Post on 07-Feb-2021
1
II. PERKEMBANGAN IMAN JAMES FOWLER
Teori perkembangan iman (Faith Development Theory) salah satu istilah kunci
adalah Faith yang berarti kepercayaan eksistensial pribadi atau iman. Menurut
Fowler, kepercayaan eksistensial merupakan suatu kegiatan universal manusia dan
setiap manusia memiliki kesadaran akan sejumlah kondisi pembatas dan situasi batas
dalam hidupnya seperti kesadaran akan kematian, konfrontasi eksistensial dengan
batas-batas dan perasaan akan keterbatasannya, pengalaman akan beban pilihan yang
harus dijatuhkan dalam situasi yang tidak menentu. Pada hakikatnya, Fowler
memandang kepercayaan eksistensial sebagai suatu kegiatan “relasional” sebagai
“berada dalam relasi dengan sesuatu”. Sebab cara pemberian arti dalam kepercayaan
itu utama berakar dalam suatu relasi rasa percaya antarpribadi yang bahkan
mengandung sebuah orientasi nilai bersama. Kepercayaan eksistensial bukan sekedar
kegiatan pemberian arti itu sendiri tetapi sebuah proses yang terwujud dalam urutan
sejumlah tahap perkembangan kepercayaan. 1
Dengan penekanan pada aspek “perkembangan” tersebut Fowler mengangkat
salah satu ciri yang sangat khas dalam mentalitas dinamika abad kedua puluh ini.
Istilah proses yang akhirnya berfokus pada metafor “perkembangan” sangat sesuai
pula untuk memahami hidup kepercayaan kita. Maka Fowler memusatkan perhatian
kepada dinamika proses pembentukan, perubahan dan kemajuan dalam hidup
kepercayaan orang. Karena itulah Fowler berniat menyelidiki apa yang dewasa ini
kita sebut “perkembangan kepercayaan”. Di samping kata faith dan development,
judul psikologi agama Fowler mengandung istilah theory. Setiap ilmu pengetahuan
menciptakan teorinya yaitu seperangkat hipotesis yang saling berhubungan secara
koheren dan terintegrasi. Kata theory oleh Fowler dimaksudkan sebagai sebuah teori
ilmiah yang psikologis atau lebih khas lagi suatu “ teori perkembangan” yang cocok
untuk memahami dan merumuskan seluruh seluk beluk perkembangan kepercayaan“.
Teori perkembangan kepercayaan merupakan suatu usaha ilmiah yang mau
menguraikan (secara empiris) dan mengerti (secara teoritis) seluruh proses
transformasi kepercayaan yang hidup. 2
2.1. Teori Perkembangan Iman
Fowler membagi perkembangan imannya dalam tujuh tahapan dan dapat
dikenali dalam kemampuan beriman manusia yang berkembang. Fowler menegaskan
1 James W. Fowler. Teori Perkembangan Kepercayaan, karya – karya penting James W Fowler, 24-25 2 James W. Fowler. Teori Perkembangan Kepercayaan, karya – karya penting James W Fowler, 26
2
bahwa setiap tahap memiliki integritas miliknya sendiri. Tahap- tahap perkembangan
iman tersebut antara lain:
1. Tahap 0 : Kepercayaan Elementer Awal (Primal Faith)
Tahap ini merupakan tahap awal atau pratahap (per-stage, yaitu masa orok, bayi,
0-2 atau 3 tahun). Kepercayaan ini disebut juga pratahap kepercayaan yang belum
terdeferinisiasi karena :
a). Ciri disposisi preverbal si bayi terhadap lingkungannya belum dirasakan dan
disadari sebagai hal terpisah dan berbeda dari dirinya;
b). Daya- daya seperti kepercayaan dasar, keberanian, harapan dan cita belum
dibedakan lewat proses pertumbuhan, melainkan masih saling tercampur satu
sama lain dalam suatu keadaan yang samar-samar. Pola kepercayaan ini disebut
elementer karena tahap ini mendasari dan meresapi secara positif dan negatif
dengan menunjang atau menodai segala hal yang timbul kemudian selama
perkembangan eksistensial. Rasa percaya elementer ini timbul sebagai
kecondongan spontan yang bersifat pralinguitis sebelum munculnya kemampuan
berbahasa untuk mengandalkan seluruh hubungan timbal balik antara bayi dan
lingkungan sekitar terutama orang-orang yang secara tetap, teratur, setia
mengasuh dan memelihara (orang tua terutama ibunya).3
2. Tahap Iman Intuitif – Proyektif (Intuitive- Projective Faith)
Anak yang berumur antara usia 4-8 tahun dimana makna dibuat dan
kepercayaan dibentuk secara intuitif dan dengan cara meniru. Tahap ini memberi
tekanan besar pada orang –orang lain yang penting dalam hidup anak-anak
terutama orang tua dan anggota keluarganya. Anak-anak juga berpedoman pada
orang tua sebagai sumber otoritas dalam masalah-masalah agama. Pada tahap ini,
anak – anak mengalami kesulitan dalam menentukan sebab dan akibat
melepaskan kenyataan dari khayalan dan memahami berbagai urutan peristiwa.
Misalnya ketika berfantasi dan imajinasi yang bebas di mana gambaran-gambaran
dan perasaan-perasaan yang dapat tahan lama dibentuk. Sebagai contoh: Allah
adalah seorang pria tua yang memiliki janggut yang dapat melakukan apa saja.
Memori dan kesadaran akan dirinya mulai timbul dan kemampuan mengambil
peran orang lain mulai ada dalam bentuk yang paling dasar.4
3. Tahap Mitis- Harafiah (Mithic-Literal faith)
3 James W. Fowler. Teori Perkembangan Kepercayaan, karya – karya penting James W Fowler, 27 4 Dien Sumiyatiningsih, Mengajar dengan kreatif dan menarik, 126
3
Bentuk kepercayaan ini muncul sebagai tahap kedua dan tahap ini terjadi
antara usia 7 – 12 tahun. Gambaran emosional dan imajinal masih berpengaruh
kuat pada tahap ini namun muncul pula operasi-operasi logis baru yang
melampaui tingkat perasaan dan imajinasi tahap sebelumnya. Operasi-operasi
tersebut bersifat konkret, tetapi sudah memungkinkan suatu daya pikir logis
menggunakan kategori sebab akibat, ruang dan waktu. Hubungan sebab akibat itu
dimengerti secara jelas dan dunia spasial-temporal di susun menurut skema linear
serta sifat dapat diramalkan. Gaya berpikir baru ini memungkinkan suatu bentuk
tafsiran dan penyusunan yang sadar dan lebih mantap terhadap arus pengalaman
dan arti sehingga bentuk berpikir seperti episodis. Anak mulai membedakan
antara perspektif sendiri dengan orang lain serta memperluas pandangannya
dengan mengambil alih pandangan orang lain sehingga sanggup memeriksa dan
menguji gambaran serta pandangan religiusnya dengan tolak ukur logikanya
sendiri.5
Pada tahap ini ceritalah yang menjadi sarana utama anak untuk
mengumpulkan berbagai arti menurut sifat keterkaitannya dan membentuk
pendapatnya. Cerita mendahului dan mempersiapkan suatu sintesis refleksi yang
baru kemudian akan dikembangkan. Cara menggunakan simbol dan konsep-
konsep dalam cerita sebagian besar masih konkret dan harafiah karena itu cerita
dan bahasa dengan gaya kisah menjadi sarana paling cocok untuk menangkap
makna hidup.6
Tahap ini merupakan tahap iman afiliatif di mana seseorang datang dengan
lebih sadar untuk bergabung dan menjadi anggota kelompok terdekatnya atau
komunitas iman. Maka tahap ini disebut juga iman “yang bergabung” seseorang
secara sadar bergabung dengan kelompok sosial terdekat, mengambil ceritanya,
simbolnya, mitenya dan ajarannya dan memahami mereka secara harfiah. Kata-
kata dari orang tua lebih penting, berkuasa atas kata- kata dari teman sebayanya.
Kemampuan empatinya bertambah tetapi hanya bagi mereka “yang seperti kami”
yaitu bagi para anggota kelompok terdekat.
4. Tahap Sintetis-Konvensional
5 Dacey,J.S & Travers, J.F, Human Development:Across The Lifespan, ( New York: The McGraw-Hill Companies, 2004), 68 6 James W. Fowler. Teori Perkembangan Kepercayaan, karya – karya penting James W Fowler, 31
4
Tahap ketiga ini dimulai ketika berumur 12 tahun -18 tahun. Di sekitar
umur 12 tahun, remaja biasanya mengalami suatu perubahan radikal dalam
caranya memberi arti. Karena munculnya kemampuan kognitif baru yaitu operasi
- operasi formal, maka remaja mulai mengambil alih pandangan pribadi orang
lain menurut pola pengambilan perspektif antarpribadi secara timbal balik.
Karena munculnya operasi-operasi logis, remaja sanggup merefleksikan secara
kritis riwayat hidupnya dan menggali arti sejarah hidupnya bagi diri sendiri dan
yang dicari adalah suatu sintesis baru atas berbagai arti yang pernah dialami
dalam hidup. Dengan demikian remaja berjuang mencari keseimbangan antara
tuntutan menciptakan identitas diri berdasarkan dayanya sendiri dan identitas
sebagaimana diharapkan dan didukung oleh orang lain yang dipercayainya.
Pada tahap ini remaja menyusun gambaran yang personal mengenai
lingkungan akhir. Allah yang “personal” merupakan seorang pribadi yang
mengenal diri saya secara lebih baik daripada pengenalan diri saya sendiri.
Apabila rasa kedirian memang berasal dari seluruh jaringan hubungan dan peran
yang penting. Maka gambaran Allah personal dan akrab sangat penting bagi
upaya menyusun identitas diri yang koheren pada seorang remaja. Pada tahap ini
juga disebut tahap ‘menyesuaikan diri’, dimana tahap ini seseorang ingin sekali
merespon dengan setia pengharapan-pengharapan dan keputusan orang lain yang
penting. Maka pada tahap ini, ada penambahan rasa percaya pada pendapatnya
sendiri melebihi tahap kedua tetapi hanya digunakan untuk memilih di antara
otoritas-otoritas dan tidak mencakup inisiatif pribadi untuk memecahkan
ketidakcocokan di antara otoritas-otoritas. Lebih tepatnya memilih dan
menyeimbangkan pelbagai pengharapan konvensional dari pelbagai dunia orang.
7
5. Tahap Individual –Reflektif (Individuative- Reflective faith)
Tahap kepercayaan individual – reflektif muncul pada umur 20 - 35 tahun
(awal masa dewasa). Pola kepercayaan eksistensial ini ditandai oleh lahirnya
refleksi kritis atas seluruh pendapat, keyakinan dan nilai (agama) lama. Pribadi
sudah mampu melihat diri sendiri dan orang lain sebagai bagian dari suatu sistem
kemasyarakatan tetapi juga yakin bahwa diri sendirilah yang memikul tanggung
jawab atas penentuan pilihan ideologis dan gaya hidup yang membuka jalan
7 James W. Fowler. Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan, menurut James W Fowler, (Yogyakarta: Kanisius,1995) 134-136
5
baginya untuk mengikat diri dengan cara menunjukkan kesetian pada seluruh
hubungan dan panggilan tugas.8
Perubahan ke tingkat empat memungkinkan mereka mulai memandang
iman yang menjadi milik sendiri. Selanjutnya iman itu tidak hanya lebih personal
tetapi menghantar untuk ungkapan iman yang konstan dan koheren. Mereka
mulai mempertanggungjawabkan ungkapan iman yang masuk akal dan logis.
Orang muda pada tahap ini telah mencapati tahap ditantang untuk merenungkan
secara kritis hidup dan makna hidup mereka. Tahap ini menyediakan bagi mereka
bimbingan yang dibutuhkan akan orientasi ideologis dan keagamaan dan juga
tanggung jawab etis dan politis. Meskipun ungkapan iman yang utuh belum
terbentuk pada masa inilah tuntutan untuk mencapai tahap keempat muncul.
6. Tahap Iman Konjungtif
Munculnya tahap kelima sekitar umur 35 tahun ke atas. Tahap ini muncul
dari pengalaman hidup yang makin mendalam yang mencakup penderitaan,
kehilangan dan ketidakadilan. Tahap kelima mengandaikan pengetahuan tentang
diri sendiri yang semakin mendalam. Jika ditahap keempat, pribadi muncul
sebagai individu dan bertanggung jawab. Sekarang, orang harus menguraikan lagi
susunan iman yang dulu secara tergesa-tergesa terbentuk, kemudian menyusun
lagi sistem iman yang lebih bermakna, yang memperhitungkan penemuan baru
tentang diri mereka.
Pada tahap ini, apa yang diterima sebagai berharga diperiksa tidak hanya
dengan hal-hal luar seperti Injil, pendapat para ahli dan semacamnya, tetapi juga
dengan batin yang berhubungan dengan yang transenden. Orang menyadari
dimensi yang semakin dalam dari persahabatan, loyalitas. Mereka juga menyadari
kebutuhan mereka untuk bermasyarakat yang semakin luas, masyarakat tempat
mereka menemukan arti. Mereka sadar bahwa berhubungan dengan yang
transenden itu menuntut keterlibatan tertentu. Tetapi mereka juga menyadari
bahwa keterlibatan tersebut belum memadai, hingga mereka harus terbuka
terhadap masa depan yang tidak menentu. Dalam bahasa sehari-hari kehidupan
tidak lagi dilihat dari sudut satu di antara dua, tetapi ada kerelaan untuk hidup
bersama ambiguitas-ambiguitasnya. Iman tahap kelima melibatkan pemakaian
kembali pola-pola komitmen dan cara-cara membuat makna masa lampau.
8 James W. Fowler. Teori Perkembangan Kepercayaan, karya – karya penting James W Fowler, 111-237
6
Sebaliknya hal tersebut merupakan memperoleh kembali “kebenaran- kebenaran
lama” dengan cara yang baru, mengafirmasi secara pribadi kebenaran yang ada di
dalam kebenaran lama mengambil kekuatan mereka tetapi menolak pembatasan-
pembatasan mereka.9
7. Tahap Iman yang mengacu pada Universalitas
Tahap terakhir paling baik digambarkan lewat pribadi-pribadi yang berhasil
mencapai tahap itu, misalnya: Bunda Teresa, Martin Luther King, Jr. Pribadi yang
telah mencapai tahap ini memperlihatkan semangat besar dan keterlibatan untuk
tuntutan cinta dan keadilan. Jika di dalam tahap kelima orang sering dikecam oleh
pertimbangan kebutuhan mereka sendiri dan kesejahteraan orang lain, maka
ditahap keenam ini orang dikecam oleh keinginan tanpa henti untuk melayani
orang lain. Fowler mengatakan bahwa mereka ini orang yang kecil perhatiannya
kepada diri sendiri dan seringkali dapat menjadi martir.
Fowler menambahkan bahwa ada unsur transenden dalam iman dan
“model” iman manusia hanya berguna untuk menjelaskan hubungan dengan yang
transenden itu. Tahap keenam ini sulit untuk dikemukakan dalam bahasa
percakapan sehari-hari kita yang konkret. Orang yang berada pada tahap keenam
tinggal di dunia sebagai orang yang hadir untuk mengubah (transform).10
Pandangan Fowler mengenai kepercayaan dipupuk oleh dua sumber inspirasi.
Pertama, kepercayaan sebagai suatu proses dan dinamika, dalam perspektif
sosiologis dan etis. Kedua, bahwa sepanjang sejarahnya manusia selalu menyadari
akan adanya transendensi dan senantiasa mencari kebenaran paling akhir yang
dapat mencakup seluruh eksistensi manusia. Berdasarkan kedua sumber ilham
tersebut Fowler mengatakan bahwa “perkembangan kepercayaan” merupakan satu
ciri universal khas manusia. Ternyata kepercayaan tidak harus dimengerti sebagai
“kepercayaan religius”, tetapi terutama sebagai “kepercayaan hidup” atau
“kepercayaan eksistensial”. Singkatnya, bagi Fowler, kepercayaan bersifat
universal artinya siapa saja manusia dalam agama apa pun mempunyai potensi
untuk mempercayai. 11
9 Charles M Shelton, Spritualitas kaum muda, 58 10 James W. Fowler. Teori Perkembangan Kepercayaan, karya – karya penting James W Fowler, 202-
303 11 Leslie J. Francis, Christian Perspectives on Faith Development, (Michigan: W.B. Eerdmans, 1992),50
7
2.2 Perkembangan Remaja
Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence berasal dari
bahasa Latin adolescere yang artinya “ tumbuh untuk mencapai kematangan”.
Kematangan mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik dan
menurut Piaget yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah usia di
mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak
tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua
melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar. Masa remaja, menurut Mappiare
(1982) berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita
dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang usia remaja ini dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun
adalah remaja awal dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah
remaja akhir.12
Teori perkembangan iman Fowler tidak terlepas dari pendekatan
psikososial Erick Erikson dan sktrukturalisme genetis oleh Piaget dan Kohlberg.
Oleh karena itu, penulis juga melihat sudut pandang dari ketiga teori yang lain.13
Menurut psikologi perkembangan, anak usia remaja dimana pada usia ini
anak memasuki tahapan kematangan intelek atau dalam istilah Psikologi,
perkembangan intelektual dikenal Psikologi Kognitif (Jean Piaget). Mereka mulai
mampu berpikir jauh melebihi dunia nyata dan keyakinannya sendiri yaitu
memasuki dunia ide-ide. Tahap ini merupakan tahap awal berpikir hipotesis-
deduktif yang merupakan cara berpikir alamiah. Contohnya, mereka dapat
memakai pendekatan sistematis untuk memecahkan masalah dengan tidak hanya
mendasarkan diri pada meniru orang lain. Mereka juga dapat berpikir mengenai
konsep, berpikir menggunakan proporsi dan perbandingan mengembangkan teori
dan mempertanyakan hal-hal yang bersifat etis.14
Jean Piaget membagi perkembangan kognitif menjadi empat tahapan
yaitu: tahap sensori-motoris (0-2 tahun), tahap praoperasional (2-7 tahun), tahap
operasional konkret (7-11 tahun), tahap operasional formal (11 tahun ke atas).
Remaja berada pada tahap operasional formal di mana anak telah mampu
mewujudkan suatu keseluruhan dalam pekerjaannya yang merupakan hasil dari
12 Mohammad Ali, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), 9 13 James W. Fowler. Teori Perkembangan Kepercayaan, karya – karya penting James W Fowler, 25 14 Diana E Papalia dan Ruth Duskin Feldman, Menyelami Perkembangan Manusia, (Jakarta: Salemba
Humanika,2014), 24
8
berpikir logis. Menurut Piaget, karakteristik tahap ini adalah diperolehnya
kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik
kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat
memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala
sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di
antaranya..15
Menurut Erik Erikson, dalam tahap perkembangan psikososialnya dan ia
membagi menjadi delapan tahapan yaitu: Tahap 1 (percaya vs tidak percaya)
terjadi pada umur 0 sampai 18 bulan, tahap 2 ( otonomi vs malu dan ragu-ragu)
terjadi pada umur 18 bulan sampai dengan 3 tahun, tahap 3 (inisiatif vs rasa
bersalah) terjadi pada umur 3 sampai 5 tahun, tahap 4 (tekun vs rendah diri)
terjadi pada umur 6 tahun sampai dengan 11 tahun, tahap 5 (identitas vs
kebingungan identitas) terjadi pada masa remaja yakni umur 10 sampai dengan
20 tahun, tahap 6 ( keintiman vs keterkucilan) terjadi selama masa dewasa awal
yakni umur 20 tahun sampai 30 tahun, tahap 7 (bangkit vs stagnan) terjadi selama
masa pertengahan dewasa pada umur 40 tahun sampai dengan 50 tahun dan tahap
yang ke 8 (integritas vs putus asa) terjadi selama masa akhir dewasa sekitar umur
60 tahun.
Remaja berada pada tahap yang kelima yaitu masa identitas vs kebingungan
identitas dimana remaja mulai mengekplorasi kemandirian dan membangun
kepekaan dirinya. Anak dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana
mereka nantinya, dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya? (menuju
tahap kedewasaan). Anak dihadapkan memiliki banyak peran baru dan status
sebagai orang dewasa - pekerjaan dan romantisme misalnya, orangtua harus
mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam
suatu peran khusus. Jika remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara
yang sehat dan positif untuk diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan
dicapai. Jika suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak
secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan positif tidak
dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela. Namun bagi mereka yang
menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan
mandiri dan kontrol dirinya akan muncul dalam tahap ini. Bagi mereka yang tidak
15 Singgih D. Gunarsa &Ny Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2003), 77
9
yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan
bingung terhadap diri dan masa depannya.16
Seperangkat tingkat perkembangan lain yang harus dilewati oleh anak
menuju kedewasaan adalah apa yang disebut oleh Kohlberg dengan istilah
“perkembangan moral atau perkembangan pemikiran”. Proses ini hampir sama
dengan tingkat-tingkat perkembangan mental yang dikemukakan oleh Piaget.
Kohlberg menemukan bahwa semua manusia pasti melalui tingkat-tingkat ini
dalam urutan yang tetap dan tidak mungkin ada orang yang dapat melompati
suatu tingkat tertentu. Kohlberg mengidentifikasikan 3 level dan enam tingkat
dari perkembangan moral manusia sebagai berikut: Stage : 0 , 0-2 tahun,
Level I, Moralitas Pra-Conventional
Tingkat 1 : Orientasi ketaatan dan hukuman Usia 2-6 tahun
Tingkat 2 : Individualisme dan exchange Usia 6-10 tahun
Level II, Moralitas Conventional
Tingkat 3 : Hubungan antar pribadi yang baik Usia 9-13 tahun
Tingkat 4 : Menjaga tatanan sosial Usia 11-15 tahun
Level III, Moralitas Pasca Conventional
Tingkat 5 : Kontrak sosial dan individu
Tingkat 6 : Prinsip-prinsip universal Usia remaja 14
tahun dst
Remaja melihat moralitas bukan sekedar perjanjian atau ideal yang
sederhana, mereka percaya bahwa seharusnya menaati ekspektasi keluarga dan
juga komunitas dan berperilaku yang baik berarti memiliki motif yang baik dan
perasaan antar pribadi seperti kasih,empati, trust dan keperhatinan terhadap orang
lain.17
Wayne Rice dalam bukunya Junior High Ministry mengemukakan bahwa
kunci untuk memahami remaja adalah menyadari bahwa masa remaja merupakan
masa transisi dari kanak-kanak menuju pada kedewasaan dalam berbagai hal. 18
Sebelum anak berusia 11 dan 12 tahun, pemahaman anak terhadap realitas pada
dasarnya tergantung pada apa yang ia alami. Tetapi begitu seseorang memasuki
16 F.J Monks, Knoers,A.M.P & Hadinoto S.R.. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai
Bagiannya. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001). 156 17 Bahan Kuliah Pendidikan Agama Kristen (PAK) Kategorial Pdt Mariska Lauterboom,MATS.
(Salatiga: Fakultas Teologi, 2014) 18 Wayne Rice, Junior High Ministry: A Guide Book for leading and teaching of early adolescents.
(Grandrapis: Zondervan, 1978). 55
10
pubertas, maka terjadi perubahan kualitatif dalam cara berpikir dan hal ini tidak
sekedar menjadi lebih intelligent atau intelegensi tetapi remaja mengembangkan
kemampuan bernalar (reasoning) secara lebih berpikir konseptual atau abstrak.19
Dimensi spiritual dalam kehidupan remaja tidak dapat dipisahkan dari
aspek kehidupannya yang lain. Iman seseorang menyentuh semua aspek dalam
kehidupannya baik fisik, sosial, mental dan lainnya. Injil bukan hanya
mempengaruhi seseorang tetapi jiwa kita. Pada saat seseorang berkembang secara
fisik, sosial, mental maka perubahan ini akan mempengaruhi juga kehidupan
spiritualitasnya. Sejumlah besar remaja akan menolak sekurang-kurangnya
meragukan kepercayaan agamawi yang telah mereka anut sebelumnya. Dalam usia
anak-anak, mereka percaya kepada Tuhan oleh karena orang tua mereka pun
percaya kepadaNya, dengan demikian iman yang dimilikinya adalah warisan.20
Namun ketika anak memasuki usia remaja, iman warisan seperti ini tidak
dapat diterima begitu saja sebab ada gejolak pemikiran rasional yang mulai
mempertanyakan dan meragukan iman. Bagi remaja yang lain, iman kepada Allah
semakin lemah oleh karena pikiran yang semakin berkembang dan dipengaruhi
oleh pandangan dunia yang baru bahwa iman tidak dapat dibuktikan secara empiris
atau tidak masuk akal. Bisa saja si anak tiba-tiba tidak mau ke gereja, padahal dulu
ia adalah seorang anak yang rajin ikut ibadah remaja. Hal ini membuat
kekhawatiran para orang tua, jika anaknya tersesat dan meninggalkan iman kristen
untuk selamanya. Hal ini merupakan bagian dari proses perkembangan
kemampuan berpikir asbtrak dan membangun identitas dirinya sendiri. 21
Persoalan terbesar yang dialami oleh remaja ialah bagaimana mengatasi
kegagalan dan banyak remaja melihat kegagalannya sebagai petunjuk iman mereka
juga sedang merosot. Banyak kesalahan dan pengajaran yang terjadi selama masa
kanak-kanak dan remaja misalnya pengajaran yang melihat kegagalan untuk hidup
sesuai dengan standar Alkitab, Gereja dan orang tua disamakan dengan telah
melakukan dosa dan contoh yang konkret ketika remaja mengalami ‘mimpi basah’
maka itu dianggap sebagai dosa.
Meskipun remaja berada ditengah-tengah pergumulan, kegagalan dan
keraguan, idealisme mereka dapat menjadi sangat ekstrim dan ini merupakan
19 Daniel Nuhamara, Pendidikan Agama Kristen Remaja,60 20 Daniel Nuhamara, Pendidikan Agama Kristen Remaja,87 21 Paul Gunadi, Memahami Remaja dan pergumulannya, (Bandung: PT Visi Anugerah, 2013), 33.
11
bagian dari parodoks remaja. Mereka mempunyai keinginan yang kuat untuk
committed terhadap suatu hal dan menjadikan mereka hidup berarti. Mereka sedang
mengembangkan atau membangun semacam perasaan kuat tentang benar dan
salah. Misalnya cita-cita untuk mendaftarkan diri bagi pelayanan seperti dokter,
perawat, pekerja sosial dan lainnya.
Maka remaja diberi sebanyak mungkin kesempatan untuk melayani dan
menggunakan karunia-karunia yang sudah Allah berikan kepada mereka. Idealisme
mereka meskipun sangat kuat selama masa remaja namun makin lama akan
menjadi pudar bila tidak diberi ekspresi dan mengambil bentuk dalam kehidupan
yang tidak diinginkan serta menghancurkan. 22
2.3. Panggilan Gereja tentang pelayanan Remaja berdasarkan Buku Panduan
Tahun Remaja HKBP 2014
Gereja adalah persekutuan orang percaya yang lahir oleh pekerjaan Roh
Kudus. Kehadiran Gereja di dalam dunia dalam rangka mengabarkan shalom Allah
bagi dunia, karena Allah mengasihi dunia dan segenap ciptaan-Nya. Sejak awal
berdirinya gereja mendapatkan tugas dari Allah untuk mewartakan kabar
keselamatan Allah kepada semua orang supaya mereka mengenal Allah dan
menjadikan mereka murid-murid Allah (Matius 28:19-20, Markus 16:15-16).23
Beberapa teolog mendefinisikan arti kata Gereja sebagai berikut: (1) Kata Gereja
berasal dari kata dalam bahasa Portugis “igreja”, yang berasal dari kata Yunani
“ekklesia” yang berarti: mereka yang dipanggil. Mereka yang pertama dipanggil
oleh Yesus Kristus ialah para murid dan sesudah kenaikan Tuhan Yesus ke surga
dan turunnya Roh Kudus pada hari pentakosta, para murid itu menjadi “rasul”,
artinya “mereka yang diutus” untuk memberitakan Injil sehingga lahirlah Gereja.24
(2) Istilah Yunani “ekklesia” dibentuk dari kata ‘ek’ = dari dan ‘kaleo’
(=memanggil), yaitu ‘mereka yang dipanggil keluar’. Kata ‘ekklesia’ dalam
Perjanjian Baru mempunyai arti (1) kaum yang dipanggil keluar dari kehidupan
yang lama dan keluar dari kuasa Iblis, dipanggil Allah sendiri, dipindahkan ke
dalam kerajaan Allah-terjadi perubahan status dan pola hidup. (2) kaum yang
dipanggil keluar dari hidup bagi diri sendiri dan dipanggil untuk hidup bagi Tuhan,
22 Daniel Nuhamara, Pendidikan Agama Kristen Remaja, 89-90 23 Avery Dulles, Model-Model Gereja, (Ende: Nusa Indah, 1990), 92. 24 Th. Van den End, Ragi Carita: Sejarah Gereja Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 1-2.
12
beribadah kepada Tuhan dan melayani Tuhan-perubahan tujuan hidup dan
pandangan dasar
Kehadiran Gereja di dunia tidak sebatas sakramental dan yuridis, tetapi
mencakup kandungan misteri didalamnya.25 “Gereja adalah misteri, Ia adalah
realitas yang diresapi dengan kehadiran Allah yang tersembunyi. Oleh karena itu,
rahasia kehadiran Allah berada dalam hakikat Gereja itu sendiri yang membuatnya
terbuka terhadap penjelajahan yang baru dan yang semakin luas.” 26 Oleh sebab itu,
untuk menjelaskan misteri dan hakikat Gereja tersebut, Kitab Suci hampir selalu
berbicara dengan menggunakan gambaran-gambaran yang hampir semua jelas
bersifat kiasan (metafora).27 Sebagai contoh Dalam Perjanjian Baru terdapat
bermacam-macam gambaran atau metafora mengenai Gereja, umpamanya sebagai
umat Allah (Why 21:3), sebagai bait Allah (1 Kor.3:16), sebagai bait Roh Kudus (1
Kor.6:19), sebagai bangunan Allah (1 Kor. 3:9), sebagai kawanan domba Allah (1
Ptr. 5:2) dan sebagainya.28
Gereja yang hidup adalah gereja yang bersaksi tentang Yesus Kristus
di dunia ini (band Kis 1: 8). Gereja terpanggil untuk melaksanakan amanat agung
Kristus (Mat 28:16-20; Markus16:15). Menjadi saksi Kristus adalah tugas gereja
dan warganya yang berlaku sepanjang masa dan bukan hanya bersaksi (Marturia),
tapi juga bersekutu (Koinonia) dan melayani (Diakonia). Inilah yang disebut tri
tugas gereja. Gereja terpanggil untuk memberitakan berita kesukaan dari Allah
bagi semua orang agar percaya dan diselamatkan. Gereja harus terbuka,
dinamis,dialogis pada situasi perkembangan di masyarakat dengan sikap
positif,kristis,kreatif dan realistis. Gereja kelihatan sebagai gereja apabila gereja
tersebut nampak sebagai satu segitiga sama sisi yang terdiri dari segi
persekutuan,kesaksian dan pelayanan yang ketiganya tidak dapat dipisahkan.29
Dalam menjalankan tugas panggilannya, Gereja harus tanggap dengan
masalah-masalah yang dihadapi oleh warganya dalam hal ini adalah remaja. Gereja
berhadapan dengan pengaruh zaman. Globalisasi dengan trend-trend baru
ditawarkan dan sering membuat Gereja sulit mempertahankan apa yang sudah baik
25 Merliza Akatastasia Makienggung. Manajemen Konflik Dalam Gereja : Suatu tinjauan ekklesiologis terhadap model manajemen konflik dalam Gereja menurut Hugh F. Halverstadt (Salatiga: Fakultas
Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana), 8. 26 Avery Dulles, Model-Model Gereja,18. 27 Avery Dulles, Model-Model Gereja ,19. 28 Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 370. 29 Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004), 2.
13
yang ada di dalam dirinya sendiri. Tantangan zaman sangat terasa dalam kehidupan
generasi muda dan menghempas serta mengombang-ambingkan kehidupan
generasi muda bahkan menyebabkan krisis identitas dan penyimpangan perilaku
sosial. Tantangan zaman yang dihadapi oleh para remaja turut serta menjadi
kesulitan bagi pekerja Gereja untuk melaksanakan tugasnya. Mengajari remaja
menjadi sebuah pekerjaan yang sulit tidak seperti mengajari anak-anak yang
menerima apa saja yang diberikan kepada mereka tanpa mereka banyak bertanya
apakah pengajaran ini benar atau tidak ?.
Tahun Remaja HKBP 2014 mengambil Tema “Mempersiapkan
Generasi Muda Menghadapi Tantangan Zaman” (bnd. Kolose 4:2-6) dan Sub
Tema : “Melalui Revitalisasi Pelayanan, Pembinaan dan Pewadahan, akan Nyata
Peran Remaja menjadi Transformator Gereja, Masyarakat dan Bangsa”.30
Dengan memperhatikan perkembangan zaman dan tantangan yang
dihadapi oleh remaja maka gereja tidak boleh menganggap sepele terhadap
pelayanan kepada remaja. Gereja perlu untuk memperbaharui pelayanannya.
Adapun tujuan tahun remaja HKBP 2014 antara lain:
a). Menghidupkan kembali motto NHKBP: Masitangiangan (saling mendoakan),
masihaposan (saling percaya) dan masiurupan (saling mendoakan).
b). Mempersiapkan remaja menghadapi masa depan
c). Mendorong remaja untuk memahami pentingnya sebuah pendidikan iman dan
melibatkan diri dalam pelayanan untuk meneruskan apa yang mereka terima
kepada anak-anaknya kelak
d). Memperkuat jejaring remaja untuk lintas budaya, agama dan oikumene tingkat
nasional dan internasional
e). Memperlengkapi remaja dan pemuda menghadapi isu-isu politik.
f). Memperlengkapi remaja Gereja HKBP untuk memahami liturgi dan musik
gereja HKBP
g). Remaja dapat mengisi pembangunan yang kini telah berlangsung
h). Diharapkan melalui kegiatan ini dapat membangkitkan kembali kegiatan
Remaja di Gereja
i). Kegiatan ini menghasilkan komunitas remaja yang memiliki jejaring yang baik.
30 Buku Panduan Tahun Remaja HKBP 2014, 11.
14
Dasar Alkitabiah Tahun Remaja HKBP terdapat dalam Ulangan 6. Dalam
pasal ini Musa memaparkan kepada Bangsa Israel tentang intisari perintah -
perintah Tuhan yang harus diajarkan kepada anak-anak. Mereka harus
mengajarkan perintah - perintah tersebut dan perintah Tuhan yang harus diajarkan
kepada anak-anak ialah “apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau
sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun”
(ayat 7). Perintah untuk menaati Allah bukanlah sekedar sesuatu yang diajarkan
secara formal kepada para pendengar yang pasif. Sebaliknya, menaati perintah
Tuhan adalah menjadi proses yang terus menerus memakai kejadian sehari-hari
dalam kehidupan anak-anak (Amsal 22:6).31
31 Buku Panduan Tahun Remaja HKBP 2014, 11-16