Hanjar Siswa Eksekusi Bidang Perdata.rtf

Post on 20-Feb-2016

220 views 3 download

Transcript of Hanjar Siswa Eksekusi Bidang Perdata.rtf

KODIKLAT TNI ANGKATAN DARAT45RAHASIARAHASIALampiran III Kep DanpusdikkumNomor Kep / / X / 2014Tanggal Oktober 2014 KODIKLAT TNI ANGKATAN DARAT PUSAT PENDIDIKAN HUKUMEKSEKUSI BIDANG PERDATA BAB IPENDAHULUAN1.Umum.Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup bermasyarakat. Dalam membina hubungan bermasyarakat tersebut, sering terjadi gesekan kepentingan diantara mereka. Gesekan-gesekan kepentingan tersebut biasanya menjadi sengketa hukum diantara mereka. Ada kalanya para pihak yang merasa dirugikan tidak puas dengan solusi yang ada, sehingga mengajukan sengketanya ke Pengadilan.Demikian pula di mana seorang yang merasa dirugikan terhadap suatu sengketa dapat mengajukan hak kepada Pengadilan. Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan kepada Pengadilan untuk mencegah eigenrichting (tindakan menghakimi sendiri). Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang bersifat menghukum haruslah diterima oleh para pihak, karena para pihak telah diberi kesempatan untuk melakukan upaya hukum. Selain itu, dimungkinkan para pihak tidak melakukan upaya hukum tersebut, yang berarti mereka telah menerimanya. Konsekuensinya, khususnya pihak yang terkalahkan harus melaksanakan atau merealisasikan putusan tersebut dengan secara sukarela. Namun apabila pihak yang terkalahkan tidak mau melaksanakan secara sukarela, maka dapat dilaksanakan secara paksa dengan cara eksekusi.2.Maksud dan Tujuan.a.Maksud. Naskah Departemen ini disusun dengan maksud sebagai pedoman bagi Gumil dan memberikan gambaran bagi Perwira Siswa dalam proses belajar dan mengajar tentang Eksekusi Bidang Perdata yang merupakan salah satu bahan ajaran pada Pendidikan Kursus Perwira Bantuan Hukum Perdata. b.Tujuan. Agar Perwira Siswa memahami tentang Eksekusi Bidang Perdata guna mendukung pelaksanaan tugas.3.Ruang Lingkup dan Tata Urut. Naskah Departemen ini meliputi materi pelajaran yang berkaitan dengan Eksekusi Bidang Perdata dan berbagai macam permasalahannya yang disusun dengan tata urut sebagai berikut :Pendahuluan.Pengertian dan Azas Eksekusi. Eksekusi Riil dan Eksekusi Pembayaran Uang.Peringatan, Penetapan dan Berita Acara Eksekusi.Penjualan Lelang (Lelang Eksekusi).Eksekusi Jaminan Kredit.Eksekusi Terlebih Dahulu.Eksekusi Serentak Beberapa Putusan.Eksekusi Putusan Damai.Penundaan Eksekusi.Eksekusi yang Tidak Dapat Dijalankan (Non Eksekuta).Biaya Eksekusi.Evaluasi.Penutup. 4.Referensi.a.Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, M.Yahya Harahap, S.H, Sinar Grafika, edisi kedua : 2013.b.Prosedur Gugatan Perdata, Badriyah Harun S.H. Yogyakarta 2009. BAB IIPENGERTIAN DAN AZAS EKSEKUSI5.Umum. Sering orang berbicara tentang eksekusi, tetapi tidak tahu secara tepat di dalam perundang-undangan mana hal itu diatur. Akibatnya, terjadilah tindakan cara-cara eksekusi yang menyimpang, oleh karena pejabat yang melaksanakannya tidak berpedoman kepada ketentuan perundang-undangan. Padahal pedoman aturan tata cara eksekusi sudah lama diatur.Di dalam membicarakan pengertian eksekusi, akan dijelaskan beberapa hal yang erat kaitannya dengan pemahaman pengertian eksekusi itu sendiri. Akan diutarakan hal yang berkenaan dengan tempat pengaturan eksekusi dalam perundang-undangan, alih bahasanya ke dalam bahasa Indonesia, serta kapan eksekusi itu diperlukan.6.Sumber Hukum Eksekusi.Pedoman aturan tata cara eksekusi terdapat dalam Bab Kesepuluh Bagan Kelima HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat RBG. Oleh karena itu, Ketua Pengadilan Negeri atau Panitera maupun juru sita harus merujuk pada pasal-pasal yang diatur dalam bagian dimaksud apabila hendak melakukan eksekusi. Pada bagian tersebut telah diatur pasal-pasal tata cara menjalankan putusan pengadilan, mulai dari: tata cara peringatan (aanmaning); sita ekskusi (executoriale beslag); dan penyanderaan (gijzeling). Cara-cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi tadi diatur mulai Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 258 RBG. Namun pada saat sekarang tidak semua ketentuan pasal-pasal tadi berlaku efektif. Yang masih betul-betul efektif berlaku terutama Pasal 195 sampai Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 240 dan Pasal 258 RBG. Sedangkan Pasal 209 sampai Pasal 223 HIR atau Pasal 242 sampai Pasal 257 RBG yang mengatur tentang sandera (gijzeling), tidak lagi diperlakukan secara efektif. Seorang debitur yang dihukum untuk membayar utangnya berdasarkan putusan pengadilan tidak lagi dapat disandera sebagai upaya memaksa sanak keluarganya melaksanakan pembayaran menurut putusan pengadilan.Penghapusan pasal-pasal eksekusi yang berkenaan dengan aturan sandera dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran (SEMA) No. 2/1964 tanggal 22 Januari 1964. Isi surat edaran ini berupa instruksi yang ditujukan kepada seluruh pengadilan di lingkungan peradilan umum: tidak boleh dipergunakan lagi pasal-pasal aturan sandera (gijzeling), yakni Pasal 209 - 223 HIR atau Pasal 247 - 257 RBG; alasan larangan tersebut, karena tindakan penyanderaan terhadap seorang debitur dianggap bertentangan dengan perikemanusiaan. Sudah barang tentu ada yang pro dan kontra terhadap surat edaran di atas. Apalagi surat edaran itu secara tegas menyatakan menghapuskan pasal-pasal yang mengatur sandera. Seolah-olah Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif telah mengambil alih fungsi lembaga legislatif. Keberatan lain, ditinjau dan segi iktikad buruk seorang debitur. Sering dijumpai debitur yang mengambil kredit dan bank pemerintah, lantas uang itu diberikan sebagai modal kepada sanak keluarganya.Terlepas dari pro dan kontra terhadap penghapusan ketentuan sandera, maka sejak dikeluarkan SEMA No. 2/1964, pasal-pasal yang mengatur sandera dalam eksekusi tidak berlaku lagi secara efektif. Penerapan pasal-pasal itu tidak pernah lagi diberlakukan dalam praktik peradilan. Atau dengan kata lain, pasal-pasal yang mengatur sandera tidak dijadikan lagi sebagai landasan pedoman menjalankan putusan pengadilan. Ketentuan SEMA No. 2/1964 yang bercorak generalis menghapuskan penerapan penyanderaan debitur, telah direduksi oleh PERMA No. 1 Tahan 2000. Menurut PERMA ini, terhadap debitur tertentu, dapat dilakukan penyanderaan apabila terpenuhi syarat-syarat yang disebut di dalamnya. Pasal lain yang mengatur eksekusi yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 225 HIR atau Pasal 259 RBG. Pasal ini mengatur eksekusi tentang putusan pengadilan yang menghukum Tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Di samping itu, terdapat lagi Pasal 180 HIR atau Pasal 191 RBG yang mengatur tentang pelaksanaan putusan secara serta-merta (uitvoerbaar bu voorraad) atau provisionally enforceable (to have immediate effect), yakni pelaksanaan putusan segera dapat dijalankan lebih dahulu sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Aturan yang tidak kurang pentingnya dalam ruang lingkup eksekusi ialah Peraturan Lelang No. 189/1908 (Vendu Reglernent St. 1908/No.189). Semua aturan yang disebutkan, secara keseluruhan merupakan aturan yang tidak terpisahkan dari tindakan menjalankan eksekusi. Semua aturan itu sedapat mungkin harus diketahui dan dipahami oleh mereka yang berfungsi melaksanakan eksekusi. Tidak tepat hanya mengandalkan pasal-pasal yang diatur dalam HIR atau RBG saja. Jika titik tolak eksekusi hanya didasarkan secara sempit pada pasal-pasal HIR atau RBG tanpa menghubungkan kaitannya dengan asas dan peraturan lain, akan terjadi kekeliruan. Tidak mungkin eksekusi dapat ditangani dengan tepat tanpa rnengaitkannya dengan peraturan hipotek yang diatur dalam KUH Perdata. 7.Pengertian Eksekusi.Menurut M. Yahya Harahap, S.H. adalah merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi tiada lain dari pada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR atau RBG. Setiap orang yang ingin mengetahui pedoman aturan eksekusi harus merujuk ke dalam aturan perundang-undangan dalam HIR atau RBG.Menurut Prof.R. Subekti adalah pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi di dalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah polisi bahkan kalau perlu militer (angkatan bersenjata).Menurut R. Supomo adalah hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat Negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang ditentukan.8.Azas-azas Eksekusi. Sebelum membahas prinsip eksekusi, perlu kiranya disinggung sedikit pembakuan istilah eksekusi dalam bahasa Indonesia. Hal ini perlu dibicarakan untuk menghindari pemakaian istilah yang berlebihan. Di sini akan dikemukakan istilah yang dipergunakan oleh Prof. Subekti. Beliau mengalihkannya dengan istilah pelaksanaan putusan. Begitu pula Retno Wulan Sutantio mengalihkannya ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah pelaksanaan putusan. Pendapat kedua penulis tersebut, dapat dijadikan sebagai perbandingan. Bahkan, hampir semua penulis telah membakukan istilah pelaksanaan putusan sebagai kata ganti eksekusi (executie). Pembakuan istilah pelaksanaan putusan sebagai kata ganti eksekusi, dianggap sudah tepat. Sebab jika bertitik tolak dan ketentuan Bab Kesepuluh Bagian Kelima HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat RBG, pengertian eksekusi sama dengan tindakan menjalankan putusan (ten uitvoer legging van vonnissen). Menjalankan putusan pengadilan, tiada lain daripada melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah (Tereksekusi atau pihak Tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela (vrjjwillig, voluntary).Dengan diterimanya istilah pelaksanaan putusan sebagai pengganti istilah eksekusi, tidak pada tempatnya kedua istilah itu digabungkan dalam satu rangkaian penulisan. Penulisan dan pemakaian kedua istilah itu dalam satu rangkaian adalah berlebihan. Misalnya, ada yang menulis dan mempergunakannya pelaksanaan eksekusi. Rangkaian penggabungan yang seperti itu ditinjau dan segi bahasa dan istilah adalah berlebihan. Cukup dipilih salah satu. Boleh dipergunakan pelaksanaan putusan atau cukup dipergunakan perkataan eksekusi putusan. Akan tetapi, pada masa belakangan ini, hampir baku dipergunakan istilah hukum (legal term) eksekusi atau menjalankan eksekusi.a.Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.Tindakan eksekusi biasanya baru menjadi suatu masalah apabila pihak yang kalah ialah pihak Tergugat, dalam tahap eksekusi kedudukannya menjadi pihak tereksekusi. Sedang bila pihak Penggugat yang kalah dalam perkara pada lazimnya, bahkan menurut logika tidak ada putusan yang perlu dieksekusi. Hal ini sesuai dengan sifat sengketa dan status para pihak dalam suatu perkara. Pihak Penggugat bertindak selaku pihak yang meminta kepada pengadilan agar pihak Tergugat dihukum untuk menyerahkan suatu barang, mengosongkan rumah atau sebidang tanah, melakukan sesuatu, menghentikan sesuatu atau membayar sejumlah uang. Salah satu hukuman seperti itulah yang selalu terdapat dalam putusan, apabila gugatan penggugat dikabulkan oleh pengadilan dan harus dipenuhi dan ditaati pihak Tergugat sebagai pihak yang kalah. Oleh karena itu bila kita berbicara mengenai eksekusi putusan adalah tindakan yang perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan Penggugat kepada Tergugat.Tidak terhadap semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial, artinya tidak terhadap semua putusan pengadilan dapat dieksekusi. Putusan yang belum dapat dieksekusi adalah putusan yang belum dapat dijalankan. Pada prinsipnya hanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang dapat dijalankan.Pada asasnya putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti yaitu, hubungan hukum itu mesti ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak Tergugat) baik secara sukarela maupun secara paksa dengan bantuan kekuatan umum.Dari keterangan diatas dapat dikatakan bahwa, selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi. Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan pihak Tergugat (yang kalah), tidak mau mentaati dan memenuhi putusan secara sukarela.Pengecualian terhadap asas ini dimana eksekusi tetap dapat dilaksanakan walaupun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap berdasarkan undang-undang adalah :1) Pelaksanaan Putusan lebih dahulu. Menurut Pasal 180, ayat (1) HIR, eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap putusan pengadilan sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Pasal ini memberi hak kepada Penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih dahulu, sekalipun terhadap putusan itu pihak Tergugat mengajukan banding atau kasasi. Syarat-syarat yang ditetapkan untuk mengabulkan putusan serta merta jumlahnya terbatas dan jelas tidak bersifat imperatif. Syarat-syarat itu berupa :a)Adanya akta otentik atau tulisan tangan yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti.b)Ada putusan lain yang sudah ada dan sudah mempunyai kekuatan hukum pasti.c)Ada gugatan provisi yang dikabulkan.d)Sengketa yang ada sekarang mengenai bezitsrecht.2) Pelaksanaan putusan provisi.Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengenal putusan provisi yaitu tuntutan lebih dahulu yang bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan provisi tersebut dapat dilaksanakan (dieksekusi) sekalipun perkara pokoknya belum diputus (mendahului).3) Akta Perdamaian.Pengecualian ini diatur dalam pasal 130 HIR akta perdamaian yang dibuat dipersidangan oleh Hakim dapat dijalankan eksekusi tak ubahnya seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Maka sejak tanggal lahirnya akta perdamaian telah melekat pulalah kekuatan eksekutorial pada dirinya walaupun ia tidak merupakan putusan pengadilan yang memutus sengketa.4) Eksekusi terhadap Grosse Akta.Sesuai Pasal 224 HIR eksekusi yang dijalankan ialah memenuhi isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Pasal ini memperbolehkan eksekusi terhadap perjanjian, asal perjanjian itu berbentuk grosse akta. Jadi perjanjian dengan bentuk grosse akta telah dilekati oleh kekuatan eksekutorial.b.Putusan Tidak dijalankan secara Sukarela.Dua cara menjalankan isi putusan, yaitu :Secara sukarela.Pihak yang kalah (Tergugat) memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan. Tergugat tanpa paksaan dari pihak manapun, menjalankan pemenuhan hubungan hukum yang dijatuhkan kepadanya. Oleh karena pihak Tergugat dengan sukarela memenuhi isi putusan kepada Penggugat, berarti isi putusan telah selesai dilaksanakan maka tidak diperlukan lagi tindakan paksa kepadanya (eksekusi). Untuk menjamin pelaksanaan isi putusan secara sukarela maka hendaknya pengadilan membuat berita acara pemenuhan putusan secara sukarela dengan disaksikan dua orang saksi yang dilaksanakan ditempat putusan tersebut dipenuhi dan ditandatangani oleh jurusita pengadilan, dua orang saksi dan para pihak sendiri (Penggugat dan Tergugat). Maksudnya agar kelak ada pembuktian yang dapat dijadikan pegangan oleh Hakim.Keuntungan menjalankan amar putusan secara sukarela adalah terhindar dari pembebanan biaya eksekusi dan kerugian moral.Menjalankan putusan dengan jalan eksekusi.Terjadi bila pihak yang kalah tidak mau menjalankan amar putusan secara sukarela, sehingga diperlukan tindakan paksa yang disebut eksekusi agar pihak yang kalah dalam hal ini Tergugat mau menjalankan isi putusan pengadilan.Pengadilan dapat mengutus jurusita Pengadilan untuk melakukan eksekusi bahkan bila diperlukan dapat dimintakan bantuan kekuatan umum. Kerugian yang harus ditanggung oleh Tergugat adalah harus membayar biaya eksekusi yang untuk saat ini relatif mahal, disamping itu dia juga harus menanggung beban moral yang tidak sedikit.c.Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnator.Maksud putusan yang bersifat kondemnator adalah putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur Penghukuman, sedang putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman tidak dapat dieksekusi (Non-eksekutabel).Menurut sifatnya amar atau diktum putusan dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu :1) Putusan Condemnator, yaitu yang amar putusannya berbunyi Menghukum dan seterusnya;2) Putusan Declarator, yaitu yang amar putusannya menyatakan suatu keadaan sebagai sesuatu keadaan yang sah menurut hukum, dan3) Putusan yang Konstitutif, yaitu yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru. Putusan yang bersifat kondemnator biasanya terwujud dalam perkara yang berbentuk Contentiosa (kontentiosa) dengan ciri-ciri :a)Berupa sengketa atau perkara yang bersifat partai.b)Ada pihak Penggugat yang bertindak mengajukan gugatan terhadap pihak Tergugat, danc)Proses pemeriksaannya berlangsung secara Contradictoir, yakni pihak Penggugat dan Tergugat mempunyai hak untuk sanggah menyanggah.d.Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri.Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat (1) HIR yaitu jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu Pengadilan Negeri, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Eksekusi secara nyata dilakukan oleh Panitera atau Jurusita berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri yang dituangkan dalam bentuk surat penetapan. Tanpa surat penetapan syarat formal eksekusi belum mamadai. Perintah eksekusi menurut Pasal 197 ayat (1) HIR mesti dengan surat penetapan, tidak diperkenankan secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif. Bentuk ini sangat sesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum serta pertanggungjawabannya. Karena dengan adanya surat penetapan maka akan tampak jelas dan terinci batas-batas eksekusi yang akan dijalankan oleh Jurusita dan Panitera, disamping Hakim akan mudah melakukan pengawasan terhadap eksekusi tersebut.BAB IIIEKSEKUSI RIIL DAN EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG 9.Umum.Pada dasarnya ada dua bentuk eksekusi ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan. Adakalanya secara hubungan hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar atau diktum putusan ialah melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini disebut eksekusi riil. Adakalanya hubungan hukum yang mesti dipenuhi sesuai dengan amar putusan ialah melakukan pembayaran sejumlah uang. Eksekusi yang seperti ini selalu disebut eksekusi pembayaran uang.Namun terlepas dan klasifikasi di atas, Prof. Sudikno membagi jenis eksekusi dalam tiga kelompok:a.membayar sejumlah uang, diatur pada Pasal 196 HIR dan Pasal 208 RBG;b. melaksanakan suatu perbuatan, berdasarkan Pasal 225 HIR, Pasal 259 RBG; danc.eksekusi riil, berdasarkan Pasal 1033 RV. 10.Eksekusi Riil.Untuk memahami lebih jelas letak perbedaan antara eksekusi riil dengan eksekusi pembayaran sejumlah uang, ada baiknya kita kembali memperhatikan asas eksekusi yang berkenaan dengan prinsip kondemnator. Seperti yang sudah dijelaskan, salah satu asas eksekusi hanya dapat dijalankan atas putusan Pengadilan yang bersifat kondemnator. Mengenai ciri putusan yang bersifat kondemnator sudah dijelaskan rinciannya, yakni dalam amar putusan terdapat pernyataan penghukuman terhadap Penggugat untuk melakukan salah satu perbuatan:a.Menyerahkan suatu barang;b. Mengosongkan sebidang tanah atau rumah;c.Melakukan suatu perbuatan tertentu;d. Menghentikan suatu perbuatan atau keadaan;e.Membayar sejumlah uang.Rincian acuan diataslah yang menentukan suatu putusan bersifat kondemnator. Bila salah satu rincian acuan ini terdapat dalam amar atau diktum putusan, maka itu merupakan petunjuk hukum yang menandakan putusan tersebut bersifat kondemnator. Dan setiap putusan yang bersifat kondemnator, dengan sendirinya mempunyai kekuatan hukum eksekutorial (dapat dilaksanakan secara paksa oleh kekuatan umum).Demikian pula seharusnya mengenai penghukuman menghentikan sesuatu perbuatan, merupakan eksekusi riil berupa tindakan secara nyata menghentikan perbuatan yang dihukumkan kepada Tergugat. Penghentian perbuatan yang dihukumkan mesti dihentikan secara langsung dan nyata oleh pihak Tergugat. Misalnya Tergugat dihukum untuk menghentikan penggalian atas tanah terperkara. Berarti Tergugat secara langsung dan nyata harus berhenti melakukan penggalian di atas tanah tersebut.11.Eksekusi Pembayaran Uang.Apabila ditinjau dari segi praktek, eksekusi terhadap pembayaran sejumlah uang pada umumnya tetap melalui proses penjualan lelang terhadap harta benda kekayaan Tergugat, sehingga diperlukan tata cara yang cermat dalam pelaksanaan eksekusinya, yang garis besarnya:harus melalui tahap proses eksekutorial beslag; dankemudian dilanjutkan dengan penjualan lelang yang melibatkan jawatan lelang.Bertitik tolak dari gambaran diatas, boleh dikatakan undang-undang tidak memuat aturan yang berkenaan dengan eksekusi riil. Jika diperhatikan ketentuan menjalankan putusan yang diatur dalam Pasal 195 sampai Pasal 208 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 240 RBG, adalah aturan rincian tata tertib eksekusi mengenai pembayaran sejumlah uang. Di situ diatur tata cara, mulai dari somasi (peringatan), eksekutorial beslag, pengumuman lelang, dan penjualan lelang.Terlepas dari itu semua perlu diperingatkan di sini, sekalipun secara teoritis eksekusi riil sifatnya mudah dan sederhana, bukan berarti eksekusi riil terlepas sama sekali dari berbagai masalah. Banyak kesulitan dan hambatan yang dijumpai dalam praktek, sebagaimana halnya hambatan dan kesulitan yang diketemukan dalam eksekusi pembayaran sejumlah uang. Perbedaan yang sangat menonjol antara eksekusi riil dengan eksekusi pembayaran sejumlah uang:eksekusi riil hanya mungkin terjadi berdasar putusan Pengadilan:yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap;yang bersifat dijalankan lebih dahulu;yang berbentuk provisi; danyang berbentuk akta perdamaian di sidang pengadilan.eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan atas putusan Pengadilan, tetapi dapat juga didasarkan atas bentuk akta tertentu yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap:berupa grosse akta pengakuan hutang;berupa grosse akta hipotik; danberupa kredit verband.BAB IVPERINGATAN, PENETAPAN DAN BERITA ACARA EKSEKUSI12.Umum.Salah satu asas eksekusi yaitu eksekusi baru dapat dijalankan apabila putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ini merupakan asas pokok kecuali dalam putusan yang dapat dijalankan lebih dulu atau dalam putusan provisi. OIeh karena itu, tanpa mengabaikan pengecualian dimaksud, pada dasarya eksekusi baru dapat dijalankan apabila terhadap putusan yang bersangkutan sudah tidak mungkin lagi diajukan upaya hukum.Seorang Tergugat (pihak yang kalah) dianggap tidak mau menjalankan putusan secara sukarela terhitung sejak tanggal peringatan (aanmaning) atau warning dilampaui. Sejak dilampaui tanggal aanmaning, saat itulah difinitif berlaku upaya eksekusi. Sebelum tanggal itu lewat, tindakan eksekusi masih berada di bawah tindakan menjalankan putusan secara sukarela. Tindakan eksekusi baru boleh dimunculkan secara nyata oleh Pengadilan Negeri, terhitung mulai tanggal peringatan dilampaui.Memang benar, peringatan itu sendiri didasarkan Pengadilan Negeri atas permintaan eksekusi dari Penggugat (pihak yang menang). Namun dalam masa peringatan, eksekusi belum lagi definitif. Sebab dalam masa peringatan, masih ada kemungkinan putusan dijalankan secara sukarela oleh pihak Tergugat. Menjalankan putusan secara sukarela yang diberikan Pasal 196 HIR atau Pasal 207 RBG, baru dapat dinyatakan gugur, terhitung sejak tanggal peringatan dilampaui. Akan tetapi, sekalipun tanggal peringatan telah dilampaui, sifat gugurnya hak menjalankan putusan secara sukarela jangan diartikan secara mutlak. Selama eksekusi belum dilaksanakan, walaupun tenggang peringatan sudah dilampaui, masih tetap terbuka bagi Tergugat untuk menjalankan putusan secara sukarela. 13.Peringatan (aanmaning).Peringatan atau aanmaning (warning) merupakan salah satu syarat pokok eksekusi. Tanpa peringatan lebih dulu, eksekusi tidak boleh dijalankan. Seperti yang sudah dijelaskan, berfungsinya eksekusi secara efektif terhitung sejak tenggang waktu peringatan dilampaui. Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan Aanmaning (teguran/peringatan) setelah adanya surat permohonan yang diajukan (surat kuasa khusus yang didaftarkan) dan Pengadilan menganggap permohonan tersebut dapat diterima.Peringatan dalam kaitannya dengan menjalankan putusan (tenuitvoer legging van vonnissen) atau execution of a judgment merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan Ketua Pengdilan Negeri berupa teguran kepada Tergugat agar menjalankan isi putusan Pengadilan dalam tempo yang ditentukan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Peringatan atau teguran agar Tergugat menjalankan putusan dalam jangka waktu tertentu dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri setelah temyata Tergugat tidak mau menjalankan putusan secara sukarela. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap, kemudian isi putusan telah diberitahukan secara resmi dan patut kepada Tergugat, Tergugat tetap tidak mau menjalankan putusan secara sukarela. Keengganan itu akan menerbitkan upaya hukum berupa peringatan atau teguran kepada Tergugat agar menjalankan putusan dalam jangka yang ditentukan Ketua Pengadilan Negeri. Mengenai tenggang waktu peringatan, Pasal 196 HIR atau Pasal 207 RBG menentukan batas maksimum yaitu delapan (8) hari. Maksud memberikan batas masa peringatan, dapat digambarkan sebagai berikut :a.Dalam batas waktu yang diberikan diharapkan, Tergugat dapat menjalankan putusan secara sukarela.b.Apabila tidak terlaksana, maka sejak itu putusan sudah dapat dieksekusi dengan paksa. Isi peringatan harus sesuai dengan seluruh bunyi amar putusan yang bersifat penghukuman. Peringatan tidak perlu dilakukan dalam sidang terbuka, karena tidak merupakan pemeriksaan terhadap sengketa lagi dan persoalannya tinggal mengenai pelaksanaan putusan tentang sengketa itu. Setiap peringatan dilakukan dengan membuat berita acara, maksudnya agar memenuhi syarat yuridis (sebagai alat bukti bahwa peringatan telah dilakukan).Berapa orang dan siapa-siapa yang akan diingatkan dapat diketahui dari surat permohonan yang dalam amar putusan juga dikutip atau dikurangi, akan tetapi tidak selalu semua yang dihukum sama orangnya dengan pihak-pihak dalam permohonan. Tereksekusilah sebagai pihak yang sebenarnya bertanggungjawab untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan putusan dan ia pula yang memikul tanggung jawab terhadap orang lain yang ada hubungan dengannya sebagai pihak.Pemanggilan harus memenuhi syarat syah yang ditentukan oleh Undang-undang yaitu minimal 3 hari kerja, dan disampaikan kepada yang berhak atau Kepala Desa/Lurah setempat bila yang bersangkutan tidak ada. Pemanggilan yang tidak berhasil dapat diulangi sampai dua kali atau langsung dilanjutkan proses eksekusinya.14.Penetapan.Sebagai lanjutan proses peringatn adalah pengeluaran surat penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri; berisi perintah menjalankan eksekusi; dan perintah ditujukan kepada Panitera atau Juru Sita. Surat penetapan yang berisi perintah menjalankan eksekusi memang bisa juga dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri tanpa melalui tenggang masa peringatan, dalam keadaan Tergugat (pihak yang kalah) tidak memenuhi panggilan peringatan tanpa alasan yang sah. Surat penetapan perintah eksekusi dapat langsung dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri. Akan tetapi secara normal, dalam arti apabila panggilan peringatan dipenuhi namun putusan tidak dijalankan selama masa peringatan, barulah Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah kepada Panitera atau Juru Sita untuk menjalankan eksekusi sesuai dengan amar putusan. Demikian ketentuan yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) HIR atau Pasal 208 ayat (1) RBG. Jika ketentuan ini dikaitkan dengan Pasal 195 ayat (1) HIR atau Pasal 206 ayat (1) RBG, fungsi menjalankan eksekusi secara nyata dan fisik dilakukan oleh Panitera atau Juru Sita. Sedangkan fungsi Ketua Pengadilan Negeri adalah memerintahkan eksekusi dan memimpin jalannya eksekusi.Pembagian fungsi eksekusi tersebut, tidak mengakibatkan lepasnya tanggung jawab Ketua Pengadilan Negeri. Walaupun eksekusi secara fisik dan nyata dilakukan oleh Panitera atau Juru Sita, fungsi itu hanya rnerupakan limpahan. Sedangkan yang memimpin jalannya eksekusi tetap berada di tangan Ketua Pengadilan Negeri. Tidak ada alasan bagi Ketua Pengadilan Negeri untuk melemparkan tanggung jawab eksekusi kepada Panitera atau Juru Sita. BiIa tenjadi penyimpangan dalam pelaksanaan, hal itu tidak terlepas dari tanggung jawab Ketua Pengadilan Negeri. Bentuk perintah menjalankan eksekusi melalui surat penetapan Ketua Pengadilan Negeri bersifat imperatif. Ketua Pengadilan Negeri tidak diperbolehkan mengeluarkan perintah eksekusi berbentuk lisan. Bentuk perintah menjalankan eksekusi secara lisan tidak sah. Anggapan yang demikian ditarik dari ketentuan Pasal 197 ayat (1) HIR atau Pasal 208 ayat 1 RBG yang tidak memberi alternatif bentuk perintah secara lisan. Surat perintah ini disebut penetapan perintah eksekusi. Surat penetapan menjamin autentikasi perintah menjalankan eksekusi, baik terhadap diri panitera atau juru sita yang mendapat perintah maupun terhadap pihak yang kalah (Tergugat, Tereksekusi). Tanpa surat penetapan, pihak yang kalah dapat menolak eksekusi yang dilakukan Panitera atau Juru Sita. Bahkan tindakan itu dianggap tindakan liar.Di samping berisi perintah menjalankan eksekusi, surat penetapan itu berisi penunjukan nama pejabat yang diperintahkan. Jika yang ditunjuk Panitera, harus disebut jabatan dan namanya dalam surat penetapan. Demikian juga, jika yang ditunjuk menjalankan eksekusi Juru Sita, harus disebut jabatan dan namanya dalam surat penetapan.15.Berita Acara Eksekusi.Banyak sekali terjadi ketidakpastian eksekusi, baik karena tidak dibuat berita acara maupun karena tata caranya tidak seksama menerangkan peristiwa yang sebenarnya pada saat pelaksanaan eksekusi. Terkadang tidak dijelaskan secara tegas apakah yang dieksekusi seluruh atau sebagian barang. Sering pula tidak disebut luas atau batas-batas tanah yang dieksekusi. Akibatnya bisa menimbulkan persoalan. Penggugat menuntut lagi penyempurnaan eksekusi, karena yang diserahkan baru sebagian. Sering pula terjadi, berita acara tidak menerangkan secara terinci identitas tanah. Maka beberapa saat sesudah eksekusi dijalankan, pihak Tergugat ribut dengan alasan teradi kekeliruan eksekusi, karena yang dieksekusi lain daripada apa yang diperkarakan. Masih banyak lagi kelemahan yang dijumpai dalam berita acara eksekusi, seperti kekurangtelitian pencantuman luas tanah yang dieksekusi, kekurangcocokan barang yang dieksekusi dengan isi putusan Pengadilan, dan sebagainya. Padahal satu-satunya rujukan autentik tentang benar atau tidaknya maupun sempurna atau tidaknya hanya berdasarkan acara eksekusi. Ketidakcermatan pembuatan berita acara eksekusi selalu menimbulkan selisih pendapat di belakang hari.Dalam Pasal 197 ayat (5) HIR atau Pasal 209 ayat (4) RBG, diperintahkan secara tegas pejabat yang menjalankan eksekusi membuat berita acara eksekusi. Oleh karena itu tanpa berita acara, eksekusi dianggap tidak sah. Keabsahan formal eksekusi hanya dapat dibuktikan dengan berita acara:a.Pencantuman Saksi dalam Berita Acara (Process Verbaal, Official Report).Tidak hanya peristiwa menjalankan eksekusi yang mesti tercatat dalan berita acara. Saksi yang membantu eksekusi pun harus tercantum dalan berita acara. Hal ini ditegaskan pada Pasal 197 ayat (6) HIR atau Pasal 210 RBG, yang mensyaratkan:pejabat yang menjalankan eksekusi mesti dibantu oleh dua orang; dan kedudukan kedua orang pembantu pejabat yang menjalankan eksekusi sekaligus menjadi saksi eksekusi.Kedua nama orang pembantu yang sekaligus menjadi saksi eksekusi mesti dicantumkan dengan jelas dalam berita acara. Nama, pekerjaan, dan tempat tinggal mereka harus dijelaskan. Eksekusi yang tidak dibantu dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang dianggap tidak sah, karena belum memenuhi syarat formal cara menjalankan eksekusi yang digariskan Pasal 197 ayat (6) HIR atau Pasal 210 RBG.Siapa saja yang boleh menjadi pembantu atau saksi eksekusi ditentukan dalam Pasal 197 ayat (7) HIR atau Pasal 210 RBG. Menurut pasal ini, yang ditunjuk menjadi saksi:penduduk Indonesia;berumur 21 tahun; danorang yang dapat dipercaya.b. Penandatanganan Berita Acara.Penanandatanganan merupakan syarat formal keabsahan berita acara. Berita acara sebagai produk yang bernilai autentik harus ditandatangani. Tanpa ditandatangani, benita acara tidak mempunyai nilai autentik. Ketentuan syarat formil penandatanganan berita acara eksekusi, diatur dalam Pasal 197 ayat (6) HIR atau Pasal 210 ayat (1) RBG. Dalam pasal inilah ditentukan siapa saja yang mesti bertanda tangan dalam berita acara eksekusi, yakni :pejabat pelaksana eksekusi (Panitera atau Juru Sita); dankedua orang saksi yang ikut membantu jalannya eksekusi.BAB VPENJUALAN LELANG (LELANG EKSEKUSI)16.Umum.Pada masa lalu, masalah penjualan lelang di lingkungan peradilan agak jarang dijumpai, sehingga menyebabkan perhatian dan pengkajian aturan tata caranya kurang didalami. Akan tetapi pada masa belakangan ini peristiwa penjualan lelang hampir tak dapat dipisahkan dari kesibukan pelayanan peradilan, sesuai dengan semakin berkembangnya pertumbuhan lalu lintas kegiatan perekonomian. Kehidupan masyarakat sudah dimasuki semangat kegairahan berusaha, sehingga lembaga perjanjian hutang-piutang dan perkreditan sudah lumrah terjadi. Bentuk-bentuk perjanjian grosse akta hipotik maupun pernyataan hutang semakin luas. Semua ini merupakan faktor penyebab semakin seringnya terjadi penjualan lelang, apabila pihak debitur lalai atau tak mampu menyelesaikan pembayaran sesuai dengan apa yang diperjanjikan.Dalam melaksanakan fungsi dan wewenangnya, juru lelang dapat melimpahkannya kepada seorang kuasa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 Peraturan Lelang, yang memberi hak kepada juru lelang untuk menunjuk kuasa melaksanakan penjualan lelang. Penjualan lelang yang dilakukan kuasa dianggap tetap sebagai penjualan yang dilakukan atas nama juru lelang, sehingga penjualan yang dilakukan kuasa tadi dianggap dilakukan oleh juru lelang sendiri.Mengenai siapa yang dapat ditunjuk sebagai kuasa juru lelang, peraturan itu sendiri tidak menentukan. Biasanya, kalau undang-undang atau peraturan tidak menentukan siapa yang dianggap sebagai kuasa, berarti memberi kebebasan bagi juru lelang untuk menunjuk kuasa yang dikehendakinya. Tentu dalam mempergunakan kebebasan menunjuk kuasa juru lelang berpegang pada beberapa persyaratan, agar orang yang ditunjuk tidak menyalahgunakan fungsinya. Syaratnya antara lain, kuasa yang ditunjuk memiliki sifat cakap, jujur, dan dapat dipercaya.17.Penjualan Secara Lelang (Lelang Eksekusi).Kelanjutan Sita Eksekusi adalah penjualan lelang (executoriale verkoop, sale under execution, foreclosure sale). Hal itu ditegaskan Pasal 200 ayat (1) HIR. Pasal 216 ayat (1) RBG yang berbunyi: PenjuaIan barang yang disita dilakukan dengan bantuan kantor Ielang, atau menurut keadaan yang akan dipertimbangkan Ketua, oleh orang yang melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, yang ditunjuk oleh Ketua untuk itu dan berdiam di tempat di mana penjualan itu harus dilakukan atau di dekat tempat itu. Jadi seteIah sita eksekusi dilaksanakan, undang-undang memerintahkan penjualan barang sitaan. Cara penjualannya dengan perantaraan Kantor Lelang, dan penjuaIannya disebut Penjualan Lelang (executoriale verkoop atau foreclosure sale).Dengan demikian, berdasarkan Pasal 200 ayat (1) HIR, dalam pelaksanaan lelang, Ketua Pengadilan Negeri wajib meminta intervensi Kantor Lelang, dalam bentuk bantuan menjalankan penjualan barang sitaan dimaksud. Sehubungan dengan itu, untuk memahami penjualan lelang tersebut, perlu dibicarakan berbagai aspek yang berkaitan dengannya, yaitu:Pengertian Lelang.Agar tidak terjadi kerancuan dan campur aduk antara penjualan lelang dengan eksekusi, perlu diperhatikan pengertian lelang. Bertitik tolak dari Pasal 1 Peraturan Lelang LN 1908 No. 189 jo. LN 1940 No. 56, pengertian lelang adalah penjualan barang di muka umum atau penjualan barang yang terbuka untuk umum. Pengertian tersebut diperjelas kemudian oleh Pasal 1 angka 1 Kep. Menkeu No. 304/KMK 01/2002, sebagaimana diubah dengan Kep. Menkeu No. 450/KMK 01/2002, yang berbunyi: Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum baik secara langsung maupun melalui media elektronis dengan cara penawaran harga secara lisan dan/atau tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan peminat.Demikian pengertian umum lelang, yakni penjualan barang yang terbuka untuk umum dan biasa disebut penjualan umum yang bisa dilakukan secara langsung maupun melalui media elektronis, dengan penawaran harga secara Iisan atau tertulis.b.Klasifikasi lelang.Pasal 1 angka 2 dan 3 Kep. Menkeu No. 304/KMK 01/2002, sebagaimana diubah dengan Kep. Menkeu No. 450/KMK 01/2002 mengklasifikasi lelang menjadi:1)Lelang Eksekusi.Jenis lelang ini merupakan penjualan umum untuk melaksanakan atau mengeksekusi putusan atau penetapan Pengadilan atau dokumen yang dipersamakan dengan putusan Pengadilan, seperti Hipotek, Hak Tanggungan (HT), atau Jaminan Fidusia (JF).Jenis atau bentuk lelang inilah yang dimaksud Pasal 200 ayat (1) HIR/ Pasal 215 RBG: penjualan di muka umum barang milik tergugat (tereksekusi) yang disita Pengadilan Negeri, penjualan dilakukan Pengadilan Negeri melalui perantaraan Kantor Lelang.Jadi, khusus lelang barang sitaan berdasarkan putusan Pengadilan, disebut lelang eksekusi. Termasuk juga ke dalamnya dokumen yang disamakan dengan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, seperti sertifikat Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia. Pokoknya, setiap penjualan umum yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri, disebut lelang eksekusi.Syarat pokok yang melekat pada lelang eksekusi berdasarkan Pasal 21 ayat (1) HIR/RBG, eksekusi didahului dengan sita eksekusi (executoriale beslag, executory seizure). Dengan demikian, penjualan itu dilakukan terhadap barang Tergugat yang telah diletakkan di bawah penyitaan (executoriale beslag, leggen op, to take seizure). 2)Lelang Noneksekusi.Jenis lelang ini merupakan penjualan umum di luar pelaksanaan putusan penetapan Pengadilan yang terdiri dari: a)lelang barang milik/dikuasai negara; danb)lelang sukarela atas barang milik swasta.BAB VIEKSEKUSI JAMINAN KREDIT18.Umum.Dalam transaksi perkreditan atau peminjaman uang, terdapat dua jenis perikatan ditinjau dari segi pemenuhan pembayaran kembali uang yang dipinjam, yaitu :a.Transaksi kredit tanpa jaminan atau unsecured transaction: 1)tidak ada jaminan (not guaranteed) atau tidak ada perlindungan (not protected) atas pemenuhan pembayaran kembali utang;2)dalam hal ini, pelunasan pembayaran kembali utang, tidak dijamin dengan sesuatu barang yang mempunyai nilai atau harga yang sama atau melebihi jumlah pinjaman;3)itu sebabnya, ditinjau dan berbagai aspek, transaksi tersebut dapat dikategori:-dari aspek bisnis, transaksi seperti ini disebut utang tanpa jaminan (unsecured debt);-dari aspek yuridis, dikategori tuntutan tanpa jaminan (unsecured claim), dan kreditornya dikategori kreditor tanpa jaminan (unsecured creditor).b.Kedua, transaksi kredit yang dilindungi jaminan atau secured transaction:1)terhadap utang atau pinjaman, debitur memberi barang jaminan sebagai perlindungan pemenuhan pembayaran kepada kreditor;2)apabila debitur ingkar atau lalai memenuhi pembayaran utang sebagaimana mestinya sesuai dengan perjanjian, pemenuhan dapat dipaksa (imposed) dengan jalan eksekusi barang jaminan melalui penjualan lelang oleh kreditor atau melalui Pengadilan:-dari segi bisnis; dikategori transaksi utang dilindungi jaminan (secured debt), dan kreditor berada dalam posisi terjamin (secured creditor);-dari segi hukum; tuntutan pemenuhan pembayaran utang dilindungi barang jaminan, sehingga dikatagori secured claim dengan jalan menjual atau mengeksekusi barang jaminan melalui pengadilan.Bertitik tolak dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlakupada saat sekarang, terdapat beberapa bentuk perjanjian kredit yang dilindungi dengan jaminan yang memiliki hak preferensi dan separatis, yaitu antara lain:Hak Tanggungan (HT) berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996; Jaminan Fidusia (JF) berdasarkan UU No. 42 Tahun 1999; danHak Gadai (Pandrecht) berdasarkan Pasal 1150 - 1161 KUHPerdata. 19.Eksekusi Hak Tanggungan.Pasal 1 butir (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan suatu perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut, dan pemberian Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT (Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 4Tahun 1996).Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan sebagai bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pendaftaran Tanah menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" (Pasal 13 ayat (I), Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan apabila debitur cidera janji maka berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan tersebut, pemegang hak tanggungan mohon eksekusi sertifikat hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang. Kemudian eksekusi akan dilakukan seperti eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan, jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) Undang-undang No.4 Tahun 1996).Pelaksanaan penjualan dibawah tangan tersebut hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pembeli dan/ atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/ atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan (Pasal 20 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT, dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:a.tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan Hak Tanggungan;b.tidak memuat kuasa substitusi;c.mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan;Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap. Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan tanah yang dibebani dengan Hak tanggungan. Setelah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dibebani Hak tanggungan dan uang hasil lelang diserahkan kepada Kreditur, maka hak tanggungan yang membebani tanah tersebut akan diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dan semua beban, kepada pembeli lelang. Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 200 ayat (11) HIR.Hal ini berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) BW, dan Pasal 11 ayat (2) e UU No. 4 Tahun 1996 yang juga dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hak tanggungan pertama, Janji ini hanya berlaku untuk pemegang Hak tanggungan pertama saja. Apabila pemegang hak tanggungan pertama telah membuat janji untuk tidak dibersihkan (Pasal 1210 BW dan pasal 11 ayat (2) j UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan), maka apabila ada Hak tanggungan lain-lainnya dan hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua Hak tanggungan yang membebani tanah yang bersangkutan, maka hak tanggungan yang tidak terbayar itu, akan tetap membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh pembeli dan pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan beban-beban hak tanggungan yang belum terbayar. Terlelang tetap harus meninggalkan tanah tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa.Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Agama, maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara, adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari Kantor Lelang Negara. Penjualan (lelang) benda tetap harus di umumkan dua kali dengan berselang lima belas hari di harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan obyek yang akan dilelang (Pasal 200 ayat (7) HIR, Pasal 217 RBg).20.Eksekusi Jaminan Fidusia.Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, butir 1, yang dimaksud dengan Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.Jaminan Fidusia adalah hal jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.Benda obyek jaminan fidusia tidak dapat dibebani Hak Tanggungan atau Hipotek. Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan alas notaris dalam bahasa Indonesia yang sekurang-kurangnya memuat :a. identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;b. data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;c. uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;d. nilai penjaminan; dane. nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.Jaminan fidusia harus didaftarkan oleh penerima fidusia atau kuasanya kepada Kantor Pendaftaran Fidusia selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima fidusia Sertifikat Jaminan Fidusia yang mencantumkan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".Apabila terjadi perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia Penerima Fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan Pernyataan Perubahan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Sertifikat Jaminan Fidusia. Pemberi Fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar.Jaminan fidusia dapat dialihkan kepada kreditor baru, dan pengalihan tersebut harus didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.Apabila debitur atau pemberi fidusia cedera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara:a. Pengalihan hak atas piutang juga dijamin dengan fidusia yang mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada Kreditur baru.b. Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak (Iihat Pasal 29 UU No. 40 Tahun 1999).Prosedur dan tatacara eksekusi selanjutnya dilakukan seperti dalam eksekusi hak tanggungan.21.Eksekusi Gadai.Berikut ini beberapa ketentuan yang berkenaan dengan eksekusi gadai:a.Gadai termasuk jaminan yang memiliki hak didahulukan (Droit de Preference). Berdasarkan Pasal 1133 KUHPerdata, gadai sama dengan hipotek yang dilindungi dengan hak preferen atau hak didahulukan. Dengan demikian, Pemegang Gadai mempunyai hak mengambil pelunasan utang dan barang gadai dengan cara mengesampingkan kreditor lain. Bertitik tolak dan hak tersebut, Pasal 1134 KUHPerdata menempatkan Pemegang Gadai sebagai kreditor yang lebih tinggi tingkatnya dan kreditor konkuren. Kreditor yang tidak memiliki hak preferen menurut Pasal 1136 KUHPerdata digolongkan sebagai kreditor konkuren (concurente schuldeiser). Pemenuhan utang pada mereka, dibayar menurut keseimbangan atau berdasarkan prinsip proporsional (proportional basis).b.Benda objek gadai diletakkan di bawah kekuasaan pemegang gadai (Kreditor).Salah satu prinsip pokok gadai, diatur dalam Pasal 1152 KUHPerdata: - objeknya barang bergerak dan piutang;barang gadai mesti berpindah tangan di bawah kekuasaan kreditor (pemegang gadai);cara meletakkan hak gadai atas surat tunjuk (aan order) diatur dalam Pasal 1152 bis KUHPerdata, yang di lakukan dengan endosemen; BAB VIIEKSEKUSI TERLEBIH DAHULU22.Umum.Masalah eksekusi terlebih dahulu yang lazim juga disebut putusan serta-merta (uitvoerbaar bu vooraad, provisionally enforceable) telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung beberapa penerapan, termasuk putusan provisi (provisioneel vonnis, interim judgment) yang berupa instruksi dan surat edaran sejak 1958 (Instruksi MA tanggal 13 Februari No. 248K15216/M) sampai dengan Surat Edaran No. 63/197 1 tanggal 17 Mei 1971. Antara 1958 sampai keluarnya SEMA No. 03/1971 telah dikeluarkan berbagai SEMA, seperti SEMA No. 13 Tahun 1964 tertanggal 10 Juli 1964 dan SEMA No. 5 Tahun 1969 tertanggal 2 Juni 1969. Tujuan utama dari instruksi serta berbagai surat edaran tersebut antara lain: a.memberi peringatan kepada semua hakim, terutama hakim pada tingkat peradilan pertama dan tingkat banding, agar sangat berhati-hati dan cermat menjatuhkan putusan eksekusi terlebih dahulu;b.memberi kewenangan kepada Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung untuk mencampuri putusan eksekusi terlebih dahulu, berupa kewenangan untuk memerintahkan penundaan eksekusi terlebih dahulu yang dijatuhkan Pengadilan Negeri; danc.oleh karena itu, sebagai tindakan pengawasan dan koreksi, sebelum Pengadilan Negeri hendak menjalankan putusan eksekusi terlebih dahulu, harus minta izin persetujuan lebih dahulu dari Ketua Pengadilan Tinggi atau dari Mahkamah Agung, dengan cara menyampaikan salinan putusan yang bersangkutan sebagai bahan telaah bagi Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. 23.Eksekusi Terlebih Dahulu Sangat Eksepsional.Seperti yang sudah berkali-kali dijelaskan, salah satu asas eksekusi yaitu eksekusi dapat dijalankan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam arti, terhadap putusan yang bersangkutan sudah tertutup upaya banding dan kasasi. Inilah salah satu asas umum yang menjadi patokan eksekusi. Selama terhadap Pengadilan masih terbuka upaya banding dan kasasi, eksekusi terhadap putusan belum boleh dijalankan. Namun terhadap ketentuan dan asas umum selalu ada pengecualian (eksepsional). Antara lain ialah eksekusi terlebih dahulu atau yang lazim disebut putusan serta-merta. Terhadap putusan eksekusi terlebih dahulu, putusan yang bersangkutan sudah dapat dijalankan eksekusinya walaupun pihak Tergugat masih mengajukan banding atau kasasi. Dengan kata lain, putusan eksekusi terlebih dahulu boleh dijalankan eksekusinya, sekalipun putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemeriksaan tingkat banding atau kasasi tidak menghalangi eksekusi putusan eksekusi terlebih dahulu.Karakter yang memperbolehkan putusan eksekusi terlebih dahulu dapat dijalankan sekalipun putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, menjadi ciri sifat eksepsional yang melekat pada lembaga putusan semacam ini. Oleh karena pada putusan eksekusi terlebih dahulu melekat sifat eksepsional maka penerapannya pun dibarengi dengan beberapa syarat yang ketat. Syarat-syarat dimaksud merupakan pembatasan (restriksi) kebolehan menjatuhkan putusan eksekusi terlebih dahulu. Pelanggaran atas pembatasan tersebut dapat dianggap pelanggaran hukum sebagai tindakan yang melampaui batas yang dapat dikualifikasi sebagai tindakan yang tidak profesional.24. Didukung Bukti Yang Sempurna, Mengikat dan Menentukan.Syarat utama kebolehan menjatuhkan putusan eksekusi terlebih dahulu, termasuk putusan provisi harus didukung oleh alat bukti yang memiliki niIai kekuatan pembuktian (bewijskracht):yang cukup sempuma (volledig bewijskracht); yang bernilai kekuatan mengikat (bindende bewijskracht); dan yang bernilai kekuatan pembuktian yang menentukan (beslissende bewijskracht).Apabila dan hasil pemeriksaan, gugatan penggugat benar-benar didukung oleh alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna mengikat, dan menentukan, baru diperkenankan menjatuhkan putusan eksekusi terlebih dahulu. Tanpa dukungan ketiga unsur kekuatan pembuktian dimaksud, tidak dibenarkan menjatuhkan putusan eksekusi terlebih dahulu maupun putusan provisi. Kalau nilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang diketemukan Hakim dalam persidangan tidak lengkap dan utuh, tidak boleh dijatuhkan putusan eksekusi terlebih dahulu. Sehingga, sejak semula putusan yang dijatuhkan, tidak ada kemungkinan untuk dibatalkan pada tingkat banding dan kasasi. Cara penerapan seperti itulah yang dikehendaki Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBG yang berbunyi: Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya keputusan djalankan terlebih dahulu biarpun ada perlawanan atau banding, jika ada surat yang sah, suatu surat tulisan yang menurut aturan yang berlaku dapat diterima sebagai bukti, atau jika ada hukuman lebih dahulu dengan putusan yang sudah memperoleh kekuatan tetap.25.Pemulihan Kembali Eksekusi Terlebih Dahulu.Sering terjadi kekacauan pemulihan eksekusi terlebih dahulu, yang mengakibakan pemulihan terkatung katung sampai bertahun-tahun. Hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan penafsiran. Pada hakikatnya eksekusi yang berdasarkan putusan eksekusi terlebih dahulu, bukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena landasan eksekusinya bukan berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap: eksekusi yang dijalankan belum pasti (belum definitif). Eksekusinya masih bersifat sementara, dan dipulihkan pada setiap saat apabila putusan semula dibatalkan oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi. Sehingga terjalin kesatuan yang tidak terpisah antara eksekusi terlebih dahulu dengan pemulihan kembali kepada keadaan semula apabila terjadi pembatalan terhadap putusan eksekusi terlebih dahulu. Pemulihan kembali kepada keadaan semula (restoration to the original condition) merupakan satu rangkaian proses dengan eksekusi terlebih dahulu, sehingga pemulihannya kepada keadaan semula mesti langsung dan segera terhitung sejak putusan pembatalan memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemulihan kepada keadaan semula langsung dan segera dengan tidak memerlukan gugatan dari pihak Tergugat, tidak ubahnya seperti menjalankan eksekusi terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap:dapat dipulihkan secara sukarela oleh pihak penggugat; atau dapat dieksekusi dengan paksa, dan jika perlu dengan bantuan kekuatan umum apabila Penggugat tidak mau memenuhi pemulihan secara sukarela. Begitu cara penerapan pemulihan keadaan semula dalam kasus eksekusi terlebih dahulu. Tidak diperlukan proses yang berbelit, kecuali barang yang menjadi objek perkara sudah sempat berpindah tangan kepada pihak ketiga dengan alas hak yang sah. Sekiranya barang objek sengketa sudah berpindah ke tangan pihak ketiga dengan alas hak yang sah, seperti melalui jual beli, hibah dan sebagainya, dan pihak tergugat tetap menghendaki pemulihan barang secara fisik atau innatura, baru diperlukan pemulihan melalui proses gugatan. Dan segi keadilan, kepatutan dan perikemanusiaan, kepentingan Tergugat yang harus dilindungi. Dengan kata lain, apabila Penggugat menjual objek perkara yang dikuasainya berdasarkan putusan eksekusi terlebih dahulu, dan Tergugat tetap menuntut pemulihan secara fisik, maka:sepanjang barangnya masih utuh, harus dikabulkan permintaan tersebut dalam keadaan fisik;kepentingan Tergugat (pemilik semula) ditempatkan lebih kuat daripada kepentingan dan kedudukan pembeli; dan masalah kerugian yang dialami pembeli, adalah urusan selanjutnya antara penjual dengan pembeli. BAB VIIIEKSEKUSI SERENTAK BEBERAPA PUTUSAN26.Umum.Yang dimaksud dengan eksekusi serentak beberapa putusan ialah permintaan eksekusi yang diajukan oleh beberapa orang kreditor terhadap seorang debitur pada waktu yang bersamaan dan masing-masing permintaan eksekusi didasarkan atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap atau berdasarkan akta yang disamakan nilainya sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Permintaan eksekusi serentak beberapa putusan pada waktu bersamaan oleh beberapa orang kepada diri seseorang adalah eksekusi atas pembayaran sejumlah uang. Dengan kata lain, eksekusi yang diajukan beberapa orang pada waktu yang bersamaan kepada diri seseorang hanya rnerupkan permasalahan hukum yang timbul pada bentuk eksekusi penjualan lelang. Eksekusi yang seperti ini dalam bentuk eksekusi riil boleh dikatakan tidak relevan. Secara teoritis, eksekusi riil tidak mungkin dimintakan oleh beberapa orang pada waktu yang bersamaan terhadap harta dan diri seseorang tertentu. Sekiranya pun ada beberapa permintaan eksekusi riil berdasarkan beberapa putusan terhadap diri seorang Tergugat pada waktu yang bersamaan, pada hakikatnya masing-masing eksekusi dapat dilaksanakan berdiri sendiri secara terpisah terhadap barang yang disengketakan pada rnasing-masing perkara. Supaya jelas ambil contoh. A mengajukan gugatan sengketa milik kepada X mengenai sebidang tanah dan rumah yang terletak di JIn. Thamrin No. 20. Selain itu, B telah menggugat X atas sebidang tanah yang terletak di Jln. Pasar Minggu No. 40. Di samping itu, C menggugat X pula atas tanah yang terletak di Jln. Ragunan No. 10. Misalkan dalam ketiga perkara tersebut dikalahkan, dan X dihukum untuk menyerahkan dan mengosongkannya. Kebetulan setelah ketiga perkara itu memperoleh kekuatan hukum tetap, bersamaan waktunya diajukan permohonan eksekusi. Pada contoh tersebut eksekusi riil pengosongan dapat dijalankan serentak secara terpisah dan berdiri sendiri. Sekalipun permintaan eksekusinya diajuka A, B, dan C pada waktu yang bersamaan, pelaksanaan pengosongannya dapat dijalankan waktu yang berbeda, karena antara permohon eksekusi yang satu dengan yang lain saling tidak mempunyai kepentingan. Pengosongan yang dijalankan atas tanah dan rumah Jln. Thamnin No. 20 untuk diserahkan kepada penggugat sama sekali tidak mengganggu kepentingan B dan C, dan demikian pula sebaliknya.Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan eksekusi atas pembayaran sejumlah uang. Apabila pada saat yang sama ada beberapa orang kreditor berhadapan dengan seorang debitur, dan masing-masing kreditor telah memiliki putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, eksekusi penjualan lelang yang dijalankan atas permintaan seorang kreditor mempunyai kaitan kepentingan terhadap kreditor yang lain. Kemungkinan besar eksekusi itu merugikan kepentingan kreditor yang lain, karena dengan eksekusi itu harta debitur habis terjual lelang hanya untuk membayar utang kepada seorang kreditor sehingga kreditor yang lain sama sekali tidak mungkin lagi mendapat bayaran. Misalnya, X berutang kepada A, B, dan C secara terpisah dan berdiri sendiri. Ternyata X tidak melunasi utangnya kepada masing-masing kreditor. Dan masing-masing kreditor A, B, dan C rnenggugat X sesuai dengan kepentingan masing-masing. Misalkan ketiga perkara itu pada waktu yang bersamaan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sekiranya utang X kepada A berjumlah Rp. 100.000.000,00 dan jumlah harta kekayaan X hanya bernilai cukup untuk menutup pembayaran utang kepada A, maka jika eksekusi dijalankan tersendiri untuk kepentingan A saja, sudah barang tentu kepentingan kreditor B dan C sangat dirugikan. B dan C tidak mungkin lagi mendapat pembayaran dari X. Untuk rnenghindari kerugian yang seperti itulah Pasal 201dan Pasal 202 HIR atau Pasal 219 dan Pasal 220 RBG mengatur ketentuan dengan cara menempatkan semua kreditor dalam satu paket eksekusi, agar dapat diatur cara pembagian hasil penjualan lelangnya kepada kreditor secara berimbang (fond-fond gewijs) sesuai dengan besar kecilnya tagihan masing-masing kreditor. Undang-undang tidak menghendaki ada kreditor yang dirugikan apabila eksekusi berhadapan dengan beberapa kreditor pada waktu yang bersamaan. Sedapat mungkin masing-masing kreditor harus mendapat pembagian pembayaran yang berimbang, agar kepatutan dan keadilan dapat ditegakkan secara pari passu atau pro rata. Kalau diperhatikan ketentuan Pasal 201 dan Pasal 202 HIR atau Pasal 219 dan Pasal 220 RBG, ada dua cara eksekusi yang mungkin diterapkan berhadapan dengan beberapa orang kreditor pada waktu yang bersamaan. Cara yang pentama, sita eksekusi dan penjualan lelangnya disatukan serentak bersamaan untuk dan atas kepentingan semua kreditor (pemohon eksekusi). Cara yang kedua, rnelanjutkan sita eksekusi guna memenuhi kepentingan kreditor yang belakangan mengajukan eksekusi, dengan jalan menggabungkan semua hasil penjualan lelang sebagai satu kesatuan yang akan dibagikan secara berimbang kepada semua kreditor. Tata cara eksekusi beberapa orang kreditor pada waktu yang bersamaan baru dapat diterapkan apabila terpenuhi unsur di bawah ini:a.pihak debitur (Tereksekusi) terdiri dan satu orang; b.pihak kreditor (Pemohon eksekusi) terdiri lebih dari satu orang; c.masing-masing kreditor telah memiliki putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap; dand. permohonan eksekusi dan para krditor masing-masing diajukan waktu yang bersamaan atau pada saat salah satu permintaan telah pada proses penjualan lelang, datang lagi susulan permintaan dan kreditor yang lain. 27.Sita dan Penjualan Serentak atas Beberapa Eksekusi.Seperti telah disinggung di atas, salah satu cara menyelesaikan permohonan beberapa eksekusi yang diajukan beberapa pemohon eksekusi pada saat bersamaan dan terhadap tereksekusi yang sama ialah dengan cara menjadikan sita eksekusi dan penjualan lelangnya menjadi satu paket bagi kepentingan semua kreditor (para pemohon eksekusi). Semua permohonan eksekusi berdiri sendiri tadi digabung menjadi satu paket atas nama dan kepentingan semua pemohon eksekusi. Acuan penerapan paket eksekusi seperti ini harus memenuhi unsur-unsur:eksekusi diajukan oleh beberapa orang (lebih dan seorang) kreditor;masing-masing permohonan eksekusi didasarkan atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukurn tetap atau yang disamakan nilainya dengan itu, seperti grosse akta pengakuan utang dan putusan perdamaian;tereksekusi (debitur) terdiri dari seorang; danpermohonan eksekusi diajukan semua kreditor pada waktu yang bersamaan. Jika semua unsur di atas terpenuhi, sepenuhnya berlaku ketentuan Pasal 201 HIR atau Pasal 219 RBG. Misalnya, X berutang kepada A sebesar Rp. 50.000.000,00 dan A telah memiliki putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Di samping itu, X berutang lagi kepada B sebesar Rp. 100.000.000,00 dan B telah memiliki putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang menghukum X untuk melunasinya. Selain dan itu, X juga berutang pada C berdasarkan grosse akta pengakuan utang sebesar Rp. 50.000.000,00. Secara kebetulan permohonan eksekusi atas putusan dan grosse akta tadi diajukan pada waktu yang bersamaan. Pada contoh ini, telah terpenuhi semua unsur Pasal 201 HIR atau Pasal 219 RBG. Oleh karena itu, sita eksekusi dan penjualan lelangnya mesti dilakukan serentak atas nama dan untuk kepentingan semua kreditor. Sita eksekusi dan penjualan lelangnya tidak boleh dipecah secara sebagian-sebagian, untuk dan atas nama masing-masing kreditor. BAB IXEKSEKUSI PUTUSAN DAMAI28.Umum.Pada pembahasan asas-asas eksekusi sudah dijelaskan, bahwa pada prinsipnya yang dapat dieksekusi ialah putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun, undang-undang sendiri mengatur penyimpangan atas asas tersebut. Ada yang dapat dieksekusi walaupun walaupun bukan putusan pengadilan dalam arti yang murni. Salah satu bentuk pengecualian yang diatur dalam undang-undang ialah eksekusi putusan perdamaian. Sekalipun putusan perdamaian bukan murni putusan pengadilan, karena dalam putusan tersebut bukan hakim yang berperan memutus sengketa, putusan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan dapat dimintakan eksekusi oleh para pihak yang tercantum putusan perdamaian (dading).Eksekusi putusan perdamaian yang akan dibahas pada bagian ini sebagai salah satu pengecualian atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Titik berat pembahasannya bukan diarahkan pada tata cara eksekusinya. Tetapi lebih diarahkan pada pengkajian bentuk dan proses kelahiran putusan perdamaian. Alasan pembahasan yang demikian didasarkan pada pemikiran, bahwa sepanjang mengenai tata cara eksekusi sudah diuraikan panjang lebar, baik mengenai tata cara eksekusi riil maupun tata cara eksekusi pembayaran sejumlah uang. Semua tata cara eksekusi yang dijelaskan pada uraian tersebut sepenuhnya berlaku dalam eksekusi putusan perdamaian. Oleh karena itu cukup berdasar untuk tidak membahas ulang sepanjang mengenai tata cara eksekusinya. Arah pembahasannya lebih dititikberatkan pada masalah yang berkaitan dengan bentuk dan proses terwujudnya putusan perdamaian. 29.Eksekusi Putusan Damai.Syarat formil putusan perdamaian ditegaskan pada Pasal 1851 KUHPerdata yang berbunyi : Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis. Dengan Pasal 130 HIR yang berbunyi :(1) Jika pada hari yang ditentukan kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.(2) Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua be!ah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.Memperhatikan bunyi kedua pasal di atas, syarat-syarat formil yang harus dipenuhi putusan perdamaian adalah sebagai berikut :a.Persetujuan kedua belah pihak.Kedua belah pihak yang bersangkutan sama-sama menyetujui dengan sukarela mengakhiri persengketaan. Persetujuan mesti murni datang dari kedua belah pihak. Artinya, persetujuan itu bukan kehendak sepihak atau kehendak hakim. Dalam hal ini berlaku sepenuhnya unsur-unsur persetujuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:adanya kata sepakat secara sukarela (toestemming, consent, agreement;kedua pihak cakap membuat persetujuan (bekwamheid, competence);objek persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bepaalde onderwerp); danberdasar alasan yang diperbolehkan (lawful cause atau geoorloofde iurzaak).Jadi yang menjadi salah satu syarat putusan perdamaian ialah persetujuan yang tunduk sepenuhnya kepada asas umum perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 dan Pasal 1321 KUH Perdata. Oleh karena itu dalam persetujuan tidak boleh terdapat cacat pada setiap unsur esensial persetujuan. Di samping unsur subjektif dan objek persetujuan mesti lengkap, masing-masing unsur tidak boleh mengandung cacat. Artinya dalam persetujuan yang diberikan semua pihak tidak boleh terkandung unsur:kekeliruan/kekhilafan (dwaling, error);paksaan (dwang, compulsion); danpenipuan (bedrog, deception)Apabila dalam persetujuan yang diberikan salah satu pihak terdapat satu unsur yang disebut dalam Pasal 1321 KUH Perdata, berarti persetujuan yang diberikan merupakan persetujuan kehendak cacat (willsgebrek). Bahkan Pasal 1859 KUH Perdata dan pasal-pasal berikutnya telah memperingatkan hal itu. Pada Pasal 1859 KUH Perdata telah ditegaskan, bahwa putusan perdamaian dapat dibatalkan apabila terjadi kekhilafan:mengenai orangnya; ataumengenai pokok yang diperselisihkan. Bahkan pada Pasal 1860 KUH Perdata telah ditambah lagi faktor kesalahpahaman yang dapat dijadikan alasan pembatalan putusan perdamaian seperti:kesalahpahaman mengenai duduknya perkara; atau kesalahpahaman mengenai suatu alas hak yang batal.Begitu juga penipuan atau paksaan, telah ditegaskan dalam Pasal 1859 ayat (2) KUH Perdata sebagai cacat yang dapat dijadikan dasar pembatalan putusan perdamaian. Malahan Pasal 1861 KUH Perdata mengancam putusan perdamaian batal demi hukum apabila persetujuan didasarkan atas surat yang dinyatakan palsu. Pasal tersebut berbunyi: Suatu perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu, sama sekali batal. b. Putusan perdamaian mengakhiri sengketaSyarat yang kedua, putusan perdamaian benar-benar mengakhiri sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak. Putusan perdamaian yang tidak tuntas mengakhiri sengketa yang sedang terjadi antara kedua belah pihak, tidak memenuhi syarat formil. Putusan perdamaian yang seperti itu tidak sah dan tidak mengikat kepada kedua belah pihak. Misalnya terjadi persengketaan milik atas sebidang tanah. Persetujuan yang dibuat antara kedua pihak hanya menyebutkan penghentian sengketa dengan tidak menentukan status tanah. Persetujuan dading yang seperti itu, tidak memenuhi syarat formil karena mengakhiri pokok sengketa milik. Pada contoh tersebut, persengketaan milik masih tetap terbuka bagi para pihak untuk memperkarakannya. Contoh lain, terjadi persengketaan utang-piutang. Para pihak membuat persetujuan perdamain, bahwa jumlah utang tidak jelas jumlahnya. Perdamaian yang demikian tidak memenuhi syarat, karena tidak mengakhiri sengketa. Setiap para pihak masih berhak mempesengketakannya. Lain halnya jika perdamaian itu menghapuskan utang (kwijtschelding van Schuld, to discharge, pay off) berdasarkan Pasal 1438 KUH Perdata atas alasan yang tidak jelas jumlahnya. Persetujuan menghapuskan utang sekalipun didasarkan atas alasan karena jumlahnya tidak jelas, secara tuntas sudah mengakhiri sengketa.Kalau begitu, agar perdamaian sah dan mengikat, persetujuan harus tuntas mengakhiri sengketa yang sedang terjadi. Seperti pada contoh sengketa hak milik tanah di atas, perdamaian baru dapat dinilai mengakhiri sengketa apabila persetujuan memuat ketentuan tanah diserahkan kepada salah satu pihak, dan yang menerima penyerahan wajib membayar sejumlah uang sebagai imbalan. Atau bisa juga, tanah sengketa dibagi sama antara pihak yang bersengketa. Perdamaian yang seperti itu mengakhiri sengketa, dan tertutup pintu sengketa antara kedua belah pihak tentang apa yang sedang mereka sengketakan. Pendek kata, agar perdamaian sah dan mengikat kepada kedua belah pihak, apa yang sedang disengketakan mesti dapat diakhiri oleh perdamaian yang bersangkutan. Itu sebabnya Pasal 1851 KUHPerdata menjelaskan rumusan akta perdamaian meliputi penyerahan atau penahanan suatu barang yang mengakhiri sengketa yang sedang diperkarakan di pengadilan atau sengketa perkara yang sedang tergantung di pengadilan maupun mencegah timbulnya suatu perkara di pengadilan.c.Perdamaian atas sengketa yang telah ada.Syarat lain yang menjadi dasar putusan perdamaian, harus didasarkan atas persengketaan yang telah ada. Persengketaan itu menurut Pasal 1851 KUH Perdata:sudah berwujud sengketa perkara di pengadilan, atausudah nyata terwujud sengketa perdata yang akan diajukan ke pengadilan, sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak mencegah terjadinya perkara di sidang pengadilan.Jadi persengketaan yang masih kabur, seperti suatu peristwa yang masih dalam urusan kepolisian, belum dapat dikatakan sengketa perdata murni. Selama suatu kasus masih diragukan apakah dia termasuk bidang hukum pidana atau bidang hukum perdata, kasus yang seperti itu belum sah dituangkan dalam bentuk persetujuan perdamaian. Akan tetapi harus diingat! Tidak semua kasus yang masih dalam tarap pemeriksaan suatu instansi dianggap masih kabur sengketa perdatanya. Tidak demikian halnya. Misalnya sengketa tanah yang sedang dalam pemeriksaan agraria, disebabkan adanya perbantahan antara kedua belah pihak. Dalam kasus ini, sekalipun perselisihan masih dalam taraf pemeriksaan agraria, yang mereka sengketakan sudah jelas perkara perdata murni. Oleh karena itu para pihak dapat mengadakan persetujuan perdamaian berdasar Pasal 1851 KUH Perdata.d.Persetujuan perdamaian berbentuk tertulis.Syarat formal yang paling pokok suatu persetujuan perdamaian ialah menuangkan persetujuan dalam bentuk tertulis. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1851 KUH Perdata yang berbunyi : Persetujuan ini tidak sah, melainkan jika dibuat secara tertulis. Persetujuan perdamaian tidak sah kalau dibuat secara lisan. Sahnya persetujuan perdamaian jika dibuat secara tertulis. Syarat ini bersifat imperatif.BAB XPENUNDAAN EKSEKUSI30.Umum.Masalah penundaan eksekusi merupakan masalah yang serius, karena terhadap setiap eksekusi selalu ada reaksi permintaan penundaan, yang berasal langsung dari pihak tereksekusi sendiri atau dari pihak ketiga. Berbagai macam alasan dikemukakan. Terkadang alasan penundaan yang dikemukakan sama sekali tidak relevan, sehingga sangat terkesan alasan itu dibuat-buat guna mengulur waktu eksekusi.Namun demikian, ada juga permohoan penundaan yang mempunyai alasan kuat, yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan. Mungkin pada suatu kasus alasan penundaan eksekusi yang dikemukakan tidak berdasar, tetapi pada kasus yang lain, alasan seperti itu cukup berbobot untuk menunda eksekusi.Praktik peradilan dan yurisprudensi membenarkan juga penundaan atau penangguhan eksekusi. Antara lain dapat dilihat dalam Putusan No. 1243 K/Pdt/1984, tanggal 27 Februari 1984. Dalam putusan tersebut dinyatakan : a.Ketua Pengadilan Negeri berwenang menangguhkan eksekusi;b.Penangguhan demikian dituangkan dalam bentuk penetapan dan sifatnya merupakan kebijaksanaan Ketua Pengadilan Negeri;c.Oleh karena itu, terhadapnya tidak dapat diajukan kasasi.Keberatan terhadap penetapan penangguhan eksekusi yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri, harus diajukan dalam bentuk pengaduan dalam rangka pengawasan kepada Ketua Pengadilan Tinggi, bukan dalam bentuk permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. 31.Penundaan EksekusiSalah satu asas yang berlaku pada penundahaan eksekusi ialah prinsip tidak ada patokan umum untuk menunda eksekusi. Pengkajian penundaan eksekusi adalah bersifat kasuistis. Tidak ada alasan penundaan eksekusi yang bersifat menentukan. Seperti yang sudah dikatakan di atas, mungkin alasan yang sama berbeda penerapannya. Sehingga alasan itu tidak berlaku umum untuk semua penundaan eksekusi. Suatu alasan penundaan mungkin dapat dibenarkan menunda eksekusi pada suatu kasus, tapi belum tentu alasan tersebut dapat dipergunakan untuk menunda eksekusi pada kasus yang lain. Ambil contoh di atas, yakni peninjauan kembali. Mungkin pada suatu kasus, peninjauan kembali dapat dijadikan alasan penundaan eksekusi. Kalau begitu, peninjauan kembali tidak berlaku umum sebagai alasan penundaan eksekusi. Namun peninjauan kembali dapat dipergunakan sebagai alasan penundaan eksekusi secara kasuistis. Tergantung pada bobot yang terkandung pada dasar alasan peninjauan kembali. Kalau bobotnya sedemikian rupa dapat diperkirakan peninjauan kembali akan membatalkan putusan yang hendak dieksekusi, peninjauan kembali dapat dijadikan alasan untuk menunda eksekusi. Sebab dalam kasus yang seperti itu, eksekusi dihadapkan pada dua segi pertimbangan hukum. Dari satu segi, setiap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus dijalankan eksekusinya. Akan tetapi dari segi pertimbangan hukum yang lain, apa gunanya menjalankan eksekusi suatu putusan kalau toh putusan itu nanti bakalan dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam pemeriksaan peninjauan kembali. Sehingga dengan pembatalan tersebut keadaan akan pulih kembali seperti semua.Di samping asas yang dikemukakan, yakni tidak ada patokan dan alasan yang berlaku umum untuk mengabulkan permohonan penundaan eksekusi, ada lagi asas lain yang perlu mendapat perhatian. Asas tersebut, yaitu penundaan eksekusi bersifat eksepsional. Artinya, pengabulan penundaan eksekusi merupakan tindakan pengecualian dari asas umum hukum. Itu sebabnya penundaan eksekusi disebut tindakan eksepsional. Penundaan eksekusi disebut bersifat dan merupakan tindakan hukum yang sangat eksepsional, karena tindakan penundaan eksekusi menyingkirkan ketentuan umum hukum eksekusi. Menurut asas umum yang berlaku:a.pada setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap telah melekat kekuatan eksekutorial;b.eksekusi atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak boleh ditunda pelaksanaannya; danc.yang dapat menunda eksekusi hanya perdamaian.BAB XIEKSEKUSI YANG TIDAK DAPAT DIJALANKAN (NON EKSEKUTA)32.Umum.Pada bagian ini akan dijelaskan alasan-alasan hukum dan fakta yang dapat dijadikan dasar untuk menyatakan eksekusi tidak dapat dijalankan atau noneksekutable. Dalam uraian ini akan diinventarisasi alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar noneksekutabel yang diambil dari pengamatan praktik, dan telah menjadi patokan dalam menghadapi kasus-kasus noneksekutabel. 33.Eksekusi Yang Tidak Dapat Dijalankan (Non Eksekuta)Kalau secara nyata tidak dijumpai harta tereksekusi dalam eksekusi pembayaran sejumlah uang, sudah barang tentu eksekusi tidak dapat dijalankan. Begitu pula dalam eksekusi riil, kalau barang yang hendak di eksekusi tidak ada lagi baik karena hancur atau berpindah secara sah dengan alas hak yang sah, tidak mungkin eksekusi riil dapat dijalankan.Pengertian harta kekayaan tereksekusi tidak ada lagi di dalam kasus ini harus ditafsirkan secara luas. Pengertian ini tidak boleh ditafsirkan secara sempit. Oleh karena itu yang termasuk dalam jangkauan pengertian mengenai harta tereksekusi tidak ada lagi, yaitu sebagai berikut :a.Secara mutlak harta kekayaan tereksekusi tidak ada.Pada kasus ini sama sekali harta kekayaan tereksekusi benar-benar sudah tidak ada lagi, dalam arti harta kekayaannya sudah habis. Habisnya harta kekayaan tereksekusi bisa terjadi disebabkan:1)telah habis terjual sebelum eksekusi dijalankan; atau2)oleh karena bencana alam berupa kebakaran, banjir, dan sebagainya.Dalam hal yang seperti ini, secara nyata eksekusi tidak mungkin dijalankan. Sebab barang yang akan dijadikan objek eksekusi tidak ada. Oleh karena itu dalam kasus yang demikian eksekusi harus dinyatakan noneksekutabel (tidak dapat dijalankan) atas alasan barang tereksekusi tidak ada. Sifat noneksekutabel dalam keadaan harta tereksekusi tidak ada: mungkin bersifat permanen; atau mungkin pula bersifat temporer (sementara).Sehubungan dengan tidak adanya barang tereksekusi pada saat eksekusi dijalankan, faktor keadaan tidak adanya barang tereksekusi tidak menghapuskan atau menggugurkan hak pemohon eksekusi (kreditur) untuk menuntut pelunasan hutang. Sekalipun pada saat eksekusi Pengadilan Negeri telah mengeluarkan penetapan noneksekutabel atas alasan harta kekayaan tereksekusi (debitur) tidak ada, penetapan tersebut tidak mengandung penghapusan atau pengguguran hak kreditur terhadap tagihan. Tagihan secara yuridis tetap ada. Hanya eksekusinya yang tidak dapat dijalankan. Karena kebetulan harta kekayaan tereksekusi tidak ada pada saat eksekusi dijalankan. Oleh karena itu hak meminta eksekusi kembali pada suatu ketika masih tetap terbuka, apabila pemohon eksekusi mengetahui dan dapat menunjukkan harta kekayaan tereksekusi. Kapan saja nanti ada harta kekayaan tereksekusi, masih tetap hidup hak pemohon eksekusi untuk meminta eksekusi. Noneksekutabel baru dapat dikatakan bersifat permanen, apabila sampai kapanpun harta kekayaan tereksekusi tidak pernah ada lagi. Akan tetapi dari sudut pandang teoritis maupun dari segi kenyataan, lebih tepat mengatakan sifat noneksekutabel dalam kasus ini bersifat temporer. Karena bagaimanapun, masih besar kemungkinan akan adanya harta kekayaan tereksekusi di belakang hari. Pada saat dijumpai ada harta kekayaan tereksekusi, noneksekutabel yang melekat pada eksekusi dapat dicairkan kembali.b.Pada saat eksekusi dijalankan, pemohon eksekusi tidak mampu menunjuk harta kekayaan tereksekusi.Penafsiran kedua tentang pengertian tidak adanya harta kekayaan tereksekusi, termasuk pengertian tentang ketidakmampuan pemohon eksekusi menunjukkan dimana dan apa barang yang hendak dieksekusi. Dalam kasus ini belum pasti ada atau tidak harta tereksekusi. Namun pemohon eksekusi tidak mampu atau tidak berhasil menunjukkan dimana dan apa saja barang kekayaan tereksekusi. Hal ini sesuai dengan kewajiban hukum yang dibebankan kepada pemohon eksekusi. Dia harus mampu menunjukkan harta kekayaan tereksekusi yang akan menjadi objek eksekusi. Selama pemohon eksekusi tidak berhasil menunjuk barang tereksekusi, baik secara fisik maupun berdasar identitas dan lokasi barang, eksekusi tidak dapat dijalankan. Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk menyatakan permintaan eksekusi noneksekutabel.c.Barang yang ditunjukkan tidak diketemukan.Pemohon eksekusi menunjuk suatu barang yang hendak dijadikan objek eksekusi. Akan tetapi pada saat eksekusi dijalankan, juru sita tidak menemukan secara jelas barang yang ditunjuk. Dalam kasus yang demikian, eksekusi tidak dapat dijalankan atas alasan barang yang hendak dieksekusi tidak ada atau barang yang hendak di eksekusi tidak ditemukan.Demikian kira-kira pengertian yang dapat digolongkan pada kasus barang tereksekusi tidak ada. Bisa diartikan barangnya mutlak tidak ada, pihak pemohon eksekusi tidak dapat menunjukkan barang tereksekusi, atau barang yang ditunjuk tidak diketemukan.BAB XIIBIAYA EKSEKUSI 34.Umum.Biaya eksekusi sering menjadi masalah dalam eksekusi.Kenapa biaya eksekusi termasuk biaya perkara? Bukankah biaya perkara hanya terbatas pada biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan proses pemeriksaan perkara mulai dari tingkat pertama sampai putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan eksekusi sudah berada di luar proses pemeriksaan perkara, sehingga biaya eksekusi tidak dapat dijumlahkan ke dalam biaya perkara? Oleh karena itu, yang menanggung biaya eksekusi mestinya pemohon eksekusi.Pendapat di atas keliru, karena memisah-misahkan pengertian penyelesaian perkara. Pendapat itu terpaut kepada proses pemeriksaan di sidang pengadilan menganggap eksekusi di luar penyelesaian perkara. Padahal yang dimaksud dengan penyelesaian perkara sengketa ialah :a.memeriksa dan mengadili dalam semua tingkat peradilan sampai perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap; dan b.menjalankan putusan sampai tuntas dilaksanakan pemenuhannya sesuai dengan amar putusan. Jadi, antara memeriksa dan mengadili perkara sampai putusan dieksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah. Untuk apa putusan kalau tidak dilaksanakan pemenuhannya? Sedangkan untuk pemenuhan amar putusan apabila Tergugat tidak rnau melaksanakannya secara sukarela, diperlukan biaya eksekusi. Oleh karena itu, biaya eksekusi dalam kasus yang demikian merupakan rentetan lanjutan dari biaya pemeriksaan persidangan. Tidak mungkin memisahkannya dan menganggap biaya eksekusi berada di luar biaya perkara. Semua biaya eksekusi tanpa kecuali apakah itu eksekusi riil atau executoriale verkoop merupakan biaya perkara yang harus dijumlahkan perhitungannya dengan biaya yang dikeluarkan selama proses pemeriksaan perkara di semua tingkat persidangan. 35.Biaya EksekusiAdapun yang dapat diperhitungkan sebagai biaya perkara (biaya pemeriksaan persidangan dan biaya eksekusi) ialah jumlah pengeluaran yang dapat dipertanggungjawabkan dengan bukti pengeluaran. Dan bukti pengeluaran biaya perkara yang dianggap sah ialah bukti yang dikeluarkan pengadilan berupa surat bukti kuitansi. Di luar pengeluaran yang tidak dibarengi dengan bukti yang sah, tidak dapat dibebankan menjadi biaya perkara. Saya tidak setuju untuk memperluas keabsahan pengeluaran biaya berdasar tanda bukti yang dikeluarkan pihak instansi lain di luar pengadilan. Paling-paling dapat disetujui keabsahan suatu tanda bukti biaya perkara yang dikeluarkan instansi lain, apabila tanda bukti pengeluaran itu disahkan dan disetujui oleh pengadilan. Memperkenankan keabsahan tanda bukti biaya perkara di luar tanda bukti yang dikeluarkan pengadilan bisa membahayakan. Karena besar kemungkinan terjadinya manipulasi pengeluaran biaya perkara.Dengan penjelasan ini, pihak yang mengeluarkan biaya perkara (biasanya pihak penggugat) tidak boleh semau sendiri menyebut jumlah biaya perkara yang dikeluarkannya. Biaya yang dianggap sah yang dapat ditagih kemudian kepada pihak tergugat hanya sepanjang biaya yang dilengkapi dengan bukti yang dikeluarkan menurut perhitungan pembukuan yang dibuat pengadilan.Oleh karena itu biaya perkara dengan biaya eksekusi adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan dalam satu perkara, yang menegaskan ke dalam biaya perkara termasuk biaya eksekusi. Oleh karena itu, untuk menentukan pihak mana yang menanggung biaya eksekusi tergantung pada bunyi amar putusan. Sekiranya amar putusan membebankan biaya kepada penggugat, maka biaya eksekusi pun dibebankan kepadanya. Namun dalam praktek peradilan, apabila gugatan penggugat dikabulkan, selamanya atau lazimnya biaya perkara akan dibebankan kepada pihak tergugat, sehingga biaya eksekusi dibebankan kepada pihak tergugat. Kalau gugatan dikabulkan, paling-paling biaya perkara dipikulkan bersama kepada pihak penggugat dan tergugat. Tidak mungkin dijumpai amar yang membebankan biaya perkara kepada pihak penggugat, kalau gugatannya dikabulkan. Cara penerapan hukum yang demikian dianggap tidak konsisten karena salah satu konsekuensi dari pengabulan gugatan dampaknya termasuk pembebanan biaya perkara kepada penggugat sebagai hukuman tambahan kepada penghukuman pokok perkara.RAHASIABAB XIVPENUTUP36.Penutup.Demikian bahan ajaran Naskah Departemen tentang Eksekusi Bidang Perdata ini disusun untuk digunakan sebagai pedoman dalam proses belajar mengajar pada Pendidikan Kursus Perwira Bantuan Hukum Perdata. Komandan Pusat Pendidikan Hukum,Joko Purnomo, S.H., M.H.Kolonel Chk NRP 32421RAHASIA