Post on 25-Jul-2015
BAB I
PENDAHULUAN
Seiring dengan lajunya perkembangan pembangunan dan proses
industrialisasi serta meningkatnya jumlah angkatan kerja, maka masalah
perselisihan perburuhan/industrial yang timbul antara pekerja/buruh dengan
pengusaha/majikan merupakan suatu kejadian yang wajar, mengingat berbagai
tipe manusia yang bekerja di perusahaan selalu akan berhadapan dengan
kebijaksanaan pengusaha/majikan. Di satu pihak kebijaksanaan tersebut mungkin
dirasakan sebagai aktivitas yang sangat memuaskan tetapi di lain pihak akan
dirasakan sebagai aktivitas yang kurang memuaskan.
Sehubungan dengan hal tersebut, meski bagaimana baiknya suatu
hubungan kerja yang telah diperjanjikan dan disepakati bersama oleh
pekerja/buruh dan pengusaha/majikan, tetapi masalah perselisihan antara
keduanya akan selalu ada dan bahkan sulit untuk dihindarkan.
Menyadari akibat-akibat yang akan terjadi di kemudian hari yang dapat
merugikan berbagai pihak (pengusaha/majikan, pekerja/buruh, masyarakat dan
pemerintah) maka perlu adanya penataan dan pembinaan yang mendasar dengan
tujuan untuk meghindarkan dan mencegah sejauh mungkin timbulnya perselisihan
perburuhan/ industrial. Makalah ini juga disusun untuk memenuhi Tugas Bahasa
Indonesia pada Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara.
Dasar hukum dalam perselisihan perburuhan/industrial adalah
perselisihan perburuhan/industrial perseorangan yaitu tentang pemutusan
hubungan kerja oleh pengusaha/majikan, yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di perusahaan swasta
beserta Peraturan Pelaksanaannya (Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No.Per-04/MEN/1986 tentang tata cara Pemutusan Hubungan Kerja dan
penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian).
Perselisihan Perburuhan Kolektif yaitu perselisihan antara pengusaha/majikan
dengan Serikat Buruh/Pekerja, yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun
1
1957 tentang Perselisihan Perburuhan/Industrial yang berhubungan dengan
Hubungan Kerja dan syarat-syarat Kerja.
Dalam penulisan makalah ini sumber data diperoleh dari Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara. Dengan metode kepustakaan ini
penulis dapat mengetahui hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang tentang
perburuhan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sebab-sebab Terjadinya Perselisihan Perburuhan
Terjadinya perselisihan dikarenakan adanya pelanggaran disiplin kerja dan
salah pengertian diantara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan, diantaranya:
a. Tidak disiplin masuk kerja, yaitu: datang terlambat dan pulang sebelum
waktunya dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh pengusaha;
b. Tidak cakap atau tidak sanggup melaksanakan petunjuk-petunjuk atasan
mengenai tugas yang diberikan;
c. Menolak melakukan tugas yang dilimpahkan atau menolak melakukan
perintah yang wajar sesuai dengan tata tertib dan peraturan perusahaan;
d. Melakukan suatu tindakan yang tidak terpuji, dengan sengaja mengintip
kamar, sehingga terganggu ketentraman dan kesenangan tamu yang
mengakibatkan kerugian perusahaan;
e. Tidak hormat, menghormati, bertindak kasar/congkak atau memperlihatkan
sikap yang menjengkelkan dan menentang perintah atasan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-05/MEN/1986
tentang: Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu, ditentukan sebagai berikut:
Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu, adalah Kesepakatan Kerja yang berakhir waktunya telah ditetapkan ketika Kesepakatan Kerja itu diadakan, sedangkan untuk Kesepakatan Kerja untuk waktu tidak tertentu, adalah Kesepakatan Kerja yang berakhir waktunya tidak ditentukan/ditetapkan ketika Perjanjian kerja dibuat.1
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan, bahwa Kesepakatan Kerja
Waktu Tertentu (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) haruslah merupakan hubungan
kerja yang timbal balik dari kesepakatan kerja itu yang sifatnya sementara,
musiman bukan merupakan kegiatan pokok perusahaan, dalam arti kata bersifat
hanya untuk menunjang.
1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-05/MEN/1986 tentang: Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu.
3
Namun pelaksanaan Kesepakatan Kerja yang ada di perusahaan
pekerjaannya bersifat permanen, sehingga bertentangan dengan peraturan yang
telah ditentukan, maka oleh Serikat Buruh/Pekerja, sistem kerja yang demikian itu
tidak dikehendaki.
Data yang diperoleh dari sebuah perusahaan patungan selama tahun 1985
sampai dengan tahun 1986 terjadi kasus perselisihan sebanyak 6 (enam) kali, yang
dapat diselesaikan secara Bipartite sebanyak 3 (tiga) kasus dan yang diselesaikan
secara Tripartite sebanyak 3 (tiga) kasus dan setiap kasus memakan waktu satu
bulan.
Adapun kasus-kasus tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
a) Tidak cakap dan tidak sanggup melaksanakan tugas yang diberikan
oleh atasannya sebanyak 1 (satu) kasus.
b) Pengunduran diri dengan alasan telah habis masa kerjanya kontak
sebanyak 3 (tiga) kasus.
c) Tidak menghormati, bertindak kasar/congkak menunjukkan sikap tidak
baik (menjengkelkan) terhadap atasan sebanyak 2 (dua) kasus.
Untuk menghindarkan terjadinya perselisihan yang mengakibatkan
putusnya hubungan kerja ini pengusaha/majikan dan Serikat Pekerja/Buruh telah
ditempuh jalan pendekatan ke masing-masing pihak secara kekeluargaan sehingga
segala persoalan dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah mufakat.
Perselisihan Perburuhan/Industrial ini sering terjadi dikarenakan di dalam
pelaksanaan syarat-syarat kerja yang telah dituangkan dalam Kesepakatan Kerja
Bersama (KKB)/Perjanjian Perburuhan (CLA) belum sepenuhnya dihayati dan
dilaksanakan, karena masing-masing pihak masih selalu mencari kelemahan-
kelemahan untuk kepentingan individunya sehingga belum sesuai dengan sistem
Hubungan Perburuhan/Industrial yang didasari dengan semangat dan jiwa
Pancasila diantaranya:
1. Timbulnya itikad yang kurang baik dari pekerja/buruh maupun pengusaha/majikan itu sendiri yang menyimpang dari Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang telah disepakati bersama.
2. Belum dihayati sikap mental dan sikap sosial pelaku proses produksi, barang dan jasa oleh pengusaha/majikan dan pekerja/ buruh.
4
3. Kurang keterbukaan dari pihak pekerja/buruh maupun pengusaha/majikan, saling curiga mencurigai, cara-cara memaksa kehendak baik melalui intimidasi bersifat fisik maupun fisiologis dan cara-cara yang tidak sesuai dengan kehidupan Hubungan Perburuhan/Industrial Pancasila dewasa ini. 2
Salah satu pedoman sebagai ukuran untuk menentukan kebijaksanaan atau
langkah-langkah yang tepat bagi pengusaha/majikan dan Serikat Pekerja/Buruh di
dalam mencegah timbulnya perselisihan perburuhan yakni dengan menerapkan
pola umum Pelita Keempat, yang berkenaan dengan arah dan kebijaksanaan
pembangunan di segala bidang khususnya di bidang ketenagakerjaan dalam Garis-
Garis Besar Haluan Negara diatur sebagai berikut:
Pembinaan hubungan perburuhan perlu diarahkan kepada terciptanya kerja sama yang serasi antara buruh/pekerja dan pengusaha yang dijiwai oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dimana masing-masing pihak saling menghormati, saling membutuhkan, saling mengerti peranan serta hak dan melaksanakan kewajiban masing-masing dalam keseluruhan proses produksi, serta dalam usaha meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Dalam rangka meningkatkan kelancaran, efisiensi dan kelangsungan hidup perusahaan, pengusaha perlu menjamin pemberian imbalan yang layak secara kemanusiaan dan sesuai dengan sumbangan jasa yang dihasilkan oleh buruh/pekerja. Di samping itu pengusaha wajib memperhatikan peningkatan kesejahteraan para buruh/pekerja berdasarkan kemampuan dan sesuai dengan kemajuan yang dicapai perusahaan. Perusahaan juga berkewajiban bersama- sama dengan Serikat Pekerja/Buruh, disamping Tugas Serikat Pekerja/Buruh memperhatikan nasib Pekerja/Buruh, mengusahakan agar Pekerja/Buruh memiliki kesadaran dalam turut bertanggung jawab atas kelancaran, kemajuan dan kelangsungan hidup perusahaan. Pemerintah mengusahakan terciptanya dan tetap terbinanya hubungan yang serasi antara pengusaha dan Pekerja/Buruh, yang akan lebih mendorong tercapainya kelancaran efisiensi serta kelangsungan hidup perusahaan dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan kesejahteraan buruh dalam perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan perkembangan dan kemajuan perusahaan.3
2 Hartono Widodo dan Judiatoro, Segi Hukum, Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hal.125.3 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, cetakan kesebelas, (Jakarta :
Djambtan,1995), hal. 261.
5
Dengan uraian ini jelas bahwa kebijaksanaan ketenagakerjaan diarahkan
kepada penyaluran, penyebaran dan pemanfaatan tenaga kerja yang lebih baik
dengan hal pembinaan untuk data menciptakan kerja sama yang serasi, sehingga
masing-masing pihak mengerti peranannya serta hak dalam melaksanakan
kewajiban yang memiliki kesadaran dan turut bertanggung jawab atas kelancaran,
kemajuan dan kelangsungan hidup perusahaan.
B. Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa perselisihan perburuhan/ industrial
dapat dibagi menjadi dua, yakni:
a. Perselisihan perburuhan perorangan yaitu pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha/majikan, yang diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1964 tentang PHK di perusahaan swasta beserta peraturan pelaksanannya.
b. Perselisihan Perburuhan Kolektif adalah perselisihan antara Serikat Pekerja/Buruh dengan Pengusaha/Majikan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. 4
Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Perburuhan/Industrial menurut
Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep. 1108/MEN/1986 tentang adalah sebagai
berikut:
1. Tingkat Perusahaan
a) Keluh kesah. Apabila terjadi keluh-kesah tentang segala sesuatu
mengenai hubungan kerja, maka keluhan-keluhan tersebut
disampaikan kepada atasannya, apabila atasannya tidak dapat
menyelesaikan dapat diajukan kepada atasan yang lebih tinggi dan
apabila atasan yang lebih tinggi tidak bisa pula maka baru dimintakan
bantuan Pengurus Serikat Pekerja/Buruh.
b) Perselisihan Hubungan Perburuhan/Industrial. Setiap perselisihan
hubungan perburuhan/industrial yang terjadi di perusahaan harus
dirundingkan secara musyawarah pada Serikat Pekerja/Buruh dengan
4 Padmo Wahjono, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Grafikatama Jaya Nusa Offset,
1987), hal. 282.
6
pengusaha/majikan sebagai awal penyelesaian, tetapi apabila
perundingan di tingkat perusahaan tidak memberikan hasil maka satu-
satunya pihak atau kedua-duanya dapat memberitahukan kepada
Kantor Depnaker.
c) Pemutusan Hubungan Kerja. Dalam rencana PHK, harus dirundingkan
oleh Pengusaha/Majikan dengan Serikat Pekerja/Buruh atau dengan
pekerja/buruh itu sendiri jika perusahaan belum ada Serikat
Pekerja/Buruh.
2. Tingkat Pegawai Perantara;
Bila perusahaan telah melaksanakan perundingan tidak membawa
hasil maka dapat menyerahkan perselisihannya ke Kantor Depnaker
setempat. Apabila Kantor Depnaker telah menerima pemberitahuan dari
perusahaan, maka dalam waktu 7 (tujuh) hari sudah melakukan
pemerantaraan dan proses pemerantaraan tersebut harus selesai dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari.
Apabila pegawai perantara tidak membawa hasil, maka berkas
perkara segera disampaikan kepada Kantor Wilayah yang membawahi
Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat dan hasil pemerantaraan oleh
Kanwil disampaikan kepada P-4 Daerah dalam hal pemutusan hubungan
kerja perseorangan dan disampaikan ke P-4 Pusat dalam hal pemutusan
hubungan kerja massal (10 orang lebih).
Dalam penyampaian laporan harus dibuat berita acara yang memuat:
a) Anjuran disampaikan secara tertulis kepada pihak-pihak yang
berselisih.
b) Laporan berita acara dibuat secara lengkap dalam suatu formulir yang
telah ditentukan, sehingga dapat memberi gambaran dengan jelas dari
materi kasus yang terjadi kepada Kantor Wilayah.
7
3. Tingkat P-4 Daerah (Panitia Penyelesaian Perselisihan Daerah)
P-4 Daerah menyelesaikan perkara perselisihan
perburuhan/industrial yang diajukan oleh Pengusaha/Majikan/ kuasanya
atau oleh Unit Kerja, P-4 Daerah baru menyelesaikan perkaranya apabila
ada permohonan izin PHK dari pengusaha dan pelaksanaannya sesuai
dengan Permen: 04/MEN/1986, disertai bukti perundingan perantaraan
oleh Depnaker Setempat.
4. Tingkat P-4 Pusat (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat)
Penyelesaian Perselisihan (P-4 Pusat) pada prinsipnya
menyelesaikan kasus tingkat Banding yang diajukan oleh
pengusaha/kuasanya atau oleh Serikat Pekerja/Buruh dari hasil keputusan
yang diperoleh dari P-4 Daerah, maka pada prinsipnya P-4 Pusat
menyelesaikan perkara berdasarkan prioritas objek dengan memperhatikan
kelengkapan data, kasus-kasus yang mendesak menurut penilaian Ketua
dan/atau anggota P-4 Pusat atau petunjuk Dirjen Bina Hubungan
Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja serta kasus PHK secara
massal yang telah diselesaikan dengan persetujuan bersama harus
dimintakan pengesahannya ke P-4 Pusat, juga menyelesaikan kasus yang
berkaitan dengan pelaksanaan Undang-undang No. 12 tahun 1964 dan
Permen: 04/MEN/1986, dalam prosedur pemutusan hubungan kerja massal
dengan alasan mangkir tetap dijatuhkan ke-P4 Pusat.
5. Penundaan/Pembatalan Pelaksanaan Pemutusan P-4 Pusat
Sebagai bahan masukan untuk penundaan/pembatalah pelaksanaan
P-4 Pusat, selain mendengar pendapat-pendapat/saran dari Menteri, maka
Menaker dapat pula mendengar pendapat Ketua P-4 Pusat dan apabila
perlu Lembaga Tripartite Nasional.
8
6. Eksekusi dan Penyitaan
Mengingat proses pengujian eksekusi dirasakan berat bagi
pekerja/buruh, maka Depnaker membantu menanggulangi permasalahan
ini sesuai dengan Pasal 26 jo pasal 30 Undang-undang No. 22 Tahun 1957
dan dalam hal keputusan Pengadilan eksekusi terikat di dalamnya masalah
penyitaan pekerja/buruh (Serikat Pekerja/Buruh) dapat meminta kepada
pegawai Pengawas Depnaker berperan aktif dalam membantu
pelaksanaannya dan dalam pelaksanaan Putusan oleh Pegawai Pengawas
sesuai dengan pasal 26 jo pasal 30 Undang-undang No. 22 tahun 1957
tersebut pegawai pengawas wajib melaksanakan tugasnya dengan
mekanismenya dan tanpa mengganggu adanya pengaduan dari pihak-pihak
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perselisihan perburuhan yang timbul marak akhir-akhir ini di Indonesia
disebakan kurangnya keterbukaan para pengusaha untuk memberitahu kepada
para karyawannya/buruh mengenai lingkungan perusahaan-perusahaan dan juga
mengenai jam kerja lembur yang diterapkan oleh perusahaan kadang-kadang tidak
dibayar, mengenai keselamatan dan kesehatan pada pekerja /buruh juga kurang
ditangani dengan serius oleh para pengusaha dan Pemerintah dan juga mengenai
UMR (upah minimum regional) yang oleh para pengusaha masih dibayar dibawah
UMR tidak sesuai dengan UMR.
B. Saran
Hendaknya masalah perselisihan perburuhan di Indonesia sekarang ini
sudah mulai ditangani dengan serius oleh pemerintah dan sebaliknya perselisihan
perburuhan ditangani dengan serius oleh pengusaha sehingga untuk kedepannya
tidak akan ada masalah-masalah yang akan timbul.
Sebaiknya pemerintah bersikap adil dalam menanggapi keluh kesah
karyawan dalam hal pemutusan PHK, karena sering terjadi PHK sepihak yang
banyak merugikan pekerja.
10
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Rahmad Budiono, Abdul, Hukum Perburuhan Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Soepomo, Imam, Pengantar Hukum Perburuhan, cetakan kesebelas, Jakarta: Djambtan, 1995.
Widodo, Hartono, dan Judiatoro, Segi Hukum, Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Jakarta: Rajawali Pers, 1992.
Wahjono, Padmo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Grafikatama Jaya Nusa Offset, 1987.
B. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-05/MEN/1986 tentang: Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu.
11
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan petunjuk dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
tugas tulis ini dengan sebaik-baiknya.
Penulisan makalah ini tidak lain bertujuan untuk menyelesaikan Tugas
Bahasa Indonesia yang diberikan oleh Dosen kepada penulis sebagai Syarat untuk
mengikuti Ujian Akhir Semester pada Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara.
Dengan tersusunnya tugas ini, saya mengucapkan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu kami, baik berupa saran dan pikiran
maupun berupa materi dan saran lainnya.
Menyadari bahwa tugas ini masih belum sempurna, oleh karena itu saya
akan menerima dengan senang dan rendah hati atas saran dan kritik yang
membangun demi sempurnanya tugas-tugas saya selanjutnya.
Jakarta, 23 November 2009
Wang Suwandi
12i
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN....................................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN......................................................................... 3
A. Sebab-sebab Terjadinya Perselisihan.................................... 3
B. Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.................. 6
BAB III : PENUTUP................................................................................... 10
A. Kesimpulan ........................................................................... 10
B. Saran...................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 11
LAMPIRAN
13ii
MASALAH PERSELISIHAN PERBURUHAN DAN TAHAP
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN
Mata Kuliah Bahasa IndonesiaDosen : Dra. Siti Murni
Disusun Oleh:
NAMA : Wang Suwandi
NIM : 205090219
KELAS : U
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA2009
14
LAMPIRAN
Tugas 1
Tema : Perselisihan Perburuhan
Tujuan tema : Untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya perselisihan
perburuhan dan proses penyelesaiannya
Tesis : Masalah perselisihan perburuhan dan tahap penyelesaian
perselisihan perburuhan
Tema : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Pencabulan.
Tujuan tema : Untuk mengetahui peranan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 dalam memberikan perlindungan hukum
korban terhadap anak korban pencabulan.
Tesis : Perlindungan hukum bagi anak korban pencabulan dalam
mewujudkan kesejahteraan anak.
Tema : Perkawinan Dibawah Tangan Menurut Hukum Islam dan
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
Tujuan tema : Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari
pelaksanaan perkawinan dibawah tangan terhadap istri dan
anak
Tesis : Perkawinan dibawah tangan yang sah menimbulkan akibat
hukum bagi suami maupun isteri dan dengan adanya anak
dalam suatu perkawinan maka timbullah kewajiban masing-
masing pihak yaitu hak dan kewajiban anak terhadap orang
tua serta hak kewajiban orang tua terhadap anak yang
sifatnya timbal balik
15
KERANGKA KARANGAN
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : PEMBAHASAN
A. Sebab-sebab Terjadinya Perselisihan
B. Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
16
LAMPIRAN
17