Post on 03-Mar-2019
HUBUNGAN KEPATUHAN BEROBAT DENGAN PERSEPSI PENDERITA
TENTANG TUBERKULOSIS PARU
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Hesty Mellissa
G.0006199
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul: Hubungan Kepatuhan Berobat dengan Persepsi
Penderita tentang Tuberkulosis Paru
Hesty Mellissa, G0006199, Tahun 2010
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari , Tanggal 2010
Pembimbing Utama
Reviono, dr., Sp. P
NIP. 196510302003121001
(.................................)
Pembimbing Pendamping
Rahman, dr.
NIP. 194704171973101001
(.................................)
Penguji Utama
Yusup Subagio Sutanto, dr,, Sp. P
NIP. 195703151983121002 (.................................)
Anggota Penguji
Made Setiamika, dr.,Sp. THT-KL(K)
NIP. 195507271983121002
(.................................)
Surakarta, ..........................
Ketua Tim Skripsi
Sri Wahjono, dr., M.Kes
NIP. 19540824 197310 1001
Dekan FK UNS
Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., MS
NIP. 19481107 197310 1003
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 11 Mei 2010
Hesty Mellissa
NIM.G0006199
ABSTRAK
Hesty Mellissa, G0006199, 2006. Hubungan Kepatuhan Berobat dengan Persepsi
Penderita tentang Tuberkulosis Paru, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas
Maret, Surakarta.
Tujuan : Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang masih tetap
merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Indonesia
menempati urutan ketiga setelah India dan China dalam menyumbang TB di dunia.
Tingginya jumlah tersebut berkaitan dengan masalah penanggulangan TB yang
sangat kompleks. Masalah yang paling utama yaitu rendahnya tingkat kepatuhan
penderita terhadap pengobatan padahal kepatuhan merupakan determinan utama
untuk menentukan keberhasilan pengobatan TB. Ketidakpatuhan terhadap
pengobatan merupakan suatu hal yang sangat problematis karena melibatkan begitu
banyak faktor yang mempengaruhinya seperti kondisi psikologis, persepsi, motivasi,
dan sebagainya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara
kepatuhan berobat dengan persepsi penderita tentang tuberkulosis paru.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2010 di
RSUD Moewardi Surakarta, dengan jumlah sampel 41 orang, yang diambil dari
populasi penderita TB paru dengan teknik pengambilan purposive sampling. Variabel
kepatuhan dan persepsi menggunakan skala nominal yang akan dihitung dengan uji
chi-square menggunakan Statistic Product and Service Solution (SPSS).
Hasil : Data yang diperoleh dari hasil penelitian diatas dianalisis dengan uji chi-
square dengan tingkat signifikansi 0,05 dan derajat kebebasan 1. Diperoleh harga p
value sebesar 0,877. Oleh karena p>0,05 maka Ho diterima dan Hı ditolak yang
artinya tidak terdapat hubungan antara kepatuhan berobat dengan persepsi penderita
tentang tuberkulosis paru.
Simpulan : Penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kepatuhan
berobat dengan persepsi penderita tentang tuberkulosis paru.
Kata Kunci : Kepatuhan berobat – persepsi penderita – tuberkulosis paru
ABSTRACT
Hesty Mellissa, G0006199, 2006. Relationship between Treatment Compliance with
Patient Perceptions of Pulmonary Tuberculosis, Faculty of medical, Sebelas Maret
University, Surakarta.
Purposes : Tuberculosis is a contagius infectious disease that still remains a public
health problem in the world, including Indonesia. Indonesia took the third position
after India and China in contributing TB patients to the world. The high number of
TB population is related to the problem of TB control which is very complex. The
main problem of the complexity is the low level of patient’s adherence to treatment
whereas adherence is the main determinant that contribute to the successful of TB
treatment. Non-adherence to the treatment is very problematic because it involves so
many factors that affects it, such as psychological conditions, perceptions,
motivations, and so forth. This study aimed to analyzed the relationship between
treatment compliance with patient perceptions of pulmonary tuberculosis.
Method : This study was an observasional analytic study with cross sectional
approach. This research was conducted in March 2010 at Surakarta Moewardi
District Hospital (RSUD Moewardi Surakarta), with 41 people for sample, taken
from the population of pulmonary tuberculosis patients using the purposive sampling
technique. The adherence and perception variable using a nominal scale that counted
by chi-square using Statistic Product and Service Solution (SPSS).
Result : Data that obtained from the above results were analyzed with chi-square test
with 0,05 significance level and 1 degree of freedom. The result retrieved the price of
p value was 0,877. Therefore, p value > 0,05, Ho received and Hı rejected which
means that there was no correlation between patient perceptions and the treatment
compliance of pulmonary tuberculosis.
Conclusion : This research concluded that there was no relationship between
treatment compliance with patient perceptions of pulmonary tuberculosis.
Keywords : Treatment compliance – patient perceptions – pulmonary tuberculosis
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan
laporan skripsi dengan judul “Hubungan Kepatuhan Berobat dengan Persepsi
Penderita tentang Tuberkulosis Paru”.
Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam memperoleh gelar sarjana kedokteran. Dalam penyusunan skipsi ini penulis
telah mendapatkan banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka pada
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Allah SWT yang telah memberikan semua nikmat, petunjuk, kesehatan,
kesabaran dankekuatan dalam penyusunan skripsi ini;
2. Yth. Prof. Dr. A. A. Subijanto ,dr., MS, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menyusun skripsi ini;
3. Yth. Sri Wahjono ,dr., MKes, selaku Ketua Tim Skripsi yang telah memberikan
kesempatan dalam penyusunan skripsi ini;
4. Yth. Reviono, dr., Sp. P dan Rahman selaku pembimbing yang telah banyak
membimbing dalam penyusunan skripsi ini sampai selesai;
5. Yth. Yusup Subagio Sutanto ,dr., Sp.P dan Made Setiamika ,dr., Sp.THT-KL(K)
selaku penguji yang telah menguji dan memberi masukan dalam penulisan
skripsi ini;
6. Seluruh staf dan pihak yang membantu penelitian skripsi di Poli Paru RSUD
Moewardi Surakarta.
7. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah mengulurkan kasih sayang, mewariskan
ketegaran dan kesabaran serta menerbitkan harapan di sanubari dalam meraih
asa;
8. Seluruh keluarga yang telah memberi dukungan kepada penulis ;
9. Semua sahabatku yang selalu dalam kebersamaan, berbalut ikhlas terpaut dalam
senyum dan lara;
10. Seluruh pihak yang telah membantu selesainya penyusunan skripsi ini yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangannya,
karena keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi penyempurnaan
penyusunan skripsi ini.
Surakarta, 11 Mei 2010
Hesty Mellissa
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA .......................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ ..1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. ..1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... ..3
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... ..3
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... ..4
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................... ..5
A. Tinjauan Pustaka ............................................................................ ..5
1. Kepatuhan ................................................................................ ..5
2. Persepsi .................................................................................... ..8
3. Hubungan Kepatuhan dengan Persepsi .................................... 17
4. Tuberkulosis Paru .................................................................... 19
5. Hubungan Kepatuhan dengan Tuberkulosis Paru .................... 36
B. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 38
C. Hipotesis ......................................................................................... 38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 39
A. Jenis Penelitian ............................................................................... 39
B. Lokasi Penelitian ............................................................................ 39
C. Subjek Penelitian ............................................................................ 39
D. Teknik Sampling ............................................................................ 40
E. Desain Penelitian ............................................................................ 41
F. Identifikasi Variabel Penelitian ...................................................... 42
G. Definisi Operasional Variabel ........................................................ 42
H. Sumber Data ................................................................................... 45
I. Teknik Analisis Data ...................................................................... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN ......................................................................... 46
BAB V PEMBAHASAN .................................................................................. 51
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 57
A. Simpulan ........................................................................................ 57
B. Saran ............................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 59
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur..……..... 47
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin.... 48
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan Responden…... 48
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Responden Merasakan
sakit........................................................................................... 49
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama
Menjalani Pengobatan .............................................................. 49
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Persepsi Responden............. 50
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepatuhan
Berobat....................................................................................... 50
Tabel 4.8 Tabulasi Silang Hasil Penelitian................................................. 51
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian
Lampiran 2. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Responden
Lampiran 3. Surat Persetujuan Kesediaan Menjadi Responden
Lampiran 4. Kuesioner Penelitian
Lampiran 5. Jadwal Kegiatan Skripsi
Lampiran 6. Data Responden Penelitian
Lampiran 7. Tabel Penghitungan Persepsi
Lampiran 8. Hasil Analisis Data dengan Statistical Product and Service Solution
(SPSS) 16.00 for windows
Lampiran 9. Ethical Clearance
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan proses pembentukan persepsi oleh Yusmar, 1999
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang masih
tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia
(WHO, 2003). Tuberkulosis menjadi masalah dunia karena Mycobacterium
Tuberculosis telah menginfeksi lebih dari sepertiga penduduk dunia, sehingga
WHO mencanangkan kagawatdaruratan global penyakit TB. Dari laporan WHO
tercatat 2 juta penduduk dunia mati karena penyakit TB tiap tahunnya (Anwar,
2003). Hal ini dikarenakan, hanya 68 persen dari penderita TB yang bisa
terdeteksi dan hanya 87 persen di antaranya bisa disembuhkan. Sisanya menjadi
sumber penularan. Satu orang dapat menulari 10-15 orang. Dan 75 persen dari
kasus TB ini terjadi di usia produktif 15-49 tahun (Bahar, 2001).
World Health Organization (WHO) dalam Annual Report on Global TB
Control 2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high-burden
countries terhadap TB. Indonesia termasuk peringkat ketiga setelah India dan
China dalam menyumbang TB di dunia (WHO, 2003). Pada tahun 1999 WHO
memperkirakan terdapat 583.000 kasus baru TB di Indonesia dengan kematian
sekitar 140.000 (Anwar, 2003). Penyakit TB ini menduduki ranking ketiga
1
sebagai penyebab kematian di Indonesia (9,4% dari total kematian) setelah
penyakit sistem sirkulasi dan sistem pernafasan (Depkes RI, 2007).
Menurut WHO, estimasi insidence rate untuk pemeriksaan dahak
didapatkan basil tahan asam (BTA) positif adalah 115 per 100.000 (WHO,
2003). Sedangkan di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil survei prevalensi
tuberkulosis tahun 2004 menunjukan bahwa angka prevalensi tuberkulosis Basil
Tahan Asam (BTA) positif secara nasional adalah 110 per 100.000 penduduk
(Depkes RI, 2007).
Tingginya jumlah tersebut tentunya berkaitan erat dengan masalah
penanggulangan tuberkulosis yang sangat kompleks. Masalah antara lain
disebabkan jumlah penderitanya yang banyak dan penyebarannya yang mudah,
tetapi masalah terpenting yang sering timbul adalah tingkat kepatuhan penderita
terhadap pengobatan yang rendah. Hal ini berhubungan dengan lamanya waktu
pengobatan yang sedikitnya memakan waktu enam bulan. Pada TB kepatuhan
dihubungkan dengan minum obat dan kontrol teratur untuk perawatan pasien
TB. Sementara biasanya setelah makan obat selama dua bulan, pasien malas
meneruskan pengobatan karena merasa sembuh dan tidak merasakan gejala lagi.
Padahal kalau pengobatan berhenti di tengah jalan, maka bukan saja
penyakitnya tidak sembuh dengan tuntas, tetapi juga menyebabkan bakteri TB
menjadi kebal terhadap obat yang digunakan (Messwati dan Rahmawati, 2008).
Pada satu uji klinis menyebutkan kira-kira 50% partisipan pasien TB
termasuk kelompok yang tidak patuh (Cohen dan Durham, 1995). Kepatuhan
memang merupakan satu hal yang problematis, karena melibatkan begitu
banyak faktor yang ikut mempengaruhi ketidakpatuhan pasien. Salah satu faktor
yang mempengaruhi patuh atau tidaknya pasien dalam menjalani pengobatan
adalah persepsi pasien tentang penyakit yang sedang dideritanya.
Ketidakberhasilan pengobatan banyak disebabkan oleh persepsi yang salah dari
masyarakat, khususnya penderita TB itu sendiri. Masih terdapat anggapan
bahwa penyakit tuberkulosis adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
sehingga mereka malas untuk datang ke rumah sakit dan sering tidak patuh
dalam menjalani pengobatan (Patmawati, 2002).
Berdasarkan hal yang tersebut di atas, penulis ingin meneliti apakah ada
pengaruh persepsi penderita tentang tuberkulosis paru terhadap kepatuhan
berobat di RSUD dr.Moewardi Surakarta.
B. Perumusan Masalah
Atas dasar latar belakang masalah tersebut di atas, rumusan masalah
secara umum dalam penelitian ini adalah “Adakah hubungan antara kepatuhan
berobat dengan persepsi penderita tentang tuberkulosis paru ?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya hubungan antara
kepatuhan berobat dengan persepsi penderita tentang tuberkulosis paru.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan bagi peneliti selanjutnya
sebagai landasan untuk meneliti aspek lain tentang kepatuhan
berobat pada pasien TB paru.
b. Dapat memberikan masukan tentang hubungan persepsi pasien TB
paru tentang penyakitnya dengan kepatuhan berobat berupa saran
dan harapan yang luas bagi peningkatan dan pengobatan di RS
dr.Moewardi.
c. Dapat memberikan kontribusi dan informasi terhadap upaya
mengurangi kasus tuberkulosis bagi masyarakat.
2. Manfaat Aplikatif
Diharapkan dengan mengetahui adanya pengaruh persepsi penderita
tentang penyakit tuberkulosis paru yang diidapnya terhadap kepatuhan
berobat dapat berguna bagi semua pihak untuk memberikan perhatian
lebih pada pasien TB dengan tingkat kepatuhan yang rendah sehingga
kejadian putus obat dapat berkurang dan dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam pengambilan kebijakan program penanggulangan TB
agar lebih efektif dan efisien.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kepatuhan
a. Definisi
Kepatuhan, yang juga dikenal sebagai ketaatan, dalam
pengobatan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis
dari dokter yang mengobatinya (Kaplan dan Sadock, 1997).
Kepatuhan berobat adalah suatu tindakan atau perbuatan untuk
bersedia melaksanakan aturan pengambilan obat sesuai dengan
jadwal yang ditetapkan. Kepatuhan penderita dilandasi oleh
kesadaran akan resiko kesehatan pribadi, mau dan mampu
melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk mengurangi bahaya
kesehatan. Kepatuhan penderita terhadap pengobatan secara teratur
merupakan faktor utama keberhasilan pengobatan. Kepatuhan
pengobatan diukur dari kesesuaiannya dengan aturan yang
ditetapkan dengan pengobatan lengkap sampai selesai dalam jangka
waktu enam bulan (Yessica, 2004). Pengobatan tuberkulosis paru
membutuhkan kesabaran dan pengertian penderita. Karena lamanya
jangka waktu pengobatan penyakit ini, sangat dibutuhkan cara-cara
5
yang baik untuk menimbulkan motivasi di pihak penderita untuk
berobat dengan teratur. Sering sekali kegagalan terjadi karena
penderita tidak mau mengikuti program pengobatan yang dirasakan
membosankan (Fordiastiko, 1995). Akan tetapi sulit untuk
memprediksi penderita mana yang mempunyai tingkat kepatuhan
yang bagus dan yang tidak meminum obatnya (Soedarsono, 2002).
Kebanyakan studi mengaitkan ketidakpatuhan dengan cara
pengobatan yang tidak benar, misalnya tidak minum cukup obat,
minum obat tambahan tanpa resep dokter dan sebagainya (Smet,
1994).
Buckalew dan Sallis menyatakan bahwa dari 750 juta resep
baru yang dikeluarkan tiap tahun, ternyata hampir 520 jutanya
menunjukkan ketidakpatuhan pasien dalam memenuhi apa yang
tercantum dalam resep (Taylor, 1995). Padahal ketidakpatuhan
minum obat merupakan penyebab utama meningkatnya kuman
resisten obat. Keadaan ini menyebabkan penderita menjadi sumber
penularan ke sekitarnya dengan kuman resisten obat. Kegagalan
pengendalian TB akibat ketidakpatuhan penderita berdampak
terhadap kegagalan pemberantasan TB paru (Amryl, 2002).
b. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kepatuhan
Hal paling penting yang mempengaruhi kepatuhan adalah
keputusan pasien untuk mau melaksanakan pengobatan dengan
benar. Sadar akan resiko penyakitnya dan keyakinan pada
keberhasilan terapi yang diberikan akan meningkatkan kepatuhan
pasien ke tingkat yang lebih baik (Sarafino, 1990).
Beberapa faktor yang berhubungan kepatuhan yaitu :
1) Faktor Obat
a) Lama pengobatan
b) Cara pemberian obat
c) Kompleksiti regimen pengobatan
d) Efek samping obat
2) Faktor Penderita
a) Usia
b) Persepsi tentang penyakitnya
c) Motivasi
d) Keterbatasan
e) Efikasi yang diterima penderita
3) Faktor Ekonomi
4) Hubungan Dokter-Pasien (Amryl, 2002)
2. Persepsi
a. Definisi Persepsi
Secara etimologis persepsi atau dalam bahasa inggris disebut
Perception berasal dari bahasa latin perseptio, dan parcipere yang
artinya menerima atau mengambil. Dalam arti sempit persepsi
adalah penglihatan bagaimana seseorang memandang sesuatu.
Sedangkan secara umum, persepsi dapat dijelaskan sebagai proses
ketika seseorang menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang
mempengaruhi indra seseorang (Sobur, 2003).
Berdasarkan Sarlito dalam Widodo (2004) persepsi merupakan
bentuk opini dari setiap orang. Pengertian persepsi adalah proses
pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh
informasi tersebut adalah penginderaan yaitu penglihatan,
pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa.
Berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi
adalah proses organisasi, interpretasi obyek yang diamati dan
dievaluasi sebagai suatu yang bermakna bagi diri seseorang juga
merupakan pandangan yang bersifat pribadi. Persepsi dapat muncul
dengan bantuan alat indra baik melalui indera pendengar,
penglihatan, peraba, penciuman, dan perasa. Persepsi juga muncul
karena dorongan pengetahuan yang diperkuat pengalaman dan
pengalaman dan pengamatan yang dilakukan oleh seseorang.
Dalam penelitian ini, yang akan diteliti adalah persepsi
penderita TB terhadap penyakitnya. Yang akan ditanyakan pada
penderita TB adalah pandangan pasien seputar penyakit TB, seperti
penyebab TB, gejala/ tanda-tanda penyakit TB, apakah TB itu
penyakit menular, apakah TB itu penyakit keturunan, bagaimana
cara penularan dan pencegahan penularan TB, apakah penyakit TB
itu dapat disembuhkan, apakah dapat menyebabkan kematian,
apakah penyakit musiman, atau pertanyaan yang membahas
pandangan terhadap pengobatan seperti jangka waktu pengobatan,
adakah hubungan kepatuhan berobat dengan kesembuhan, apakah
pasien boleh berhenti minum obat sebelum dinyatakan sembuh dan
pertanyaan seputar obat yang diminumnya. Dan dapat ditambahkan
pertanyaan yang bersifat sosial untuk mengetahui pandangan atau
persepsi pasien tersebut dari segi sosial, misalnya apakah pasien
tersebut merasa terkucil dari masyarakat karena penyakitnya atau
tidak, bagaimana dukungan dari keluarga, atau pun pertanyaan
seputar pekerjaan.
b. Proses terjadinya persepsi
Proses terjadinya persepsi ada enam tahapan (Sobur, 2003) :
1) Proses penerimaan rangsang.
Proses pertama dalam persepsi ialah menerima
rangsangan atau data dari berbagai sumber melalui panca indra.
2) Proses menyeleksi rangsangan
Setelah diterima, rangsangan atau data diseleksi. Dua
faktor yang menentukan seleksi rangsangan adalah faktor
intern dan faktor ekstern.
a) Faktor intern
Yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan diri sendiri
(1) Kebutuhan psikologis : Pengaruh persepsi terhadap
kebutuhan psikologis akan menyebabkan seolah-
olah ia melihat sesuatu yang telah ia persepsikan di
alam nyata walaupun sebenarnya tidak ada.
(2) Latar belakang keluarga : Latar belakang keluarga
seseorang akan mempengaruhi bagaimana
persepsinya berdasarkan apa yang telah ia ketahui.
(3) Pengalaman : Pengalaman yang baik atau pun
buruk akan mempengaruhi persepsinya pada
sesuatu hal berdasarkan pengalamannya.
(4) Kepribadian : Orang biasanya lebih nyaman bergaul
dengan orang yang berkepribadian sama.
(5) Sikap dan kepercayaan umum : Sikap dan
kepercayaan umum yang dimiliki seseorang akab
menyebabkan ia lebih memperhatikan hal tersebut
dibandingkan orang lain.
(6) Penerimaan diri : Seseorang yang lebih ikhlas
menerima dirinya lebih cepat menyerap sesuatu
dibandingkan dengan orang yang kurang ikhlas
menerima realitas dirinya
b) Faktor ekstern
(1) Intensitas : Semakin tinggi tingkat intensitas maka
akan semakin banyak mendapatkan tanggapan
(2) Ukuran : Sesuatu yang lebih besar lebih menarik
perhatian
(3) Kontras : hal yang lain dari biasanya akan lebih
menarik dibandingkan dengan biasanya.
(4) Gerakan : hal yang bergerak lebih menarik
perhatian dari hal yang diam
(5) Ulangan : biasanya hal-hal yang berulang dapat
menarik perhatian
(6) Keakraban dan sesuatu yang baru
3) Proses pengorganisasian
Tiga dimensi utama dalam pengorganisasian ransangan, yakni
pengelompokkan, bentuk timbul dan latar, dan lemantapan
persepsi.
4) Proses penafsiran : Penafsiran dilakukan melalui proses analisa
dengan memberikan arti pada berbagai data dan informasi yang
diterima.
5) Proses pengecekan : Melakukan pengecekan untuk memastikan
hasil penafsiran benar atau salah. Pengecekan dilakukan secara
kontinu.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Widodo, 2004)
1) Perhatian, biasanya seseorang tidak menangkap seluruh
rangkaian yang ada disekitarnya sekaligus, tetapi hanya
memfokuskan pada satu obyek saja.
2) Set, yaitu harapan seseorang akan rangkaian yang mungkin
timbul.
3) Kebutuhan-kebutuhan seseorang yang sifatnya sesaat atau
menetap.
4) Sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh
pula pada persepsi.
5) Ciri kepribadian yang beda.
6) Gangguan kejiwaan yang dapat menimbulkan kesalahan
persepsi.
d. Proses kognitif dalam persepsi
Sistem persepsi tidak menerima masukan secara pasif tapi
berupaya untuk mencari penghayatan yang paling sesuai dengan data
sensorik. Dalam beberapa situasi, hanya terdapat satu penafsiran data
sensorik yang masuk akal dan pencarian terhadap penghayatan yang
cepat, berlangsung begitu cepat secara otomatik sehingga hal itu
tidak disadari (Rita, 1999).
Yusmar (1999) berpendapat bahwa persepsi dipengaruhi oleh
lingkungan. Lima tingkatan analisis pada masyarakat dan
hubungannya dengan lingkungan :
1) Merasa cinta dengan lingkungannya
2) Orientasi spasial dalam lingkungannya
3) Menkategorikan serta mengelompokkan fenomena lingkungan
4) Mensistematikkan ciri-ciri lingkungan dalam hubungan sebab
akibat
5) Memanipulasi lingkungan
e. Kepribadian
Definisi kepribadian secara umum diartikan sebagai
karakteristik psiklogis seseorang yang menentukan pola perilakunya
Feist (2002) di bukunya Theories of Personality menjelaskan bahwa
secara spesifik kepribadian terdiri dari sifat-sifat atau disposisi-
disposisi yang mengakibatkan perbedaan individu dalam perilaku.
Kepribadian juga merupakan organisasi dinamis sistem psikofisik
dalam diri individu yang menentukan karakteristik perilaku dan
pikirannya.
Kepribadian dapat tumbuh sebagaimana digambarkan dalam
teori-teori kepribadian yang berorientasi pada pertumbuhan.Salah
satunya menggambarkan pertumbuhan kepribadian secara bertahap,
yaitu teori Hierarki kebutuhan Maslow. Menurut Maslow, ada
dasarnya manusia terdorong untuk mengaktualisasi diri. Kepribadian
orang yang telah mengaktualisasi diri. Kepribadian orang yang telah
menaktualisasi diri. Berkembang sangat khas, lengkap denagn
spriritualitas yang juga berkembang (Feist, 2002).
Menurut spenger berdasarkan kuat lemahnya nialai-nilai dalam
diri seseorang, R.spenger membagi watak/kepribadian manusia
menjadi 6 tipe, yaitu :
1) Manusia teori : orang-orang ini berpendapat ilmu
pengetahuan paling penting
2) Manusia ekonomi : nilai-nilai sosial paling mempengaruhi
jiwanya
3) Manusia politik : nilai yang terpenting bagi orang ini ialh
politik
4) Manusia seni : jiwa orang ini selalu dipengaruhi oleh
nilai-nilai kesenian
5) Manusia saleh : orang ini pecinta nilai-nilai agama
Mengukur kepribadian
Cara mengukur meneyelidiki kepribadian ada bermacam-
macam antara lain :
1) Observasi
Menilai kepribadian dengan observasi yaitu dengan cara
mengamati/memperhatikan langsung tingkah laku serta
kegiatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan terutama
sikapnya, caranya, bicara, kerja, dan juga hasilnya.
2) Wawancara (interview)
Menilai kepribadian dengan wawancara, berarti
mengadakan tatap muka dan berbicara dari hati ke hati dengan
orang yang dinilai.
3) Inventory
Inventory adalah sejenis kuesioner (pertanyaan tertulis)
yang harus dijawab leh responden secara ringkas, biasanya
mengisi kolom jawaban dengan tanda cek.
4) Teknik proyektif
Cara lain mengukur atau menilai kepribadian dengan
menggunakan teknik proyektif. Anak atau orang yang dinilai
akan memproyeksikan pribadinya melalui gambar atau hal-hal
lain yang dilakukannya.
5) Biografi dan Autobiografi
Riwayat hidup yang ditulis orang lain (biografi) dan
ditulis sendiri (autobiografi) dapat juga digunakan untuk
menilai kepribadian.
6) Catatan harian
Catatan harian seseorang berisikan kegiatan-kegiatan
yang akan dilakukan sehari-hari, dapat juag dianalisis dan
dijadikan bahan penelitian kepribadian seorang (Feist, 2002).
f. Pengalaman
Definisi pengalaman adalah konsep umum yang berisi
pengetahuan dan ketrampilan dalam pengamatan suatu hal atau suatu
kegiatan yang diperoleh dengan cara yang sulit atau melalui
penyelidikan. Macam-macam pengalaman mencakup pengalaman
secara fisik, mental, emosi,dan spiritual (Wikipedia, 2008).
g. Skema pembentukan persepsi
Gambar 1. Bagan proses pembentukan persepsi oleh Yusmar, 1999
3. Hubungan Kepatuhan Dengan Persepsi
Berdasarkan data terakhir yang didapat ada 583.000 penderita setiap
tahunnya, setiap satu penderita tuberkulosis positif dapat menularkan pada
10-15 orang penduduk setiap tahun. Keberhasilan pengobatan tuberkulosis
di Indonesia hingga saat ini baru sekitar 10-20% (Patmawati, 2002).
Bergantung pada pengalaman, agama,
norma, nilai.
= permanent memory atau mental
representation
respon selection interpretation respon
Clouse (pelengkap)
Persepsi masyarakat, khususnya penderita merupakan salah satu
faktor penting dalam keberhasilan pengobatan TB. Ketidakberhasilan
pengobatan selama ini diduga karena ada persaan malu saat menderita
penyakit tuberkulosis, sehingga mereka malas ke Rumah Sakit dan ada
anggapan bahwa penyakit Tuberkulosis tidak dapat disembuhkan. Persepsi
penderita tentang tuberkulosis yang tidak dapat disembuhkan ini dapat
menurunkan tingkat kepatuhan dalam menjalani pengobatan. Padahal
kepatuhan pengobatan memegang peranan penting dalanm keberhasilan
pengobatan TB (Patmawati, 2002).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amirah Novaliani
(2003), menyebutkan bahwa persepsi masyarakat tentang TB paru masih
bervariasi. Namun, masih banyak diantara mereka (sekitar 48%) yang
belum memiliki persepsi yang tepat, antara lain mengenai gejala,
penyebab, cara pencegahan, pengobatan dan penularan penyakit
tuberkulosis.
Persepsi yang salah ini dapat menurunkan tingkat kepatuhan yang
juga akan berdampak pada meningkatnya resistensi obat. Kejadian
resisitensi obat dapat mempersulit keberhasilan pengobatan TB. Maka dari
itu butuh persepsi yang tepat dari penderita tentang penyakit tuberkulosis
yang dideritanya agar dapat membantu memperlancar proses kesembuhan
penderita dan meningkatkan angka keberhasilan pengobatan (Salim,
2001).
4. Tuberkulosis paru
a. Pengertian tuberculosis paru
TB adalah penyakit infeksi menular dan menahun yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis, kuman
tersebut biasanya masuk kedalam tubuh manusia melalui udara
(pernafasan) kedalam paru-paru, kemudian kuman tersebut
menyebar dari paru-paru ke organ tubuh yang lain melalui
penyebaran darah, kelenjar limfe, saluran pernafasan, penyebaran
langsung ke organ tubuh lain. (Somantri, 2008).
b. Penyebab Tuberkulosis Paru
Penyakit TB disebabkan oleh kuman tahan asam
Mycobacterium Tuberculosis. Mycobacterium Tuberculosis adalah
sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan
tebal 0,3-0,6 um. Sebagian besar dinding kuman terdiri dari lipid,
kemudian peptidoglikan, arabinnomannan. Lipid inilah yang
membuat kuman lebih tahan terhadap asam sehingga disebut bakteri
tahan asam (BTA) dan juga lebih tahan terhadap gangguan kimia
dan fisis. Kuman dapat hidup pada udara kering maupun keadaan
dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi
karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini
kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis
menjadi aktif kembali. Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai
parasit intraselular yakni sitoplasma dalam makrofag. Makrofag
yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena
banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat
ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang
tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada
bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian
apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis. Jika
kuman terlindung dari panas dan sinar ultraviolet, kuman ini dapat
hidup di luar host selama berbulan-bulan. Temperatur optimum
untuk tumbuh adalah 37 derajat Celcius dan tidak menghasilkan
endotoxin maupun exotoxin.Sifat pertumbuhannya lambat dengan
waktu regenerasi berjam-jam bila dibandingkan kebanyakan dengan
bakteri lain yang hanya membutuhkan waktu dalam hitungan menit
(McNicol et al., 1995).
c. Cara Penularan
Proses terjadinya infeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis
biasanya secara inhalasi. Cara penularan penyakit ini sebagian besar
melalui inhalasi dari “Droplet Nucles” yang merupakan partikel 1-10
mikron, dikeluarkan oleh penderita penyakit TB dengan cara batuk-
batuk, bersin, bicara, penderita meludah ke tanah kemudian kuman
tersebar ke udara. Oleh karena itu penyakit ini disebut “Airbone
Infection”. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke
dalam saluran pernafasan. Selain melalui inhalasi droplet, kuman
juga dapat masuk melalui kulit walaupun kasusnya jarang (Hisyam,
2000).
Seseorang beresiko terinfeksi bila terjadi kontak erat secara
terus menerus dengan penderita. Akan tetapi sebagian besar dari
orang yang terinfeksi tidak akan terjadi penderita tuberkulosis, hanya
10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi
penderita tuberkulosis adalah daya tahan tubuh rendah, diantaranya
karena gizi buruk atau HIV/AIDS disamping faktor pelayanan
kesehatan yang belum memadai (Sulianti, 2007). Selama daya tahan
tubuh kuat dan bakteri yang masuk tidak terlalu banyak beberapa
bakteri dengan sendirinya akan mati oleh sel darah putih.Jutaan
manusia sebenarnya hidup dengan kuman TB tanpa harus menjadi
sakit, namun apabila daya tahan tubuh menurun, seperti pada
penderita HIV, DM, perokok, alkoholik, kanker, dan gagal ginjal
kuman tuberkel dapat bangkit memperbanyak diri dan menyerang
organ tubuh (Selamihardja, 1998).
d. Patogenesis
Ketika kuman Mycobacterium Tuberkulosis mencapai paru,
organisme akan dimakan oleh makrofag dan keduanya akan mati
atau bertahan dan kemudian berkembang (Chessnut dan Prendergast,
2002).
Selama beberapa hari atau minggu, basil tumbuh secara lambat
membelah diri di dalam makrofag. Jika makrofag tersebut pecah
maka monosit di dalam aliran darah akan ditarik menuju tempat
tersebut dan memakan basil-basil yang dikeluarkan oleh makrofag
yang pecah. Pada stadium awal ini infeksi biasanya asimptomatis
(Sutomo et al., 2004).
Dua sampai empat minggu setelah infeksi, terdapat respon dari
tubuh inang terhadap pertumbuhan basil-basil, yaitu respon
kerusakan
jaringan yang diakibatkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe
lambat (DTH) dan respon cell mediated immunity (CMI), yang
mengaktifkan makrofag yang mampu membunuh serta memakan
basil tersebut. Dengan pembentukan imunitas spesifik dan
pengumpulan sejumlah besar makrofag yang diaktifkan (actived
makrofag) pada tempat lesi primer maka terbentuklah tuberkel
(Gohn focus). Imunitas spesifik ini kan membatasi makrofag yang
tidak teraktifasi dan membentuk nekrosis perkejuan di mana basil
tidak mudah lagi untuk bermultiplikasi. Meskipun demikian, basil-
basil ini dapat bertahan hidup dalam keadaan tidur (dormant).
Populasi tuberkel (Gohn focus) mungkin stabil dalam periode yang
lama,yaitu beberapa tahun bahkan sepanjang hidup penderita
(Sutomo et al., 2004).
Pada beberapa kasus, respon makrofag yang teraktifasi akan
memburuk dan hanya reaksi DTH-lah yang menghambat
pertumbuhan mikrobakteri, yaitu berupa kerusakan jaringan. Lesi
yang terbentuk cenderung membesar. Pada pusat lesi, materi
perkejuan akan mencair dan untuk pertama kalinya proliferasi ekstra
seluller akan terjadi. Materi perkejuan yang akan mencair ini
mengandung sejumlah besar basil yang akan dialirkan melalui
bronkus dan terbentuklah suatu kavitas. Di kavitas ini, basil dapat
dengan mudah bermultiplikasi dan dapat menyebar melalui saluran
udara dan lingkungan luar melalui sputum yang dibatukkan (Sutomo
et al., 2004).
Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan
mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang
dapat menimbulkan lesi dari berbagai organ. Jenis penyebaran ini
dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh
sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut
yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila
fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme
masuk ke dalam sistem vaskuler dan tersebar ke organ-organ tubuh
(Price, 1995).
1) Gejala Klinis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik.
Gejala Respiratorik :
a) Batuk terus-menerus 3 minggu atau lebih
b) Dahak bercampur darah
c) Batuk berdarah
d) Sakit dinding dada
e) Napas pendek
f) Wheezing lokal
g) Sering flu
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi,dari mulai tidak
ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas
lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up.
Bila Bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama
terjadi karena iritasi bronkus dan selanjutnya batuk diperlukan
untuk membuang dahak keluar.
Gejala sistemik :
a) Berat badan turun
b) Demam dan berkeringat
c) Rasa lelah
d) Hilang nafsu makan (Crofton et al., 2002)
2) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum : jelas kelihatan sakit, sangat kurus,
pucat, tampak kemerahan.
b) Demam : bermacam-macam jenis, mungkin hanya
kenaikan suhu ringan pada malam hari, suhu
mungkin tinggi atau tidak teratur dan
seringkali tidak ada demam.
c) Nadi : Pada umumnya meningkat seiring dengan demam
d) Jari-jari tabuh : Pada pasien dengan penyakit yang luas
e) Dada : sering kali tidak ada tanda-tanda abnormal.Yang
paling umum adalah krepitasi halus di bagian
atas pada satu atau kedua paru. Suara ini
terdengar khususnya ketika menarik nafas dalam
sesudah batuk.Kemudian mungkin terdapat
perkusi pekak atau pernafasan bronkial pada
bagian atas kedua paru.Kadang-kadang terdapat
wheezing terlokalisasi disebabkan oleh bronkitis
tuberkulosis atau tekena kelenjar limfe pada
bronkus.Pada tuberkulosis kronis dengan banyak
fibrosis, jaringan parut itu mungkin menarik
trakhea atau jantung ke salah satu sisi.Pada
setiap tahapan mungkin terdapat tanda-tanda
fisik akibat cairan pleura (Crofton et al., 2002).
3) Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat
ditegakkan dengan ditemukannya BTA(Bakteri Tahan Asam)
pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaanya dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari
tiga spesimen SPS (dahak sewaktu-pagi-sewaktu) BTA
hasilnya positif.
Bila hanya satu spesimen yang positif perlu diadakan
pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau
pemeriksaan dahak SPS diulangi.
a) Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka
penderita didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA
positif.
b) Kalau hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis, maka
pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan
antibiotik spektrum luas (misalnya Kotrimoksasol atau
amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan,
namun gejala klinis tetap mencurigakan tuberkulosis, ulangi
pemeriksaan dahak SPS.
a) Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita
tuberkulosis BTA positif.
b) Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto
rontgen dada, untuk mendukung diagnosis tuberkulosis.
c) Bila hasil rontgen mendukung tuberkulosis, sebagai
penderita tuberkulosis BTA positif.
d) Bila hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis,
penderita tersebut bukan tuberkulosis.
Pada UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) yang tidak
memiliki fasilitas rontgen, maka penderita dapat dirujuk untuk
foto rontgen dada (Depkes RI, 2007).
4) Pemeriksaan Radiologis
Gambaran radiologis pada tuberkulosis paru dapat
terlihat dalam berbagai bentuk. Secara klasik, gambaran
tuberkulosis yang aktif adalah gambaran infiltrat dan kavitas
serta gambaran tidak aktif ditunjukkan oleh adanya fibrosis dan
klasifikasi (Aditama, 1997).
5) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan darah
b) Pemeriksaan lain, seperti PCR, light producing
Mycobacteriophage (Thabrani, et al., 2003).
6) Uji Tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi
infeksi TB dengan prevalensi infeksi tuberkulosis rendah. Uji
ini akan mempunyai makna apabila didapatkan konversi dari
uji yang dilakukan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji
yang didapat besar sekali (Thabrani et al., 2003).
7) Klasifikasi tuberkulosis :
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi tuberkulosis
dalam 4 kategori, yakni :
a) Kategori 1, ditujukan terhadap :
(1) Kasus baru dengan sputum positif
(2) Kasus baru pasien tuberkulosis berat dengan
sputum negatif atau punya penyakit TB ekstra
pulmoner
b) Kategori 2, ditujukan terhadap :
(1) Kasus kambuh
(2) Kasus gagal dengan BTA positif
c) Kategori 3, ditujukan terhadap :
(1) Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang
tidak luas
(2) Kasus tuberkulosis ekstrapulmoner selain
kategori 1
d) Kategori 4, ditujukan terhadap :
Tuberkulosis kronik (Bahar, 2001)
e. Pengobatan TB
1) Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan
rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis) (Depkes RI, 2007).
2) Jenis OAT
Obat utama terdiri dari :
a) Isoniazid (H)
b) Rifampisin (R)
c) Pirazinamide (Z)
d) Streptomicyn (S)
e) Ethambutol (E)
Jenis obat tambahan adalah :
a) Kanamisin
b) Kuinolon
c) Derifat Rifampisin
d) INH (Depkes RI, 2007)
3) Paduan OAT di Indonesia
WHO dan IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) merekomendasikan paduan
OAT standar, yaitu:
a) Kategori 1:
(1) 2HRZE/4H3R3
(2) 2HRZE/4HR
(3) 2HRZE/6HE
b) Kategori 2:
(1) 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
(2) 2HRZES/HRZE/5HRE
c) Kategori 3:
(1) 2HRZ/4H3R3
(2) 2HRZ/4HR
(3) 2HRZ/6HE
Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia
menggunakan paduan OAT:
a) Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
b) Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
c) Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Di samping ketiga kategori ini, disediakan paduan obat
sisipan (HRZE). Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk
paket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian
obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan
sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) penderita dalam
satu (1) masa pengobatan.
a) Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin
(R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E). obat-obat
tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE).
Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri
dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), diberikan tiga kali
dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk:
(1) Penderita baru TBC paru BTA positif
(2) Penderita TBC paru BTA positif rontgen positif
yang “sakit berat”
(3) Penderita TBC ekstra paru berat.
b) Kategori 2 ( 2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang
terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R),
Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) dan suntikan
streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan
dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z)
dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan
dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan
bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita
selesai menelan obat.
Obat ini diberikan untuk:
(1) Penderita kambuh (relaps)
(2) Penderita gagal (failure)
(3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after
default).
c) Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap
hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap
lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk:
(1) Penderita baru BTA positif dan rontgen positif sakit
ringan
(2) Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar
limfe (limfadenitis), pleuritis
(3) eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar
adrenal.
OAT sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru
BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif
pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak
masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari
selama 1 bulan (Depkes RI, 2007).
4) Prinsip Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-
prinsip sebagai berikut:
a) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa
jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai
dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
b) Untuk menjamin kepatuhan pasian menelan obat,
dilakukan pengawasan langsung (DOT= Directly
Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan
Obat (PMO).
c) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap
intensif dan lanjutan.
Tahap awal (Intensif):
(1) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat
setiap hari dan perlu diawasi secara langsung
untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
(2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu.
(3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi
BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap lanjutan:
(1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat
lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang
lama.
(2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan (Depkes RI, 2007).
5) Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang
dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara
mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik
dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau
kemajuan pengobatan. Untuk memantau kemajuan pengobatan
dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu
dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2
spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau
keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut
dinyatakan positif (Depkes RI, 2007).
6) Komplikasi
Sering terjadi pada penderita TB stadium Lanjut :
a) Hemoptisis berat akibat perdarahan pada saluran nafas
bawah
b) Kolaps dari lobus karena retraksi bronchial
c) Bronkiectasi dan fibrosis pada paru
d) Pneumothorax spontan, kolaps spontan dan kerusakan
jaringan paru
e) Penyebaran infeksi ke organ lain
f) Insufisiensi kardiopulmonal
Pada kasus TB tanpa pengobatan setelah 5 tahun, 50%
akan meninggal, 25% sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh
yang tinggi dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular
(Depkes RI, 2007).
5. Hubungan kepatuhan dengan tuberkulosis paru
Kesembuhan TB dipengaruhi beberapa faktor termasuk dipenuhinya
perawatan yang adekuat, infrastruktur pelayanan kesehatan, dan kepatuhan
pasien berobat (Cohen dan Durham, 1995). Kepatuhan berobat berperan
penting terhadap kesembuhan penyakit tuberkulosis. Pada umumnya
kegagalan pengobatan TB terjadi disebabkan terapi yang terputus karena
pasien merasa sudah sembuh. Masalah yang sering timbul adalah lamanya
waktu pengobatan. Obat untuk TB harus dimakan sedikitnya enam bulan.
Sementara biasanya setelah makan obat selama dua bulan, pasien malas
meneruskan pengobatan karena merasa sembuh dan tidak merasakan gejala
lagi. Padahal kalau pengobatan berhenti di tengah jalan, maka bukan saja
penyakitnya tidak sembuh dengan tuntas, tetapi juga menyebabkan bakteri TB
menjadi kebal terhadap obat yang digunakan (Messwati dan Rahmawati,
2008).
Strategi untuk menjamin kesembuhan penderita yaitu penggunaan
panduan obat anti tuberkulosis jangka pendek dan penerapan pengawasan
menelan obat atau Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)
(Senewe, 2002). Sistem DOTS dianggap sebagai pendekatan terbaik untuk
menanggulangi TB dan meliputi lima komponen yaitu perlunya ada komitmen
politik penentu kebijakan, dignosis mikroskopik yang baik, pemberian obat
yang baik dan diawasi secara baik pula, jaminan ketersediaan obat serta
pencatatan dan pelaporan yang akurat (Aditama, 2000). Mengingat
pentingnya kepatuhan dalam upaya mencapai kesembuhan bagi pasien TB
maka diperlukan strategi dan pendekatan yang baik untuk menjamin
terlaksananya program pengobatan TB secara lengkap, antara lain :
a. Memperbaiki kualitas interaksi antara petugas medis dengan
pasien.
b. Meningkatkan kepatuhan melalui edukasi terhadap pasien.
c. Perbaikan sarana kesehatan (Cohen dan Durham, 1995).
B. Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
Terdapat hubungan antara kepatuhan berobat dengan persepsi penderita
tentang tuberkulosis paru.
Penderita Tb paru dalam
program pengobatan
Persepsi penderita tentang
penyakit tuberkulosis
(gejala, penyebab, cara
pencegahan, pengobatan,
dan penularan penyakit)
Kemudahan
dalam
melaksanakan
perilaku
kesehatan
Keyakinan
terhadap
intervensi
medis
Tingkat
pendidikan
Perilaku
kepatuhan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional.
B. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUD Moewardi Surakarta
C. Subjek Penelitian
Semua pasien TB paru yang datang untuk menjalani pengobatan TB di
RSUD Moewardi Surakarta yang memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut :
1. Kriteria inklusi :
a. Pasien dengan diagnosis pasti TB paru
b. Laki-laki atau Perempuan berusia lebih dari 15 tahun
c. Pasien yang telah menjalani pengobatan, selama minimal 3 bulan
2. Kriteria Eksklusi :
a. Pasien yang menolak berpartisipasi dalam penelitian
b. Pasien dengan penyakit metabolik lain yaitu DM, gangguan fungsi hati
dan gangguan fungsi ginjal.
39
D. Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Purposive
sampling adalah teknik penentuan sample dengan pertimbangan tertentu
(Sugiyono, 2005).
n = zα2
. ρ . q
d2
Keterangan :
n = Jumlah Sampel
zα = tingkat kepercayaan, biasanya 95% dan α = 5%, maka zα = 1,96
ρ = perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti atau paparan pada
populasi
q = 1-p
d = tingkat kepercayaan absolut yang diinginkan adalah 10% (Arief,
2003)
n = (1,96)2 x 0,12 x 0,88 = 40,57
(0,1)2
n = 41 orang
E. Desain Penelitian
Penderita Tb Paru
Persepsi Penderita
tentang Tuberkulosis Paru
( Gejala, Penyebab, Cara
pencegahan, Pengobatan ,
dan penularan penyakit )
Baik Buruk
Patuh Tidak
Patuh
Patuh Tidak
Patuh
F. Identifikasi Variabel penelitian
1. Variabel bebas
Persepsi penderita tentang tuberkulosis paru
2. Variabel tergantung
Kepatuhan berobat
3. Variabel luar
Variabel luar terkendali :
a. Kemudahan mencapai pelayanan kesehatan
b. Tingkat Pendidikan
Variabel luar tak terkendali :
Kepercayaan terhadap intervensi medis
G. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel bebas : Persepsi penderita tentang tuberkulosis paru
a. Definisi : Bagaimana penderita memandang sesuatu.
Dalam hal ini, pandangan mengenai penyakit
tuberkulosis yang dideritanya (gejala,
penyebab, cara pencegahan, pengobatan, dan
penularan penyakit)
b. Alat ukur : kuesioner
c. Cara pengukuran :
Dengan mengelompokkan sampel menjadi :
1) Persepsi baik : jumlah skor dari jawaban kuesioner lebih
besar atau sama dengan nilai median.
2) Persepsi buruk : jumlah skor dari jawaban kuesioner kurang
dari nilai median.
d. Skala pengukuran : nominal
2. Variabel tergantung : kepatuhan berobat
a. Definisi : adalah kepatuhan pasien TB dalam menjalani
pengobatan di RSUD Moewardi Surakarta.
b. Alat ukur : kuesioner dan catatan harian pada pojok DOTS
RSUD dr. Moewardi Surakarta.
c. Cara pengukuran :
1) Patuh : melaksanakan aturan pengambilan obat sesuai
jadwal yang telah ditentukan.
2) Tidak patuh : Tidak datang mengambil obat 2 minggu
atau lebih dari jadwal yang ditentukan
(Fadul, 2000).
d. Skala data : nominal
3. Variabel Luar
a. Terkendali:
1) Kemudahan dalam mencapai pelayanan kesehatan adalah
kemudahan transportasi dari tempat tinggal pasien ke tempat
pengobatan. Dikendalikan denagn menyeleksi pasien yang
berasal dari eks karesidenan surakarta dan sekitarnya.
2) Tingkat Pendidikan adalah tingkat pendidikan formal yang
diselesaikan oleh pasien. Pendidikan formal adalah pendidikan
yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya. Jalur
pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai
dari pendidikan dasar yaitu jenjang pendidikan awal selama 9
(sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang
melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan menengah
yaitu jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar, sampai
pendidikan tinggi yaitu jenjang pendidikan setelah pendidikan
menengah yang mencakup program sarjana, magister, doktor,
dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
Dikendalikan dengan mengeksklusikan pasien dengan tingkat
pendidikan dibawah Sekolah Dasar.
b. Tak terkendali :
Kepercayaan terhadap intervensi medis
H. Sumber Data
Primer : Kuesioner dan wawancara
I. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis dengan teknik
analisis statistik yaitu uji chi square pengolahan data dilakukan menggunakan
program SPSS (Statistical Product and Service Solution) 16,00 for Windows.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan
cross sectional, dan dilakukan di RSUD Moewardi Surakarta. Sedangkan subjek
penelitian adalah semua pasien TB paru yang datang untuk menjalani pengobatan TB
di RSUD dr Moewardi Surakarta yang memenuhi beberapa kriteria inklusi dan
eksklusi. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Berdasarkan
atas kriteria sampel tersebut dihasilkan sampel sebesar 41 orang.
Dari penelitian yang dilakukan dengan pengambilan data dan pengisian
kuesioner pada semua pasien TB paru yang datang diperoleh hasil sebagai berikut:
A. Ciri-ciri Subjek Penelitian
1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Umur Jumlah Persen
16-25 tahun
26-35 tahun
36-45 tahun
46-55 tahun
56-70 tahun
6
4
10
7
14
14,60 %
9,80%
24,40%
17,10%
34,10%
Jumlah 41 100,00%
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa umur sampel pasien TB di RSUD
Moewardi Surakarta paling banyak adalah umur 56-70 tahun yaitu 14
46
orang (34,10%), umur 36-45 tahun sebanyak 10 orang (24,40%), umur
46-55 tahun sebanyak 7 orang (17,10%), umur 16-25 tahun sebanyak 6
orang (14,60%) dan yang terkecil adalah umur 26-35 tahun sebanyak 4
orang (9,80%).
2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin.
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Persen
Laki-laki
Perempuan
24
17
58,50%
41,50%
Jumlah 41 100,00%
Dari tabel 2 dihasilkan jenis kelamin yang terbanyak adalah laki-
laki sebanyak 24 orang (58,50%) dan perempuan sebesar 17 orang
(41,50%).
3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Responden
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan Jumlah Persen
Pendidikan Dasar
Pendidikan Menengah
Pendidikan Tinggi
25
16
0
60,98%
39,02%
0%
Jumlah 41 100,00%
Berdasarkan tabel 3 jumlah responden terbanyak dengan pendidikan
dasar yaitu sebanyak 25 orang (60,98%), sedangkan jumlah responden
yang berpendidikan menengah sebanyak 16 orang (39,02%) dan tidak ada
responden yang berpendidikan tinggi.
4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Waktu Timbul Gejala pada
Responden
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Timbul Gejala
Merasakan Sakit Jumlah Persen
< 1 Bulan
> 1 Bulan
3
38
7,30%
92,70%
Jumlah 41 100,00%
Pada tabel 4 menunjukkan bahwa waktu timbul gejala pada
responden < 1 bulan sebanyak 3 orang (7,30%) sedangkan responden >
1 bulan sebanyak 38 orang (92,70%).
5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Menjalani
Pengobatan.
Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Menjalani Pengobatan
Lama Pengobatan Jumlah Persen
< 6 bulan
6-12 bulan
> 1 tahun
1
22
18
2,40%
53,70%
43,90%
Jumlah 41 100,00%
Berdasarkan tabel 5 responden yang menjalankan pengobatan
selama < 6 bulan sebanyak 1 orang (2,40%), selama 6-12 bulan sebesar
22 orang (53,70%) dan > 1 tahun sebanyak 18 orang (43,90%).
6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Persepsi Responden
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Persepsi
Persepsi Jumlah Persen
Buruk
Baik
22
19
53,70 %
46,30 %
Jumlah 41 100,00%
Dari tabel 6 diketahui jumlah responden yang mempunyai persepsi
buruk sebanyak 22 orang (53,70%) sedangkan yang mempunyai persepsi
baik sebanyak 19 orang (46,30%).
7. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepatuhan Berobat
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepatuhan Berobat
Kepatuhan Jumlah Persen
Tidak Patuh
Patuh
4
37
9,80%
90,20%
Jumlah 41 100,00%
Dari tabel 7 diketahui jumlah responden yang patuh berobat
sebanyak 37 orang (90,20 %) sedangkan yang tidak patuh berobat
sebanyak 4 orang (9,80 %).
A. Analisis Data
Untuk mengetahui adanya hubungan kepatuhan berobat dengan persepsi
penderita tentang tuberkulosis paru digunakan uji statistik Chi Kuadrat.
Hasil analisa ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 8. Tabulasi Silang Hasil Penelitian
Kepatuhan
Persepsi
Tidak Patuh Patuh Jumlah
Buruk 2 (4,90%) 20 (48,80%) 22 (53,70%)
Baik 2 (4,90%) 17 (41,50%) 19 (46,30%)
Jumlah 4 (9,80%) 37 (90,20%) 41 (100%)
Dari penelitian diperoleh hasil pada tabulasi silang responden
mempunyai persepsi buruk tidak patuh sebesar 2 orang (4,90%) dan persepsi
buruk dan patuh sebesar 20 orang (48,80%). Sedangkan responden mempunyai
persepsi baik tidak patuh sebesar 2 orang (4,90%) dan yang mempunyai
persepsi baik dan patuh sebanyak 17 orang (41,50%).
Dari perhitungan SPSS diperoleh nilai ² hitung sebesar 0,024 dengan p
value sebesar 0,877, dengan df 1 ² tabel sebesar 3,841. Oleh karena ²hitung
(.024)< ²tabel (3,841) atau p value > 0,05 () maka Ho diterima , sehingga
dapat dinyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara kepatuhan berobat
dengan persepsi penderita tentang tuberkulosis paru.
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian yang dilakukan terhadap 41 sampel penderita TB yang menjalani
pengobatan di RSUD Moewardi Surakarta selama bulan Maret 2010, memberikan
hasil bahwa responden paling banyak berada dalam kelompok usia 56-70 th, yaitu
sebanyak 14 orang. Ini sesuai dengan hasil penelitian Suryanata yaitu umur diatas 40
tahun merupakan faktor resiko paling tinggi terkena Tuberkulosis Paru (Suryanata,
2000). Jika diteliti kembali, pada tabel 1 ada 23 responden atau sekitar 56,09 %
responden yang berada di pada kelompok usia lebih dari 40 th, dan sebanyak 21
responden atau sekitar 51,22 % responden masih terdapat dalam usia produktif.
Diperkirakan 0,3 % dari penduduk indonesia menderita TB Paru dan hampir 75 %
kasus TB menyerang usia produktif. Hal ini berhubungan dengan banyak faktor yaitu
pekerjaan, mobilitas penderita dan penyakit, dan kepatuhan pengobatan (Senewe,
2002). Sehingga dikhawatirkan akan menghilangkan berbagai peluang dalam
pendidikan dan pekerjaan, menurunkan kinerja, membatasi pilihan kerja serta
melemahkan kualitas sumber daya manusia. Hal-hal tersebut menyebabkan
produktivitas kerja menurun dan penghasilan berkurang (Ikhsan, 2003).
Dari tabel 2 memperlihatkan bahwa jenis kelamin responden lebih banyak laki-
laki dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki sebanyak 58,50 % dan perempuan
51
sebanyak 41,50 %. Kaum laki-laki dengan mobilitas lebih tinggi dan pekerjaan lebih
berat, menyebabkan risiko terkena TB menjadi lebih besar.
Secara keseluruhan, dari tabel 3 terlihat bahwa tingkat pendidikan responden
paling banyak terdapat di tingkat pendidikan dasar ( 9 tahun ) yaitu sebanyak 25
responden ( 60,98 %) dan selebihnya yaitu sebanyak 16 responden ( 39,02%) berada
di tingkat pendidikan menengah dan tidak ada responden yang berada pada tingkat
pendidikan tinggi. Tapi hal ini tidak berpengaruh banyak dalam menentukan sikap
patuh atau pun tidak patuh berobat dari pasien sendiri. Hal ini dapat disebabkan oleh
banyak faktor lain yang mempengaruhi sikap kepatuhan berobat pasien itu sendiri.
Berdasarkan suatu studi, karakteristik sosial seperti halnya tingkat pendidikan hanya
bersifat memperkuat faktor-faktor utama yang mempengaruhi perilaku kepatuhan
seperti halnya dorongan psikologis atau motivasi (Taylor,1995).
Tabel 4 menunjukkan kurun waktu timbul gejala pada pasien yang
dikelompokkan dalam dua golongan yaitu <1 bulan dan > 1 bulan. Ada sekitar 92,70
% yang telah merasakan timbul gejala selama > 1 bulan dan sekitar 7,30 % yang
merasakan sakit selama <1 bulan. Hal ini bisa saja diakibatkan oleh banyaknya pasien
yang tidak segera berobat begitu gejala penyakit muncul. Kesibukan atau kurangnya
pengetahuan sehingga menyepelekan penyakit yang dideritanya, juga sering menjadi
penyebab menunda pengobatan. Faktor lain yang mendukung penundaan yaitu bisa
juga disebabkan karena perasaan malu dan anggapan bahwa penyakit tidak dapat
disembuhkan. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan, karena selama sebelum diobati
seseorang pasien TB merupakan sumber penularan yang berbahaya bagi lingkungan
sekitarnya. Penundaan pengobatan juga mengakibatkan perjalanan penyakit dapat
semakin buruk dan berakhir dengan kematian.
Pada tabel 5, lama pengobatan yang dijalani pasien dikelompokkan berdasarkan
dalam tiga golongan, yaitu <6 bulan, 6-12 bulan, dan >1 tahun. Sebanyak 53,70 %
telah berobat selama 6-12 bulan, 43,90% >1 tahun, dan 2,40 % kurang dari 6 bulan.
Lamanya rentang waktu ini bisa diakibatkan oleh ketidakpatuhan pasien dalam
menjalani pengobatan, perasaan bosan atau putus asa atau pun respon tubuh penderita
yang berbeda-beda pada pengobatan, sehingga akan memperlama proses
penyembuhan. Hal ini bisa sangat merugikan pasien, dipandang dari segi waktu atau
pun dari segi hasil pengobatan sendiri.
Tabel 6 digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai persepsi panderita
terhadap penyakitnya. Dari total 41 responden, sebanyak 19 orang (46,30%) yang
mempunyai persepsi baik dan sebanyak 22 orang (53,70%) mempunyai persepsi
buruk terhadap penyakit TB yang dideritanya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Amirah Novaliani (2003), menyebutkan bahwa persepsi masyarakat
tentang TB paru masih bervariasi. Namun masih banyak diantara mereka (sekitar
48%) yang belum memiliki persepsi yang tepat, antara lain mengenai gejala,
penyebab, cara pencegahan pengobatan dan penularan penyakit tuberkulosis.
Menurut Patmawati (2002) persepsi masyarakat, khususnya penderita merupakan
salah satu faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan pengobatan TB.
Ketidakberhasilan pengobatan selama ini diduga ada perasaan malu saat menderita
penyakit tuberkulosis, sehingga mereka malas ke Rumah Sakit dan ada anggapan
penyakit tuberkulosis tidak dapat disembuhkan. Persepsi penderita tentang
tuberkulosis yang tidak dapat disembuhkan ini dapat menurunkan tingkat kepatuhan
dalam menjalani pengobatan. Maka dari itu butuh persepsi yang tepat dari penderita
tentang penyakit tuberkulosis yang dideritanya agar dapat membantu memperlancar
proses kesembuhan penderita dan meningkatkan angka keberhasilan pengobatan.
Pada tabel 7 dapat dilihat distribusi frekuensi berdasarkan kepatuhan berobat.
Didapatkan hasil hanya sebanyak 4 orang (9,80 %) tidak patuh dalam menjalani
pengobatan dan sebanyak 37 orang lainnya ( 90,20%) patuh dalam menjalani
pengobatan. Dalam hal ini, didapatkan data yang tidak signifikan antara hubungan
kepatuhan dan persepsi penderita tentang TB paru. Dari hasil analisis data didapatkan
hasil bahwa responden mempunyai persepsi buruk tidak patuh sebesar 2 orang
(4,90%) dan persepsi buruk dan patuh sebesar 20 orang (48,80%). Sedangkan
responden mempunyai persepsi baik tidak patuh sebesar 2 orang (4,90%) dan yang
mempunyai persepsi baik dan patuh sebanyak 17 orang (41,50%).
Uji statistik terhadap hasil penelitian tersebut, yaitu chi-square test dengan
program SPSS 11,00 for windows 2000 diperoleh nilai ² hitung sebesar 0,024
dengan p value sebesar 0,877, dengan df 1 ² tabel sebesar 3,841. Oleh karena
²hitung (.024)< ²tabel (3,841) atau p value > 0,05 () maka Ho diterima dan Hı
ditolak , sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
kepatuhan berobat dengan persepsi penderita tentang tuberkulosis paru.
Hal ini mungkin disebabkan masalah kepatuhan berobat seorang pasien
melibatkan begitu banyak faktor yang saling berkaitan. Suatu studi meneliti beberapa
determinan yang berpengaruh terhadap kepatuhan berobat, menyebutkan bahwa
faktor yang dianggap berpengaruh kuat adalah kondisi psikologis (seperti tingkat
kepercayaan terhadap pengobatan), symptom dari penyakit, dukungan dari
lingkungan sosial, interaksi dengan praktisi kesehatan dan sistem didalamnya, antara
lain kepuasan pasien terhadap hasil pengobatan, kontinuitas perawatan, pelayanan
yang bersifat personal dan interaksi yang suportif. Semua karakteristik sosial seperti
usia, gender, tingkat pendidikan, dan persepsi penderita tentang penyakitnya bersifat
memperkuat faktor-faktor yang disebutkan sebelumnya (Taylor, 1995).
Contoh yang dapat diambil peneliti untuk mendukung pernyataan Taylor dalam
penelitian ini, adalah pentingnya dukungan dari lingkungan sosial. Dalam hal ini
adalah peranan PMO (Pengawas Menelan Obat) terhadap kepatuhan berobat
penderita. PMO dapat berupa keluarga atau praktisi kesehatan. Dukungan dari kedua
pihak ini sangat menentukan keberhasilan pengobatan seorang penderita TB. Di
dalam Penelitian, peneliti mendapatkan responden yang sama sekali tidak mengetahui
bahwa dia menderita sakit TB paru. Setelah ditelusuri, ternyata istri responden lah
yang mengetahui dan mengurus semua hal yang bersangkutan dengan penyakit
penderita. Responden hanya mengetahui bahwa ia selalu rutin meminum berbagai
macam obat yang diberi dan diawasi penelanannya oleh sang istri, tanpa mengerti
betul tentang penyakit yang dideritanya. Hal ini terbukti dapat sangat mendukung
kepatuhan penderita dalam pengobatan TB.
Contoh lain yaitu, responden yang kurang paham tentang gejala, penyebab, cara
pencegahan, pengobatan, dan penularan penyakit (aspek-aspek yang diteliti oleh
peneliti untuk mengukur persepsi) tetapi sangat percaya bahwa ia dapat sembuh juga
menunjukkan tingkat kepatuhan yang baik terhadap pengobatan. Hal ini
membuktikan bahwa kondisi psikologis pasien juga berperan penting terhadap tingkat
kepatuhannya berobat. Disamping keinginan untuk sembuh, dorongan untuk dapat
terus bekerja, membahagiakan keluarga, dan hal lain yang dapat mendukung
psikologis pasien juga ikut andil dalam kepatuhan berobat penderita.
Dua contoh diatas membuktikan bahwa sangat banyak faktor yang
mempengaruhi kepatuhan berobat pasien. Penanganan yang tepat sangat dibutuhkan
untuk tetap menjamin kepatuhan dan kelangsungan pengobatan untuk pemberantasan
TB di Indonesia.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Penelitian terhadap 41 responden penderita tuberkulosis paru di RSUD dr
Moewardi Surakarta yang menjadi responden tentang hubungan antara
kepatuhan berobat dengan persepsi penderita tentang tuberculosis paru dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di RSUD dr Moewardi
Surakarta sebagian besar responden patuh sebesar 90,20%.
2. Persepsi responden tentang penyakit tuberkulosis paru di RSUD dr
Moewardi Surakarta sebagian besar mempunyai persepsi yang buruk
sebesar 53,70%.
3. Pada uji statistik chi-square didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan
kepatuhan berobat dengan persepsi penderita tentang TB Paru.
4. Faktor persepsi penderita mungkin mempengaruhi kepatuhan berobat tetapi
secara statistik tidak bermakna karena masih banyak faktor lain yang ikut
berperan seperti kondisi psikologis, symptom dari penyakit, dukungan dari
lingkungan sosial, interaksi dengan praktisi kesehatan dan sistem di
dalamnya. Semua karakteristik sosial seperti usia, gender, tingkat
57
pendidikan dan persepsi penderita bersifat memperkuat pengaruh faktor-
faktor yang disebutkan sebelumnya.
B. Saran
1. Mengingat pentingnya kepatuhan berobat dalam upaya mencapai
kesembuhan bagi pasien TB maka diperlukan strategi dan pendekatan yang
baik untuk menjamin terlaksananya program pengobatan TB secara
lengkap, misalnya penyempurnaan program DOTS.
2. Memperbaiki kualitas interaksi antara petugas medis dengan pasien dan
keluarga. Diharapkan pihak keluarga juga dapat membantu pelaksanaan
pengobatan, seperti menjadi PMO (Pengawas Menelan Obat), agar dapat
meningkatkan kondisi psikologis dan motivasi pasien untuk menuntaskan
pengobtan yang dijalani.
3. Meningkatkan kepatuhan melalui pemberian pemahaman dan pengetahuan
tentang TB pada pasien. Petugas medis juga berperan penting disini. Hal
ini diharapkan dapat memperbaiki persepsi masyarakat tentang penyakit
TB yang juga dapat memperkuat faktor utama seperti kondisi psikologis
penderita, sehingga dapat mendukung penyelesaian program pengobatan.
4. Penyuluhan dan penyebarluasan informasi mengenai TB Paru dan
pengobatan gratis bagi pasien yang tidak mampu di pusat pengobatan milik
pemerintah juga diperlukan. Agar semua golongan masyarakat khususnya
yang tidak mampu dapat menyelesaikan program pengobatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama T.Y. 1997. Tuberkulosis, Diagnosis, Terapi, dan Masalahnya. Jakarta:
Yayasan Penerbitan IDI. pp: 7-8.
Aditama T.Y. 2000. Sepuluh Masalah Tuberkulosis dan Penanggulangannya. Jurnal
Respirologi Indonesia. 30: 8-9.
Amryl Y. 2002. Keberhasilan Directly Observed Therapy (DOT) pada Pengobatan
TB Paru Kasus Baru di BP4 Surakarta. Jakarta, Bagian Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi FK UI. Tesis.
Anwar S.A. 2003. Otda dan Kemitraan Berantas Tuberkulosis.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0303/24/kha2.htm (1 Oktober 2009).
Bahar A. 2001. Tuberkulosis, Current Diagnosis and Treatment.
http://www.interna.fk.ui.ac.id (1 Oktober 2009).
Chestnutt M.S. dan Prendergast T.J. 2002. Tuberkulosis Paru. Dalam: Lawrence M.T.
Diagnosis dan Terapi Kedokteran. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Salemba
Medika. p: 117.
Cohen F.L., Durham J.D. 1995. Tuberculosis a Sourcebook for Nursing Practice.
New York: Springer Publishing Company. pp: 33, 34, 207-209, 121-129.
Crofton J., Horne N., Miller F. 2002. Tuberkulosis Klinik. Edisi II. Jakarta: Widya
Medika. p: 102.
Departemen Kesehatan R.I. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta : Depkes RI. pp: 3-35.
Fadul M. 2000. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesembuhan Penderita Penyakit
Tuberkulosis Setelah Pengobatan Jangka Pendek (6 Bulan) di Kabupaten
Cumba Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur. Yogyakarta, Universitas Gadjah
Mada. Thesis.
Feist J. 2006. Theories of Personality. http://highered.mcgraw-
hill.com/sites/0072969806/student_view0/ (1 Oktober 2009).
Fordiastiko. 1995. Penatalaksanaan TB Paru pada Penderita Diabetes Melitus. Dalam
: Paru. 15 (3) : 108.
59
Hisyam B. 2001. Manfaat Terapi Kortikosteroid pada Tuberkulosis Paru dan Extra
Paru. Berkala Ilmu Kedokteran. 33(2): 121-122.
Ikhsan M. 2003. TB Paru dan Kesempatan Kerja. Farmacia Ethical Digest. II(7) : 23-
27.
Kaplan dan Sadock. 1997. Hubungan Dokter-Pasien dan Teknik Dalam Wawancara.
Sinoposis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku (Terjemahan). Jakarta:
Binarupa Aksara. pp : 1-20.
McNicol M.W., Campbell I.A., Jenkins P.A. 1995. Clinical Feature and Treatment.
Respiratory Medicine Second Edition. London: WB Saunders Company Ltd.
pp: 310-315.
Messwati E.D. dan Rahmawati E. 2008. Ayo Lawan Tuberkulosis.
http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/18/02153798/ayo.lawan.t
uberkulosis (1 Oktober 2009).
Novaliani A. 2003. Persepsi Masyarakat tentang Tuberkulosis.
http://ojs.lib.unair.ac.id/index.php/JKK/article/view/2531 (1 Oktober 2009).
Patmawati E. 2002. Persepsi Masyarakat Tentang Penularan dan Pengobatan
Penyakit Tuberkulosis di Kelurahan Tlogomas RT 04 RW 09 Kota Malang.
Malang, Universitas Muhammadiyah Malang. Thesis.
Price S.A. 1995. Patofisiologi Edisi IV Jilid 2. Jakarta: EGC. pp: 753-763.
Rita L, Atkinson, dkk. 1999. Pengantar Psikologi. Edisi Delapan. Jilid Dua. Jakarta:
Erlangga.
Salim I. 2001. Hubungan Persepsi Penderita Terhadap Peran Pengawas Menelan
Obat Dengan Kepatuhan Penderita Tb Paru Berobat di Kota Padang Tahun
2001. Jakarta, Universitas Indonesia. Thesis.
Sarafino E.P. 1990. Health Psychology. USA: John Willey & Sons,Inc. pp: 299-305.
Selamihardja N. 1998. Tuberkulosis Datang Lagi. http://www.indomedia.com
(1 Oktober 2009).
Senewe F.L. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Berobat Penderita
Tuberkulosis Paru di Puskesmas Depok. Buletin Penelitian Kesehatan. 30(1):
32-39.
Smet B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Grasindo. pp: 350-359.
Sobur A. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Soedarsono. 2002. Review Advances in TB Management DOTS Strategy. In :
Symposium Nasional TB Up Date 2002 Global Management of Tuberculosis to
Reach an Indonesiea Health for All in The Year of 2010. Surabaya.
Somantri I. 2008. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan Pada Pasien
dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Sugiyono. 2006. Statiska Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sulianti. 2007. Tuberkulosis. http://www.infeksi.com (1 Oktober 2009).
Suryanata. 2000. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Tuberkulosis
Paru di Kabupaten Timur Tengah Selatan. Jogjakarta, Universitas Gadjah
Mada. Thesis.
Sutomo R.A., Sariningsih, Rita D., Soetikno. 2004. Pencitraan Tuberkulosis Paru
pada Orang Dewasa. Medika. 5: 331-332.
Taylor S.E. 1995. Health Psychology. Singapore: McGraw-Hill Book.Co. pp: 355-
362.
Thabrani Z., Priyanti Z.S., Aditama T.Y., Bernida I. 2003. Diagnosis Tuberkulosis.
Dalam: Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Khusus PIK X. Makassar: Sub
Bagian Paru FK Unhas. pp: 139-144.
WHO. 2003. What is DOTS. WHO Publications on DOTS.
http://www.who.int/gtb/dots/whatisdots.htm (1 Oktober 2009).
Widodo J. 2004. Hubungan Persepsi Siswa Terhadap Guru Mengajar dengan
Kemampuan Membaca Pemahaman Ditinjau dari Ketrampilan Menulis
Deskripsi Siswa SMP Negeri di Colomadu Karanganyar. Surakarta, UNS.
Thesis. Tidak dipublikasikan.
Wikipedia. 2008. Experience. http://en.wikipedia.org/wiki/experience.
(1 Oktober 2009).
Yessica T. 2004. Hubungan Persepsi dan Pengetahuan Orang Tua Tnetang Penyakit
Tuberkulosis dengan Kepatuhan Pengobatan Tuberkulosis Pada Anak di
Kabupaten Purworejo. Universitas Gadjah Mada. Thesis.
Yusmar Y. 1999. Psikologi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya.