Post on 09-Feb-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hernia diafragma kongenital merupakan kelainan pada neonatus yang
mengancam nyawa. Hernia diafragmatika kongenital yang paling sering terjadi
adalah hernia diafragmatika tipe Bochdalek (hernia Bochdalek), yaitu sekitar 95%
kasus dari seluruh kejadian hernia diafragmatika kongenital. 1
Insiden hernia Bochdalek berkisar 1 dari 2000 – 4000 kelahiran hidup.
Mortalitas sekitar 40-50% yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Distres pernapasan
merupakan manifestasi klinis hernia diafragmatika yang dapat terjadi segera setelah
lahir atau timbul 24 - 48 jam setelah periode stabil. Manifestasi awal meliputi
takipneu, grunting, retraksi dinding dada, pucat, sianosis dan tanda klinis shunting
dan persistent fetal circulation. 2
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
dan penegakkan diagnosis pada pasien hernia Bochdalek.
1.2.2 Mengetahui alur penatalaksanaan pasien hernia Bochdalek.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Hernia diafragmatika tipe Bochdalek (hernia Bochdalek) dikenal juga sebagai
hernia diafragmatika posterolateral, yaitu herniasi organ abdomen ke dalam thorax
melalui defek di daerah posterolateral dari diafragma. 2, 3
2.2 EPIDEMIOLOGI
Insiden hernia Bochdalek berkisar 1 dari 2000 – 4000 kelahiran hidup.2
Angka ini belum menunjukkan adanya hidden mortality . Hanya 40 dari 100 fetus
yang didiagnosis prenatal akan survive. Dengan kata lain angka kematian intra uterus
yang diakibatkan hernia Bochdalek juga cukup tinggi. Bahkan dengan kemajuan unit
perawatan intensif neonatus, survival rate masih sekitar 50% dalam beberapa dekade
terakhir.4
Perbandingan jenis kelamin laki-laki : perempuan 1,5 : 1, merupakan 8% dari
seluruh anomali kongenital mayor, serta terbanyak timbul di daerah sebelah kiri
(80% kasus). Risiko timbulnya hernia Bochdalek pada kelahiran berikutnya sekitar
2%.1,5 Hernia diafragma kongenital berhubungan dengan kejadian cardiac
malformations dalam 30-40% kasus, terutama arterial septum defects (ASD),
ventricular septum defects (VSD) dan stenosis pulmonal.4
2.3 ETIOLOGI
Sebagian besar merupakan isolated defects, terjadi secara sporadik (70%).
Faktor-faktor lain yang terlibat sekitar 20% diketahui melalui eksperimen, seperti
obat-obatan thalidomide atau nitrofen dan defisiensi vitamin-A. Kelainan genetik
pada bisa berupa kelainan jumlah kromosom (sindrom Turner; trisomi 13, 18, 21, 22,
and 23) maupun kelainan kromosom yang spesifik seperti 15q24-q26. Gen yang
2
terletak distal dari lokus 15q21 mungkin bertanggung jawab terhadap perkembangan
normal diafragma.5 Defek diafragma dengan kelainan trisomi 13, 18, atau 21
ditemukan pada 8% kasus, seperti Beckwith Wiedemann dan sindrom Danny Drash.
Kelainan familial merupakan sebab yang jarang (2%). Kelainan kromosom biasanya
terjadi pada kromosom 15q26. Mutasi gen ditandai dengan delesi gen 4p, 8q, 15q
atau 8p dan tetrasomy 12p.4
2.4 EMBRIOLOGI
2.4.1 Embriologi Diafragma
Secara embriologi, perkembangan diafragma terjadi mulai gestasi minggu
kedelapan sampai minggu keduabelas. Sebuah membran yang dinamakan septum
transversum memisahkan cavum thoraks dengan cavum abdomen. Pertumbuhan
septum transversum dimulai dari anterior dan dorsal. Rongga pleuropericardial
kemudian terpisah dari area peritoneal. Pleuroperitoneal folds terdiri dari membran
pleura dan peritoneum. Terakhir, serat otot bermigrasi menuju membran tersebut dari
anterior ke posterior. Karena menutupnya membran ini terjadi paling terakhir di
bagian kiri maka hernia diafragmatika kiri lebih sering terjadi (87% kiri, 11% kanan,
2% bilateral) dan predominan posterior. Bagian yang terakhir menutup merupakan
pleuroperitoneal canal.4
Defek pada dorsal dinamakan hernia Bochdalek dan defek anterior dinamakan
hernia Morgagni. Larrey mendeskripsikan bentuk yang jarang ditemui yaitu defek
sternokostal. Memanjangnya esofagus terjadi bersamaan dengan pertumbuhan septum
transversum. Keterlambatan akan menyebabkan wide open hiatus dan short
esophagus.4
Perkembangan embriologi dari diafragma manusia merupakan kombinasi
yang kompleks, multiseluler, serta melibatkan interaksi multi-jaringan yang sampai
saat ini masih kurang dipahami. Prekursor untuk diafragma mulai terbentuk pada
minggu keempat kehamilan. Secara historis, diafragma diperkirakan berkembang dari
3
fusi empat komponen embrio: anterior oleh septum transversum, dorsolateral oleh
pleuroperitoneal fold, dorsal oleh krura dari mesenterium esofagus, dan posterior oleh
mesoderm dinding tubuh. Saat embrio mulai berkembang, septum transversum
bermigrasi dari dorsal dan memisahkan rongga pleuropericardial dari rongga
peritoneal. Pada titik ini masih ada komunikasi antara rongga pleura dan peritoneal
tetapi rongga pleura dan perikardial dipisahkan. Septum transversum berinteraksi
dengan pleuropericardial fold dan jaringan mesodermal mengelilingi esofagus yang
sedang berkembang dan struktur foregut lainnya, sehingga dalam pembentukan
struktur diafragma primitif dikenal sebagai pleuroperitoneal fold (PPF).5
Akhirnya, septum transversum berkembang menjadi tendon sentral. Akson
frenikus dan sel myogenic mengalami neuromuskularisasi, bermigrasi ke PPF dan
membentuk diafragma yang matur. Namun, mekanisme yang tepat di mana diafragma
mengalami muskularisasi masih kurang dipahami. Saat PPF berkembang selama
minggu keenam kehamilan, membran pleuroperitoneal menutup bersamaan dan
memisahkan rongga pleura dan abdomen pada minggu kedelapan kehamilan.
Biasanya, sisi kanan lebih dahulu menutup sebelum penutupan kiri. Secara historis,
diafragma janin primitif diduga mengalami muskularisasi oleh otot-otot thorax bagian
dalam saat diafragma menutup. Beberapa literatur menyatakan bahwa jaringan
posthepatic mesenchymal berinteraksi dengan PPF memberikan kontribusi kepada
perkembangan otot-otot diafragma. 5
Lainnya mengimplikasikan perkembangan progresif dari membran
pleuroperitoneal. Meningkatnya pemahaman tentang muskularisasi diafragma telah
mendukung hipotesis alternatif untuk embriogenesisnya. Inaktivasi c-met, sebuah
reseptor tirosin kinase pada tikus, menunjukkan bahwa otot-otot diafragma memiliki
asal yang berbeda dari dinding tubuh bagian dalam. C-met mengkode protein
reseptor yang bertanggung jawab atas delaminasi dan migrasi prekursor sel otot /
migration of muscle cell precursors (MPCS) dari somit. Teori dinding tubuh dari
muskularisasi diafragma ditantang oleh penelitian c-met tikus yang dibuat mutan
yang ternyata memiliki diafragma amuskular dan otot dinding tubuh yang normal.
4
Hipotesis ini didukung oleh ekspresi Lbx1 pada MPCS diafragma, faktor transkripsi
yang hanya ditemukan pada MPCS dan tidak terlihat pada miosit dinding tubuh.
Lebih jauh lagi, pewarnaan imunologi dari otot-otot diafragma mengungkapkan tidak
adanya MPCS dari dinding tubuh. Tampak bahwa selama proses embryologic folding,
struktur diafragma primitif terbentuk, yaitu PPF. Selanjutnya, saraf frenikus dan
MPCS bermigrasi dari asal somatik, mengisi, dan melakukan proses muskularisasi
PPF yang baru terbentuk . Proses ini terjadi pada gestasi minggu kesepuluh. 5
2.4.2 Embriologi Paru
Perkembangan paru dibagi menjadi 5 tahapan:5
1. Embryonic stage dari perkembangan paru dimulai pada gestasi minggu ke-3
bersamaan dengan pembentukan divertikuler dari laryngotracheal groove. Lung
buds primer dan trachea membentuk divertikulum pada gestasi minggu ke-4 dan
struktur lobar dapat terlihat pada gestasi minggu ke-6.
2. Pseudoglandular stage terjadi antara minggu ke-5 dan 17 dengan pembentukan
lung buds hingga bronkus terminal.
3. Canalicular stage ditandai dengan perkembangan pembuluh darah paru,
bronkiolus respiratorik dan duktus alveolaris yang dimulai pada minggu ke-16
sampai minggu ke-25. Pada tahapan ini pertukaran gas secara fungsional sudah
dapat terjadi.
4. Saccular stage dimulai pada gestasi minggu ke-24 yang merupakan proses
pematangan alveolar sacs. Dimensi saluran nafas dan sintesis surfaktan juga terus
mengalam pematangan.
5. Alveolar stage dimulai setelah lahir dengan maturnya alveoli. Tahapan ini terus
berlanjutsetelah lahir untuk proses pertambahan dan pematangan alveoli secara
fungsional.
Perkembangan pembuluh darah paru janin terjadi sesuai dengan
perkembangan paru dan mengikuti pola maturasi saluran nafas dan alveolar. Sebuah
5
unit fungsional yang dikenal sebagai asinus terdiri dari alveoli, duktus alveolar, dan
bronkioli respiratorik. Pembuluh darah paru berkembang selama canalicular stage.
Struktur preasinar terdiri dari trakea, bronkus utama, lobar bronkus, dan bronkiolus
terminal. Perkembangan pembuluh darah paru untuk preasinus biasanya selesai pada
akhir pseudoglandular stage. Secara teori, setiap penundaan perkembangan paru yang
normal secara bersamaan akan menghambat perkembangan pembuluh darah paru.5
Perkembangan paru diakui sebagai rangkaian peristiwa yang kompleks yang
diprogram oleh sinyal genetik, faktor transkripsi, faktor pertumbuhan, dan hormon.
Peristiwa ini mengatur interaksi temporal dan spasial antara epitel dan endotelium.
Pada awal transkripsi sinyal, seperti factor transkripsi tiroid-1 dan hepatosit nuklear
3β, mengatur perkembangan paru dari mesenkim primitif foregut. Jalur lain dari
perkembangan paru termasuk Sonic Hedgehog, transforming growth factor-β, jalur
Notch-delta, dan Wingless-Int. Selain itu, glukokortikoid, hormon tiroid, dan asam
retinoat semuanya berperan untuk mengatur organogenesis paru.5
6
Gambar 1. a. Komponen dalam perkembangan diafragma : septum transversum (TS), mediastinum (M), pleuroperitoneal membrane (P), lateral body wall musculature (LB), dan trigonum lumbocostal (T). b Foramen of Bochdalek (Bo), foramen of Morgagni (Mo), pericardial defect (Pe), hiatal foramen (H) 6
2.5 PATOFISIOLOGI
Pada usia kehamilan 2 bulan tidak ada penekanan terhadap diagfragma yang
sedang berkembang baik dari rongga dada maupun dari rongga abdomen. Di dalam
rongga dada, paru belum berkembang, sedangkan di dalam rongga abdomen usus
mengambil tempat di luar abdomen yaitu di umbilikus. Tekanan mekanik pertama
yang diterima oleh diafragma adalah saat usus kembali dari umbilikus ke intra
abdomen pada minggu ke–10. Pada minggu ke-9 secara normal perkembangan
diafragma telah lengkap dan bagian-bagian diafragma telah menempati tempat yang
normal untuk menerima penekanan sebagai konsekuensi dari perkembangan organ–
organ. 2
Hernia dapat timbul dari gagalnya pertumbuhan diafragma yang normal atau
timbul dari daerah yang memang rawan terhadap penekanan yaitu foramen
Bochdalek, foramen Morgagni, dan hiatus esofagus. Perkembangan paru terjadi pada
minggu 14-16. Jika defek pleuroperitonial menetap maka usus yang kembali pada
minggu ke-10 akan lolos menuju cavum thorax melalui sisi kiri sehingga menekan
paru ipsilateral secara langsung dan paru kontralateral secara tidak langsung. Akibat
penekanan ini maka perkembangan paru terhambat sehingga terjadi hipoplasia paru.
Pada saat lahir, masuknya udara melalui traktus gastrointestinal menyebabkan
kompresi lebih berat pada paru yang telah mengalami hipoplasia, pergeseran
mediastinum dan penekanan paru kontralateral.7
2.6 PATOGENESIS
Terjadinya hernia diafragma telah dikaitkan dengan defek fusi dari membran
pleuroperitoneal, perkembangan PPF yang tidak sempurna, atau konsekuensi dari
perkembangan abnormal posthepatic mesenchymal plate. Teori lain menyatakan
bahwa defek muskuler pada hernia diafragmatika terjadi sebelum penutupan lengkap
dari kanal sebagai akibat perkembangan abnormal dari diafragma atau PPF. Secara
tradisional, herniasi visera abdomen melalui hernia diafragmatika dianggap
mengganggu perkembangan paru secara sekunder dengan efek kompresi pada paru
7
sehingga terjadi hipoplasia paru. Bukti lain menunjukkan bahwa mungkin telah
terjadi hipoplasia paru pada awal selama embriogenesis sebelum herniasi viseral.5
Teori lain menyatakan bahwa perkembangan paru abnormal yang kemudian
menyebabkan defek pada diafragma, meskipun hal ini tidak banyak diterima. Teori
ini dibantah melalui penelitian dengan tikus transgenik yang dibuat inaktivasi pada
gen Fgf10. Tikus dengan gen mutan Fgf10 tidak mengalami perkembangan jaringan
paru tetapi memiliki diafragma yang normal, menunjukkan bahwa perkembangan
diafragma dan perkembangan paru terjadi independen. Fenomena ini juga terlihat
pada manusia di mana bayi dengan agenesis paru memiliki diafragma yang normal.5
Hipoplasia paru ditandai dengan penurunan cabang bronkial, bronkiolus, dan
alveoli. Alveoli dan terminal saccules menunjukkan septasi abnormal yang merusak
hubungan udara-kapiler dan kemampuannya untuk pertukaran gas. Saat lahir, alveoli
berdinding tebal dengan septasi intra-alveolar. Alveoli imatur ini memiliki kandungan
glikogen yang tinggi menyebabkan penebalan secret sehingga membatasi pertukaran
gas lebih jauh. Penelitian pada hewan menunjukkan hipoplasia paru dengan
penurunan tingkat DNA paru total dan protein paru total. Selain itu, pembuluh darah
paru tampaknya memiliki compliant yang kurang dengan arteriol yang berdinding
tebal. Surfaktan juga mengalami penurunan yang dapat mengakibatkan fungsi imatur
dari paru.5
Kelainan pada perkembangan paru tidak terbatas hanya pada paru ipsilateral
dari dari hernia diafragmatika. Paru kontralateral juga menunjukkan kelainan struktur
hipoplasia paru. Ini adalah gejala sisa yang paling mendalam dalam kasus di mana
pergeseran mediastinum menyebabkan kompresi paru kontralateral. Hal ini
mendukung teori bahwa kompresi paru mungkin menjadi penyebab utama paru
hipoplasia. Pemahaman perkembangan paru yang abnormal pada hernia
diafragmatika telah banyak dibantu melalui penelitian dengan nitrofen murine.
Nitrofen (2,4-dikloro-phenylp-nitrofenil ether) merupakan teratogen lingkungan yang
relatif tidak berbahaya bagi tikus dewasa. Namun, jika diberikan selama kehamilan,
dapat menyebabkan kelainan paru, jantung, tulang, dan diafragma abnormalities.5
8
Defek diafragma yang dihasilkan dari administrasi nitrofen pada tikus sangat
mirip dengan yang terlihat pada manusia berkaitan dengan ukuran, lokasi, dan
herniasi dari visera abdomen. Tergantung pada waktu paparan selama kehamilan,
anak anjing yang dihasilkan akan mengalami baik hernia diafragmatika kanan atau
kiri. Selain itu, keturunannya akan menunjukkan fitur paru hipoplasia, termasuk
cabang saluran napas yang berkurang, kekurangan surfaktan, kelainan pembuluh
darah paru, dan kegagalan pernapasan saat lahir. Mutasi ini adalah hasil dari banyak
perubahan dalam jalur perkembangan embrio tikus. Model nitrofen juga
menunjukkan bahwa tidak semua hipoplasia paru pada hernia diafragmatika adalah
karena kompresi paru. Pengaruh nitrofen dalam menyebabkan hernia diafragmatika
konsisten dengan teori dimana anomali kongenital disebabkan gangguan dari
lingkungan. Teratogen struktural lain yang mirip nitrofen telah dibuktikan
menginduksi CDH pada hewan model. Bisdiamine (N, N'-bis [dichloroacetyl]-l, 8 -
octamethylenediamine) adalah inhibitor spermatogenesis. BPCA (4-bifenil asam
karboksilat) adalah produk pemecahan dari antagonis reseptor tromboksan A2. SB-
210661 adalah urea benzofuranyl derivatif dan 5-lipoxygenase inhibitor. Semua agen
tersebut menyebabkan defek diafragma pada periode embriologi yang sama pada
hewan pengerat. Meskipun etiologi tepat hernia diafragmatika belum diketahui,
semua senyawa biasanya mempengaruhi jalur asam retinoat dengan menghambat
sintesis retinol dehydrogenase-2 (RALDH2).5
Korelasi langsung antara nitrofen dan sistem asam retinoat didukung oleh
penelitian dengan menggunakan tikus transgenik dengan LacZ dilaporkan terkait
dengan elemen respon asam retinoat (RARE). Ekspresi RARE berkurang dengan
pemberian nitrofen.Meskipun etiologi tidak sepenuhnya dipahami, sebuah hipotesis
alternatif untuk terjadinya hernia diafragmatika secara tradisional telah disarankan
oleh model nitrofen. Defek utama tampaknya mempengaruhi perkembangan PPF
janin. Dalam paparan nitrofen, defek terlihat jelas pada bagian posterolateral dari
PPF. Hal ini didukung oleh observasi pada hernia Bochdalek tikus yang mengalami
9
defisiensi vitamin A dan tikus dengan inaktivasi gen WT1. Selain itu, paparan
nitrofen tidak mempengaruhi muskularisasi dari PPF.5
2.7 DIAGNOSIS
2.7.1 Diagnosis Prenatal
Karena luasnya perbedaan keparahan penyakit dan terapi janin potensial,
diagnosis prenatal yang akurat dan tepat waktu telah menjadi penting. Diagnosis
dapat dilakukan dengan ultrasonografi pada 50% sampai 60% dari kehamilan.
Biasanya didiagnosis pada usia kehamilan 24 minggu, namun telah dilaporkan hernia
diafragmatika yang didiagnosis pada awal gestasi minggu ke-11. Di beberapa pusat
kesehatan tersier, sampai dengan 93% dari neonatus dengan hernia diafragmatika
mungkin dapat didiagnosis prenatal. Temuan USG janin meliputi polihidramnion,
loop usus dalam thorax, massa echogenic pada thorax, dan tidak adanya atau
intrathorax gastric bubble. Hernia diafragma berat mungkin menunjukkan intrathorax
"liver up", pergeseran mediastinum, dan hidrops fetalis. Meskipun sebagian besar
hernia diafragma kongenital dapat terdeteksi selama trimester kedua, beberapa fitur
sonografi tidak dapat ditunjukkan sampai pada akhir kehamilan. Dua fitur sonografi
yang telah digunakan untuk stratifikasi risiko: (1) rasio lung-to-head (LHR) yang
rendah dan (2) herniasi hepar ke cavum thorax. LHR dihitung oleh luas penampang
dari paru kontralateral pada tingkat atrium jantung dibagi dengan lingkar kepala.5
Kelangsungan hidup janin berdasarkan LHR telah didukung statistik. Dalam
satu seri, ada kelangsungan hidup 100% dengan LHR lebih besar dari 1,35, 61%
dengan LHR antara 1,35 dan 0,6, dan tidak ada kelangsungan hidup dengan LHR
kurang dari 0,6. Kelangsungan hidup berdasarkan herniasi hepar saja 56%,
dibandingkan dengan kelangsungan hidup 100% tanpa herniasi hepar. Kombinasi
herniasi hepar dan LHR rendah (LHR <1.0) memiliki angka kematian 60% neonatus
yang didiagnosis prenatal sebagai hernia diafragma kongenital. Meskipun
ultrasonografi janin telah diadopsi sebagai tes prognostik yang paling dapat
10
diandalkan untuk hernia diafragmatika kongenital, sebuah LHR dari 1,0 dalam satu
institusi mungkin berbeda dengan hasil yang sama di lembaga lain. Selanjutnya, LHR
dan herniasi hepar sebagai factor prognostik harus digunakan secara hati-hati.5
Baru-baru ini, magnetic resonance imaging (MRI) dari bayi dengan hernia
diafragma kongenital telah diperkenalkan sebagai alat untuk mengevaluasi volume
paru janin dan lokasi hepar. MRI berbasis volume paru janin telah digunakan dalam
cara yang mirip dengan ultrasonografi janin. Beberapa penelitian telah menyatakan
nilai prediktif MRI janin dalam menilai risiko. Volume paru dihitung dan
dibandingkan dengan volume prediksi paru janin yang dinyatakan sebagai rasio.
Ketika rasio kurang dari 25%, terjadi penurunan yang signifikan dalam survival
postnatal. Volume paru janin kurang tepat dalam memprediksi kebutuhan ECMO atau
tingkat keparahan. Diagnosis prenatal pada awal kehamilan memberikan kesempatan
untuk mengoptimalkan perawatan prenatal dan postnatal dari janin dan ibu dengan
memberikan konseling prenatal akurat, diskusi mengenai intervensi janin, dan / atau
penghentian kehamilan. Meskipun pencitraan prenatal memberikan informasi yang
berharga, hal tersebut tidak berpengaruh pada perawatan postnatal terutama di pusat-
pusat kesehatan tersier,maupun pada kelangsungan hidup atau hasil secara
keseluruhan.5
2.7.2 Manifestasi Klinis
Neonatus dengan hernia diafragma kongenital biasanya menunjukkan
gangguan pernapasan. Skenario klinis dapat berkisar dari gangguan pernapasan yang
terjadi segera dengan skor Apgar rendah, gangguan pernapasan 24 hingga 48 jam
setelah periode yang stabil awal, sampai gangguan pernapasan yang baru muncul
setelahbertahun-tahun. Tanda-tanda awal termasuk takipnea, retraksi dinding dada,
grunting, sianosis, dan pucat. Mungkin ada tanda-tanda klinis dari sirkulasi fetal yang
sedang berlangsung dan shunting. Pada pemeriksaan fisik, bayi memiliki abdomen
skafoid dan diameter thorax meningkat. Titik impuls jantung maksimal sering
11
bergeser (kontralateral dengan defek diafragma), menunjukkan pergeseran
mediastinum.
Bising usus dapat diauskultasi pada thorax dengan penurunan bunyi napas
bilateral. Ekspansi dada mungkin rendah, menunjukkan volume tidal yang rendah.
Diagnosis biasanya ditegakkan melalui rontgen thorax yang menunjukkan loop usus
dalam thorax. Lokasi gastric bubble harus ditentukan dengan penempatan orogastric
tube. Dalam keadaan langka, rontgen kontras diperlukan. Rongga abdomen mungkin
minimal atau tanpa gas usus. Hernia diafragmatika sisi kanan mungkin lebih sulit
untuk didiagnosa. Fitur yang menonjol seperti herniasi usus dan lambung mungkin
tidak terjadi. Sebaliknya, fitur kompresi lobar mungkin merupakan satu-satunya tanda
radiografi dan mungkin dibingungkan dengan malformasi bawaan adenomatoid
kistik, sekuestrasi paru, kista bronkopulmonalis, kista neurogenik, atau teratoma
kistik.
Meskipun sebagian besar neonatus akan didiagnosis dalam 24 jam pertama,
sebanyak 20% baru dapat didiagnosis di luar periode neonatal. Bayi-bayi tersebut
biasanya memiliki gejala pernapasan ringan, infeksi paru kronis, efusi pleura,
pneumonia, intoleransi makanan, atau volvulus gaster. Anak yang lebih tua mungkin
hadir dengan gejala kompresi mediastinum akibatdistensi gaster akut. Karena hernia
diafragmatika selalu menyebabkan rotasi dan fiksasi usus abnormal, beberapa anak
mungkin datang dengan keadaan obstruksi usus atau volvulus. Kadang-kadang,
hernia diafragma kongenital mungkin asimtomatik dan ditemukan secara incidental.
Pasien dengan gejala yang terjadi pada fase lanjut kehidupan memiliki prognosis
yang jauh lebih baik karena ringannya atau tidak adanya hipoplasia paru dan
hipertensi pulmonal.5
Ukuran defek diafragma dan saat terjadinya transposisi organ intraabdomen
menuju cavum thorax merupakan faktor penting dalam manifestasi klinis awal pada
saat lahir. Abdomen terlihat kosong dan bahkan skafoid. Neonatus dengan distres
nafas biasanya ditangani dengan oksigen dan ventilation mask. Hal ini menyebabkan
deteriorasi dari oksigenasi karena lambung dan usus akan mengembang yang akan
12
menyebabkan kompresi tambahan terhadap paru dan pergeseran mediastinum. Pada
keadaan ini resiko untuk terjadinya pneumothorax cukup tinggi.4
Laboratorium
Analisis gas darah, untuk menentukan adanya asidosis respiratorik akibat
distress nafas, analisis gas darah dapat sebagai indikator sederhana untuk menilai
derajat hipoplasia paru dan dapat diduga adanya hipoplasia paru yang berat bila PCO2
diatas 50 torr.2
Pemeriksaan kromosom, untuk membantu menemukan adanya kelainan
kongenital lain sehingga dapat diperkirakan penyulit yang mungkin terjadi. Kadar
elektrolit serum, sebaiknya diperiksa dan dimonitor untuk mempertahankan
homeostasis.1,8
Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada ditemukan gambaran udara intestinal dalam rongga dada.
Pemasangan pipa orogastrik dapat membantu menentukan posisi lambung (intra
abdominal atau intra thorakal). Pada hernia Bochdalek kiri dapat ditemukan
adanya gambaran udara atau cairan usus pada hemitorak kiri dan pergeseran
bayangan jantung ke kanan. Pemeriksaan radiologis dada juga dapat menentukan
ada tidaknya pneumothorax.1,8
Ultrasonografi (USG), pemeriksaan USG jantung untuk mengetahui adanya
kelainan jantung bawaan. USG ginjal diperlukan untuk menentukan ada tidaknya
kelainan saluran urogenital. USG kepala diperlukan untuk evaluasi adanya
perdarahan intraventrikular, infark, atau kelainan intrakranikal yang lain. Sedangkan
USG antenatal (in utero) dapat mendeteksi adanya polihidramnion (80% kasus
hernia Bochdalek disertai dengan polihidramnion), tidak terdapat gambaran udara
dalam lambung di rongga abdomen, terdapat gambaran udara lambung dalam
rongga dada, pergeseran mediastinum dan proyeksi jantung, dan walaupun jarang
mungkin terdapat gambaran hidrops fetalis.2
13
2.8 DIAGNOSIS BANDING
Pemasangan pulse oximetry sangat membantu dalam diagnosis dan tata
laksana hipertensi pulmonal persisten yang timbul akibat adanya hipoplasia
pulmonal. Pulse oximetry dipasang pada preductal (tangan kanan) dan postductal
(kaki sisi berlawanan) untuk menentukan adanya shunt kanan ke kiri pada ductus
arteriosus.1,8
Sebagai diagnosis banding adalah pneumatokel akibat stafilokokus,
malformasi kista adenomatoid paru, eventrasi dan paralisis diafragma, yang juga
dapat menimbulkan kesukaran bernapas. Untuk membedakan satu dengan yang lain
harus dilakukan pemeriksaan foto dada dan fluoroskopi.2
Pada pneumomatokel dan malformasi kista adenomatoid, gambaran foto dada
tidak menunjukkan adanya rongga dada berisi usus atau organ-organ viscera lain
14
Gambar 2. a Neonatus laki-laki usia 1 hari dengan hernia Bochdalek kiri. Tampak deviasi ke kanan endotracheal tube dan nasogastric tube bagian esofageal. Ujung nasogastric tube, usus dan gaster terletak intra thorax. b Neonatus perempuan usia 2 hari dengan hernia Bochdalek kanan. Tampak deviasi nasogastric tube dan kateter vena umbilikus (arah panah) ke kiri. 6
(biasanya 80% pada sisi kiri) yang bayangannya bersambung dengan bayangan usus
dan organ visera dalam rongga perut. Pada foto abdomen tidak ditemui adanya
marked excess of gas di bawah diafragma. Untuk memastikannya perlu dilakukan
pemeriksaan foto dada dengan pemasangan NGT sebagai petunjuk adanya lambung
di dalam rongga dada.2
Eventrasi diafragma merupakan duplikasi hernia diafragmatika bawaan
sehingga bila hanya berdasarkan pemeriksaan fisik dan foto dada saja keduanya
sering sukar dibedakan. Pemeriksaan foto dada hanya menunjukkan peninggian
diafragma sedangkan pada pemeriksaan fluoroskopi mula-mula terlihat gerakan
diafragma berkurang dan akhirnya menunjukkan gerakan paradoksal.2
15
Gambar 3. Neonatus usia 1 jam dengan hernia Bochdalek kiri yang besar dan tension pneumothorax kanan. Rontgen thorax menunjukkan pergeseran mediastinum yang minimal akibat usus yang berherniasi ke hemithorax kiri. 5
Paralisis diafragma oleh karena trauma maupun bawaan, baik yang bersifat
sementara atau menetap, pada pemeriksaan foto toraks terlihat letak diafragma yang
makin lama makin meninggi, sedangkan bila dilakukan pemeriksaan fluoroskopi
terlihat pergerakan diafragma berkurang yang pada akhirnya menunjukkan gambaran
paradoksal.2
2.9 PENATALAKSANAAN
Konseling prenatal dilakukan segera setelah diagnosis dibuat berdasarkan
USG. Setelah melalui berbagai pemeriksaan tersebut, tim medis harus menjelaskan
segala kemungkinan pilihan tata laksana kepada orang tua seperti terminasi
kehamilan, meneruskan kehamilan dan melahirkan bayi tersebut di pusat pelayanan
medis yang memadai termasuk prognosis dari kasus ini. Tata laksana hernia
Bochdalek yang optimal harus memperhatikan berbagai hal yang terkait dengan
kelainan bawaan ini.2
2.9.1 Proses persalinan dan unit perawatan intensif neonatus
Bayi harus dilahirkan di pusat kesehatan yang memiliki sarana bedah anak
dan perinatologi yang memadai. Secara umum sarana yang diperlukan adalah
intubasi endotrakeal dan pemakaian ventilator mekanik yang disesuaikan dengan
derajat keparahan herniasi organ abdomen, (hindari pemakaian ventilasi dengan
manual bag karena lambung dan organ intestinal akan distensi oleh udara yang
berakibat semakin tertekannya paru dan organ-organ intratorakal), pemasangan pipa
nasogastrik untuk dekompresi, menghindari pemakaian tekanan inspirasi yang
tinggi.8
2.9.2 Stabilisasi preoperatif
Pada hernia diafragmatika terdapat paru yang hipoplastik, tidak atelektasis
vaskularisasi arteriolar yang abnormal dan hipertensi pulmonal sehingga
16
dipertimbangkan pembedahan ditunda atau dipersiapkan dahulu. Umur rata-rata
untuk melakukan pembedahan adalah sekitar 72 jam.2
2.9.3 Ventilasi mekanik konvensional
Pemberian ventilasi mekanik harus mempertimbangkan faktor-faktor yang
diketahui meningkatkan resistensi vaskuler pulmonal (hipoksia, asidosis, hipotensi
dan hiperkarbia). Ventilasi dengan inspirasi bertekanan rendah dipilih karena
menurunkan kemungkinan terjadinya pneumothorax kontralateral yang dapat
meningkatkan ketidakstabilan sistem kardiorespirasi dan dekompensasi.2
Jika dengan ventilasi mekanik konvensional ini gagal maka dipakai strategi
ventilasi yang lain yaitu high-frequency oscillatory ventilation (HFOV), gentle
ventilation dan intratracheal pulmonary ventilation (ITPV). Selain strategi ventilasi
juga dibutuhkan terapi pendukung untuk menunjang keberhasilan pembedahan dan
memperbaiki prognosis.2
17
Gambar 4. Prinsip kerja ECMO. 4
2.9.4 Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO)
Alat ECMO adalah perlengkapan paru buatan yang digunakan untuk
mengembangkan sisa jaringan paru agar oksigenasi tetap adekuat selama
pembedahan untuk mencegah gagal napas dan hipoksia berat. ECMO meningkatkan
keberhasilan hidup bayi dengan hernia diafragmatika sebesar 42% pada era awal,
menjadi sebesar 79% pada era sekarang ini. Waktu yang tepat untuk memberikan
ECMO masih kotroversial.2
Kriteria untuk memulai ECMO pada hernia Bochdalek sama dengan neonatus
lain dengan gagal nafas: preductal SaO2 <85% atau postductal PaO2 < 30 mmHg;
oxygenation index ([FiO2·MAP]/PaO2) > 40; PIP (peak inspiratory pressure) > 28,
volum tidal > 7 mL/kg, atau MAP > 15; asidosis metabolic persisten atau peningkatan
level asam laktat serum; hipotensi yang refrakter terhadap vasopresor, deteriorasi akut
setelah repair bedah; dan tidak adanya respons dengan pengobatan medis maksimal.9
18
Gambar 5. Perangkat ECMO di unit perawatan intensif. 4
2.9.5 Pemberian surfaktan
Gagal nafas pada bayi dengan hernia diafragmatika dapat berhubungan
dengan perkembangan paru yang abnormal dan defisiensi surfaktan. Studi
postmortem menunjukkan adanya penurunan ekskresi surfaktan apoprotein A (SP-A)
yang lebih berat pada sisi dengan hernia diafragmatika dibandingkan dengan sisi yang
lain. Hal ini menunjukan adanya penundaan pematangan fungsional atau
perkembangan dan sintesis SP-A. Analisis cairan amnion mendukung kenyataan
tersebut. Surfaktan sebaiknya diberikan segera saat bayi menarik nafasnya untuk
pertama kali.2
Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian surfaktan segera setelah
lahir tidak mempengaruhi outcome sehingga dibatasi hanya pada neonatus prematur
dengan usia gestasi kurang dari 35 minggu.9
2.9.6 Terapi antenatal
Pemberian glukokortikoid antenatal untuk memperbaiki maturitas paru dan
meningkatkan oksigenasi serta kemampuan paru.2 Percobaan pada hewan dengan
hernia diafragmatika kongenital, pemberian glukokortikoid antenatal mengurangi
ketebalan alveolar septal, peningkatan sintesis DNA, dan peningkatan produksi
protein paru total. Hasil awal dari penelitian pada sekelompok kecil pasien terlihat
menjanjikan. Namun sebuah penelitan prospektif randomized trial gagal
menunjukkan adanya keuntungan dari pemberian to glukokortikoid antenatal.5
2.9.7 Terapi pembedahan perinatal
Pembedahan yang dipersiapkan lebih dahulu diikuti dengan terapi ECMO
memberikan hasil yang lebih baik.2 Waktu yang tepat untuk melakukan pembedahan
belum diketahui dengan pasti, beberapa ahli menganjurkan pembedahan dapat
dilakukan 24 jam setelah bayi stabil, tetapi penundaan sampai 7-10 hari dapat juga
ditoleransi. Banyak ahli bedah lebih menyukai operasi dikerjakan saat ekokardiografi
menunjukkan tekanan arteri pulmonalis stabil dalam 24-48 jam.8 Drainase dengan
19
chest tube diperlukan bila terdapat tension pneumothorax.8 Prinsip pembedahan
adalah mengembalikan organ abdomen pada tempatnya.
Surgical repair6
Repair melalui tindakan bedah di masa lalu dilakukan sebagai tindakan life-
saving emergency. Saat ini tindakan repair melalui bedah dilakukan hanya jika fungsi
jantung-paru dalam keadaan stabil. Penundaan tindakan bedah dengan stabilisasi
ventilasi dan kadang-kadang menggunakan ECMO dilaporkan merupakan keputusan
yang terbaik. Mengenai berapa lama seharusnya tindakan bedah ditunda masih belum
terdapat waktu yang pasti, namun penundaan selama beberapa hari atau bahkan
minggu seringkali merupakan waktu yang baik. 3
Tujuan dari seluruh terapi pre-operatif adalah untuk mencapai stabilisasi
pasien dan sebagai patokan adalah PaO2 > 40 mmHg dan PaCO2 < 60 mmHg
20
Gambar 6. Defek diafragma dengan paru hipoplastik yang dikembangkan maksimal.4
dengan tekanan arteri pulmonal yang stabil (< 50% dari tekanan sistemik), shunting
yang dapat ditoleransi, fungsi miokardium yang bagus serta klirens renal yang
adekuat dengan pengurangan atau penghentian obat-obatan inotropik. 3
Dengan anestesi umum, insisi subkostal atau transversus abdominal dibuat,
organ yang mengalami herniasi dikembalikan ke cavum abdomen secara hati-hati dan
orifisium diafragma ditutup dengan jahitan interrupted tanpa membuat tube
interkostal. Dahulu tube secara rutin digunakan sampai diketahui bahwa underwater
seal menyebabkan beban kerja respirasi bertambah dan overdistensi dari paru yang
hipolastik dapat megurangi ventilasi lebih lanjut. Ketika defek yang terjadi sangat
besar, sebuah bahan prostetik dapat ditambahkan untuk mencapai penutupan yang
lebih baik. 3
21
Gambar 7. A: Gambaran loop usus pada hemithoraks kiri, mediastinum bergeser ke sisi kontralateral. B dan C: Pada laparotomi, ditemukan hernia diafragma posterolateral. B, usus halus masuk ke cavum thorax melalui orifisium. C, setelah reposisi usus ke cavum abdomen. D: Pasien meninggal karena hipertensi pulmonal berat beberapa hari kemudian, pada otopsi ditemukan hipoplasia berat pada paru kiri dan hipoplasia yang lebih ringan pada paru kanan.3
2.9.8 Transplantasi paru
Transplantasi paru adalah salah satu teknik pembedahan dalam upaya
mengurangi efek buruk distres pernapasan pada bayi dengan hernia Bochdalek akibat
hipoplasia paru berat yang gagal dengan terapi suportif pernapasan, namun
pengobatan ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.2
2.9.9 Perawatan pasca bedah
Perawatan pasca bedah meliputi perawatan jangka pendek (segera setelah
pembedahan) dan perawatan jangka panjang.1
Perawatan jangka pendek: Perawatan pasca bedah jangka pendek meliputi
deteksi dan tata laksana komplikasi yang dapat terjadi setelah pembedahan.
Komplikasi yang mungkin timbul dapat berupa perdarahan, distres pernapasan,
hipotermia, produksi urin yang menurun, infeksi dan obstruksi usus. Pengawasan
yang dilakukan saat pasien masih dirawat di rumah sakit meliputi monitoring
pernapasan, evaluasi neurologis, dan masalah pemberian makanan.5,10
Perawatan jangka panjang: Perawatan pasca bedah jangka panjang meliputi
pemantauan tumbuh kembang pasien. Pertumbuhan kasus dipantau karena risiko
terjadi gagal tumbuh besar akibat adanya penurunan asupan kalori sebagai akibat
penyakit paru kronis, gastroesophageal refluk dan feeding yang buruk terutama pada
pasien dengan defek neurologis yang berat.5
2.10 FOLLOW UP
Neonatus kritis dengan hernia diafragma kongenital sering membutuhkan
terapi yang berkelanjutan dan intensif seperti ECMO selama rawat inap. Hal ini
menimbulkan adanya gejala sisa jangka panjang yang membutuhkan perhatian medis
setelah keluar dari rumah sakit. Komplikasi paru, neurologis, gastrointestinal, dan
muskuloskeletal memerlukan tim multidisiplin dari spesialis bedah, medis, dan
perkembangan. Pada tahun 2008, Section on Surgery and Committee on Fetus and
Newborn for the American Academy of Pediatrics membentuk serangkaian pedoman
22
untuk perawatan tindak lanjut dari bayi dengan hernia diafragmatika kongenital
(Lampiran 1). Rekomendasi ini dimulai sebelum keluar rumah sakit sampai usia 16
tahun. Pedoman berisi rencana formal tindak lanjut untuk memfasilitasi deteksi dini
faktor-faktor komorbid.5
2.11 PROGNOSIS
Steinhorn dan Holland1 mengungkapkan prognosis bervariasi tergantung pada
institusi tempat pasien dirawat; apabila fasilitas memadai termasuk perawatan dengan
ECMO tersedia, maka angka keberhasilan hidup berkisar antara 40-69%. Angka
survival pada beberapa penelitian berhubungan dengan ukuran volum paru normal.
Prognosis juga ditentukan dengan adanya malformasi kongenital lain yang biasanya
ditemukan pada 40% kasus. 4 Hal- hal yang mungkin timbul dan dapat mempersulit
kondisi pasien yang bertahan hidup dengan morbiditas jangka panjang meliputi
kelainan fungsi paru dan penyakit paru kronis, gastroesophageal reflux, rehernia,
volvulus, scoliosis dan gangguan perkembangan.2,10
23
BAB III
PENUTUP
Hernia diafragmatika adalah masuknya organ-organ abdomen melalui defek
pada diafragma ke dalam rongga dada. Penyebab hernia diafragmatika dibedakan
menjadi kelainan diafragma yang bersifat kongenital dan kelainan yang didapat.
Secara umum terdapat tiga tipe dasar hernia diafragmatika kongenital yaitu hernia
Bochdalek (posterolateral), hernia Morgagni (retrosternal atau anterior), dan hiatus
hernia yaitu masuknya esophagus abdominal dan cardia gaster ke dalam rongga dada
melalui pelebaran hiatus esofagus.2
Hernia diafragmatika kongentinal yang paling sering ditemui adalah hernia
diafragmatika tipe Bochdalek dengan insiden 1 dari 2000-4000 kelahiran hidup.
Diagnosis dapat ditegakkan saat antenatal dan perinatal berdasarkan anamnesis
adanya polihidramnion, diagnosis fisik adanya tanda distress nafas dan terdengarnya
bising usus di rongga dada serta bergesernya suara jantung ke kanan, secara
laboratoris adanya gangguan pertukaran udara pada dengan pemeriksaan radiologis
dada (perinatal) dan USG (prenatal), serta pemeriksaan penunjang lainnya.2
Manajemen dan terapi hernia Bochdalek tetap menjadi tantangan bagi ahli
bedah anak. Meskipun kemajuan luar biasa dalam diagnosis prenatal, pengobatan
bedah, dan perawatan kritis neonatal, hernia Bochdalek tetap menjadi penyebab
signifikan kematian dan kecacatan jangka panjang. Tantangan klinis terletak pada
spektrum yang luas dari penyakit dan volume relatif kecil dari pasien di masing-
masing institusi, sehingga pengalaman yang terbatas terhadap bayi dengan hernia
Bochdalek. Meskipun beberapa lembaga telah menjadi panutan dalam pengobatan,
manajemen, dan penelitian, sebagian besar menangani kurang dari 10 bayi dengan
hernia Bochdalek per tahunnya. Dengan demikian, pengalaman klinis yang luas sulit
dicapai. Meskipun intervensi bedah diperlukan untuk memperbaiki suatu hernia
Bochdalek, kemajuan terbaru terutama pada terapi non-bedah. Strategi ventilator paru
24
protektif, extracorporeal membrane oxygenation (ECMO), dan stabilisasi preoperatif
sebelum operasi menyebabkan penurunan yang signifikan dalam mortalitas. Selain
itu, peningkatan pemahaman hipoplasia paru dan hipertensi pulmonal terkait dengan
hernia Bochdalek telah menyebabkan bermunculannya terapi inovatif.5
25
Lam
pira
n 1
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Steinhorn RH dan Hollands CM. Congenital diaphragmatic hernia. Diperoleh dari: http://www.emedicine.com/ped/topic2603.htm. [Diakses tanggal 28 Desember 2012]
2. Putra IG, Hamid A, Semadi I. (2006). Hernia Bochdalek. Sari Pediatri, 2006, Vol. 7: 4, 232-236.
3. Tovar JA. (2012). Congenital Diaphragmatic Hernia. Tovar Orphanet Journal of Rare Diseases, 2012: 7, 1-15.
4. Waag KL dkk. (2008). Congenital diaphragmatic hernia: a modern day approach. Seminars in Pediatric Surgery, 2008: 17, 244-254.
5. Holcomb GW dan Murphy P (ed). (2010). Aschraft’s Pediatric Surgery 4 th
Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier.6. Taylor JA, Atalabi OM, Estroff JA. (2009). Imaging of congenital
diaphragmatic hernias. Pediatr Radiol, 2009: 39, 1–16.7. Lawrence MS dan Ehrenhaft JL. (1966). Congenital Diaphragmatic
Hernia Involving the Pleuroperitoneal Canal. Journal Of The National Medical Association, 1966, Vol. 58: 5, 338-341.
8. Johsons JM dan Steinberg SR. Diaphragmatic hernia, congenital. Diperoleh dari: http://www.emedicine.com/med/topic2979.htm. [Diakses tanggal 28 Desember 2012]
9. Mattei, Peter (ed). (2010). Fundamentals of Pediatric Surgery. Philadelphia: Springer.
10. Benjamin JR, Bizzarro MJ dan Cotton CM. (2011). Congenital Diaphragmatic Hernia: Updates and Outcomes. NeoReviews, 2011: 12, e439-e452.
27