Jadi Edisi Interaktif Opini

download Jadi Edisi Interaktif Opini

of 16

description

Buletin Terobosan adalah media independen yang dikelola oleh mahasiswa Indonesia yang berdomisili di Mesir. Terbit pertama kali sejak 21 Oktober 1990

Transcript of Jadi Edisi Interaktif Opini

  • TROBOSAN

    AD

    VER

    TISI

    NG

    Edisi interaktif OPINI, 7 aPRIL 2014

    Politik Untuk Mahasiswa, Edukasi atau Indoktrinasi (?)

  • TROBOSAN

    - e

    dis

    i In

    tera

    ktif

    Op

    ini -

    Ap

    ril 2

    01

    4

    Sekapur Sirih, Esensi Politik

    Halaman 2

    Sikap, Menyoal Kepekaan Masisir

    Halaman 3

    Opini I, Masisir, Antara Apatisme dan Sikap Positif

    Halaman 4

    Opini II, Masisir Berpolitik, Why Not?

    Halaman 5

    Opini III, Masisir Berpolitik, Pentingkah?

    Halaman 6

    Opini IV, Al-Quran Itu Pedoman, Bukan Mainan!

    Halaman 7

    Opini V, Bagaimana Hubungan Ideal Mahasiswa

    Dengan Politik?

    Halaman 8,14

    Opini VI, Politik Aktif Dua Arah

    Halaman 9

    Opini VII, Masisir dan Politik

    Halaman 10

    Opini VIII, Masisir, Antara Politik dan Ideologi

    Halaman 11, 14

    Opini IX, Realitas Kita & Urgensi Politik Tingkat

    Tinggi

    Halaman 12, 15

    Opini X, Politik Untuk Mahasiswa, Edukasi atau

    Indoktrinasi?

    Halaman 13, 14

    Terbit perdana pada 21 Ok-tober 1990. Pendiri: Syari-fuddin Abdullah, Tabrani Sabirin. Pemimpin Umum: Heni Septianing Pemimpin Redaksi: Supriatna. Pem-impin Perusahaan: Ainun Mardiyah. Dewan Redaksi: Tsabit Qodami, M. Hadi Bakri. Reportase: Abdul Latif Harahap, Ahmad

    Ramdani, Fachry Ganiardi, Rijal W. Rizkillah, Thai-burrizqi Ananda Hafifuddin, Zammil Hidayat, Ahmad Bayhaqi, Ikmal Al Hudawi, Aulia Khairunnisa, Is-ti`anah, Difla Nabila, Maimunah Hamid, Ukhti Muth-mainnah Hamid,. Editor: Fahmi Hasan Nugroho. Lay Outer: Abdul Malik Pembantu Umum: Keluarga TROBOSAN. Alamat Redaksi: Indonesian Hostel-302 Floor 04, 08 el-Wahran St. Rabea el-Adawea, Nasr City Cairo-Egypt. Telepon: 22609228, E-mail: [email protected]. Facebook : Terobo-san Masisir. Untuk pemasangan iklan, pengaduan atau berlangganan silakan menghubungi nomor tel-epon : 01158270269 (Heni), 01122217176 (Fahmi), 01110578138 (Ainun)

    Di tengah persiapan mahasiswa al-

    Azhar (baca: mahasiswa Indonesia) da-

    lam menjelang ujian termin akhir mulai

    memanas, persaingan partai politik pun

    turut ikut memanasi Masisir seiring

    mendekatnya pesta demokrasi pemilu

    2014.

    Secara serempak semua partai gen-

    car menarik simpatisan guna mencari

    suara dan popularitas. Berbagai kampa-

    nye dilakukan. Sayangnya, sebagian par-

    tai mengimplementasikan politiknya

    secara praktis, memperjualkan agama di

    hadapan simpatisan, beranggapan bahwa

    methode perpolitikan yang diterapkan

    sesuai pembenaran Islam. Namun, sikap

    apatis mereka muncul ketika diajak dia-

    log terkait pembenaran politik secara

    Islami. Acuh tak acuh.

    Tak luput dari itu semua, Indonesia

    sebagai negara penduduk terbanyak

    mayoritasnya Muslim, budaya dan tradisi

    yang beragam, serta ribuan suku dan ras

    yang berbeda-beda. Tentunya Indonesia

    sangat memiliki peran penting di kancah

    dunia Islam, terutama dilihat dari sisi

    politiknya. Apakah implementasi perpoli-

    tikan yang selama ini terjadi di Bumi

    pertiwi sesuai dengan ajaran Rasulullah

    dan para Sahabatnya?

    Syekh Usamah Sayyid al-Azhari

    pernah berkata Allah SWT marah kepa-

    da orang yang mengambil agama sebagai

    mainan, sementara sebagian orang

    mengambil agama sebagai wasilah atau

    alat untuk kepentingan-kepentingan poli-

    tik.

    Ungkapan diatas sudah menjadi ba-

    rang realita bahwa politik selalunya men-

    cakar segala cara untuk kemenangan

    partainya. Sehingga tak ayal intensitas

    partai mereka melambung tinggi, semen-

    tara status agama mereka sudah terco-

    reng dari nama baik Islam.

    Lantas, dengan demikian apakah

    mereka yang ngakunya partai Islamisasi

    yang tabu sebaiknya tidak diperun-

    tunkan menguasai kursi-kursi pejabat,

    disamping cara pola pikir dan gaya im-

    plementasi perpolitikannya yang ber-

    beda dan mengundang anarkisme

    masyarakat?

    Pada hakikatnya, semuanya sah-sah

    saja, terlebih ia yang nantinya

    menduduki kekuasaan harus melayani

    umat bukan hanya golongannya saja.

    Namun yang mesti digaris bawahi adalah

    merubah pola pikir fanatik yang mewa-

    bah dalam dirinya.

    Berangkat dari itu semua

    TROBOSAN di edisi sekarang cukup

    lumayan berbeda dari edisi sebelumnya,

    karena TROBOSAN di Edisi khusus

    sekarang menyajikan opini-opini terkait

    perpolitikan dan Masisir yang kini men-

    jadi bahan sorotan nusantara.

    Menyaksikan aksi unjuk gigi semua

    partai ketika berkampanye, juga berdam-

    pak pada praktik poliitik. Lantas penera-

    pan politik seperti apakah yang dinilai

    cara berpola pikirnya tidak selayaknya

    gambaran diatas?

    Kritik dan saran dari pembaca sanga-

    tlah kami nantikan. Karena dengan kritik

    dan saran andalah kami akan bangkit

    dan berdiri untuk mendongkrak

    semangat penulis dan khususnya para

    kru TROBOSAN. Terima kasih kami

    ucapkan dari lubuk hati kami yang paling

    dalam, atas saran dan kritik yang telah

    anda sampaikan pada kami selama ini.

    Selamat membaca! []

    Esensi Politik

    Doc. Google.com

  • TROBOSAN

    - edisi In

    teraktif O

    pin

    i Ap

    ril

    Rubrik Sikap adalah editorial buletin TROBOSAN. Ditulis oleh tim redaksi TROBOSAN dan mewakili suara resmi dari TROBOSAN terhadap

    suatu perkara. Tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab redaksi.

    esta demokrasi di negeri kita kem-

    bali digelar. Seperti pawai lima

    tahunan yang wajib diramaikan.

    Kampanye dengan segala atributnya

    telah digencarkan. Pun bisik-bisik ten-

    tang masa depan bangsa lebih dahulu men-

    jadi topik hangat yang dimuat berbagai

    ragam media. Semarak itu sampai juga di

    Mesir yang mayoritas WNI-nya mahasiswa

    dan pelajar. Masisir.

    Pemilu Caleg DPR RI sudah di depan

    mata. Caleg dari beberapa partai juga sudah

    unjuk gigi dalam ragam cara kampanye-nya.

    Kalau mau sedikit kritis, ada yang patut

    dicurigai dari praktik kampanye yang meli-

    batkan beberapa lembaga belajar al-quran

    di Kairo kemarin. Karenanya patut diper-

    tanyakan, apakah lembaga yang mengkaji

    kitab suci itu layak diseret dalam arena

    perpolitikan?

    Tapi politik memang begitu. Partai

    beserta segenap anggotanya adalah agen

    politik yang memiliki tujuan bersama.

    Kekuasaan. Maka berbagai cara untuk men-

    cari perhatian dan meraup suara dilakukan.

    Oleh karena itu, Masisir sebagai insan akad-

    emis seharusnya jeli dan kritis dalam me-

    nyikapi berbagai fenomena berbau politik

    disekitarnya.

    Di sisi lain, nampaknya sikap kritis dan

    kepekaan Masisir patut dipertanyakan juga.

    Hal ini dapat kita lihat dengan berkaca pada

    pemilu lima tahun lalu. Tepatnya pemilu

    tahun 2009. Antusiasme masisir terhadap

    pemilu tanah air saat itu dapat terlihat dari

    diselenggarakannya sosialisasi pemilu oleh

    PPLN pada tahun sebelumnya, tepatnya di

    akhir tahun 2008. Tidak tanggung-

    tanggung, acara digelar dengan menyewa

    gedung ACC yang megah. Sementara tahun

    ini, meskipun diiming-imingi Lomba kolom

    dengan hadiah yang menggiurkan, sosial-

    isasi pemilu di Limas pada 23 Maret lalu

    hanya mampu menarik minat 200 Masisir

    saja. Nampaknya sosialisasi lewat kalender

    PPLN yang kertasnya tebal dan mengkilap

    itu lebih luas jangkauannya di Masisir.

    Mungkin Masisir sekarang sudah mulai

    menutup mata dengan praktik politik para

    politisi tanah air. Lihat saja! Dalam kurun

    lima tahun belakangan, partai mana yang

    tidak terungkap korupsi dan kebusukan di

    dalamnya? Banyak jejak hitam eksponen

    politisi tanah air yang berujung pada

    kekecewaan rakyat akan carut marutnya

    politik di negeri sendiri. Mau tak mau,

    Masisir yang juga WNI di negeri orang ikut

    merasakannya. Barangkali itu pula yang

    menambah lesu antusiasme Masisir dalam

    pemilu 2014 ini.

    Seharusnya wajah perpolitikan tanah

    air yang sudah tercoreng itu membuat

    Masisir lebih kritis. Idealnya, mahasiswa

    merupakan kaum cerdik pandai yang men-

    jadi saluran penyambung antara penguasa

    (baca: pejabat pemerintahan) dengan

    masyarakat biasa. Menutup mata akan fe-

    nomena perpolitikan-yang nantinya

    mengesahkan pejabat pemerintahan- berar-

    ti menyumbat saluran antara pemerintah

    dan masyakarat. Mirisnya, fenomena itu

    mulai nampak batang hidungnya di Mesir.

    Lihat saja yang nampak sekarang, hubungan

    Masisir dengan KBRI misalnya, hanyalah

    sebatas birokrasi dan hubungan yang hanya

    tersambung dengan proposal dan dana.

    Jika kita lihat pada skala yang lebih

    kecil, dalam dinamika perpolitikan Masisir

    yang disetir oleh PPMI misalnya. Saat ini,

    siapakah yang masih peduli dengan induk

    organisasi Masisir tersebut?

    Banyaknya permasalahan dalam tubuh

    PPMI yang diekspos oleh media tak lebih

    menjadi angin lalu. DPP PPMI yang tiba-tiba

    berubah menjadi broker dadakan, carut

    marut Camaba yang selalu berulang dan tak

    kunjung terselesaikan. Perjalanan SGS yang

    semakin jauh dari relnya, dan semakin hari

    semakin nampak cacatnya. Namun siapa

    lagi yang mau peduli? Mau tak mau awak

    media gigit jari, berita yang seharusnya

    mencambuk kepekaan Masisir itu tidak

    mendapat feed back yang setimpal dengan

    harapan.

    Fungsi pemangku kebijakan dalam

    tubuh PPMI (baca: MPA, BPA dan DPP) tak

    banyak yang tahu apalagi peduli, padahal

    saat Pemilu Raya digelar kursi PPMI selalu

    diperebutkan. Tidak dipungkiri, masing-

    masing kelompok saling sikut kanan-kiri

    agar orangnya bisa tampil di depan. Na-

    mun selepas itu kembali sepi. Seolah-olah

    PPMI hanyalah milik suatu kelompok yang

    pentolannya telah duduk di kursi Presiden.

    Pun tidak banyak yang peduli apakah

    jalannya 3 lembaga inti PPMI itu sesuai

    fungsinya atau tidak. Sungguh aneh, toh jika

    akhirnya kembali sepi, apa yang sebenarnya

    diperebutkan saat pemilu raya. Jika toh,

    PPMI tidak lagi menjadi tempat mengasah

    kemampuan Masisir untuk berorganisasi.

    Mengapa fenomena ketidakpedulian ini

    terus terjadi? Apakah SGS dalam PPMI telah

    ditinggalkan pegiat dan perumusnya, se-

    hingga ia berjalan seperti anak ayam ke-

    hilangan induknya? Ataukah memang

    Masisir sudah benar-benar angkat tangan

    dengan induk organisasi mereka sendiri?

    Tentu tidak serta merta kita berharap

    bahwa pembenahan dalam induk organisasi

    Masisir ini dilakukan oleh generasi selanjut-

    nya, tanpa peran dari generasi yang tengah

    menjabat saat ini. Mewarisi generasi baru

    dengan kecacatan generasi sebelumnya,

    dengan harapan agar mereka mampu

    melakukan pembenahan, ibarat memad-

    amkan api dengan bensin.

    Jika saja kita masih menutup mata ter-

    hadap permasalahan yang nyata terjadi di

    sekitarnya, maka bukan hal yang tidak

    wajar, terhadap urusan nasional tanah air

    yang lebih besar juga kita tidak peduli. Acuh

    tak acuh. Jika terhadap permasalahan kecil

    saja tidak semua dapat bersikap peduli,

    apakah Masisir masih berhak untuk peduli

    dengan permasalahan yang lebih besar? []

    Menyoal Kepekaan Masisir

  • TROBOSAN

    - e

    dis

    i In

    tera

    ktif

    Op

    ini -

    Ap

    ril 2

    01

    4

    Masisir panik. Pesta demokrasi yang

    sebentar lagi dihelat menjadi akar perkara.

    Banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia di

    Mesir tidak tahu harus berbuat apa dalam

    pemilu 5 April nanti. PPLN (Panitia Pemili-

    han Luar Negri) telah mengadakan sosial-

    isasi, tapi acara beranggaran besar itu seper-

    tinya belum cukup mengusir kebingungan.

    23 Maret lalu, di Aula Limas, PPLN punya

    hajatan besar, sosialisasi pemilu. Agenda

    dikemas dengan presentasi pemenang lomba

    kolom dan dilanjutkan dengan debat per-

    wakilan parpol. Yang unik, di tengah presen-

    tasi, lampu mati. Menurut saya, kejadian itu

    menyuguhkan metafora yang tepat sekali: di

    tengah glamornya usaha pemerintah mem-

    populerkan pemilu, kelamnya apatisme

    Masisir tak dapat seluruhnya diterangi.

    Belum lama ini, saya baca komentar di

    facebook kerabat saya bahwa golput akan

    menang. Sebelumnya, seorang kawan yang

    lain menulis status yang membela prinsip-

    prinsip golput. Teman sekamar saya juga

    bilang tidak akan memilih. Dia beralasan

    selain tidak mengenal caleg yang maju,

    kekecewaan terhadap wakil rakyat yang

    menjabat saat ini juga membuatnya memu-

    tuskan abstain.

    Apatisme ini sebenarnya tak jauh beda

    dengan wabah pesimisme yang melanda

    masyarakat Indonesia secara umum. Masisir

    hanya cermin kecil pemantul wajah asli dina-

    mika politik nasional. Karim Raslan, penulis

    berkebangsaan Malaysia yang sangat

    memerhatikan dinamika kebangsaan Indo-

    nesia, mengatakan bahwa kampanye politik

    edisi kali ini adalah yang paling suram. Ka-

    rim, yang punya proyek Ceritalah Indonesia,

    telah mengikuti perkembangan politik na-

    sional sejak 1999.

    Karim meneliti antusiasme masyarakat

    di dua propinsi paling padat penduduk, Jabar

    dan Jatim. Di Sidoarjo, Karim menemukan

    Nugroho, 57 tahun, yang menyatakan akan

    golput karena muak dengan politik uang

    para caleg. Di Ponorogo, ia berjumpa dengan

    Arif, pemulung sampah usia 31 tahun yang

    bilang bahwa pemilu legislatif hanya sebuah

    kemubaziran. Tak akan ada yang berubah,

    ujar Arif. Akibat keadaan ini, Karim menyim-

    pulkan bahwa masalah utama bangsa Indo-

    nesia saat ini bukan lagi perihal disintegrasi,

    tetapi kekecewaan masyarakat yang mening-

    kat terhadap demokrasi nasional.

    Menurut saya, kekecewaan semacam ini

    wajar. Kita sama-sama muak dengan marak-

    nya kasus korupsi, kelambanan dan tidak

    efektifnya pemerintah, perilaku buruk elit

    politik, juga seperti yang teman sekamar

    saya bilang, ketidaktersediaan calon legislatif

    yang ideal. Hal ihwal ini membuat orang

    banyak berpikir bahwa barangkali golput

    adalah solusi instan.

    Tetapi apakah benar golput akan me-

    nyelesaikan masalah? Secara tidak langsung,

    tidak menggunakan hak pilih adalah mem-

    berikan legitimasi bagi pemenang pemilu

    yang belum tentu menyuarakan aspirasi kita.

    Dr Hamid Fahmi Zarkasyi, cendekiawan

    Muslim tanah air, menyuarakan retorika

    menohok untuk mereka yang berniat golput:

    Jika Anda tidak mau ikut pemilu karena

    kecewa dengan pemerintah, atau anggota

    DPR, atau parpol Islam, itu hak Anda. Tetapi

    jika Anda dan jutaan orang lain tidak ikut

    pemilu maka jutaan orang fasik, sekuler, lib-

    eral, atheis, akan ikut pemilu untuk berkuasa

    dan menguasai kita. Niatlah berbuat baik

    meski hasilnya belum tentu sebaik yang

    engkau inginkan.

    Lebih jauh, golput dapat menimbulkan

    gonjang-ganjing politik hingga mengancam

    persatuan nasional. Bayangkan jika ke-

    banyakan orang, karena putus asa dengan

    keadaan saat ini, memutuskan untuk tidak

    ikut berpartisipasi. Akibatnya, pemerintah

    akan kehilangan legitimasi, kemudian tiap-

    tiap kelompok komunis, radikal, anarkis, dll

    - merasa berkuasa atas negri ini. Perang

    saudara bisa jadi akan menjadi masa depan

    buruk bangsa ini.

    Bahwa demokrasi nasional saat ini ber-

    jalan buruk, kita sama-sama mengetahui.

    Namun kita juga tak boleh menutup mata

    bahwa masih banyak hal positif dalam dina-

    mika kenegaraan kita. Indonesia adalah

    negara demokratis terbesar ketiga di dunia.

    Anis Baswedan, rektor Universitas Para-

    madina, menyebutkan bahwa salah satu sisi

    positif negara ini adalah kedewasaan politik.

    Peserta konvensi capres partai Demokrat ini

    menjelaskan lebih jauh bahwa sebenarnya

    ada banyak sekali kasus dalam pilkada. Teta-

    pi semua kasus itu selesai di meja peradilan

    lalu masing-masing pihak berbesar hati

    menerima putusan hakim. Yang jadi masa-

    lah jika setiap pihak yang tak puas turun ke

    jalan lalu bakar-bakaran semua -seperti di

    Timur Tengah-, ujar Anis. Sikap bangsa In-

    donesia yang legowo itu, kata Anis, adalah

    tanda bangsa beradab.

    Perlu diperhatikan bahwa Indonesia

    adalah bangsa yang masih muda dalam pen-

    carian sistem pemerintahan ideal. Sepatut-

    nya kita menyadari bahwa dalam proses

    pencarian itu akan ada trial and error.

    Amerika Serikat saja pernah mengalami

    perang saudara sebelum menjadi negara

    super power. Yang dibutuhkan Indonesia

    sekarang adalah solusi berwujud peran aktif,

    bukan sikap apatis.

    Kita harus optimis masalah demi masa-

    lah dapat diselesaikan dengan sikap politik

    yang aktif, cerdas dan tepat. Bukankah

    korupsi, efektifitas pemerintah, perilaku elit,

    dapat ditanggulangi dengan memilih wakil

    dengan integritas baik. Pula, bila masalahnya

    adalah ketidaktersediaan calon yang dibu-

    tuhkan masyarakat, mengapa tidak meman-

    taskan diri menjadi wakil rakyat?

    Tidak menggunakan hak suara, seperti

    menggunakannya, adalah opsi. Tetapi setiap

    pilihan memiliki konsekuensi, dan golput

    dapat membawa akibat yang amat buruk.

    Dalam khazanah keislaman, para salaf

    menggunakan istilah setan bisu untuk

    mereka yang diam dari kebenaran. Bagi saya,

    golput termasuk golongan itu. Bukankah

    dalam demokrasi, setiap individu dijamin

    kebebasan menyuarakan kebenaran?

    Bahkan kebenaran versi apa saja.

    Maka, Masisir sebagai komunitas akade-

    mis, menurut saya perlu mempertimbangkan

    lebih jauh sikap politiknya. Kita bukanlah

    masyarakat tak berpendidikan yang men-

    dasari setiap pilihan tanpa pertimbangan

    nalar berpikir dan landasan ilmiah. Kita ada-

    lah komunitas terdidik yang tindak tan-

    duknya jadi teladan. Terutama karena kita

    adalah entitas pelajar yang mayoritas-

    berkecimpung dengan khazanah keilmuan

    Islam. Tugas kita adalah menjadi pionir yang

    mendorong perspektif optimis dan harapan

    atas masa depan bangsa ini. Karena

    masyarakat yang tak punya harapan, kata

    Gulen, akan lumpuh.

    *Penulis adalah Mahasiswa tingkat

    akhir Jurusan Aqidah Wa Falsafah.

    Masisir, Antara Apatisme dan Sikap Positif Oleh: Kurniawan Saputra*

    Masyarakat yang tidak memiliki

    harapan akan lumpuh, M Fethullah

    Gulen.

  • TROBOSAN

    - edisi In

    teraktif O

    pin

    i Ap

    ril

    Doc. Foto PPMI

    Masisir Berpolitik, Why Not? Oleh: Salman Arif*

    Akhirnya rakyat Indonesia masuk pada

    tahun yang mana para pengamat politik me-

    nyebutnya dengan "Tahun Politik". Tahun ini

    adalah moment dimana calon wakil rakyat

    unjung gigi, bursa calon presiden tumpah

    ruah. Suhu demokrasi kembali memanas,

    bahkan hawanya menerobos garis teritorial

    hingga menyapa para Masisir di Negeri

    Firaun.

    Kalau kita perhatikan, ada segmen baru

    dalam roda aktivitas Masisir. Biasanya

    Masisir sibuk dengan aktivitas kuliah, bisnis,

    organisasi (politik non-praktis) dan berbagai

    macam aktivitas lain, maka saat ini ada seg-

    men dimana Masisir lebih intens berbicara

    tentang kepemimpinan, cita-cita dan masa

    depan bangsa. Tiba-tiba banyak yang

    "keranjingan" berbicara politik bahkan ikut

    "latah" perpartisipasi dalam politik praktis.

    Terkait pesta rakyat yang sedang ber-

    langsung, fakta membuktikan bahwa Masisir

    terbagi dalam 3 golongan. Golongan pertama

    adalah mereka yang simpati dengan partai

    politik. Partai politik masih dipercayai men-

    jadi penampung aspirasi publik dan masih

    dipandang sebagai salah satu instrument

    menuju bangsa yang berperadaban. Indone-

    sia masih punya wajah. Generasi dengan

    background religius seperti Masisir akan bisa

    mengubah atsmosfir politik yang penuh in-

    trik dan aroma busuk menuju arena yang

    asyik dan menyenangkan.

    Bukti kongkritnya, biasanya hanya PKS

    yang hadir di tengah-tengah Masisir, akhirn-

    ya PKB, Nasdem dan beberapa parpol ikut

    menemani. Walaupun dalam tatanan praktis,

    ada yang perlu diperbaiki. Sebagai contoh

    kecil tentang pengelolaan sosial media resmi

    perwakilan partai yang seharusnya merupa-

    kan white account, dilain kesempatan kadang

    berubah menjadi grey account yang

    digunakan untuk demarket-

    ing rival poli-

    tik. Semo-

    ga

    hal

    ini men-

    jadi pembela-

    jaran menuju aktor politik yang lebih dewasa

    dan profesional.

    Penulis sangat mengapresiasi sikap poli-

    tik seperti ini karena masih ada Masisir yang

    vokal berjuang dalam jalur ini. Karena me-

    mang, laju politik harus dikawal oleh orang-

    orang berlatar belakang agama yang paham

    timbangan baik dan buruk sehingga kursi

    wakil rakyat tidak didominasi oleh para

    pelacur politik. Dan kita patut berbangga

    dengan banyaknya caleg dari rahim Masisir

    yang berkiprah di dunia politik dengan latar

    belakang parpol yang beragam.

    Golongan kedua adalah golongan yang

    antipati dengan politik. Dalam perspektif

    kelompok ini mengatakan bahwa politik itu

    kotor. Tak ada kawan atau lawan abadi da-

    lam kamus politik, yang abadi hanya satu

    yaitu kepentingan. Seseorang bisa menjadi

    sangat jahat dan baik dan sulit mengklasifi-

    kasikan tokoh baik dan tokoh jahat tersebut.

    Belum lagi kasus-kasus yang menerpa partai

    politik. Semuanya menjadi abu-abu. Hingga

    mereka cendrung apolitik yang berujung

    pada golput saat pemilu. Mereka terbelenggu

    dengan jargon yang mereka gaung-gaungkan

    yaitu independent. Mereka selalu mengkritik

    namun mereka tidak mampu memberikan

    solusi yang relevan atas problematika bang-

    sa. Satu lagi sikap para barisan anti politik

    yaitu adanya usaha mendepolitisasi kegiatan

    politik walaupun kegiatan itu diperuntukkan

    untuk konstituen politik.

    Sebenarnya masih banyak orang-orang

    baik yang duduk dikursi parlemen walaupun

    jumlahnya minoritas, hanya saja mereka

    kalah voting dalam hak angket yang mem-

    ihak pada rakyat. Kalau yang terjadi seperti

    ini maka logikanya pelaku golput tidak etis

    dan tak berhak mengkritisi kinerja

    pemerintah karena mereka tak ikut ber-

    partisipasi dalam euforia pesta demokrasi.

    Yang paling menarik adalah apa yang

    dikatakan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, MA.,

    M.Phil (Ketua MIUMI), "Jika anda tidak mau

    ikut pemilu karena kecewa dengan

    pemerintah dan anggota DPR, atau parpol

    Islam, itu hak anda. Tapi ingat jika anda dan

    jutaan yang lain tidak ikut pemilu maka

    jutaan orang fasik, sekuler, liberal, atheis

    akan ikut pemilu untuk berkuasa dan men-

    guasai kita. Niatlah berbuat baik meskipun

    hasilnya belum tentu sebaik yang engkau

    inginkan." Belum lagi statement Aa Gym, Ust.

    Yusuf Mansur dan Habib Rizieq semakin

    membantah mitos bahwa agama berseber-

    angan dengan politik. Kiyai dan santri/

    jebolan pesantren harus care terkait hub-

    ungan politik dengan isu keumatan.

    Golongan ketiga adalah-- golongan yang

    melek politik tapi tidak terjun dalam politik

    praktis. Alasannya beragam, ada yang kelak

    ingin berdakwah secara normal dan mem-

    bina generasi penerus. Ini masuk akal dan

    layak diapresiasi karena semua kita harus

    masuk dalam ruang lingkup keindonesiaan

    yang konperhensif menuju Indonesia yang

    lebih maju.

    Sebenarnya politik itu sangat urgent dan

    tidak ada sekat antara politik dengan tujuan

    Masisir menuntut ilmu ke Mesir ini. Apabila

    keduanya bergabung dan berakumulasi da-

    lam satu bentuk maka itu akan menciptakan

    percepatan kematangan diri saat terjun ke

    masyarakat saat pulang ke tanah air. Masisir

    akan mudah beradaptasi dan cepat berbaur

    saat bergabung dengan parpol atau LSM ter-

    tentu. Politik juga tidak mempengaruhi pres-

    tasi akademik. Tanpa menyebutkan parpol,

    banyak kader partai tertentu meraih mumtaz

    dan melanjutkan study ke jenjang magister

    dan doktoral. Politik dan akademik keduanya

    berjalan seiringan tanpa mendahului satu

    sama lain. Walaupun sebenarnya semua

    kembali pada individu masing-masing.

    Disisi lain memang terbentuk banyak

    friksi di tubuh Masisir. Dalam politik,

    gesekan dan ketegangan yang sering terjadi

    di sosial media merupakan suatu yang wajar.

    Walapupun kelemahan ini menjadi sasaran

    bully dan adu bomba para barisan anti poli-

    tik namun hal ini akan menjadi pembelajaran

    menuju Masisir politik yang matang.

    Terakhir, apapun sikap politik anda, jan-

    gan sampai merusak hubungan horizontal

    sesama Masisir. Perbedaan itu wajar, keraga-

    man itu indah. Kolaborasi golongan dengan

    misi keindonesian bersama golongan dengan

    misi keumatan itu yang barangkali akan

    menjadikan bangsa kita hebat dan kuat.[]

    *Penulis adalah mahasiswa Universi-

    tas Al-Azhar, Fakultas Syariah wal Qanun,

    Jurusan Syari'ah Islamiyah

    Doc. Google.com

  • TROBOSAN

    - e

    dis

    i In

    tera

    ktif

    Op

    ini -

    Ap

    ril 2

    01

    4

    Melihat definisi politik yang telah

    dikatakan oleh para tokoh itu, kita bisa me-

    mahami bahwa politik adalah hal yang mulia,

    dan aktifitasnya merupakan suatu ibadah.

    Namun tak bisa dipungkiri, pada kenyataanya

    politik tidak lepas dari trik-trik yang licik dan

    menghalalkan segala cara untuk mencapai

    kekuasaan.

    Semua warga negara Indonesia di luar

    negeri mempunyai hak suara yang sama. Mes-

    kipun jumlah WNI yang berada di Mesir hanya

    berjumlah sekitar empat ribu jiwadan

    mayoritas adalah mahasiswa, tapi geliat poli-

    tiknya cukup hangat. Banyak yang mengatakan

    bahwa Masisir adalah fotokopiannya Indone-

    sia. Di Masisir hampir semua lembaga afiliatif

    tersedia, seperti NU, Muhammadiyah, Persis

    dan yang lainnya. Pun begitu ketika menjelang

    pemilu, beberapa wakil partai politik unjuk

    gigi untuk berebut suara.

    Namun yang menjadi pertanyaan adalah:

    Apakah penting bagi Masisir untuk terlibat

    langsung dalam politik praktis? Dalam kata

    lain, apakah penting dan pantas mahasiswa

    menjadi pengurus parpol tertentu? Belum atau

    tidak ada kata sepakat tentang jawabannya.

    Namun di sini penulis akan mencoba

    mengemukakan beberapa pendapat yang

    beredar di Masisir terkait hal itu. Ada yang

    mengatakan penting, adapula yang menga-

    takan tidak penting.

    Pertama, pendapat yang mengatakan bah-

    wasanya tidak penting bagi Masisir untuk

    terjun langsung ke dunia politik praktis.

    Alasannya, kedatangan Masisir ke bumi Mesir

    ini adalah untuk belajar, bukan untuk berpoli-

    tik.

    Politik memang tidak selalunya kotor, tapi

    masuk ke dunia politik juga sulit untuk tetap

    bersih. Tujuan belajar adalah mencari kebena-

    ran, dan mencari kebenaran dalam politik itu

    bukan ikut-ikutan terjerumus ke dalam

    kepentingan sesaat. Kuliah lancar, me-

    manfaatkan waktu sebaik-baiknya, menjalin

    hubungan baik dengan KBRI dan berinteraksi

    dengan sesama warga Indonesia atau non

    Indonesia adalah hal-hal yang seharusnya

    menjadi topik politik Masisir.

    Masih menurut pendapat yang pertama

    ini, kalau ingin belajar berpolitik lebih dalam,

    bukankah sudah ada PPMI dan kekeluargaan?

    di sana terdapat pembelajaran berpolitik, teru-

    tama di PPMI yang menganut sistem Trias

    Politika. Warna politik di PPMI sudah mirip

    dengan politik di Indonesia, ada Pemilu Raya

    dengan segala atributnya; kampanye, debat

    kandidat dan lain sebagainya. Demikian juga di

    kekeluargaan yang kurang lebih sama.

    Jika tujuan politik adalah untuk mense-

    jahterakan rakyat, maka belajar politik di or-

    ganisasi Masisir adalah pilihan tepat. Sebelum

    mengurus rakyat banyak, belajar dulu mengu-

    rus kawan-kawan yang notabene adalah sesa-

    ma mahasiswa, bukan ikut berkecimpung di

    politik praktis.

    Lagi pula, pemilu hanya berjalan lima ta-

    hun sekali. Jika standar masa belajar di al-

    Azhar adalah empat tahun, maka tidak semua

    orang bisa belajar berpolitik lewat partai. Ten-

    tu tidak cukup belajar satu kali dalam lima

    tahun, karena sesunggunya belajar politik itu

    perlu waktu yang lama. Mahasiswa berpolitik

    praktis justru merobohkan citra mahasiswa

    itu sendiri yang sejatinya adalah insan intel-

    ektual. Hal itu terkait sebagian Masisir yang

    terjun dadakan menjelang pemilu. Adapun

    bagi mereka yang sepanjang tahun bergelut di

    dunia politik, karena memang mereka adalah

    kader partai politik tertentu yang selalu aktif

    di Masisir, mereka terkesan telah lompat dari

    tujuan asli sebagai pelajar atau mahasiswa dan

    memilih jalur yang sebenarnya bukan jalurn-

    ya.

    Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa

    Masisir perlu berpolitik praktis. Alasannya

    adalah bahwa mahasiswa yang berada di Me-

    sir adalah WNI juga. Jika di Masisir terdapat

    berbagai organisasi afiliatif, kenapa parpol

    tidak? Asal bisa tertib dan rapi, tidak menjadi

    masalah jika mahasiswa berpolitik. Toh itu

    merupakan sebuah pembelajaran dalam dunia

    perpolitikan.

    Masih menurut pendapat ini, di lingkungan

    mahasiswa Indonesia di Tanah Air terdapat

    BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) yang mem-

    bawahi kegiatan mahasiswa yang bersifat

    ekstra. Dari sanalah kawan-kawan mahasiswa

    Indonesia belajar berorganisasi, sekaligus

    belajar berpolitik. Dalam hal ini, PPMI dan

    kekeluargaan di Masisir--meskipun sudah

    menganut sistem Trias Politika, belum bisa

    disamakan dengan BEM, karena aktifitas PPMI

    masih dalam lingkup mahasiswa saja, tidak

    melebar ke warga Indonesia yang non maha-

    siswa. PPMI seperti OSIS di SMP atau SMA

    yang ruang lingkupnya adalah sekolahan. Jadi

    belum cukup untuk menjadi tempat belajar

    berpolitik.

    Alasan yang tidak kalah pentingnya adalah

    masalah kesempatan. Banyak yang menga-

    takan bahwa mahasiswa yang kuliah di Indo-

    nesia lebih banyak kesempatannya untuk

    menjadi politisi, karena mereka berada di

    Tanah Air. Sementara Masisir yang jauh di luar

    negeri sulit untuk menggapai kesempatan itu.

    Sebuah proses politik bukanlah abra kadabra

    seperti tukang sulap yang satu kali jadi. Karier

    politik memerlukan proses panjang. Masisir

    juga berhak untuk menjadi seorang politisi,

    supaya dengan keilmuan dan kesalehannya

    bisa mewarnai perpolitikan di Indonesia. Ka-

    lau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau tidak di

    Mesir, lalu di mana lagi? Memang benar bahwa

    politik tidak bisa lepas dari uang. Tapi justru

    itulah yang menjadi tantangan Masisir;

    bagaimana menghindari praktek politik uang

    yang kotor itu.

    Masisir yang berpolitik bisa menjadi

    percontohan untuk Indonesia, bahwa politik

    ala mahasiswa adalah bersih. Dari dua pen-

    dapat di atas, penulis ingin menyimpulkan

    bahwasanya Masisir berpolitik itu penting.

    Selain untuk belajar, Masisir yang berpolitik

    secara bersih juga bisa menjadi percontohan

    bahwa mahasiswa al-Azhar mampu berpolitik

    secara bersih. Namun ada yang lebih penting

    dari sekedar berpolitik, yaitu belajar di al-

    Azhar dengan sungguh-sungguh, karena al-

    Azhar lah yang membuat sebagian besar

    Masisir datang ke bumi Mesir ini. Kata orang

    bijak, jangan sampai mencari jarum melupa-

    kan kapak, mengejar hal yang tidak begitu

    penting tapi meninggalkan hal yang sangat

    penting. Jangan karena niat belajar berpolitik,

    belajar di al-Azhar terlupakan.

    *Penulis adalah Mahasiswa tingkat III

    jurusan Syariah Islamiyah.

    Masisir Berpolitik, Pentingkah? Oleh: Ahmad Hujaj Nurrohim*

    Ada banyak definisi tentang politik. Se-

    mentara pakar mengatakan bahwa politik

    adalah seni untuk mencapai kekuasaan, dan

    kekuasaan adalah alat untuk mengatur negara

    dan memakmurkan rakyat. Menurut mantan

    Mufti Mesir, Syekh Ali Jumah, politik adalah

    riyat syun al-ummah fi al-dakhl wa al-

    khrij (menjaga urusan umat dari luar dan

    dalam). Barangkali definisi beliau itu merujuk

    kepada Imam al-Ghazali yang mengatakan

    bahwa politik adalah alat untuk mengatur

    manusia demi mencapai kebahagiaan dunia

    dan akhiratnya.

  • TROBOSAN

    - edisi In

    teraktif O

    pin

    i Ap

    ril

    Salah satu penafsiran yang muncul ada-

    lah pengkaitan nomer urut surat di dalam al

    -Quran dengan nomor urut sebuah partai.

    Mereka dengan sengaja tanpa memper-

    hatikan beberapa syarat dan ketentuan

    kaidah penafsiran, mencoba -lebih tepatnya

    memaksakan untuk mengambil kesimpulan

    antara makna surat tersebut dengan partai

    yang dimaksud. Hal ini tentunya tidak

    dibenarkan, karena semua kesimpulannya

    benar-benar tidak rasional.

    Semua penafsiran tersebut secara lang-

    sung untuk meraup simpati masyarakat,

    karena mungkin jika dikaitkan dengan al-

    Quran maka akan memunculkan nilai atau

    kesan lebih baik. Contohnya ketika ada sa-

    lah satu partai yang bernomer urut 24,

    maka sebagian mereka (red: oknum)

    mengaitkan nomer tersebut dengan surat

    yang ada di dalam al-Quran yang di mana

    surat ke-24 adalah surat al-Nur. Sehingga

    mereka pun mengambil kesimpulan bahwa

    partai tersebut dalam segala hal seperti

    cahaya.

    Jika memang seperti itu, berarti partai-

    partai lain selain partai tersebut adalah

    kegelapan? Apakah ada syarat atau tahapan

    -tahapan di mana sebuah partai bisa

    dikatakan partai yang bercahaya?

    Sungguh tidak masuk akal. Bisa jadi ada

    partai lain yang sepak terjangnya sebaik

    partai tersebut atau mungkin lebih baik

    sehingga lebih pantas disebut partai yang

    bercahaya.

    Ada lagi sebagian simpatisan (red: ok-

    num) partai PAN yang mengajak masyara-

    kat untuk mendukung mereka karena di

    dalam al-Quran hanya partai tersebut yang

    disebut, Kullu man alaihaa faan.

    Penafsiran seperti ini benar-benar harus

    ditiadakan, karena bisa mengotori pema-

    haman orang awam khususnya terhadap al-

    Quran. Di sisi lain apa yang telah dilakukan

    ini sesuai dengan larangan Allah bahwa kita

    dilarang untuk menjual ayat-ayat Allah

    dengan hal-hal yang tidak berharga. Allah

    berfirman, ... dan janganlah kamu jual ayat-

    ayat-Ku dengan harga murah ... (QS. Al-

    Maidah: 44).

    Memang benar dewasa ini telah muncul

    metode penafsiran al-Quran perspektif poli-

    tik, namun tidak seperti di atas caranya.

    Satu hal yang penting dalam metode ini

    adalah menjaga kefanatikan terhadap

    sebuah paham, seorang individu atau ke-

    lompok. Artinya, ketika menafsirkan ayat,

    khususnya yang berkaitan dengan hukum

    bermasyarakat, maka seyogianya untuk

    menjauhkan sifat kefanatikan. Karena jika

    tidak, maka penafsiran tersebut secara

    langsung akan cenderung mengikuti hawa

    nafsu.

    Saya di sini tidak membenci mereka

    secara individu atau kelompok, namun

    membenci cara mereka dalam menarik

    simpati masyarakat yang sangat keliru,

    apalagi menggunakan al-Quran. Al-Quran

    itu pedoman, bukan mainan!

    Di sisi lain, yang perlu dicatat adalah

    salah satu kesimpulan yang kurang benar

    bahwa al-Quran (red: agama) tidak bisa

    dibawa-bawa ke dalam ranah politik karena

    bisa menodai kefitrahan agama. Sebagaima-

    na yang dituliskan Syeikh Ghadlban dalam

    mukadimah bukunya, Al-Manhaj Al-Siyasi li

    Sirah Nabawiah, bahwa politik itu cender-

    ung dengan hal-hal busuk, najis dan jauh

    dari kebaikan, sedangkan agama itu suci,

    bersih, sesuai dengan norma dan nilai-nilai

    kebaikan. Sehingga keduanya tidak bisa

    disatukan, seperti minyak dan air.

    Hal di atas tentu keliru, karena jika

    benar maka apa bedanya saya dengan orang

    -orang liberal yang berusaha menyebarkan

    pemahaman bahwa agama hanya ada di

    masjid saja sedangkan hal-hal di luar masjid

    yang berhubungan dengan sosial, agama

    tidak berkepentingan.

    Apa yang dipahami orang-orang liberal

    sebetulnya merendahkan agama Islam ka-

    rena sebagaimana yang kita ketahui bahwa

    Islam dengan al-Quran dan sunnah

    Rasulullah Saw. sebagai pedoman, men-

    cakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada

    satu pun perkara di dalam ke-

    hidupan, kecuali su-

    dah ada

    pen-

    jelasannya di dalam agama

    Islam. Bahkan salah satu sabda Rasulullah

    Saw. ada yang mengandung kata siyasah

    atau politik. Kaanat banu Israil tasuusuhum

    al-Anbiya (HR. Bukhari).

    Pada akihirnya kita bisa mengambil

    beberapa poin penting. Pertama, agama dan

    politik benar-benar tidak bisa dipisahkan

    seperti halnya yang dipahami orang-orang

    liberal. Namun sebaliknya, karena sifat aga-

    ma Islam yang universal, maka politik pun

    termasuk cakupannya, sebagaimana yang

    dikatakan Syeikh Ghadlban bahwa politik

    dengan segala apa yang terkait dengannya

    harus dikontrol atau di bawah naungan

    hukum syari.

    Kedua, sebagai insan akademis, kita

    secara tidak langsung bertanggungjawab

    dengan hal-hal yang terjadi di Indonesia,

    khususnya pesta demokrasi. Jika ada hal

    yang mengganjal atau bertentangan dengan

    agama, maka seyogyanya kita meluruskann-

    ya meski melalui tulisan yang mungkin tid-

    ak dibaca banyak orang, tapi kita minimal

    sudah memberikan kontribusi positif untuk

    membangun Indonesia menjadi lebih baik.

    Ketiga, bagi partai yang merasa menjadi

    representasi dari agama, maka perlu hati-

    hati dalam melangkah. Karena menurut

    saya, dewasa ini agama bukan lagi menjadi

    pedoman untuk berpolitik, tapi sebagai alat

    berpolitik. Hal inilah yang ditakutkan, kare-

    na jika ada kebijakan-kebijakan yang jauh

    dari nilai dan norma agama, maka masyara-

    kat pun akan memandang negatif, bukan

    kepada partai saja tetapi juga pada agama

    itu sendiri.

    *Penulis adalah Mahasiswa tingkat

    akhir jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin.

    Setelah munculnya mufasir kesasar,

    Abu Marlo dan penafsiran keliru tentang

    musibah Gunung Kelud, baru-baru ini kita

    kembali dikagetkan dengan adanya

    penafsiran al-Quran yang dikaitkan dengan

    kepentingan-kepentingan mereka dalam

    meraup kekuasaan dalam kancah politik.

    Tidak tau apa alasan atau argumen mereka,

    yang jelas mereka telah menyalahgunakan

    al-Quran demi sebuah kepentingan sesaat.

    Padahal al-Quran sebagai kitab suci, terlalu

    mulia jika digunakan untuk kepentingan

    duniawi yang cenderung kotor tersebut.

    Al-Quran Itu Pedoman, Bukan Mainan! Oleh: Hilmy Mubarok*

  • TROBOSAN

    - e

    dis

    i In

    tera

    ktif

    Op

    ini -

    Ap

    ril 2

    01

    4

    Bagaimana Hubungan Ideal Mahasiswa Dengan Politik? Oleh: Ahmad Sastriawan Hadi*

    Ada beberapa hal dari dinamika politik

    mahasiswa yang banyak mengundang tanya.

    Apakah itu latar belakang yang menyebabkan

    para mahasiswa pegiat politik ini begitu

    ngotot dan fanatik terhadap partai tertentu,

    ataukah semangat berpolitik yang jarang

    sekali kita temui tandingannya di dalam ak-

    tivitas-aktivitas mereka yang lain.

    Kemudian dalam berbagai kesempatan,

    kita seringkali terheran-heran dengan eksis-

    tensi sikap politis mereka yang kian menjadi-

    jadi seiring dekatnya pemilu. Bahkan bebera-

    pa kawan mahasiswa ataupun mahasiswi

    yang selama ini kita kenal sebagai sosok pen-

    diam dan pemalu, kini begitu lantang

    mengkampanyekan partai mereka, dan tidak

    segan-segan lagi untuk memamerkan momen-

    momen politis mereka bersama teman separ-

    tai.

    Lalu di dalam ranah dunia maya, artikel-

    artikel politis mereka akhir-akhir ini semakin

    banyak menghiasi timeline kita. Bahkan tidak

    jarang kita temui argumen-argumen ten-

    densius mereka, agar kita memilih partai

    tertentu. Sehingga, semua hal yang berkaitan

    dengan suksesnya propaganda politis ini,

    tidak akan luput dari perhatian mereka.

    Kita pun bertanya-tanya, bagaimana par-

    tai politik ini masuk ke dalam kehidupan

    mereka, hingga layaknya sebuah mazhab?

    Mengapa mahasiswa politik ini begitu intens

    melakukan aktivitas politiknya? Apa motif

    yang melatarbelakangi mereka melakukan hal

    demikian? Lalu seperti apa hubungan ideal

    mahasiswa dengan politik?

    Pertanyaan-pertanyaan di atas, tentu

    sangat sulit untuk penulis jawab, mengingat

    penulis --dan harus diakui-- termasuk golon-

    gan mahasiswa yang antipati dengan politik

    praktis ala mahasiswa.

    Namun penulis berani menjamin adanya

    relasi yang dipaksakan saat mereka mengait-

    kan kepentingan politis mereka dengan aga-

    ma maupun masyarakat. Jika anda tidak

    percaya, lihatlah editorial media partai politik

    masisir yang berjudul "Anak-Anak Cinta".

    Dalam artikel ini anda akan mendapati

    bagaimana berbagai macam kegiatan sebuah

    partai politik, yang nyata-nyata

    dibelakangnya ada kepentingan politis --

    terlepas dari nilai positif dan negatifnya--

    dikait-kaitkan dengan mauqif-mauqif Nabi

    yang semuanya bersumber dari wahyu.

    Sungguh jauh antara kepentingan politis

    kekinian dan wahyu. Sungguh jauh antara

    cinta Nabi dengan cinta yang di belakangnya

    ada kepentingan politis. Sungguh jauh antara

    rahmatan lil alamin dan cinta yang diobaral-

    obral untuk sebuah suara di parlemen dan

    beberapa kursi di kementerian.

    Penulis juga berani menjamin adanya

    analisis tendensius, saat membaca media

    partai politik dan tulisan-tulisan lepas mereka

    di media sosial. Jika ada ragu, simaklah

    bagaimana tendensiusnya analisis seorang

    mahasiswa yang merupakan kader partai

    tertentu di Mesir. Lihatlah bagaimana ia

    dengan yakinnya menegaskan bahwa jika

    Islam tidak didakwahkan lewat kekuasaan,

    maka Islam hanya akan ada di buku-buku dan

    masjid-masjid. Tidak hanya itu, ia menam-

    bahkan, "Bahkan bisa saja jika buku-buku dan

    surau-suraunya pun tidak akan dibiarkan

    ada."

    Penulis tidak menafikan pentingnya

    dakwah lewat kekuasaan. Namun anda tidak

    bisa mendiskreditkan begitu saja peranan

    masjid sebagai sekolah sosial dan buku se-

    bagai realisasi intelektual. Jika masih ragu

    juga, lihatlah al-Azhar pada Revolusi 1919, ke

    -Sunni-an rakyat Mesir pada zaman Dinasti

    Fatimiyah, Muhammadiyah dan pendidikan

    Indonesia, Hizmet dan Fethullah Gu len, Islam

    dan proses penyebarannya di nusantara, dan

    lain-lain.

    Semuanya membuktikan bahwa tidak

    selamanya Islam harus didakwahkan lewat

    kekuasaan. Begitu juga tidak selamanya

    penggunaan kekuasaan selalu berhasil dalam

    menyebarkan dakwah. Bahkan, tidak jarang

    jika masjid --yang notabene adalah sekolah

    sosial-- menjadi hulu revolusi melawan tirani.

    Jadi, tidak salah jika penulis menegaskan bah-

    wa anda terlalu overaktif dengan kek-

    hawatiran anda yang berlebihan, ketika Islam

    tidak didakwahkan lewat kekuasaan.

    Oleh karena itu, meskipun penulis tidak

    ikut-ikutan nimbrung ke dalam sebuah partai

    politik, paling tidak apa yang ditampakkan

    oleh para mahasiswa pegiat politik --secara

    verbal maupun literer-- bisa menjadi acuan

    untuk mengetahui nafsiyah dan aqliyah mere-

    ka, terkait dunia politik yang mereka geluti.

    Sehingga kita, sedikit tidak bisa meraba-raba

    jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas.

    Dalam hal ini penulis menggunakan pendeka-

    tan mental untuk menjawab tiga pertanyaan

    pertama. Sedangkan untuk pertanyaan tera-

    khir, penulis menjawabnya dengan

    menggunakan pendekatan nalar.

    Mari kita jawab tiga pertanyaan pertama

    tersebut! Jika kita ingin mengetahui bagaima-

    na partai politik ini masuk ke dalam ke-

    hidupan mahasiswa, lalu menjelma layaknya

    sebuah mazhab, maka setidaknya kita harus

    tahu sebuah titik yang mempertemukan tabi-

    at mahasiswa dan partai politik tersebut.

    Sudah maklum jika mahasiswa selalu

    terpukau dengan hal-hal yang membakar

    idealisme mereka. Sudah maklum juga jika

    darah muda mereka selalu condong kepada

    hal-hal yang bersifat revolusioner, baik dalam

    agama maupun negara. Begitu juga dengan

    hal-hal lain yang menjadi ciri khas gaya pikir

    dan tabiat mahasiswa.

    Di sisi lain, ada semacam kecocokan anta-

    ra idealisme yang diusung partai politik ter-

    tentu dengan tabiat mahasiswa yang ber-

    sangkutan. Sehingga tak ayal, terjadilah per-

    temuan, lalu kekaguman, hingga diakhiri

    dengan fusi. Di samping itu, ada semacam

    asupan mental dari pegiat partai yang senan-

    tiasa menjaga keberlangsungan fusi tersebut.

    Fusi inilah yang menjadikan partai yang

    didukung oleh mahasiswa layaknya sebuah

    mazhab, yang secara tidak langsung

    menuntut penganutnya untuk fanatik dan

    selalu berbaik sangka terhadap petinggi ma-

    zhabnya.

    Selanjutnya jika kita ingin tahu mengapa

    mahasiswa pegiat politik itu begitu intens

    berkampanye berikut motifnya, maka kita

    harus kembalikan itu semua kepada petinggi

    partainya. Iya, para petinggi partai itulah otak

    dari semua aktivitas mahasiswa dalam

    kegiatan politisnya. Dengan begitu, anda tidak

    Lanjut ke hal. 14...

    Doc. Google.com

  • TROBOSAN

    - edisi In

    teraktif O

    pin

    i Ap

    ril

    Pemilu bukan acara satu-satunya dalam

    kehidupan bernegara. Bukan berarti

    mengecilkan arti dari pemilu. Adalah benar

    bahwa pesta ini merupakan rangkaian acara

    terbesar dalam demokrasi, tapi bukan segala

    -galanya. Layaknya mengadakan sebuah

    acara, keberhasilan dari acara tersebut tidak

    hanya sekedar keberhasilan secara teknis,

    tapi keberhasilan yang sesuai dengan target-

    target jangka panjangnya. Sebagai mana

    sebuah pesta apapun, ia membutuhkan

    persiapan yang dalam dan matang dari jauh-

    jauh hari.

    Euforia pesta pemilihan wakil-wakil

    baru rentan kehilangan makna. Apa maksud

    kehilangan makna? Maksudnya bisa jadi

    acara ramai, orang banyak, media ribut, tapi

    yang lebih besar dari pada itu adalah bahwa

    kontrak-kontrak politik perjanjian antara si

    pemilih dan si calon wakil harus tetap

    dikawal. Komunikasi rakyat dengan calon

    wakil tidak boleh hanya terjadi secara instan

    beberapa saat jelang pemilu. Selanjutnya

    akses rakyat untuk mengetahui kinerja para

    wakilnya harus semakin diperluas dan

    berkelanjutan hingga berakhirnya masa

    kerja.

    Pada saat yang sama dengan pemilu juga

    diadakan pertanggung jawaban dalam

    sidang MPR. Tanpa memberikan porsi yang

    memadai untuk pertanggung jawaban ini,

    seolah-olah pemilihan umum hanya seperti

    lingkaran dengan jalur berputar-putar disitu

    saja. Memilih lagi dan lagi tanpa evaluasi.

    Parameter paling akurat dalam

    mengevaluasi para wakil adalah cita-cita

    bangsa sebagaimana yang termaktub dalam

    pembukaan UUD 1945 berupa negara yang

    bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Wakil-

    wakil mana yang mampu membawa rakyat

    menuju negara yang telah dicanangkan

    dalam cita-cita bangsa. Pertanyaannya

    adalah apa wadah bagi rakyat untuk

    melakukan evaluasi dan pengukuran itu?

    Biasanya cita-cita negara secara simbolis

    menjadi pusat perhatian hanya pada saaat

    dirgahayu kemerdekaan. Anehnya selama

    masa pemilu menyinggung hal ini seolah

    tabu. Persaingan para kompetitor untuk

    mendapat suara rakyat murni berisi intrik-

    intrik perebutan kursi. Mengapa kita sebagai

    konstituen tidak sepakat untuk menilai

    parpol atau calon anggota DPR dan DPD

    secara personal berdasarkan kriteria

    implementasi dari cita-cita negara yang

    dirumuskan oleh pendiri bangsa. Setidaknya

    harus ada mobilisasi opini secara besar

    rakyat menginginkan negara yang bersatu,

    berdaulat, adil dan makmur.

    Yang diinginkan dalam negara yang kuat

    dan berpotensi besar adalah peran serius

    tidak hanya dari wakil tapi juga dari yang

    terwakilkan. Berakhirnya pesta pemilu raya

    adalah titik awal dimulainya peran

    pengawalan oleh konstituen sebagaimana

    menjadi titik awal pekerjaan wakil terpilih.

    Sebagaimana wakil yang duduk di kursi

    basah penuh fasilitas terobsesi

    mempergunakan berbagai haknya,

    konstituen juga tidak boleh lengah dan

    malas mengawasi. Agar periode pemilu

    mendatang tidak menjadi ajang caci maki

    ketidakpuasan sepihak. Arah kebijakan

    negara diharapkan terlaksana secara

    berkesinambungan di jalurnya menuju cita-

    cita. Pada akhirnya, setiap pemilu adalah

    hasil persiapan luar biasa besar, rumit dan

    panjang beberapa tahun sebelumnya.

    Berdasarkan model politik aktif dua arah

    ini kita anggap penting dan kita inginkan

    anak-anak semenjak kecil diajarkan secara

    netral bagaimana itu negara. Negara

    sebenarnya adalah kesepakatan. Setiap

    anggota negara berjuang menyatukan

    persepsi dan langkah secara jujur untuk

    tetap berada di garis kesepakatan itu.

    Barangkali kondisi negara tempat kita

    tinggal saat ini dapat menjadi pelajaran.

    Perjanjian atau kesepakatan bernegara tidak

    kuat. Akhirnya tidak ada imun agar tidak

    tumbang. Negara bisa tidak memiliki MPR

    dan DPR dalam waktu lama. Suatu waktu

    bahkan tanpa kabinet.

    Kita berharap dapat membangun negara

    yang dewasa, mandiri, dan komitmen

    dengan cita-cita bersama. Hal ini hanya bisa

    dilakukan oleh penyelenggara yang netral

    dan atau orang-orang yang secara praktis

    tidak berkepentingan seperti ormas dan elit

    pelajar dan mahasiswa.

    Nalar kritis yang menjadi ciri mahasiwa

    belumlah cukup jika tidak dibarengi dengan

    antusias keterlibatan dalam agenda para

    penyelenggara negara. Jika poin terakhir

    diabaikan, mahasiswa menjadi kelompok

    kuat yang tidak menyadari potensinya. Di

    dalam tataran teori, sebagai contoh,

    mahasiswa dapat saja fasih mengkritik

    sistem demokrasi. Sesungguhnya di saat

    yang sama, tuntutan realita nan mendesak

    mengharuskannya untuk terjun langsung

    dalam mekanisme sumbang peran yang ada.

    Mahasiswa tidak boleh malas untuk

    bersinggungan secara langsung dengan

    wakilnya sebagai konstituen aktif. Berbagai

    kesempatan audiensi, ambil bagian dalam

    juridical review terhadap wakil rakyat,

    optimalisasi kesempatan dengar aspirasi

    dalam tugas reses anggota dewan, dan

    sebagainya, idealnya menjadi fokus peran

    politik mahasiswa. Dengan iklim politik

    seperti ini masalah-masalah mendasar

    akibat sistem demokrasi yang dianut negara

    dapat diurai.

    Sebagai contoh kasus, permasalahan

    mendasar demokrasi bahkan di negara

    kampiunnya adalah campur tangan kuat

    pemilik modal besar bahkan hingga

    mendikte kebijakan penyelenggara negara.

    Dengan pengawasan dan peran aktif

    konstituen -utamanya dari kalangan elit

    yang teredukasi dengan baik-, hal ini dapat

    ditekan. Adapun sikap masa bodoh, maka

    hanya akan membuat kalangan tertentu

    semakin menancapkan cakarnya dalam

    kebijakan-kebijakan umum secara tidak adil.

    Selamat memilih representasi bangsa!

    Bersiap untuk mengawasi wakil-wakil

    terpilih!

    *Penulis adalah Mahasiswi tingkat

    akhir jurusan Tafsir.

    Politik Aktif Dua Arah Oleh: Fatimah Insani Zikra*

    Express Copy Menerima segala jenis

    fotokopi

    Mahatthah Mutsallas,

    Hay `Asyir

    Building 102 Sweesry.

    Hp: 01001726484

  • TROBOSAN

    - e

    dis

    i In

    tera

    ktif

    Op

    ini -

    Ap

    ril 2

    01

    4

    Berkaca pada sebuah era di Indonesia,

    disaat reformasi 1998 telah memberikan

    kekecewaan yang mendalam bagi sebagian

    kalangan, namun kondisi tersebut dimaknai

    oleh sebagian mahasiswa sebagai jalan

    menuju perbaikan, karena mereka yakin

    pada kesempatan itulah mereka dapat meru-

    muskan jalan menuju perubahan ke arah

    yang lebih baik lagi.

    Berhasil atau tidak, yang jelas pada saat

    itu mahasiswa berhasil mengidentifikasikan

    diri sebagai anggota masyarakat yang sudah

    bosan dan kecewa terhadap kesenjangan

    ekonomi dan ketidakadilan yang ada.

    Belakangan ini hiruk pikuk dinamika

    organisasi Masisir mulai ramai di-

    gandrungi oleh para politisi dada-

    kan, ratusan politisi hasil dari

    rekruitmen politik partai politik ini

    telah dan sedang melakukan akrobat

    politik guna mendapatkan simpati di

    sanubari hati Masisir dan bersuara

    lantang seolah sedang merepresenta-

    sikan diri atas nama rakyat dengan

    tujuan untuk mendapatkan dukungan

    pada Pemilu Legislatif atas calon legis-

    latif yang mereka usung.

    Terlepas dari nilai-nilai yang

    terkesan pragmatis itu, hal yang harus kita

    pahami bersama adalah; untuk mendapatkan

    kepercayaan masyarakat (dalam hal ini

    Masisir khususnya) sudah barang tentu tidak

    semudah membalikkan tangan, namun dibu-

    tuhkan komitmen, keselarasan antara uca-

    pan dan perbuatan. Sebab kepercayaan han-

    ya bisa didapat melalui sebuah manifestasi

    keyakinan kolektif. Keyakinan Masisir tidak

    akan tumbuh begitu saja, hanya dengan bu-

    alan manis, seabreg event, bagi-bagi angpao

    atau umpan silang atau apalah dengan sea-

    breg istilah sinonim lainnya. Kepercayaan

    pun tidak datang begitu saja ketika rasa ka-

    gum kian membuncah, ketika bahasa lisan

    mulai memanah, namun kepercayaan akan

    timbul dari sebuah bukti konkrit atas segala

    sikap, perbuatan, tutur kata maupun sapa

    yang selama ini dilakukan oleh calon mau-

    pun para politisi dadakan tersebut. Maka

    jangan harap jika Masisir akan menginte-

    grasikan ucapan dan perbuatannya jika para

    calon dan politisi dadakan tersebut belum

    memulainya. Masisir sudah terlalu pintar

    jika akrobat yang dilakukan masih saja beru-

    pa tipu-tipu dalam hal yang bersifat material,

    mereka sudah sangat paham, calon mana

    yang ikhlas berbuat dan calon mana yang

    giat melumat.

    Namun terlepas dari pada itu, Masisir

    sebagai kaum intelektual yang agamis, cen-

    dekiawan yang paham Quran dan Hadist

    harus turut berperan dalam kegiatan politik.

    Masisir harus mampu memberikan citra

    positif di mata masyarakat Indonesia. Harus

    kita sadari bersama, bahwa partai politik

    adalah kendaraan untuk menuju kekuasaan

    formal. Hal ini berarti gerakan menuju

    gerbang perubahan setidaknya harus juga

    dimulai dalam wadah yang bernama partai

    politik. Sistem demokrasi telah terma-

    teraikan, kita semua harus merasa terpanggil

    untuk mewujudkan demokrasi yang adil dan

    sejahtera, tanggung jawab tersebut telah kita

    lakukan dalam bentuk partisipasi aktif dalam

    Pemilihan Umum Legislatif pada 5 April

    kemarin. Pada hari itulah tonggak per-

    juangan dan penentuan nasib Indonesia sela-

    ma lima tahun kedepan ditentukan.

    Dalam diri para politisi itulah amanat

    rakyat dititipkan. Mahasiswa yang notabene

    sebagai agen perubahan harus turut ambil

    bagian dalam mengembalikan cita-cita Indo-

    nesia sebagaimana yang dahulu diharapakan

    oleh para pendiri Bangsa yaitu; menjadikan

    pancasila sebagai jati diri bangsa dan dasar

    kehidupan bersama. Kita harus bergandeng

    tangan bersama dalam merekonstruksi pola

    pikir masyarakat Indonesia dari kepura-

    puraan menjadi keterusterangan. Konsisten-

    si gerakan perubahan dalam merekonstruksi

    pola pikir masyarakat di Indonesia inilah

    yang harus kita mulai dari sekarang. Tak

    hanya bermodal keluasan ilmu pengetahuan,

    idealisme yang bercokol dalam pikiran,

    melainkan partisipasi dan terjun ke dalam

    arena politik praktis pun kelak bisa jadi akan

    menelurkan gagasan-gagasan baru bagi pem-

    bangunan Indonesia di masa yang akan da-

    tang. Bukan akan menghancurkan kesakra-

    lan nama besar al-Azhar, melainkan kita

    semua diharapkan membawa harapan dan

    mata air baru di tengah kegersangan dan

    kesemerawutan Bangsa Indonesia saat ini.

    Ketika manusia-manusia jahat bersatu,

    maka sudah seharusnya manusia-manusia

    baik bersekutu dan bergotong-royong, agar

    manusia-manusia baik itu tidak jatuh satu-

    persatu. Adalah tulisan seorang Negarawan

    asal Irlandia, Edmund Burke itulah yang

    sampai saat ini penulis yakini bahwa masih

    ada harapan untuk menuju sebuah perbai-

    kan bagi Indonesia yang satu. Indonesia yang

    harmonis dalam kemajemukan, toleransi

    dalam perbedaan.

    Dengan melihat antusiasme mahasiswa

    Indonesia di Mesir, yang setiap lima

    tahunnya turut memeriahkan pesta

    demokrasi melalui pendirian perwaki-

    lan luar negeri dari masing-masing

    partai, penulis optimis kedepan akan

    banyak corak baru yang turut me-

    warnai dinamika ideologi fundamental

    partai. Karena kita harus pahami bersa-

    ma bahwa nilai-nilai kebaikan yang

    diajarkan al-Azhar tak mesti harus

    berkumpul dalam satu wadah partai

    yang bernafaskan islami, melainkan

    juga nilai-nilai tersebut harus kita

    tiupkan kedalam partai-partai nasionalis.

    Agar manusia-manusia baik yang terdidik

    dapat terus bersinergi membentuk

    kumparan energi untuk Indonesia yang lebih

    baik lagi.

    Dengan turut aktifnya masyarakat Indo-

    nesia di Mesir (mahasiswa khususnya) da-

    lam geliat perpolitikan menjelang Pemilu

    Legislatif nanti, hal ini tentu akan mem-

    berikan efek pula bagi warga negara Indone-

    sia di belahan dunia lain, bahwa Islam juga

    mengajarkan seperangkat tata nilai politik

    dan etika dalam kehidupan bernegara. Dan

    terakhir yang perlu kita garis bawahi bersa-

    ma adalah, kita merupakan aset bangsa dan

    generasi cendekiawan Indonesia yang dipas-

    tikan kelak akan mewarnai dinamika sosio-

    politik di Indonesia. Bahkan bukan tidak

    mungkin, jika diantara kitalah nanti yang

    akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa

    Indonesia di masa yang akan datang. Amin

    Ya Rabbal Alamin!

    *Penulis adalah Mahasiswa tingkat

    akhir Jurusan Syariah Islamiyah.

    Masisir dan Politik Oleh: Abdul baits Subhi*

    Doc. Google.com

  • TROBOSAN

    - edisi In

    teraktif O

    pin

    i Ap

    ril

    Masisir, Antara Politik dan Ideologi

    Oleh: Yahya Ibrahim*

    Kali pertama saya bersentuhan dengan

    perpolitikan Masisir adalah ketika menjadi

    anggota panitia sidang MPA PPMI 2011.

    Gambaran pertama yang saya tangkap dari

    organisasi ini sedikit negatif. PPMI bagaikan

    sebuah kue yang hanya diperebutkan oleh

    dua kelompok besar, dalam hal ini ke-

    lompok kader suatu partai bersama sim-

    patisannya dan kelompok yang anti partai

    tersebut. Keduanya memiliki massa yang

    kuat dengan fanatisme yang tinggi.

    Persaingan dua kubu ini menghasilkan

    iklim politik yang tidak sehat di tubuh

    Masisir. Mahasiswa bagai kehilangan jati

    diri. Mereka tidak lagi memiliki objektivitas

    dalam menilai segala sesuatu. Mereka sep-

    erti kehilangan kebebasan dan idealisme.

    Dalam menilai dan menentukan sikap mere-

    ka bagaikan kerbau yang ditusuk hidungnya

    oleh masing-masing kelompok. Persaingan

    saling menjatuhkan tanpa melihat baik bu-

    ruk atau benar salah.

    Contoh yang bisa disebutkan untuk ma-

    salah ini sangat banyak. Misalnya dalam

    pemilihan presiden PPMI, para pemilih han-

    ya memandang kelompok asal dari masing-

    masing calon. Mereka merasa tidak perlu

    mempelajari kepribadian dan visi misi sang

    calon, apalagi menganalisa program-

    program yang ditawarkan. Bahan kampa-

    nye hanya si anu dari kelompok ini dan si

    anu dari kelompok itu. Keadaan ini di-

    perparah dengan pembunuhan karakter di

    media sosial bahkan sms gelap. Mahasiswa

    tidak dibiarkan berpikir selayaknya maha-

    siswa.

    Begitu juga ketika nanti presiden

    menggulirkan program-programnya. Acara

    hanya diramaikan oleh kelompok pen-

    gusungnya, sedangkan yang lain seolah-olah

    boikot atau tidak mau tahu. Di akhir

    pemerintahan setiap tahun juga seperti itu,

    maksud saya ketika sidang MPA dan LPJ

    pengurus PPMI. Masing-masing beretorika

    untuk menyudutkan lawannya sehingga

    seakan-akan masukan dan kritikan untuk

    PPMI yang lebih baik terabaikan.

    Hal yang sama ketika para mahasiswa

    dituntut untuk menilai segala apa yang ter-

    jadi di lingkungan sekitar Masisir. Sangat

    tidak masuk akal ketika ada pula yang men-

    dukung kudeta dan segala kezaliman yang

    terjadi hanya dengan alasan partai yang

    menjadi lawan politiknya mendukung

    Ikhwan Muslimin. Kebencian kepada partai

    tersebut lebih dulu menguasai daripada

    analisa dan berpikir objektif. Dari sisi kader

    partai tadi sendiri juga saya rasakan hal

    demikian. Terlihat pada awalnya ada yang

    mendukung IM hanya karena partainya

    mendukung, bukan dengan analisa siapa

    mereka dan kenapa harus mendukung. Ter-

    bukti ketika diskusi banyak juga yang ke-

    hilangan arah.

    Sikap Presiden PPMI juga tidak lepas

    dari hal ini. Setiap ucapan atau postingan

    tidak lepas dari sindiran kepada kelompok

    lawannya. Sebagai pengayom setiap golon-

    gan tentu sikap seperti ini menyebabkan

    keretakan yang semakin melebar di tengah

    Masisir. Lalu secara mengejutkan muncul

    pengumuman bahwa presiden ternyata juga

    kader partai yang lain. Setiap informasi

    tentang partai itu silahkan ditanyakan kepa-

    da beliau. Maka bisa saja setiap tindakan

    diambil dibawah kontrol partai yang ber-

    sangkutan. Hal mana yang juga selalu di-

    tuduhkan apabila presiden PPMI berasal

    dari kader partai yang berbeda. Mereka

    menyebutnya di Indonesia sebagai kontrak

    politik. Artinya alasan-alasan seperti demi

    al-Azhar dan demi Masisir bisa saja hanya

    hiasan bibir.

    Dari contoh-contoh di atas, inti yang

    ingin saya sampaikan adalah bahwa politik

    di Masisir telah menumpulkan ciri khas dari

    seorang mahasiswa, yaitu cara berfikir yang

    sarat dengan idealisme, objektivitas dan

    rasionalitas. Padahal dengan tiga modal

    inilah maka mahasiswa mampu memiliki

    peran sebagai agen perubahan.

    Mahasiswa yang sebenarnya lebih dari

    yang dijelaskan oleh defininya seperti yang

    termaktub di KBBI, yaitu orang yang belajar

    di perguruan tinggi dan terdaftar secara

    administrasi. Mahasiswa tidak hanya duduk

    di belakang meja, mendengarkan dosen

    berbicara, kemudian berharap mendapat-

    kan pekerjaan yang bagus. Akan tetapi ma-

    hasiswa mempunyai peran dalam

    melaksanakan perubahan untuk bangsa.

    Mahasiswa mempunyai tanggung jawab

    yang besar, mulai dari tanggung jawab

    keagamaan, intelektual, sosial kemasyara-

    katan, dan tanggung jawab individual baik

    sebagai hamba Allah Swt maupun sebagai

    warga Negara dan bangsa.

    Kondisi kebanyakan mahasiswa yang

    seperti inilah yang membuat saya sedikit

    apatis terhadap dinamika perpolitikan

    Masisir. Hal mana yang juga menyebabkan

    saya menarik diri, tidak peduli, bahkan

    pernah dua kali tidak ikut pemilihan presi-

    den PPMI.

    Namun seiring bertambahnya waktu,

    saya semakin paham bahwa dinamika poli-

    tik Masisir tidaklah sesederhana itu. Tern-

    yata di balik semuanya bukanlah hal remeh

    temeh seperti pertarungan antar partai

    politik yang ingin berkuasa. Melainkan ada

    semacam persaingan antar dua ideologi,

    atau antar beberapa ideologi dengan se-

    buah ideologi yang menjadi musuh bersa-

    ma. Ini sebuah kenyataan yang luar biasa

    yang mungkin jarang ditemukan lagi ketika

    kuliah di Indonesia, kecuali mungkin pada

    masa-masa peletakan dasar ideologi ke-

    bangsaan yang digagas mahasiswa 1910-

    1930-an, atau ketika mahasiswa tampil

    sebagai sumber kepemimpinan bangsa yang

    dominan hingga 1950-an, dan ketika mun-

    culnya angin perubahan dalam diri ma-

    haiswa yang menjelma menjadi generasi

    reformasi pada trahun 1990-an akhir.

    Misalnya, di Indonesia dalam per-

    saingan menjadi presiden BEM tidak akan

    terasa persaingan ideologi. Hanya per-

    saingan ketokohan, ketenaran atau prestasi.

    Sedangkan setiap ideologi sudah memiliki

    wadah tersendiri pada organisasi-

    organisasi mahasiswa yang ada untuk mas-

    ing-masingnya. Hal yang berbeda dengan

    PPMI ketika ideologi mempunyai pengaruh

    signifikan kepada organisasi pemersatu ini.

    Hal ini mungkin akibat beragamnya ideologi

    yang ada dengan jumlah mahasiswa yang

    terbatas, sedangkan interaksi keluar ling-

    kungan mahasiswa tidak memungkinkan.

    Jadi semacam persaingan pengaruh.

    Kemudian ditambah lagi jumlah mahasiswa

    yang sangat banyak hingga mengurangi

    interaksi antar kalangan untuk mempererat

    hubungan.

    Hal ini cukup tergambar dengan jelas

    dari sikap dan program-program yang dite-

    lurkan oleh PPMI. Setiap pemerintahan

    mempunyai corak tersendiri sesuai dengan

    kelompoknya. Dorongan kepentingan terpa-

    par dengan jelas. Bahkan setiap kelompok

    ternyata memiliki tim ahli yang akan

    mengkaji siapa calon yang akan diusung

    dan bagaimana suksesi pemilihannya, wa-

    Lanjut ke hal. 14...

  • TROBOSAN

    - e

    dis

    i In

    tera

    ktif

    Op

    ini -

    Ap

    ril 2

    01

    4

    Shaid bin Ahmad (w. 419 H) dalam buku

    Thabaqt al-Umam-nya, Al-Syahrastani (w.

    548 H) dalam al-Milal wa al-Nihal-nya ber-

    pandangan hampir senada bahwa orang Arab

    tak memiliki pengetahuan filsafat kecuali

    sedikit di antara mereka. Saya tak tau

    seorang pun dari kalangan Arab yang

    masyhur pengetahuan filsafatnya kecuali Al-

    Kindi dan Al-Hasan Hl-hamadani ungkap

    Shaid dalam Thabaqt al-Umam. Hanya saja,

    kurang dijelaskan oleh mereka faktor apa

    saja dibalik fenomena demikian.

    Berikutnya datang Ibnu Khaldun (w. 808

    H.), sosiolog, filosof dan sejarawan Islam

    terkemuka. Dalam buku Muqaddimah-nya ia

    berpandangan bahwa kebanyakan pembawa

    ilmu pengetahuan dalam Islam adalah ajam

    (non Arab), disertai analisa faktor apa saja

    penyebab orang Arabbaik pra maupun

    pasca Islam--tak memperhatikan ilmu penge-

    tahuan dan filsafat. Faktor-faktor inilah yang

    menjadi poin inti dimana harus menjadi per-

    hatian bersama. Lantas, apa saja faktornya?

    Di antaranya: disibukkan oleh politik!

    Ibnu Kholdun membagi orang Arab

    kedalam dua kelompok: Arab primitif pedala-

    man, jauh dari buku, dari praktik dan sumber

    keilmuan serta perangkat-perangkatnyaini

    menjadi faktor lain selain politik. Sementara

    mereka yang hidup di kota, di mana buku

    mudah didapat, ulama mudah ditemu, praktik

    keilmuan, forum-forum diskusi dan

    perangkat-perangkatnya lengkap tersedia

    namun, justru disibukkan oleh kekuasaan.

    Politik praktis, bersiasat melindungi

    kekuasaannya dari rong-rongan kelompok

    lain dst. membuat mereka tak sempat

    memikirkan ilmu pengetahuan.

    Hasil analisa beberapa ilmuwan kita di

    atas setidaknya mengajarkan pada kita, Ma-

    hasiswa Indonesia Mesir (Masisir), bahwa

    politik mampu menjadi dinding penghalang

    ilmu pengetahuan. Agaknya, kita perlu sabar

    dan sadar bahwa masing-masing memiliki

    masa dimana di dalamnya terdapat

    tanggungjawab dan pekerjaan yang sesuai

    dengan masanya itu: masa menjadi pelajar

    tanggung jawab dan pekerjaannya adalah

    belajar: membaca, menulis, dan berbicara

    keilmuan. Sementara berpolitik adalah

    tanggungjawab dan pekerjaan para politikus

    dimana ia memiliki masa tersendiri pula.

    Kita dan Politik

    Lantas, bagaimana realitas kita sampai

    saat ini? Apakah kita hidup di tengah sam-

    udera di mana sumber pengetahuan melim-

    pah namun justru sedang tersibukkan oleh

    politik praktis, pikiran terperas habis demi

    membela partainya dari rong-rongan, semen-

    tara beberapa yang lain memprimitifkan

    diri (terjebak di gua-gua dan pedalaman

    ruang maya) seperti orang Arab di atas? Di

    Mesir, kita jumlahnya ribuan, namun sebera-

    pa banyak karya ilmiah yang telah kita la-

    hirkan dari rahim kita? Atau kita hanya masih

    sebatas mampu menelurkan buku hiburan

    pengobat penat? Atau barangkali malah

    sedang mandul sama sekali?

    Realitasnya, Masisir sedang hidup bersa-

    ma para partaibaik yang musiman, maupun

    yang selalu eksis. Tak jarang terjadi gesekan

    dan saling sikut antara partai satu dengan

    partai/pihak lain. Diantara yang sengit ada-

    lah sejak bulan Juni 2013 tatkala Presiden

    Mesir dari Ikhwanul Muslimun digulingkan.

    Mesir terbakar. Percikan apinya lalu mampu

    membakar sebagian Masisir. Ketika yang lain

    ikut tersulut perang maya pun berkecamuk.

    Masing-masing dibuat sibuk saling serang

    dan menjatuhkan. Yang sangat disayangkan,

    perang yang sempat membikin gaduh Face-

    book (FB) dan Twitter itu tak jarang berujung

    debat kusir, bahkan cacian dan makian. Kita

    harus mengakui itu. Fenomena lain yang

    berbarengan dengan itu, ketika status FB

    tentang konflik politik maka yang nge-like

    banyak dan nampak antusias. Ketika sta-

    tusnya keilmuan, seperti tak laku (cat. status

    ditulis oleh satu orang yang sama). Ini bisa

    diartikan, daya responsif dan perhatian kita

    terhadap konflik dan politik masih lebih ting-

    gi daripada kepada keilmuan!.

    Yang perlu diperhatikan adalah dampak

    negatifnya terhadap relasi sosial dan

    kehidupan keilmuannya kita. Terkait dam-

    pak negatif terhadap relasi sosial penulis kira

    kita sama-sama sudah tau, sebab sudah nam-

    pak begitu jelas. Yang-barangkali-jarang ter-

    fikirkan adalah dampak terhadap kehidupan

    keilmuannya, yakni semakin meredupkan--

    kalau malah bukan mematikan--dialektika

    keilmuan Masisir (penulis katakan semakin

    karena sebelum polemik politik meledak

    dialektika keilmuan Masisir sedang lemah,

    kalau sekira tak boleh disebut sedang mati).

    Padahal, dialektika, sebagaimana dalam fil-

    safatnya Hegel, adalah sumber kehidupan,

    gerak dinamis dan perkembangandalam

    hal ini: kehidupan, gerak-dinamis dan

    perkembangan pemikiran. Tanpa dialektika

    dalam keilmuan dan pemikiran maka dunia

    keilmuan dan pemikiran akan mati dengan

    sendirinya. Ketika penulis ditanya; kenapa

    dunia keilmuan dan pemikiran Masisir seper-

    ti melemah ya, mas? saya jawab dengan

    tegas: karena sedang takada dialektika. Yang

    sedang berdialektika kuat adalah politik.

    Bukti bahwa dialektika adalah sumber

    hidup, gerak dinamis dan pekermbangan

    pemikiran adalah realitas di sekitar kita.

    Lihat, ke toko-toko buku, International Book

    Fair beberapa bulan yang lalu, bagaiamana

    Arab Spring mampu memproduksi buku-

    buku baru bertemakan politik. Lihat, ke me-

    dia-media Masisir, FB, twitter bagaimana di

    sana setiap harinya politik memproduksi

    tulisan-tulisan, status-status dan komentar-

    kamentaryang kadang sangat panjang

    yang jika dihimpun, setiap harinya, tak ku-

    rang menjadi satu buku. Dialog politik men-

    jadi begitu aktif--walau tak jarang berujung

    dialog tanpa makna--dan semakin menyedot

    perhatian teman-teman yang lain. Sampai-

    sampai seorang teman yang konsen di dunia

    kajian dan talaqqi pun ikut tersedot. Ba-

    yangkan, seumpama dialektika ini terjadi

    dalam dunia keilmuan, berapa buku ilmiah

    yang sudah terlahir?

    Ketika isu politik praktis terus menjadi

    perbincangan, terus bergulir dan berpusar

    maka kemudian akan membentuk suatu ling-

    karan magnetis dimana apa yang ada di seki-

    tarnya akan ikut tersedot masuk kedalam.

    Kemudian lambat laun akan menjadi bulatan

    besar magnetis yang daya tariknya sulit ter-

    bendung. Di sini politik kemudian benar-

    benar telah menjadi poros dan pusat per-

    hatian. Jika sudah demikian maka, keilmuan

    dan pemikiran dengan sendirinya akan dit-

    inggalkan atau paling tidak redup.

    Politik Tingkat Tinggi

    Lantas, apa berarti kita tinggalkan saja

    politik secara total, masa bodoh lalu benar-

    benar menjadi bodoh politik? Tidak! Sebab,

    disamping tak ada di antara kita yang sepe-

    nuhnya terbebas dari politik serta menjadi

    mudah dipolitisir, juga, jika kita cermati,

    kekacauan dan saling tuduh antara kita (di

    samping agaknya ada kesalahan dalam world

    view kita terhadap politik) adalah juga akibat

    kekurangpahaman terhadap politik itu

    sendiri. Misalkan, sebagian menuduh secara

    serampangan bahwa partai tententu menjual

    agama, ini bisa saja akibat kurang memahami

    Realitas Kita dan Urgensi Politik Tingkat Tinggi Oleh: Muhammad Amrullah*

    Lanjut ke hal. 15...

  • TROBOSAN

    - edisi In

    teraktif O

    pin

    i Ap

    ril

    Politik Untuk Mahasiswa, Edukasi atau Indoktrinasi?

    Oleh: Ahwazy Anhar*

    Mahasiswa adalah elemen masyarakat

    yang paling berpengaruh terhadap

    kemajuan suatu negara. Jika ingin

    menghancurkan suatu negara, maka cukup

    hanya dengan meracuni golongan

    mahasiswa, lalu beberapa tahun yang akan

    datang negara ini akan mengalami gejala

    kejang-kejang, lemas dan pada akhirnya

    akan tewas. Sebaliknya, jika ingin

    membangun suatu negara maka berikanlah

    makanan yang sehat dan bergizi kepada

    mahasiswa.

    Untuk menganalisa apa yang terjadi

    dengan negara kita, maka penulis akan

    menjelaskan secara panjang lebar dua

    golongan mahasiswa jika dilihat dari

    keikutsertaannya dalam sebuah partai

    politik, berikut dengan plus minus tiap

    golongan mahasiswa tersebut.

    Dalam hal ini, ada dua golongan

    mahasiswa. Pertama, mereka adalah orang-

    orang yang tidak berpastisipasi dalam

    partai politik. Artinya mereka tidak ikut

    bersentuhan langsung dengan partai politik

    apapun baik menjadi partisan ataupun

    simpatisan.

    Kelompok ini juga bisa dibagi menjadi

    bagian. Bagian pertama adalah mereka yang

    apatis terhadap setiap peritiwa politik.

    Mahasiswa yang berpandangan seperti ini

    merasa nihil terhadap politik. Mereka

    beranggapan bahwa siapapun yang akan

    terpilih nantinya, tidak akan memberikan

    perubahan bagi negara. Semuanya akan

    sama saja.

    Kelompok ini muncul akibat melihat

    carut-marut yang mereka saksikan di

    panggung politik. Mereka menganggap

    bahwa segala usaha yang dilakukan partai

    apapun untuk membawa Indonesia ke arah

    yang lebih baik adalah omong doang.

    Dengan cara berpikir pragmatis seperti ini,

    mereka tidak mau ikut berpikir untuk

    memberikan solusi terhadap masalah

    bangsa. Kelompok ini lebih mementingkan

    diri pribadi atau lingkungan terdekatnya.

    Sikap apatis tersebut juga muncul kare-

    na kurangnya sosialisasi baik dari lembaga

    penyelenggara pemilu maupun kampanye

    dari partai politik yang ada. Penyebab terse-

    but sangat berpengaruh terutama bagi pem-

    ilih yang berdomisili di luar negeri.

    Bagian kedua adalah mahasiswa yang

    memang tidak mau bersentuhan langsung

    dalam dunia politik namun mereka

    memikirkan solusi terhadap masalah

    bangsa dan negara. Mahasiswa seperti ini

    adalah mereka yang memegang teguh

    idealisme sebagai seorang pelajar.

    Idealisme yang dilandaskan atas dasar

    logika objektif, kritis, merdeka, tidak mau

    diperbudak dan berpikir maju tanpa mau

    terseret oleh kepentingan politik yang

    cenderung sempit.

    Mahasiswa seperti ini menyibukkan

    dirinya dengan hal yang bersifat edukatif,

    membangun karakter diri hingga nantinya

    siap menjadi seseorang yang mempunyai

    spesialisasi di suatu bidang dan ikut

    berkontribusi kepada negaranya.

    Untuk kelompok mahasiswa yang ikut

    dalam sebuah partai, baik partisan ataupun

    simpatisan juga bisa dibagi menjadi dua

    kelompok. Pertama, politikus mahasiswa

    yang profesional.

    Mahasiswa seperti ini bisa

    menyeimbangkan mana yang kepentingan

    politik dan mana yang kepentingan

    pendidikan. Jika ada satu kegiatan dalam

    ruang lingkup kampus yang akan

    memancing permasalahan karena berbau

    politis, maka dia meninggalkan kegiatan

    tersebut. Jika dia diharuskan untuk memilih

    kepentingan bersama atau kepentingan

    politik, maka dia lebih mendahulukan

    maslahat bersama.

    Misalkan di organisasi mahasiswa

    seperti PPMI, kekeluargaan atau bahkan

    lembaga penyelenggara pemilu. Mahasiswa

    kelompok ini, meski dia aktif di sebuah

    partai politik, dia bisa membedakan antara

    kepentingan politik dengan kepentingan

    bersama. Mereka hanya akan menggunakan

    fasilitas umum untuk kepentingan umum.

    Misalkan, mereka tidak menggunakan

    media sosial seperti Facebook untuk

    melakukan kampanye ataupun hal-hal yang

    menjurus kepada kepentingan politik

    lainnya.

    Kelompok ini tidak mau menutup mata

    terhadap kesalahan-kesalahan yang ada

    dalam partainya. Mereka tidak akan ikut

    mengamini suatu hal yang bertentangan

    dengan idealismenya sebagai mahasiswa

    jika melihat sesuatu yang tidak benar

    dilakukan oleh partainya. Dia akan

    berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki

    cacat partainya dan berani menanggung

    resiko jika nanti harus mengambil

    keputusan berbeda dengan partainya.

    Mahasiswa seperti ini muncul akibat

    dari ajaran yang diberikan oleh para tokoh

    dalam partai tersebut. Maksudnya, para

    tokoh dalam partai tersebut berusaha untuk

    memberi pemahaman yang benar tanpa

    mengikis identitas mahasiswa para

    kadernya. Partai ini memberikan atmosfer

    yang lebih hidup dan mendukung agar para

    kadernya bisa berpikir dan menganalisa

    segala peristiwa tanpa harus didikte dari

    pimpinan partai.

    Kelompok yang kedua adalah mereka

    yang fanatik terhadap partai politiknya. Ini

    adalah kelompok yang sangat berbahaya.

    Tidak mau diajak dialog dan selalu

    mengklaim dirinya dan apapun yang

    dilakukan partainya adalah kebenaran

    mutlak. Pada kelanjutannya, kelompok ini

    menjadikan partainya layaknya sebuah

    agama yang selalu benar, lepas dari cacat

    dan kesalahan.

    Dua kelompok mahasiswa terakhir

    muncul dari satu permasalahan yang sangat

    mendasar: apakah politik merupakan

    produk edukasi atau indoktrinasi?

    Jika para politikus senior, atau petinggi

    sebuah partai politik mengajarkan sikap

    objektif, terbuka, mengajarkan cara berpikir

    yang benar, maka politikus mahasiswa akan

    menjadi sosok yang sangat berwibawa,

    bijak dan sangat dinantikan oleh Indonesia.

    Sebaliknya, jika politik hanya dijadikan

    sarana untuk meraup suara sehingga partai

    memaksa untuk melepas baju objektivitas

    mahasiswa, mengikis jiwa kritis mahasiswa

    sehingga mau fanatik terhadap partainya,

    maka Indonesia hingga puluhan tahun atau

    bahkan ratusan tahun yang akan datang

    tidak pernah berubah ke arah yang lebih

    baik.

    Kelompok ini akan melakukan hal

    apapun demi menyebarluaskan dan

    memasyhurkan partainya tanpa melihat

    kondisi di sekitarnya. Terlebih lagi bagi

    partai yang mengaku berlandaskan Islam.

    Politikus mahasiswa yang ada dalam partai

    ini akan menyetir ayat al-Quran dan segala

    hal yang berkaitan dengan agama untuk

    kepentingan politiknya tanpa menyadari

    bahwa prilakunya adalah bentuk menginjak

    dan menodai agama Islam.

    Meski pada akhirnya para mahasiswa

    Lanjut ke hal. 14...

  • TROBOSAN

    - e

    dis

    i In

    tera

    ktif

    Op

    ini -

    Ap

    ril 2

    01

    4

    perlu heran saat melihat kebanyakan para

    mahasiswa pegiat partai politik, terkait jar-

    gon, slogan, dan ekspresi fisik hasil kreativi-

    tas petinggi partai; anda saksikan seperti

    anak-anak yang mengimitasi prilaku orang

    dewasa.

    Intensitas mereka yang begitu tinggi da-

    lam berkampanye, bisa juga kita kembalikan

    pada faktor asupan mental petinggi partai

    terhadap mereka, terlebih jika kegiatan

    politis ini dikait-kaitkan dengan agama. Se-

    hingga dalam hal ini, secara tidak sadar, kita

    akan dibuat ternganga oleh jerih payah tanpa

    batas dan determinasi para mahasiswa pegiat

    partai politik ini. Anda bisa bayangkan

    bagaimana kuatnya sebuah fisik dan mental,

    jika idealisme, darah muda, dan agama; ber-

    satu padu dalam diri seseorang.

    Lalu apakah kehidupan politik semacam

    ini baik untuk mahasiswa? Secara nalar, kita

    tidak bisa begitu saja menggeneralisir baik

    atau tidaknya sesuatu. Karena hal tersebut

    hanya akan membuat kita terkucilkan, baik

    dalam kehidupan ilmiah maupun sosial. Oleh

    sebab itu, di sinilah pentingnya sikap mode-

    rat ketika kita dihadapkan pada sebuah per-

    masalahan. Konsep keterbukaan --yang

    merupakan ciri utama dari kemoderatan--

    adalah langkah awal untuk mengetahui baik

    atau tidaknya kehidupan politik tersebut bagi

    mahasiswa.

    Jika kehidupan politik yang demikian

    membuat mahasiswa menjadi tidak peka

    terhadap komunitasnya, dan berpikiran sem-

    pit kerena terbatasnya regional 'kebenaran'

    pada partai politiknya; maka iklim politik

    seperti ini jelas tidak baik untuk mahasiswa.

    Jika partai politik tersebut membuat maha-

    siswa menjadi overaktif dalam kehidupan

    politik, lalu mengaitkan hal-hal politis dengan

    hal-hal tabu dalam agama, sehingga memanc-

    ing kemarahan saudara seiman; jelas tidak

    baik juga. Akan tetapi jika kehidupan politik

    membuat mahasiswa menjadi semangat me-

    raih prestasi dan menuntutnya menjadi

    orang terdepan dalam segala hal; maka tentu

    sangat dianjurkan. Jika kehidupan politik

    berhasil menghapus jejak hitam kegagalan

    mahasiswa dalam merealisasikan idealisme,

    sehingga tak ada lagi "Gede idealisme nol

    perbuatan"; maka kenapa tidak.

    Dengan penjelasan di atas, setidaknya

    terbayang di hadapan kita bagaimana hub-

    ungan ideal mahasiswa dengan politik.

    *Penulis adalah Mahasiswa tingkat

    akhir Fakultas Dirasat Islamiyah

    ini diingatkan oleh segala pihak, baik guru

    ataupun temannya, mereka tidak akan

    mampu berpikir logis untuk mengakui

    kesalahan yang mereka perbuat. Parahnya,

    kelompok ini pada kelanjutannya akan

    enggan diajak berdialog untuk mencari

    kebenaran.

    Kenapa hal ini bisa terjadi? Ada dua

    kemungkinan, bisa jadi karena mereka

    takut dikucilkan dalam komunitas partainya

    dan diberi sangsi sosial sehingga tetap

    melakukan hal-hal yang melanggar

    idealisme sebagai mahasiswa, atau karena

    mereka menganggap bahwa partainya

    memiliki kebenaran mutlak sehingga otak

    mereka menjadi tumpul dan tidak bisa

    berlaku kritis terhadap kesalahan yang

    dilakukan partainya. Dia akan selalu

    mencari pembenaran terhadap kesalahan

    yang dilakukan partainya, bukan mencari

    kebenaran.

    Prilaku seperti ini akan merusak rasa

    cinta dan keharmonisan antar mahasiswa

    dalam lingkungan kampus. Kelompok ini

    muncul sebagai akibat dari indoktrinasi

    yang dilakukan oleh partainya. Kelompok

    ini diberikan ajaran secara mendalam

    mengenai suatu pemahaman atau doktrin

    tertentu dengan melihat suatu kebenaran

    dari arah tertentu saja dengan sistem

    berpikir tanpa adanya kriktik. Pada

    akhirnya, partai seperti ini sedang

    melakukan proses cuci otak terhadap para

    kadernya dan mempersiapkan bom waktu

    bagi negaranya sebagaimana yang terjadi di

    Mesir saat ini.

    Sebenarnya kelompok yang ikut

    ataupun tidak ikut dalam sebuah partai,

    keduanya sah-sah saja selama mereka

    mampu mempersiapkan dirinya untuk

    memberikan k