Post on 06-Feb-2018
Volume 2, Nomor 3, Juni 2009 ISSN: 1979 0899XX
Herni Ramayanti, 70 74 70
Implementasi Pelayanan Publik dalam Era Otonomi Daerah
Oleh: Herni Ramayanti
Abstract The region autonomy, demanded local government character to give welfare for society with supply public service very wanted. Paradigm reshuffle from good government aim good governance (local governance), will involve connection between local government with society in government activity/affair. The good governance must there balance between public, private and social or society. There by region autonomy not only in central government authority capitulation limitation to region, but more than that is region autonomy is authority capitulation to society. Related to this matter, questio furthermore how does character with government in supply public service that involve participation private and society.
Key words: Public service, autonomy region, government
Pendahuluan
Di Indonesia istilah lokal gorvenance berarti pemerintah daerah yang memiliki
otonomi daerah. Pemerintah daerah diselenggarakan oleh kepala daerah selaku
penyelenggara pemerintah daerah tertinggi bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) melaksanakan fungsi policy making dan police execuring dengan menggunakan
perangkat birokrasi lokal. Dalam hal yang menyangkut public service dilaksanakan oleh
dinas dan BUMD. Public service memiliki karakteristik sebagaimana dikemukakan
Holtham: (a) Secara umum tidak dapat memilih pelanggan; (b) Peranannya dibatasi
Undang-Undang; (c) Konflik/permasalahan politik kelembagaan; (d) Kompleksitas
pertanggung jawaban; (e) Sangat terbuka pada sistem keamanan; (f) Setiap kuatifitas harus
beralasan, dan; (g) Tujuan sulit untuk diukur.
Dengan karakteristik demikian, pelayanan publik membutuhkan organisasi yang
berbeda dengan organisasi yang dapat memilih konsumennya secara selektif. Setiap
kenaikan harga atas suatu public service harus dibicarakan dahulu dan mendapat
persetujuan dari legeslatif. Terdapat public service yang seperti penyediaan air bersih,
listrik infrastruktur dan sebagainya tidak sepenuhnya barang.
Seperti penyediaan air bersih, listrik, infrastrukur dan sebagainya tidak sepenuhnya
dapat diserahkan berdasarkan mekanisme pasar. Akan terdapat kelompok masyarakat yang
tidak dapat mengakses public services bila diserahkan kepada provat/swasta. Gejala ini
disebut denggan kegagalan pasar (market vailure). Untuk mengatasi permasalahan tersebut
dan upaya memberikan pemerataan terhadap akses public services pemerintah melakukan
intervensi dengan menyediakan public goods dengan dua karakteristik, yaitu (1) non-
exludability dan (2) non-rivalry comsuption. Dengan demikan pihak swasta tidak bersedia
menghasilkan barang publik (murni), maka pemerintahlah yang harus menyediakan agar
kesejahteraan seluruh masyarakat dapat ditingkatkan. Intervensi pemerintah akan lebih
menonjol diwilayah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan yang tuntutan akan public
services sangat tinggi kenyataan yang tak terhindarkan adalah pergeseran barang jasa
menjadi barang privat. Sebagai contoh permasalahan kebakaran diperkotaan menjadi
sangat penting dan menjelma menjadi salah satu public services. Fenomena tersebut
menunjukkan adanya government growt. Pertumbuhan beban pemerintah bukan saja
Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA
Volume 2, Nomor 3, Juni 2009 ISSN: 1979 0899XX
Herni Ramayanti, 70 74 71
dikarenakan berubahnya barang privat menjadi barang publik, terutama juga ketika
pemerintah tidak secara selektif membatasi pekerjaannya.
Dalam penyediaan public services oleh pemerintah adakalanya terjadi government
vailure, dalam hal ini terjadi intervensi sektor privat, beberapa hal yang menyebabkannya
antara lain :
1. Meningkatnya jumlah penduduk di perkotaan sedangkan keuangan pemerintah terbatas;
2. Pelayanan yang diberikan sektor privat dianggap lebih efisien; 3. Banyak bidang pelayanan (antara lain penyehatan lingkungan, pengelolaan sampah)
tidak ditangani oleh pemerintah sehingga diambil alih oleh privat;
4. Akan terjadi persaingan dan mendorong pendekatan yang bersifat kewiraswastaan dalam pembangunan nasional.
Desentralisasi public services prinsip-prinsip yang tertuang dalam reinventing
government, terutama prinsip catalic government : steering rather than rowing (Osborn
dan Gaebler ; 1992), mengisyaratkan perlunya dikembangkan privatisasi (debirokratisasi)
atau public-privat partnership.
Istilah privatisasi melambangkan suatu cara baru dalam memperhatikan kebutuhan
masyarkat dan pemikiran kembali mengenai peran pemerintah dalam memenuhi kebutuhan
tersebut. Hal ini berarti memberikan kewenangan yang lebih besar kepada institusi
masyarkat dan mengurangi kewenangan pemerintah dalam merumuskan kebutuhan
masyarakat. Dengan demikian privatisasi merupakan tindakan mengurangi peran
pemerintah atau meningkatkan peran sektor privat dalam aktivitas atau kepemilikan aset
publik. Selanjutnya berkembang beberapa model pelayanan barang dan jasa.
Pada perkembangan pemikiran tentang public services selanjutanya,. Terjadi
perubahan peran pemerintah dalam penyediaan public services, pemerintah daerah tidak
lagi menyediakan public services sendiri tetapi melibatkan kewenangan sektor
privat/swasta dan masyarakat dengan voluntary organisation pada beberapa dimensi bentuk
demokrasi. Berdasarkan 3 dimensi terssebut berkembang menjadi empat model
kewenangan dalam public services, antara lain : (1) The Traditional Bureaucratic authory;
(2) The Rsidual enambling authory; (3) The market-oriented authory, dan; (4) The
Comunity-oriented authory.
Dengan berbagai model dan bentuk pelayanan publikl yang memberikan ruang bagi
partisipasi masyarakat, maka akan menumbuhkan kreativitas, inovasi-inovasi dalam
masyarakat. Posisi pemerintah hanyalah pranata, fasilitator dan kasalitator.
Tanggungjawab pemerintah adalah mengarahkan, mengemudikan masyarkat. Dalam hal
ini pemerintah menetapkan kebijakan-kebijakan sebagai pedoman berperilaku dalam
masyarakat.
Konsep Pelayanan Publik
Pelayanan publik oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi
aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping abdi negara. Pelayanan publik oleh
birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarkat (warga negara) dari suatu
negara kesejahteraan (walfare state). Pelayanan umum oleh LAN (1998) diartikan sebagai
segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintahan di
Pusat atau Daerah, dan lingkungan BUMN/BUMD dalam bentuk barang maupun jasa, baik
dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lovellock (1992) mengemukakan lima prinsip yang harus diperhatikan bagi
pelayanan publik, agar kualitas layanan dapat dicapai, antara lain :
Volume 2, Nomor 3, Juni 2009 ISSN: 1979 0899XX
Herni Ramayanti, 70 74 72
1. Tangible (terjamah), seperti kemampuan fisik, peralatan, personil dan komunikasi material;
2. Reliable (handal), kemampuan membentuk pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan memiliki keajegan;
3. Responsiveness (pertanggungjawaban), yakni rasa tanggung jawab terhadap mutu pelayanan;
4. Assurance (jaminan), pengetahuan, perilaku dan kemampuan pegawai, dan; 5. Emphaty (empati), perhatian perorangan pada pelanggan.
Di samping itu, pihak pelayanan publik dalam memberikan layanan publik
setidaknya harus; mengetahui kebutuhan yang dilayani, menerapkan persyaratan
manajemen untuk mendukung penampilan (kinerja), dan; memantau dan mengukur
kinerja.
Sebagai perwujudan dari apa yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh
pelayanan publik agar kualitas pelayanan menjadi baik, maka dalam memberikan layanan
publik seharusnya (a) mudah dalam pengurusan bagi yang berkepentingan (prosedurnya
sederhana), (b) mendapat pelayanan netral; (c) mendapat pelayanan yang sama tanpa pilih
kasih, dan; (d) mendapat perlakuan yang jujur dan terus terang (transparasi).
Penyelenggaraan pelayanan umum, menurut LAN (1998) dapat dilakukan dengan
berbagai macam pola, antara lain; pertama, pola pelayanan fungsional, yaitu pelayanan
umum yang diberikan oleh suatu instansi pemerintah sesuai dengan tugas, fungsi dan
kewenangannya. Kedua, pola pelayanan satu pintu, yaitu pola pelayanan umum yang
diberikan secara tunggal oleh suatu instansi pemerintah berdasarkan pelimpahan
wewenang dari instansi terkait lainnya yang bersangkutan. Ketiga, pola pelayanan satu
atap, yaitu pola pelayanan umum yang dilakukan secara terpadu pada satu tempat beberapa
instansi pemerintah yang bersangkutan sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Dan keempat, pola pelayanan secara terpusat, yaitu pola pelayanan umum yang dilakukan
oleh suatu instansi pemerintah yang bertindak selaku koordinator terhadap pelayan instansi
pemerintah lainnya yang terkait dengan bidang pelayanan umum yang bersangkutan.
Swastanisasi : Alternatif Pelayanan Publik
Swasta