HASIL Optimasi Metode Ekstraksi DNA Mikroba di Tempe ... · Proses pengolahan tempe dilakukan...

Post on 24-Mar-2019

230 views 0 download

Transcript of HASIL Optimasi Metode Ekstraksi DNA Mikroba di Tempe ... · Proses pengolahan tempe dilakukan...

41

HASIL

Optimasi Metode Ekstraksi DNA Mikroba di Tempe

Kuantitas dan Kualitas DNA. Kuantitas dan kualitas DNA yang baik

perlu diperoleh sebelum analisis metagenomik komunitas mikroba dilakukan. Dua

metode ekstraksi DNA mikroba digunakan untuk memperoleh metode terbaik

dalam mempelajari komposisi mikroba yang ada pada tempe. Hasil ekstraksi

DNA mikroba dari dua metode tersebut selanjutnya diukur konsentrasi dan

kualitasnya. Tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi DNA yang tinggi diperoleh

dari hasil ekstraksi dengan menggunakan metode PFMDIK. Hasil ekstraksi DNA

genom dengan metode PFMDIK tervisualisasi sebagai pita yang smear dan sangat

tipis pada gel agarose. DNA genom hasil ekstraksi dengan metode FDEK sama

sekali tidak tervisualisasi walaupun keduanya divisualisasi dengan konsentrasi

DNA yang sama sebesar 100 ng/μl (data tidak ditampilkan). Konsentrasi DNA

hasil ekstraksi juga menunjukkan hasil yang tidak berbias antar ulangan

dibandingkan dengan metode FDEK. Kualitas DNA yang baik juga diperoleh

dengan menggunakan metode PFMDIK. Rasio A260/280 menunjukkan nilai yang

lebih tinggi dibandingkan dengan pada metode FDEK (Tabel 2). Kontaminasi

protein lebih direduksi dengan melakukan ekstraksi metode PFMDIK. Nilai

A260/230 yang diperoleh dari kedua metode ekstraksi tergolong sangat kecil

(Tabel 2). Walaupun nilai ini pada hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK sangat

kecil dibandingkan dari metode FDEK, kontaminasi bahan organik tidak banyak

berkontribusi sebagai inhibitor proses PCR (Gambar 4).

Tabel 2 Konsentrasi DNA dan rasio A260/280 dan A260/230 untuk hasil ekstraksidengan menggunakan metode FDEK dan PFMDIK.

Sampel Rata-rata Kons DNA(ng/μl) ± SD(n=3)

Rata-rata Rasio A260/280± SD (n=3)

Rata-rata RasioA260/230 ± SD

(n=3)

TU-FDEK 3.47 ± 1.55 1.05 ± 0.20 0.95 ± 0.14

TU-PFMDIK 6.9 ± 0.60 1.50 ± 0.03 0.29 ± 0.18

42

Uji Penghambatan PCR. Kualitas DNA hasil ekstraksi perlu dianalisis

lebih lanjut untuk melihat kemungkinan terbawanya inhibitor PCR. Inhibitor PCR

akan mengganggu proses amplifikasi sehingga gambaran komunitas mikroba yang

ada pada suatu lingkungan menjadi terbatas. Amplifikasi DNA dilakukan terhadap

gen 16S rRNA. Metode PFMDIK lebih memungkinkan diperolehnya hasil

amplifikasi gen 16S rRNA yang lebih baik (Gambar 4). Hal ini menunjukkan

bahwa inhibitor PCR lebih banyak tereduksi dengan menggunakan metode ini

dibandingkan metode FDEK. Walaupun nilai A260/230 dari hasil ekstraksi

dengan metode PFMDIK rendah (Tabel 2), tetapi inhibitor proses PCR asal

makanan telah direduksi selama proses ekstraksi DNA. Kontaminasi bahan

organik yang ada tidak berpengaruh terhadap proses PCR karena inhibitor PCR

yang berasal dari makanan telah dihilangkan. Hasil amplifikasi gen 16S rRNA

dari DNA hasil ekstraksi dengan metode FDEK sebaliknya akan semakin menipis

bila templat DNA yang digunakan disimpan dalam waktu lama.

Validasi metode terbaik perlu dilakukan dengan melihat profil ARISA

(Gambar 5 dan 6) yang dihasilkan oleh kedua metode. Metode PFMDIK lebih

memberikan gambaran komunitas OTU mikroba pada tempe secara lebih baik

(Tabel 3).

Profil Automated Ribosomal Intergenic Spacer Analysis (ARISA).

Gambar 4 Amplifikasi PCR gen 16S rRNA dari sampel tempe. Lajur 1. MarkerMolekuler (1 Kb ladder), 2. TU1-PFMDIK, 3. TU2- PFMDIK, 4. TU3-PFMDIK, 5. TU1-FDEK, 6. TU2- FDEK, 7. TU3- FDEK.

43

Nilai keragaman Index Shannon-Wienner (H’) yang lebih tinggi untuk keragaman

OTU pada profil BARISA type maupun FARISA type diperoleh dari metode

PFMDIK. Jumlah OTU dalam ARISA type yang lebih baik juga diperoleh dengan

metode PFMDIK (Tabel 3). OTU dalam ARISA type yang lebih bervariasi

ditemukan dengan metode ekstraksi PFMDIK dibandingkan dengan metode

FDEK (Gambar 5,6).

Table 3 Perbandingan profil OTU BARISA type dan FARISA type yang diperolehdari DNA hasil ekstraksi dengan metode FDEK dan PFMDIK

Metode Jumlah OTU dalam ARISA type Index Shannon-Wienner (H)

BARISA type FARISA type BARISA type FARISA type

FDEK 17 6 0,946 0,510

PFMDIK 79 44 1,036 0,977

Gambar 5 Profil BARISA type dari intergenic spacer yang diamplifikasi dengandua metode ekstraksi DNA: a. PFMDIK, b. FDEK.

a.

b.

44

Gambar 6 Profil FARISA type dari daerah intergenic spacer yang diamplifikasidengan dua metode ekstraksi DNA: a. PFMDIK, b. FDEK

Reprodusibilitas metode juga perlu dilakukan untuk melihat apakah metode yang

digunakan menimbulkan bias. Ulangan analisis ARISA dilakukan untuk tiga

tempe yang diproduksi selama tiga hari pada satu produsen. Metode PFMDIK

memberikan gambaran profil ARISA reprodusibel dan peak dengan ukuran OTU

yang sama dihasilkan untuk tiga hari ulangan (Gambar 7).

a.

b.

45

Gambar 7 Profil BARISA type (tiga ulangan) dari intergenic spacer yangdiamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK.

a.

b.

c.

46

Gambar 8 Profil FARISA type (tiga ulangan) dari intergenic spacer yangdiamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK.

a.

b.

c.

47

Analisis Profil ARISA Type Tempe dari Sejumlah Produsen Tempe

Variasi Proses Pembuatan Tempe dari sejumlah Produsen Tempe.

Tempe diproduksi melalui proses fermentasi kacang kedelai dengan menggunakan

inokulum sebagai starter. Walaupun menghasilkan produk yang sama dan

umumnya dilakukan oleh produsen dengan latar belakang asal daerah Jawa,

namun proses produksi tempe itu sendiri sangat bervariasi antar satu produsen

dengan produsen yang lain.

Proses pengolahan tempe dilakukan dengan cara yang sangat berbeda

dengan urutan proses berbeda. Perlakuan awal terhadap biji kacang kedelai

sampai perlakuan fermentasi dilakukan secara berbeda. Perlakuan awal pada

produsen umumnya dimulai dengan proses perebusan kacang kedelai baik sampai

matang maupun hanya setengah matang. Walau demikian beberapa produsen

lebih memilih untuk merendam biji kacang kedelai saja sebagai tahap awal proses.

Proses perebusan dilakukan secara berbeda pula. Pada produsen tertentu, proses

perebusan dilakukan sebelum perendaman dan sesudah perendaman. Pada

produsen lain proses perebusan hanya dilakukan sebelum perendaman atau

sesudah perendaman saja. Lama proses perendaman juga sangat bervariasi antar

produsen dan berkisar antara beberapa jam hingga semalam (Tabel 4).

Hal lain yang ditemukan juga adalah penggunaan kultur starer yang

berbeda pada beberapa daerah. Kultur starter meliputi kultur starter yang dibuat

LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) maupun starter dari perusahan lokal.

Kultur starter pada daerah Malang bahkan disediakan sendiri dengan membuat

inokulum berupa spora fungi pada daun Waru (Hibiscus tiliaceus) maupun dengan

membeli inokulum pada daun Waru yang telah tersedia di pasar lokal.

Penggunaan komposisi starter juga berbeda khususnya pada produsen SDJD yang

menggunakan dua macam starter. Produsen ini meracik kultur starter dengan

mencampur starter LIPI dengan starter yang diproduksi oleh perusahaan lokal.

Semua hal ini menunjukkan bahwa proses pembuatan tempe di Indonesia sangat

bervariasi karena selain metode yang berbeda juga digunakan kultur starter

berbeda. Kultur starter yang digunakan dapat berupa isolat murni maupun kultur

dengan komposisi tidak terdefinisi. Sumber air yang digunakan juga sangat

berbeda antar produsen. Produsen WJB, HTN dan WHR cenderung lebih

48

menggunakan sumber air dari Perusahaan Air Minum (PAM) sedangkan produsen

lain menggunakan sumber air dari sumur. Proses fermentasi tempe yang

dilakukan oleh produsen di Sidoarjo juga berbeda dari produsen lain. Proses

fermentasi dilakukan dua kali yaitu di dalam wadah yang tertutup rapat dan

fermentasi di atas rak (Tabel 4). Proses ini dilakukan dengan harapan

mendapatkan tempe dengan fungi yang tumbuh seperti kapas. Tekstur tempe yang

dihasilkan akan terlihat lebih mudah hancur dan bila diproses dengan

menggoreng, tempe akan menyusut. Tekstur ini berbeda dengan tekstur tempe

dari malang yang padat karena kedelai difermentasi dengan ditindih oleh marmer

atau batu bata. Tahapan proses dan kultur starter yang berbeda tentu saja sangat

berpengaruh terhadap hasil akhir bervariasi karena membuka peluang yang

berbeda bagi masuknya mikroba dalam proses fermentasi tempe.

Tabel 4 Profil perbedaan perlakuan proses pembuatan tempe pada berbagai produsen

Sampel Perlakuan AwalPerlakuanPerebusan

PerlakuanFermentasi

LamaFermentasi

SumberAir

Jenis Ragiyang

digunakan

JenisKedelai

yangdigunakan

WJB Direbus, masak 2 kali 1 kali 1 malam PAM Raprima JempolEMP Direbus, masak 1 kali 1 kali 2 hari Sumur Raprima Jempol,

Gunung

WHRDirendam air

panas semalam 1 kali 1 kali 3 hari PAM Raprima Jempol

HTNDirendam airpanas 1 jam 1 kali 1 kali 2-3 hari PAM Raprima Jempol

MLGSDirebus, tidak

mendidih 2 kali 1 kali 2 hari Sumur Daun Waru Jempol,GCU

MLGADimasak ½

matang 2 kali 1 kali 2 hari Sumur Daun Waru Jempol

SDJDDirebus 1

malam 2 kali 2 kali 2 x 1 hari Sumur Jago &Raprima

Jempol,Bola

SDJKDirendam airhangat 8 jam 1 kali 2 kali 2 x 1 hari Sumur Jago Jempol,

Bola

Selain faktor-faktor yang dijelaskan di atas, faktor skala produksi juga

sangat berbeda antar produsen. Produsen yang melakukan produksi dalam skala

kecil cenderung lebih mampu mengontrol produksi dibandingkan dengan

produsen dengan skala produksi yang besar. Produsen seperti HTN dan WJB

melakukan produksi dalam skala kecil sehingga lebih menerapkan proses

pengolahan pada lingkungan yang relatif bersih. Sedangkan pengolahan pada

49

produsen seperti EMP, MLGA dan SDJD agak kurang memperhatikan kebersihan

lingkungan proses produksi. Beberapa tahapan pengolahan bahkan dilakukan di

daerah dengan peluang kontaminasi tinggi seperti pada WC. Bahan baku kedelai

yang digunakan juga bervariasi. Selain itu untuk mengurangi bahan baku dan

untuk alasan produk yang lebih baik pemakaian bahan tambahan seperti beras,

tepung beras dan jagung putih dilakukan. Penggunaan bahan tambahan akan

berpengaruh terhadap komunitas mikroba yang terdapat dalam proses fermentasi

dan produk akhir.

Profil ARISA type dan Keragaman OTU Komunitas Bakteri dan

Fungi dari Delapan Tempe. Adanya variasi bahan baku dan proses pengolahan

akan berpengaruh terhadap keragaman dan kelimpahan mikroba yang terlibat

dalam proses fermentasi tempe. Keragaman dan kelimpahan mikroba pada tempe

ini dapat dilihat secara menyeluruh melalui gambaran BARISA type maupun

FARISA type sebagai fingerprint mikroba yang muncul pada delapan tempe

berbeda. Analisis ARISA menunjukkan bahwa setiap profil OTU BARISA type

maupun FARISA type menunjukkan adanya pola komunitas berbeda sehingga

dapat digunakan sebagai fingerprinting komunitas bakteri maupun fungi dari

delapan tempe yang dianalisis (Gambar 9, 10, 11 dan 12). Fingerprinting

komunitas ini dapat digunakan sebagai barcoding system tempe dengan daerah

asal produksi yang berbeda. Perbedaan ini dapat disebabkan karena komunitas

mikroba pada tempe yang berasal dari kultur starter maupun dari lingkungan dan

tahapan proses berbeda.

50

Gambar 9 Profil BARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNAhasil ekstraksi dari beberapa tempe a. EMP (Bogor), b. WJB(Bogor), c. MLGA (Malang), dan d. MLGS (Malang).

a.

b.

c.

d.

51

Gambar 10 Profil BARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dariDNA hasil ekstraksi dari beberapa tempe a. HTN (Ambon), b.WHR (Ambon), c. SDJD (Sidoarjo) dan d. SDJK (Sidoarjo).

a.

b.

c.

d.

52

Gambar 11 Profil FARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dariDNA hasil ekstraksi dari beberapa tempe a. EMP (Bogor), b.WJB (Bogor), c. MLGA (Malang), dan d. MLGS (Malang).

a.

b.

c.

d.

53

Gambar 12 Profil FARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dariDNA hasil ekstraksi dari beberapa tempe a. HTN (Ambon), b.WHR (Ambon), c. SDJD (Sidoarjo) dan d. SDJK (Sidoarjo).

Profil OTU ARISA type sangat terbatas untuk menduga kelimpahan dan

dominansi spesies, walaupun demikian keragaman OTU dapat dihitung untuk

melihat pengaruh perbedaan proses fermentasi terhadap profil ARISA (Yannarell

a.

b.

c.

d.

54

dan Triplett 2005). Profil ARISA type yang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk

melihat keragaman OTU dalam komunitas mikroba pada tempe. Keragaman OTU

yang dianalisis berdasarkan profil BARISA type dan FARISA type (Tabel 5)

menunjukkan bahwa keragaman OTU tertinggi dalam komunitas pada BARISA

type yang ditunjukkan oleh nilai H’ (Index Shannon-Wienner) ditemukan pada

produsen di wilayah Malang dan Sidoarjo. Keragaman OTU dalam komunitas

fungi pada tempe WJB dan HTN tergolong rendah dan keragaman OTU fungi

yang tinggi diperoleh pada tempe di daerah Malang (MLGA, MLGS), tempe

SDJK di Sidoarjo dan tempe EMP di Bogor. Index Simpson (D) untuk semua

komunitas fungi relatif rendah. Nilai D (Index Simpson) OTU bakteri pada Tabel

5 menunjukkan bahwa OTU komunitas bakteri lebih kecil dari nilai D (Index

Simpson) OTU fungi. Hal ini berarti OTU komunitas bakteri lebih beragam

dibandingkan OTU fungi. Data ini mendukung nilai indeks H’ dan menunjukkan

adanya keragaman OTU pada profil ARISA.

Tabel 5 Keragaman OTU pada BARISA type dan FARISA type dari BerbagaiTempe

Sampel AsalSampel

BARISA FARISAIndex

Shannon-Wienner

(H’)

IndexSimpson

(D)

JumlahOTUdalam

“BARISAtype”

IndexShannon-Wienner

(H’)

IndexSimpson

(D)

JumlahOTUdalam

“FARISAtype”

WJB Bogor 1,34 0,11 83 0,88 0,22 36EMP Bogor 1,17 0,09 46 1,46 0,11 131HTN Ambon 1,09 0,11 37 0,71 0,30 29WHR Ambon 1,22 0,11 66 1,09 0,21 46MLGS Malang 1,61 0,04 104 1,62 0,05 145MLGA Malang 1,53 0,05 93 1,57 0,06 145SDJD Sidoarjo 1,57 0,04 90 1,39 0,08 104SDJK Sidoarjo 1,62 0,04 91 1,50 0,07 124

Pencirian tempe dapat dilakukan dengan menggunakan fingerprinting

komunitas mikroba yang ada pada tempe. Tahapan awal yang harus dilakukan

adalah mencari komunitas mikroba yang bersifat diskriminatif mencirikan tempe.

Analisis pengelompokan tempe dapat dilakukan dengan melihat kesamaan OTU

antar komunitas mikroba pada tempe yang dianalisis. Komunitas bakteri pada

delapan BARISA type yang ada lebih diskriminatif memilah tempe berdasarkan

daerah asal produksinya (Gambar 13, 14). Percabangan pohon filogenetik

55

menunjukkan bahwa ada tidaknya OTU bakteri dalam suatu profil BARISA

menyebabkan terbentuknya dua kelompok besar yang terbentuk yaitu kelompok

tempe EMP dan kelompok dengan tujuh tempe lain (Gambar 13). Pada kelompok

dengan tujuh tempe, terlihat bahwa kelompok ini membentuk dua kelompok

utama lagi dimana komunitas bakteri pada tempe WHR telihat sama dengan

tempe MLGA. Komunitas bakteri pada tempe HTN lebih memiliki

kecenderungan kemiripan dengan tepe WHR dan MLGA. Tempe SDJD dan

SDJK memiliki komunitas bakteri yang mirip. Tempe MLGS juga memiliki

kecederungan kemiripan komunitas dengan tempe SDJD dan SDJK.

Gambar 13 Pohon filogenetik hubungan keterkaitan delapan komunitas bakteripada delapan tempe berdasarkan Sorensen’s Similarity coefficient

Sorensen’s Similarity Coefficient

56

Profil FARISA type (Gambar 14) menunjukkan adanya dua pengelompokan yang

utama yaitu kelompok dengan tempe HTN dan tujuh tempe lain. Pengelompokan

tujuh tempe yang ada menunjukkan adanya dua sub pengelompokkan lagi yang

menunjukkan kemiripan komunitas fungi pada tempe. Tempe MLGA memiliki

komunitas yang lebih mirip dengan tempe EMP sedangkan tempe SDJD memiliki

kemiripan komunitas fungi dengan tempe SDJK. Komunitas MLGS memiliki

kemiripan komunitas yang sama dengan keempat tempe di atas. Tempe WJB

sebaliknya lebih memiliki kemiripan komuitas dengan tempe WHR.

Gambar 14 Pohon filogenetik hubungan keterkaitan delapan komunitas fungipada delapan tempe berdasarkan Sorensen’s Similarity coefficient

Bila komunitas fingerprinting BARISA type dan FARISA type dibandingkan dan

akan dipilih sebagai barcode tempe, maka profil BARISA terlihat lebih

diskriminatif. Fingerprinting BARISA type lebih diskriminatif memilah tempe

berdasarkan asal produsen tempe karena keragaman OTU BARISA type yang

lebih tinggi. Nilai koefisien Sorensen’s komunitas bakteri yang relative lebih kecil

dibandingkan komunitas fungi menunjukkan bahwa OTU bakteri yang beragam

masih mampu memilah tempe secara lebih diskriminatif. Keragaman yang rendah

Sorensen’s Similarity Coefficient

57

pada komunitas fungi disebabkan karena ada tumpang tindih karena adanya OTU

yang berulang dalam komunitas OTU FARISA type dibandingkan OTU pada

bakteri (Lampiran 2 dan 3). Kesamaan OTU yang muncul menunjukkan bahwa

proses fermentasi tempe diperantarai oleh kelompok fungi yang sama.

Analisis Gen 16S rRNA yang Berasal dari Komunitas Bakteri pada Tempe

Identifikasi Bakteri yang Melimpah pada Produsen yang Berbeda.

Identifikasi spesies bakteri yang ada pada tempe, perlu dilakukan dengan

pendekatan pembuatan pustaka gen 16S rRNA. Identifikasi ini bertujuan untuk

melihat apakah komposisi spesies bakteri yang terlibat dalam proses fermentasi

pada produsen benar-benar berbeda sesuai hasil yang tergambarkan pada Gambar

13. Tiga puluh koloni E. coli DH5α yang membawa gen 16S rRNA dari total

komunitas bakteri dan terinsersi pada vector pGEM-T Easy selanjutnya dipilih.

Insert gen 16S rRNA selanjutnya diambil dan disekuensing (Lampiran 6).

Komposisi bakteri pada tempe dari produsen SDJD dan EMP benar-benar

berbeda. Bakteri pada tempe dari produsen SDJD lebih didominasi oleh Klebsiella

dan uncultured Klebsiella (Gambar15). Tempe pada produsen EMP lebih

didominasi oleh bakteri dari genus Acetobacter dan Lactobacillus (Gambar 16).

Acetobacter merupakan bakteri yang baru pernah dilaporkan terlibat pada proses

fermentasi tempe.

Gambar 15 Persentase spesies bakteri yang dominan ditemukan pada tempe SDJD(dari Sidoarjo)

58

Perbedaan komunitas bakteri ini tentu saja akan berimplikasi terhadap

karakteristik tempe yang dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian ini, diduga

bahwa bakteri turut berperan dalam perbedaan karakteristik, komposisi Gizi, dan

flavor pada tempe.

Analisis Profil ARISA Isolat Tunggal Bakteri, Suatu Upaya Analisis

Keamanan Pangan.

Profil ARISA Isolat Bacillus. Bakteri seperti Bacillus cereus merupakan

bakteri yang bersifat patogen karena menghasilkan toksin. Analisis keamanaan

pangan perlu dilakukan untuk melihat kemiripan bakteri yang ditemukan pada

tempe dengan bakteri dari ATCC (American type culture collection). Hasil

menunjukkan bahwa isolat Bacillus GR9 yang telah teridentifikasi sebagai

Bacillus cereus berdasarkan sekuen gen 16S rRNA-nya ternyata merupakan isolat

yang berbeda secara genetik dengan Bacillus cereus ATCC10876 (Tabel 6,

Gambar 17). Isolat Bacillus GR9 menunjukkan profil BARISA type dengan OTU

yang lebih banyak dibandingkan dengan Bacillus cereus ATCC10876 (Tabel 6).

Hasil yang diperoleh juga menunjukkan adanya OTU dengan ukuran berbeda

yang tidak ditemukan pada kedua isolat. Perbedaan ini merupakan ciri pembeda

isolat dan OTU yang sama dapat menjadi ciri spesifik bakteri dari genus Bacillus.

Gambar 16 Persentase spesies bakteri yang dominan ditemukan pada tempeEMP (dari Bogor)

59

Tabel 6 Ukuran profil BARISA isolat tunggal BacillusBacillus GR9 Bacillus cereus ATCC10876

Ukuran OTU dalam‘BARISA type’

Luas Area Ukuran OTUdalam ‘BARISA

type’

Luas Area

226, 03 ± 0,02 58704,33 ± 7158,24 225,93 ± 0,03 55136,33 ± 2596,88227,11 ± 0,12 89288,33 ± 7281,73 226,93 ± 0,02 7810 ± 258,28454,63 ± 0,00 13881,67 ± 3855,40 451,97 ± 0,04 9164,67 ± 1058,82455,68 ± 0,01 12245,67 ± 3564,63

Gambar 17 Perbandingan profil BARISA isolat tunggal Bacillus yangterkultur dan diisolasi dari tempe dibandingkan terhadap isolatATCC (a. Bacillus GR9, b. Bacillus cereus ATCC10876).

60

Profil ARISA Isolat Klebsiella. Secara medis bakteri dari genus

Klebsiella merupakan bakteri yang membahayakan kesehatan karena

berkontribusi terhadap timbulnya penyakit paru-paru. Hasil menunjukkan bahwa

walaupun Klebsiella 135 asal tempe telah teridentifikasi sebagai Klebsiella

pneumoniae, namun secara genetik bakteri ini berbeda dengan Klebsiella

pneumoniae ATCC35657 (Tabel 7, Gambar 18). Klebsiella 135 menunjukkan

profil BARISA type yang sangat berbeda dari Klebsiella pneumoniae

ATCC35657 dalam hal jumlah maupun ukuran OTU yang ada (Tabel 7). Analisis

ini memang memberi gambaran yang sangat berbeda namun konfirmasi untuk

jaminan keamanan pangan masih perlu dilakukan dengan melihat keragaman

schyzotype yang lebih diskriminatif dan deteksi adanya gen patogen spesifik pada

bakteri-bakteri ini.

Tabel 7 Ukuran profil BARISA isolat tunggal Klebsiella

Klebsiella 135 Klebsiella pneumonia ATCC35657Ukuran ‘BARISA

type’Luas Area Ukuran ‘BARISA

type’Luas Area

287,48 ± 0,06 37690,33 ± 5467,20 280,10 ± 0,00 14433,67 ± 1038,05430,83 ± 0,14 106966,67 ± 4292,73 423,04 ± 0,00 44127,33 ± 3038,69507,88 ± 0,17 6108,33 ± 491,73 431,13 ± 0,01 13959,00 ± 917,20508,96 ± 0,19 23325,67 ± 1879,59 507,84 ± 0,04 13181 ± 1085,27515,80 ± 0,23 29186,33 ± 1880,76 509,63 ± 0,06 2523,00 ± 2071,58516,81 ± 0,21 11531,00 ± 1460,341585,59 ± 0,19 19189,33 ± 2104,28

61

Gambar 18 Perbandingan profil BARISA isolat tunggal Klebsiella yangterkultur dan diisolasi dari tempe dibandingkan terhadap isolatATCC (a. Klebsiella 135, b. Klebsiella pneumoniaeATCC35657).