Penanaman Iman

19
1 PENDIDIKAN IMAN DAN MORAL (BUDI PEKERTI) KATOLIK SECARA VARIATIF I. Pendahuluan : Krisis multidimensi sejak tahun 1997 memberi gambaran bahwa sebagian masyarakat telah kehilangan spiritual hidup dan kearifan sosial yang unggul, seperti toleransi, kemampuan berempati, semangat kegotong-royongan dan kerjasama. Akibatnya masyarakat dengan mudah menyalahkan orang lain, gampang kehilangan kendali emosi, mudah terseret isu yang bermuara pada kerusuhan, dan mudah curiga terhadap kelompok/golongan lain yang berujung pada konflik atau bentrok yang membabi buta (Kaswardi; 2000; 8). Selanjutnya, Abu Bakar Fahmi (2008, 19: Pontianak Pos), menyatakan “Bahwa dewasa ini manusia berada dalam kompleksitas hidup yang diciptakannya sendiri, dengan demikian manusia semakin mampu mengatasi permasalahan hidupnya, namun pada saat yang bersamaan masalah hidup itu makin marak dan berkembang biak”. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa masyarakat saat ini berada di ambang suatu masa yang akan digoncang oleh terjadinya krisis nilai dan heteronomi bahkan anomi. Memudarnya nilai-nilai peri kehidupan dan norma-norma perilaku akan makin menggelisahkan dan mencemaskan yang menjadikan manusia makin tercengkram oleh relativisme. Kondisi masyarakat di atas semakin dipeparah oleh berbagai persoalan yang telah menjadi keprihatinan oleh berbagai pihak, yakni : (1) Pekerjaan terbatas dan tenaga kerja yang melimpah

Transcript of Penanaman Iman

12

PENDIDIKAN IMAN DAN MORAL (BUDI PEKERTI) KATOLIK SECARA VARIATIF

I. Pendahuluan :

Krisis multidimensi sejak tahun 1997 memberi gambaran bahwa sebagian masyarakat telah kehilangan spiritual hidup dan kearifan sosial yang unggul, seperti toleransi, kemampuan berempati, semangat kegotong-royongan dan kerjasama. Akibatnya masyarakat dengan mudah menyalahkan orang lain, gampang kehilangan kendali emosi, mudah terseret isu yang bermuara pada kerusuhan, dan mudah curiga terhadap kelompok/golongan lain yang berujung pada konflik atau bentrok yang membabi buta (Kaswardi; 2000; 8).Selanjutnya, Abu Bakar Fahmi (2008, 19: Pontianak Pos), menyatakan Bahwa dewasa ini manusia berada dalam kompleksitas hidup yang diciptakannya sendiri, dengan demikian manusia semakin mampu mengatasi permasalahan hidupnya, namun pada saat yang bersamaan masalah hidup itu makin marak dan berkembang biak. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa masyarakat saat ini berada di ambang suatu masa yang akan digoncang oleh terjadinya krisis nilai dan heteronomi bahkan anomi. Memudarnya nilai-nilai peri kehidupan dan norma-norma perilaku akan makin menggelisahkan dan mencemaskan yang menjadikan manusia makin tercengkram oleh relativisme.Kondisi masyarakat di atas semakin dipeparah oleh berbagai persoalan yang telah menjadi keprihatinan oleh berbagai pihak, yakni : (1) Pekerjaan terbatas dan tenaga kerja yang melimpah ruah, pengangguran terjadi di mana-mana, premanisme semakin menjadi-jadi di kalangan kaum muda; (2) Pergaulan bebas sulit dikendalikan; (3) Model-model pakaian yang memicu kepada gairah seks; (4) Pergaulan anak dan orang tua tidak berdasarkan nilai-nilai moral dan etika, akan tetapi lebih mementingkan kepada materi dan keilmuan; (5) Persoalan agama hanya merupakan simbol-simbol ritual, sedangkan pengamalan dan penghayatan kurang dikerjakan, sehingga umat beragama pada umumnya dan para siswa nyaris kehilangan identitas keagamaannya (Burdjani, 2008: 14).Kaum muda, remaja dan mereka yang sedang dalam proses pendidikan pun tak luput dari dampak globalisasi yang semakin berkembang. Dewasa ini perilaku para siswa yang sebagian besar adalah remaja dan kaum muda, kerap menimbulkan persoalan dan keresahan bagi masyarakat. Pada hal, mereka di sekolah mendapatkan pendidikan moral, agama dan pendidikan nilai lainnya serta norma yang seharusnya berlaku. Perilaku tersebut, seperti : (1) Tawuran antar pelajar, pergaulan a-susila di kalangan pelajar dan mahasiswa; (2) Pornografi yang susah dibendung (free seks), kebiasaan bolos sekolah; (3) Kesukaan terhadap minuman keras; (4) Kecanduan terhadap ekstasi (XTC), budak kokain dan morfin; (5) Tindakan aborsi dan bunuh diri, misalnya peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh salah seorang siswa SMA di Padang hanya karena belum membayar uang sekolah (Kompas, 13 September 2007: 17). Penyimpangan perilaku tersebut menjadi indikator yang menunjukan bahwa moral dan akhlak para siswa semakin merosot, karena hilangnya nilai-nilai agama dari seluruh kehidupannya, dan ditunjang oleh pola pendidikan yang belum memadai dan efektif untuk merangsang seluruh dimensi perkembangan manusia.Dalam UU RI No. 20, pasal 1, ayat 1, dikatakan Bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, bangsa dan negara. Ini berati bahwa pendidikan dipandang sebagai pilar pembentuk manusia dan perkembangan masyarakat. Lebih lanjut, Piaget dalam Sagala (2000: 3 mengatakan Pendidikan adalah penghubung dua sisi, yakni di satu sisi individu yang sedang tumbuh berkembang dan di sisi lain adalah nilai sosial, intelektual dan moral. Sedangkan Syaefudin (2007: 6) mengatakan :Bahwa pendidikan merupakan, (1) Proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat dimana ia hidup; (2) Proses sosial dimana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga mereka mengalami perkembangan dimensi sosial dan individual secara optimal.Lebih ditegaskan lagi bahwa pendidikan bertujuan menuju humanisme ilmiah, menumbuhkan kreativitas, orientasi pada keterlibatan sosial dan pembentukan manusia sempurna (UNESCO dalam Gulo, 2002: 41). Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan bertujuan membantu perkembangan manusia secara holistik. Oleh karena itu, pendidikan untuk semua aspek yang diperlukan bagi kehidupan manusia perlu dilakukan, yaitu mencakup pembentukan dimensi-dimensi manusia, seperti intelektual, emosional, spiritual, religius, sosial dan etik.Implikasi pengertian pendidikan di atas adalah bahwa orientasi proses pendidikan ke arah kemampuan intelektual atau kecerdasan inteligensi yang selama ini menjadi ciri khas pendidikan dan sekolah saatnya ditinggalkan, sebab kecerdasan intelektual hanya dipandang sebagai keberhasilan parsial bukan keberhasilan yang holistik (M. Bochori, 2001: 69). Hadiwardoyo dalam Sindhunata (2000: 81) menegaskan Bahwa manusia merupakan makhluk yang perlu dan mampu berkembang, tidak hanya dari segi kuantitatif, melainkan juga dari segi kualitatif, terutama ketika ia masih muda. Ini berarti menuntut pendidikan yang berorentasi pada keseluruhan dimensi hidup manusia. Dengan kata lain, Pendidikan merupakan upaya humanisasi, karena kekhasan manusia terletak pada adanya perasaan, akal, hati nurani, dan kemampuan beriman pada dirinya, maka pendidikan harus menyentuh segi-segi yang khas pada manusia, yakni dimensi spiritual manusia.Betapapun pentingnya kecerdasan intelektual maupun emosional bagi kesuksesan seseorang, tetapi tidak boleh berhenti di situ, sebab apalah artinya orang yang pintar secara intelektual maupun emosional, tetapi jeblok secara spiritual. Manusia semacam ini mungkin akan menjadi orang yang berpengetahuan luas, kritis, kreatif, selalu bergairah, ramah, pandai menyenangkan dan meyakinkan orang, terampil bergaul, dan lain sebagainya, namun hatinya kerap berbuat curang, menipu, berbohong, berkhianat, memfitnah, menjarah hak orang lain, bertindak korupsi, dan sebagainya. Berkat kepintaran seseorang secara intelektual, maka kejahatannya dapat dilakukan dengan cara yang canggih sehingga sulit terlacak atau terbongkar karena kepintarannya menghapus jejak, membungkus dan membentengi perbuatannya. Demikian pula karena dia cerdas secara emosional maka dia terampil dalam mengelola emosi-dirinya (self-regulation) sehingga kendati berbuat culas, dia mampu tampil tenang, penuh senyum meyakinkan, bahkan sukses pula merekayasa kesan diri sebagai orang baik, benar, penolong dan sebagainya. Singkatnya, bahwa dewasa ini bayak orang munafik, ibarat musang berbulu domba, pandai bersandiwara dan akan menghalalkan segala cara demi kepentingannya.Terkait dengan hal di atas, maka di atas kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, mutlak diperlukan kecerdasan spiritual, yakni kemampuan orang untuk membedakan kebajikan dan keburukan, dan kesanggupan untuk memilih atau berpihak pada kebajikan, serta dapat merasakan nikmatnya berbuat baik. Orang dengan kecerdasan spiritual tinggi akan merasakan kenikmatan spiritual tiada tara tatkala ia sanggup berbuat jujur, lurus, adil, meskipun akibatnya secara material atau secara duniawi mungkin ia harus menanggung kerugian. Dengan senantiasa menghidupkan hati nurani, menghadirkan Tuhan dalam kesadaran jiwa dan menjadikan Tuhan sebagai pusat orientasi semua tindakan, orang akan terbebas dari kepalsuan-kepalsuan hidup.Meskipun kecerdasan intelektual dan emosional membawa orang pada kesuksesan, dan kecerdasan spiritual membawa orang pada kebajikan, namun yang diharapkan adalah menjadi orang sukses yang baik. Ada ungkapan Its nice to be important, but its more important to be nice, yang artinya Baik juga kalau bisa menjadi orang penting atau sukses, tetapi lebih penting menjadi orang baik (Turmudhi, 2003: 19: Kedaulatan Rakyat).Sukses yang sesungguhnya adalah memanfaatkan dan mengaktualisasikan potensi yang diberikan Tuhan untuk membawa manfaat bagi kelanjutan dan peningkatan kualitas kehidupan di bumi. Sukses adalah membuat hidup suatu mahluk atau seseorang atau banyak orang menjadi lebih baik, lebih bermakna, karena kita pernah memberikan sentuhan di sana. Sukses adalah, melakukan tugas kemanusiaan kita masing-masing, sesuai dengan minat, bakat, dan jalan hidup yang ditetapkan Tuhan untuk kita (Zakiy Mubarok (2008: 21). Jadi, kemampuan spiritual merupakan kemampuan manusia untuk dapat mengenal dan memahami diri sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan memiliki kecerdasan spiritual berarti kita memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita jalani dan ke manakah kita akan pergi.Dalam UU RI No. 20 tahun 2003, pasal 1 ayat 1 menegaskan Pendidikan agama bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Ini mengandung arti bahwa pendidikan agama memiliki peran yakni menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari peran pendidikan agama tersebut, maka internalisasi agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keharusan yang harus ditempuh melalui pendidikan (Pilipus Kopeuw, 2008: 26). Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spiritual. Berbicara mengenai iman berarti berbicara mengenai spiritualitas, sebab spiritualitas manusia muncul berkat proses pembentukan hidup rohaniah dan jasmaniah manusia itu sendiri.Hans Urs von Balthasar dalam Musafir (2007: 5), mengatakan Spiritualitas adalah sikap dasar praktis atau eksisitensial manusia yang merupakan konsekuensi atau ekspresi dari cara bagaimana ia mengerti eksisitensi keagamaannya. Eksistensi-eksistensi keagamaan tersebut terungkap dalam tindakan atau bereaksi secara tetap dalam seluruh hidupnya menurut tujuan dan pemahaman-pemahaman serta keputusan-keputusannya yang dasariah. Dengan kata lain pendidikan keagamaan bermuara pada pembentukan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) yang merupakan kecerdasan yang paling utama dibandingkan dengan berbagai jenis kecerdasan yang lain. Kecerdasan spiritual memiliki kekuatan untuk mentransformasi kehidupan kita ke arah hidup yang lebih baik.Spiritualitas menyangkut sikap dasar manusia, entah sebagai individu ataupun kelompok. Sikap dasar tersebut terbentuk dan didasari oleh sistem nilai mutlak agama (ideologi) yang dianut. Spiritualitas menyangkut keseluruhan tingkah laku manusia pada setiap saat dalam kehidupannya. Manusia sebagai subyek spiritualitas tetaplah satu roh dalam dunia atau roh badani tersendiri. Dimana rohnya merupakan aspek sentral, dan ini berarti bahwa dia berada dalam sesuatu hubungan dengan transenden.Spiritualitas merujuk pada pola hidup atau gaya hidup yang dipengaruhi dan dipimpin oleh Roh kudus. Spiritualitas harus dipahami sebagai segi hidup yang sangat personal yaitu dengan mengamalkan iman akan Yesus Kristus. Dengan demikian hidup tidak hanya diwarnai oleh cita-cita duniawi dan rohani, melainkan sikap dan tindakan harus diresapi sedalam-dalamnya oleh kekuatan iman (Martasudjita, 2002:11). Peningkatan potensi spiritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan individual maupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut bermuara pada optimalisasi berbagai potensi yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.Selanjutnya, Agustian (2001: 119) menegaskan Pembentukan spiritual sejati harus melalui pendidikan agama. Maka, pendidikan agama Katolik diharapkan tidak hanya berorientasi pada pemahaman ajaran dan dogma keagamaan serta hanya menciptakan manusia pintar dan memiliki prestasi di bidang akademik, melainkan yang lebih utama adalah menciptakan manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia serta berbudaya dan memiliki kekuatan spiritualitas yang memadai (Syafarudin, 2002: 5). Untuk merealisaikan pembentukan peserta didik yang beriman dan memiliki spiritualitas hidup, diperlukan strategi pembelajaran yang memungkinkan komunikasi iman yang bersumber pada pengalaman kehidupan sehari-hari, sehingga mampu mencermati iman dalam keseharian mereka (Mangunwijaya dalam Dedy Pradipto, 2007: 16). Oleh karena pendidikan agama bersifat spiritual, maka materi pembelajaran pendidikan agama diharapkan menyentuh pergumulan siswa, sehingga mampu memahami permasalahan hidupnya dalam terang iman Kristiani, selanjutnya guru menuntun mereka menemukan jawaban dari Firman Tuhan (Philipus Kopeuw, 2008: 37).Fakta menunjukan bahwa pendidikan agama Katolik seringkali mengalami kendala, diantaranya adalah selain keberadaan mata pelajaran agama Katolik tidak mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah, hal ini dapat dilihat dari alokasi waktu yang hanya 2 (dua) jam pelajaran perminggu bila dibandingkan dengan mata pelajaran lain yang mempunyai alokasi waktu lebih banyak, juga di sisi lain minat siswa terhadap mata pelajaran pendidikan agama diakui sangat minim, justru mereka lebih suka dengan mata pelajaran berbasis tekhnologi dan informasi. Kemudian metode dan pendekatan pembelajaran agama yang seringkali monoton dan bersifat dogmatis teoritis, sehingga peserta didik selalu dibebani oleh tuntutan ilmu pengetahuan yang harus dihafal.Terkait dengan persoalan pendidikan tersebut, Armai Arif (2002: 19) berpendapat Bahwa persoalan-persoalan yang selalu menyelimuti dunia pendidikan sampai saat ini adalah seputar tujuan dan hasil yang tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat, metode pembelajaran yang statis dan kaku, sikap dan mental pendidik yang dirasa kurang mendukung proses, dan materi pembelajaran yang tidak progresif.Demikian pula Rusli Karim (1991: 128), mengatakan Pendidikan kita dewasa ini hanya melakukan transfer knowladge (alih pengetahuan), dan tidak melakukan transfer of value (alih nilai). Selanjutnya Maarif (1996: 97), menegaskan Akibat dari praktek pendidikan tersebut adalah manusia secara moral akan menghadapi bahaya besar, menipisnya penjujungan aspek moralitas yang diakibatkan oleh masalah dimensi spiritual yang dijadikan sebagai urusan terbawah, dan telah hilang dalam karakteristik pendidikan.Proses pendidikan seperti ini telah berpengaruh terhadap proses pendidikan agama Katolik, dimana selama ini pembelajaran agama Katolik masih menggunakan model pembelajaran klasik yang dikenal dengan istilah school knowledge, yaitu bentuk belajar formal. Umumnya guru mengontrol dan terpusat pada materi pelajaran, dimana murid (siswa) mengikuti kegiatan pembelajaran secara terstruktur dengan kemauan guru. Sehingga materi pelajaran lebih cenderung bersifat abstrak, teoritis dan berbasis texbook.Pada hal, fakta menunjukan bahwa apa yang diketahui (pengetahuan dan ilmu) tidak selalu membuat hidup seseorang sukses dan bermutu. Tetapi kemampuan keuletan dan kecekatan seseorang untuk mencernakan dan mengaplikasikan apa yang diketahui dalam hidup nyata, akan membuat hidup seseorang sukses dan bermutu. Demikian pula dalam kehidupan beragama, orang tidak akan beriman dan diselamatkan oleh apa yang ia ketahui tentang imannya, tetapi oleh pergumulannya menginterpretasikan dan mengaplikasikan pengetahuan imannya dalam hidup nyata sehari-hari. Seorang beriman adalah orang yang berusaha melihat, menyadari dan mengahayati kehadiran Allah dalam hidupnya, dan berusaha melaksanakan kehendak Allah dalam konteks hidup nyata (KWI, 2007: 11). Selanjutnya, Djiwandono dalam Sindhunata (2000: 111), mengaskan Bahwa tak semua segi iman dapat dijelaskan dan dipahami oleh kemampuan rasional dan intelektual manusia.Agar pendidikan agama Katolik mencapai tujuan, sasaran, fungsi, serta tetap relevan dalam membentuk manusia spiritual, guru wajib merubah model dan kondisi pembelajaran, agar materi-materi pendidikan agama Katolik tentang Allah, Yesus dan Roh Kudus serta ajaran Gereja lainnya, dapat dialami dan dihayati oleh siswa dalam hidup nyata, sesuai dengan situasi dan pergumulan hidupnya. Guru harus berusaha semaksimal mungkin menyesuaikan materi atau tema pelajaran ke dalam perkembangan siswa, baik mental, emosi, pergaulan dan perkembangan rohaninya. Sebab intesitas dan efektivitas hasil pendidikan (out-put/graduated) sangat ditentukan oleh manajemen mutu pembelajaran dan instruksi yang dijalankan dalam lembaga pendidikan yang bersangkutan (Seifert, 2008: 271).Mewujudkan hal tersebut di atas, dirasa perlu mengembangkan dan menggunakan metode atau pendekatan pembelajaran yang lebih efektif dan kontekstual yang mampu menghantarkan para siswa ke pemahaman antara materi pelajaran dan situasi konkrit secara terintegrasi. Pendekatan pembelajaran tersebut adalah pendekatan pembelajaran Contextual Teaching and Learning, sebab pembelajaran ini mampu menyatukan konsep dan praktek (Elaine B Johnson, 2007: 32). Perlunya pengembangan pembelajaran contextual teaching and learning adalah karena adanya kenyataan bahwa sebagian besar siswa sulit untuk menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatnya dalam kehidupan nyata (Muslich, 2009: 40).Pendekatan pembelajaran ini juga didasarkan pada perspektif kontrukstivisme. Sebagaimana diungkapkan oleh Giambattis ta Vico dalam Sindhunata (2000: 97), Bahwa setiap orang hanya dapat benar-benar memahami apabila dari hasil yang dikonstruksinya sendiri, sebab manusia pada satu pihak memiliki kemampuan yang tiada terbatas untuk berkembang, dan di sisi lain setiap pribadi manusia menyimpan berbagai potensi-potensi yang perlu dikembangkan.Pembelajaran contextual teaching and learning mengandung dua unsur pengertian, yaitu (1) Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan atau keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan atau konteks ke permasalahan atau konteks lainnya; dan (2) Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pembelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.Latar belakang yang sangat panjang disebutkan diatas memandang perlu kami mencoba sebuah alternative model pendidikan iman dan moral katolik yang bervariatif dengan model artisticnya. Harapan kami hal ini bisa menjadi salah satu alternative yang bersifat sebagai penanaman iman dan moral katolik dalam diri siswa katolik

II. Model pendidikan iman dan moral Katolik

Pengakaran Gereja sekarang ini lebih menekankan plantatio fidei (penanaman iman) dari pada plantatio ecclesia (penanaman gereja), apalagi di tengah-tengah multikulturalisme budaya, suku, ras dan agama. Artinya gereja sangat penyadari pentingnya pondasi iman dimiliki oleh umat termasuk siswa katolik sehingga mereka selamat menjalankan hidupnya. Tidak jauh berbeda pula dalam konteks pentingnya pendidikan moral bagi uat atau siswa sebagai bentuk wujud nyata iman yang kelihatan di masyarakatnya.Lebih lanjut pentingnya pendidikan moral (budi pekerti) di perjelas juga oleh pemerintah dalam kurikulum Pendidikan Budi Pekerti yang dikeluarkan oleh Puskur Depdiknas (2001) menyatakan bahwa pengertian pendidikan budi pekerti dapat ditinjau secara konsepsional dan secara operasional.

Secara konsepsional pengertian pendidikan iman dan moral (budi pekerti) mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang.

2. Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang (lahir batin, material spiritual dan individual sosial).

3. Upaya membentuk peserta didik menjadi pribadi seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran dan latihan, serta keteladanan.

Adapun pengertian pendidikan budi pekerti secara operasional adalah upaya untuk membekali peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal bagi masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama makhluk, sehingga terbentuk pribadi seutuhnya yang tercermin pada perilaku berupa ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, kerja dan hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa.

Moral berasal dari bahasa Yunani: Mores yang artinya prilaku yang baik. Moral dapat dikaitkan dengan istilah etik, kesusilaan dan budi pekerti. Moral merupakan nilai tentang baik buruk kelakuan manusia. Oleh karena itu moral berkaitan dengan nilai terutama nilai afektif.

Dengan demikian pendidikan moral dapat pula dipersamakan dengan istilah pendidikan etik, pendidikan budi pekerti, pendidikan nilai (value education) atau pendidikan afektif. Ada pula dengan memakai istilah pendidikan watak dan pendidikan akhlak Dalam hal ini istilah-istilah tersebut dapat saling menggantikan. Jadi istilah ini tidak bisa lepas dari pengertian moral, nilai, budi pekerti , watak, akhalak atau afektif itu sendiri

Pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.

Hakikat dari Pendidikan Budi Pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah merupakan pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan moral dapat disebut sebagai pendidikan nilai atau pendidikan afektif. Dalam hal ini hal-hal yang disampaikan dalam pendidikan moral adalah nilai-nilai yang termasuk domain afektif. Nilai-nilai afektif tersebut antara lain, meliputi : perasaan, sikap, emosi, kemauan, keyakinan, dan kesadaran. Namun demikian sisi pengetahuan moral juga penting bahkan mutlak pada sesi pertama yang merupakan pintu gerbangnya memasuki ruangan moral kehidupan. Bisa dipahami bahwa bagaimana orang mampu melakukan sesuatu kalau dia tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Bisa jadi hal itu akan dapat mengakibatkan tabrakan nilai, karena masuk keluarnya tidak sesuai dengan jam tayangnya.

Dengan metodologi pendidikan iman dan moral katolik yang menarik dan variatif serta memiliki nilai artistic yang positif. Pendidikan iman dan moral kristiani katolik perlu dilakukan oleh guru. Misalnya memakai contoh dalam mengemas pendidikan iman : 10 hukum Tuhan ( dekalog), 5 perintah gereja dan 5 kerikil untuk mengalahkan goliat masing diri siswa, bahkan guru sekalipun.

Pertama-tama siswa perlu dididik memahami terlebih dahulu apa itu :1. Sepuluh perintah Allah (Bdk Katekismus gereja katolik ) 2. 5 Perintah Gereja (lht Katekismus Gereaj katolik )3. 5 Kerikil untuk mengalahkan goliat kita ( Doa Rosario )4. Apa itu Berdoa Rosario dan bagaimana berdoas Rosario memakai media yang simple.

Empat point ajaran iman dam moral tradisional katolik diatas sangat penting dan sudah mulai jarang digumuli secara intensif oleh siswa, sehingga membuat siswa seperti kehilangan pegangan iman dan moral moral principal dan kontekstual. Perlu metodologi pengajaran yang lebih variatif dan membuat siswa bergairah dalam belajar dan terus dapat mengingatnya dan tertarik melakukannya

Berikut ini saya tampilkan model pendidikan dan pengajaran iman dan moral dengan media gelang dengan 15 biji yang terbuat dari benang dan bernilai artistic. Karena merupakan sebuah gelang dan dapat digunakan sebagai alat peraga dan terus dapat dipakai siswa setiap hari dengan pemahaman 10 biji-biji Rosario gelang mengingatkan 10 perintah Allah dan 5 biji Rosario gelang tangan mengingatkan 5 perintah gereja dan 5 cara memerangi goliat dalam diri kita umat katolik (termasuk siswa katolik ) agar kuat dalam iman dan moral katolik.

Hal ini dapat dilihat dalam gambar berikut :

Model gelang yang dapat di pakai dan dilepas dengan menarik atau mengencangkan ujung gelang dan dapat di pakai media/sarana berdoa rosario

Dapat dipakai setiap sebagai asesortis gelang dan media penanaman iman

Dapat dipakai untuk pendidikan iman dan moral melalui kegiatan men-drill ingatan siswa. Prosesnya ditempuh melalui proses apresiasi, atau sebagai isi pembelajaran dari tema/sub tema yang yang sesuai ketentuan kurikulum, atau melalui pembahasan khusus tentang pembinaan iman dan moral dasar tradisional gereja katolik. Bahkan sebelum sebuah devosi Rosario dapat direview ingat siswa akan 10 perintah Allah, 5 perintah gereja dan 5 senjata untuk mengalahkan goliath diri siswa.

III. Kesimpulan

Kiranya salah satu model pendidikan iman dan moral katolik dapat dilakukan melalui pendekatan media tersebut diatas dengan maksud :a. Menanamkan (plantation fidei ) kembali nilai nilai iman dan moral gereja katolik yang telah diajarkan gereja katolika. Memperkuat sikap iman siswa dalam pengetahuan iman dan moral gereja yang pokok danmenjadi pedoman hidup siswab. Menjaga ketangguhan iman dan moral siswa sesuai ajaran katolik dalam menghadapi tantangan globalisasic. Memupuk kesadaran siswa dalam mencintai pedoman hidupnya agar bisa membuatnya berarti bagi diri sendiri, sesame dan lingkungan social

1. Saran :a. Guru agama katolik perlu menjelaskan pentingnya pendidikan iman dan moral kepada siswa secara menarik dan semangatb. Memotivasi siswa untuk memiliki dan memakai media pendidikan iman dan moral dalam salah satu contoh gelang Rosario dari benang dan sejenisnyac. Memberi contoh kepada siswa bagaimana caranya memakai media pendidikan iman dan moral tersebut secara konsisten dan berkesinambungan dalam hidup dan kehidupan kesehariannya.

Daftar Pustaka :1. Pendidikan agama katolik dengan pendekatan CTL2. Katekismus gereja katolik, percetakan arnoldus 3. Makalah komunitas basis di pusaran globalisasi

Denpasar; 22 Februari 2015 Pemakalah Pengawas PAKat Tkt Dasar Kota Denpasar

I Nyoman Werna, S.Ag. NIP 196806121998031001