parpol,

banyak kader partai tertentu meraih mumtaz

dan melanjutkan study ke jenjang magister

dan doktoral. Politik dan akademik keduanya

berjalan seiringan tanpa mendahului satu

sama lain. Walaupun sebenarnya semua

kembali pada individu masing-masing.

Disisi lain memang terbentuk banyak

friksi di tubuh Masisir. Dalam politik,

gesekan dan ketegangan yang sering terjadi

di sosial media merupakan suatu yang wajar.

Walapupun kelemahan ini menjadi sasaran

bully dan adu bomba para barisan anti poli-

tik namun hal ini akan menjadi pembelajaran

menuju Masisir politik yang matang.

Terakhir, apapun sikap politik anda, jan-

gan sampai merusak hubungan horizontal

sesama Masisir. Perbedaan itu wajar, keraga-

man itu indah. Kolaborasi golongan dengan

misi keindonesian bersama golongan dengan

misi keumatan itu yang barangkali akan

menjadikan bangsa kita hebat dan kuat.[]

*Penulis adalah mahasiswa Universi-

tas Al-Azhar, Fakultas Syariah wal Qanun,

Jurusan Syari'ah Islamiyah

Doc. Google.com

TëROBOSAN

- e

dis

i In

tera

ktif

Op

ini -

Ap

ril 2

01

4

Melihat definisi politik yang telah

dikatakan oleh para tokoh itu, kita bisa me-

mahami bahwa politik adalah hal yang mulia,

dan aktifitasnya merupakan suatu ibadah.

Namun tak bisa dipungkiri, pada kenyataanya

politik tidak lepas dari trik-trik yang licik dan

menghalalkan segala cara untuk mencapai

kekuasaan.

Semua warga negara Indonesia di luar

negeri mempunyai hak suara yang sama. Mes-

kipun jumlah WNI yang berada di Mesir hanya

berjumlah sekitar empat ribu jiwa—dan

mayoritas adalah mahasiswa, tapi geliat poli-

tiknya cukup hangat. Banyak yang mengatakan

bahwa Masisir adalah fotokopiannya Indone-

sia. Di Masisir hampir semua lembaga afiliatif

tersedia, seperti NU, Muhammadiyah, Persis

dan yang lainnya. Pun begitu ketika menjelang

pemilu, beberapa wakil partai politik unjuk

gigi untuk berebut suara.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah:

Apakah penting bagi Masisir untuk terlibat

langsung dalam politik praktis? Dalam kata

lain, apakah penting dan pantas mahasiswa

menjadi pengurus parpol tertentu? Belum atau

tidak ada kata sepakat tentang jawabannya.

Namun di sini penulis akan mencoba

mengemukakan beberapa pendapat yang

beredar di Masisir terkait hal itu. Ada yang

mengatakan penting, adapula yang menga-

takan tidak penting.

Pertama, pendapat yang mengatakan bah-

wasanya tidak penting bagi Masisir untuk

terjun langsung ke dunia politik praktis.

Alasannya, kedatangan Masisir ke bumi Mesir

ini adalah untuk belajar, bukan untuk berpoli-

tik.

Politik memang tidak selalunya kotor, tapi

masuk ke dunia politik juga sulit untuk tetap

bersih. Tujuan belajar adalah mencari kebena-

ran, dan mencari kebenaran dalam politik itu

bukan ikut-ikutan terjerumus ke dalam

‘kepentingan sesaat’. Kuliah lancar, me-

manfaatkan waktu sebaik-baiknya, menjalin

hubungan baik dengan KBRI dan berinteraksi

dengan sesama warga Indonesia atau non

Indonesia adalah hal-hal yang seharusnya

menjadi topik politik Masisir.

Masih menurut pendapat yang pertama

ini, kalau ingin belajar berpolitik lebih dalam,

bukankah sudah ada PPMI dan kekeluargaan?

di sana terdapat pembelajaran berpolitik, teru-

tama di PPMI yang menganut sistem Trias

Politika. Warna politik di PPMI sudah mirip

dengan politik di Indonesia, ada Pemilu Raya

dengan segala atributnya; kampanye, debat

kandidat dan lain sebagainya. Demikian juga di

kekeluargaan yang kurang lebih sama.

Jika tujuan politik adalah untuk mense-

jahterakan rakyat, maka belajar politik di or-

ganisasi Masisir adalah pilihan tepat. Sebelum

mengurus rakyat banyak, belajar dulu mengu-

rus kawan-kawan yang notabene adalah sesa-

ma mahasiswa, bukan ikut berkecimpung di

politik praktis.

Lagi pula, pemilu hanya berjalan lima ta-

hun sekali. Jika standar masa belajar di al-

Azhar adalah empat tahun, maka tidak semua

orang bisa belajar berpolitik lewat partai. Ten-

tu tidak cukup belajar satu kali dalam lima

tahun, karena sesunggunya belajar politik itu

perlu waktu yang lama. Mahasiswa berpolitik

praktis justru merobohkan citra mahasiswa

itu sendiri yang sejatinya adalah insan intel-

ektual. Hal itu terkait sebagian Masisir yang

terjun ‘dadakan’ menjelang pemilu. Adapun

bagi mereka yang sepanjang tahun bergelut di

dunia politik, karena memang mereka adalah

kader partai politik tertentu yang selalu aktif

di Masisir, mereka terkesan telah lompat dari

tujuan asli sebagai pelajar atau mahasiswa dan

memilih jalur yang sebenarnya bukan jalurn-

ya.

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa

Masisir perlu berpolitik praktis. Alasannya

adalah bahwa mahasiswa yang berada di Me-

sir adalah WNI juga. Jika di Masisir terdapat

berbagai organisasi afiliatif, kenapa parpol

tidak? Asal bisa tertib dan rapi, tidak menjadi

masalah jika mahasiswa berpolitik. Toh itu

merupakan sebuah pembelajaran dalam dunia

perpolitikan.

Masih menurut pendapat ini, di lingkungan

mahasiswa Indonesia di Tanah Air terdapat

BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) yang mem-

bawahi kegiatan mahasiswa yang bersifat

ekstra. Dari sanalah kawan-kawan mahasiswa

Indonesia belajar berorganisasi, sekaligus

belajar berpolitik. Dalam hal ini, PPMI dan

kekeluargaan di Masisir--meskipun sudah

menganut sistem Trias Politika, belum bisa

disamakan dengan BEM, karena aktifitas PPMI

masih dalam lingkup mahasiswa saja, tidak

melebar ke warga Indonesia yang non maha-

siswa. PPMI seperti OSIS di SMP atau SMA

yang ruang lingkupnya adalah sekolahan. Jadi

belum cukup untuk menjadi tempat belajar

berpolitik.

Alasan yang tidak kalah pentingnya adalah

masalah kesempatan. Banyak yang menga-

takan bahwa mahasiswa yang kuliah di Indo-

nesia lebih banyak kesempatannya untuk

menjadi politisi, karena mereka berada di

Tanah Air. Sementara Masisir yang jauh di luar

negeri sulit untuk menggapai kesempatan itu.

Sebuah proses politik bukanlah abra kadabra

seperti tukang sulap yang satu kali jadi. Karier

politik memerlukan proses panjang. Masisir

juga berhak untuk menjadi seorang politisi,

supaya dengan keilmuan dan kesalehannya

bisa mewarnai perpolitikan di Indonesia. Ka-

lau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau tidak di

Mesir, lalu di mana lagi? Memang benar bahwa

politik tidak bisa lepas dari uang. Tapi justru

itulah yang menjadi tantangan Masisir;

bagaimana menghindari praktek politik uang

yang kotor itu.

Masisir yang berpolitik bisa menjadi

percontohan untuk Indonesia, bahwa politik

ala mahasiswa adalah bersih. Dari dua pen-

dapat di atas, penulis ingin menyimpulkan

bahwasanya Masisir berpolitik itu penting.

Selain untuk belajar, Masisir yang berpolitik

secara bersih juga bisa menjadi percontohan

bahwa mahasiswa al-Azhar mampu berpolitik

secara bersih. Namun ada yang lebih penting

dari sekedar berpolitik, yaitu belajar di al-

Azhar dengan sungguh-sungguh, karena al-

Azhar lah yang membuat sebagian besar

Masisir datang ke bumi Mesir ini. Kata orang

bijak, jangan sampai “mencari jarum melupa-

kan kapak”, mengejar hal yang tidak begitu

penting tapi meninggalkan hal yang sangat

penting. Jangan karena niat belajar berpolitik,

belajar di al-Azhar terlupakan.

*Penulis adalah Mahasiswa tingkat III

jurusan Syariah Islamiyah.

Masisir Berpolitik, Pentingkah? Oleh: Ahmad Hujaj Nurrohim*

Ada banyak definisi tentang politik. Se-

mentara pakar mengatakan bahwa politik

adalah seni untuk mencapai kekuasaan, dan

kekuasaan adalah alat untuk mengatur negara

dan memakmurkan rakyat. Menurut mantan

Mufti Mesir, Syekh Ali Jum’ah, politik adalah

ri’âyat syu’ûn al-ummah fi al-dakhîl wa al-

khârij (menjaga urusan umat dari luar dan

dalam). Barangkali definisi beliau itu merujuk

kepada Imam al-Ghazali yang mengatakan

bahwa politik adalah alat untuk mengatur

manusia demi mencapai kebahagiaan dunia

dan akhiratnya.

TëROBOSAN

- edisi In

teraktif O

pin

i– Ap

ril

Salah satu penafsiran yang muncul ada-

lah pengkaitan nomer urut surat di dalam al

-Quran dengan nomor urut sebuah partai.

Mereka dengan sengaja tanpa memper-

hatikan beberapa syarat dan ketentuan

kaidah penafsiran, mencoba -lebih tepatnya

memaksakan untuk mengambil kesimpulan

antara makna surat tersebut dengan partai

yang dimaksud. Hal ini tentunya tidak

dibenarkan, karena semua kesimpulannya

benar-benar tidak rasional.

Semua penafsiran tersebut secara lang-

sung untuk meraup simpati masyarakat,

karena mungkin jika dikaitkan dengan al-

Quran maka akan memunculkan nilai atau

kesan lebih baik. Contohnya ketika ada sa-

lah satu partai yang bernomer urut 24,

maka sebagian mereka (red: oknum)

mengaitkan nomer tersebut dengan surat

yang ada di dalam al-Quran yang di mana

surat ke-24 adalah surat al-Nur. Sehingga

mereka pun mengambil kesimpulan bahwa

partai tersebut dalam segala hal seperti

cahaya.

Jika memang seperti itu, berarti partai-

partai lain selain partai tersebut adalah

kegelapan? Apakah ada syarat atau tahapan

-tahapan di mana sebuah partai bisa

dikatakan partai yang “bercahaya?”

Sungguh tidak masuk akal. Bisa jadi ada

partai lain yang sepak terjangnya sebaik

partai tersebut atau mungkin lebih baik

sehingga lebih pantas disebut partai yang

bercahaya.

Ada lagi sebagian simpatisan (red: ok-

num) partai PAN yang mengajak masyara-

kat untuk mendukung mereka karena di

dalam al-Quran hanya partai tersebut yang

disebut, “Kullu man ‘alaihaa faan.”

Penafsiran seperti ini benar-benar harus

ditiadakan, karena bisa mengotori pema-

haman orang awam khususnya terhadap al-

Quran. Di sisi lain apa yang telah dilakukan

ini sesuai dengan larangan Allah bahwa kita

dilarang untuk menjual ayat-ayat Allah

dengan hal-hal yang tidak berharga. Allah

berfirman, “... dan janganlah kamu jual ayat-

ayat-Ku dengan harga murah ...” (QS. Al-

Maidah: 44).

Memang benar dewasa ini telah muncul

metode penafsiran al-Quran perspektif poli-

tik, namun tidak seperti di atas caranya.

Satu hal yang penting dalam metode ini

adalah menjaga kefanatikan terhadap

sebuah paham, seorang individu atau ke-

lompok. Artinya, ketika menafsirkan ayat,

khususnya yang berkaitan dengan hukum

bermasyarakat, maka seyogianya untuk

menjauhkan sifat kefanatikan. Karena jika

tidak, maka penafsiran tersebut secara

langsung akan cenderung mengikuti hawa

nafsu.

Saya di sini tidak membenci mereka

secara individu atau kelompok, namun

membenci cara mereka dalam menarik

simpati masyarakat yang sangat keliru,

apalagi menggunakan al-Quran. Al-Quran

itu pedoman, bukan mainan!

Di sisi lain, yang perlu dicatat adalah

salah satu kesimpulan yang kurang benar

bahwa al-Quran (red: agama) tidak bisa

dibawa-bawa ke dalam ranah politik karena

bisa menodai kefitrahan agama. Sebagaima-

na yang dituliskan Syeikh Ghadlban dalam

mukadimah bukunya, “Al-Manhaj Al-Siyasi li

Sirah Nabawiah,” bahwa politik itu cender-

ung dengan hal-hal busuk, najis dan jauh

dari kebaikan, sedangkan agama itu suci,

bersih, sesuai dengan norma dan nilai-nilai

kebaikan. Sehingga keduanya tidak bisa

disatukan, seperti minyak dan air.

Hal di atas tentu keliru, karena jika

benar maka apa bedanya saya dengan orang

-orang liberal yang berusaha menyebarkan

pemahaman bahwa agama hanya ada di

masjid saja sedangkan hal-hal di luar masjid

yang berhubungan dengan sosial, agama

tidak berkepentingan.

Apa yang dipahami orang-orang liberal

sebetulnya merendahkan agama Islam ka-

rena sebagaimana yang kita ketahui bahwa

Islam dengan al-Quran dan sunnah

Rasulullah Saw. sebagai pedoman, men-

cakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada

satu pun perkara di dalam ke-

hidupan, kecuali su-

dah ada

pen-

jelasannya di dalam agama

Islam. Bahkan salah satu sabda Rasulullah

Saw. ada yang mengandung kata siyasah

atau politik. “Kaanat banu Israil tasuusuhum

al-Anbiya…” (HR. Bukhari).

Pada akihirnya kita bisa mengambil

beberapa poin penting. Pertama, agama dan

politik benar-benar tidak bisa dipisahkan

seperti halnya yang dipahami orang-orang

liberal. Namun sebaliknya, karena sifat aga-

ma Islam yang universal, maka politik pun

termasuk cakupannya, sebagaimana yang

dikatakan Syeikh Ghadlban bahwa politik

dengan segala apa yang terkait dengannya

harus dikontrol atau di bawah naungan

hukum syar’i.

Kedua, sebagai insan akademis, kita

secara tidak langsung bertanggungjawab

dengan hal-hal yang terjadi di Indonesia,

khususnya pesta demokrasi. Jika ada hal

yang mengganjal atau bertentangan dengan

agama, maka seyogyanya kita meluruskann-

ya meski melalui tulisan yang mungkin tid-

ak dibaca banyak orang, tapi kita minimal

sudah memberikan kontribusi positif untuk

membangun Indonesia menjadi lebih baik.

Ketiga, bagi partai yang merasa menjadi

representasi dari agama, maka perlu hati-

hati dalam “melangkah.” Karena menurut

saya, dewasa ini agama bukan lagi menjadi

pedoman untuk berpolitik, tapi sebagai alat

berpolitik. Hal inilah yang ditakutkan, kare-

na jika ada kebijakan-kebijakan yang jauh

dari nilai dan norma agama, maka masyara-

kat pun akan memandang negatif, bukan

kepada partai saja tetapi juga pada agama

itu sendiri.

*Penulis adalah Mahasiswa tingkat

akhir jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin.

Setelah munculnya mufasir “kesasar,”

Abu Marlo dan penafsiran keliru tentang

musibah Gunung Kelud, baru-baru ini kita

kembali dikagetkan dengan adanya

penafsiran al-Quran yang dikaitkan dengan

“kepentingan-kepentingan” mereka dalam

meraup kekuasaan dalam kancah politik.

Tidak tau apa alasan atau argumen mereka,

yang jelas mereka telah menyalahgunakan

al-Quran demi sebuah kepentingan sesaat.

Padahal al-Quran sebagai kitab suci, terlalu

mulia jika digunakan untuk kepentingan

Al-Quran Itu Pedoman, Bukan Mainan! Oleh: Hilmy Mubarok*

TëROBOSAN

- e

dis

i In

tera

ktif

Op

ini -

Ap

ril 2

01

4

Bagaimana Hubungan Ideal Mahasiswa Dengan Politik? Oleh: Ahmad Satriawan Hariadi*

Ada beberapa hal dari dinamika politik

mahasiswa yang banyak mengundang tanya.

Apakah itu latar belakang yang menyebabkan

para mahasiswa pegiat politik ini begitu

ngotot dan fanatik terhadap partai tertentu,

ataukah semangat berpolitik yang jarang

sekali kita temui tandingannya di dalam ak-

tivitas-aktivitas mereka yang lain.

Kemudian dalam berbagai kesempatan,

kita seringkali terheran-heran dengan eksis-

tensi sikap politis mereka yang kian menjadi-

jadi seiring dekatnya pemilu. Bahkan bebera-

pa kawan mahasiswa ataupun mahasiswi

yang selama ini kita kenal sebagai sosok pen-

diam dan pemalu, kini begitu lantang

mengkampanyekan partai mereka, dan tidak

segan-segan lagi untuk memamerkan momen-

momen politis mereka bersama teman separ-

tai.

Lalu di dalam ranah dunia maya, artikel-

artikel politis mereka akhir-akhir ini semakin

banyak menghiasi timeline kita. Bahkan tidak

jarang kita temui argumen-argumen ten-

densius mereka, agar kita memilih partai

tertentu. Sehingga, semua hal yang berkaitan

dengan suksesnya propaganda politis ini,

tidak akan luput dari perhatian mereka.

Kita pun bertanya-tanya, bagaimana par-

tai politik ini masuk ke dalam kehidupan

mereka, hingga layaknya sebuah mazhab?

Mengapa mahasiswa politik ini begitu intens

melakukan aktivitas politiknya? Apa motif

yang melatarbelakangi mereka melakukan hal

demikian? Lalu seperti apa hubungan ideal

mahasiswa dengan politik?

Pertanyaan-pertanyaan di atas, tentu

sangat sulit untuk penulis jawab, mengingat

penulis --dan harus diakui-- termasuk golon-

gan mahasiswa yang antipati dengan politik

praktis ala mahasiswa.

Namun penulis berani menjamin adanya

relasi yang dipaksakan saat mereka mengait-

kan kepentingan politis mereka dengan aga-

ma maupun masyarakat. Jika anda tidak

percaya, lihatlah editorial media partai politik

masisir yang berjudul "Anak-Anak Cinta".

Dalam artikel ini anda akan mendapati

bagaimana berbagai macam kegiatan sebuah

partai politik, yang nyata-nyata

dibelakangnya ada kepentingan politis --

terlepas dari nilai positif dan negatifnya--

dikait-kaitkan dengan mauqif-mauqif Nabi

yang semuanya bersumber dari wahyu.

Sungguh jauh antara kepentingan politis

kekinian dan wahyu. Sungguh jauh antara

cinta Nabi dengan cinta yang di belakangnya

ada kepentingan politis. Sungguh jauh antara

rahmatan lil alamin dan cinta yang diobaral-

obral untuk sebuah suara di parlemen dan

beberapa kursi di kementerian.

Penulis juga berani menjamin adanya

analisis tendensius, saat membaca media

partai politik dan tulisan-tulisan lepas mereka

di media sosial. Jika ada ragu, simaklah

bagaimana tendensiusnya analisis seorang

mahasiswa yang merupakan kader partai

tertentu di Mesir. Lihatlah bagaimana ia

dengan yakinnya menegaskan bahwa jika

Islam tidak didakwahkan lewat kekuasaan,

maka Islam hanya akan ada di buku-buku dan

masjid-masjid. Tidak hanya itu, ia menam-

bahkan, "Bahkan bisa saja jika buku-buku dan

surau-suraunya pun tidak akan dibiarkan

ada."

Penulis tidak menafikan pentingnya

dakwah lewat kekuasaan. Namun anda tidak

bisa mendiskreditkan begitu saja peranan

masjid sebagai sekolah sosial dan buku se-

bagai realisasi intelektual. Jika masih ragu

juga, lihatlah al-Azhar pada Revolusi 1919, ke

-Sunni-an rakyat Mesir pada zaman Dinasti

Fatimiyah, Muhammadiyah dan pendidikan

Indonesia, Hizmet dan Fethullah Gu len, Islam

dan proses penyebarannya di nusantara, dan

lain-lain.

Semuanya membuktikan bahwa tidak

selamanya Islam harus didakwahkan lewat

kekuasaan. Begitu juga tidak selamanya

penggunaan kekuasaan selalu berhasil dalam

menyebarkan dakwah. Bahkan, tidak jarang

jika masjid --yang notabene adalah sekolah

sosial-- menjadi hulu revolusi melawan tirani.

Jadi, tidak salah jika penulis menegaskan bah-

wa anda terlalu overaktif dengan kek-

hawatiran anda yang berlebihan, ketika Islam

tidak didakwahkan lewat kekuasaan.

Oleh karena itu, meskipun penulis tidak

ikut-ikutan nimbrung ke dalam sebuah partai

politik, paling tidak apa yang ditampakkan

oleh para mahasiswa pegiat politik --secara

verbal maupun literer-- bisa menjadi acuan

untuk mengetahui nafsiyah dan aqliyah mere-

ka, terkait dunia politik yang mereka geluti.

Sehingga kita, sedikit tidak bisa meraba-raba

jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas.

Dalam hal ini penulis menggunakan pendeka-

tan mental untuk menjawab tiga pertanyaan

pertama. Sedangkan untuk pertanyaan tera-

khir, penulis menjawabnya dengan

menggunakan pendekatan nalar.

Mari kita jawab tiga pertanyaan pertama

tersebut! Jika kita ingin mengetahui bagaima-

na partai politik ini masuk ke dalam ke-

hidupan mahasiswa, lalu menjelma layaknya

sebuah mazhab, maka setidaknya kita harus

tahu sebuah titik yang mempertemukan tabi-

at mahasiswa dan partai politik tersebut.

Sudah maklum jika mahasiswa selalu

terpukau dengan hal-hal yang membakar

idealisme mereka. Sudah maklum juga jika

darah muda mereka selalu condong kepada

hal-hal yang bersifat revolusioner, baik dalam

agama maupun negara. Begitu juga dengan

hal-hal lain yang menjadi ciri khas gaya pikir

dan tabiat mahasiswa.

Di sisi lain, ada semacam kecocokan anta-

ra idealisme yang diusung partai politik ter-

tentu dengan tabiat mahasiswa yang ber-

sangkutan. Sehingga tak ayal, terjadilah per-

temuan, lalu kekaguman, hingga diakhiri

dengan fusi. Di samping itu, ada semacam

asupan mental dari pegiat partai yang senan-

tiasa menjaga keberlangsungan fusi tersebut.

Fusi inilah yang menjadikan partai yang

didukung oleh mahasiswa layaknya sebuah

mazhab, yang secara tidak langsung

menuntut penganutnya untuk fanatik dan

selalu berbaik sangka terhadap petinggi ma-

zhabnya.

Selanjutnya jika kita ingin tahu mengapa

mahasiswa pegiat politik itu begitu intens

berkampanye berikut motifnya, maka kita

harus kembalikan itu semua kepada petinggi

partainya. Iya, para petinggi partai itulah otak

dari semua aktivitas mahasiswa dalam

kegiatan politisnya. Dengan begitu, anda tidak

Lanjut ke hal. 14...

Doc. Google.com

TëROBOSAN

- edisi In

teraktif O

pin

i– Ap

ril

Pemilu bukan acara satu-satunya dalam

kehidupan bernegara. Bukan berarti

mengecilkan arti dari pemilu. Adalah benar

bahwa pesta ini merupakan rangkaian acara

terbesar dalam demokrasi, tapi bukan segala

-galanya. Layaknya mengadakan sebuah

acara, keberhasilan dari acara tersebut tidak

hanya sekedar keberhasilan secara teknis,

tapi keberhasilan yang sesuai dengan target-

target jangka panjangnya. Sebagai mana

sebuah pesta apapun, ia membutuhkan

persiapan yang dalam dan matang dari jauh-

jauh hari.

Euforia pesta pemilihan wakil-wakil

baru rentan kehilangan makna. Apa maksud

kehilangan makna? Maksudnya bisa jadi

acara ramai, orang banyak, media ribut, tapi

yang lebih besar dari pada itu adalah bahwa

kontrak-kontrak politik perjanjian antara si

pemilih dan si calon wakil harus tetap

dikawal. Komunikasi rakyat dengan calon

wakil tidak boleh hanya terjadi secara instan

beberapa saat jelang pemilu. Selanjutnya

akses rakyat untuk mengetahui kinerja para

wakilnya harus semakin diperluas dan

berkelanjutan hingga berakhirnya masa

kerja.

Pada saat yang sama dengan pemilu juga

diadakan pertanggung jawaban dalam

sidang MPR. Tanpa memberikan porsi yang

memadai untuk pertanggung jawaban ini,

seolah-olah pemilihan umum hanya seperti

lingkaran dengan jalur berputar-putar disitu

saja. Memilih lagi dan lagi tanpa evaluasi.

Parameter paling akurat dalam

mengevaluasi para wakil adalah cita-cita

bangsa sebagaimana yang termaktub dalam

pembukaan UUD 1945 berupa negara yang

bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Wakil-

wakil mana yang mampu membawa rakyat

menuju negara yang telah dicanangkan

dalam cita-cita bangsa. Pertanyaannya

adalah apa wadah bagi rakyat untuk

melakukan evaluasi dan pengukuran itu?

Biasanya cita-cita negara secara simbolis

menjadi pusat perhatian hanya pada saaat

dirgahayu kemerdekaan. Anehnya selama

masa pemilu menyinggung hal ini seolah

tabu. Persaingan para kompetitor untuk

mendapat suara rakyat murni berisi intrik-

intrik perebutan kursi. Mengapa kita sebagai

konstituen tidak sepakat untuk menilai

parpol atau calon anggota DPR dan DPD

secara personal berdasarkan kriteria

implementasi dari cita-cita negara yang

dirumuskan oleh pendiri bangsa. Setidaknya

harus ada mobilisasi opini secara besar

rakyat menginginkan negara yang bersatu,

berdaulat, adil dan makmur.

Yang diinginkan dalam negara yang kuat

dan berpotensi besar adalah peran serius

tidak hanya dari wakil tapi juga dari yang

terwakilkan. Berakhirnya pesta pemilu raya

adalah titik awal dimulainya peran

pengawalan oleh konstituen sebagaimana

menjadi titik awal pekerjaan wakil terpilih.

Sebagaimana wakil yang duduk di kursi

basah penuh fasilitas terobsesi

mempergunakan berbagai haknya,

konstituen juga tidak boleh lengah dan

malas mengawasi. Agar periode pemilu

mendatang tidak menjadi ajang caci maki

ketidakpuasan sepihak. Arah kebijakan

negara diharapkan terlaksana secara

berkesinambungan di jalurnya menuju cita-

cita. Pada akhirnya, setiap pemilu adalah

hasil persiapan luar biasa besar, rumit dan

panjang beberapa tahun sebelumnya.

Berdasarkan model politik aktif dua arah

ini kita anggap penting dan kita inginkan

anak-anak semenjak kecil diajarkan secara

netral bagaimana itu negara. Negara

sebenarnya adalah kesepakatan. Setiap

anggota negara berjuang menyatukan

persepsi dan langkah secara jujur untuk

tetap berada di garis kesepakatan itu.

Barangkali kondisi negara tempat kita

tinggal saat ini dapat menjadi pelajaran.

Perjanjian atau kesepakatan bernegara tidak

kuat. Akhirnya tidak ada imun agar tidak

tumbang. Negara bisa tidak memiliki MPR

dan DPR dalam waktu lama. Suatu waktu

bahkan tanpa kabinet.

Kita berharap dapat membangun negara

yang dewasa, mandiri, dan komitmen

dengan cita-cita bersama. Hal ini hanya bisa

dilakukan oleh penyelenggara yang netral

dan atau orang-orang yang secara praktis

tidak berkepentingan seperti ormas dan elit

pelajar dan mahasiswa.

Nalar kritis yang menjadi ciri mahasiwa

belumlah cukup jika tidak dibarengi dengan

antusias keterlibatan dalam agenda para

penyelenggara negara. Jika poin terakhir

diabaikan, mahasiswa menjadi kelompok

kuat yang tidak menyadari potensinya. Di

dalam tataran teori, sebagai contoh,

mahasiswa dapat saja fasih mengkritik

sistem demokrasi. Sesungguhnya di saat

yang sama, tuntutan realita nan mendesak

mengharuskannya untuk terjun langsung

dalam mekanisme sumbang peran yang ada.

Mahasiswa tidak boleh malas untuk

bersinggungan secara langsung dengan

wakilnya sebagai konstituen aktif. Berbagai

kesempatan audiensi, ambil bagian dalam

juridical review terhadap wakil rakyat,

optimalisasi kesempatan dengar aspirasi

dalam tugas reses anggota dewan, dan

sebagainya, idealnya menjadi fokus peran

politik mahasiswa. Dengan iklim politik

seperti ini masalah-masalah mendasar

akibat sistem demokrasi yang dianut negara

dapat diurai.

Sebagai contoh kasus, permasalahan

mendasar demokrasi bahkan di negara

kampiunnya adalah campur tangan kuat

pemilik modal besar bahkan hingga

mendikte kebijakan penyelenggara negara.

Dengan pengawasan dan peran aktif

konstituen -utamanya dari kalangan elit

yang teredukasi dengan baik-, hal ini dapat

ditekan. Adapun sikap masa bodoh, maka

hanya akan membuat kalangan tertentu

semakin menancapkan cakarnya dalam

kebijakan-kebijakan umum secara tidak adil.

Selamat memilih representasi bangsa!

Bersiap untuk mengawasi wakil-wakil

terpilih!

*Penulis adalah Mahasiswi tingkat

akhir jurusan Tafsir.

Politik Aktif Dua Arah Oleh: Fatimah Insani Zikra*

Express Copy Menerima segala jenis

fotokopi

Mahatthah Mutsallas,

Hay `Asyir

Building 102 Sweesry.

Hp: 01001726484

TëROBOSAN

- e

dis

i In

tera

ktif

Op

ini -

Ap

ril 2

01

4

Berkaca pada sebuah era di Indonesia,

disaat reformasi 1998 telah memberikan

kekecewaan yang mendalam bagi sebagian

kalangan, namun kondisi tersebut dimaknai

oleh sebagian mahasiswa sebagai jalan

menuju perbaikan, karena mereka yakin

pada kesempatan itulah mereka dapat meru-

muskan jalan menuju perubahan ke arah

yang lebih baik lagi.

Berhasil atau tidak, yang jelas pada saat

itu mahasiswa berhasil mengidentifikasikan

diri sebagai anggota masyarakat yang sudah

bosan dan kecewa terhadap kesenjangan

ekonomi dan ketidakadilan yang ada.

Belakangan ini hiruk pikuk dinamika

organisasi Masisir mulai ramai di-

gandrungi oleh para “politisi dada-

kan”, ratusan politisi hasil dari

rekruitmen politik partai politik ini

telah dan sedang melakukan akrobat

politik guna mendapatkan simpati di

sanubari hati Masisir dan bersuara

lantang seolah sedang merepresenta-

sikan diri atas nama rakyat dengan

tujuan untuk mendapatkan dukungan

pada Pemilu Legislatif atas calon legis-

latif yang mereka usung.

Terlepas dari nilai-nilai yang

terkesan pragmatis itu, hal yang harus kita

pahami bersama adalah; untuk mendapatkan

kepercayaan masyarakat (dalam hal ini

Masisir khususnya) sudah barang tentu tidak

semudah membalikkan tangan, namun dibu-

tuhkan komitmen, keselarasan antara uca-

pan dan perbuatan. Sebab kepercayaan han-

ya bisa didapat melalui sebuah manifestasi

keyakinan kolektif. Keyakinan Masisir tidak

akan tumbuh begitu saja, hanya dengan bu-

alan manis, seabreg event, bagi-bagi angpao

atau umpan silang atau apalah dengan sea-

breg istilah sinonim lainnya. Kepercayaan

pun tidak datang begitu saja ketika rasa ka-

gum kian membuncah, ketika bahasa lisan

mulai memanah, namun kepercayaan akan

timbul dari sebuah bukti konkrit atas segala

sikap, perbuatan, tutur kata maupun sapa

yang selama ini dilakukan oleh calon mau-

pun para politisi dadakan tersebut. Maka

jangan harap jika Masisir akan menginte-

grasikan ucapan dan perbuatannya jika para

calon dan politisi dadakan tersebut belum

memulainya. Masisir sudah terlalu pintar

jika akrobat yang dilakukan masih saja beru-

pa tipu-tipu dalam hal yang bersifat material,

mereka sudah sangat paham, calon mana

yang ikhlas berbuat dan calon mana yang

giat melumat.

Namun terlepas dari pada itu, Masisir

sebagai kaum intelektual yang agamis, cen-

dekiawan yang paham Qur’an dan Hadist

harus turut berperan dalam kegiatan politik.

Masisir harus mampu memberikan citra

positif di mata masyarakat Indonesia. Harus

kita sadari bersama, bahwa partai politik

adalah kendaraan untuk menuju kekuasaan

formal. Hal ini berarti gerakan menuju

gerbang perubahan setidaknya harus juga

dimulai dalam wadah yang bernama partai

politik. Sistem demokrasi telah terma-

teraikan, kita semua harus merasa terpanggil

untuk mewujudkan demokrasi yang adil dan

sejahtera, tanggung jawab tersebut telah kita

lakukan dalam bentuk partisipasi aktif dalam

Pemilihan Umum Legislatif pada 5 April

kemarin. Pada hari itulah tonggak per-

juangan dan penentuan nasib Indonesia sela-

ma lima tahun kedepan ditentukan.

Dalam diri para politisi itulah amanat

rakyat dititipkan. Mahasiswa yang notabene

sebagai agen perubahan harus turut ambil

bagian dalam mengembalikan cita-cita Indo-

nesia sebagaimana yang dahulu diharapakan

oleh para pendiri Bangsa yaitu; menjadikan

pancasila sebagai jati diri bangsa dan dasar

kehidupan bersama. Kita harus bergandeng

tangan bersama dalam merekonstruksi pola

pikir masyarakat Indonesia dari kepura-

puraan menjadi keterusterangan. Konsisten-

si gerakan perubahan dalam merekonstruksi

pola pikir masyarakat di Indonesia inilah

yang harus kita mulai dari sekarang. Tak

hanya bermodal keluasan ilmu pengetahuan,

idealisme yang bercokol dalam pikiran,

melainkan partisipasi dan terjun ke dalam

arena politik praktis pun kelak bisa jadi akan

menelurkan gagasan-gagasan baru bagi pem-

bangunan Indonesia di masa yang akan da-

tang. Bukan akan menghancurkan kesakra-

lan nama besar al-Azhar, melainkan kita

semua diharapkan membawa harapan dan

mata air baru di tengah kegersangan dan

kesemerawutan Bangsa Indonesia saat ini.

“Ketika manusia-manusia jahat bersatu,

maka sudah seharusnya manusia-manusia

baik bersekutu dan bergotong-royong, agar

manusia-manusia baik itu tidak jatuh satu-

persatu”. Adalah tulisan seorang Negarawan

asal Irlandia, Edmund Burke itulah yang

sampai saat ini penulis yakini bahwa masih

ada harapan untuk menuju sebuah perbai-

kan bagi Indonesia yang satu. Indonesia yang

harmonis dalam kemajemukan, toleransi

dalam perbedaan.

Dengan melihat antusiasme mahasiswa

Indonesia di Mesir, yang setiap lima

tahunnya turut memeriahkan pesta

demokrasi melalui pendirian perwaki-

lan luar negeri dari masing-masing

partai, penulis optimis kedepan akan

banyak corak baru yang turut me-

warnai dinamika ideologi fundamental

partai. Karena kita harus pahami bersa-

ma bahwa nilai-nilai kebaikan yang

diajarkan al-Azhar tak mesti harus

berkumpul dalam satu wadah partai

yang bernafaskan islami, melainkan

juga nilai-nilai tersebut harus kita

tiupkan kedalam partai-partai nasionalis.

Agar manusia-manusia baik yang terdidik

dapat terus bersinergi membentuk

kumparan energi untuk Indonesia yang lebih

baik lagi.

Dengan turut aktifnya masyarakat Indo-

nesia di Mesir (mahasiswa khususnya) da-

lam geliat perpolitikan menjelang Pemilu

Legislatif nanti, hal ini tentu akan mem-

berikan efek pula bagi warga negara Indone-

sia di belahan dunia lain, bahwa Islam juga

mengajarkan seperangkat tata nilai politik

dan etika dalam kehidupan bernegara. Dan

terakhir yang perlu kita garis bawahi bersa-

ma adalah, kita merupakan aset bangsa dan

generasi cendekiawan Indonesia yang dipas-

tikan kelak akan mewarnai dinamika sosio-

politik di Indonesia. Bahkan bukan tidak

mungkin, jika diantara kitalah nanti yang

akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa

Indonesia di masa yang akan datang. Amin

Ya Rabbal ‘Alamin!

*Penulis adalah Mahasiswa tingkat

akhir Jurusan Syariah Islamiyah.

Masisir dan Politik Oleh: Abdul baits Subhi*

Doc. Google.com

TëROBOSAN

- edisi In

teraktif O

pin

i– Ap

ril

Masisir, Antara Politik dan Ideologi

Oleh: Yahya Ibrahim*

Kali pertama saya bersentuhan dengan

perpolitikan Masisir adalah ketika menjadi

anggota panitia sidang MPA PPMI 2011.

Gambaran pertama yang saya tangkap dari

organisasi ini sedikit negatif. PPMI bagaikan

sebuah kue yang hanya diperebutkan oleh

dua kelompok besar, dalam hal ini ke-

lompok kader suatu partai bersama sim-

patisannya dan kelompok yang anti partai

tersebut. Keduanya memiliki massa yang

kuat dengan fanatisme yang tinggi.

Persaingan dua kubu ini menghasilkan

iklim politik yang tidak sehat di tubuh

Masisir. Mahasiswa bagai kehilangan jati

diri. Mereka tidak lagi memiliki objektivitas

dalam menilai segala sesuatu. Mereka sep-

erti kehilangan kebebasan dan idealisme.

Dalam menilai dan menentukan sikap mere-

ka bagaikan kerbau yang ditusuk hidungnya

oleh masing-masing kelompok. Persaingan

saling menjatuhkan tanpa melihat baik bu-

ruk atau benar salah.

Contoh yang bisa disebutkan untuk ma-

salah ini sangat banyak. Misalnya dalam

pemilihan presiden PPMI, para pemilih han-

ya memandang kelompok asal dari masing-

masing calon. Mereka merasa tidak perlu

mempelajari kepribadian dan visi misi sang

calon, apalagi menganalisa program-

program yang ditawarkan. Bahan kampa-

nye hanya si anu dari kelompok ini dan si

anu dari kelompok itu. Keadaan ini di-

perparah dengan pembunuhan karakter di

media sosial bahkan sms gelap. Mahasiswa

tidak dibiarkan berpikir selayaknya maha-

siswa.

Begitu juga ketika nanti presiden

menggulirkan program-programnya. Acara

hanya diramaikan oleh kelompok pen-

gusungnya, sedangkan yang lain seolah-olah

boikot atau tidak mau tahu. Di akhir

pemerintahan setiap tahun juga seperti itu,

maksud saya ketika sidang MPA dan LPJ

pengurus PPMI. Masing-masing beretorika

untuk menyudutkan lawannya sehingga

seakan-akan masukan dan kritikan untuk

PPMI yang lebih baik terabaikan.

Hal yang sama ketika para mahasiswa

dituntut untuk menilai segala apa yang ter-

jadi di lingkungan sekitar Masisir. Sangat

tidak masuk akal ketika ada pula yang men-

dukung kudeta dan segala kezaliman yang

terjadi hanya dengan alasan partai yang

menjadi lawan politiknya mendukung

Ikhwan Muslimin. Kebencian kepada partai

tersebut lebih dulu menguasai daripada

analisa dan berpikir objektif. Dari sisi kader

partai tadi sendiri juga saya rasakan hal

demikian. Terlihat pada awalnya ada yang

mendukung IM hanya karena partainya

mendukung, bukan dengan analisa siapa

mereka dan kenapa harus mendukung. Ter-

bukti ketika diskusi banyak juga yang ke-

hilangan arah.

Sikap Presiden PPMI juga tidak lepas

dari hal ini. Setiap ucapan atau postingan

tidak lepas dari sindiran kepada kelompok

lawannya. Sebagai pengayom setiap golon-

gan tentu sikap seperti ini menyebabkan

keretakan yang semakin melebar di tengah

Masisir. Lalu secara mengejutkan muncul

pengumuman bahwa presiden ternyata juga

kader partai yang lain. Setiap informasi

tentang partai itu silahkan ditanyakan kepa-

da beliau. Maka bisa saja setiap tindakan

diambil dibawah kontrol partai yang ber-

sangkutan. Hal mana yang juga selalu di-

tuduhkan apabila presiden PPMI berasal

dari kader partai yang berbeda. Mereka

menyebutnya di Indonesia sebagai kontrak

politik. Artinya alasan-alasan seperti demi

al-Azhar dan demi Masisir bisa saja hanya

hiasan bibir.

Dari contoh-contoh di atas, inti yang

ingin saya sampaikan adalah bahwa politik

di Masisir telah menumpulkan ciri khas dari

seorang mahasiswa, yaitu cara berfikir yang

sarat dengan idealisme, objektivitas dan

rasionalitas. Padahal dengan tiga modal

inilah maka mahasiswa mampu memiliki

peran sebagai agen perubahan.

Mahasiswa yang sebenarnya lebih dari

yang dijelaskan oleh defininya seperti yang

termaktub di KBBI, yaitu orang yang belajar

di perguruan tinggi dan terdaftar secara

administrasi. Mahasiswa tidak hanya duduk

di belakang meja, mendengarkan dosen

berbicara, kemudian berharap mendapat-

kan pekerjaan yang bagus. Akan tetapi ma-

hasiswa mempunyai peran dalam

melaksanakan perubahan untuk bangsa.

Mahasiswa mempunyai tanggung jawab

yang besar, mulai dari tanggung jawab

keagamaan, intelektual, sosial kemasyara-

katan, dan tanggung jawab individual baik

sebagai hamba Allah Swt maupun sebagai

warga Negara dan bangsa.

Kondisi kebanyakan mahasiswa yang

seperti inilah yang membuat saya sedikit

apatis terhadap dinamika perpolitikan

Masisir. Hal mana yang juga menyebabkan

saya menarik diri, tidak peduli, bahkan

pernah dua kali tidak ikut pemilihan presi-

den PPMI.

Namun seiring bertambahnya waktu,

saya semakin paham bahwa dinamika poli-

tik Masisir tidaklah sesederhana itu. Tern-

yata di balik semuanya bukanlah hal remeh

temeh seperti pertarungan antar partai

politik yang ingin berkuasa. Melainkan ada

semacam persaingan antar dua ideologi,

atau antar beberapa ideologi dengan se-

buah ideologi yang menjadi musuh bersa-

ma. Ini sebuah kenyataan yang luar biasa

yang mungkin jarang ditemukan lagi ketika

kuliah di Indonesia, kecuali mungkin pada

masa-masa peletakan dasar ideologi ke-

bangsaan yang digagas mahasiswa 1910-

1930-an, atau ketika mahasiswa tampil

sebagai sumber kepemimpinan bangsa yang

dominan hingga 1950-an, dan ketika mun-

culnya angin perubahan dalam diri ma-

haiswa yang menjelma menjadi generasi

reformasi pada trahun 1990-an akhir.

Misalnya, di Indonesia dalam per-

saingan menjadi presiden BEM tidak akan

terasa persaingan ideologi. Hanya per-

saingan ketokohan, ketenaran atau prestasi.

Sedangkan setiap ideologi sudah memiliki

wadah tersendiri pada organisasi-

organisasi mahasiswa yang ada untuk mas-

ing-masingnya. Hal yang berbeda dengan

PPMI ketika ideologi mempunyai pengaruh

signifikan kepada organisasi pemersatu ini.

Hal ini mungkin akibat beragamnya ideologi

yang ada dengan jumlah mahasiswa yang

terbatas, sedangkan interaksi keluar ling-

kungan mahasiswa tidak memungkinkan.

Jadi semacam persaingan pengaruh.

Kemudian ditambah lagi jumlah mahasiswa

yang sangat banyak hingga mengurangi

interaksi antar kalangan untuk mempererat

hubungan.

Hal ini cukup tergambar dengan jelas

dari sikap dan program-program yang dite-

lurkan oleh PPMI. Setiap pemerintahan

mempunyai corak tersendiri sesuai dengan

kelompoknya. Dorongan kepentingan terpa-

par dengan jelas. Bahkan setiap kelompok

ternyata memiliki tim ahli yang akan

mengkaji siapa calon yang akan diusung

dan bagaimana suksesi pemilihannya, wa-

Lanjut ke hal. 14...

TëROBOSAN

- e

dis

i In

tera

ktif

Op

ini -

Ap

ril 2

01

4

Shaid bin Ahmad (w. 419 H) dalam buku

Thabaqât al-Umam-nya, Al-Syahrastani (w.

548 H) dalam al-Milal wa al-Nihal-nya ber-

pandangan hampir senada bahwa orang Arab

tak memiliki pengetahuan filsafat kecuali

sedikit di antara mereka. “Saya tak tau

seorang pun dari kalangan Arab yang

masyhur pengetahuan filsafatnya kecuali Al-

Kindi dan Al-Hasan Hl-hamadani” ungkap

Shaid dalam Thabaqât al-Umam. Hanya saja,

kurang dijelaskan oleh mereka faktor apa

saja dibalik fenomena demikian.

Berikutnya datang Ibnu Khaldun (w. 808

H.), sosiolog, filosof dan sejarawan Islam

terkemuka. Dalam buku Muqaddimah-nya ia

berpandangan bahwa kebanyakan pembawa

ilmu pengetahuan dalam Islam adalah ‘ajam

(non Arab), disertai analisa faktor apa saja

penyebab orang Arab—baik pra maupun

pasca Islam--tak memperhatikan ilmu penge-

tahuan dan filsafat. Faktor-faktor inilah yang

menjadi poin inti dimana harus menjadi per-

hatian bersama. Lantas, apa saja faktornya?

Di antaranya: disibukkan oleh politik!

Ibnu Kholdun membagi orang Arab

kedalam dua kelompok: Arab primitif pedala-

man, jauh dari buku, dari praktik dan sumber

keilmuan serta perangkat-perangkatnya—ini

menjadi faktor lain selain politik. Sementara

mereka yang hidup di kota, di mana buku

mudah didapat, ulama mudah ditemu, praktik

keilmuan, forum-forum diskusi dan

perangkat-perangkatnya lengkap tersedia

namun, justru disibukkan oleh kekuasaan.

Politik praktis, bersiasat melindungi

kekuasaannya dari rong-rongan kelompok

lain dst. membuat mereka tak sempat

memikirkan ilmu pengetahuan.

Hasil analisa beberapa ilmuwan kita di

atas setidaknya mengajarkan pada kita, Ma-

hasiswa Indonesia Mesir (Masisir), bahwa

politik mampu menjadi dinding penghalang

ilmu pengetahuan. Agaknya, kita perlu sabar

dan sadar bahwa masing-masing memiliki

masa dimana di dalamnya terdapat

tanggungjawab dan pekerjaan yang sesuai

dengan masanya itu: masa menjadi pelajar

tanggung jawab dan pekerjaannya adalah

belajar: membaca, menulis, dan berbicara

keilmuan. Sementara berpolitik adalah

tanggungjawab dan pekerjaan para politikus

dimana ia memiliki masa tersendiri pula.

Kita dan Politik

Lantas, bagaimana “realitas kita” sampai

saat ini? Apakah kita hidup di tengah sam-

udera di mana sumber pengetahuan melim-

pah namun justru sedang tersibukkan oleh

politik praktis, pikiran terperas habis demi

membela partainya dari rong-rongan, semen-

tara beberapa yang lain ‘memprimitifkan

diri’ (terjebak di gua-gua dan pedalaman

ruang maya) seperti orang Arab di atas? Di

Mesir, kita jumlahnya ribuan, namun sebera-

pa banyak karya ilmiah yang telah kita la-

hirkan dari rahim kita? Atau kita hanya masih

sebatas mampu menelurkan “buku hiburan

pengobat penat”? Atau barangkali malah

sedang mandul sama sekali?

Realitasnya, Masisir sedang hidup bersa-

ma para partai—baik yang musiman, maupun

yang selalu eksis. Tak jarang terjadi gesekan

dan saling sikut antara partai satu dengan

partai/pihak lain. Diantara yang sengit ada-

lah sejak bulan Juni 2013 tatkala Presiden

Mesir dari Ikhwanul Muslimun digulingkan.

Mesir terbakar. Percikan apinya lalu mampu

membakar sebagian Masisir. Ketika yang lain

ikut tersulut perang maya pun berkecamuk.

Masing-masing dibuat sibuk saling serang

dan menjatuhkan. Yang sangat disayangkan,

perang yang sempat membikin gaduh Face-

book (FB) dan Twitter itu tak jarang berujung

debat kusir, bahkan cacian dan makian. Kita

harus mengakui itu. Fenomena lain yang

berbarengan dengan itu, ketika status FB

tentang konflik politik maka yang nge-like

banyak dan nampak antusias. Ketika sta-

tusnya keilmuan, seperti tak laku (cat. status

ditulis oleh satu orang yang sama). Ini bisa

diartikan, daya responsif dan perhatian kita

terhadap konflik dan politik masih lebih ting-

gi daripada kepada keilmuan!.

Yang perlu diperhatikan adalah dampak

negatifnya terhadap relasi sosial dan

“kehidupan keilmuannya kita”. Terkait dam-

pak negatif terhadap relasi sosial penulis kira

kita sama-sama sudah tau, sebab sudah nam-

pak begitu jelas. Yang-barangkali-jarang ter-

fikirkan adalah dampak terhadap “kehidupan

keilmuannya”, yakni semakin meredupkan--

kalau malah bukan mematikan--dialektika

keilmuan Masisir (penulis katakan “semakin”

karena sebelum polemik politik meledak

dialektika keilmuan Masisir sedang lemah,

kalau sekira tak boleh disebut sedang mati).

Padahal, dialektika, sebagaimana dalam fil-

safatnya Hegel, adalah sumber kehidupan,

gerak dinamis dan perkembangan—dalam

hal ini: kehidupan, gerak-dinamis dan

perkembangan pemikiran. Tanpa dialektika

dalam keilmuan dan pemikiran maka dunia

keilmuan dan pemikiran akan mati dengan

sendirinya. Ketika penulis ditanya; “kenapa

dunia keilmuan dan pemikiran Masisir seper-

ti melemah ya, mas?” saya jawab dengan

tegas: karena sedang takada dialektika. Yang

sedang berdialektika kuat adalah politik.

Bukti bahwa dialektika adalah sumber

hidup, gerak dinamis dan pekermbangan

pemikiran adalah realitas di sekitar kita.

Lihat, ke toko-toko buku, International Book

Fair beberapa bulan yang lalu, bagaiamana

Arab Spring mampu memproduksi buku-

buku baru bertemakan politik. Lihat, ke me-

dia-media Masisir, FB, twitter bagaimana di

sana setiap harinya politik memproduksi

tulisan-tulisan, status-status dan komentar-

kamentar—yang kadang sangat panjang—

yang jika dihimpun, setiap harinya, tak ku-

rang menjadi satu buku. Dialog politik men-

jadi begitu aktif--walau tak jarang berujung

‘dialog tanpa makna’--dan semakin menyedot

perhatian teman-teman yang lain. Sampai-

sampai seorang teman yang konsen di dunia

kajian dan talaqqi pun ikut tersedot. Ba-

yangkan, seumpama dialektika ini terjadi

dalam dunia keilmuan, berapa buku ilmiah

yang sudah terlahir?

Ketika isu politik praktis terus menjadi

perbincangan, terus bergulir dan berpusar

maka kemudian akan membentuk suatu ling-

karan magnetis dimana apa yang ada di seki-

tarnya akan ikut tersedot masuk kedalam.

Kemudian lambat laun akan menjadi bulatan

besar magnetis yang daya tariknya sulit ter-

bendung. Di sini politik kemudian benar-

benar telah menjadi poros dan pusat per-

hatian. Jika sudah demikian maka, keilmuan

dan pemikiran dengan sendirinya akan dit-

inggalkan atau paling tidak redup.

Politik Tingkat Tinggi

Lantas, apa berarti kita tinggalkan saja

politik secara total, masa bodoh lalu benar-

benar menjadi bodoh politik? Tidak! Sebab,

disamping tak ada di antara kita yang sepe-

nuhnya terbebas dari politik serta menjadi

mudah dipolitisir, juga, jika kita cermati,

kekacauan dan saling tuduh antara kita (di

samping agaknya ada kesalahan dalam world

view kita terhadap politik) adalah juga akibat

kekurangpahaman terhadap politik itu

sendiri. Misalkan, sebagian menuduh secara

serampangan bahwa partai tententu menjual

agama, ini bisa saja akibat kurang memahami

Realitas Kita dan Urgensi Politik Tingkat Tinggi Oleh: Muhammad Amrullah*

Lanjut ke hal. 15...

TëROBOSAN

- edisi In

teraktif O

pin

i– Ap

ril

Politik Untuk Mahasiswa, Edukasi atau Indoktrinasi?

Oleh: Ahwazy Anhar*

Mahasiswa adalah elemen masyarakat

yang paling berpengaruh terhadap

kemajuan suatu negara. Jika ingin

menghancurkan suatu negara, maka cukup

hanya dengan “meracuni” golongan

mahasiswa, lalu beberapa tahun yang akan

datang negara ini akan mengalami gejala

kejang-kejang, lemas dan pada akhirnya

akan tewas. Sebaliknya, jika ingin

membangun suatu negara maka berikanlah

“makanan” yang sehat dan bergizi kepada

mahasiswa.

Untuk menganalisa apa yang terjadi

dengan negara kita, maka penulis akan

menjelaskan secara panjang lebar dua

golongan mahasiswa jika dilihat dari

keikutsertaannya dalam sebuah partai

politik, berikut dengan plus minus tiap

golongan mahasiswa tersebut.

Dalam hal ini, ada dua golongan

mahasiswa. Pertama, mereka adalah orang-

orang yang tidak berpastisipasi dalam

partai politik. Artinya mereka tidak ikut

bersentuhan langsung dengan partai politik

apapun baik menjadi partisan ataupun

simpatisan.

Kelompok ini juga bisa dibagi menjadi

bagian. Bagian pertama adalah mereka yang

apatis terhadap setiap peritiwa politik.

Mahasiswa yang berpandangan seperti ini

merasa nihil terhadap politik. Mereka

beranggapan bahwa siapapun yang akan

terpilih nantinya, tidak akan memberikan

perubahan bagi negara. Semuanya akan

sama saja.

Kelompok ini muncul akibat melihat

carut-marut yang mereka saksikan di

panggung politik. Mereka menganggap

bahwa segala usaha yang dilakukan partai

apapun untuk membawa Indonesia ke arah

yang lebih baik adalah omong doang.

Dengan cara berpikir pragmatis seperti ini,

mereka tidak mau ikut berpikir untuk

memberikan solusi terhadap masalah

bangsa. Kelompok ini lebih mementingkan

diri pribadi atau lingkungan terdekatnya.

Sikap apatis tersebut juga muncul kare-

na kurangnya sosialisasi baik dari lembaga

penyelenggara pemilu maupun kampanye

dari partai politik yang ada. Penyebab terse-

but sangat berpengaruh terutama bagi pem-

ilih yang berdomisili di luar negeri.

Bagian kedua adalah mahasiswa yang

memang tidak mau bersentuhan langsung

dalam dunia politik namun mereka

memikirkan solusi terhadap masalah

bangsa dan negara. Mahasiswa seperti ini

adalah mereka yang memegang teguh

idealisme sebagai seorang pelajar.

Idealisme yang dilandaskan atas dasar

logika objektif, kritis, merdeka, tidak mau

diperbudak dan berpikir maju tanpa mau

terseret oleh kepentingan politik yang

cenderung sempit.

Mahasiswa seperti ini menyibukkan

dirinya dengan hal yang bersifat edukatif,

membangun karakter diri hingga nantinya

siap menjadi seseorang yang mempunyai

spesialisasi di suatu bidang dan ikut

berkontribusi kepada negaranya.

Untuk kelompok mahasiswa yang ikut

dalam sebuah partai, baik partisan ataupun

simpatisan juga bisa dibagi menjadi dua

kelompok. Pertama, politikus mahasiswa

yang profesional.

Mahasiswa seperti ini bisa

menyeimbangkan mana yang kepentingan

politik dan mana yang kepentingan

pendidikan. Jika ada satu kegiatan dalam

ruang lingkup kampus yang akan

memancing permasalahan karena berbau

politis, maka dia meninggalkan kegiatan

tersebut. Jika dia diharuskan untuk memilih

kepentingan bersama atau kepentingan

politik, maka dia lebih mendahulukan

maslahat bersama.

Misalkan di organisasi mahasiswa

seperti PPMI, kekeluargaan atau bahkan

lembaga penyelenggara pemilu. Mahasiswa

kelompok ini, meski dia aktif di sebuah

partai politik, dia bisa membedakan antara

kepentingan politik dengan kepentingan

bersama. Mereka hanya akan menggunakan

fasilitas umum untuk kepentingan umum.

Misalkan, mereka tidak menggunakan

media sosial seperti Facebook untuk

melakukan kampanye ataupun hal-hal yang

menjurus kepada kepentingan politik

lainnya.

Kelompok ini tidak mau menutup mata

terhadap kesalahan-kesalahan yang ada

dalam partainya. Mereka tidak akan ikut

mengamini suatu hal yang bertentangan

dengan idealismenya sebagai mahasiswa

jika melihat sesuatu yang tidak benar

dilakukan oleh partainya. Dia akan

berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki

cacat partainya dan berani menanggung

resiko jika nanti harus mengambil

keputusan berbeda dengan partainya.

Mahasiswa seperti ini muncul akibat

dari ajaran yang diberikan oleh para tokoh

dalam partai tersebut. Maksudnya, para

tokoh dalam partai tersebut berusaha untuk

memberi pemahaman yang benar tanpa

mengikis identitas mahasiswa para

kadernya. Partai ini memberikan atmosfer

yang lebih hidup dan mendukung agar para

kadernya bisa berpikir dan menganalisa

segala peristiwa tanpa harus didikte dari

pimpinan partai.

Kelompok yang kedua adalah mereka

yang fanatik terhadap partai politiknya. Ini

adalah kelompok yang sangat berbahaya.

Tidak mau diajak dialog dan selalu

mengklaim dirinya dan apapun yang

dilakukan partainya adalah kebenaran

mutlak. Pada kelanjutannya, kelompok ini

menjadikan partainya layaknya sebuah

agama yang selalu benar, lepas dari cacat

dan kesalahan.

Dua kelompok mahasiswa terakhir

muncul dari satu permasalahan yang sangat

mendasar: apakah politik merupakan

produk edukasi atau indoktrinasi?

Jika para politikus senior, atau petinggi

sebuah partai politik mengajarkan sikap

objektif, terbuka, mengajarkan cara berpikir

yang benar, maka politikus mahasiswa akan

menjadi sosok yang sangat berwibawa,

bijak dan sangat dinantikan oleh Indonesia.

Sebaliknya, jika politik hanya dijadikan

sarana untuk meraup suara sehingga partai

memaksa untuk melepas baju objektivitas

mahasiswa, mengikis jiwa kritis mahasiswa

sehingga mau fanatik terhadap partainya,

maka Indonesia hingga puluhan tahun atau

bahkan ratusan tahun yang akan datang

tidak pernah berubah ke arah yang lebih

baik.

Kelompok ini akan melakukan hal

apapun demi menyebarluaskan dan

memasyhurkan partainya tanpa melihat

kondisi di sekitarnya. Terlebih lagi bagi

partai yang mengaku berlandaskan Islam.

Politikus mahasiswa yang ada dalam partai

ini akan menyetir ayat al-Quran dan segala

hal yang berkaitan dengan agama untuk

kepentingan politiknya tanpa menyadari

bahwa prilakunya adalah bentuk menginjak

dan menodai agama Islam.

Meski pada akhirnya para mahasiswa

Lanjut ke hal. 14...

TëROBOSAN

- e

dis

i In

tera

ktif

Op

ini -

Ap

ril 2

01

4

perlu heran saat melihat kebanyakan para

mahasiswa pegiat partai politik, terkait jar-

gon, slogan, dan ekspresi fisik hasil kreativi-

tas petinggi partai; anda saksikan seperti

anak-anak yang mengimitasi prilaku orang

dewasa.

Intensitas mereka yang begitu tinggi da-

lam berkampanye, bisa juga kita kembalikan

pada faktor asupan mental petinggi partai

terhadap mereka, terlebih jika kegiatan

politis ini dikait-kaitkan dengan agama. Se-

hingga dalam hal ini, secara tidak sadar, kita

akan dibuat ternganga oleh jerih payah tanpa

batas dan determinasi para mahasiswa pegiat

partai politik ini. Anda bisa bayangkan

bagaimana kuatnya sebuah fisik dan mental,

jika idealisme, darah muda, dan agama; ber-

satu padu dalam diri seseorang.

Lalu apakah kehidupan politik semacam

ini baik untuk mahasiswa? Secara nalar, kita

tidak bisa begitu saja menggeneralisir baik

atau tidaknya sesuatu. Karena hal tersebut

hanya akan membuat kita terkucilkan, baik

dalam kehidupan ilmiah maupun sosial. Oleh

sebab itu, di sinilah pentingnya sikap mode-

rat ketika kita dihadapkan pada sebuah per-

masalahan. Konsep keterbukaan --yang

merupakan ciri utama dari kemoderatan--

adalah langkah awal untuk mengetahui baik

atau tidaknya kehidupan politik tersebut bagi

mahasiswa.

Jika kehidupan politik yang demikian

membuat mahasiswa menjadi tidak peka

terhadap komunitasnya, dan berpikiran sem-

pit kerena terbatasnya regional 'kebenaran'

pada partai politiknya; maka iklim politik

seperti ini jelas tidak baik untuk mahasiswa.

Jika partai politik tersebut membuat maha-

siswa menjadi overaktif dalam kehidupan

politik, lalu mengaitkan hal-hal politis dengan

hal-hal tabu dalam agama, sehingga memanc-

ing kemarahan saudara seiman; jelas tidak

baik juga. Akan tetapi jika kehidupan politik

membuat mahasiswa menjadi semangat me-

raih prestasi dan menuntutnya menjadi

orang terdepan dalam segala hal; maka tentu

sangat dianjurkan. Jika kehidupan politik

berhasil menghapus jejak hitam kegagalan

mahasiswa dalam merealisasikan idealisme,

sehingga tak ada lagi "Gede idealisme nol

perbuatan"; maka kenapa tidak.

Dengan penjelasan di atas, setidaknya

terbayang di hadapan kita bagaimana hub-

ungan ideal mahasiswa dengan politik.

*Penulis adalah Mahasiswa tingkat

akhir Fakultas Dirasat Islamiyah

ini diingatkan oleh segala pihak, baik guru

ataupun temannya, mereka tidak akan

mampu berpikir logis untuk mengakui

kesalahan yang mereka perbuat. Parahnya,

kelompok ini pada kelanjutannya akan

enggan diajak berdialog untuk mencari

kebenaran.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Ada dua

kemungkinan, bisa jadi karena mereka

takut dikucilkan dalam komunitas partainya

dan diberi sangsi sosial sehingga tetap

melakukan hal-hal yang melanggar

idealisme sebagai mahasiswa, atau karena

mereka menganggap bahwa partainya

memiliki kebenaran mutlak sehingga otak

mereka menjadi tumpul dan tidak bisa

berlaku kritis terhadap kesalahan yang

dilakukan partainya. Dia akan selalu

mencari pembenaran terhadap kesalahan

yang dilakukan partainya, bukan mencari

kebenaran.

Prilaku seperti ini akan merusak rasa

cinta dan keharmonisan antar mahasiswa

dalam lingkungan kampus. Kelompok ini

muncul sebagai akibat dari indoktrinasi

yang dilakukan oleh partainya. Kelompok

ini diberikan ajaran secara mendalam

mengenai suatu pemahaman atau doktrin

tertentu dengan melihat suatu kebenaran

dari arah tertentu saja dengan sistem

berpikir tanpa adanya kriktik. Pada

akhirnya, partai seperti ini sedang

melakukan proses cuci otak terhadap para

kadernya dan mempersiapkan bom waktu

bagi negaranya sebagaimana yang terjadi di

Mesir saat ini.

Sebenarnya kelompok yang ikut

ataupun tidak ikut dalam sebuah partai,

keduanya sah-sah saja selama mereka

mampu mempersiapkan dirinya untuk

memberikan kontribusi kepada bangsa dan

negara.

Meski politikus mempunyai kelebihan

dalam mengatur negara secara langsung

jika menang, namun tetap saja tidak bisa

bekerja tanpa bantuan kalangan

profesional. Begitu juga dengan kalangan

profesional, pasti juga membutuhkan

kalangan politikus untuk membangun

bangsa dan negara. Jadi semuanya akan

baik jika dilakukan dengan cara yang baik.

Sekarang terserah kita, politik mau

dijadikan produk edukasi atau indoktrinasi?

*Penulis adalah Mahasiswa tingkat

akhir Jurusan Syariah Islamiyah.

laupun sang calon sendiri terkadang tidak

menyadari hal itu. Lalu tim inilah yang nanti

menjadi pengarah dan penasehat ketika

calon tersebut terpilih. Kondisi ini serasa

hampir mampu menghadirkan miniatur kon-

disi Indonesia secara utuh walaupun kita

jauh di luar negri. Pergolakan dan persaingan

ideologi di ranah politik terasa sangat kental.

Bagi saya pribadi ini suatu hal yang luar bi-

asa. Karena ketika mahasiswa mempunyai

cita-cita, ideologi dan idealisme, maka ketika

itulah mahasiswa tadi benar-benar mampu

berbuat dan menjadi agen perubahan di-

mana dia akan berada nanti. Semoga semakin

banyak mahasiswa yang menyadari bahwa

PPMI layak untuk diperhatikan dan bukanlah

hal sepele.

Sebagai kesimpulan sebatas pemahaman

saya, tidak selayaknya seorang mahasiswa

itu menjadi pion-pion dari sebuah ideologi

apapun, bergerak tanpa sadar bahwa dia

sedang dikendalikan. Kemudian tidak se-

layaknya pula mahasiswa itu seperti orang

buta yang tidak tahu apa yang terjadi di seke-

lilingnya, tidak tanggap dan tidak peduli

dengan apa yang sedang berlaku di dunia ini.

Tidak seharusnya juga Masisir yang notabe-

ne sama-sama orang rantau, berasal dari satu

tanah air, kemudian berpecah belah saling

menjatuhkan hanya karena perbedaan ide-

ologi. Mari kita budayakan mahasiswa reflek-

tif yang berwawasan luas, efektif yang bertin-

dak dalam arti nyata, produktif dalam ber-

peran, namun tetap lapang dada dalam

menerima perbedaan. Wallahu A’lam bi al-

Shawab.

*Penulis adalah Mahasiswa tingkat

akhir Jurusan Tafsir.

Lanjutan dari hal. 8...

Lanjutan dari hal. 13...

Lanjutan dari hal. 11...

TëROBOSAN

- edisi In

teraktif O

pin

i– Ap

ril

watak Islam Politik juga pemikiran fikih poli-

tik. Sementara pihak lain menuduh--karena

berseberangan dengan (partai/sikap politik)

meraka—bahwa pihak tertentu anti syari’ah,

dengan demikian berarti anti Islam. Ini juga

akibat kekurangpahamanan terhadap watak

politik Islam itu sendiri yang sebenarnya ber-

sifat furu’iyyah-ijtihadiyyah yang corak dan

kebenarannya tidak tunggal.

Lantas, jalan seperti apa yang harus kita

tempuh? Menempuh “politik jalan tengah”:

bukan politik praktis, namun juga tak bodoh

akan politik. Meminjam bahasanya Hasan

Hanafi: “politik dalam tataran pemikiran”, di

mana politik (dalam tataran) praktis dibangun

di atasnya. Sehingga akan jelas dan kuat dasar

-dasar dan prinsip-prinsipnya. Tak semrawut

dan acak-acakan seperti sekarang ini. Ide da-

sarnya adalah: tak ada reformasi, revolusi,

kebangkitan dan peradaban yang tak di

bangun di atas pemikiran.

Peradaban kapitalis dibangun di atas fil-

safat kapitalisme, peradaman komunis-

sosialis didasarkan pada pemikirannya Karl

Marx, peradaban Islam dibagung di atas buku

Al-Qur’an dan pemikiran Nabi Muhammad

saw., kebangkitan Islam modern dibangun di

atas pemikiran progresifnya Jamaluddin Al-

Afghani dan Muhammad Abduh dll, Islam

politik modern dibangun di atas pemikiran-

pemikiran tokoh semisal Abdurrahman Al-

Kawakibi, Al-Maududi, dll. Dengan bergelut

dalam “politik jalan tengah” ini kita akan

mampu menjadi penentu kemana arah politik

hendak kita tuntun. Jika dikaji, revolusi Arab

saat ini atau Arab Spring juga berdiri di atas

pemikiran. Di antaranya, pemikiran tentang

kebebasan, kesetaran, demokrasi, dst. Arab

Spring disemai dengan revolusi dalam tataran

pemikiran dan mental terlebih dahulu

kemudian turun menjadi revolusi dalam tata-

ran praktis.

Kita menjadi seperti Al-Afghani yang me-

reinterpretasi teologi untuk melawan penin-

dasan—konteks Indonesia-sekarang: mela-

wan korupsi dll, misalkan--, me-reinterpretasi

konsep qodhâ’ dan al-qodar dengan makna

“keberanian, rela mati, dst” untuk melawan

kolonialisme dan kebobrokan internal.

Mengkaji kembali “teologi publik” menjadi

lebih mapan dan relevan untuk konteksnya.

Mempertanyakan dan mengkaji lebih dalam

kenapa “iman” kita, Bangsa Indonesia, seperti

tak ngefek, mati di ruang publik, tak berkutik

mengatasi sengkarut probletika kita, khu-

susnya terkait bobroknya perpolitikan kita,

apakah ada yang salah dengan cara beriman

kita? lalu kita coba rumuskan jawaban-

jawaban solutif atasnya. Kita gagas teologi

politik, dimana probem-problem akut dalam

politik kita bawa ke ranah teologi, untuk men-

cari sejauh mana teologi kita mampu diper-

temukan dengan problem-problem tersebut

dst. Kita galakkan juga tasawuf dan tafsir anti

korupsi, dst.

Kita memposisikan diri seperti Muham-

mad Abduh, Khairuddin At-Tunisiy, Allal Al

Fasi, Yusuf Al-Qaradawi, Karl Mark, kemudian

Russo, Montesquieu, Folter, Dalambert, Dide-

rot yang menyemai Revolusi Peracis dengan

pemikiran mereka seputar: kebebasan, keadi-

lan sosial, egaliter, persaudaraan, hak asasi

manusia, dst. Mereka adalah tokoh-tokoh

yang berperan merekayasa atau merubah akal

-pikiran dan kesadaran manusianya sebelum

berubah menjadi gelombang revolusi rill di

lapangan.

Posisi istimewa yang demikian adalah

kerana kita relatif mampu memberi pengaruh

positif kedalam politik langsung ke akarnnya:

hati dan pikiran. Tugas kita lebih sebagai me-

lahirkan gagasan-gagasn, pemikiran-

pemikiran yang akan menjadi pondasi politik

dalam tataran praktis menjadi lebih baik. Kita

menciptakan pemikiran, pemikiran itu men-

jelma menjadi laku-gerak dinamis yang indah

dan saleh dalam politik praktis, lalu dari laku-

gerak itu kita produksi ulang menjadi

pemikiran kembali yang berikutnya akan

turun kembali menjadi laku-gerak yang lebih

indah dan lebih saleh. Dan seterusnya. Selain

itu, posisi tengah-tengah tersebut adalah zona

aman—menurut Hasan Hanafi.

Kita berada diantara dua garis merah yang

seumpama dilanggar memiliki konsekuensi

yang sama-sama berat: garis merah pengusa

dan rakyat jelata. Melanggar yang pertama

nyawa taruhannya, melanggar yang kedua

acap membawa kutukan dari rakyat jelata.

Kita tetap di tengah-tengah, zona aman, na-

mun justru mampu meberikan perubahan

lebih besar. Siapa bilang Arab Spring tak ada

peran dari intektual semisal: Abid Al Jabiri,

Hasan Hanafi, Muhammad Imarah dan sederet

pemikir lainnya? Justru merekalah yang pal-

ing bertanggungjawab, karena merekalah

yang telah merubah nalar Arab agar terus

memperjuangkan kebebasannya, hak-hak

asasinya dst. Namun, mereka aman, penguasa

terguling tak menyalahkan mereka, rakyat tak

mengutuk mereka. Sebab mereka mengamal-

kan apa yang penulis sebut sebagai “politik

tingkat tinggi.” Terakhir, sebagaimana

mengkaji tasawauf tak mesti menjadi sufi,

mengkaji filsafat tak mesti menjadi filsuf, be-

gitu pun mempelajari politik tak mesti men-

jadi politikus praktis. Selamat memilih pem-

impin yang lebih baik.

*Penulis adalah Mahasiswa tingkat IV

Jurusan Dakwah.

Lanjutan dari hal. 12...

Selepas mencoblos di KBRI, To bertemu Ing lalu mengobrol santai.

To : (menoleh kanan-kiri, lalu berbisik)Eh, ngomong-ngomong tadi lu nyoblos siapa?

Ing : (dengan suara rendah) ssstt! Gue coblos pake istikhoroh lho.

To : Jadi, lu coblos siapa?

Ing : Itu jelas... Orang yang muncul di mimpi gue semalem!

To : Subhanallah... emang lu mimpi ketemu siapa?

Ing : (tersenyum mantap) Michael Jakson!

To : (menjitak kepala Ing)Gubrak! Lu harusnya milih pake hati. Kayak gue!

Ing : Gimana caranya tuh?

To : Yah, sekarang kan banyak orang tertipu sama pencitraan, penampilan luar, cuma liat pake mata! Gue kan mahasiswa yang berhati

mulia. Jadi nyoblos gak pake mata, tapi pake hati, bro!

Ing : Wah, sumpah, lu keren! Terus lu coblos yang mana?

To : Meneketehe! Kan gue nyoblos pake hati, gak pake mata. Ya gue nyoblos sambil merem! [ë]

-To dan Ing-

Email/YM: [email protected]

FB: Tranferindo Mesir