Makalah Emosi (PLB)

29
Emosi dan Perspektif Lintas Budaya Emosi merupakan kajian dalam lintas budaya dan psikologi yang sangat popular dalam beberapa dekade terakhir ini. Emosi tidak hanya ada pada setiap manusia, tetapi juga hewan. Sehingga kajian mengenai emosi ini pada dasarnya sangat besar (e.g., Ekman dan Davidson, 1994). Kajian mengenai lintas budaya ini merujuk pada upaya untuk mengungkapkan keseimbangan antara emosi sebagai keadaan psikologis yang mungkin dalam keanekaragaman lintas budaya dan emosi sebagai konstruksi social yang berbeda dalam cara pandang lintas budaya. Sementara itu, Shweder(1994) menyatakan bahwa emosi sebenarnya adalah konsep yang dibicarakan itu sendiri. Dan segala bentuk substansi untuk pendistribusian menuju bentuk logis yang disebut perdebatan (Shweder 1994). Lebih lanjut lagi Shweder menjelaskan bahwa emosi adalah transenden narasi ataupun naskah, catatan biokimia, aktivitas social, sinyal ekspresif, hasil fenomenologi, kecenderungan tindakan, maupun penilaian yang dikaitkan dengan emosi sebagai symptom yang tidak terhubung dengan cara yang sama seperti halnya atribut alam.(Shweder 1944) 1

Transcript of Makalah Emosi (PLB)

Page 1: Makalah Emosi (PLB)

Emosi dan Perspektif Lintas Budaya

Emosi merupakan kajian dalam lintas budaya dan psikologi yang sangat popular

dalam beberapa dekade terakhir ini. Emosi tidak hanya ada pada setiap manusia,

tetapi juga hewan. Sehingga kajian mengenai emosi ini pada dasarnya sangat besar

(e.g., Ekman dan Davidson, 1994). Kajian mengenai lintas budaya ini merujuk pada

upaya untuk mengungkapkan keseimbangan antara emosi sebagai keadaan psikologis

yang mungkin dalam keanekaragaman lintas budaya dan emosi sebagai konstruksi

social yang berbeda dalam cara pandang lintas budaya. Sementara itu, Shweder(1994)

menyatakan bahwa emosi sebenarnya adalah konsep yang dibicarakan itu sendiri.

Dan segala bentuk substansi untuk pendistribusian menuju bentuk logis yang disebut

perdebatan (Shweder 1994). Lebih lanjut lagi Shweder menjelaskan bahwa emosi

adalah transenden narasi ataupun naskah, catatan biokimia, aktivitas social, sinyal

ekspresif, hasil fenomenologi, kecenderungan tindakan, maupun penilaian yang

dikaitkan dengan emosi sebagai symptom yang tidak terhubung dengan cara yang

sama seperti halnya atribut alam.(Shweder 1944)

Menurut Ekman(1994) terdapat enam emosi yang ada dalam manusia. Antara lain

marah, takut, sedih, senang, terkejut, dan jijik

Bukti perbandingan dari budaya yang berbeda menunjukkan bahwa setiap budaya

memiliki kemiripan mengekspresikan emosi di wajah, suara, maupun gerak badan.

Pada bagian berikutnya ada perbedaan sudut pandang yang menjelaskan bahwa emosi

adalah budaya dalam Negara, yang menyiratkan bahwa emosi merupakan konstruksi

social atau konstruksi kognitif dan dimanapun juga bukti yang berasal dari etnografi

dan lingustik.

Russell (1991) menelaah literatur lintas budaya dan antropologis tentang konsep-

konsep emosi yang menyimpulkan bahwa ada perbedaan antara budaya yang kadang

mencolok, dalam bagaimana definisi dan pemahaman emosi. Dalam budaya lain

emosi memiliki peranan yang berbeda. Misalnya, banyak budaya yang menganggap

1

Page 2: Makalah Emosi (PLB)

emosi sebagai pernyataan-pernyataan tentang hubungan antar orang dan

lingkungannya yang mencakup baik benda-benda maupun hubungan sosial dengan

orang lain. Adapun faktor yang mempengaruhi emosi adalah:

1. Cultural Differences in Emotion Antecedents

Peristiwa atau situasi yang dapat memicu munculnya suatu emosi.

2. Cultural Differences in Emotion Appraisal

Proses dimana orang berusaha untuk menilai peristiwa, kejadian dan situasi yang

menyertai emosi mereka.

3. Cultural Differences in Expressive Behavior

Ekspresi wajah dari emosi ini pada dasarnya bersifat genetic dan bukan dari

belajar social.

Understanding “Others”

Penelitian yang dilakukan oleh Charles Osgood (1977; Osgood et al 1975)

yang mengambil tema utama bagaimana anggota berbagai pengalaman kelompok

budaya sendiri dan lingkungan sosial mereka. Pembedaan dapat dibuat antara aspek

obyektif dan subyektif budaya (Herskovits, 1948). Aspek obyektif tercermin dalam

indikator tentang kondisi iklim, jumlah tahun sekolah, produk nasional, indeks, dll.

Subyektif mencerminkan bagaimana anggota budaya yang melihat diri mereka dan

bagaimana mereka menilai cara hidup mereka. Ini mencerminkan budaya subyektif

mereka.

Menurut Triandis dan Vassiliou (1972) menemukan bahwa orang-orang

Yunani cenderung menggambarkan diri mereka sebagai philotimous. Sebanyak 74

persen dari sampel responden menggunakan istilah ini dalam deskripsi diri. Triandis

dan Vassiliou (1972, hlm 208-9) menulis: “Seseorang yang memiliki karakteristik ini

sopan, berbudi luhur, dapat dipercaya, bangga, memiliki ‘jiwa yang baik’, berperilaku

benar, memenuhi kewajibannya, melakukan tugasnya adalah benar, murah hati, rela

berkorban, bijaksana, menghormat, dan bersyukur”. Mereka meringkas dengan

2

Page 3: Makalah Emosi (PLB)

menyatakan bahwa orang yang philotimous “berperilaku terhadap anggota in

groupnya adalah cara mereka berperilaku”.

Universalitas Emosi

Ada berbagai teori dalam biologi dan neurosains tentang sejarah evolusi dari

emosi dan lokasinya dalam struktur otak (Gazzaniga, 1995; McNaughton, 1989

dalam Berry et.al., 2002). Dalam ilmu psikologi ada tradisi penelitian yang panjang

dimana proses psikologi dan proses biologis, seperti ekspresi wajah telah ditemukan

sebagai dorongan internal yang dirasakan sebagai emosi. Sifat hubungan antara apa

yang dirasakan dan proses yang mendasari tidak begitu jelas, dan beberapa peneliti

setuju bahwa dasar bilogis dari emosi tidak begitu jelas dibedakan. (Cacioppo &

Tassinary, 1990 dalam Berry et.al., 2002).

Ekspresi wajah

Menurut Darwin, universalitas dari kesamaan ekspresi wajah sama pentingnya

dengan bukti bahwa emosi bersifat alami. Pengalaman awal yang sama pada manusia

di masa balita dan anak-anak membentuk penjelasan alternatif. Menurut Klineberg

and Birdwhistell (dalam Berry et.al., 2002), perbedaan ini menunjukkan bahwa

ekspresi emosi manusia dikenali dalam proses sosialisasi, setikdaknya sudah menjadi

pertimbangan. Dalam Berry et.al., 2002, dijelaskan bahwa studi yang paling dikenal

dan mendukung pertanyaan perbedaan lintas budaya mengenai ekspresi wajah

dilakukan oleh Ekman melalui the Fore in East New Guinea. Ekman telah

mempublikasikan berbagai foto yang menunjukkan kemiripan ekspresi emosi seperti

yang ditemukan di negara industrialisasi.

Walaupun secara subyektif meyakinkan, penelitian ini tidak menunjukkan

keilmiahan yang memadai. Ekman dan timnya juga melakukan dua jenis eksperimen.

Jenis pertama, mereka memunculkan responden dengan tiga foto manusia yang

menunjukkan emosi yang berbeda. Mereka juga meminta subyek mengindikasikan

3

Page 4: Makalah Emosi (PLB)

apa yang terjadi pada orang dalam foto. Dalam jenis kedua, responden diminta untuk

membuat wajah yang akan mereka tunjukkan ketika mereka senang. Ekspresi wajah

ini difoto dan nantinya akan dianalisis untuk menentukan apakah pola muscular

(jaringan) emosi yang sama di wajah dapat ditemukan seperti yang ditunjukkan pada

responden sebelumnya. Di sisi lain, Tomkins (dalam Berry et.al., 2002) menunjukkan

hubungan antara aktivitas central nervous system dan kontraksi dari jaringan wajah.

Ekman and Friesen (1969 dalam Berry et.al., 2002) menemukan bahwa banyak

ekspresi wajah merefleksikan lebih dari satu emosi. Sebuah postulat yang mengikuti

teori adalah adanya pola karakteristik dari jaringan wajah untuk tiap emosi dasar.

Dalam dasar ini mereka memilih foto yang menunjukkan bahwa enam emosi dasar,

yaitu happiness, sadness, anger, fear, surprise, and disgust. Dalam penelitian

selanjutnya, pola jaringan wajah dibedakan lagi dan menjadi tujuh ekspresi emosi

dasar. Bukti lintas budaya yang pertama didapat ketika responden dalam lima wilayah

(Argentina, Brazil, Chile, Japan, USA) ditunjukkan foto yang menunjukkan enam

emosi. Istilah emosi ini disebut sebagai respon alternative pada tiap stimulus.

Penelitian yang dilakukan Ekman dan timnya mereplikasi Dani, suku yang

tinggal di Papua. Hasil menunjukkan bahwa ekspresi dasar dari emosi

diinterpretasikan dalam cara yang serupa seperti pada kelompok industrialisasi. Studi

independent lain, seperti yang dilakukan Izard (1971 dalam Berry et.al., 2002), juga

telah menyediakan hasil bahwa mereka setuju dengan penemuan Ekman dan timnya.

Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana tingkat kognisi yang rendah

merefleksikan artefak dari metode tes (misalnya keistimewaan budaya dalam

stimulus) dan sejauh mana mereka merefleksikan dampak dari factor budaya pada

emosi. Penelitian yang didesain untuk menyelesaikan masalah ini tidak membuahkan

hasil. Ada beberapa variasi yang muncul dalam mengenali emosi spesifik. Di sisi lain,

Ekman dan timnya dalam studi sepuluh budaya menunjukkan bahwa ekspresi emosi

campuran juga dikenal dalam berbagai budaya. Perbandingan antara sampel orang

Asia dan Barat terkait dengan tingkat intensitas stimulus wajah menunjukkan tingkat

intensitas yang rendah pada reponden dari Asia. Oleh karena itu, Ekman dan timnya

4

Page 5: Makalah Emosi (PLB)

menyatakan bahwa emosi yang tidak terlalu intens diatribusikan pada ekspresi dari

wajah asing. Dalam studi perbedaan lain, ditemukan perbedaan persepsi pada

ekspresi emosi. Dimensi budaya yang luas dapat menjadi sebuah penjelasan.

Misalnya, Matsumoto (1992 dalam Berry et.al., 2002), menggunakan wajah Jepang

dan Amerika dengan sampel dari Jepang dan USA, ditemukan bahwa tingkat

intensitas pada emosi negatif pada sampel Jepang lebih rendah daripada Amerika. Ia

menunjukkan bahwa di Jepang, sebagai negara kolektivis, penunjukan emosi negative

dapat mengecilkan hati. Oleh karena itu, kemampuan pengenalan mereka adalah lebih

rendah, karena emosi negatif akan mengganggu hubungan sosial. Di USA, sebuah

Negara individualis, ekspresi yang lebih terbuka lebih ditoleransi dan mengarahkan

pada pengenalan yang baik.

Ekspresi vokal/ Intonasi

Penelitian tentang pengakuan lintas budaya intonasi emosional dalam suara

telah menunjukkan hasil yang sama dengan yang diperoleh untuk ekspresi wajah.

Albas, McCluskey, dan Albas (1976) contoh pidato dikumpulkan dimaksudkan untuk

mengekspresikan kebahagiaan, kesedihan, cinta, dan kemarahan dari Inggris dan Cree

berbahasa responden Kanada. Ekspresi ini dibuat semantik dimengerti melalui suatu

penyaringan prosedur elektronik yang meninggalkan intonasi emosional utuh.

Responden dari kedua kelompok bahasa mengakui emosi yang dimaksudkan oleh

pembicara jauh melampaui tingkat kebetulan, tetapi kinerja lebih baik dalam bahasa

sendiri daripada dalam bahasa lain. Dalam studi lain McCluskey, Albas, Niemi,

Cuevas, dan Ferrer (1975) membuat perbandingan antara Meksiko dan Kanada

(anak/enam hingga sebelas tahun). Dengan prosedur yang sama mereka menemukan

bahwa anak-anak Meksiko tidak lebih baik dari responden Kanada juga pada

identifikasi ekspresi bahasa Inggris Kanada, sebuah temuan yang sementara dianggap

berasal dari kepentingan yang lebih besar dari intonasi dalam berbicara Meksiko.

Van Bezooijen, Otto dan Heenan (1983) mencoba menjelaskan mengapa

ekspresi vokal emosi tertentu nampaknya dapat diakui lebih mudah daripada orang

5

Page 6: Makalah Emosi (PLB)

lain. Mereka membuat perbandingan antara responden Belanda, Taiwan, dan Jepang,

dengan menggunakan kalimat singkat tunggal di Belanda yang telah diungkapkan

oleh pembicara yang berbeda dalam sembilan nada emosional yang berbeda (yaitu,

jijik, terkejut, malu, senang, takut, jijik, sedih, marah , serta nada netral suara).

Dengan satu pengecualian semua emosi yang diakui di lebih baik daripada tingkat

kesempatan oleh ketiga kelompok, tapi skor dari responden Belanda jauh lebih tinggi,

menunjukkan cukup banyak kehilangan informasi karena perbedaan budaya dan /

atau linguistik antara tiga sampel. Berdasarkan analisis tingkat kebingungan antara

berbagai emosi Van Bezooijen et al. menyarankan bahwa emosi lebih sulit untuk

membedakan ketika mereka mencerminkan tingkat lebih mirip aktivasi atau gairah.

Tingkat aktivasi ditemukan lebih penting untuk pengakuan dari dimensi evaluasi

(yaitu, emosi positif dan negatif). Dalam analisis skala jarak antara, misalnya, emosi

pasif rasa malu dan kesedihan dan bahwa antara emosi aktif sukacita dan kemarahan

ternyata kecil, sedangkan jarak antara rasa malu dan kemarahan itu jauh lebih besar.

Hal ini sejalan dengan literatur umum pada pengakuan ekspresi vokal emosi

(misalnya, Scherer, 1981).

Display Rules

Meskipun telah disebutkan beberapa macam emosi yang bersifat universal,

tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan lintas budaya tetap memberi pengaruh dalam

manifestasi emosi seseorang. Paul Ekman menemukan fakta menarik bahwa budaya

mempengaruhi bagaimana sebuah emosi akan ditampilkan dalam situasi tertentu.

Pada penelitiannya di tahun 1973, Ekman melakukan eksperimen pada orang Jepang

dan Amerika. Eksperimen dilakukan dengan memutarkan dua buah video, yang

mengandung unsur stresful dan film netral (yang tidak mengandung unsur stresful)

kemudian diamati ekspresi yang muncul. Masing-masing kelompok dibagi subjek

menjadi 2, yaitu kelompok yang menyaksikan film secara individual dan kelompok

yang menyaksikan secara bersama-sama.

6

Page 7: Makalah Emosi (PLB)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok individual, subjek Jepang

maupun Amerika menunjukkan ekspresi yang sama ketika menyaksikan video. Pada

video yang mengandung stresful, ekspresi yang muncul adalah takut maupun jijik,

sedangkan pada video yang lebih netral kedua kelompok menunjukkan ekspresi

kegembiraan yang sama di kedua kelompok budaya tersebut.

Kemudian hasil yang berbeda ditunjukkan oleh kelompok yang menyaksikan

film secara bersama-sama. Kelompok Amerika lebih banyak menunjukkan emosi

negatif pada video yang mengandung stresful, sedangkan kelompok Jepang lebih

banyak menahan emosi negatif tersebut untuk tidak diekspresikan di hadapan banyak

orang. Hal ini menunjukkan kesimpulan bahwa ekspresi emosi yang secara biologis

bersifat bawaan dan universal, akan tetap dipengaruhi oleh aturan-aturan

pengungkapan yang bersifat kultural. Aturan kultural ini meliputi bagaimana, kapan,

dan dimana sebuah ekspresi emosi tersebut ditampilkan. Aturan ini disebut sebagai

aturan pengungkapan kulturan (cultural display rules). Pada eksperimen kelompok

Amerika dan Jepang diatas, dapat disimpulkan bahwa budaya Jepang mengajarkan

agar menahan ekspresi emosi negatif dihadapan orang lain, sedangkan budaya

Amerika lebih bersifat terbuka dalam pengungkapan ekspresi emosi negatif.

Komunikasi non-verbal

Emosi merupakan fungsi komunikatif dalam interaksi sosial. Menurut

Fridlund (1997) ekspresi wajah telah berevolusi dalam sejarah evolusi spesies

manusia untuk tujuan ini. Menurut Frijda (1986, hal 60) itu merupakan pertanyaan

terbuka apakah ekspresi emosi telah berevolusi filogenetis untuk tujuan komunikasi,

mereka mungkin telah terjadi untuk alasan yang sangat berbeda. Namun demikian,

eksresi emosional seringkali dapat melayani komunikasi. Ada juga saluran

komunikasi lainnya non verbal, beberapa di antaranya akan disebutkan di sini. Untuk

gambaran umum dari literatur ini kita merujuk ke Argyle (1988). Pada bagian ini kita

sangat tertarik pada pertanyaan sejauh mana saluran komunikasi lainnya menegaskan

7

Page 8: Makalah Emosi (PLB)

kesan kesamaan mendasar lintas budaya yang telah muncul dari studi tentang

ekspresi wajah dan vokal.

Penelitian mengenai gerak tubuh sebagai suatu bentuk komunikasi disebut

kinestetik. Ini adalah bentuk komunikasi non verbal yang lebih familiar dan meliputi

bidang-bidang seperti gerak isyarat tubuh, postur tubuh, gerakan tubuh, ekspresi

wajah, dan gerakan mata. Sistem kategori untuk perilaku kinestetik dikembangkan

oleh Ekman dan Friesen (1969 dalam Berry et.al., 2002) yang membagi perilaku non

verbal menjadi empat tipe, yaitu:

1. Tanda atau isyarat

Tindakan non verbal yang dapat diterjemahkan secara langsung ke dalam

pesan-pesan verbal tertentu yang memiliki makna khusus.

2. Ilustrator

Gerakan tubuh yang memiliki hubungan satu demi satu dengan pesan yang

dikomunikasikan secara verbal. Tipe ini menggambarkan apa yang dikatakan

dan terkait dengan bahasa. Ilistrator memiliki makna kognitif sendiri yang

dekat dengan budaya.

3. Regulator

Digunakan untuk menyesuaikan dan mempertahankan aliran komunikasi

dalam sebuah percakapan. Gestur ini seperti gerak kepada dan lengan atau

postur tubuh yang lebih berperan dalam mendengarkan dan berbicara dalam

percakaan antara dua orang atau lebih.

4. Adaptor atau manipulator tubuh

Digunakan oleh seseoran ketika dia terlibar dalam sebuah percakapan dengan

orang lain, adaptor sering digunakan apabila seseorang sesndirian, gestur yang

nampak seperti menggaruk hidung. Gerakan yang dihubungkan dengan

kebutuhan tubuh atau hubungan interpersonal.

Argyle (1988 dalam Berry et.al., 2002) meyakini bahwa beberapa dari gestur

yang umum, seperti mengangkat bahu, yang mungkin berasal dari bawaan dapat

menjadi suatu hal yang umum karena mereka mengikuti dari sifat ruang dan fisik.

8

Page 9: Makalah Emosi (PLB)

Misalnya gerakan lengan “ayo kesini” juga dipahami di seluruh dunia. Hal tersebut

merupakan hasil budaya yang dipelajari seseorang melalui lingkungan. Penelitian lain

yang dilakukan oleh seorang antropolog, Hall (1996 dalam Berry et.al., 2002)

menemukan hal yang menrik perhatian dalam perbedaan lintas budaya, yang

menuliskan bahwa orang Arab, Eropa Selatan dan Amerika Latin berdiri berdekatan

ketika berbicara, dan cenderung saling menyentuh. Sedangkan orang-orang keturunan

Eropa utara lebih menjaga jarak fisik ketika berbicara dengan lawan bicaranya.

Emotion as Cultural States

Menurut psikologi Amerika, emosi mengandung makna personal dan

memandang inner feeling yang subjektif merupakan karakteristik utama pada emosi.

Jika kita mendefinisikan emosi seperti itu maka peran emosi adalah memberikan

informasi tentang kita sendiri. Dalam budaya, emosi mempunyai peran yang berbeda.

Peran emosi dalam budaya, misalnya banyak budaya yang menganggap emosi

sebagai pernyataan mengenai hubungan orang dan lingkungannya yaitu benda-benda

atau orang lain.

Sebuah analisa etnografi yang dilakukan oleh Lutz (1988 dalam Berry et.al.,

2002) menolak gagasan bahwa emosi manusia pada dasarnya sama pada setiap

kebudayaan. Lutz melakukan studi analisa pada kehidupan emosional suku Ifaluk

yang tinggal di sebuah atoll di Pasifik Selatan. Dia memulai studinya dengan adanya

pemikiran yang kontras mengenai asumsi budaya yang ada pada masyarakat. Lutz

memfokuskan analisisnya pada dua emosi yang tidak ditemukan di Amerika Serikat

yaitu yang dinamakan fago (campuran antara ekspresi belas kasih, cinta, dan

kesedihan) dan song (diartikan sebagai “marah yang dibenarkan”). Seperti

kemarahan, song dianggap sebagai ekpresi dari pengalaman yang tidak

menyenangkan yang dirasakan oleh diri sendiri atau dengan yang lainnya. Tidak

seperti kemarahan, song tidak mengandung terlalu banyak ketidaksenangan secara

personal, misalnya sesuatu yang disalahkan secara sosial. Ada kata lain yang dapat

merujuk pada kemarahan, dalam hal ini kemarahan dibedakan menjadi kemarahan

9

Page 10: Makalah Emosi (PLB)

yang benar, kemarahan yang dibenarkan (song), dan kemarahan yang disetujui secara

moral.

Studi yang dilakukan Lutz mungkin akan menimbulkan pertanyaan apakah

studi tersebut dapat diterima dan dimengerti oleh penduduk dari Barat karena

sebelumnya terdapat studi etnografi yang menunjukkan konsistensi yang rendah

(Kloos, Russel, 1991 dalam Berry et.al., 2002). Terlepas dari asumsi kita mengenai

keakuratan gambaran song yang diberikan oleh Lutz, muncul pertanyaan baru yaitu

apakah masyarakat Amerika Serikat dan Barat lainnya mengerti mengenai keadaan

emosi? Salah satu contoh song terlihat dari ekspresi kemarahan yang ditunjukan oleh

seorang pemimpin serikat buruh mengenai gaji buruh yang rendah yang diberikan

oleh manajemen, menurutnya hal ini tidak dapat diterima secara sosial dan moral.

Studi lainnya dilakukan oleh Harvey, Frank, dan Verdun (2000 dalam Berry

et.al., 2002) mengenai perbedaan-perbedaan serupa di Amerika Serikat dari orang-

orang suku Ifaluk atau di tempat lainnya. Bedford (1994 dalam Berry et.al., 2002)

mendeskripsi lima bentuk rasa malu di Cina, Bedford menulis skenario yang berbeda

untuk menangkap perbedaan ekspresi dan menentukan skala ekspresi, misalnya

merasa tak berdaya, dipermalukan diri sendiri, dan berharap untuk bersembunyi.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa masyarakat yang berasal dari Amerika juga

mengalami macam-macam rasa malu yang dibedakan oleh Cina. Dalam studi yang

dilakukan Frank, Harvey, dan Verdun ini menyatakan bahwa tidak mencerminkan

kemungkinan adanya perbedaan yang penting pada varietas rasa malu ini

padakehidupan sehari-hari.

Penekanan terhadap konstruksi sosial emosi bukan berarti adanya penolakan

terhadap aspek biologis. Menurut Averill (1980 dalam Berry et.al., 2002), teori-teori

yang tidak sesuai hanya mengindikasikan pada aspek-aspek yang berbeda dalam

fenomena yang sama. Menurut Averill, emosi bukan biologis tetapi konstruksi sosial

(peran sosial sementara untuk menjadi peran yang sesuai dengan aturan yang relevan

dalam bentuk norma-norma dan harapan mengenai perilaku sosial yang diberikan).

10

Page 11: Makalah Emosi (PLB)

Deskripsi arti dan istilah emosi tertentu tidaklah mudah untuk diterjemahkan

ke dalam bahasa yang lain karena emosi tersebut muncul dengan adanya konteks

budaya dimana emosi tersebut terjadi. Istilah emosi adalah song, contoh lainnya

adalah liget pada suku Ilongots di Filipina yang dikemukakan oleh Rosaldo (1980

dalam Berry et.al., 2002). Liget merupakan bentuk kemarahan yang mencakup

kesedihan dan adanya praktek pemenggalan kepala musuh. Terkadang banyak kata

yang dapat menjelaskan emosi tetapi tertutup pada sebuah kata dalam bahasa Inggris.

Contohnya, beberapa kata dalam bahasa Jawa yang hampir sama artinya dengan

emosi malu pada bahasa Inggris (Geertz, 1961 dalam Berry et.al., 2002). Dalam

keadaan lainnya terlihat tidak ada kata yang mewakili beberapa emosi yang

dibedakan oleh Ekman, misalnya kata kesedihan yang luput di Tahiti (Levy dalam

Berry et.al., 2002).

Wierzbicka (dalam Berry et.al., 2002) adalah seorang peneliti yang

memberikan peran sentral pada bahasa. Hal ini bermula karena kata terjemahan dari

suatu bahasa pasti akan terdistorsi oleh sebab itu perlu dibentuknya metabahasa

melalui penelitian cross-linguistic. Terdapat kata-kata dalam suatu bahasa yang tidak

terdapat pada bahasa lain tetapi juga ada kata-kata yang memiliki makna yang sama

pada setiap bahasa. Intinya adalah representasi dari konseptual primitif dan kosa kata

universal. Beberapa primitif mengacu pada emosi. Dengan demikian, secara umum

universalitas emosi tidak dipertanyakan tetapi mereka harus dikonseptualisasikan

dalam tema-tema tertentu yang terkait dengan skenario kognitif yang mendasari

konsep emosi kelompok.

Emosi universal yang dikemukakan Wierzbicka, membuatnya mengeluarkan

beberapa asumsi tentang hal tersebut. Berikut adalah asumsi yang diberikan

Wierzbicka. Semua bahasa memiliki kata untuk “merasa” dan beberapa perasaan

dapat menyatakan sebagai sesuatu yang baik dan lainnya menyatakan sebagai sesuatu

yang buruk. Semua bahasa memiliki kata yang menghubungkan perasaan dengan

pemikiran yang pasti, misalnya dalam pikiran menyatakan “terjadi sesuatu yang

buruk pada diri saya” pikiran tersebut dekat dengan “takut”. Selain itu, skenario

11

Page 12: Makalah Emosi (PLB)

kognitif dari emosi cenderung mengarah ke isu-isu sosial dan moral, serta untuk

interaksi interpersonal. Ini menggambarkan bahwa esensi dari emosi terletak dalam

pemikiran dan bahasa.

Dalam studi arti kata-kata emosi pada bahasa tertentu, Wierzbicka (1998

dalam Berry et.al., 2002) mendeskripsikan secara terperinci kelekatan budaya dan

spesifikasi makna. Contohnya adalah arti dari kata Angst (anxiety) di Jerman yang

berbeda dari kata Furcht (fear). Bertentangan dengan Furcht yang memiliki objek

(takut akan sesuatu), Angst adalah rasa takut tanpa obyek yang ditakuti. Kata-kata

tersebut sering digunakan dan merupakan istilah penting dalam bahasa Jerman serta

merupakan emosi dasar yang menjadi akar dikatakan kembali ke tulisan-tulisan para

teolog abad keenam belas, Martin Luther atau seperti banyak orang sezamannya yang

berjuang dengan ketidakpastian hidup dan kehidupan setelah kematian.

Tidak semua orang yakin bahwa penjelasan budaya sebagaimana

membenarkan kesimpulan bahwa Angst di Jerman adalah ciptaan budaya berbeda

yang juga penting sebagai emosi dasar dalam masyarakat lain. Ini belum ditunjukkan

dalam cara yang sistematis dengan membandingkan negara-negara Jerman dengan

perasaan orang-orang dari kelompok bahasa lainnya. Isu utama telah diungkapkan

oleh Frijda, Markam, Sato, dan Wiers (1995 dalam Berry et.al., 2002) adalah sebagai

berikut: "Kita dapat berasumsi bahwa terdapat kata (mengenai emosi) yang

mencerminkan cara hal-hal tersebut terlihat atau seseorang dapat berasumsi bahwa

terdapat hal-hal (emosi) yang diberikan nama dan dengan demikian memiliki kata-

kata ditugaskan kepada mereka. Ekman menggunakan cross-culture untuk

membuktikan perbedaan antara emosi dasar diyakini berakar pada suatu negara

tertentu secara internal. dalam Berry et.al., 2002 dijelaskan bahwa Lutz (1988) dan

Wierzbicka (1999) melihat esensi dari emosi manusia adalah tidak memiliki

karakteristik yang melekat pada organisme manusia namun dalam proses konstruksi

sosial budaya, bahasa, dan kognisi.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang ada, ekspresi emosi pada seseorang

diekspresikan dengan cara yang sama secara universal. Kenyataan ini mungkin akan

12

Page 13: Makalah Emosi (PLB)

sulit diterima dan dipercaya oleh beberapa orang karena menurut mereka budaya

sangat mempengaruhi ekspresi emosi seseorang. Emosi yang dirasakan oleh

seseorang akan diekspresikan dengan melibatkan aturan-aturan yang telah dipelajari

dalam budaya masing-masing. Ekspresi emosi yang direpresentasikan dapat sesuai

ataupun tidak dengan emosi yang sebenarnya dirasakan bergantung pada ajaran

budaya yang diterima selama ini. Hal ini disebabkan oleh interaksi antar manusia

bersifat sosial yang tidak terlepas dengan budaya. Interaksi antar individu membuat

individu berperilaku sesuai dengan budaya setempat dan kebanyakan. Dengan

demikian, orang-orang yang berlatar belakang budaya yang berbeda memang dapat

mengekpresikan emosinya dengan cara yang berbeda pula sesuai kebiasaan dan

ajaran yang didapat dari budaya masing-masing.

Pendekatan Komponensial

Pendekatan ini adalah saat emosi tidak lagi dianggap sebagai kesatuan entitas

tetapi sebagai komponen emosi ganda yang telah banyak diperoleh pada tahun 1990-

an. Pendekatan ini menekankan bahwa emosi lintas-budaya dapat secara bersamaan

dalam beberapa hal dan berbeda dalam hal lain. Hal ini telah dikembangkan dalam

konteks tradisi kognitif dalam psikologi (Frijda, 1986 dalam Berry et.al., 2002) untuk

melihat emosi sebagai suatu proses dimana beberapa aspek dapat dibedakan. Banyak

informasi tentang lintas budaya yang relevan yang dapat ditemukan dalam dua hasil

tinjauan oleh Mesquita dan Frijda (1992 dalam Berry et.al., 2002) dan

Mesquita,Frijda, dan Scherer (1997 dalam Berry et.al., 2002). Komponen tersebut

adalah antecedent event (kondisi atau situasi yang menimbulkan emosi), appraisal

(evaluasi situasi mengenai kesejahteraan masyarakat atau mengenai tujuan kepuasan),

subjective feeling, physiological reaction pattern (Levenson et al, 1992 dalam Berry

et.al., 2002.), action readiness (impuls perilaku bagi beberapa jenis tindakan),

behavior expression (misalnya ekspresi wajah), dan regulation (hambatan dan kontrol

atas ekspresi).

13

Page 14: Makalah Emosi (PLB)

Antecedent of Emotion

Beberapa penelitian membahas tentang anteseden emosi yaitu hal-hal yang

memicu atau terjadi sebelum adanya emosi. Anteseden emosi dapat bervariasi dari

kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. Penelitian-penelitian ini dilakukan untuk

menjawab beberapa pertanyaan. Apakah dengan peristiwa yang sama dapat

menghasilkan emosi yang sama, pada frekuensi peristiwa yang serupa dan pada

kebudayaan yang berbeda-beda.

Penelitian mengenai antesedent emosi dilakukan oleh Boucher. Penelitian ini

(Brandt & Boucher, 1985 dalam Berry et.al., 2002) sebagian besar didasarkan pada

sampel dari responden yang berasal dari Koera, Samoa, dan Amerika Serikat.

Responden diminta untuk menuliskan cerita tentang peristiwa yang menyebabkan

salah satu dari enam emosi yaitu marah, jijik, takut, kebahagiaan, kesedihan, atau

terkejut.

Kesepakatan emosi ditemukan pada cerita antar budaya dan dalam satu

kebudayaan. Dalam hal harapan, responden lebih baik mengekspresikannya pada

kebudayaan mereka sendiri. Hasil penelitian menyatakan bahwa antecedents events

pada emosi hampir serupa pada orang-orang yang berbeda kebudayaan. Kesamaan

juga ditemukan pada pola menangis dan anteseden menangis pada mereka (Becht,

Poortinga, & Vingerhoets, 2001 dalam Berry et.al., 2002).

Perbedaan lintas budaya dalam anteseden ini berhubungan dengan perbedaan

interpretasi situasi dan keyakinan budaya secara spesifik. Interpretasi yang sangat

spesifik dapat menyebabkan respon emosi yang berbeda (Mesquita et. al, 1997 dalam

Berry et.al., 2002). Interpretasi situasi yang berbeda dan keyakinan budaya yang

berbeda secara sangat spesifik dapat melakukan evaluasi situasi dengan cara yang

berbeda serta respon emosi yang juga berbeda.

Appraisal

Kecepatan appraisal pada setiap orang akan berbeda saat dihadapkan pada

suatu situasi, ada yang cepat dan otomatis menilai dan ada juga yang membutuhkan

14

Page 15: Makalah Emosi (PLB)

waktu lebih untuk memahaminya. Hal ini menunjukkan elisitas emosi dalam

memahami situasi yang berbeda antara satu orang dengan orang lainnya (Frijda, 1993

dalam Berry et.al., 2002). Emosi seperti bahagia dan takut memiliki pola karakteristik

yang berbeda pada dimensi appraisal ini.

Dalam sebuah penelitian yang diprakarsai oleh Scherer (Scherer et.al., 1988

dalam Berry et.al., 2002), responden ditanya mengenai salah satu dari empat emosi

(suka cita, kesedihan, marah,dan takut). Penelitian ini dilakukan dalam bentuk

kuisioner terbuka tersebut dapat terlihat perasaan emosional, appraisal, dan reaksi

para responden. Ada perbedaan yang ditemukan pada beberapa negara di Eropa.

Perbedaan utama yang terjadi antara Amerika serikat, Eropa, dan Jepang adalah

dalam kepentingan relatif dari suatu situasi tertentu. Dalam hal tersebut, responden

Amerika Serikat memiliki nilai yang lebih tinggi dan responden Jepang memiliki

reaktivitas yang rendah serta emosional daripada responden Eropa. Intensitas

ketakutan cukup tinggi pada responden Jepang dan intensitas kegembiraan serta

kemarahan lebih tinggi pada responden Amerika Serikat.

Penelitian berikutnya dilakukan pada 37 negara, responden diminta untuk

berpikir kembali tentang pengalaman emosional (sukacita, marah, takut, sedih, jijik,

malu, dan rasa bersalah) kemudian diberi pertanyaan mengenai apakah mereka

mengharapkan peristiwa tersebut terjadi, apakah itu menyenangkan, apakah itu

menghambat tujuan mereka. Scherer (1997a, 1997b dalam Berry et.al., 2002)

menemukan bahwa berbagai emosi menunjukkan perbedaan kuat dalam pola

penilaian. Perbedaan besar antara negara juga ditemukan, ada yang menunjukkan

bahwa beberapa dimensi penilaian lebih menonjol di negara tertentu. Perbedaan

terbesar yang ditemukan untuk aitem yang menanyakan bagaimana peristiwa tersebut

terjadi, jika disebabkan oleh orang lain maka akan dianggap tidak pantas atau tidak

bermoral. Perbedaan terbesar berikutnya ditemukan untuk aitem menanyakan

ketidakadilan suatu peristiwa.

Penilaian peristiwa oleh responden di Afrika cenderung tinggi pada imoralitas

dan ketidakadilan sedangkan di Amerika Latin cenderung rendah pada imoralitas.

15

Page 16: Makalah Emosi (PLB)

Interpretasi yang berbeda pada tiap negara ini sedikit terhambat oleh kenyataan

bahwa peristiwa emosional yang dipilih responden adalah dari pengalaman mereka

sendiri, hal ini mungkin menyebabkan perbedaan sistematis pada setiap aspek kecuali

emosi yang ditargetkan. Walaupun begitu, kita setuju dengan Scherer bahwa data

yang mendukung universalitas dan spesifisitas budaya dalam proses emosi. Mesquita

et al. (1997 dalam Berry et.al., 2002) menunjukkan bahwa kesamaan dalam dimensi

penilaian yang berada pada tingkat tinggi dapat mengaburkan masalah yang lebih

spesifik seperti perhatian untuk kehormatan yang telah menjadi lazim di negara-

negara Mediterania (Abu-Lughod, 1986 dalam Berry et.al., 2002).

Other Components

Dalam Berry et.al., 2002 dijelaskan bahwa penelitian yang dilakukan pada 37

negara, responden juga ditanya mengenai komponen lain dari pengalaman emosional,

termasuk ekspresi motor, gejala fisiologis, dan perasaan subjektif (Scherer &

Wallbott, 1994 dalam Berry et.al., 2002). Berdasarkan hasil dari responden dapat

dilakukan estimasi terhadap ukuran (1) perbedaan antara emosi, (2) perbedaan antara

negara-negara, dan (3) interaksi antara negara-negara dan emosi. Perbedaan besar

yang ditemukan antara emosi. Perbedaan antara negara-negara itu kurang besar, dan

interaksi antara negara dan emosi masih kecil. Temuan terakhir dapat diartikan

sebagai indikasi konsistensi pola perbedaan antara negara-negara dan antara emosi.

Scherer dan Wallbott (1994, dalam Berry et.al., 2002) menginterpretasikan hasil

mereka sebagai pendukung teori-teori yang mendalilkan perbedaan universal pada

pola emosi dan perbedaan budaya yang berperan penting dalam elisitasi emosi,

regulasi, representasi simbolis, dan peranan sosial.

Pendekatan komponensial emosi dapat dilihat sebagai upaya untuk

membebaskan emosi dari kendala fokus pada suatu emosi dasar dengan

menggunakan perspektif yang lebih luas dengan penekanan pengaruh budaya yang

konkret dalam kehidupan emosional (Mesquita et al., 1997). Secara konseptual

tercermin diferensiasi dari berbagai komponen. Contohnya adalah berbagi sosial

16

Page 17: Makalah Emosi (PLB)

emosi, komunikasi dengan orang lain tentang peristiwa emosional. Ada pola yang

berbeda dalam prevalensi dan preferensi komunikasi dengan orang lain dengan

membedakan kategori sosial orang lain tersebut seperti orang tua, mitra, teman, atau

yang lainnya (Rime et.al., 1992 dalam Berry et.al., 2002). Dalam studi lintas budaya

mengenai struktur kognitif emosi, membedakan emosi positif dibandingkan negatif,

cenderung muncul. Pada tingkat yang lebih rendah dari inklusivitas empat kategori

emosi dasar telah diidentifikasi yaitu marah, takut, sedih, dan positif emosi (Shaver et

al., 1992 dalam Berry et.al., 2002).

Metodologis memiliki kecenderungan untuk tidak memberikan emosi tunggal

kepada responden tetapi membutuhkan deskripsi yang lebih rumit dengan informasi

kontekstual yang lebih terperinci, termasuk aspek sekuensial suatu peristiwa emosi.

Skenario seperti ini disebut sebagai "emotion scripts" (Fischer, 1991 dalam Berry

et.al., 2002). Pada emotion scripts ini dapat dilihat representasi emosi yang berbeda

secara halus. Walaupun pada kenyataannya, kita bahkan tidak memiliki ide tentang

sejauh mana terdapat perbedaan lintas-budaya yang melampaui generalisasi kategori

situasi budaya spesifik. Mesquita et al. (1997 dalam Berry et.al., 2002) menyatakan

bahwa substansial perbedaan lintas-budaya telah ditemukan untuk berbagai

komponen. Namun, dalam kajian mereka juga ada bukti banyak kesamaan.

17

Page 18: Makalah Emosi (PLB)

DAFTAR PUSTAKA

Berry. J. W., dkk. (2002). Cross & Culture Psychology. Second Edition. New York:

Cambridge University Press.

18