Post on 28-Jun-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan pada hakekatnya yaitu penyelenggaraan
upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk dalam
mewujudkan derajat kesehatan dengan menekan angka kematian dan
meningkatkan umur harapan hidup atau penyakit merupakan faktor penting
dalam masalah kesehatan dimana penyakit itu sendiri akan mempengaruhi
produktivitas kehidupan sehari-hari (Hidayat, 2006).
Timbulnya Penyakit kusta merupakan suatu interaksi antara beberapa
faktor penyebab yaitu faktor Agents dalam hal ini Mycobacterium Leprae,
Faktor Host/pejamu yakni umur dan jenis kelamin, dan Faktor Environment
yang terdiri dari Lingkungan dan sosial ekonomi. (Departemen Kesehatan
RI, 2007).
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari
segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan
dan ketahanan nasional. Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang
menahun disebabkan oleh kuman kusta (mycobacterium leprae) menyerang
saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat.
(Depertemen Kesehatan RI, 2005).
1
Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu
resolusi yaitu eliminasi kusta tahun 2000, sehingga penyakit kusta tidak lagi
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Indonesia sudah mencapai eliminasi
pada tahun 2000, namun demikian berdasarkan data yang dilaporkan jumlah
penderita baru sampai saat ini tidak menunjukkan adanya penurunan yang
bermakna.
Kondisi ini juga terjadi di Negara-negara lain di dunia, sehingga pada tahun
2006 ILEP/WHO mengeluarkan ”Strategi Global untuk menurunkan beban
penyakit dan kesinambungan program pemberantasan penyakit kusta(2006-
2010)”(Departemen Kesehatan RI, 2007).
Salah satu misi Depertemen Kesehatan dalam pemberantasan penyakit
kusta adalah menghilangkan stigma sosial (ciri negatif yang menempel pada
pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya) dengan mengubah
persepsi masyarakat terhadap penyakit kusta melalui pembelajaran secara
intensif tentang penyakit kusta (Depertemen Kesehatan RI, 2005).
Hingga tahun 2004 di Indonesia ditemukan 16.572 penderita penyakit
yang menggerogoti kulit ini. Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada
tahun 2003 menyebutkan Indonesia sebagai negara urutan ketiga terbesar
penyumbang penderita kusta di seluruh dunia. Pemerintah berencana
menghapuskan penyebaran penyakit ini pada tahun 2010. Penyebaran kusta di
Indonesia terjadi di 140 kabupaten pada 12 provinsi dengan angka penderita
terdaftar (prevalensi rate) di atas satu penderita dalam populasi 10.000 orang.
Namun tidak menutup kemungkinan terdapat penderita di kabupaten lain
2
yang angka perbandingannya lebih kecil dari 1:10.000 (Suara Pembaruan
Daily, 2005).
Pengidap kusta di seluruh Tanah Air pada tahun 2004 berjumlah 16
ribu orang, dari 16 ribu, sebanyak 14.554 ada di Indonesia Timur. Angka ini
menempatkan Indonesia di peringkat tiga besar dunia setelah India dan Brasil
sebagai negara dengan penderita kusta terbanyak. Walau termasuk tiga besar
dunia, jumlah penderita kusta atau lepra di Indonesia sudah jauh menurun
dibandingkan dengan awal tahun 90-an. Penurunan drastis berlangsung dalam
kurun waktu 1994-2004.
Pada tahun 2009 Penderita penyakit kusta seluruh Indonesia berjumlah
21.026 penderita, di Provinsi Gorontalo berjumlah 170 orang, yang terdiri
dari 56 untuk penderita kusta Pausie Basiler(PB) dan 114 untuk penderita
kusta Multi Basiler(MB), sedangkan untuk Kabupaten Pohuwato penderita
kusta berjumlah 20 orang dengan penderita kusta PB berjumlah 2 orang dan
penderita kusta MB berjumlah 18 orang (Profil Dinas Kesehatan Provinsi
Gorontalo, 2009). Berdasarkan data yang di peroleh dari Puskesmas Marisa,
untuk Kecamatan Marisa sendiri jumlah penderita kusta 10 orang yang
keseluruhannya adalah penderita kusta MB.
Dari data-data di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit kusta masih menjadi
masalah di Indonesia.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian tentang ”Gambaran Faktor Faktor Yang
Mempengaruhi Kejadian Penyakit Kusta”.
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada Latar Belakang masalah, maka masalah dalam
penelitian ini yaitu : ”Apakah faktor jenis kelamin, umur, sosial ekonomi dan
lingkungan merupakan faktor faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit
kusta di wilayah Puskesmas Marisa Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato
Provinsi Gorontalo ? ”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit
kusta di wilayah Puskesmas Marisa Kecamatan Marisa Kabupaten
Pohuwato Provinsi Gorontalo.
2. Tujuan Khusus
Mendiskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit
kusta di wilayah Puskesmas Marisa Kecamatan Marisa Kabupaten
Pohuwato Provinsi Gorontalo.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pendidikan
Untuk menambah referensi dan bahan bacaan dan pengembangan
pendidikan serta sebagai rujukan dasar untuk penelitian selanjutnya.
2. Bagi Institusi Kesehatan
Hasil penelitian ini dapat menggambarkan jumlah penderita kusta dan
faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit kusta di wilayah
Puskesmas Marisa di Wilayah Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato
Provinsi Gorontalo, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi
4
untuk pelaksanaan program kerja dalam menurunkan angka kesakitan
akibat penyakit kusta
3. Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan dan memperdalam pengetahuan tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit kusta di wilayah
Puskesmas Marisa Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato Provinsi
Gorontalo.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep dasar Penyakit
1. Definisi Penyakit Kusta
Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis yg disebabkan oleh
mycobacterium leprae, yang pertama kali menyerang saraf tepi, setelah
itu menyerang kulit dan organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf
pusat (Sain, 2009)
Penyakit Kusta yang juga dikenal sebagai lepra atau Morbus Hansen
merupakan penyakit menular menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(Mycobacterium lepra) yang terutama menyerang saraf tepi dan organ
tubuh kecuali susunan saraf pusat (Soedarjatmi, 2008).
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya
ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan
saraf pusat (Kosasih dkk, 2009).
2. Etiologi
Penyebab utama penyakit kusta yaitu kuman Mycobacterium leprae,
yang pertama kali ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1873. kuman
ini berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 8 mic, lebar 0,2 – 0,5
mic, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu – satu, hidup dalam
sel serta bersifat tahan asam. Waktu pembelahan sangat lama yaitu 2 – 3
6
minggu. Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dapat
bertahan sampai 9 hari (Soedarjatmi, 2008)
M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat
intraselular, menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti
mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali
susunan saraf pusat. Masa membelah diri M. leprae 12-21 hari dan masa
tunasnya antara 40 hari – 40 tahun (Sain, 2009).
3. Sumber Penularan
Sampai saat ini hanya manusia yang dianggap sebagai sumber
penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada Armandillo, Simpanse
dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar Thymus. Kulit
dan mukosa hidung telah lama diketahui sebagai sumber dari kuman.
Telah terbukti bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita lepramatous
(tipe MB, yang jumlah bakterinya banyak) merupakan sumber kuman yang
terpenting di dalam lingkungan (Soedarjatmi, 2008).
4. Cara Penularan
Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian
besar ahli melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung
yang lama dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel
rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu. Tempat
implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Timbulnya penyakit
kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti.
Kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien kusta tipe MB
(Multi Basiler) yang belum diobati atau tidak teratur berobat, akan mudah
7
tertular. Bila seseorang terinfeksi M. leprae, sebagian besar (95%) akan
sembuh sendiri dan 5% akan menjadi menjadi indeterminate. Dari 5%
indeterminate, 30% bermanifestasi klinis menjadi determinate dan 70%
sembuh. Insidens tinggi pada daerah tropis dan subtropis yang panas dan
lembab. Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan
daripada orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah
umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10-12 tahun.
5. Patogenesis
Setelah M leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa
tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular
mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit
berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah
lepromatosa. M leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih
dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat
penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons
imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan
tingkatreaksi selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit
kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
6. Manifestasi Klinik
Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis. Menurut WHO (1995). diagnosis kusta ditegakkan bila
terdapat satu dari tanda kardinal berikut:
8
a. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi
kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat
bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul.
Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas.
Kerusakan saraf terutama saraf tepi,bermanifestasi sebagai kehilangan
sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa
disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga
merupakan tanda kusta.
b. BTA positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan
kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan
diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau
penyakit lain.
7. Klasifikasi Penyakit
Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan Ridley dan Jopling adalah :
a. Tipe TT (tuberkuloid)
b. BT (borderline tuberculoid)
c. BB (mid borderline)
d. BL (borderline lepromatous)
e. LL (lepromatosa)
Departemen Kesehatan Ditjen P2MPLP ( 1999) dan WHO ( 1995)
membagi penyakit kusta menjadi 2 tipe yaitu :
a. Tipe Pause Basiler (PB)
9
b. Multi Basiler (MB).
8. Pemeriksaan Klinis
a. Inspeksi
Pasien diminta memejamkan mata, menggerakkan mulut, bersiul, dan
tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di
seluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya makula, nodul, jaringan
parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh
(alopesia dan madarosis).
b. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan
kapas(rasa raba), jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta
air panas dan dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu).
c. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: n.
auricularis magnus, n. ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus,
dan n.tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat
adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan.
Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat
saraf diraba.
d. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada
tidaknya kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar
keringat dengan menggunakan pensil tinta (uji Gunawan).
9. Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata
10
rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada
orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.
a. MDT (Multi Drug Therapy )
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan
untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,
mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi
WHO (1995) sebagai berikut:
1) Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa
a) Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b) DDS tablet 100 mg/hari di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. dan setelah
selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment
= berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya
masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT
tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment Cure dan
pasien tidak lagi dalam pengawasan.
2) Tipe MB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a) Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
11
b) Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas
dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.
c) DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal
36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT
meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan
bakteri positif Menurut WHO ( 1998) pengobatan MB diberikan
untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
Jenis obat dan Dosis untuk anak :
a) Klofazimin
Umur di bawah 10 tahun: bulanan 100 mg/bulan harian 50
mg/2 kali/minggu. Umur 11-14 tahun: bulanan 100
mg/bulan harian 50 mg/3 kali/minggu
b) DDS: 1-2 mg/kg berat badan
c) Rifampisin: 10-15 mg/kg berat badan
b. Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO
( 1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satu) cukup
diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, olloksasin 400 mg, dan
minosiklin I 00 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan
untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk
12
tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan
sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.
c. Putus Obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4
dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien
kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari
yang seharusnya.
d. Evaluasi Pengobatan
Depkes ( 1999) adalah sebagai berikut:
1) Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam
waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani
pemeriksaan laboratorium.
2) Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis
dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan
menjalani pemeriksaan laboratorium.
3) RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpadiperlukan
pemeriksaan laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan
dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance) dan dapat
dilakukan oleh petugas kusta.
4) Masa Pengamatan.
Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif:
a) Tipe PB selama 2 tahun.
b) Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan
pemeriksaan laboratorium.
13
5) Hilang/Out of Control (OOC).
Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1
tahun tidak mengambil obat dan dikeluarkan dari register pasien.
6) Relaps (kambuh)
Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh
atau RFT.
10. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta
baik akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu
terjadi reaksi kusta. Proses terjadinya cacat kusta dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit Kusta
Penyebaran penyakit menular bergantung pada keberhasilan
interaksi antara agent infeksius (perantara infeksi), host (tuan rumah) dan
environment(lingkungan). Ketidak seimbangan antara agent, host dan
lingkungan sering terjadi, yang kadang-kadang tidak disengaja dan dapat
menimbulkan gangguan. Faktor agents sangat berpengaruh dalam terjadinya
serta berat ringannya penyakit. Faktor host manusia atau hewan dapat
dimasuki agent infeksius. Faktor lingkungan berhubungan dengan
keseluruhan eksternal host manusia . Faktor lingkungan ini memudahkan
keadaan transmisi agent infeksius dari suatu host yang terinfeksi kepada host
yang lain (Sumijatun, 2005).
Menurut Cocrane dalam Zulkifli (2003), terlalu sedikit orang yang
tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka.
14
Menurut Ress dalam Zulkifli (2003) dapat ditarik kesimpulan bahwa
penularan dan perkembangan panyakit kusta hanya tergantung dari dua hal
yakni jumlah atau keganasan Mycobacterium Leprae dan daya tahan tubuh
penderita, disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini
yaitu:
1. Umur
Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut
umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden
karena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengan kata
lain kejadian penyakit sering terkait pada umur pada saat diketemukan dari
pada saat timbulnya penyakit. Kusta diketahui terjadi pada semua umur
berkisar antara bayi sampai umur tua ( 3 minggu sampai lebih dari 70
tahun). Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25-35 tahun,
sedangkan pada kelompok anak umur 10-12 tahun.
2. Jenis kelamin
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Berdasarkan laporan,
sebagian besar Negara di dunia, kecuali di beberapa Negara di Afrika
menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada perempuan.
Rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor
lingkungan atau faktor biologi. Seperti penyakit menular lainnya laki-laki
lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat gaya hidupnya.
15
3. Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta,
penyakit kusta banyak menyerang golongan masyarakat dengan sosial
ekonomi rendah, hal ini juga terbukti pada negara-negara di Eropa, seperti
Negara Inggris, Jerman, Italia, Perancis, Spanyol, Belanda, Norwegia dan
Skotlandia, dengan adanya peningkatan sosial ekonomi di Negara-negara
tersebut, maka kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang,
penderita kusta impor pada Negara tersebut ternyata tidak menularkan
kepada orang yang sosial ekonominya tinggi.
4. Lingkungan
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal
di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang
tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk.
Daerah yang panas dengan kelembaban tinggi merupakan faktor
mempermudah penularan penyakit. Hal ini terbukti karena Mycobacterium
Leprae hidup optimal pada suhu 30-33 Celcius dan kelembaban tinggi.
M.Leprae mampu hidup beberapa minggu(2-4 minggu) di lingkungan
khususnya pada keadaan lembab. Penelitian di Norwegia juga
membuktikan penurunan angka kejadian kusta, seiring dengan perbaikan
lingkungan hidup. Penelitian lain di Filipina menunjukkan ada hubungan
luas lantai perorang dengan prevalensi kusta, hal ini menunjukkan
banyaknya kusta pada daerah-daerah dengan perumahan yang padat,
hygiene dan sanitasi lingkungan yang kurang baik.
16
BAB III
KERANGKA KERJA PENELITIAN
A. Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi
dari hal-hal khusus (Notoatmodjo, 2005). Adapun kerangka konsep dalam
penelitian ini yakni:
Gambar 1. Kerangka Konsep
Keterangan Gambar :
: Yang Diukur : Yang Tidak Diukur
17
F Variabel Independen Ff Variabel Dependen
a AGENT:
m Mycobacterium Leprae
HOST:
UmurJenis Kelamin
ENVIRONMENT:
Sosial EkonomiLingkungan
K Kejadian Penyakit Kusta
dd di Wilayah Puskesmas
M Marisa
Adapun variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel Independen
Variabel independen adalah variabel lain yang menentukan variabel lain.
Variabel independen biasanya dimanipulasi, diamati dan diukur untuk
diketahui hubungannya atau pengaruhnya terhadap variabel lainnya (Nursalam,
2008). Pada penelitian ini yang dinilai Faktor host dan Faktor environment.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel
lain (Nursalam, 2008). Yang menjadi variabel dependen pada penelitian ini
yaitu kejadian penyakit kusta.
B. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan secara operasional
berdasarkan karakteristik yang diamati sehingga memungkinkan peneliti
untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu
objek atau fenomena. Definisi operasional ditentukan berdasarkan
pengamatan yang dijadikan ukuran dalam penelitian (Hidayat, 2007). Definisi
operasional dari kerangka kerja penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 1. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Kategori Skala
1. Variabel
Independen : Umur
Lama waktu hidup atau
ada (sejak dilahirkan
atau diadakan)
- Umur Dewasa
: 25– 35 tahun
dan
Umur Anak:
10-12 tahun
- Umur > 35
Ordinal
18
tahun
Jenis kelamin Identitas yg di bawa sejak
lahir yg menentukan laki-
laki dan perempaun
- Perempuan
- Laki-laki
Nominal
Sosial Ekonomi Sratifikasi sosial dan taraf
hidup dalam masyarakat
yang berpengaruh pada
tingkat kemakmuran
- Ya
- Tidak
1= Tidak
2= Ya
Ordinal
Lingkungan Kondisi fisik yg
mencakup sumber daya
alam yang berhubungan
dengan kesehatan
- Ya
- Tidak
1= Tidak
2= Ya
Ordinal
2. Variabel
Dependen :
Kejadian penyakit
kusta
Jumlah kasus yang
ditemukan berdasarkan
hasil survey
Lembar Observasi Nominal
19
BAB IV
METODE PENELITIAN
Metodelogi penelitian merupakan cara yang akan dilakukan dalam proses
penelitian (Hidayat, 2007). Pada bab ini akan dibahas tentang rancangan
penelitian.
A. Rancangan/Design Penelitian
Rancangan penelitian merupakan hasil akhir dari suatu tahap keputusan
yang dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa
diterapkan yang memungkinkan pengontrolan maksimal beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi akurasi suatu hasil.
Design penelitian yang digunakan yaitu ”deskriptif survey” yang bertujuan
untuk menjelaskan situasi atau fenomena yang disajikan secara apa adanya
tanpa manipulasi dan tidak menganalisis bagaimana dan mengapa fenomena
bisa terjadi (Nursalam, 2008).
B. Populasi, Sampel, dan Sampling
1. Populasi
Populasi adalah setiap subjek (misalnya manusia, pasien) yang memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2008). Pada penelitian ini populasi
yang diambil yaitu penderita kusta yang ada di kecamatan Marisa.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti
dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel terdiri dari bagian
20
populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian
melalui sampling (Notoatmojo, 2005). Pada penelitian ini sampel yang
digunakan yaitu Penderita kusta yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas
Marisa Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo.
3. Sampling
Sampling adalah proses penyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili
populasi. Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik Total Sampling
yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara menjadikan seluruh
populasi sebagai sampel dalam penelitian (Nursalam, 2008).
C. Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi dan waktu penelitian (jadwal) merupakan rencana tentang tempat
dan jadwal yang akan dilakukan oleh peneliti dalam melaksanakan kegiatan
penelitian. Penelitian ini dilakukan di Wilayah Puskesmas Marisa Kecamatan
Marisa Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo pada bulan Januari 2010.
D. Kriteria Sampel
a. Bersedia menjadi responden
b. Penderita penyakit kusta dengan umur dewasa 25-35 tahun dan umur anak
10-12 tahun.
b. Penderita penyakit kusta di wilayah Kecamatan Marisa Kabupaten
Pohuwato Provinsi Gorontalo
E. Instrumen Penelitian
21
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara dan
lembar observasi yang di dalamnya berisi umur, jenis kelamin, sosial ekonomi
dan lingkungan.
F. Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan
proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu
penelitian (Nursalam, 2008). Pengumpulan data merupakan cara peneliti untuk
mengumpulkan data (Hidayat, 2007). Pada penelitian ini data dikumpulkan
berdasarkan data yang didapatkan dari hasil survey yang dilakukan di
Puskesmas Marisa kemudian dideskripsikan.
Setelah mendapatkan ijin dari institusi pendidikan dan pihak Puskesmas
Marisa Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo, peneliti
mengadakan pendekatan kepada calon responden untuk mendapatkan
persetujuan sebagai responden. Apabila calon responden bersedia maka
dipersilahkan menandatangani inform consent. Data didapatkan dengan cara
wawancara yang berstruktur.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan Data Primer, yaitu
suatu teknik pengumpulan data yang diperoleh sendiri oleh peneliti dari hasil
pengukuran, pengamatan dan survey, serta Data Sekunder yang diperoleh dari
instansi terkait yaitu Puskesmas Marisa.
G. Teknik Analisis Data
Metode analisa data merupakan suatu metode yang digunakan untuk diuji
kebenarannya, kemudian akan diperoleh suatu kesimpulan dari penelitian
tersebut (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini hasil wawancara dan observasi
22
yang yang telah dikumpulkan dilakukan analisis deskriptif. Berikut ini
merupakan proses Analisa Data yang digunakan pada penelitian ini:
1. Pemeriksaan kembali (editing), yaitu untuk memastikan kebenaran data.
2. Pengkodean (koding), yaitu merubah data berbentuk huruf menjadi data
berbentuk angka/bilangan. Kegunaan dari koding ini adalah untuk
mempermudah pada saat analisis data dan juga mempercepat pada saat entry
data.
3. Proses/Entry data (processing), yaitu memasukkan data-data dari lembar
observasi ke dalam komputer.
4. Pembersihan data (cleaning), yaitu pengecekan kembali data yang sudah
dientry apakah ada kesalahan atau tidak.
Selanjutnya melakukan analisis data secara univariat yaitu mendeskripsikan
setiap variabel secara tunggal melalui distribusi frekwensi dan disajikan secara
deskriptif.
H. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu mendapat adanya rekomendasi
dari institusinya atau pihak lain dengan mengajukan permohonan ini kepada
institusi atau lembaga tempat penelitian. Setelah mendapat persetujuan barulah
melekukan penelitian dengan menekankan masalah etika yang meliputi:
1. Lembar persetujuan penelitian (informed consent)
Lembar persetujuan diedarkan sebelum penelitian dilaksanakan agar
responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian, serta dampak yang
akan terjadi selama proses pengumpulan data. Jika responden bersedia
23
diteliti mereka harus menandatangani lembar persetujuan tersebut, jika tidak
peneliti harus menghormati hak-hak responden.
2. Tanpa Nama (anonymity)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak akan
mencantumkan nama subjek, lembar tersebut hanya akan diberi kode
tertentu.
3. Kerahasiaan (confidentiality)
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari subjek dijamin
kerahasiaannya, hanya kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau
dilaporkan pada riset.
I. Rencana Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:
1. Tahap Persiapan
a. Kegiatan yang dilakukan meliputi: survey pendahuluan, pengajuan
judul, pembuatan proposal, dan konsultasi usulan proposal.
b. Dilakukan seminar proposal serta perbaikan.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Pengajuan izin kepada instansi tempat melakukan penelitian dalam hal ini
Kepala Puskesmas Marisa.
b. Pengajuan surat permohonan untuk bersedia menjadi subjek penelitian pada
calon responden.
c. Melakukan wawancara pada responden serta melakukan observasi.
d. Setelah data terkumpul peneliti melakukan pemeriksaan tentang
kelengkapan data.
24
3. Tahap Penyajian Hasil
Hasil pengumpulan data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekwensi serta penjelasan.
4. Tahap Penyusunan
Menyusun hasil dalam bentuk skripsi, seminar hasil penelitian dan revisi
skripsi.
J. Jadwal Penelitian
Jadwal penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2
No Waktu
Uraian Kegiatan
Okt 2010 Nov 2010 Des 2010 Jan 2011 Feb 2011
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Menyusun Proposal Penelitian
X x x
25
2. Seminar Proposal x
3. Perbaikan Proposal x x x
4. Pelaksanaan Penelitian
x x x x
5. Pengolahan dan analisis data
x x x
6. Menyusun hasil Penelitian
x X
7. Seminar hasil Penelitian
x
8. Perbaikan hasil penelitian
x x
Tabel 2 : Jadwal pelaksanaan Penyusunan Proposal Dan Skripsi
DAFTAR PUSTAKA
Chandra Budiman. 2006. ”Pengantar Kesehatan Lingkungan” EGC, Jakarta
Depertemen Kesehatan RI. 2005. ”Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta”, Cetakan XVII Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta
26
Departemen Kesehatan RI. 2007. ”Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta”, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta
Hidayat Alimul Aziz A. 2006. ’’Pengantar Konsep Dasar Keperawatan”. Salemba Medika. Jakarta
Hidayat Alimul Aziz A. 2007. ”Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data” Salemba Medika, Jakarta
Ifan. 2009. ”Kusta” dari http://ifan050285.wordpress.com. Diakses tanggal 20/09/2010
Kosasih A, Wisnu Made I, Daili-Sjamsoe Emmy, Menaldi Linuwih Sri, Editor Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar, Aisah Siti. 2009. ”Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi Kelima”, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Laporan Bulanan Program P2M Kusta Puskesmas Marisa (2010). Marisa
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. ”Metodologi Penelitian Kesehatan”, Rineka Cipta, Jakarta
Nursalam. 2008. ”Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan” Salemba Medika, Jakarta
Profil Dinas Kesehatan Gorontalo. 2009. ”Kebijakan Pembangunan Kesehatan dan cakupan Program Tahun 2009 Provinsi Gorontalo”. http://dinkes.gorontalo.web.co.id. Diakses 26/10/2010.
Sain Iwan (2009) “Morbus Hansen (Kusta, Lepra)” dari http://iwansaing.wordpress.com/2009/06/09/morbus-hansen-kusta-lepra Diakses tanggal 10/10/2010
Soedarjatmi. 2008. ”Faktor-Faktor Yang Melatar Belakangi Persepsi penderita Kusta Terhadap Stigma Penyakit Kusta (studi kualitatif)”, Naskah Publikasi Program Studi Magister Promosi Kesehatan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang
Suara Pembaruan Daily (2005) “Kusta Masih Menjadi Ancaman” dari http://suara pembaruan.com. Diakses tanggal 13/09/2010
Sumijatun, 2005. ”Konsep dasar Keperawatan Komunitas” EGC, Jakarta
27
Wikipedia Indonesia. 2007. ”Kusta” dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kusta 2007. Diakses 01/10/2010.
Zulkifli, 2003. ”Penyakit Kusta dan Masalah yang ditimbulkannya”. http://www.google.co.id. Diakses 01/10/2010
28