Hukum Adat Yang Masih Berkembang Di Beureunuen Kabupaten Pidie

Post on 23-Oct-2015

178 views 12 download

Transcript of Hukum Adat Yang Masih Berkembang Di Beureunuen Kabupaten Pidie

ADAT YANG MASIH BERKEMBANG DI BEUREUNUEN KABUPATEN PIDIE.

Disusun

Oleh

NAMA : IRFAN RAMADHAN

NIM : 1203101010011

MATA KULIAH : HUKUM ADAT

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

DARUSSALAM BANDA ACEH

2013

ADAT YANG MASIH BERKEMBANG DI BEUREUNUEN KABUPATEN PIDIE.

Aryono Soeyono (1985: 4) mengemukakan bahwa “adat adalah kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan penduduk asli, yang meliputi antara lain mengenai nilai-nilai budaya norma-norma yang aturan-aturan saling berkaitan yang kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan tradisional”.

Selain itu pengertian adat juga tercantum dalam pengantar hukum adat Indonesia, (Roelof Van Djik, 1979: 5) menyatakan bahwa “adat adalah segala bentuk kesusilaan dan kebiasaan orang Indonesia yang menjadi tingkah laku sehari-hari antara satu sama lain”.

Orang Aceh kaya akan adat istiadat, kesenian dan tarian-tarian. Untuk setiap kabupaten mempunyai perbedaan dan variasi masing-masing. Hal ini dapat dilihat pada upacara-upacara perkawinan, kelahiran bayi, turun ke sawah, turun ke laut, peusijuk (tepung tawar), khanduri mauled (maulid Nabi), Nuzulul Quran (17 Ramadhan) dan lain-lain. Sedangkan bentuk budaya dapat dilihat pada tulisan kaligrafi, rumah-rumah adat, meunasah (surau), balee, dayah/tempat pengajian dengan kesenian seperti dalaeil khairat (puji-pujian berbentuk irama), dikee/zikir, nasyid/rebana. Dan motif-motif adat lainnya dapat dilihat pada perhiasan emas, perak, keramik dan ukiran-ukiran berbagai ornament, termasuk pada batu nisan Aceh, ruang pelamin dan aneka pakaian adat (Ismail, Badruzzaman, 2004; 69).

Salah satu adat yang masih berkembang di kecamatan mutiara kabupaten pidie adalah :

1. Peutron Aneuk (turun tanah)

Adat Peutron Anuek ialah kebiasaan masyarakat membawa anak turun ke tanah, upacara ini adalah upacara memperkenalkan seorang bayi untuk pertama kalinya kepada lingkungan masyarakat luas baik di lingkungan itu sendiri seperti sanak saudara (famili) maupun masyarakat luar. Upacara adat ini dilaksanakan ketika bayi berumur 44 hari .

Anak yang telah berumur empat puluh empat hari tersebut diturunkan kehalaman oleh seseorang yang terpandang baik perangai maupun budi pekerti yang sudah lebih dulu diinginkan oleh orang tua si bayi dengan tujuan agar si anak kelak mengikuti jejak orang tersebut, orang yang menggendong memakai pakaian yang islami. Bayi diturunkan dengan dipayungi ija batek (kain gendong berukir batik) dan kaki anak tersebut diinjakkan ke tanah (peugilho tanoh). Pada upacara ini diatas kepala si anak di belah buah kelapa dengan alas kain putih yang dipegang empat orang dengan tujuan agar si bayi tidak takut terhadap suara petir. Dalam pelaksanaannya selalu diiringi dengan mengayunkan sambil mengadakan acara berjanzi (marhaban) dan sekaligus pemberian nama pada anak tersebut

2. Treun U Blang (Turun Ke Sawah)

Adat Treun u Balang ( turun ke sawah) adalah upacara adat yang di laksanakan oleh petani menjelang turun ke sawah, lalu ketika padi berbuah dan sesudah petani memanen padinya, acara ini biasa berbentuk khenduri atau makan bersama.

kenduri yang dilakukan jelang ke sawah sebelum masa penanaman benih dimulai, dikenal satu tradisi yang disebut Khanduri ulee Lhueng atau Babah Lhueng yang dilaksanakan pada saat air dimasukkan ke dalam alur pengairan yang dipimpin oleh seorang Keujren Blang dengan melibatkan para petani yang

memiliki areal persawahan di daerah tersebut,Acara ini di selenggarakan oleh pihak kecamatan dan di ikuti oleh gampong yang ada di kecamatan tersebut.

Kenduri ini di lakukan krueng(sungai) keumala, karena sungai tersebut yang mengairi air untuk sawah di kecamatan mutiara , air di aliri melalui lueng bintang yang konon katanya sungai kecil ini di buat oleh Teungku Chik Di Pasi dengan tongkatnya yang Cuma menggoreskan tongkatnya tanah.

Upacara ini dilaksanakan ritual berupa penyembelihan Qibas (Biori-biri) dan kambing, sebagai sempena dan dilaksanakan pada babah Lhueng (mulut parit) pengairan menuju lahan, sehingga darah yang mengalir ke parit mengalir bersama air ke lahan-lahan persawahan milik petani tadi. para petani semuanya mengambil berkah dan berdoa yang diucapkan agar benih padi yang mereka tanam nantinya akan tumbuh subur, akan mengalir melalui media darah ke setiap petak sawah yang ada.

Lalu ketika padi berbuah acara adatnya di lakukan disawah atau di balee blang (rangkang sawah) dengan membawa bekal dari petani semampunya selanjutya para petani makan bersama dan berdoa agar panen padinya memuaskan. Dan ketika panen di buat acara syukuran di rumah petani.

3. Kenduri Apam

Kenduri Apam (Kenduri Serabi) adalah salah satu tradisi masyarakat Aceh berupa pada bulan ke tujuh (buleun Apam) dalam kalender Aceh. Buleun Apamadalah salah satu dari nama-nama bulan dalam “Almanak Aceh” yang setara dengan bulan Rajab dalam Kalender Hijriah. Buleun artinya bulan dan Apamadalah sejenis makanan yang mirip serabi.

Kegiatan toet apam (memasak apam) dilakukan oleh kaum ibu di rumah masing masing. Biasanya dilakukan sendirian atau berkelompok. Pertama sekali yang harus dilakukan untuk memasak apam adalah top teupong breuh bit (menumbuk tepung dari beras nasi). Tepung tersebut lalu dicampur santan kelapa dalam sebuahbeulangong raya (periuk besar). Campuran ini direndam paling

kurang tiga jam, agar apam yang dimasak menjadi lembut. Adonan yang sudah sempurna ini kemudian diaduk kembali sehingga menjadi cair. Cairan tepung inilah yang diambil dengan aweuek/iros untuk dituangkan ke wadah memasaknya, yakni neuleuek berupa cuprok tanoh (pinggan tanah).

Apam yang telah dimasak bersama kuah tuhe siap dihidangkan kepada para tamu yang sengaja dipanggil/diundang ke rumah. Dan siapapun yang lewat/melintas di depan rumah, pasti sempat menikmati hidangan Khanduri Apam ini. Bila mencukupi, kenduri Apam juga diantar ke Meunasah (surau) serta kepada para keluarga yang tinggal di kampung lain. Begitulah, acara toet Apam diadakan dari rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung lainnya selama buleuen Apam (bulan Rajab) sebulan penuh.

4. Upacara Adat Perkawinan

A. Tahapan Melamar (Ba Ranup)

Ba Ranup merupakan suatu tradisi turun temurun yang tidak asing lagi dilakukan dimana pun oleh masyarakat Aceh, saat seorang pria melamar seorang perempuan.

Untuk mencarikan jodoh bagi anak lelaki yang sudah dianggap dewasa maka pihak keluarga akan mengirim seorang yang dirasa bijak dalam berbicara (disebut seulangke) untuk mengurusi perjodohan ini. Jika theulangke telah mendapatkan gadis yang dimaksud maka terlebih dahulu dia akan meninjau status sang gadis. Jika belum ada yang punya, maka dia akan menyampaikan maksud melamar gadis itu.

Pada hari yang telah disepakati datanglah rombongan orang-orang yang dituakan dari pihak pria ke rumah orangtua gadis dengan membawa sirih sebagai penguat ikatan berikut isinya. Setelah acara lamaran selesai, pihak pria akan mohon pamit untuk pulang dan keluarga pihak wanita meminta waktu untuk bermusyawarah dengan anak gadisnya mengenai diterima-tidaknya lamaran tersebut.

B. Tahapan Pertunangan (Jakba Tanda)

Bila lamaran diterima, keluarga pihak pria akan datang kembali untuk melakukan peukeong haba yaitu membicarakan kapan hari perkawinan akan dilangsungkan, termasuk menetapkan berapa besar uang mahar yang diterima (disebut jeulamee) yang diminta dan berapa banyak tamu yang akan diundang. Biasanya pada acara ini sekaligus diadakan upacara pertunangan (disebut jakba tanda).

Pada acara ini pihak pria akan mengantarkan berbagai makanan khas daerah Aceh, buleukat kuneeng dengan tumphou, aneka buah-buahan, seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga pria. Namun bila ikatan ini putus di tengah jalan yang disebabkan oleh pihak pria yang memutuskan maka tanda emas tersebut akan dianggap hilang. Tetapi kalau penyebabnya adalah pihak wanita maka tanda emas tersebut harus dikembalikan sebesar dua kali lipat.

C. Persiapan Menjelang Perkawinan

Seminggu menjelang akad nikah, masyarakat aceh secara bergotong royong akan mempersiapkan acara pesta perkawinan. Mereka memulainya dengan membuat tenda serta membawa berbagai perlengkapan atau peralatan yang nantinya dipakai pada saat upacara perkawinan.

Menjelang mendekati hari H, calon pengantin wanita akan melakukan upacara kruet andam yaitu mengerit anak rambut atau bulu-bulu halus yang tumbuh agar tampak lebih bersih lalu dilanjutkan dengan pemakaian daun pacar (disebut bohgaca) yang akan menghiasi kedua tangan calon pengantin. Daun pacar ini akan dipakaikan beberapa kali sampai menghasilkan warna merah yang terlihat alami.

D. Tueng Linto Baroe

Pada upacara mempelai linto diberi pakaian adat dan diantar ke rumah dara baroe secara beramai-ramai, dengan didahului oleh para ureung tuha gampong (tokoh masyarakat). Sementara linto diapit oleh remaja yang seusia.

Sebagai bawaan (peuneuwoe) dari pihak linto adalah jeunamee (mahar atau mas kawin) seumpama satu bungkol emas, diisi dalam cerana beserta jinong kunyet dan beras padi. Cenara dibungkus dengan kain sutera kuning yang pada ujung kain diletakkan bohru dari emas, ranup rajeu’ atau ranup peurakan. Dalam adat masyarakat Aceh, bawaan (peuneuwoe) dalam upacara woe linto ini turut membawa berbagai perlengkapan dara baroe, seperti perlengkapan mandi, perlengkapan make up, bakal baju pesta, sepatu, tas, dan sebagainya. Bawaan ini bergantung pada kemampuan linto baroe sebagai tanda kewajiban memenuhi kebutuhan calon istri.

Sesampainya di halaman rumah dara baroe, rombongan linto baroe dijemput (dinantikan) oleh pihak dara baroe. Dalam prosesi ini, pihak linto baroe memberi salam dengan kata-kata bersajak yang disambut pula dengan kata-kata halus bersajak oleh pihak dara baroe. Prosesi ini disebut seumapa yang artinya bertegur-sapa atau berbalas pantun. Namun ada pula yang menambahkan prosesi penyambutan linto baroe dengan tarian tradisional Aceh seperti tari Ranup Lampuan sebagai tarian penyambut tamu (kedatangan rombongan linto baroe). Setelah itu linto dipersilahkan memasuki kediaman dara baroe dan kemudian ditepung tawari, disiram dengan air mawar dan beras padi.

Setelah memasuki rumah dara baroe, linto beserta rombongan dipersilahkan untuk mencicipi hidangan yang telah disediakan oleh pihak dara baroe. Dalam acara jamuan makan ini, linto dipersilahkan duduk dalam sebuah pelaminan kecil dan di dampingi oleh dara baroe untuk makan bersama. Sebagai bentuk kemesraan antara pasangan suami dan istri ini, diadakan proses sulang makanan, yaitu linto menyuapi dara baroe dan sebaliknya.

E.Tueng Dara Baroe

Setelah melalui beberapa hari atau bulan usia perkawinan, pihak dara baroe melakukan prosesi yang sama, biasa disebut upacara tueng dara baroe (mengantar pengantin perempuan) ke rumah linto baroe (pengantin laki-laki). Setibanya di rumah linto baroe, dara baroe dijemput oleh ibu linto baroe dengan ranup batee dan gateng. Sesampainya di sana, dara baroe duduk bersanding dengan linto baroe di singgahsana atau pelaminan kemudian dipeusijuek oleh pihak linto baroe dan teumeutuek (pemberian) yang dilakukan oleh ibu dan kerabat dari linto baroe.

Sementara bawaan (talam) dari dara baroe dalam upacara tueng dara baroe ini yaitu kue-kue tradisional Aceh setidaknya terdiri dari 3 (tiga) jenis hidangan seperti wajeb, dodoi, meuseukat, dan kue-kue kering lainnya seperti bhoi, keukarah, bungong kayee, serta ranup batee. Bawaan (asoe talam) ini nantinya akan dibagi-bagikan kepada sanak keluarga, kerabat, dan tetangga linto baroe. Selanjutnya oleh pihak orang tua linto dihadiahkan benda menurut kemampuan ekonomi kepada dara baroe.

Biasanya pasangan linto baro dan dara baro akan tinggal di rumah pemberian orang tua dari dara baro, apa bila keluarga dara baroe kurang mampu maka paling tidak di kasih satu kamar untuk pasangan ini.

5. Keumaweuh

Adat keumaweuh adalah suatu perilaku adat Aceh dalam hubungan kehamilan “meulintee” (menantu) dalam pernikahan/perkawinan yang sah. Di beberapa, daerah terutama masyarakat Aceh Besar lebih populer dengan sebutan adat “mee bu” atau “ba bu” atau “mee bu meulineum”, bahkan ada yang menyebutnya “mee bu rayeuk”. Kemungkinan pada masyarakat Pidie atau masyarakat lainnya lazim disebut adat keumaweuh.

Adat “mee bu/meulineum” merupakan salah satu prilaku pokok dalam masyarakat adat Aceh. Ini sebagai kehormatan harkat dan martabat keluarga yang

dijunjung tinggi. Bila menantunya mengandung (hamil), kealpaan pelaksana “mee bu” (sengaja atau tidak dapat menimbulkan kareut (aib) dan rasa malu keluarga serta berdampak kepada kaumnya (keluarga besarnya) pada kedua belah pihak (bisanan), baik keluarga suami maupun keluarga istri. “Mee bu”, dari kata mee (mengantarkan) dan bu (nasi). Jadi mee bu maksudnya mengantar seperangkat kemasan nasi dengan lauk-pauk karena kehamilan perkawinan yang sah yang biasanya dilakukan pada bulan keenam atau ketujuh dari kehamilan.

Nasi ini diantar dari keluarga suami untuk istri anaknya/menantu beserta keluarganya. Aktivitas ini dilakukan oleh beberapa kaum ibu yang dipimpin oleh istri kheuchik dan istri teungku/imeum meunasah (jumlah pengantar tergantung besar kecilnya paket mee bu. Perangkat rubeing hidangan itu ditutup dengan tudung saji berisi sebakul nasi biasa, ayam panggang/gulai ayam, daging, gulai ikan/kuah lapeik dan ikan serta lauk-pauk lainnya. Upacara ini berlaku kepada siapa saja (kaya-miskin)sepanjang kehamilan itu sah.

Adat mee bu diawali dilakukan setelah orang tua mengetahui kepastian dan lama kehamilan. Hal itu penting untuk menentukan langkah-langkah adat yangakan ditempuhnya sampai upacara mee bu dilakukan. Dalam masa-masa kehamilan, biasanya bulan ketiga atau keempat, langkah pertama yang dilakukan oleh mertua istri adalah mangantarkan boh kayee (buah-buahan rujak) seperti bohmamplam, meulinggei, meuria, deulima bruek, deulima breuh, boh saoh, boh giri,limeung mesagoe, boh peuteik, dan lainlain atau yang sesuai dengan musim buahseperti: rambutan, langsat, bahkan buah anggur, apel dan lain-lain.