Post on 08-Jul-2018
1 Departemen Geografi Lingkungan, email : alva_the_a@yahoo.co.id 1
Erupsi Paroxysmal Gunungapi Merapi Tahun 1006 Masehi
Alva Kurniawan1
Abstraksi
Pernyataan Bemmelen tentang terjadinya erupsi paroxysmal Merapi tahun 1006 M
hingga saat ini merupakan sebuah polemik dikalangan ahli. Bemmelen mengemukakan
hipotesis tentang erupsi paroxysmal Merapi berdasarkan tinjauan geomorfologi dari
Gunungapi Merapi serta berdasarkan studi geologi struktural dan tektonisme di Gunungapi
Merapi. Dasar Bemmelen yang kuat menyebabkan hipotesis ini diyakini kebenarannya,
namun saat ini beragam penelitian yang dilakukan para ahli menyebabkan hipotesis tentang
terjadinya erupsi paroxysmal Merapi tahun 1006 M menjadi semakin lemah.
Penelitian dilakukan pada Gunungapi Merapi yang terletak pada provinsi Jawa
Tengah dan DIY. Penelitian dilakukan dengan melakukan studi pustaka terhadap berbagai
referensi yang terkait dengan letusan paroxysmal Merapi tahun 1006 M. Hasil penelitian
yang dilakukan para ahli dijadikan sebagai acuan analisis referensi dengan kondisi nyata yang
akan membuktikan kebenaran sebuah hipotesis.
Hipotesis Bemmelen tentang erupsi Gunungapi Merapi tahun 1006 M tidak relevan
dan sulit dibuktikan kebenarannya. Berdasarkan hasil analisis letusan paroxysmal Merapi
tahun 1006 M tidak pernah terjadi. Bukti Bemmelen tentang terjadinya sebuah letusan
paroxysmal Merapi tahun 1006 M yang mengubur candi-candi disekitarnya tidak relevan.
Hasil radio dating pada candi-candi yang terkubur material vulkanoklastik menunjukkan
bahwa erupsi yang mengubur candi-candi tersebut tidak terjadi dalam sekali erupsi.
Perpindahan masyarakat Mataram Hindu dari Jawa Tengah ke Jawa Timur bukan akibat
letusan Merapi namun akibat serangan Sriwijaya.
Kata kunci : paroxysmal, Gunungapi Merapi, Bemmelen, erupsi.
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Tahun 2006 diperingati dan
diwaspadai oleh sejumlah ahli ilmu bumi
di Indonesia khususnya Jawa Tengah dan
DIY. Tahun 2006 kemarin diperingati
sebagai seribu tahun dari letusan dahsyat
Gunungapi Merapi tahun 1006. Reinout
Willem van Bemmelen mengeluarkan
2
hipotesis bahwa Gunungapi Merapi pernah
meletus sekitar seribu tahun lalu, yang
ditulis dalam buku The Geology of
Indonesia.
Penelitian Bemmelen tentang
letusan dahsyat Gunungapi Merapi
didukung oleh sebagian besar ahli
gunungapi, namun saat ini banyak juga
ahli gunungapi yang meragukan hipotesis
tersebut. Hasil penelitian di lapangan oleh
para ahli gunungapi sulit dikalibrasikan
dengan hipotesis Bemmelen yang didasari
oleh studi geologi struktural dan tinjauan
dari geotektonik lempeng. Hingga saat ini
fenomena erupsi Gunungapi Merapi
merupakan sebuah polemik dikalangan
ahli, banyak ahli yang membenarkan
hipotesis tersebut namun juga banyak ahli
yang menyanggahnya.
1.2. Ruang Lingkup
1.2.1. Lingkup Wilayah Kajian
Lingkup wilayah kajian meliputi
zona Gunungapi Merapi, zona lereng kaki
Merapi bagian barat daya, sekitar Candi
Borobudur, Perbukitan Gendol, zona
lereng kaki Merapi bagian selatan. Secara
administratif meliputi Provinsi Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Kabupaten Magelang, Muntilan, Salam,
Borobudur.
1.2.2. Lingkup Materi Kajian
Lingkup materi kajian meliputi
pendapat hipotesis Bemmelen tentang
erupsi paroxysmal Merapi tahun 1006 M,
kondisi fisik Gunungapi Merapi, serta
analisis hipotesis Bemmelen berdasarkan
pandangan para ahli, serta kenyataan yang
ada sesuai dengan perkembangan
teknologi di bidang ilmu kebumian.
1.3. Tujuan
Adapun tujuan penulisan karya
ilmiah ini antara lain untuk :
a. bahan kajian terhadap polemik
erupsi paroxysmal Gunungapi
Merapi tahun 1006;
b. tinjauan kembali tentang dasar
pemikiran dari hipotesis Bemmelen
tentang erupsi paroxysmal
Gunungapi Merapi;
c. sumber tertulis untuk kajian
tentang erupsi paroxysmal
Gunungapi Merapi tahun 1006
selanjutnya.
1.4. Metode
Adapun metode penulisan karya
ilmiah ini adalah berdasarkan tinjauan
kepustakaan dengan mencari data-data dari
buku yang relevan, pengambilan data dari
instansi-instansi yang terkait, serta analisis
dari data-data yang diperoleh baik berupa
data tabular, grafik, diagram, maupun peta.
3
Langkah pertama pada penulisan karya
ilmiah ini adalah memahami pokok dari
hipotesis Bemmelen tentang erupsi
paroxysmal Gunungapi Merapi.
Selanjutnya dilakukan pengumpulan data-
data yang tentang dasar hipotesis tersebut
yang berasal dari referensi, jurnal ilmiah,
kajian ilmiah modern, pendapat ahli, serta
artikel ilmiah. Langkah berikutnya
dilakukan analisis korelasi dari data-data
yang dikumpulkan dengan hipotesis
Bemmelen. Hasil korelasi tersebut
kemudian disimpulkan sehingga diperoleh
sebuah hasil yang memperkuat atau
memperlemah hipotesis.
Analisis korelasi hipotesis
Bemmelen dengan penelitian para ahli
dilakukan dengan hati-hati dan
berdasarkan fakta-fakta yang ada saat ini.
Fakta-fakta tersebut berupa hasil kajian
geografis, anthropologis, geologis, dan
geofisika dari Gunungapi Merapi. Analisis
korelasi hipotesis dengan penelitian yang
dilakukan dikaitkan dengan kondisi
fisiografi Merapi saat ini dimana prinsip-
prinsip dasar geomorfologi, salah satunya
adalah the present is the key to the past
and the future (Thornbury, 1954).
2. Penelitian dan Hipotesis Bemmelen
Tentang Evolusi dari Zona Fisiografi
Gunungapi Merapi
Gunungapi Merapi merupakan
gunungapi yang sangat aktif. Gunungapi
Merapi terletak pada perpotongan dua
patahan yaitu patahan transversal yang
memisahkan Jawa Bagian Tengah dengan
Jawa Bagian Timur dan patahan
longitudinal yang membentuk batas antara
Punggungan Kendeng bagian barat dan
Subzona Ngawi sebelah utara Simo.
Bagian yang lebih tua dari Gunungapi
Merapi (terukir dalam oleh erosi, dan
terpotong oleh patahan), dan kerucut
gunungapi aktif Merapi dapat dibedakan.
Kerucut yang lebih tua terdiri dari olivin,
basalt, augit-hypersthene, serta horblend-
andesit yang sepertinya berada pada tahap
pembentukan yang lebih lanjut. Kerucut
gunungapi Merapi saat ini hanya
menghasilkan augit-hypersthene-andesit
dengan bagian bawah hornblend jika tidak
ada olivin. Morfologi dari kerucut
gunungapi Merapi yang lebih tua
menunjukkan bahwa bagian barat
mengalami pembenaman yang menyentuh
bagian timur sepanjang sejumlah
lengkungan, yang kurang lebih
membentuk patahan geser hiperbolis yang
cekung ke arah barat.
Ledakan yang dahsyat pada tahun
1006 M menghancurkan kerucut gunugapi
Merapi tua. Erupsi yang dahsyat tersebut
mengusir dan membuat penduduk
Mataram Hindu berhamburan
meninggalkan lereng-lereng Merapi serta
mengubah persawahan subur disekitarnya
menjadi hamparan gurun dari abu
4
gunungapi hasil erupsi. Kerucut gunungapi
Merapi saat ini tumbuh dari reruntuhan
sisa kerucut gunungapi Merapi lama pada
tahun yang sama. Jumlah magma yang
keluar dari Gunungapi Merapi baru pada
120 tahun terakhir diperkirakan sekitar 766
juta cb m. Jika Merapi sudah memproduksi
magma selama 940 tahun, sekitar 6 cb km
telah diproduksi sejak letusan tahun 1006
masehi. Perkiraan tersebut cocok dan
wajar dengan ukuran kerucut aktif saat ini.
Pada kaki barat Gunungapi Merapi,
antara Salam dan Muntilan, pada jarak
17,5 km dari puncak Gunungapi Merapi,
ditemukan sekelompok bukit aneh
ditengah-tengah hamparan sawah padi dari
lembah Sungai Progo. Bukit yang paling
besar dan tinggi (Gunung Gendol, 452 m
diatas permukaan laut, sekitar 80 m diatas
dataran alluvial) berada di tengah-tengah
dari sekelompok bukit tersebut. Bukit
tersebut terdiri dari breksi lahar dengan
interkalasi fluviatile tuffaceous.
Perbukitan tersebut secara keseluruhan
terdiri dari unsur pokok vitrophyric augit-
hypersthene-hornblend andesit yang
bertipe sama seperti Gunungapi Merapi
lama. Batuan vulkanis perbukitan tersebut
berbeda dengan batuan vulkanis pada
Pegunungan Menoreh, dimana pada tidak
ditemukan hypersthene pada Pegunungan
Menoreh. Lapisan volkanis pada
perbukitan ini secara jelas terlipat,
membentuk seberkas antiklinorium,
cekung ke barat dan jauh termampatkan
pada bagian tengah Gunung Gendol,
sementara busur tertekan ke utara dan
bagian selatan dibawah permukaan dataran
alluvial. Lipatan ini merupakan hasil dari
tergelincirnya endapan Merapi dari kubah
yang muncul di bagian barat Sungai Progo
atau terbentuk dari runtuhan kerucut
gunungapi Merapi tua yang dipengaruhi
gravitasi. Berlawanan dengan perkiraan
yang pertama lebih lanjut dapat dikatakan
bahwa Pegunungan Menoreh tidak
tertutupi oleh breksi dan tuff dari Merapi
lama. Selama masa kwarter Pegunungan
Menoreh telah terbentuk jauh lebih tinggi,
mengikuti morfologinya dan sisa-sisa erosi
tidak terdapat pada deposit masa kwarter.
Pada sisi lain tampak bahwa
antiklinal antara Salam dan Muntilan
berada pada bagian tengah antara lengan
sistem patahan geser hiperbolis sepanjang
runtuhan lereng Gunungapi Merapi tua.
Selain itu, arah dip (kemiringan) bagian
tengah Antiklinorium Gendol kurang lebih
sama dengan sumbu dari sistem patahan
geser hiperbolis. Oleh karena itu, endapan
vulkanis fluviatile Gendol ini telah terlipat
dan menggumpal melawan tepi dari
Pegunungan Menoreh oleh kekuatan yang
bertepatan dengan sumbu diatas sumbu
sistem patahan geser hiperbolis. Hal ini
menunjukkan bahwa pemampatan
perbukitan itu diimbangi gerakan
membentang karena runtuhnya kubah
5
Merapi tua. Runtuhnya Merapi pada tahun
1006 M bisa jadi mengawali gerakan
tektonik sepanjang patahan transversal
besar yang terletak dibawah busur
gunungapi Ungaran-Merapi. Daerah
sebelah barat di dekat lembah Sungai
Progo, secara perlahan-lahan membenam.
Konsekuensinya bagian barat dari Merapi
tergelincir ke bawah ke arah daerah
pembenaman tersebut. Gerakan
menggelincir tersebut terhalangi oleh
tepian Pegunungan Menoreh yang
terkubur, menyebabkan pelipatan dari kaki
Merapi tua antara Muntilan dan Salam.
Karakter yang sangat lokal dari
fenomena lipatan dangkal tersebut adalah
kenyataan bahwa fenomena tersebut terjadi
dekat dengan candi Hindu yaitu Borobudur
dan Mendut, yang dibangun pada abad
kesembilan. Candi-candi tersebut bisa jadi
dihancurkan oleh serangkaian gempa dan
terkubur dibawah abu letusan paroxysmal
Merapi pada tahun 1006 masehi. Satu-
satunya efek geologi dari lipatan volkano-
tektonik, ditemukan pada sebelah candi
yaitu munculnya endapan alluvial muda.
Nieuwenkamp seorang pelukis terkenal
menyatakan bahwa Borobudur dibangun
diatas danau. Survey dari Harloff dan
Pannekoek (1940) menunjukkan bahwa
keadaan tersebut tidak pada kondisi yang
sebenarnya. Meskipun demikian pasti ada
sebuah kolam diatas Sungai progo antara
Pegunungan Menoreh dengan
Antiklinorium Gendol. Penurunan secara
temporal dasar erosi dari area ini mungkin
disebabkan oleh pelipatan kaki Merapi tua
dekat dengan persimpangan antara Sungai
Blongkeng dengan Sungai Progo.
Analisis struktur geologi Merapi
dan sekitarnya membawa ke arah
kesimpulan bahwa erupsi dahsyat tahun
1006 masehi bisa jadi hasil kombinasi dari
kekuatan tektonik, gravitasi, dan vulkanik.
Kekuatan tektonik menghasilkan pemicu
aksi dengan menghancurkan kohesi dari
kerucut gunungapi tua Merapi, gaya
gravitasi mengakibatkan runtuh dan
longsornya lereng Merapi tua bagian barat
ke arah lembah Sungai Progo, dan pada
akhirnya tenaga vulkanik yang dilepaskan
menyebabkan letusan dahsyat tahun 1006
masehi.
3. Kondisi Fisik Gunungapi Merapi
Gunungapi Merapi berdasarkan
koordinat geografis terletak pada koordinat
7º32` S, 110º26` E. Gunungapi Merapi
merupakan gunungapi tipe strato yang
memiliki elevasi 2194 m. Merapi merupakan
kelompok gunungapi termuda di Jawa Bagian
Selatan. Gunungapi Merapi terletak dekat
dengan zona subduksi dimana lempeng
tektonis Indo-Australia menunjam masuk ke
lempeng tektonis Eurasia. Gunungapi Merapi
merupakan gunungapi yang sangat aktif.
Gunungapi Merapi terletak pada perpotongan
dua patahan yaitu patahan transversal yang
memisahkan Jawa Bagian Tengah dengan
6
Jawa Bagian Timur dan patahan longitudinal
yang membentuk batas antara Punggungan
Kendeng bagian barat dan Subzona Ngawi
sebelah utara Simo (Bemmelen, 1970).
Gunungapi Merapi terbentuk
kurang lebih 400.000 tahun yang lalu atau
pada masa akhir Pleistosen. Pada kurun
waktu 400.000 hingga 10.000 tahun yang
lalu letusan Gunungapi Merapi merupakan
sebuah letusan efusif, dimana magma yang
dikeluarkan merupakan lava basaltic.
Sejak saat itu hinga sekarang letusan
Gunungapi Merapi menjadi lebih eksplosif
dengan disertai aliran lava andesitic kental
yang kadang-kadang membentuk lava
dome. Gunungapi Merapi merupakan
sebuah sistem yang kompleks. Merapi
terbangun oleh material magma dengan
kandungan silika yang bervariasi antara
49,5 % sampai 60,5 % berat SiO2.
Stratifikasi struktur vulkanisnya terbentuk
oleh aktivitas vulkanis yang bervariasi
yang seiring dengan waktu. Bagian lebih
tua dari Gunungapi Merapi (terukir dalam
oleh erosi, dan terpotong oleh patahan),
dan kerucut gunungapi aktif Merapi dapat
dibedakan. Kerucut yang lebih tua terdiri
dari olivin, basalt, augit-hypersthene, serta
horblend-andesit dan sepertinya berada
pada tahap pembentukan yang lebih lanjut.
Kerucut gunungapi saat ini hanya
menghasilkan augit-hypersthene-andesit
dengan bagian bawah hornblend jika tidak
ditemukan olivin (Bemmelen, 1970).
Kubah lava yan terbentuk bila
longsor akan menimbulkan aliran lava
piroklastik (pyroclastic lava flow) yang
sangat khas dalam setiap letusan
Gunungapi Merapi. Kadang-kadang
longsornya kubah tersebut akan
membentuk suatu longsoran panas (hot
avalanche) yang menggumpal-gumpal
yang disebut Nueès Ardente d’ Avalanche
(awan panas. Awan panas yang terbentuk
pada aktifitas Gunungapi Merapi
dibedakan atas dua macam, yaitu awan
panas letusan dan awan panas guguran.
Awan panas letusan (Suryo, 1978) serupa
dengan St. Vincent type pyroclastics flows
(Escher, 1933 dan Macdonald, 1972)
sebagai akibat langsung dari penghancuran
batuan atau penutup kubah karena letusan.
Awan panas guguran atau dome collapse
pyroclastics flows terbentuk akibat
hancurnya kubah karena gravitasi, hal ini
berkaitan dengan besarnya volume kubah
aktif.
Newhall, (2000) membagi endapan
letusan Gunungapi Merapi menjadi tiga
jenis, yaitu Endapan Proto Merapi,
Endapan Merapi Tua, dan Endapan Merapi
Muda. Endapan Proto Merapi diperkirakan
berumur Pleistosen dan ditemukan di
Bukit Turgo dan Plawangan (sisi selatan
Gunungapi Merapi). Endapan Merapi Tua
terdiri dari lava yang dikenal dengan Lava
Batulawang (Bahar, 1984) berselingan
dengan endapan piroklstik yang berumur
7
9630-60 BP (before present), dapat
dijumpai di Srumbung, Cepogo. Proses
pembentukan Gunungapi Merapi Tua
berakhir dengan pergeseran endapan debris
vulkanis dalam tahun 0 Masehi. Proses
pembentukan Gunungapi Merapi Muda
berlangsung sejak 1883 sampai sekarang.
Batuan Gunung Merapi Muda terdiri dari
aliran lava andesit piroksen, endapan
jatuhan piroklastika, endapan aliran
piroklastika, guguran dan endapan lahar
muda. Batuan Merapi Tua terdiri dari
endapan aliran piroklastika tua, endapan
lahar tua, dan aliran lava andesit piroksen.
Berdasarkan rekonstruksi erupsi
dan pola pergeseran pusat erupsi, maka
urutan pola pergeseran pusat erupsi di
kawasan puncak Gunungapi Merapi
dikelompokkan dalam tiga periode letusan.
Periode letusan berdasarkan pola
pergeseran pusat erupsi andalah periode
1786-1823, periode 1832-1872, dan
periode 1883-2001. Secara garis besar
pergeseran titik letusan dimulai dari sisi
baratlaut pindah ke timur kemudian
keselatan dan kini kembali menempati sisi
barat-baratdaya. Pada prinsipnya kubah
lava Merapi yang tidak hancur merupakan
bagian dari puncak Merapi, sedangkan
kubah yang hancur merupakan bagian dari
kawah. Kubah lava yang terbentuk
biasanya terletak dekat dengan kubah
sebelumnya.
4. Analisis Hipotesis Terjadinya Letusan
Paroxysmal Gunungapi Merapi
Tahun 1006 Masehi
Perpindahan masyarakat komunitas
Hindu Kerajaan Mataram Kuno dalam
prasasti disebutkan karena pralaya
(bencana) yang oleh Bemmelen serta
Labberton di korelasikan dengan letusan
paroxysmal Merapi tahun 1006 M.
Korelasi perpindahan komunitas Hindu
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh
Bemmelen karena pralaya (bencana) dari
Merapi dapat dikatakan tidak tepat.
Berdasarkan Prasasti Pucangan tertanggal
tahun 1041 M, pralaya yang dimaksud
adalah serangan dari Raja Wura-Wari dari
Kerajaan Sriwijaya yang menuntut balas
atas serangan Dharmawangsa ke
Sriwijaya. Kata pralaya (Mulyaningsih,
2006) terdapat pada dua prasasti yaitu
Prasasti Pucangan dan Prasasti Calcutta
yang menyebutkan bahwa pralaya yang
terjadi adalah serangan Raja Wura-Wari
yang tertanggal 938 Caka (1016 M) bukan
928 Caka (1006 M). Perpindahan
masyarakat Hindu tersebut (Boechari,
1976) ternyata tidak dipengaruhi oleh
letusan Merapi karena masyarakat Hindu
telah berpindah ke Jawa Timur pada
sekitar tahun 928 M.
Bemmelen menyebutkan bahwa
letusan paroxysmal Merapi tahun 1006 M
menyebabkan candi Borobudur dan
Mendut terkubur oleh abu letusan
8
paroxysmal Merapi. Hasil radiocarbon
dating dari fragmen-fragmen karbon pada
material sedimen volkanis disekitar
Borobudur menunjukkan bahwa sama
sekali tidak ada fragmen yang berkorelasi
dengan tahun 1006 (Tabel 1).
Mulyaningsih (2006) dengan melakukan
C-14 dating pada beberapa lokasi
ditemukannya candi-candi yang terkubur
(Tabel 1) menarik kesimpulan bahwa telah
terjadi enam kali periode erupsi Merapi
yang terjadi setiap 50-150 tahun.
Stratigrafi batuan (Mulyaningsih, 2006)
disekitar situs candi menunjukkan bahwa
material yang mengubur candi tersebut
bukan berasal dari sekali erupsi karena
terdiri dari beberapa lapis material
vulkanoklastis yang berbeda umur (Tabel
2) sehingga dapat dikatakan tidak terjadi
erupsi paroxysmal seperti yang
diperkirakan Bemmelen pada tahun 1006
M. Serangkaian penelitian tersebut
menunjukkan bahwa tertimbunnya
Borobudur maupun candi-candi lainnya
disekitar Merapi oleh material volkanis
tidak terjadi secara langsung terjadi pada
tahun 1006 M, namun melalui proses yang
lama hingga ratusan tahun.
Pengamatan pola persebaran candi-
candi di Peta Persebaran Candi (Gambar 2)
menunjukkan suatu pola yang unik.
Bangunan candi yang dibangun oleh
masyarakat pada masa lampau biasanya
dibangun pada daerah yang subur, terletak
dekat dengan sumber air, dan dekat dengan
sumber material yaitu batu-batuan untuk
membangun candi. Kondisi tersebut
terpenuhi dengan baik di lereng-lereng
Merapi sehingga banyak sekali candi-candi
yang dibangun disekitar Merapi dari yang
berumur 92 M sampai yang berumur lebih
dari 954 M (Gambar 2). Berdasarkan pola
persebaran pada peta (Gambar 2), candi-
candi yang umurnya tua dibangun di
lereng Merapi bagian selatan. Hal tersebut
dapat dikorelasikan dengan aktivitas
Merapi masa lampau yang dominan ke
arah selatan sehingga tanah di lereng
selatan subur, kondisi airnya baik serta
material untuk membangun candi banyak.
Candi-candi yang seumur dengan
Borobudur dibangun secara mengelompok
pada zona lereng kaki Merapi bagian barat
(kompleks candi Budha), serta barat daya
dan selatan (kompleks candi Hindu). Pola
persebaran candi-candi yang seumur
dengan Borobudur lebih didominasi pada
zona selatan lereng kaki Merapi sehingga
berkaitan dengan syarat lokasi
pembangunan candi maka aktifitas Merapi
saat itu tidak hanya dominan ke sektor
selatan namun juga ke sektor barat. Candi-
candi muda yang dibangun dominan pada
zone selatan lereng kaki Merapi bahkan
mendekati kerucut gunungapi Merapi
bagian selatan, hal tersebut dapat
diasumsikan bahwa pada masa ini (lebih
dari 954 M) aktifitas Merapi lebih
9
dominan ke arah selatan yang menyuplai
bahan dasar pembangunan candi, bukan
kearah barat seperti yang dikemukakan
Bemmelen.
Bemmelen menyatakan bahwa
kerucut Merapi saat ini tumbuh pada
kaldera Merapi tua. Bemmelen
menyimpulkan bahwa kerucut gunungapi
tua longsor ke arah barat akibat tidak
adanya daya kohesi, kemudian tergelincir
oleh pengaruh gravitasi. Zen (2006)
membandingkan hipotesis Bemmelen
dengan gunungapi terdekat dengan Merapi
yang mengalami letusan dahsyat yaitu
Gunungapi Ungaran. Depresi yang
terdapat pada Gunungapi Ungaran
merupakan sebuah volcano tectonic
depression. Depresi tersebut terbentuk oleh
dua tenaga utama bumi yaitu tenaga tektonik
dan tenaga magmatik seperti yang terjadi
pada Kawah Toba, Kaldera maninjau,
Kaldera Ranau, dan Kompleks Krakatau.
Seluruh Kaldera tersebut secara umum
dikelilingi oleh sejumlah massa besar
deposit aliran abu riolit atau pumestone-tuff
(van Bemmelen, 1949; Westerveld, 1953;
Smith et al, 1968; Williams et al, 1956; Zen,
1974). Kompleks Merapi sama sekali tidak
dikelilingi oleh massa besar dari deposit
aliran piroklastik riolit asam atau sedikitnya
tidak ditemukan deposit aliran piroklastik
andesitik dalam volume yang sangat besar.
Zen (2006) menyatakan bahwa pendapat
Bemmelen tentang letusan dahsyat Merapi
mungkin benar karena struktur luar kerucut
gunungapi muda merupakan sebuah struktur
kaldera namun bukan merupakan kaldera
yang terbentuk akibat pengaruh longsornya
kerucut gunungapi namun sebuah ledakan
langsung yang dahsyat seperti Gunung St.
Hellen dan terjadi pada masa lampau jauh
sebelum tahun 1006 M. Secara geomorfologi
dapat dikatakan bahwa struktur cincin yang
terdapat di bawah Kerucut Merapi Muda
merupakan sebuah kaldera, namun ditinjau
dari mineralogi, petrografi serta deposisi
material di sekitar cincin, struktur cincin
tersebut bukanlah sebuah kaldera.
Erupsi paroxysmal Merapi
memang tidak terjadi pada tahun 1006 M,
namun para ahli masih meyakini bahwa
erupsi tersebut pernah terjadi. Ditinjau dari
segi geomorfologinya maka kerucut
gunungapi Merapi saat ini berada dan
tumbuh pada sebuah kaldera kerucut
gunungapi Merapi tua. Sayangnya tidak
ada cukup bukti untuk mengatakan bahwa
bentukan tersebut merupakan sebuah
kaldera karena material penyusunnya
bukan material khas kaldera. Data-data
dari hasil analisis masih kurang untuk
secara absolut menyatakan bahwa
hipotesis Bemmelen tentang erupsi
paroxysmal Merapi tahun 1006 M salah,
sehingga dibutuhkan studi lebih lanjut
dengan data-data yang lebih lengkap untuk
secara pasti menyatakan bahwa hipotesis
tersebut benar atau salah. Letusan dahsyat
10
Merapi tahun 1006 M memang tidak dapat
dibuktikan namun timbul permasalahan
baru yaitu kemanakah hilangnya kerucut
gunungapi Merapi tua. Jika kerucut
tersebut hanya longsor maka tidak akan
menimbulkan bentukan khas yang seperti
sebuah kaldera. Permasalahan ini menjadi
tantangan bagi para ahli ilmu bumi
selanjutnya khususnya ahli gunungapi.
Penelitian lebih lanjut tentang
geomorfologi Merapi pada masa lampau
sangat dibutuhkan untuk membuka misteri
tentang hilangnya kerucut gunungapi
Merapi tua.
5. Kesimpulan
a) Berdasarkan radio dating di
sejumlah titik disekitar Merapi
dapat dikatakan bahwa tidak terjadi
erupsi paroxysmal Merapi pada
tahun 1006 M.
b) Perpindahan masyarakat Mataram
Hindu dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur tidak terjadi akibat letusan
Gunung Merapi tahun 1006 M
karena masyarakat Mataram Hindu
telah pindah ke Jawa Timur sejak
tahun 928 M.
c) Material vulkanoklastik yang
mengubur candi-candi disekitar
Merapi bukan berasal dari sekali
erupsi dari Gunungapi Merapi
namun oleh beberapi kali proses
erupsi.
6. Daftar Pustaka
Andreastuti, S.D. 1999. Stratigraphy and
Geochemistry of Merapi Volcano, Central
Java, Indonesia. Implication for
Assessment of Volcanic Hazards.
Andreastuti, S.D. 2006. Did A Large
Eruption of Merapi Occure in 1006 AD ?.
Volcano International Gathering,
Yogyakarta.
Brotopuspito, Kurbani Sri. 2006. Merapi
Volcano Inspires Scientific Curiosity.
Volcano International Gathering,
Yogyakarta.
Kusumadinata, K. 1979. Data Dasar
Gunungapi Indonesia. Jakarta : Direktorat
Vulkanologi.
Lipman, Peter W. 1981. The 1980
Eruption of Mount St. Hellens,
Washington. Washington DC : United
States Government Printing Office.
Mason, Ben G. 2004. The Size and
Frequency of The Largest Explosive
Eruptions on Earth. Bulletin of
Volcanology.
Mulyaningsih, Sri. 2006. Very Old and
Younger Temple Discoveries in
Yogyakarta Area: Based on Volcano-
Stratigraphic Study. Volcano International
Gathering, Yogyakarta.
Newhall, Christopher G. 1982. The
Volcanic Explosivity Index (VEI): An
11
Estimate of Explosive Magnitude for
Historical Volcanism. Journal of
Geophysical Research.
Ollier, Cliff. 1969. Volanoes.
Massachusetts : The MIT Press.
Ratmodipurbo, A. 2000. Evolusi 100
Tahun Morfologi Gunung Merapi. BPPTK
Siefferman, R.G. 1990. An Ecosystem
Under Acid Rain at Merapi Volcano in
Central Java, Indonesia.
Van Bemmelen, R.W. 1970. The Geology
of Indonesia (Second Edition). The Hague
: Martinus Nijhoff.
Voight, B. 2000. Journal of Vulcanology
and Geothermal Research, Special Issue
Merapi Volcano.
Zen, M.T. 2006. Merapi : Dishtung und
Wahreit. Volcano International Gathering,
Yogyakarta.
12
LAMPIRAN
Gambar 1. Peta Geologi Merapi Bemmelen dan profilnya, lingkaran merah
menunjukkan Antiklinorium Gendol. (Bemmelen, 1949, fig. 272)
13
14
Tabel 1. Kalibrasi dari C-14 dalam Masehi pada endapan vulkaniklastik Merapi yang
terdapat pada situs candi dan zona disekitarnya. (Mulyaniningsih, 2006)
15
Tabel 2. Stratigrafi lokasi situs-situs Candi yang terkubur material volkanoklastis
Merapi. (Mulyaningsih, 2006)
16
Gambar 2. Peta Persebaran Candi berdasarkan C-14 dating yang dilakukan pada
tanah dasar candi berdiri. (Mulyaningsih, 2006)