Post on 01-Feb-2018
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN
TINGKAT KECEMASAN PADA REMAJA KELAS 3 MU’ALLIMIN
PONDOK PESANTREN AL-MUKMIN SUKOHARJO
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata 1 Psikologi
Oleh :
Firman Ridlo Mursyidi
G 0104023
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan Judul : Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan
Tingkat Kecemasan Pada Remaja Kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo
Nama Peneliti : Firman Ridlo Mursyidi NIM : G0104023 Tahun : 2004 Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi
Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari : ...............................................
Pembimbing Utama
Drs. Makmuroh, MS NIP 195306181980032002
Pembimbing Pendamping
Nugraha Arif Karyanta, S.Psi NIP 197603232005011002
Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, M.Psi. NIP 197608172005012002
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan judul:
Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Tingkat Kecemasan Pada Remaja Kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo
Firman Ridlo Mursyidi, G0104023, Tahun 2004
Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Hari :
Tanggal :
1. Pembimbing Utama Dra. Makmuroch, MS. . ( __________________ )
2. Pembimbing Pendamping Nugraha Arif Karyanta, S.Psi.. ( __________________ )
3. Penguji I
Dra. Emi Dasiemi, MS. ( __________________ )
4. Penguji II H. Arista Adi Nugroho, S.Psi., MM. ( __________________ )
Surakarta, __________________
Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, M.Psi. NIP 197608172005012002
Ketua Program Studi Psikologi
Drs. Hardjono, M.Si. NIP 195901191989031002
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak
terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
Perguruan Tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya
atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang
secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika
terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia
derajat kesarjanaan saya dicabut.
Surakarta, Mei 2010
Firman Ridlo Mursyidi
v
MOTTO
Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan (QS. Al Insyirah: 5-6)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
(QS.Al Baqoroh 286)
The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams (Eleanor Roosevelt)
There are many people who have big plans but their big plans never come true. The reason is, too many people have big plans but fail to
keep their small agreements (Robert Kiyosaki)
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Allah SWT Dzat Maha Agung yang berkuasa di seluruh alam semesata
Muhammad SAW
Pemimpin dan Teladan Umat
Ibunda, ayahanda, dan kakek-kakakku tercinta Mbak Selly, Mbak Atik dan Mas Oki atas kesabaran dan kasih sayang dalam mendidik ananda
Adik-adikku Lina, Dik Bibi dan Dik Devan serta keponakanku Zia
atas kasih sayang dan doa kalian
P’ de, Bu dhe, Om, Tante atas kasih sayang dan doa kalian
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Allhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT
tidak lupa penulis panjatkan, hanya dengan rahmat dan hidayahNya-lah
penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa penulis
sampaikan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW beserta keluarga,
sahabat dan pengikutnya yang setia.
Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat guna memperoleh
derajat sarjana S-1 pada Bidang Studi Psikologi Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tanpa bantuan berbagai pihak,
kiranya penyusunan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Untuk itu
penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, penghargaan yang
setinggi-tingginya dan permohonan maaf atas segala kesalahan yang pernah
penulis lakukan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
skripsi ini, terutama kepada:
1. Drs. Hardjono, M.Si. Selalu Ketua Program Studi Psikologi yang telah
memberi kesempatan kepada penulis untuk dapat menuntut ilmu di Prodi
Psikologi serta memberi bimbingan dan arahan kepada penulis.
2. Dra. Makmuroch, MS. selaku dosen pembimbing utama, atas bimbingan,
waktu dan masukan yang berarti bagi penulis.
3. Nugraha Arif Karyanta, S.Psi. selaku dosen pembimbing pendamping, atas
bimbingan, waktu dan masukan yang sangat berarti bagi penulis.
4. Dra. Emi Dasiemi, MS. dan H. Arista Adi Nugroho, S.Psi., MM. selaku dosen
penguji yang memberikan bantuan dan saran yang berarti bagi penulis.
5. KH Wahyuddin selaku Direktur Pondok Pesantren Islam Al Mukmin
Sukoharjo, Jawa Tengah yang telah memberi ijin penelitian dan memberikan
bantuan dalam pengambilan data pada penelitian ini.
6. Prof. DR. Dr. H Mohammad Fanani, SpKj (K) selaku ustad pengajar Pondok
Pesantren Al Mukmin yang telah memberi kesempatan dan meluangkan waktu
viii
kepada penulis untuk menjalankan aktivitas penelitian ini dengan segala
bimbingan dan arahan ketika jalannya penelitian.
7. Seluruh remaja kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al Mukmin Sukoharjo
yang telah bersedia menjadi subjek penelitian penulis.
8. Seluruh Staf Psikologi, Mas Dimas, Mas Rian, dan Mbak Ana yang penuh
kesabaran, dan segala bantuan serta kemudahan dalam pelayanananya yang
telah diberikan.
9. Papa dan Mama tercinta atas semua pengorbanannya, kasih sayang, doa,
perhatian dan dukungannya selama ini tanpa mengenal lelah yang terus
membimbingku menjadi orang yang dewasa, bermanfaat, dan berguna.
10. Kakak-kakakku Mbak Selly, Mbak Atik dan Mas Oki, atas cinta, doa,
bantuan, perhatian, kasih sayang, pengertian, dan kebersamaanya selama ini,
semoga kita semua selalu kompak dan dapat menjadi anak-anak yang baik dan
berguna bagi kedua orangtua kita.
11. Adikku Bibie dan Devan yang selalu memberikan semangat serta
Keponakanku yang pertama Zia yang sangat lucu yang selalu menghiburku
tatkala suka maupun duka.
12. Mbak Lilis yang memberikan semangat dalam menyelesaikan studi serta
dukunganya dalam pencapaian cita-cita kedepan.
13. Lina dan keluarga yang telah banyak memberi inspirasi, semangat terus maju
dan telah memberi arti dalam hidupku.
14. Seluruh rekan mahasiswa Program studi Psikologi khususnya angkatan 2004,
yang senantiasa saling mendukung penulis, serta semua pihak yang telah
membantu penulis yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga Allah
membalas jasa-jasa dan kebaikan dengan pahala yang berlimpah amien.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
siapapun yang membacanya.
Surakarta, Mei 2010
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. ....i
HALAMAN PERSETUJUAN................................................................ ...ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................. ..iii
PERNYATAAN...................................................................................... .. iv
HALAMAN MOTTO............................................................................. ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. ..vi
KATA PENGANTAR ............................................................................ .vii
DAFTAR ISI .......................................................................................... .. ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. .xii
DAFTAR TABEL................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... xiv
ABSTRAK.............................................................................................. . xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah.......................................................... 6
C. Tujuan Penelitian........................................................... 6
D. Manfaat Penelitian......................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kecemasan ...................................................................... 8
1. Pengertian kecemasan .............................................. 8
2. Gejala-gejala kecemasan........................................... 10
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan ......... 11
x
4. Aspek-aspek kecemasan............................................ 14
5. Klasifikasi tingkat kecemasan................................... 16
6. Manajemen kecemasan ............................................. 19
7. Respon kecemasan .................................................... 21
B. Kecerdasan Emosi. ........................................................ 23
1. Pengertian kecerdasan emosi ..................................... 23
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi 28
3. Aspek-aspek kecerdasan emosi.................................. 31
C. Remaja ........................................................................... 37
D. Hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat
kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok
Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo ................................... 40
E. Kerangka pikir ............................................................... .... 44
F. Hipotesis ............................................................................ 44
BAB III METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian....................................... 46
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian........................ 46
C. Populasi dan Sampel ....................................................... 48
D. Metode dan Alat Pengumpul Data .................................. 49
E. Validitas dan Reliabilitas ............................................... 51
F. Teknik Analisis.............................................................. 52
xi
BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Persiapan Penelitian ...................................................... 54
1. Orientasi kancah penelitian…………………………. 54
2. Persiapan alat ukur ..........…………………………... 60
3. Pelaksanaan uji coba........…………………………... 62
4. Uji validitas dan reliabilitas ………………………… 62
5. Penyusunan alat ukur untuk penelitian……………… 64
B. Pelaksanaan Penelitian .................................................. 64
1. Penentuan sampel penelitian....................................... 64
2. Pengumpulan data penelitian ...................................... 65
3. Pelaksanaan skoring.................................................... 65
C. Analisis data penelitian ................................................. 66
1. Uji normalitas .................………………………….... 66
2. Uji linieritas .................………………………….... ... 68
3. Analisis deskriptif ………………………………..... 68
4. Uji hipotesis ……………………….. ……………..... 71
D. Pembahasan …………………………………………… 73
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................... 78
B. Saran............................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 81
LAMPIRAN............................................................................................ 86
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Diagram kognitif perilaku.......................................................................... 21
2. Kerangka pikir............................................................................................ 44
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Analisis gangguan fungsional kecemasan dari Blackburn dan Davidson . 23
2. Susunan aitem skala kecerdasan emosi ................................................... 61
3. Distribusi aitem shahih dan aitem gugur skala kecerdasan emosi ............ 63
4. Distribusi aitem skala kecerdasan emosi untuk penelitian......................... 64
5. Hasil uji normalitas skala kecerdasan emosi dengan skor kecemasan....... 67
6. Hasil uji linieritas skala kecerdasan emosi dengan skor kecemasan.......... 68
7. Analisis deskriptif kecerdasan emosi dan kecemasan................................ 69
8. Norma kategori skor subyek ...................................................................... 69
9. Kategori subyek berdasar skor skala penelitian kecerdasan emosi ........... 70
10. Kategori subyek berdasar skor kecemasan ............................................... 71
11. Hasil teknik analisis korelasi Product Moment Pearson............................ 72
12. Sumbangan efektif kecerdasan emosi terhadap tingkat kecemasan .......... 73
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
A. Alat ukur skala kecerdasan emosi sebelum uji coba.............................. 87
B. Sebaran nilai uji coba alat ukur skala kecerdasan emosi ...................... 92
C. Validitas dan reliabilitas alat ukur skala kecerdasan emosi ................... 97
D. Alat ukur untuk penelitian skala kecerdasan emosi dan TMAS (Taylor
Manifest Anxiety Scale)........................................................................... 100
E. Sebaran nilai data penelitian kecerdasan emosi dan kecemasan............. 108
F. Analisis data penelitian .......................................................................... 115
G. Dokumentasi denelitian........................................................................... 118
H. Surat Ijin Penelitian................................................................................. 120
xv
ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA REMAJA KELAS 3 MU’ALLIMIN PONDOK
PESANTREN AL-MUKMIN SUKOHARJO
Firman Ridlo Mursyidi
Pendidikan merupakan salah satu hal penting yang dapat mendukung majunya suatu bangsa. Pendidikan tidak lepas dari proses pembelajaran dimana tidak hanya bergantung pada aspek intelegensi atau kemampuan yang didasari oleh fungsi kognitif saja, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek lain seperti emosi dan sosial. Kecemasan merupakan gangguan emosi yang menjadi salah satu permasalahan paling sering dialami remaja. Kecemasan sangat berpengaruh pada kepribadian dan prestasi belajar. Remaja yang berada pada masa menuju kematangan mempunyai kemungkinan yang besar untuk mengalami kecemasan, orang yang mengalami kecemasan ini biasanya mempunyai penilaian kurang baik terhadap dirinya yaitu mempunyai kecerdasan emosi yang rendah. Kecemasan dapat diatasi bila seseorang mampu mengelola kecerdasan emosinya dengan baik.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional analitik deskriptif, dengan variabel bebas kecerdasan emosi dan variabel tergantung tingkat kecemasan. Penelitian ini menggunakan populasi seluruh remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo. Sampel berjumlah 95 remaja. Karena sedikitnya populasi maka penelitian ini menggunakan semua populasi untuk penelitian atau studi populasi. Teknik pengambilan data pada variabel kecerdasan emosi menggunakan skala kecerdasan emosi sedangkan variabel kecemasan menggunakan Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS). Metode analisis data yang digunakan adalah korelasi Product Moment Pearson dengan bantuan komputer program SPSS for MS windows versi 16.
Berdasarkan perhitungan analisis data diperoleh hasil nilai koefisien korelasi antara variabel kecerdasan emosi dengan variabel tingkat kecemasan (rxy) sebesar -0,329, nilai p-value 0,001<0,05, arah hubungan antara dua variabel adalah negatif artinya semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah kecemasan begitu pula sebaliknya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima yaitu terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja mu’alimin kelas 3 Pondok Pesantren Al Mukmin Sukoharjo. Adapun sumbangan efektif kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan sebesar 10,8%. Kata kunci : kecerdasan emosi, tingkat kecemasan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu hal penting yang dapat mendukung
majunya suatu bangsa. Dunia pendidikan diperlukan untuk mempersiapkan
sumber daya manusia yang saling berkompetisi dalam lingkup pekerjaan atau
studi. Salah satu usaha yang paling umum dan paling sering ditempuh oleh
seseorang dalam mengembangkan dirinya adalah dengan menempuh sistem
pendidikan formal. Hal ini disebabkan karena cukup banyak orang yang
beranggapan bahwa untuk menjadi seseorang yang berhasil dalam hidupnya,
orang itu harus berpendidikan, khususnya pendidikan formal (Tjundjing, 2001).
Pendidikan formal tidak lepas dari proses pembelajaran. Proses
pembelajaran tidak hanya bergantung pada aspek intelegensi atau kemampuan
yang didasari oleh fungsi kognitif saja, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek lain
seperti emosi dan sosial. Seringkali tujuan proses pembelajaran tidak tercapai
bukan karena ketidakmampuan pelajar dalam berpikir, namun karena ia
mengalami masalah dalam aspek emosi atau aspek sosial yang mengakibatkan
terhambatnya proses pembelajaran tersebut (Rostiana, 1997).
Setiap orang pernah mengalami kecemasan yang normal oleh karena suatu
sebab, misalnya menghadapi ujian, sidang di pengadilan, promosi, atau penurunan
jabatan. Kecemasan dirasakan sebagai akibat dari sesuatu yang jelas penyebabnya
dan akan kembali normal setelah objek yang menjadi kecemasan berlalu.
1
2
Kecemasan dapat merupakan manifestasi gangguan kepribadian menghindar atau
gangguan fobik. Sebagai gangguan yang berdiri sendiri, kecemasan dapat berupa
gangguan cemas umum (menyeluruh), disini cemas dirasakan mengambang (free
floating), tidak menentu dan tidak jelas penyebabnya (Kaplan dan Sadock, 1994).
Kecemasan merupakan gangguan emosi yang menjadi salah satu
permasalahan paling sering dialami remaja. Kecemasan sangat berpengaruh pada
kepribadian dan prestasi belajar. Mahasiswa yang mempunyai kecemasan yang
tinggi lebih berhasil dalam kondisi ujian yang kurang menekan, sedangkan
mahasiswa yang mempunyai kecemasan yang rendah lebih berhasil dalam kondisi
yang menekan (Martaniah dalam Kusningsih, 1994).
Siswa berinisial AA meraih juara IV olimpiade fisika Jawa Tengah tetapi
tidak lulus ujian nasional. Di kalangan teman-temannya, AA dikenal sebagai anak
pintar. Hampir tiap tahun ia meraih ranking I atau setidaknya ranking II di kelas.
Setelah menjuarai olimpiade fisika se-Jawa Tengah, Universitas Semarang siap
menerima AA menjadi mahasiswa di jurusan fisika melalui jalur penerimaan
siswa berprestasi. Kesempatan ini pupus karena ia tidak lulus ujian nasional
(Kompas, 2006). Melihat dari kasus tersebut, menurut analisa penulis sesuai yang
diutarakan oleh Toepra (dalam Nasution, 2007) bahwa remaja SMA yang akan
menghadapi ujian akhir dan UMPTN sering mengalami ketegangan dan
kecemasan, Selanjutnya menurut Davidof (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007)
orang yang mengalami kecemasan biasanya mempunyai penilaian yang kurang
baik terhadap dirinya, mempunyai kecerdasan emosi yang rendah dan kurang
percaya diri. Sedangkan Collins (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007)
3
berpendapat bahwa kecemasan dapat diatasi bila seseorang mempunyai
kecerdasan emosional yang baik dengan cara berfikir realistis dan bersikap secara
tepat. Tetapi dalam kasus diatas, AA tidak dapat mengelola emosi, berpikir
realistis sehingga ia gagal dalam ujian.
Stroufe (dalam Amir, 2004) mengemukakan bahwa remaja yang berada
pada masa menuju kematangan mempunyai kemungkinan yang besar untuk
mengalami kecemasan. Pada masa ini, remaja digambarkan aktif menjelajahi
berbagai pilihan untuk menentukan identitas diri. Mereka masih bingung untuk
menentukan identitas yang sesuai dengan dirinya sehingga emosi mereka sangat
labil. Usia remaja merupakan masa stress dan storm dimana remaja mengalami
guncangan yang dapat menyebabkan timbulnys stress dan kecemasan. Arnett
(dalam Leonni dan Hadi, 2007) mengemukakan bahwa remaja juga mempunyai
reputasi berani mengambil resiko paling tinggi dibandingkan periode lainnya. Hal
ini pula yang mendorong remaja berpotensi mudah meningkat kecemasanya
karena kenekatannya sering mengiring pada suatu perilaku atau tindakan dengan
hasil yang tidak pasti. Keinginan yang besar untuk mencoba banyak hal menjadi
salah satu pemicu utama timbulnya perilaku nekat dan hasil yang tidak selalu jelas
yang dapat menyebabkan meningkatnya kecemasan pada remaja. Menurut
Danusio (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007) emosi berperan besar dalam
suatu tindakan bahkan dalam pengambilan keputusan yang paling rasional.
Kecerdasan emosional yang tinggi akan membantu remaja dalam mengatasi
konflik secara tepat dan menciptakan kondisi lingkungan yang menyenangkan.
4
Steinberg (dalam Nasution, 2007) mengungkapkan bahwa remaja pada
usia 15-18 tahun mengalami banyak perubahan secara kognitif, emosional dan
sosial, mereka berpikir lebih kompleks, secara emosional lebih sensitif dan lebih
sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Menurut Lestari dan
Purwanto (2003) kecerdasan emosi mencakup kemampuan untuk memotivasi diri
dan bertahan terhadap frustasi, kemampuan untuk mengontrol impuls dan
menunda pemuasannya, kemampuan untuk mengatur mood dan mencegah
keadaan yang berbahaya yang mempengaruhi kemampuan berpikir, serta
kemampuan untuk empati dan menolong.
Penelitian dari Hill (dalam Hasan, 2009) yang melibatkan 10.000 siswa
Sekolah Dasar dan Menengah di Amerika menunjukkan bahwa sebagian besar
siswa yang mengikuti tes, gagal menunjukkan kemampuan mereka yang
sebenarnya disebabkan oleh situasi dan suasana tes yang membuat mereka cemas.
Sebaliknya, para siswa ini memperlihatkan hasil yang lebih baik jika berada pada
kondisi yang lebih optimal, dalam arti unsur-unsur yang membuat siswa berada
dibawah tekanan dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Ini menunjukkan bahwa
sebenarnya para siswa tersebut menguasai materi yang diujikan tapi gagal
memperlihatkan kemampuan mereka yang sebenarnya karena kecemasan yang
melanda mereka saat menghadapi tes.
Goleman (2007) melakukan sebuah penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui tingkat kesuksesan mahasiswa di masa yang akan datang. Hasil
penelitianya membuktikan bahwa para mahasiswa di Harvard University yang
berprestasi tinggi, ternyata banyak yang tidak mempunyai keberhasilan yang lebih
5
tinggi daripada mahasiswa yang berprestasi biasa-biasa saja. Sebaliknya
mahasiswa yang mempunyai prestasi yang biasa-biasa saja justru mempunyai
tingkat keberhasilan yang tinggi dibandingkan dengan yang berprestasi akademik
tinggi di kemudian hari. Hal itu dikarenakan mahasiswa yang berprestasi tinggi
kebanyakan memiliki emosi yang terlampau ditekan, terlampau ekstrim dan bila
berlangsung secara terus menerus akan menjadi sumber penyakit. Selain itu,
emosi dengan intensitas yang tinggi akan melampaui titik wajar akan beralih
menjadi kecemasan kronis, amarah yang tidak terkendali dan depresi, begitu pula
dengan remaja santri yang belajar, menuntut ilmu di pondok pesantren dan
terbiasa hidup jauh dari keluarga. Kalangan remaja santri di domunasi oleh remaja
yang memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi di masa remaja.
Menurut uraian hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosi yang tinggi akan berpengaruh terhadap keberhasilan seseorang karena
seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi tidak akan mudah
cemas.
Ohman dan Soares (dalam Adrian, 2009) melakukan penelitian yang
menghasilkan kesimpulan bahwa sistem emosi mempercepat sistem kognitif
untuk mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi. Stimuli yang relevan
dengan rasa takut menimbulkan reaksi bahwa hal buruk akan terjadi. Terlihat
bahwa rasa takut mempersiapkan individu untuk antisipasi datangnya hal tidak
menyenangkan yang mungkin akan terjadi. Secara otomatis individu akan bersiap
menghadapi hal-hal buruk yang mungkin terjadi bila muncul kecemasan dan rasa
takut.
6
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan judul “ Hubungan Antara Kecerdasan Emosi
Dengan Tingkat Kecemasan Pada Remaja Kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren
Al-Mukmin Sukoharjo”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan masalah penelitian
ini adalah: Apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat
kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin
Sukoharjo ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara kecerdasan
emosi dengan tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok
Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Bagi orang tua, dapat memberikan wawasan tentang kecerdasan emosi dan
kecemasan sehingga dapat memberikan perlakuan yang sesuai pada anaknya
yang menempuh pendidikan di Pondok Pesantren.
2) Bagi pendidik, dapat memberikan masukan dalam rangka menerapkan
pendidikan yang sesuai pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-
7
Mukmin Sukoharjo, dimana kondisi emosional pada remaja di lingkungan
pondok berbeda dengan kondisi emosional remaja diluar lingkungan pondok.
3) Bagi peneliti lain, dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk peneliti
selanjutnya, khususnya mengenai tingkat kecemasan pada santri pondok
pesantren, dan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian
selanjutnya.
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tingkat Kecemasan
1. Pengertian Kecemasan
Iskandar (1992) menjelaskan istilah anxietas atau kecemasan sudah ada
sejak zaman Yunani dan Romawi. Orang Romawi menyebutnya anxietas yang
berarti troubled in mind. Dalam bahasa inggris perkataan itu menjadi anxiety.
Istilah ini dipakai mulai dari keadaan takut yang normal, ketegangan jiwa yang
normal, gejala dari berbagai gangguan psikiatri, atau dari penyakit. Menurut
Abidin (1992) istilah kecemasan berasal dari kata anxietas yang secara linguistik
adalah dari bahasa latin “anxietas” berasal dari kata “ango” (sempit), yang
mengingatkan pada sesak nafas. Kecemasan merupakan gejala penting serangan
cemas atau perasaan tercekik.
Kecemasan adalah keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram dan
sebagainya disertai berbagai keluhan fisik. Keadaan ini dapat terjadi atau
menyertai berbagai kondisi atau situasi kehidupan, berbagai gangguan fisik
ataupun mental (Wibisono dalam Kusningsih, 1994).
Sitanggang (1994) mengartikan kecemasan sebagai ketakutan yang samar-
samar dan yang tidak jelas terarah pada suatu realisasi obyektif yang didapat
karena pengalaman atau melalui generalisasi rangsangan, seringkali terjadi
sebagai akibat frustasi/kekecewaan. Hal ini merupakan ciri dari berbagai
gangguan syaraf dan mental. Sedangkan Daradjat (dalam Nugraheni, 2005)
8
9
mengungkapkan kecemasan merupakan adanya perasaan tidak menentu, rasa
panik, adanya perasaan takut dan ketidakmampuan individu untuk memahami
sumber ketakutannya.
Menurut Speilberger (dalam Purboningsih, 2004), kecemasan adalah suatu
reaksi emosional yang tidak menyenangkan terhadap bahaya yang tidak nyata atau
imaginer dimana reaksi ini muncul bersama pengalaman otonom dan subyektif
yang dirasakan sebagai ketegangan, ketakutan dan kegelisahan.
Nuhriawangsa (2004) menjelaskan kecemasan merupakan perasaan cemas
atau takut yang disebabkan oleh dugaan adanya bahaya yang akan mengancam
yang datangnya bisa dari dalam maupun luar dirinya. Selanjutnya Wibisono
(dalam Kusningsih dkk, 1994) mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan
khawatir, gelisah, takut, tidak tentram dan sebagainya disertai berbagai keluhan
fisik. Keadaan ini dapat terjadi atau menyertai berbagai kondisi atau situasi
kehidupan, berbgai gangguan fisik ataupun mental.
Prawirohusodo mengidentifikasikan kecemasan sebagai pengalaman emosi
yang tidak menyenangkan dalam kadar yang bervariasi mulai perasaan cemas
yang ringan sampai ketakutan yang intensif, yang berhubungan dengan ancaman
bahaya, yang umumnya tidak atau kecil sekali kaitanya dengan kausa eksternal.
Hal ini biasanya diiringi oleh perubahan-perubahan somatik, fisiologik,
autonomik, biokimiawi, hormonal dan perilaku yang spesifik. (Kusningsih dkk,
1994).
Kecemasan menurut Syamsulhadi (1996) adalah perasaan cemas yang
sangat kurang menyenangkan yang bersifat difus, kadang-kadang samar-samar
10
yang disertai satu atau lebih perasaan-perasaan di tubuh misalnya perasaan kosong
di ulu hati, tertekan dada, jantung berdebar keras, berkeringat banyak, sakit kepala
dan tiba-tiba terasa ingin buang air kecil, rasa tidak bisa istirahat dan keinginan
untuk berpindah-pindah.
Dari pengertian diatas kecemasan merupakan pengalaman emosi yang
tidak menyenangkan dalam kadar bervariasi, mulai perasaan cemas ringan sampai
hebat, berhubungan dengan ancaman bahaya. Keadaan ini biasanya diiringi oleh
perubahan somatik, fisiologik, autonomik, biokimiawi, hormonal dan berilaku
spesifik.
2. Gejala-Gejala Kecemasan
Simtom-simtom somatis yang dapat menunjukkan ciri-ciri kecemasan
menurut Stern (dalam Trismiati, 2004) adalah muntah-muntah, diare, denyut
jantung yang bertambah keras, seringkali buang air, nafas sesak disertai tremor
pada otot. Kartono (dalam Trismiati, 2004) menyebutkan bahwa kecemasan
ditandai dengan emosi yang tidak stabil, sangat mudah tersinggung dan marah,
sering dalam keadaan excited atau gelisah.
Daradjat (dalam Nugraheni, 2005) mengklasifikasikan gejala kecemasan
sebagai berikut:
a. Gejala fisik (fisiologis)
Kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala-gejala
fisik, terutama pada fungsi sistem syaraf. Ciri-cirinya: ujung jari terasa
dingin, pencernaan tidak teratur, detak jantung cepat, keringat bercucuran,
11
tekanan darah meningkat, tidur tidak nyenyak, nafsu makan menghilang,
kepala pusing, nafas sesak.
b. Gejala mental (psikologis)
Kecemasan sebagai gejala-gejala kejiwaan. Ciri-cirinya: takut, tegang,
bingung, khawatir, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak berdaya,
rendah diri, tidak tentram, ingin lari dari kenyataan hidup, perubahan
emosi, turunya kepercayaan diri, tidak ada motivasi.
Dari uraian diatas gejala kecemasan merupakan hal-hal yang nampak
sebagai tanda-tanda orang yang mengalami kecemasan baik dari dalam maupun
dari luar, baik gejala fisik maupun gejala psikis.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Menurut Ancok (dalam Nugraheni, 2005), kecemasan timbul karena
adanya pikiran yang keliru tentang suatu hal dan bereaksi yang berlebihan
terhadap hal-hal tersebut. Kecemasan muncul karena terdapat beberapa situasi
yang mengancam manusia sebagai makhluk sosial. Ancaman ini berasal dari
adanya konflik, ancaman terhadap harga diri dan adanya tekanan untuk
melaksanakan sesuatu diluar kemampuanya.
Page (dalam Nugraheni, 2005) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan adalah sebagai berikut:
a. Faktor fisik,
b. Trauma dan konflik, pengalaman emosional atau konflik mental yang
terjadi pada individu akan memudahkan timbulnya gejala-gejala
kecemasan,
12
c. Conditioning, emosi-emosi, impuls-impuls yang dialami dalam suatu
kondisi tertentu dapat menjadi kuat apabila berhubungan dengan kejadian-
kejadian yang hampir sama yang pernah dialami individu sebelumnya,
d. Konstitusi, hereditas, lingkungan awal dan latihan adalah faktor-faktor
utama yang dapat mempengaruhi kecemasan individu,
Berbagai faktor predisposisi yang dapat menimbulkan kecemasan menurut
Roan (dalam Sudiyanto, 2005) yaitu faktor genetik, faktor organik dan faktor
psikologi. Pada pasien yang akan menjalani operasi, faktor predisposisi
kecemasan yang sangat berpengaruh adalah faktor psikologis, terutama
ketidakpastian tentang prosedur dan operasi yang akan dijalani.
Sebab-sebab munculnya kecemasan, menurut Freud (dalam Trismiati,
2004) mengemukakan bahwa lemahnya ego akan menyebabkan ancaman yang
memicu munculnya kecemasan. Freud berpendapat bahwa sumber ancaman
terhadap ego tersebut berasal dari dorongan yang bersifat insting dari id dan
tuntutan-tuntutan dari superego. Ego disebut sebagai eksekutif kepribadian,
karena ego mengontrol pintu-pintu ke arah tindakan, memilih segi-segi
lingkungan kemana ia akan memberikan respon, dan memutuskan insting-insting
manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Dalam melaksanakan
fungsi-fungsi eksekutif ini, ego harus berusaha mengintegrasikan tuntutan id,
superego, dan dunia luar yang sering bertentangan. Hal ini sering menimbulkan
tegangan berat pada ego dan menyebabkan timbulnya kecemasan
Faktor penyebab timbulnya kecemasan menurut Carnegie (2007) dapat
digolongkan menjadi 3, yaitu:
13
a. Faktor Kognitif.
Kecemasan dapat timbul sebagai akibat dari antisipasi harapan akan situasi
yang menakutkan dan pernah menimbulkan situasi yang menimbulkan
rasa sakit, maka apabila ia dihadapkan pada peristiwa yang sama ia akan
merasakan kecemasan sebagai reaksi atas adanya bahaya.
b. Faktor Lingkungan.
Salah satu penyebab munculnya kecemasan adalah dari hubungan-
hubungan dan ditentukan langsung oleh kondisi-kondisi, adat-istiadat, dan
nilai-nilai dalam masyarakat. Kecemasan dalam kadar terberat dirasakan
sebagai akibat dari perubahan sosial yang amat cepat, dimana tanpa
persiapan yang cukup, seseorang tiba-tiba saja sudah dilanda perubahan
dan terbenam dalam situasi-situasi baru yang terus menerus berubah,
dimana perubahan ini merupakan peristiwa yang mengenai seluruh
lingkungan kehidupan, sehingga seseorang akan sulit membebaskan
dirinya dari pengalaman yang mencemaskan ini.
c. Faktor Proses Belajar
Kecemasan timbul sebagai akibat dari proses belajar. Manusia
mempelajari respon terhadap stimulus yang memperingatkan adanya
peristiwa berbahaya dan menyakitkan yang akan segera terjadi.
Speilberger (dalam Purboningsih, 2004) mengemukakan bahwa
kecemasan dasar terbentuk dari pengalaman-pengalama di masa lalu dan dari hasil
pemikiran individu tentang kecemasan tersebut. Setiap orang akan memiliki
pengalaman dan pemikiran akan kecemasan yang berbeda-beda tergantung
14
bagaimana kecenderungan persepsinya mengenai situasi disekitarnya, apakah
situasi di sekitar dipersepsi sebagai situasi mengancazm atau tidak. Pengalaman-
pengalaman tersebut berisi stimulus-stimulus yang dapat mengancam bagi dirinya
dan menempatkan individu pada kecenderungan untuk bereaksi cemas, sehingga
setiap orang memiliki rentang kecemasan yang berbeda-beda.
Dari uraian diatas kecemasan timbul dikarenakan beberapa hal yang
mempengaruhinya, baik dari dalam maupun dari luar. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan membentuk perilaku terhadap tingkat kecemasan yang
berbdea-beda
4. Aspek-Aspek Kecemasan
Kecemasan selalu melibatkan komponen psikis (afektif, kognitif, perilaku)
dan biologis (somatik dan neurofisiologik). Gejala somatik sangat bervariasi pada
masing-masing individu, tetapi pada dasarnya merupakan manifestasi keterlibatan
saraf otonom dan sistem viseral, sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal,
sistem respiratorik, sistem muskuloskeletal. Selain komponen motorik dan visera,
kecemasan juga menimbulkan gangguan pada proses pikir, konsentrasi belajar,
persepsi sehingga dapat menimbulkan hendaya dalam kehidupan seseorang yang
masih belajar (Kusningsih, 1994).
Greenberger & Padesky (dalam Carnegie, 2007) menyatakan bahwa
kecemasan berasal dari dua aspek, yakni aspek kognitif dan aspek kepanikan yang
terjadi pada seseorang. diantaranya adalah :
15
a. Aspek kognitif
1) Kecemasan disertai dengan persepsi bahwa seseorang sedang berada
dalam bahaya atau terancam atau rentan dalam hal tertentu, sehingga
gejala fisik kecemasan membuat seseorang siap merespon bahaya atau
ancaman yang menurutnya akan terjadi,
2) Ancaman tersebut bersifat fisik, mental atau sosial, diantaranya adalah:
a) Ancaman fisik terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia akan
terluka secara fisik,
b) Ancaman mental terjadi ketika sesuatu membuat khawatir bahwa dia
akan menjadi gila atau hilang ingatan,
c) Ancaman sosial terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia akan
ditolak, dipermalukan, merasa malu atau dikecewakan.
3) Persepsi ancaman berbeda-beda untuk setiap orang,
4) Sebagian orang, karena pengalaman mereka bisa terancam dengan begitu
mudahnya dan akan lebih sering cemas. Orang lain mungkin akan
memiliki rasa aman dan keselamatan yang lebih besar. Tumbuh di
lingkungan yang kacau dan tidak sabil bisa membuat seseorang
menyimpulkan bahwa dunia dan orang lain selalu berbahaya,
5) Pemikiran tentang kecemasan berorientasi pada masa depan dan sering
kali memprediksi malapetaka. Pemikiran tentang kecemasan sering
dimulai dengan keragu-raguan dan berakhir dengan hal yang kacau.
Pemikiran tentang kecemasan juga sering meliputi citra tentang bahaya.
16
Pemikiran-pemikiran ini semua adalah masa depan dan semuanya
memprediksi hasil yang buruk,
b. Aspek kepanikan
Panik merupakan perasaan cemas atau takut yang ekstrem. Rasa panik
terdiri atas kombinasi emosi dan gejala fisik yang berbeda. Seringkali rasa
panik ditandai dengan adanya perubahan sensasi fisik atau mental, dalam
diri seseorang yang menderita gangguan panik, terjadi lingkaran setan saat
gejala-gejala fisik, emosi, dan pemikiran saling berinteraksi dan meningkat
dengan cepat. Pemikiran ini menimbulkan ketakutan dan kecemasan serta
merangsang keluarnya adrenalin. Pemikiran yang katastrofik dan reaksi fisik
serta emosional yang lebih intens yang terjadi bisa menimbulkan
dihindarinya aktivitas atau situasi saat kepanikan telah terjadi sebelumnya.
Menurut Haber dan Runyon (dalam Halim dan Atmoko, 2005) kecemasan
termanifestasi melalui 4 dimensi, yaitu kogitif, motorik, somatis dan afektif.
Dari uraian diatas kecemasan timbul dikarenakan atas hal-hal dasar yang
membentuk perilaku kecemasan, aspek-aspek yang membentuk kecemasan
beberapa diantaranya adalah aspek fisik dan psikis.
5. Klasifikasi Tingkat Kecemasan
Menurut Setyonegoro dan Iskandar (dalam Sudiyanto, 2005) kecemasan
dapat bersifat positif dan negatif.
a. Kecemasan bersifat positif terjadi apabila disalurkan secara sehat melalui
mekanisme koping (coping mechanism), yaitu usaha mengatasi perasaan
cemas yang tidak menyenangkan tersebut dengan melakukan secara sadar
17
hal-hal konstruktif, misalnya giat belajar agar lulus ujian, latihan intensif
agar menang pertandingan dan sebagainya.
b. Kecemasan yang bersifat negatif terjadi apabila perasaan cemas yang ada
sampai menganggu keseimbangan emosi, konsentrasi, dan aktifitas harian
yang bersangkutan. Dalam hal ini kecemasan dapat berderajat ringan,
sedang, sampai berat yang selanjutnya disebut gangguan kecemasan.
Townsend (dalam Sudiyanto, 2005) mengemukakan ada empat tingkat
kecemasan yaitu kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan berat dan
panik.
a. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan
sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi
belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang
muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi
meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat
dan tingkah laku sesuai situasi,
b. Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada
masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga
seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan
sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu
kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernapasan
meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi,
lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal,
18
kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada
rangsangan yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak
sabar, mudah lupa, marah dan menangis,
c. Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang
dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang
terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang
tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada
suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah
mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering
kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar
secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk
menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung,
disorientasi,
d. Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena
mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu
melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang
terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi,
pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap
perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan
delusi.
Menurut Atwater (dalam Halim dan atmoko, 2005), bahwa kecemasan
pada tingkat rendah sampai menengah akan membuat individu waspada dan
19
responsif terhadap situasi, tetapi pada tingkat tinggi akan menyita kesadaran dan
menganggu kemampuannya.
Dari uraian klasifikasi tingkat kecemasan diatas kecemasan bisa bersifat
positif ataupun negatif yang dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu rendah, sedang,
dan tinggi, dimana di setiap tingkatan mengidentifikasikan perilaku yang berbeda-
beda.
6. Manajemen Kecemasan
a. Manajemen kecemasan dengan penggunaan obat
Papp melakukan percobaan pengontrolan terhadap placebo yang
mengalami gangguan kecemasan meninggalkan beberapa keraguan, bahwa
anti-depressan yang paling baru efektif untuk gangguan kecemasan. Karena
bekerja lebih cepat dan memiliki efek samping yang lebih kecil daripada
obat-obatan tricyclic dan inhibitors monoamine oxidase, sebagai permulaan,
penulisan resep obat kepada pasien-pasien kecemasan harus terus
dilanjutkan. Akan tetapi, kebanyakan ahli klinis percaya bahwa hasil terbaik
untuk gangguan kecemasan berasal dari kombinasi obat-obatan dengan satu
atau lebih tipe psikoterapi.
b. Manajemen kecemasan melalui psikoterapi
Salah satu metode yang efektif untuk mengatasi gangguan
kecemasan adalah pemberian psikoterapi untuk kognitif dan tingkah laku.
Walaupun terdapat banyak klaim yang menyatakan bahwa sulit untuk
mengganti perawatan psikologis dengan percobaan penyelidikan, ilmuwan
telah mengembangkan kapasitas untuk menerapkan rancangan penelitian
20
yang tepat termasuk randomisasi dan penilaian buta untuk terapi tingkah
laku-kognitif. Sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Lawrence
welkowitz, hasilnya telah didokumentasikan bahwa terapi tingkah laku-
kognitif itu efektif untuk mayoritas gangguan kecemasan (Kaplan dan
Sadock, 1994).
Psikoterapi yang paling efektif untuk mengatasi kecemasan adalah
terapi kognitif perilaku (Cognitive Behavior Therapy), yaitu
mengembangkan cara berpikir yang lebih adaptif. Asumsi dasar Terapi
Kognitif Perilaku (TKP) adalah adanya hubungan timbal balik antara proses
berpikir (apa yang dipikirkan) dengan afeksi (pengalaman emosional), fisik
dan perilaku. TKP menekankan pentingnya perubahan kognitif dan perilaku
untuk mengurangi simtom dan meningkatkan fungsi afek seseorang. TKP
tidak hanya memperbaiki kognitif, namun juga mengubah perilaku, karena
perubahan perilaku dapat berpengaruh kuat pada pola pikir. Tujuan TKP
adalah memperbaiki pikiran yang salah, dimana pikiran tersebut sering
berubah dan hal tersebut akan berpengaruh pada suasana hati, fisik dan
perilaku. Proses tersebut berpengaruh terhadap pembelajaran untuk
mengevaluasi pemikiran serta mengubah seseorang menjadi rasional dan
adaptif dengan cara mengubah pola pikir yang berpengaruh pada perasaan
dan perilakunya. Stallard berpendapat bahwa TKP menghubungkan antara
apa yang dipikirka, apa yang dirasakan, dan apa yang akan dilakukan
(Mawandha dan Ekowarni, 2009). Hal tersebut dapat digambarkan pada
diagram berikut ini :
21
Gambar 1. Diagram Kognitif Perilaku
(Mawandha dan Ekowarni, 2009)
7. Respon Kecemasan
Menurut Carnegie (2007) ada 2 respon kecemasan yaitu respon fisiologis
dan respon psikologis terhadap kecemasan :
a. Respon fisiologis terhadap kecemasan
1) Kardio vaskuler
Peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung berdebar, denyut nadi
meningkat, tekanan nadi menurun, syock dan lain-lain,
2) Respirasi
Napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa tercekik,
3) Kulit
perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh
tubuh, rasa terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat, gatal-
gatal,
Pemikiran
Perasaan tidak menyenangkan
Apa yang akan dilakukan
Perasaan tidak menyenangkan
22
4) Gastro intestinal
Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa terbakar di epigastrium,
nausea, diare,
5) Neuromuskuler
Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia,
tremor, kejang, wajah tegang, gerakan lambat.
b. Respon psikologis terhadap kecemasan
1) Perilaku
Gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada koordinasi, menarik
diri, menghindar,
2) Kognitif
Gangguan perhatian, konsentrasi hilang, mudah lupa, salah tafsir,
bloking, bingung, lapangan persepsi menurun, kesadaran diri yang
berlebihan, kawatir yang berlebihan, obyektifitas menurun, takut
kecelakaan, takut mati dan lain-lain,
3) Afektif
Tidak sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang luar biasa, sangat
gelisah dan lain-lain.
Blackburn dan Davidson (dalam Dwita dan Natalia, 2002) membuat
analisis fungsional gangguan kecemasan yang menjelaskan reaksi terhadap
kecemasan. Analisis tersebut digambarkan dalam Tabel 1 berikut ini:
23
Tabel 1. Analisis Gangguan Fungsional Kecemasan dari Blackburn dan Davidson
Simtom-simtom psikologis Keterangan Suasana hati Kecemasan, mudah marah, perasaan sangat tegang Motivasi Khawatir, sukar berkonsentrasi, pikiran kosong,
membesar-besarkan ancaman, memandang diri sebagai sangat sensitif, tidak berdaya
Perilaku Gelisah, gugup, kewaspadaan berlebihan Gejala biologis Gerakan otomatis meningkat: berkeringat, gemetar,
pusing, berdebar-debar, mual, mulut kering
B. Kecerdasan Emosi
1. Pengertian Kecerdasan Emosi
Dari segi etimologi, emosi berasal dari akar bahasa latin “movere” yang
berarti “menggerakkan, bergerak”. Kemudian awalan “e-“ untuk memberi arti
“bergerak menjauh”. Makna ini menyiratkan kesan bahwa kecenderungan
bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Emosi dalam makna paling harfiah
menurut Oxford, English Dictionary yang mendefinisikan sebagai setiap kegiatan
atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu dan setiap keadaan mental yang hebat
atau meluap-luap. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran
khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan
untuk bertindak (Goleman, 2007).
Kata emosi bisa secara sederhana didefinisikan sebagai “gerakan” baik
secara metafora maupun harfiah untuk mengeluarkan perasaan. Sedangkan dalam
bahasa latin emosi dapat dijelaskan sebagai motus anima yang arti harfiahnya
“jiwa yang menggerakkan kita” (Cooper dan Sowaf, 2002). Selanjutnya menurut
Suryabrata (2004), emosi didefinisikan sebagai gejala psikis yang bersifat
24
subjektif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenal, dan
dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf.
Goleman dan Steiner (dalam Suryanti dkk, 2002), mendefinisikan emosi
sebagai kekuatan pribadi (personal power) yang memungkinkan manusia untuk
berpikir secara keseluruhan, mampu mengenali emosi diri sendiri dan orang lain
serta tahu bagaimana mengekspresikannya secara tepat.
Menurut Albin (dalam Fauziah dan Hery, 2006), emosi adalah perasaan
yang kita alami. Kemampuan untuk memikirkan emosi kita juga membantu
meningkatkan kemampuan untuk menguasainya. Mengetahui latar belakang
mengapa terjadi emosi hingga pada cara untuk menanggapi emosi tersebut.
Emosi-emosi dapat merangsang pikiran baru, khayalan baru, dan tingkah laku
baru.
Albin (dalam Rostiana, 1997) mengartikan emosi sebagai perasaan yang
kita alami, misalnya: rasa senang, sedih, marah, cemas, cinta dan sebagainya.
Goleman (2007) mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan besar, yaitu:
a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, marah, jengkel, kesal hati, terganggu,
rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan barangkali yang paling
hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis,
b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri sendiri,
kesepian, ditolak, putus asa, dan kalau menjadi patologis, depresi berat,
c. Rasa takut : cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali,
kecut; sebagai patologi, fobia dan panik,
25
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga,
kenikmatan inderawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi,
kegirangan luar biasa, senang, senang sekali dan, batas ujungnya manja,
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat,
bakti, hormat, kasmaran, kasih,
f. Terkejut : terkejut, terkesiap, takjub, terpana,
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah,
h. Malu rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib dan hati hancur lebur.
Menurut Ahmadi dan Umar (1982), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi emosi, yaitu:
a. Keadaan jasmani, misalnya badan kita dalam keadaan sakit, perasaan kita
lebih mudah tersinggung daripada kalau badan kita dalam keadaan sehat dan
segar,
b. Pembawaan, ada orang yang mempunyai pembawaan berperasaan halus,
sebaliknya ada pula yang kebal perasaanya,
c. Perasaan seseorang berkembang sejak ia mengalami sesuatu, karena itu mudah
dimengerti bahwa keadaan yang pernah mempengaruhinya dapat memberikan
corak dalam perkembangan perasaanya. Selain itu ada faktor lain misalnya
keadaan keluarga, suasana rumah tangga, lingkungan sosial, pendidikan,
jabatan, pergaulan sehari-hari, cita-cita hidup dan sebagainya.
Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa emosi adalah perasaan
yang muncul baik dari dalam maupun dari luar, senang ataupun tidak senang pada
26
diri individu yang mendorong individu tersebut untuk meresepon atau bertingkah
laku karena dipengaruhi oleh suatu stimulus.
Akar kecerdasan emosional berawal dari bidang psikologi ketika pada
tahun 1928, E. L Thorndike mengidentifikasi aspek kecerdasan emosional yang
disebutnya dengan kecerdasan sosial (sosial intelligence). Pada tahun 1952
Weschler meneruskan penelitian yang dilakukan oleh E. L Thorndike dan
menyatakan bahwa kemampuan non-kognitif, yang disebutnya sebagai hal yang
bersifat nonintelektual, juga merupakan hal yang esensial dalam memprediksi
kemampuan individu untuk sukses dalam organisasi. Penelitian selanjutnya
tentang peran emosi dalam kesuksesan individu pada tahun 1983 ketika Gardner
menyebutkan faktor yang disebutnya sebagai intelegensi ganda (multiple
intelligence) sebagai kunci sukses individu dalam organisasi. Gardner berargumen
bahwa kemampuan intrapribadi (intrapersonal) dan antarpribadi (interpersonal)
juga diklasifikasikan sebagai kecerdasan yang sama pentingnya dalam intelegensi
yang diukur dengan tes IQ. Secara khusus penelitian tentang faktor non-kognitif
dalam kesuksesan individu dalam dunia kerja baru berkembang sejak awal 1990-
an setelah Bar-On mampu mengembangkan tes baku untuk mengukur kemampuan
non kognitif individu. Kemudian tahun 1990, Salovey dan Mayer menerbitkan
artikel dan menggunakan kata ”kecerdasan emosional” yang kemudian dipakai
sebagai istilah yang baku dalam bidang psikologi dan perilaku. (Susilawati, 2002)
Kecerdasan emosi diciptakan dan secara resmi didefinisikan oleh Jack
Mayer dari Universitas New Hampshire dan Peter Salovey dari Universitas Yale
pada tahun 1990. Mereka mengembangkan konsep Profesor Gardner yang
27
menetapkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali
perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran,
memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara
mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual (Stein dan
Book, 2002).
Cooper dan Sawaf (2002) menyatakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya
dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh
yang manusiawi. Kecerdasan emosional menuntut pemilikan perasaan untuk
belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta
menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam
kehidupan sehari-hari. Sementara itu Steiner (dalam Riani dan Farida, 2006)
memberikan pengertian bahwa kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan
untuk mengerti emosi diri sendiri dan orang lain serta mengetahui bagaimana
emosi diri sendiri terekspresikan untuk peningkatan maksimal secara etis sebagai
kekuatan pribadi.
Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk
mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi
diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
hubungan dengan orang lain.
Wang dan Ahmed (dalam Riani dan Farida, 2006) menyatakan bahwa
untuk mengatur kondisi emosi manusia dibutuhkan kecerdasan emosional.
Salovey dan Mayer (dalam Yen dan Atmadji, 2003) mengartikan kecerdasan
28
emosi sebagai himpunan dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan
memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain,
memilah-milahnya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran
dan tindakan. Sedangkan kecerdasan emosi menurut Mayer (dalam Goleman,
2007) adalah kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan
orang lain serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan
tindakan.
Dari pengertian diatas kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk
membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, tempramen, motivasi
dan hasrat orang lain, yang merupakan kunci pengetahuan diri dan akan menuntun
pada tingkah laku yang tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam
kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Tiga unsur penting kecerdasan emosional
terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri), kecakapan sosial
(menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah
tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Menurut Solovey dan Meyer (dalam Goleman, 2007) ada beberapa faktor
yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang antara lain :
a. Fisik
Secara fisik menurut Le Doux bagian yang paling menentukan atau
berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi
syaraf emosinya atau bagian otaknya. Bagian otak yang berpikir adalah
korteksnya.
29
1. Korteks.
Secara harfiah berarti tudung berpikir otak yang membuat seseorang
berada di puncak tangga evolusi. Memahami korteks dan perkembangan
membantu individu menghayati mengapa sebagian individu sangat cerdas
sedangkan yang lain sulit belajar. Korteks berperan penting dalam
memahami kecerdasan emosi, korteks berperan penting dalam memahami
sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa seseorang mengalami
perasaan tertentu, selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya.
Korteks khususnya lobus prefrontalis dapat bertindak sebagai saklar
peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat
sesuatu.
2. Sistem Limbik.
Bagian ini sering disebut sebagai bagian emosi yang letaknya jauh dalam
hemisfer otak besar terutama bertanggung jawab atas peraturan emosi dan
impuls. Sistem limbik meliputi hippocampus, tempat berlangsungnya
proses pembelajaran emosi, selain itu ada amigdala yang dipandang
sebagai pusat pengendalian emosi pada otak.
b. Psikis
Faktor psikis kecerdasan emosi berupa pengalaman, perasaan, kemampuan
berfikir dan motivasi. Kecerdasan emosi selalu berpengaruh pada kepribadian
individu dan dapat diperkuat dalam diri individu baik dalam lingkungan keluarga
maupun non-keluarga.
30
1. Lingkungan Keluarga.
Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari
emosi. Disini peran orang tua sangatlah dibutuhkan. Orang tua adalah
subjek pertama yang perilakunya diidentifikasi oleh anak kemudian
diinternalisasi akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian yang sangat
menguntungkan bagi anak. Orang tua yang mempunyai kecerdasan emosi
yang tinggi akan sangat menguntungkan bagi anak, orangtua yang
demikian dapat menyesuaikan dan mengerti perasaan anak yang baik.
Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak
kelak di kemudian hari. Sebagai contoh : kebiasaan dan mendapatkan
disiplin dan bertanggung jawab, kemampuan berempati, kepedulian dan
kehangatan sikap dan sebagainya. Anak yang secara emosi cakap akan
mempunyai pergaulan yang lebih baik, lebih hangat, dan mempunyai
sedikit kontra dengan orang lain, mempunyai kadar stres yang rendah, dan
tidak mempunyai banyak masalah.
2. Lingkungan Non-keluarga.
Hal ini berkaitan dengan lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah.
Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan
mental anak. Pembelajaran ini ditunjukkan dalam aktivitas bermain anak
misalnya dengan bermain peran sebagai orang lain di luar dirinya dengan
emosi yang menyertai, dengan anak akan belajar mengerti keadaan orang
lain. Selain itu juga dapat meningkatkan sikap asertivitas, empati, dan lain-
lain.
31
Dari uraian faktor diatas kecerdasan emosi timbul dikarenakan beberapa
hal yang mempengaruhinya, baik faktor fisik maupun psikis. Faktor-faktor
tersebut membentuk perilaku yang timbul akibat kecerdasan emosi yang berbdea-
beda.
3. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi
Menurut Bar-On (dalam Stein dan Book, 2002) kecerdasan emosi
merupakan sekumpulan kecakapan dan sikap yang jelas perbedaanya namun
saling tumpang tindih. Kumpulan tersebut dikelompokkan ke dalam lima ranah,
yaitu:
a. Intra pribadi
Terkait dengan kemampuan untuk mengenal dan mengendalikan diri
sendiri yaitu melingkupi:
1) Kesadaran diri
Kemampuan untuk mengenali perasaan dan mengapa individu
merasakanya seperti itu dan pengaruh individu tersebut terhadap orang
lain,
2) Sikap asertif
Kemampuan menyampaikan secara jelas pikiran dan perasaan individu,
membela diri dan mempertahankan pendapat,
3) Kemandirian
Kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri, berdiri dengan
kaki sendiri,
32
4) Aktualisasi diri
Kemampuan mewujudkan potensi yang individu miliki dan merasa
senang dengan prestasi yang di raih di tempat kerja maupun dalam
kehidupan pribadi,
b. Antar pribadi
Ranah antar pribadi berkaitan dengan ketrampilan bergaul yang dimiliki
individu yaitu kemampuan untuk berinteraksi dan bergaul baik dengan
orang lain. Wilayah ini dibagi menjadi tiga skala, yaitu:
1) Empati
Kemampuan untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain,
kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain,
2) Tanggung jawab
Kemampuan untuk menjadi anggota masyarakat yang dapat bekerja
sama dan bermanfaat bagi kelompok masyarakatnya,
3) Hubungan antar pribadi
Kemampuan untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan yang
saling menguntungkan, dan ditandai oleh saling memberi dan menerima
serta rasa kedekatan emosional,
c. Penyesuaian diri
Kemampuan untuk bersikap lentur dan realistis, dan untuk memecahkan
aneka masalah yang muncul. Wilayah ini dibagi menjadi tiga skala, yaitu:
33
1) Uji realitas
Kemampuan untuk melihat sesuatu sesuai dengan kenyataanya, bukan
seperti yang individu inginkan atau takuti,
2) Sikap fleksibel
Kemampuan untuk menyesuaikan perasaan, pikiran dan tindakan
individu dengan keadaan yang berubah-ubah,
3) Pemecahan masalah
Kemampuan untuk mendefinisikan permasalahan, kemudian bertindak
untuk mencari dan menerapkan permasalahan yang jitu dan tepat,
d. Pengendalian stres
Ranah pengendalian stres berkaitan dengan kemampuan individu untuk
menghadapi stress dan mengendalikan impuls. Wilayah ini dibagi menjadi
dua skala, yaitu:
1) Ketahanan menanggung stres
Kemampuan untuk tetap tenang dan berkonsentrasi, dan secara
konstruktif bertahan menghadapi kejadian yang gawat dan tetap tegar
menghadapi konflik emosi,
2) Pengendalian impuls
Kemampuan untuk menahan atau menunda keinginan untuk bertindak,
e. Suasana hati
Ranah suasana hati memiliki dua skala, yaitu:
1) Optimisme
Kemampuan untuk mempertahankan sikap positif yang realistis,
terutama dalam menghadapi masa-masa sulit,
34
2) Kebahagiaan
Kemampuan untuk mensyukuri kehidupan, menyukai diri sendiri dan
orang lain, dan untuk bersemangat serta bergairah dalam melakukan
setiap kegiatan.
Goleman (2007) mengemukakan aspek-aspek kecerdasan emosional
sebagai berikut:
a. Mengenali emosi sendiri
Kemampuan individu untuk mengenali perasaan sesuai dengan apa yang
terjadi, mampu memantau perasaan dari waktu ke waktu dan merasa
selaras terhadap apa yang dirasakan,
b. Mengelola emosi
Kemampuan untuk menangani perasaan sehingga perasaan dapat diungkap
dengan tepat, kemampuan untuk menenangkan diri, melepaskan diri dari
kemarahan yang menjadi-jadi,
c. Memotivasi diri sendiri
Kemampuan untuk mengatur emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan,
menunda kepuasan dan merenggangkan dorongan hati, mampu berada
dalam tahap flow,
d. Mengenali emosi orang lain
Kemampuan mengetahui perasaan orang lain (kesadaran empatik),
menyesuaikan diri terhadap apa yang diinginkan orang lain,
35
e. Membina hubungan
Kemampuan mengelola emosi orang lain dan berinteraksi secara mulus
dengan orang lain.
Menurut Mayer dan Salovey (2000), kecerdasan emosional dibagi menjadi
empat cabang, yaitu: (1) penerimaan emosi, (2) penggunaan emosi untuk
memfasilitasi pemikiran/gagasan, (3) pemahaman emosi dan (4) pengaturan emosi
di dalam mempertinggi perkembangan pribadi dan hubungan sosial. Bentuk
keempat cabang tersebut dengan mengidentifikasi emosi dalam diri dan orang lain
sebagai sesuatu yang sangat fundamental dan memanage emosi; kemampuan
untuk meregulasi emosi dalam diri dan orang lain. Cabang-cabang tersebut lebih
jelasnya, yaitu:
a. Kemampuan menerima emosi
1) Kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi emosi secara fisik dan
psikologis,
2) Kemampuan untuk mengidentifikasi emosi orang lain,
3) Kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara akurat untuk
mengekspresikan kebutuhan mereka,
4) Kemampuan untuk mendeskriminasikan kejujuran dan ketidakjujuran
perasaan,
b. Kemampuan menggunakan emosi untuk memfasilitasi pemikiran
1) Kemampuan mengarahkan pemikiran prioritas pada bagian dasar
perasaan yang diasosiasikan,
36
2) Kemampuan menggeneralisasikan emosi untuk membenarkan dan
memori,
3) Kemampuan memberikan pemilihan mood yang baik untuk
mengapresiasikan berbagai sudut pandang,
4) Kemampuan menggunakan emosi untuk problem solving dan berfikir
kreatif,
c. Kemampuan untuk memahami emosi
1) Kemampuan memahami hubungan macam-macam emosi,
2) Kemampuan menerima konsekuensi emosi,
3) Kemampuan memahami perasaan kompleks, dan status yang
berlawanan,
4) Kemampuan untuk memahami perpindahan emosi,
d. Kemampuan untuk mengatur emosi
1) Kemampuan untuk membuka perasaan, yakni antara senang dan tidak
senang,
2) Kemampuan untuk memonitor dan merefleksikan emosi,
3) Kemampauan menggunakan emosi,
4) Kemampuan mengatur emosi seseorang dan mengatur emosi orang
lain,
Bradberrry dan Graves (2009) mengemukakan bahwa terdapat empat
komponen yang secara bersama-sama membentuk kecerdasan emosi, yaitu
kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, dan manajemen hubungan
sosial. Kesadaran diri dan manajemen diri lebih mengenai diri seseorang, dua skill
37
ini membentuk kompetensi seseorang dalam menyadari keberadaan emosi serta
mengelola perilaku kecenderungan dirinya. Sedangkan kesadaran sosial dan
manajemen hubungan sosial adalah lebih mengenai bagaimana seseorang
berinteraksi dengan orang lain dalam memahami perilaku dan alasan orang lain,
keduanya akan membentuk kompetensi seseorang dalam memahami perilaku dan
alasan orang lain serta kemampuanya dalam mengelola konflik antarpersonal.
Jack Block menemukan bahwa tanda-tanda kecerdasan emosi adalah
keyakinan diri, optimisme, dan keseimbangan sosial. Kecerdasan emosi memiliki
kontrol diri yang lebih unggul dan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri.
Mereka mengatur dan mengekspresikan emosi dengan wajar, bersikap terbuka
tapi simpatik dan peduli dalam suatu hubungan. Kehidupan emosional menjadi
kaya tetapi seimbang; nyaman terhadap diri sendiri, orang lain, dan kehidupan
sosial. Dapat mengatur stress tidak ada perasaan khawatir yang berlebihan,
cenderung mudah berteman, spontan, suka bermain, dan terbuka dengan
pengalaman sensual (Kaplan dan Sadock, 1994).
Dari uraian aspek-aspek diatas kecerdasan emosi timbul dikarenakan atas
hal-hal dasar yang membentuknya, aspek-aspek yang membentuk kecerdasan
emosi beberapa diantaranya adalah aspek dari dalam maupun dari luar.
C. Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata
belanda, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh
menjadi dewasa. Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini
38
mempunyai arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional, spasial dan
fisik (Hurlock, 1990).
Piaget (dalam Hurlock, 1990) mengatakan bahwa secara psikologis masa
remaja adalah usia dimana individu berintregrasi dengan masyarakat dewasa, usia
dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang kebih tua
melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam
masalah hak.
Hurlock (1990) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa
peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara
seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum.
Monks (dalam Nasution, 2007) mengungkapkan bahwa remaja adalah
individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan
dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun untuk
remaja awal, 15-18 tahun untuk remaja pertengahan dan 18-21 tahun untuk remaja
akhir.
Masa remaja mempunyai ciri tertentu yang membedakan dengan periode
sebelumnya. Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1990), antara lain:
a. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang
dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang
bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya,
b. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa
kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status
remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya
39
hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling
sesuai dengan dirinya,
c. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi
perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan
pada nilai-nilai yang dianut, serta keinginan akan kebebasan,
d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa
usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat,
e. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian
karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang
membuat banyak orang tua menjadi takut,
f. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang
kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiridan
orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya
terlebih dalam cita-cita,
g. Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau
kesulitan didalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan
didalam memberikan kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu
dengan merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan
terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan
memberikan citra yang mereka inginkan.
Dari pengertian diatas remaja adalah individu yang berusia 12-21 tahun
yang sedang mengalami masa peralihan dari kanak-kanak ke masa dewasa. Santri
adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren.
40
Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang persentasi ajarannya
lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam. Kebanyakan muridnya tinggal di
asrama yang disediakan di sekolah itu. Pondok Pesantren banyak berkembang di
pulau Jawa. Remaja santri kelas 3 mu’allimin di pondok pesantren Al-Mukmin
Sukoharjo rata-rata berusia antara 17 sampai 19 tahun.
D. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Tingkat Kecemasan Pada
Remaja Kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo.
Goleman (2007), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti
dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri
dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan
memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan
diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya.
Menurut Goleman (dalam Bastian, 2005) kecerdasan emosi mencakup
susunan kualitas yang sangat banyak, seperti: kontrol diri, semangat, ketekunan,
keterbukaan, motivasi, pengaturan mood, empati, optimisme, harapan,
kepercayaan diri, kontrol impuls, menunda kepuasan, mengatasi kecemasan dan
stress untuk membangun hubungan interpersonal yang sukses.
Salovey (dalam Bastian, 2005) menyatakan bahwa kecerdasan emosi
terhubung dengan coping melalui gabungan 3 proses (ruminasi, dukungan sosial
dan penyikapan trauma) yang terhubung dengan kemampuan koping. Ruminasi
adalah pemikiran berulang-ulang yang fokus terhadap pemikiran negatif
seseorang tentang gejala-gejala penderitaan yang dirincikan dengan kecemasan
41
dan depresi. Individu yang mengalami ruminasi cenderung memiliki fokus yang
berlebihan terhadap persepsi dan penilaian mood mereka tanpa benar-benar
berusaha untuk mengaturnya supaya dapat meringankan konflik.
Menurut penelitian LeDoux (dalam Goleman, 2007) disebutkan bahwa di
dalam otak manusia terdapat amigadala yang berfungsi sebagai penjaga emosi,
penjaga yang mampu mengambil alih kendali apa yang kita kerjakan bahkan
sewaktu otak berpikir, neokorteks, masih menyusun keputusan. Fungsi-fungsi
amigadala dan pengaruhnya pada neokorteks merupakan inti kecerdasan
emosional.
Kecemasan adalah keadaan fisiologis yang memiliki komponen
kecerdasan, emosi, dan sikap. Komponen-komponen tadi berkombinasi
membentuk perasaan yang dikenal dengan ketakutan atau khawatir. Kecemasan
selalu disertai oleh sensasi fisik seperti jantung berdebar-debar, perasaan ingin
mnuntah, sakit dada, nafas pendek, sakit perut dan sakit kepala. Jaras syaraf
melibatkan amigadala dan hippocampus yang diduga terlibat dapat memicu
kecemasan. Ketika berhadapan dengan keadaan tidak menyenangkan dan stimulus
berbahaya seperti salah membau, akan terjadi kenaikan aliran darah pada
amigadala. Hal ini menunjukkan ada hubungan antara kecerdasan emosi, dimana
sedikit banyak emosi dikontrol oleh amigadala, dengan terjadinya kecemasan
pada seseorang (Kaplan dan Sadock, 1994).
Kecemasan menyebabkan seseorang merasa bingung dan tidak tahu apa
yang akan diperbuatnya, mereka yang mengalami kecemasan ini biasanya
mempunyai penilaian yang kurang baik terhadap dirinya, mempunyai kecerdasan
42
emosi yang rendah dan kurang percaya diri. Kecemasan itu terasa menyakitkan
karena sifatnya menyerang, mengancam dan menghancurkan keadaan dirinya,
namun kecemasan dapat diatasi bila seseorang mempunyai kecerdasan emosional
yang baik dengan cara berfikir realistis dan bersikap secara tepat (Davidoff dan
Collings, dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007).
Ohman dan Soares (dalam Adrian, 2009) melakukan penelitian yang
menghasilkan kesimpulan bahwa sistem emosi mempercepat sistem kognitif
untuk mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi. Stimuli yang relevan
dengan rasa takut menimbulkan reaksi bahwa hal buruk akan terjadi. Terlihat
bahwa rasa takut mempersiapkan individu untuk antisipasi datangnya hal tidak
menyenangkan yang mungkin akan terjadi. Secara otomatis individu akan bersiap
menghadapi hal-hal buruk yang mungkin terjadi bila muncul kecemasan dan rasa
takut.
Goleman (2007) menyatakan bahwa emosi yang terlampau ditekan,
terlampau ekstrim dan terus menerus akan menjadi sumber penyakit. Selain itu,
emosi dengan intensitas yang tinggi akan melampaui titik wajar akan beralih
menjadi kecemasan kronis, amarah yang tidak terkendali dan depresi.
Menurut Rooprai (2009) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk
mencegah timbulnya perasaan negatif seperti marah, kurang percaya diri,
kecemasan dan sebaliknya fokus pada perasaan positif salah satunya percaya diri,
empati dan keserasian. Pengembangan kecerdasan emosi harus lebih ditekankan
untuk mengatasi stress dan kecemasan.
43
Salovey (dalam Berrocal, 2006) berpendapat bahwa hasil penelitian kaitan
antara kecerdasan emosi dengan depresi, kecemasan dan keseluruhan psikis serta
kesehatan mental telah menunjukkan hasil pada subyek orang dewasa. Sebagai
contoh seseorang yang lebih banyak memperhatikan emosinya, seseorang yang
memiliki nilai lebih rendah kejernihan emosinya dan seseorang yang
menunjukkan ketidakmampuan untuk mengatur keadaan emosi menunjukkan
rendahnya penyesuaian emosi.
Penelitian Gottman dan De Claire (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007)
menemukan bahwa individu yang belajar mengenali dan menguasai emosinya
menjadi lebih percaya diri, sekaligus lebih sehat secara fisik. Mereka juga lebih
baik prestasinya atau di dunia kerja dan cenderung akan menjadi orang dewasa
yang sehat secara emosional. Individu yang memiliki kecerdasan emosi akan lebih
terampil dalam menenangkan diri mereka sendiri bila mereka marah,
dibandingkan dengan individu yang tidak dilatih emosinya.
Menurut Spielberger dan Rickman kecemasan adalah reaksi normal pada
situasi sosial yang merupakan sikap mengancam harga diri atau mental yang
sehat. Kecerdasan emosi menurut Bar-On, merupakan pengukuran mental yang
sehat pada seseorang dimana kecemasan yang tidak dapat di kontrol tidak akan
memiliki mental yang sehat. Pengukuran kecerdasan emosi menurut Emmerling
dan Goleman bahwa kecerdasan emosional bisa di kembangkan begitu juga
dengan mental yang sehat dan kontrol kecemasan (Rensburg, 2005).
Mereka yang gagal menguasai kompetensi kecerdasan emosi menghadapi
bermacam-macam resiko gangguan jiwa yang semakin tinggi, seperti gangguan
44
mood dan kecemasan, gangguan makan, dan penyalahgunaan zat kimia. Karena
kemampuan kecerdasan emosi ini dapat diajarkan, menawarkan anak-anak dan
orang dewasa kesempatan untuk memperkuat kompetensi-kompetensi ini dapat
bertindak sebagai suntikan melawan aspek-aspek resiko sosial dan resiko
kejiwaan (Kaplan dan Sadock. 1994).
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa terdapat kaitan negatif antara
kecemasan dengan kecerdasan emosi dimana individu dengan kecerdasan
emosional yang rendah menunjukkan tingkat kecemasan yang tinggi dan
sebaliknya individu dengan kecerdasan emosional yang tinggi mempunyai tingkat
kecemasan yang rendah.
E. Kerangka Pikir
Gambar 2. Kerangka Pikir
Dari gambar diatas dapat diketahui kecemasan merupakan gangguan
emosi yang menjadi salah satu permasalahan paling sering dialami remaja.
Kecemasan dapat diatasi bila seseorang mempunyai kecerdasan emosional yang
baik dengan cara berfikir realistis dan bersikap secara tepat.
Kecerdasan Emosi
Kecemasan
45
F. Hipotesis
Berdasarkan teori diatas, maka hipotesis yang dapat diajukan dalam
penelitian ini adalah “Terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat
kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin
Sukoharjo”.
46
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan
pendekatan cross sectional analitik deskriptif yaitu jenis penelitian yang
pengukuran variabel-variabelnya dilakukan hanya satu kali, pada satu saat
(Sastroasmoro, dan Ismael, 1995).
A. Identifikasi Variabel
Adapun variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut :
1. Variabel tergantung : Kecemasan
2. Variabel bebas : Kecerdasan Emosi
B. Definisi Operasional
Pada penelitian ini variabel penelitian yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Kecemasan
Kecemasan selalu melibatkan komponen psikis (afektif, kognitif, perilaku)
dan biologis (somatik, neurofisiologik) yang nantinya menimbulkan gangguan
pada proses pikir, konsentrasi, belajar, persepsi sehingga menimbulkan hendaya
dalam kehidupan mereka yang masih belajar (Kusningsih, 1994).
Spielberger (dalam Nugraheni, 2005) mengutarakan bahwa ada dua
komponen utama dari tes kecemasan adalah kecemasan, yaitu efek kognitif
46
47
tentang konsekuensi dari kegagalan dan emosional, yaitu reaksi dari kegugupan
yang muncul secara otomatis dan menimbulkan stress tertentu.
Pengukuran tingkat kecemasan dengan menggunakan instrumen TMAS
(Taylor Manifest Anxiety Scale) yang disusun dan dikembangkan oleh Taylor
(1951, 1953). Dalam penelitian sebelumnya oleh Sudiyanto (dalam Osman, 2008)
mempunyai validitas dan reliabilitas yang tinggi dengan nilai batas pemisah skor
22/23, sensitivitas TMAS cukup tinggi yaitu 90%, spesivitasnya 95%, nilai ramal
positif 94,7%, nilai ramal negatif 90,4%, dengan reliabilitas r=0,86.
Pengukuran ini terdiri dari jawaban “ya” dan “tidak”, dimana penilaian
untuk setiap jawaban “ya” dinilai dengan skor 1 dan untuk jawaban tidak dinilai
dengan skor 0. Penilaian kecemasan dinilai dengan menjumlahkan jawaban “ya”.
Skor total adalah 50.
2. Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi adalah kemampuan yang mencakup memantau perasaan
diri sendiri atau orang lain, pengendalian diri, mampu membaca dan menghadapi
perasaan orang lain dengan efektif, menguasai kebiasaan pikiran yang dapat
mendorong produktifitas dan mampu mengelola emosi yang dapat digunakan
untuk membimbing pikiran dan tindakan yang terarah. Kecerdasan emosi dalam
penelitian ini diungkap menggunakan skala kecerdasan emosi yang disusun
berdasarkan aspek-aspek menurut Goleman (2007) yang meliputi: mengenali
emosi diri (sadar diri), mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali
emosi orang lain (empati), membina hubungan dengan orang lain.
48
Pengukuran skala kecerdasan emosi yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan skala kecerdasan emosi dimodifikasi dari Mumtahani (2008) yang
pernah diujikan oleh Lestari (dalam Mumtahani, 2008) dengan hasil koefisien
validitas (rbt) bergerak dari 0,237 sampai 0,666; p < 0,05 dan koefisien reliabilitas
(rtt) = 0,923.
Skor kecerdasan emosi ditunjukkan oleh skor yang diperoleh subjek
melalui model alat ukur skala Likert. Range skor untuk pernyataan yang bersifat
favorable adalah 4 (SS), 3 (S), 2 (TS), dan 1 (STS). Sedangkan skor untuk
pernyataan unfavorabel adalah 1 (SS), 2 (S), 3 (TS), dan 4 (STS).
Dari kedua instrumen penelitian diatas, pengukuranya yang dilakukan
menghasilkan data interval yang menurut Suryabrata (2003), data interval yaitu
data dimana terdapat jarak yang sama diantara hal-hal yang diselidiki atau
dipersoalkan.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja kelas 3 mu’allimin
Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo.
2. Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah keseluruhan dari
populasi yaitu kelas 3A, 3B, dan 3C, dimana kelas 3A terdiri dari remaja putra,
kelas 3B terdiri dari remaja putri dan kelas 3C terdiri dari remaja putri.
49
D. Metode Pengumpulan Data
1. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dipakai peneliti untuk
memperoleh data yang diselidiki. Kualitas data yang ditentukan oleh kualitas alat
pengambilan data atau alat ukur pengukurannya (Suryabrata, 2003) antara lain :
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari subjek
penelitian dan data utama dalam penelitian. Data penelitian tersebut
diperoleh dari skala psikologi. Adapun skala yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi skala kecerdasan emosi, dan TMAS.
b. Data sekunder
Data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari tempat
penelitian dilakukan, yakni berupa dokumantasi yang berupa pengumpulan
data dan informasi tentang profil sekolah, jumlah pelajaran, dan daftar absen
siswa.
2. Alat pengumpulan data
Azwar (2008) berpendapat bahwa ada beberapa diantara karakteristik
skala sebagai alat ukur psikologi, yaitu:
a. Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung
mengungkap atribut yang hendak diukur dan mengungkap indikator
perilaku dari atribut yang bersangkutan.
50
b. Dikarenakan atribut psikologi yang diungkap secara tidak langsung lewat
indikator-indikator perilaku sedangkan indikator perilaku terjemahan
dalam bentuk aitem-aitem, maka skala psikologi selalu berisi banyak
aitem.
c. Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar atau salah.
Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan
sungguh-sungguh.
Adapun dalam penelitian ini terdiri dari TMAS dan skala sikap tentang
kecerdasan emosi. Skala kecerdasan emosi yang digunakan dalam penelitian
ini dibuat dan berpedoman pada skala Likert yang telah dimodifikasi yaitu
menghilangkan pilihan ragu-ragu sehingga subjek akan memilih jawaban yang
pasti ke arah yang sesuai atau tidak sesuai dengan dirinya. Menurut Hadi
(1995) modifikasi skala Likert meniadakan kategori jawaban yang ditengah,
berdasarkan tiga alasan yaitu yang menurut:
a. Kategori undecided itu mempunyai arti ganda, bisa diartikan belum
mempunyai jawaban atau belum memberikan keputusan (menurut konse
aslinya) bisa juga diartikan netral, setuju, tidak setuju atau bahkan ragu-
ragu. Kategori jawaban ganda (multi interpretable) ini tentu saja tidak
diharapkan dalam suatu instrument.
b. Tersedianya yang ditengah dapat menimbulkan kecenderungan jawaban ke
tengah (cental tendency effect) terutama bagi mereka yang ragu-ragu atas
arah kecenderungan jawaban, ke arah setuju ataukah ke arah tidak setuju.
51
c. Maksud kategori jawaban SS-S-TS-STS adalah terutama untuk melihat
kecenderungan pendapat responden, ke arah setuju atau ke arah tidak
setuju. Jika disediakan kategori jawaban itu, akan menghilangkan banyak
data penelitian sehingga akan mengurangi banyaknya informasi yang
dapat dijaring dari responden
E. Uji Validitas dan Reliabilitas
1. Uji Validitas
Uji validitas didasarkan pada validitas isi, yakni telaah dan revisi butir
pernyataan berdasarkan pendapat professional (professional judgment) dan
mencari korelasi antara masing-masing aitem skor total aitemnya yang disebut
dengan model uji validitas internal (Suryabrata, 2003). Pengujian validitas internal
skala kecerdasan emosi dalam penelitian ini menggunakan teknik korelasi product
moment dari Pearson (Hadi, 1995) dengan rumus;
( )( )
( ) ( )
−
−
=
∑ ∑∑ ∑
∑ ∑∑
N
yy
N
xx
N
yxxy
rxy2
22
2
Keterangan: rxy = indeks korelasi aitem skor aitem dengan skor total aitem N = jumlah subjek ΣX = jumlah skor tiap-tiap aitem ΣY = jumlah skor total aitem ΣX2 = jumlah kuadrat nilai tiap-tiap aitem ΣY2 = jumlah kuadrat total aitem
52
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas digunakan untuk menguji tingkat sejauh mana kestabilan
hasil suatu pengukuran dapat dipercaya, hasil pengukuran dapat dipercaya apabila
dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang
sama diperoleh hasil yang relatif sama selama aspek yang diukur dalam diri
subjek belum berubah (Azwar, 1998). Teknik Alpha yang dikembangkan
Cornbach dipilih untuk mengukur reliabilitas antar aitem yang paling populer dan
menunjukkan indeks konsistensi yang cukup sempurna.
Rumus formula Alpha adalah sebagai berikut:
−
−= ∑
2
2
11.
.1
1 t
b
K
Kr
δδ
Keterangan: r11 : Reliabilitas instrumen K : banyaknya butir pertanyaan ∑δ.b2 : Jumlah varians butir δ.t2 : Varians total
Reliabilitas suatu alat dapat dilihat dari hasil out put SPSS dengan
menggunakan uji statistik Alpha Cronbach. Suatu konstruk atau variabel
dikatakan reliabel jika memberikan nilai Alpha Cronbach > dari 0,60.
F. Teknik Analisis
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi
product moment dari Pearson yaitu mendasarkan pada angka-angka kasar seperti
apa adanya dengan alasan, peneliti melakukan pengambilan datanya
53
menggunakan skala interval, yaitu skala numerik yang tidak memiliki nilai 0 dan
skala rasio yang mempunyai nilai 0 alami. (Sastroasmoro dkk, 1995).
Korelasi product moment Pearson digunakan untuk mengukur kekuatan
hubungan linier antara dua variabel kontinu yaitu memiliki skala interval atau
skala ratio (Uyanto, 2006)
Adapun rumus korelasi Product Moment Pearson adalah:
( )( )
( ) ( )
−
−
=
∑ ∑∑ ∑
∑ ∑∑
N
yy
N
xx
N
yxxy
rxy2
22
2
Keterangan: rxy = indeks korelasi aitem skor aitem dengan skor total aitem N = jumlah subjek ΣX = jumlah skor tiap-tiap aitem ΣY = jumlah skor total aitem ΣX2 = jumlah kuadrat nilai tiap-tiap aitem ΣY2 = jumlah kuadrat total aitem
54
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian
1. Orientasi kancah penelitian
Penelitian ini di lakukan di Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin
Kelurahan Ngruki, Kabupaten Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah. Pondok
Pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki adalah lembaga pendidikan Islam. Sistem
pendidikan dan pengajaran yang dikembangkan di lembaga ini adalah perpaduan
antara sistem pesantren tradisional dengan pendidikan moderen yang berkembang
saat ini.
Sejak awal berdirinya, para pendiri pesantren telah menegaskan bahwa
pondok pesantren Al-Mukmin Ngruki sebagai pondok milik umat atau milik
seluruh lapisan masyarakat Islam. Hal ini didasarkan pada keikutsertaan dan andil
dari seluruh lapisan umat Islam dalam membangun dan mengembangkan
keberadaan pesantren tersebut sejak awal proses berdirinya sampai saat ini.
Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki merupakan pondok yang
mandiri, tidak berada dibawah (underbouw) organisasi atau kelompok tertentu,
tidak berafiliasi pada golongan atau jam'iyah tertentu, dan tidak berdiri pada satu
sekte tertentu. Ia berdiri ditengah-tengah serta bersikap mengambil jarak yang
sama dengan berbagai golongan maupun organisasi yang ada dan berkembang di
masyarakat. Dengan demikian subtansi ajaran Islam yang menjadi basic sistem
pendidikan dan pengajaran di pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki senantiasa
54
55
bertumpu pada Al-Qur'an dan Sunah Shohihah yang difahami secara kaffah
(universal), syumuu l (komprehenship) dan mutakaamil (integratif). Dengan cara
pandang ini diharapkan para alumnus pondok pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki
menjadi generasi yang kritis dan taktis sehingga tidak mudah terjebak dalam sikap
fanatisme golongan dan tidak taqlid buta (mengekor atau mengikuti pendapat
orang lain yang tidak dilandasi kebenaran).
Berdirinya pondok pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki bermula dari
adanya kegiatan pengajian selepas dhuhur di masjid Agung Surakarta. Selanjutnya
para da'i dan mubaligh mengembangkan bentuk pengajian tersebut dengan
mendirikan Madrasah Diniyah dijalan Gading Kidul 72 A Solo. Perkembangan
Madrasah ini cukup pesat karena didukung oleh media massa yaitu RADIS (
Radio Dakwah Islam). Dinamika madrsah yang menggembirakan tersebut
selanjutnya mengilhami gagasan para mubaligh yang ada untuk mengasramakan
para siswa dalam bentuk lembaga pendidikan pondok pesantren.
Realitas sosial masyarakat Solo pasca tahun 1965 dan timbulnya berbagai
ancaman yang dianggap membahayakan eksistensi Islam serta umatnya pada
waktu itu, semakin memotivasi semangat para mubaligh se-Surakarta untuk
segera mewujudkan pendidikan pondok pesantren. Hal ini juga didasarkan pada
perspektif dan pertimbangan sejarah bahwa pesantren pada zaman dulu telah
memiliki andil dan peran yang sangat besar dalam membela, memperjuangkan
dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia .
Akhirnya, pada tanggal 10 Maret 1972 berdirilah Lembaga Pendidikan
Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin di jalan Gading Kidul No 72 A Solo, di
56
bawah naungan Yayasan Pendidikan Islam dan Asuhan Yatim Al-Mukmin
(YPIA) dengan akte Notaris No. 130 b 1967.
Pada waktu itu jumlah santri yang diasramakan sebanyak 30 siswa
termasuk didalamnya 10 siswa dari Asuhan YPIA. Adapun para perintis dan
pendirinya pada waktu itu adalah Ustadz Abdullah Sungkar , Ustadz Abu Bakar
Ba'asyir , Ustadz Abdullah Baraja' , Ustadz Yoyok Rosywadi , Ustadz H. Abdul
Qohar Daeng Matase dan Ustadz Hasan Basri, BA serta para pendukung yang
lain.
Mengingat perkembangan santri yang sangat pesat dengan sarana dan
prasarana yang masih terbatas pada waktu itu, maka dua tahun berikutnya yaitu
tahun 1974 pengurus Yayasan Pendidikan dan Asuhan Yatim/Miskin Al-Mukmin
(YPIA) memindahkan lokasi madrasah ke Dukuh Ngruki Kelurahan Cemani
Kecamatan Grogol kabupaten Sukoharjo dengan menempati tanah KH. Abu
Amar. Sejak saat itulah pondok pesantren ini terkenal dengan pondok pesantren
Islam Al-Mukmin Ngruki.
a. Visi
Terbentuknya generasi muslim yang siap menerima dan mengamalkan Islam
secara secara kaffah,
b. Misi
1. Mencetak kader Ulama dan cendekia yang amilin fi sabilillah,
2. Melaksanakan kegiatan pendidikan dan da'wah secara "Independen" dan
bertanggung jawab kepada umat melalui YPIA,
57
3. Melaksanakan proses pembelajaran secara integral dalam satu
kepemimpinan mudirul Ma'had,
c. Tujuan
1. Lahirnya kader ulama dan cendekia yang amilin fi sabilillah,
2. Lahirnya generasi yang siap menerima dan mengamalkan Islam secara
kaffah.
Dalam rangka mewujudkan sasaran dan tujuan di atas serta sebagai upaya
untuk menyalurkan siswa sesuai dengan minat, bakat dan kemampuan yang
dimilikinya, maka pondok pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki membuka
berbagai unit pendidikan sebagai berikut :
a. Madrasah Tsanawiyah (MTs)
Merupakan unit pendidikan setingkat SLTP yang memadukan
pendidikan nasional dan pendidikan pesantren. Masa pendidikan 3 tahun
sebagai kelanjutan dari jenjang SD/MI. Program unggulan pada Unit ini
antara lain:
1. Kelas Al Qur'an (kelas ini dititik beratkan pada aspek quroatul Qur'an
dan tahfidz)
2. Kelas Olimpiade (kelas ini dititik beratkan pada aspek pengembangan
materi Matematika dan IPA)
3. Kelas Internasional (kelas ini dititik beratkan pada pengembangan
bahasa internasional yaitu bahasa Arab dan Inggris)
Pada unit MTs ini telah terakreditasi dan dapat mengikuti Ujian Akhir
Nasional (UAN). Materi pelajaran Aqidah, Syari'ah, bahasa Arab dan
58
Inggris sebagai materi dasar yang diajarkan di setiap kelas. Mendidik
santri agar memiliki dasar-dasar keimanan, berwawasan IPTEK,
berakhlakul karimah, memiliki kemampuan berbahasa Arab dan Inggris
serta siap melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTA (KMI atau MA).
Unit ini menerima putra dan putri dari lulusan SD dan MI
b. Takhasus (Pra SLTA)
Unit ini merupakan unit persiapan selama satu tahun. Diperuntukkan
siswa putra dan putri dari jenjang SLTP maupun MTS (non pondok
pesantren). Dalam unit ini diperdalam pelajaran bahasa Arab dan Inggris
serta materi khusus kepesantrenan sehingga selama satu tahun diharapkan
memiliki kemampuan untuk menguasai ilmu yang seimbang dengan lulusan
MTs / SLTP Pondok Pesantren Islam Al Mukmin. Dari unit ini santri dapat
melanjutkan ke jenjang pendidikan Madrsah Aliyah kelas satu atau ke
jenjang Kuliyyatul Mu'alimin kelas I. Hasil evaluasi dari ujian akhir di unit
takhasus ini hanya berupa keterangan untuk bisa melanjutkan ke unit MA
atau KMI Pondok Pesantren Islam Al Mukmin.
c. Kulliyyatul Mu'allimin Al Islamiyyah (KMI)
Dibukanya unit ini bertujuan untuk mendidik kader dakwah dan guru
agama yang siap pakai. Unit ini merupakan jenjang pendidikan yang setara
dengan SLTA. Menerima siswa putra dan putri dari lulusan SLTP Pondok
Pesantren Islam Al-Mukmin atau pondok pesantren lain yang memiliki
kemiripan kurikulum dengan SLTP Pon Pes Al Mukmin. Lama pendidikan
tiga tahun dengan materi pelajaran terdiri dari 70 persen program
59
kepesantrenan dan 30 persen program non kepesantrenan (Materi SLTA
yang telah disesuaikan).
d. Madrasah Aliyah (MA)
Madrsah Aliyah Al-Mukmin (MAAM) mendidik kader dakwah dan
intelektual muslim yang beraqidah lurus. Lama pendidikan 3 tahun.
Menerima santri (siswa) dari lulusan SLTP pondok pesantren Al-Mukmin
serta pondok pesantren lain yang sederajat. Dari SLTP atau MTS non
pesantren Al-Mukmin harus lulus seleksi lisan Bahasa Arab, Bahasa Inggris
dan psikotest. Unit ini telah terakreditasi A.
e. Ma'had Aly (Sekolah Tinggi)
Pesantren Tinggi (Ma'had Aly) Al-Mukmin sebagai kelanjutan dari
jenjang pendidikan setingkat SLTA pondok pesantren Al-Mukmin
(KMI/KMT/MAAM) dan SLTA pondok pesantren yang lain. Unit ini
menyelenggarakan pendidikan strata 1 (S1) dengan kurikulum perpaduan
antara kurikulum Ma'had Aly Al-Islam yang berkembang di Indonesia,
STAIN, Al-Jami'ah Al-Islamiyah Umul Quro di Mekah dan Universitas
Islam Timur Tengah yang lain.
Tujuan diselenggarakan Ma'had Aly sebagai upaya untuk
menghadirkan lahirnya ulama' dengan dibekali kemampuan untuk dapat
memanfaatkan IPTEK, profesional pada bidangnya, trasnparansi,
bertanggung-jawab, berdedikasi tinggi serta peka terhadap situasi dan
perkembangan zaman.
60
Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kulliyyatul
Mu'allimin Al Islamiyyah (KMI) kelas 3 secara keseluruhan, dimana merupakan
populasi penelitian. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini adalah penelitian
populasi.
2. Persiapan Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini
adalah skala kecerdasan emosi, dan TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale).
a. Skala kecerdasan emosi.
Skala kecerdasan emosi digunakan untuk mengungkap sejauh mana
tingkat kecerdasan emosi subjek dalam penelitian ini. Penyusunan skala
kecerdasan emosi mengacu berdasarkan aspek-aspek menurut Goleman (2007)
yang meliputi: mengenali emosi diri (sadar diri), mengelola emosi,
memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati), membina
hubungan dengan orang lain.
Jumlah aitem dalam skala ini sebanyak 50 aitem, yang terdiri dari 25
aitem favorable dan 25 aitem unfavorable. Skala kecerdasan emosi ini terdiri
dari 4 pilihan jawaban yaitu : sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS)
dan sangat tidak setuju (STS). Penilaian aitem favorable bergerak dari skor 4
(sangat setuju), 3 (setuju), 2 (tidak setuju), 1 (sangat tidak setuju). Sedangkan
penilaian aitem unfavorable bergerak dari skor 1 (sangat setuju), 2 (setuju), 3
(tidak setuju), 4 (sangat tidak setuju). Distribusi aitem skala kecerdasan emosi
sebelum uji coba dapat dilihat pada tabel berikut.
61
Tabel 2. Susunan Aitem Skala Kecerdasan Emosi
Nomor Aitem
No Aspek Favourable Unfavourable
Total
1 Mengenali emosi diri 10,20,30,40,50 5,15,25,35,45 10 2 Mengelola emosi 4,19,24,29,44 9,14,34,39,49 10 3 Memotivasi diri sendiri 13,18,38,43,48 3,8,23,28,33 10 4 Mengenali emosi orang
lain 2,12,22,27,47 7,17,32,37,42 10
5 Membina hubungan dengan orang lain
1,16,21,31,36 6,11,26,41,46 10
Jumlah 25 25 50
b. TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale)
Skala kecerdasan emosi digunakan untuk mengungkap sejaumana
tingkat kecemasan subjek dalam penelitian ini.
TMAS merupakan kuesioner yang terdiri dari 50 butir pernyataan yang
kesemuanya menunjukkan skor kecemasan yang muncul. Banyak butir-butir
ini menunjukkan gejala kecemasan yang mencolok seperti berkeringat, muka
merah, keguncangan, gemetaran dan lain-lain. Sebagian mengandung keluhan-
keluhan somatik seperti mual, pusing, diare, gangguan lambung dan lain-lain.
Butir-butir lainya menunjukkan konsentrasi, perasaan eksitasi atau tidak bisa
istirahat, menurunya kepercayaan diri, sensitifitas ekstra terhadap orang lain,
perasaan akan bahaya dan tidak berguna.
Pengukuran ini terdiri dari jawaban “ya” dan “tidak”, dimana penilaian
untuk setiap jawaban “ya” dinilai dengan skor 1 dan untuk jawaban tidak dinilai
dengan skor 0. Penilaian kecemasan dinilai dengan menjumlahkan jawaban “ya”.
Skor minimal adalah 0 dan skor maksimal adalah 50.
62
3. Pelaksanaan uji coba
Skala yang akan digunakan dalam penelitian harus di uji cobakan terlebih
dahulu agar memenuhi syarat-syarat sebagai alat ukur yang baik, yakni valid dan
reliabel. Pengambilan subjek untuk uji coba diberikan kepada kelas 3 remaja
pondok pesantren mu’alimin Sukoharjo. Adapun alat ukur yang di uji cobakan
adalah skala kecerdasan emosi sedang TMAS tidak di uji cobakan karena sudah
baku. Skala kecerdasan emosi yang diberikan bersifat universal.
Pelaksanaan uji coba dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 2009 yang
dikenakan pada keseluruhan remaja kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-
Mukmin Sukoharjo yang berjumlah 95 orang. Dari 95 eksemplar yang dibagikan,
kesemuanya dapat terkumpul kembali dan memenuhi syarat untuk diskor dan
dianalisis. Data inilah yang dipergunakan untuk menghitung validitas dan
reliabilitas dari alat ukur tersebut.
4. Uji validitas dan reliabilitas
Perhitungan validitas aitem untuk skala kecerdasan emosi dan kecemasan
dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson,
yaitu mencari korelasi antara skor aitem dengan skor total aitem. Sedangkan
perhitungan reliabilitasnya dihitung dengan teknik analisis reliabilitas Cronbach’s
Alpha. Perhitungan validitas dan reliabilitas skala pada pendekatan ini
menggunakan program analisis validitas dan reliabilitas butir program statistik
SPSS 16.0 for Windows. Uji validitas akan menentukan aitem yang gugur atau
sahih.
63
a. Uji validitas skala kecerdasan emosi
Hasil uji validitas skala kecerdasan emosi dapat diketahui bahwa
dari 50 aitem yang diujicobakan, diperoleh indeks korelasi aitem berkisar
antara -0,305 sampai dengan 0,632. Ada 10 aitem dinyatakan gugur, yaitu
3, 5, 11, 12, 14, 20 , 24, 29, 30, 34 dikarenakan rhitung < rtabel, nilai rtabel
sebesar 0,202 dimana taraf signifikansi 5% dan N = 95 dengan nilai kritis
0,209. Selanjutnya dari analisis korelasi aitem total yang telah dikoreksi,
diperoleh 40 aitem sahih dengan indeks korelasi aitem berkisar antara
0,209 sampai dengan 0,632.
b. Uji reliabilitas skala kecerdasan emosi
Sedangkan reliabilitas skala yang ditunjukkan dengan koefisien
Alpha sebesar 0,825. Dengan demikian, skala kecerdasan emosi ini
dianggap cukup andal sebagai alat ukur penelitian. Adapun perincian
aitem yang sahih dan gugur dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Distribusi Aitem Sahih dan Aitem Gugur Skala Kecerdasan Emosi
Nomor Aitem
Favourable Unfavourable No Aspek Valid Gugur Valid Gugur
Total
1 Mengenali emosi diri
10,40,50 20,30 15,25,35,45 5 10
2 Mengelola emosi 4,19,44 24,29 9,39,49 14,34 10 3 Memotivasi diri
sendiri 13,18,38,43,48 8,23,28,33 3 10
4 Mengenali emosi orang lain
2,22,27,47 12 7,17,32,37,42 10
5 Membina hubungan dengan orang lain
1,16,21,31,36 6,26,41,46 11 10
20 5 20 5 Jumlah 25 25
50
64
5. Penyusunan alat ukur untuk penelitian
Setelah melakukan uji validitas dan reliabilitas, langkah selanjutnya adalah
menyusun alat ukur yang dipakai untuk penelitian. Dalam penyusunan alat ukur
ini hanya aitem yang sahih saja yang diambil, dengan nomor urut yang baru.
Sedangkan yang gugur tidak diikutsertakan. Adapun distribusi aitem skala
kecerdasan emosi yang digunakan sebagai penelitian dapat dilihat pada tabel 3.
berikut ini:
Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Kecerdasan Emosi untuk Penelitian
Nomor Aitem No Aspek
Favourable Unfavourable Total
1 Mengenali emosi diri 10(8),40(30),50(40) 15(10),25(18),35(25),45(35) 7 2 Mengelola emosi 4(3),19(14),44(34) 9{7),39(29),49(39) 6 3 Memotivasi diri sendiri 13(9),18(13),38(28),
43(33),48(38) 8(6),23(17),28(21),33(24) 9
4 Mengenali emosi orang lain
2(2),22(16),27(20),47(37) 7(5),17(12),32(23), 37(27),42(32)
9
5 Membina hubungan dengan orang lain
1(1),16(11),21(15), 31(22),36(26)
6(4),26(19),41(31),46(36) 9
Jumlah 20 20 40 Keterangan : nomor dalam tanda kurung ( ) adalah nomor aitem baru untuk
penelitian.
B. Pelaksanaan Penelitian
Penentuan sampel penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah remaja mu’alimin kelas 3 Pondok
Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo sebanyak 104 siswa yang tidak masuk sebanyak
9 orang sehingga subyek yang digunakan dalam penelitian sebanyak 95 orang.
65
Subjek yang digunakan sebagai penelitian adalah semua populasi, sehingga
disebut studi populasi.
Pengumpulan data penelitian
Proses pengambilan sampel penelitian dilaksanakan Pondok Al-Mukmin
Sukoharjo. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10
Desember 2009. Pengumpulan data dilakukan secara klasikal dengan memberikan
skala kecerdasan emosi dan TMAS secara langsung kepada masing-masing subjek
dan pengambilan skala dilakukan pada saat itu juga setelah skala selesai diisi.
Karena terdapat 9 siswa mu’alimin yang tidak masuk sekolah, maka data
penelitian yang di peroleh sebanyak 95 eksemplar.
Pelaksanaan skoring
Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah memberikan
skor untuk keperluan analisis data. Skor untuk skala kecerdasan emosi bergerak
dari 1-4 dengan memperhatikan sifat aitem favorable dan unfavorable. Skor dari
aitem favorabel adalah 4 untuk pilihan jawaban sangat setuju (SS), 3 untuk pilihan
jawaban setuju (S), 2 untuk tidak setuju (TS), dan 1 untuk sangat tidak setuju
(STS). Sedangkan skor aitem unfvorabel adalah 1 untuk pilihan jawaban sangat
setuju (SS), 2 untuk setuju (S), 3 untuk jawaban tidak setuju (TS), dan 4 untuk
jawaban sangat tidak setuju (STS). Kemudian skor yang diperoleh dari subjek
penelitian dijumlahkan untuk masing-masing skala. Total skor skala yang
diperoleh dari subjek penelitian ini dipakai dalam analis data.
66
Pengukuran tingkat kecemasan dengan menggunakan instrumen TMAS
(Taylor Manifest Anxiety Scale) yang disusun dan dikembangkan oleh Taylor
(1951, 1953). Dalam penelitian sebelumnya oleh Sudiyanto (dalam Osman, 2008)
mempunyai validitas dan reliabilitas yang tinggi dengan nilai batas pemisah skor
22/23, sensitivitas TMAS cukup tinggi yaitu 90%, spesivitasnya 95%, nilai ramal
positif 94,7%, nilai ramal negatif 90,4%, dengan reliabilitas r=0,86.
Pengukuran ini terdiri dari jawaban “ya” dan “tidak”, dimana penilaian
untuk setiap jawaban “ya” dinilai dengan skor 1 dan untuk jawaban tidak dinilai
dengan skor 0. Penilaian kecemasan dinilai dengan menjumlahkan jawaban “ya”.
Skor total adalah 50.
C. Analisis Data Penelitian
Perhitungan analisis data dilakukan sebelum uji asumsi yang meliputi uji
normalitas sebaran dan analisis diskriptif, dan perhitungan data dilakukan setelah
uji asumsi yaitu sumbangan efektif. Perhitungan dalam analisis ini dilakukan
dengan bantuan komputer menggunakan program statistik SPSS for MS Windows
release versi 16.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas sebaran dimaksudkan untuk mengetahui apakah dalam
variabel yang diteliti berdistribusi normal atau tidak. Hal ini berarti bahwa uji
normalitas diperlukan untuk menjawab pertanyaan apakah syarat sampel yang
representatif terpenuhi atau tidak, sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasi
pada populasi (Hadi, 2004).
67
Uji normalitas sebaran ini menggunakan teknik one sample Kolmogorov-
Smirnov test (ks-z) yang dikatakan normal jika p (asym sig (2-tailed)) > 0,05.
Hasil uji normalitas sebaran terhadap kedua variabel akan dijelaskan sebagai
berikut:
1) Hasil uji normalitas sebaran variabel kecerdasan emosi, nilai ks-z adalah
1,017 dengan asym sig (2-tailed) 0,252 > 0,05 termasuk kategori normal.
2) Hasil uji normalitas sebaran variabel kecemasan, nilai ks-z adalah 0,62
dengan asym sig (2-tailed) 0,837 > 0,05 termasuk kategori normal.
Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Skala Kecerdasan Emosi dengan Skor Kecemasan
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Kecemasan
Kecerdasan emosi
N 95 95
Mean 23.9474 1.1905E2 Normal Parametersa Std. Deviation 4.37685 1.05944E1
Absolute .064 .104
Positive .064 .104
Most Extreme Differences Negative -.063 -.050
Kolmogorov-Smirnov Z .620 1.017
Asymp. Sig. (2-tailed) .837 .252
a. Test distribution is Normal.
Hal ini berarti bahwa data pada variabel kecerdasan emosi dan kecemasan
memiliki sebaran yang normal dan sampel dalam penelitian ini dapat mewakili
populasi.
68
2. Uji Linieritas
Pengujian linieritas dimaksudkan untuk mngetahui linieritas hubungan
antara variabel bebas dengan variabel tergantung, selain itu uji linieritas ini juga
diharapkan dapat mengetahui taraf signifikansi penyimpangan dari linieritas
hubungan tersebut. Apabila penyimpangan yang ditemukan tidak signifikan, maka
hubungan variabel bebas dan variabel tergantung adalah linier (Hadi, 2004).
Uji linieritas hubungan ini menggunakan teknik compare means test for
linierity. Berdasarkan hasil pengujian linieritas variabel kecerdasan emosi dengan
kecemasan diperoleh nilai Fbeda sebesar 1,261 dengan probabilitas sebesar 0,213
(>0,05) adalah linier. Berdasarkan uji linieritas yang dilakukan dapat disimpulkan
bahwa asumsi linier dalam penelitian ini terpenuhi. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel 6 dibawah ini :
Tabel 6. Hasil Uji Linieritas Skala Kecerdasan Emosi dengan Skor Kecemasan
Sum of Squares
df Mean Square
F Sig.
(Combined) 924.648 38 24.333 1.555 .065 Linearity 194.8301 1 194.830 12.454 .001
Between Groups
Deviation from Linearity
729.8178 37 19.725 1.261 .213
Within Groups 876.0889 56 15.644
Kecemasan* Kecerdasan emosi Total 1800.737 94
3. Analisis deskriptif
Dari skor kasar kecerdasan emosi dan kecemasan diperoleh hasil statistik
diskriptif subjek penelitian. Hasil statistik deskrptif dapat dilihat pada tabel di
bawah ini :
69
Tabel 7. Analisis Deskriptif Kecerdasan Emosi dan Kecemasan
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Kecemasan 95 15.00 34.00 23.9474 4.37685
Kecerdasan emosi
95 94.00 143.00 1.1905E2 10.59443
Valid N (listwise) 95
Berdasarkan tabel statistik diatas, kemudian dilakukan kategorisasi subjek
secara normatif guna memberikan intepretasi terhadap skor skala. Kategorisasi
yang digunakan adalah kategorisasi jenjang yang berdasarkan pada model
distribusi normal. Tujuan dari kategorisasi ini adalah menempatkan subjek ke
dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu
kontinum berdasarkan atribut yang diukur (Azwar, 2008). Kontinum jenjang ini
akan dibagi menjadi 3 kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Norma
kategorisasi yang digunakan adalah sebagai berikut:
Tabel 8. Norma Kategori Skor Subjek
Kategorisasi Norma Rendah Χ < (µ −1,0σ ) Sedang (µ −1,0σ) ≤ Χ < (µ +1,0σ ) Tinggi (µ + 1,0σ) ≤ Χ
Keterangan : X : raw score skala µ : mean atau nilai rata-rata σ : standart deviasi
Berdasarkan norma kategorisasi diatas maka kategori skor skala penelitian
Kecerdasan emosi dan TMAS dijelaskan lebih lanjut pada urian dibawah ini :.
70
a. Kecerdasan Emosi
Skala kecerdasan emosi dikategorikan untuk mengetahui tinggi
rendahnya nilai subjek. Skor minimal yang diperoleh subjek adalah 40 X 1 =
40 dan skor maksimal yang dapat diperoleh subjek adalah 40 X 4= 160, maka
jarak sebarannya adalah 160 - 40 = 120 dan setiap satuan deviasi standarnya
bernilai 120:6 = 20 sedangkan rerata hipotetiknya adalah (40 + 160) : 2 = 100.
Apabila subjek digolongkan dalam 3 kategori, maka didapat kategorisasi serta
distribusi skor subjek seperti pada tabel berikut:
Tabel 9. Kategori Subjek Berdasarkan Skor Skala Penelitiaan Kecerdasan Emosi
Kategorisasi Komposisi
Variabel Kategorisasi Skor Jumlah Prosentase
Rerata Empirik
Rendah X < 80 0 0% - Sedang 80 ≤ X 120 51 53,68% 119
Kecerdasan Emosi
Tinggi 120 ≤ X 44 46,32% -
b. Kecemasan
TMAS dikategorikan untuk mengetahui tinggi rendahnya nilai
kecemasan subjek. Skor minimal yang diperoleh subjek adalah 0 X 1 = 0 dan
skor maksimal yang dapat diperoleh subjek adalah 50 X 1= 50, maka jarak
sebarannya adalah 50 - 0 = 50 dan setiap satuan deviasi standarnya bernilai
50:6 = 8,33 sedangkan rerata hipotetiknya adalah (50 + 0) : 2 = 25. Apabila
subjek digolongkan dalam 3 kategori, maka didapat kategorisasi serta
distribusi skor subjek seperti pada tabel berikut:
71
Tabel 10. Kategori Subjek Berdasarkan Skor Kecemasan
Kategorisasi Komposisi
Variabel Kategorisasi Skor Jumlah Prosentase
Rerata Empirik
Rendah X < 16,67 5 5,26% - Sedang 16,67 ≤ X 33,33 88 92,63% 23,94 Kecemasan Tinggi 33,33 ≤ X 2 2,11% -
Dari tabel statistik deskriptif, dapat dilihat bahwa rerata empirik
kecerdasan emosi adalah 119, berarti rata-rata subjek penelitian termasuk
dalam kategori sedang. Rerata empirik kecemasan adalah 23,94 yang berarti
termasuk dalam kategori sedang.
4. Uji hipotesis
a. Korelasi Product Moment Pearson
Setelah dilakukan uji asumsi, langkah selanjutnya adalah melakukan
perhitungan untuk menguji hipotesis yang diajukan dengan teknik analisis
korelasi product moment dari Pearson yang bertujuan untuk mengetahui
hubungan pengaruh antar variabel bebas (kecerdasan emosi) dan variabel
tergantung (kecemasan) dapat dilihat dalam tabel berikut
72
Tabel 11. Hasil Teknik Analisis Korelasi Product Moment Pearson
Correlations
Kecemasan
Kecerdasan emosi
Pearson Correlation
1 -.329**
Sig. (1-tailed) .001
Kecemasan
N 95 95
Pearson Correlation
-.329** 1
Sig. (1-tailed) .001
Kecerdasan emosi
N 95 95
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
Uji korelasi menunjukkan hubungan kecerdasan emosi dengan
kecemasan (rxy) sebesar - 0,329, hal ini berarti terdapat korelasi negatif antara
kecerdasan emosi dengan kecemasan. Menurut Nugroho (2005) koefisien
korelasi yang dihasilkan menunjukan bahwa korelasi antara keduanya
tergolong lemah. Sedangkan arah hubungan antara dua variabel adalah negatif
karena nilai r negatif (-). Tingkat signifikansi atau probabilitas sebesar p =
0,001 (p < 0,05) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara kecerdasan emosi dan kecemasan, sehingga hipotesis yang menyatakan
bahwa ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan tingkat
kecemasan dapat diterima.
b. Sumbangan efektif
Sumbangan efektif kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan pada
remaja kelas 3 Mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo dapat
dilihat pada tabel 10 berikut:
73
Tabel 12. Sumbangan Efektif Kecerdasan Emosi Terhadap Tingkat Kecemasan
Measures of Association
R R Squared Eta Eta Squared
Kecemasan * Kecerdasan emosi
-.329 .108 .717 .513
Angka dalam tabel tersebut mengandung pengertian bahwa dalam
penelitian ini peranan atau sumbangan efektif kecerdasan emosi dengan
kecemasan 10,8% ditunjukkan oleh nilai RSquared 0,108. Hal ini berarti masih
terdapat 89,2% faktor lain yang mempengaruhi kecemasan remaja Mu’alimin
Pondok Pesantren Al-Mukmin selain variabel kecerdasan emosi.
D. Pembahasan
Analisis uji asumsi variabel kecerdasan emosi dan kecemasan yaitu berupa
uji normalitas. Uji normalitas dalam penelitian ini berupa variabel kecerdasan
emosi yang menghasilkan nilai ks-z sebesar 1,017 dengan asym sig (2-tailed)
0,837 > 0,05 termasuk kategori normal sedangkan variabel kecemasan
menghasilkan nilai ks-z sebesar 0,62 dengan asym sig (2-tailed) 0,837 > 0,05 juga
termasuk kategori normal. Ini berarti bahwa variabel kecerdasan emosi dan
kecemasan memenuhi syarat sampel yang representatif, sehingga hasil penelitian
dapat di generalisasikan pada populasi.
Hasil analisis deskriptif kategorisasi menunjukkan kecerdasan emosi
remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo secara umum
termasuk dalam kategori sedang sebesar 53,68%, yakni rerata empirik sebesar 119
dan rerata hipotetik sebesar 100 dengan jumlah 51 remaja sedangkan yang
74
memiliki kecerdasan emosi rendah sebanyak 0% atau tidak ada dan yang memiliki
kecerdasan emosi tinggi sebanyak 44 remaja atau 46,32%. Selanjutnya tingkat
kecemasanya secara umum termasuk dalam kategori sedang sebesar 92,63%,
yakni rerata empirik sebesar 23,94 dan rerata hipotetiknya sebesar 25 dengan
jumlah 88 remaja, sedangkan yang memiliki kecemasan rendah sebanyak 5 remaja
atau sebesar 5,26% dan yang memiliki kecemasan tinggi sebanyak 2 remaja atau
sebesar 2,11%.
Hasil dari analisis data hubungan antara kecerdasan emosi dengan tingkat
kecemasan pada remaja mu’alimin kelas 3 Pondok Pesantren Al Mukmin
Sukoharjo dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson
diperoleh nilai koefisien korelasi antara variabel kecerdasan emosi dengan
variabel tingkat kecemasan (rxy) sebesar -0,329 dan p < 0,05. arah hubungan
antara dua variabel adalah negatif karena nilai r negatif (-) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosi dan kecemasan, artinya
semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah kecemasan begitu pula
sebaliknya maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima yaitu
terdapat hubungan yang negatif antara kecerdasan emosi dengan tingkat
kecemasan pada remaja mu’alimin kelas 3 Pondok Pesantren Al Mukmin
Sukoharjo. Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan Davidoff dan
Collings (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007) dimana orang yang mengalami
kecemasan ini biasanya mempunyai penilaian yang kurang baik terhadap dirinya,
mempunyai kecerdasan emosi yang rendah dan kurang percaya diri. Namun
kecemasan dapat diatasi bila seseorang mempunyai kecerdasan emosional yang
75
baik dengan cara berfikir realistis dan bersikap secara tepet. Temuan dalam
penelitian yang penulis lakukan ini juga sejalan dengan yang diungkapkan oleh
Coopersmith (dalam Syahraini dan Rohmatun, 2007) yang menyatakan bahwa
individu dengan kecerdasan emosional yang rendah menunjukkan tingkat
kecemasan tinggi. Tidak jauh beda seperti yangi di utarakan Salovey (dalam
Berrocal, 2006) berpendapat bahwa hasil penelitian kaitan antara kecerdasan
emosi dengan depresi, kecemasan dan keseluruhan psikis serta kesehatan mental
menunjukkan bahwa seseorang yang lebih banyak memperhatikan emosinya,
seseorang yang memiliki nilai lebih rendah kejernihan emosinya dan seseorang
yang menunjukkan ketidakmampuan untuk mengatur keadaan emosi
menunjukkan rendahnya penyesuaian emosi. Begitupula penelitian yang
dilakukan Rooprai (2009) bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk
mencegah timbulnya perasaan negatif seperti marah, kurang percaya diri,
kecemasan dan sebaliknya fokus pada perasaan positif salah satunya percaya diri,
empati dan keserasian. Pengembangan kecerdasan emosi harus lebih ditekankan
untuk mengatasi stress dan kecemasan. Selanjutnya menurut Spielberger dan
Rickman kecemasan adalah reaksi normal pada situasi sosial yang merupakan
sikap mengancam harga diri atau mental yang sehat. Kecerdasan emosi menurut
Bar-On, merupakan pengukuran mental yang sehat pada seseorang dimana
kecemasan yang tidak dapat di kontrol tidak akan memiliki mental yang sehat.
Pengukuran kecerdasan emosi menurut Emmerling dan Goleman bahwa
kecerdasan emosional bisa di kembangkan begitu juga dengan mental yang sehat
dan kontrol kecemasan (Rensburg, 2005). Hal tersebut diperkuat dengan
76
penelitian yang dilakukan oleh Sulistyana (2009) dimana penelitian tersebut
menunjukkan adanya hubungan negatif antara kecerdasan emosional dengan
kecemasan. Semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin rendah
kecemasan, sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosional maka semakin
tinggi kecemasan seorang.
b. Sumbangan efektif dalam penelitian ini ditunjukkan melalui Rsquare
atau disebut juga sebagai koefisien determinan yaitu sebesar 0,108 (nilai Rsquare
0.adalah pengkuadratan dari koefisien korelasi (R)). Artinya 10,8% kecemasan
pada remaja mu’allimin kelas 3 Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo dapat
dijelaskan oleh variabel kecerdasan emosi. Variabel kecerdasan emosi
memberikan sumbangan efektif sebesar 10,8%. Sedangkan sisanya (100% -
10,8% = 89,2%) dijelaskan oleh sebab-sebab lain. Faktor-faktor lain di luar
variabel kecerdasan emosi mungkin mempunyai hubungan terhadap kecemasan
yang tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Faktor-faktor lain itu di antaranya
faktor fisik, trauma dan konflik, conditioning, konstitusi, hereditas, lingkungan
awal dan latihan dan lain lain.
Secara umum hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang sangat
signifikan antara kecerdasan emosi dengan tingkat kecemasan remaja kelas 3
mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo, namun hasil penelitian ini
belum dapat digeneralisasikan pada remaja di Pondok Pesantren lain. Penerapan
populasi yang lebih luas dengan karakteristik yang berbeda perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut dengan menggunakan atau menambah variabel-variabel lain
77
yang belum disertakan dalam penelitian ini, ataupun dengan menambah dan
memperluas ruang lingkupnya.
78
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Ada hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan emosi dan tingkat
kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin
Sukoharjo. Hal ini telah dibuktikan dengan hasil analisis menggunakan teknik
korelasi Product Moment Pearson (rxy) sebesar -0,329 dan taraf signifikansi
sebesar 5 %. Arah hubungan antara dua variabel adalah negatif karena nilai r
negatif (-) menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara kecerdasan
emosi dan kecemasan, dimana semakin tinggi kecerdasan emosi maka
semakin rendah kecemasan begitu pula sebaliknya.
2. Sumbangan efektif yang diberikan variabel kecerdasan emosi terhadap tingkat
kecemasan sebanyak 10,8. Hal ini berarti masih terdapat 89,2 % faktor lain
yang mempengaruhi kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok
Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan yang telah
diuraikan, maka terdapat beberapa saran sebagai berikut :
1. Bagi orang tua
Orang tua diharapkan mengetahui lebih dalam perkembangan emosi anak.
Akibat dari pendidikan yang diberikan orang tua kepada anak menimbulkan
78
79
perkembangan emosi yang salah sebagai contoh selalu memarahi anak ketika
melakukan kesalahan bahkan sampai tindak kekerasan yang menyebabkan
emosi anak tidak stabil, mengakibatkan perasaan cemas dan tertekan yang
pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan kepribadian. Oleh karena itu,
hendaknya orang tua selalu memberikan pendampingan dan arahan yang
positif dalam menyikapi hal tersebut. Peran orangtua yang berkualitas dalam
mengembangkan kecerdasan dan perkembangan emosi anak secara bertahap,
akan mendorong potensi anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang memiliki
kemampuan kecerdasan yang yang tinggi dan pengendalian emosi yang baik
2. Bagi pendidik
Hendaknya setiap pendidik terutama guru yang mengajar remaja mu’allimin
pada pondok pesantren dapat memahami anak didiknya, mengetahui
karakteristik perkembangan emosi anak, sehingga akan membantu dalam
memberikan perlakuan yang sesuai dengan tingkat kemampuannya, agar
perkembangan emosi anak dapat berkembang dengan baik.
3. Bagi peneliti lain
a. Penelitian ini hanya meninjau sebagian hubungan saja sehingga bagi
peneliti selanjutnya yang tertarik untuk mengadakan penelitian yang
sejenis diharapkan agar memperhatikan faktor-faktor lain yang turut
mempengaruhi kecemasan.
b. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperluas populasi dan
memperbanyak sampel, agar ruang lingkup dan generalisasi penelitian
80
menjadi lebih luas dan mencapai proporsi yang seimbang sehingga
kesimpulan yang diperoleh lebih komprehensif.
4. Rata-rata tingkat kecemasan pada remaja kelas 3 mu’allimin Pondok
Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo menunjukkan sedang yang artinya masih
dibutuhkanyya perhatian yang lebih baik dari orang tua maupun pendidik
sehingga tingkat kecemasan diharapkan rendah dimana tingkat kecemasan
yang tinggi berpengaruh negatif pada proses pembelajaran, sebaliknya rata-
rata kecerdasan emosi menunjukkan sedang dimana peran orang tua dan
pendidik sangat berpengaruh dalam upaya peningkatan kecerdasan emosi pada
remaja khususnya remaja kelas 3 mu’allimin Pondok Pesantren Al-Mukmin
Sukoharjo.
81
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, N. dan Siregar, I. M. 2002. Anxietas-GAD konsep diagnosis dan penatalaksanaan mutakhir. Jakarta: Yayasan penerbitan IDI
Adrian, D. 2009. Penyesuaian Diri Terhadap Ambang Masa Pensiun.
http://www.psikomedia.com/art/artikel.php?id=2 Ahmadi, A dan Umar, M. 1982. Psikologi Umum (edisi revisi). Surabaya: PT
Bina Ilmu Amir, N. 2004. Pengembangan Instrumen Kecemasan Olah Raga. Anima,
Indonesian Psychological Journal 2004, Vol. 20, No. 1, 55-69 Kompas. 2006. Juara IV Olimpiade Fisika Jateng Tidak Lulus UN
http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=CwYFAAACBVJR
Azwar, S. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
________. 2008. Pengukuran Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Bastian, V. A. 2005. Are The Claim Of Emotional Intelligence Justified?
Emotional Intelligence Predicts Life Skills, But Not As Well As Personality And Cognitive Abilities. http:// digital.library .adelaide. edu.au/dspace/handle/2440/37831
Berrocal, P. dkk. 2006. The Role of Emotional Intelligence in Anxiety and
Depression among Adolescents. Individual Differences Research, 2006, 4(1). University of Malaga and University of California, Irvine: IDR Publishing Ltd. Co. www.idr-journal.com
Bradberry dan Graves, 2009. The Way of Emotional Quotient for Your Better Life.
Yogyakarta: Penerbit Garailmu Carnegie, D. 2007. Mengatasi Rasa Cemas dan Depresi Guna Meraih Motivasi
Kuat Dalam Memulai Hidup. Yogyakarta: Think Cooper, R. dan Sawaf, A. 2000. Kecerdasan Emosi dalam Kepemimpinan dan
Organisasi. Jakarta : Gramedia Putra. Dwita, A dan Natalia, J. 2002. Pengaruh Musik Terhadap Kecemasan Penderita
Katarak Menjelang Operasi. Anima, Indonesian Psychological Jurnal 002. Vol. 17. No 2. 179-195
81
82
Fauziah, N dan Hery. 2006. Dinamika Kecerdasan Emosi Pada Siswa Akeselerasi di SDN Kendangsari Surabaya. Yogyakarta. Jurnal Psikologi UGM
Goleman, D. 2007. Kecerdasan Emosional Mengapa EI lebih Penting daripada IQ.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Ilmu
Hadi, S. 1995. Metodologi Research jilid III. Yogyakarta: Andi Offset. ______. 2004. Statistik 2. Yogyakarta: Andi Offset Hasan, D. C. 2009. Sisi Lain dari Ujian Nasional. http:// 202.146.4.119 / read /
artikel / 29839 Halim, M. S. dan Atmoko, W. D. 2005. Hubungan Antara Kecemasan Akan
HIV/AIDS dan Psychological Well-Being Pada Waria yang Menjadi Pekerja Seks Komersial. Jurnal Psikologi. Vol. 15, No. 1. Maret 2005: Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta
Hurlock, E. B. 1990. Perkembangan Anak (terjemahan Meitasari Tjandrasa dan
Muslichan Zarkasi). Jakarta : PT. Gramedia. Iskandar, H. Y. 1992. Anti Stress And Generalized Anxiety Disorder. Jakarta: PT.
Gagas Medicapharma Communications (GMC) Kaplan dan Sadock. 1994. Kaplan&Sadock Comprehensive Textbook of
Psychiatry Seventh Edition. Cooperate Technology Ventures Kusningsih, dkk. 1994. Hubungan Stressor Psikososial dan Bantuan Sosial dengan
Ansietas Pada Remaja Pelajar 2 SLTA di Yogyakarta. Jiwa Majalah Psikiatri, Indon. Psychiat. Quart. XXVII:1:1994.Jakarta. Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa.
Leonni, R dan, Hadi, C. 2007. Bagaimana lebih memahami seorang diri remaja?.
Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Lestari, S dan Purwanto, Y. 2003. Kecerdasan Emosional: Tinjauan Psikoprofetik.
Jurnal Kognisi. Mawandha, H. G. dan Ekowarni, E. 2009. Terapi Kognitif Perilaku dan
Kecemasan Menghadapi Prosedur Medis Pada Anak Penderita Leukemia. Jurnal Intervensi Psikologi, Vol. 1, No. 1. Juni 2009. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Maslim, R. 1991. Diagnosis dan Terapi Sindrom Cemas. Jakarta: PT. Heochst
Pharmaceuticals of Indonesia
83
Mayer, J. D dan Salovey, P. 2000. Emotional Intelligence. Imagination, Cognition, and Personality. (9) 185-211. http://www.er.uqam.ca
Melianawati dkk. 2001. Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Kinerja
Karyawan. Anima, Indonesian Psychological Journal 2001, Vol .17. No. 1, 57-62
Mumtahani, Z. 2008. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Penyesuaian
Perkawinan Pada Pasangan Remaja. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi. Tidak diterbitkan.
Nasution, I. K. 2007. Stress Pada Remaja. http:// library.usu.ac.id/ download/
fk/132316815(1).pdf Nugraheni, S. D, 2005. Hubungan Antara Kecerdasan Ruhaniah Dengan
Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Usia Lanjut. Indigenous, Jurnal Berkala Ilmiah Berkala Psikologi Vol. 7, No. 1, Mei 2005: 18-38.
Nugroho, B. A. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan
SPSS. Yogyakarta: Andi Offset Nuhriawangsa, I. 2004. Symptomatologi Psikiatri. Surakarta. KPS PPDSI
PSIKIATRI, KPS S2 MKK Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Osman, A. Z. Keefektifan Cognitive Behavior Theraphy (CBT) Untuk
Menurunkan Tingkat Kecemasan dan Meningkatkan Kualitas Hidup Para Tahanan/Narapidana Penyalahguna NAPZA di Rumah Tahanan Kelas I Surakarta. Tesis, (tidak dipublikasikan). Universitas Sebelas Maret Surakarta
Purboningsih, E.R. 2004. Hubungan Antara Orientasi Locus Of Control Dengan
Tingkat Kecemasan. Jurnal Psikologi. Vol. 14. No. 2. September 2004: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Jakarta.
Rensburg, M. 2005. The Role of Emotional Intelligence in Music Performance
Anxiety. http://etd.uovs.ac.za : University of the Free State Riani, A. L dan Farida, H, 2006. Pengaruh Kompetensi Utama Kecerdasan
Emosional dan Efikasi Diri Terhadap Kenyamanan Supervisor dalam Melakukan Penilaian Kinerja. Jurnal Bisnis dan Manajemen Vol 6 : 43-60
84
Rooprai, K. 2009. Role of Emotional Intelligence in Managing Stress and Anxiety at workplace. Proceedings of ASBBS Volume 16 number 1: Gautam Buddha University, Greater Noida (U.P) India
Rostiana. 1997. Peranan Kecerdasan Emosional Dalam Proses Pembelajaran.
Jurnal Ilmiah Psikologi “ARKHE” th.2/No.3/1997 Sastroasmoro, S dan Ismael, S. 1995. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Jakarta: Binapura Aksara Setyonegoro, K. 1993. Anxietas-GAD dan Keluhan Somatik. Jakarta: Yayasan
penerbitan IDI Sitanggang, H. 1994. Kamus Psikologi. Bandung: CV. Armico Bandung Stein, S. J. dan Book. H. E. 2002. Ledakan EQ, 15 Prinsip Dasar Kecerdasan
Emosional Meraih Sukses. Bandung: Kaifa Sudiyanto, A. 2005. Keefektifan Psikoterapi Untuk Menurunkan Skor Kecemasan
Pasian Gangguan Anxietas. Indigeous, Jurnal Berkala Ilmiah Berkala Psikologi. Vol. 7. No. 2. Nopember 2005.: 158-170
Sulistyana, Y. S. 2009. Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Tingkat Kecemasan
Pada Mahasiswa Angkatan 2006 Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi. Tidak diterbitkan.
Suryabrata, S. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Perss __________ . 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta. Rajawali Perss
Suryanti, V dkk. 2002. Pengaruh Pelatihan Emotional Literacy Terhadap Kecerdasan Emosional Remaja. Surabaya. Anima, Indonesian Psychological Journal 2002, Vol. 17, No. 3, 243-256
Susilawati. 2004. Kecerdasan Emosional dan Keefektifan Kepemimpinan Dalam
Membentuk Iklim Kerja. Majalah Ekonomi Tahun XII No. 2, Agustus 2002.
Syahraini, K dan Rohmatun. 2007. Kecerdasan Emosional dan Kecemasan
Pramenopause pada Wanita di RW IV dan XI Kelurahan Gebang Sari Semarang. Jurnal Psikologi Proyeksi, Volume 2, Nomor 1, Februari 2007
Syamsulhadi, M. 1996. Ilmu Penyakit, Jiwa Gangguan Kecemasan. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret Surakarta
85
Tjundjing, S. 2001. Hubungan antara IQ, EQ, dan AQ dengan Prestasi Studi Pada Siswa SMU. Surabaya. Anima Indonesian Psychological Journal 2001, Vol 17. No. 1, 69-92
Trismiati. 2004. Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Pria dan Wanita Akseptor
Kontrasepsi Mantap Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal PSYCHE 22 Vol. 1 No. 1, Juli 2004
Uyanto, S. 2006. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu Yen, L dan Atmadji, G. 2003. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan
Prestasi Kerja Distributor Multi Level Marketing (MLM). Indonesian Psychological Journal. Vol 19, No. 2. 187-194
Yusof, Y dan Pelajar, J. H. 2005. Kecerdasan Emosi. Jurnal Akademik MPTAR
tahun 2005. http:// www.iptar.edu.my / iptarrd / pdf / JA2005.pdf.