Post on 15-Apr-2016
Fungsi Sosial Hak atas TanahDISUSUN
Oleh :Laurensiah M. Lumban Tobing (130200357)
Dermawan Sitorus (130200459)Helen Modesty Pasaribu (130200348)
Sheren Murni Utami (130200453)Desyara Firanda (130200153)
Damaskus Situmeang (130200069)Riskar Stevanus Tarigan (130200356)
Randy Say Jovita (130200070)Fernando Situmorang (130200461)
Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum
2014/20151. PENGANTAR
Tanah adalah sesuatu yang sangat langkah saat ini, tanah begitu istimewa
sehingga seseorang yang memiliki tetangga yang jemurannya melewati batas
patokan tanahnya dapat menimbulkan perdebatan yang luar biasa walaupun
hanya lewat sedikit, hal ini selaras dengan falsafah yang berkembang di tengah
masyarakat “Sedumuk batuk senyari bumi, yen perlu ditohi pati (Jawa) :
meskipun sejengkal tanah kalau perlu dibela sampai mati”.
Perdebatan mengenai tanah kian semarak karena urgensi tanah dalam
kehidupan manusia yang semakin meningkat dan bahkan dapat dinyatakan
bahwa tidak ada aktivitas manusia yang tidak berhubungan dengan tanah.
Lahirnya Hukum Agraria Nasional pada tanggal 24 September 1960 yaitu
Undang-Undangn No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria yang populer disebut Undan-Undang Pokok Agraria (UUPA)
merupakan suatu terang bagi masyarakat yang selama ini mengalami
permasalahan yang terkait dengan tanah.Sesuai dengan landasan hukum Agraria
Nasional yaitu yang tercantum pada pasal 33 (3) UUD NRI 1945 “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Setelah lahirnya UUPA, yang menjadi masalah adalah apakah
kemakmuran rakyat yang diamanatkan oleh pasal 33 (3) UUD NRI 1945 telah
terlaksana dengan baik? , jawabannya belum. Satu pasal yang begitu mulia yaitu
Pasal 6 UUPA, menyatakan bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial”. Rumusan Pasal tersebut mendapat penjelasan dalam Penjelasan Umum,
Angka Romawi II Angka 4 UUPA, yaitu hak atas tanah apapun yang ada pada
seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya akan dipergunakan atau
tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau
hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus
disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat
bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat
pula bagi masyarakat dan Negara.
Tanah merupakan komponen yang sangat vital bagi kelangsungan sosial,
khususnya tanah publik kaitannya dengan fungsi sosial tanah yang dimilikinya.
Dalam hal ini, tak jarang fungsi sosial tersebut memiliki konsekuensi logis.
Misalnya saja permasalahan yang berhubungan dengan pelepasan tanah pribadi
untuk kemudian dimanfaatkan bagi kepentingan sosial. Untuk memperoleh tanah
ini peranan pemerintah sangat diperlukan karena terkadang tanah yang akan
didirikan atau bangunan tersebut adalah milik rakyat, sehingga untuk
memperolehnya harus melalui pemerintahan yaitu dengan cara pencabutan hak
atas tanah dan pembebasan hak atas tanah.
Peranan pemerintah atas tanah dalam rangka pembangunan sangat
penting sekali sehingga dalam hal ini pemerintah harus dapat menjalankan
fungsinya dengan baik dan benar.
Pembangunan ini dilaksanakan untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah
dalam memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan tanah, bukan saja
harus mengindahkan prinsip – prinsip hukum akan tetapi juga harus
memperhatikan kesejahteraan sosial, azas ketertiban dan azas kemanusiaan agar
masalah pertanahan tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang
mengganggu stabilitas masyarakat.
Namun, fungsi sosial hak atas tanah sering dimaanfaatkan oleh oknum-
oknum penguasa yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Dimana
dalam menjalankan fungsi sosial tersebut, khususnya dari pihak pemerintah
sering kali ditunggangi oleh oknum tertentu disadari maupun tidak disadari oleh
pemerintah sehingga rakyat selalu terkorbankan haknya, dan bahkan dipoles
sedemikian rupa izinnya supaya dianggap tidak melanggar hak atas tanah rakyat
dengan menjadikan fungsi sosial sebagai tameng, bahkan hak rakyat yang ada
diposisikan sebagai hak yang tidak mendukung fungsi sosialnya tanah.
2. PERMASALAHAN
2.1. Bagaimana pengertian fungsi sosial hak atas tanah?
2.2. Hak atas tanah apa saja yang mempunyai fungsi sosial?
2.3. Apa saja pasal yang berkaitan dengan fungsi sosial hak atas tanah?
2.4. Bagaimana implementasi fungsi sosial hak atas tanah di Indonesia serta
upaya Pemerintah di dalam menyelesaikan permasalahan tanah berkaitan dengan
pembangunan nasional?
3.PEMBAHASAN
3.1. Pengertian fungsi sosial hak atas tanah
3.1.1. Pendapat para ahli :
Prof. Dr. A.P. Parlindungan, S.H.Dalam komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria (1991:60-61) menyatakan “pengertian fungsi social daripada tanah adalah jalan kompromis antara hak mutlak dari tanah dengan sistem kepentingan umum dari tanah”“Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan saling imbang mengimbangi haruslah sebagai dwi tunggal”“Pencantuman fungsi social dalam perundang-undangan dengan itu adalah merupakan penegasan dari hakekat hukum adat tanah kita sendiri”
Prof. Boedi Harsono S.H.Dalam buku Agraria Indonesia (1994: 198,229-231) menegaskan bahwa : Hak atas tanah yang individual dan bersifat pribadi mengandung dalam dirinya unsur kekuasaan atau unsur kemasyarakatan. Unsur ini ada pada setiap hak atas tanah karena semua hak atas tanah secara langsung atau tidak langsung bersumber pada hak bangsa yang merupakan hak bersama. Tanah yang dihaki seseorang bukan hanya mempunyai fungsi bagi yang empunya hak itu saja,tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya.
Prof. Notonagoro“Hak milik mempunyai fungsi social itu mendasarkan diri atas individu,mempunyai dasar yang individualistis,ditempelkan kepadanya itu sifat yang social,sedangkan berdasarkan Pancasila, hukum tidak berdasarkan atas corak individualistis tetapi bercorak dwi tunggal itu.
Prof. Mr. Sudargo Gautama
Dalam bukunya Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria (1986: 20-21) menyatakan bahwa ketentuan mengenai semua hak atas tanah mempunyai fungsi social itu bukan hanya merupakan suatu pernyataan demonstratif belaka. Seorang pemilik tanah pertanian tak dapat dibenarkan bilamana tidak mengerjakan tanahnya dan membiarkannya terlantar dalam waktu serba kekurangan bahan makanan bagi rakyat.
3.1.2. Menurut Hukum Perdata Barat dan UUPAFungsi Sosial dikonsepsi hukum barat merupakan sesuatu yang timbul
kemudian dalam rangka dan sebagai hasil pemikiran kembali haknya individu dan masyarakat. Semula bersangkut pada konsep liberal-individualistis semata-mata, kemudian mengalami proses sosialisasi. Dalam konsep hukum barat tersbut pengertian fungsi social pada hakikatnya berupa pengurangan atau pembatasan individu bagi kepentingan bersama.
Konsep fungsi social dalam hukum adat dan pertanahan nasonal Indonesia adalah merupakan bagian dari alam pikirn asli orang Indonesia,yaitu manusia Indonesia adalah manusia pribadi yang sekaligus makhluk social yang mengusahakan terwujudnya keseimbangan,keserasian dan keselarasan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama(masyarakat).
Intinya,bahwa berdasarkan UUPA tanah itu dipergunakan atau tidak,diusahai atau tidak, harus didasarkan kepada 2 kepentingan sekaligus yaitu kepentingan individu si pemilik dan kepentingan social masyarakat secara berkeseimbangan yang bersifat dwi tunggal. Sedangkan pada hukum perdata barat lebih mengutamakan kepentingan individu dan tidak bersifat dwi tunggal atas kepentingan sipemilik dan kepentinagn masyarakat itu.
Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPA
mengandung beberapa prinsip keutamaan antara lain :
1. Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang
merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas
tanah menurut prinsip Hukum Tanah Nasional. Dalam Konsep Hukum Tanah
Nasional memiliki sifat komunalistik religius, yang mengatakan bahwa seluruh
bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa, bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional.
2. Tanah yang dihaki seseorang tidak hanya mempunyai fungsi bagi yang
mempunyai hak itu saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai
konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya
kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga harus diingat dan
diperhatikan kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya keseimbangan
antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat.
3. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya
keadaan tanah, sifatnya dan tujuan pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan
agar tanah harus dapat dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas kesuburan
serta kondisi tanah sehingga kemanfaatan tanahnya dinikmati tidak hanya oleh
pemilik hak atas tanah saja tetapi juga masyarakat lainya. Oleh karena itu
kewajiban memelihara tanah itu tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau
pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan juga menjadi beban bagi setiap
orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum
dengan tanah.
Dengan prinsip ini kepentingan pribadi atas tanah tidak dibiarkan
merugikan kepentingan banyak orang (umum). Apalagi ditambah dengan
peraturan baru yaitu Perpres Nomor 40 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Begitu juga
dengan pihak pemerintah, harus memperhatikan jumlah kerugian yang wajar,
layak dan adil untuk pemegang tanah. Dengan begitu tujuan UUPA untuk
mencari keseimbangan antara dua kepentingan yaitu kepentingan rakyat
(pembangunan) dan kepentingan individu dapat segera terwujud dengan baik.
3.2. Hak atas tanah yang mempunyai fungsi sosial
3.2.1. Hak Milik berfungsi Sosial
Pengertian Hak Milik menurut Pasal 20 UUPA bahwa:
“Hak milik adalah Hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”
Terkuat dan terpenuh dalam kandungan pengertian hak milik merupakan
hak mutlak tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Ini dimaksudkan
untuk membedakan dengan hak atas tanah lainnya. Akan tetapi di dalam
kemutlakan hak milik tersebut melekat sebuah ikatan hukum yang bersifat
umum dengan segala kepentingannya yang seimbang, yaitu fungsi sosial tanah.
Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan
hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi
jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas
fungsi sosial ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya.
Arti hak milik mempunyai fungsi sosial ini ialah hak milik yang dipunyai
oleh seseorang tidak boleh digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi
atau perseorangan, melainkan juga harus memperhatikan kepentingan
masyarakat umum. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa hak milik
atas tanah tersebut perlu dibatasi dengan fungsi sosial dalam rangka mencegah
penggunaan hak milik yang tidak sesuai dengan fungsi dan tujuannya.
UUPA menjamin hak milik pribadi atas tanah tersebut tetapi
penggunaannya yang bersifat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga timbul
keseimbangan, kemakmuran, keadilan, kesejahteraan bagi masyarakat maupun
pribadi yang memiliki tanah. Jadi pemilik tanah tidak akan kehilangan haknya
dalam memiliki tanah akan tetapi dalam pelaksanaan untuk kepentingan umum
maka haknya akan berpindah untuk kepentingan umum.
3.3. Pasal yang berkaitan dengan fungsi sosial hak atas tanah
Berkaitan dengan perwujudan dan pengembangan fungsi social dari hak-hak atas tanah
itu di dalam kehidupan bermasyarakat , berbangsa dan bernegara maka pada pasal-pasal
lain dalam UUPA terutama pasal 7 (larangan latifundia), pasal 10 (larangan absentee),
pasal 17 (penetapan ceiling), pasal 15(kewajiban menjaga kesuburan tanah), pasal 14
(perencanaan peruntukkan dan penggunaan tanah), pasal 18 (pencabutan ha katas
tanah), dan pasal-pasal lainnya yang masih memerlukan penjabaran lebih lanjut adalah
merupakan konsrp pokok (azas) dalam UUPA yang wajib dilaksanakan.
3.4. Implementasi fungsi sosial hak atas tanah di Indonesia serta upaya Pemerintah
di dalam menyelesaikan permasalahan tanah berkaitan dengan pembangunan
nasional.
3.4.1. Implementasi fungsi sosial hak atas tanah di Indonesia
Salah satu contoh bentuk implementasi dari asas fungsi sosial hak atas
tanah adalah Sebidang tanah milik salah satu warga yang mana didepan halaman
rumahnya terkena pelebaran jalan, jadi pemilik tanah harus merelakan sebagian
tanahnya untuk diberikan guna pelebaran jalan untuk kepentingan umum.
Namun dari tanah yang direlakan untuk digunakan pelebaran jalan tersebut
pemilik tanah mendapatkan uang ganti rugi dari pemerintah. Dari contoh
tersebut seharusnya pemilik tanah memiliki kesadaran menerapkan asas fungsi
sosial atas tanah bagi kepentingan umum.
Pada masa pembangunan sekarang ini sering terlihat adanya masalah,
yaitu jika pemerintah membutuhkan tanah yang dimiliki penduduk untuk
keperluan pembangunan. Konflik itu bisa timbul karena pemerintah di satu
pihak memerlukan tanah itu dan di pihak lainya penduduk juga ingin
mempertahankan tanah miliknya sebagi sumber mata pencaharian (lahan
pertanian misalnya) dan tempat pemukiman.
Menurut ketentuan hukum yang berlaku di indonesia pemerintah
memang di berikan wewenang untuk mengambil allih tanah penduduk guna
keperluan pembangunan, tetapi pengambilan itu tidak boleh di lakukan dengan
sewenang –wenang. Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa semua hak atas tanah.
Jadi pasal tersebut menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk melakukan
ambil alih atas tanah-tanah masyarakat untuk keperluan pembangunan.
Dan juga menurut hukum yang berlaku di indonesia ada dua cara yang di
tempuh pemerintah untuk melakukan pengambilan atas tanah yang dimiliki oleh
warga masyarakat, yaitu cara pembebasan/pelepasan hak atas tanah (prijsgeving)
dan cara pencabutan hak atas tanah (onteigening).
Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan hukum
antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian ganti
rugi yang besarnya di dasarkan pada musyawarah antara kedua pihak sedangkan
pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara
atas tanah milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi
hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian dalam
memenuhi kewajiban hukumnya.
Ada perbedaan dalam pembebasan dan pencabutan hak atas tanah baik
mengenai dasr hukumnya maupun mengenai prosedur dan penyelesaianya.
Secara yuridis tentang pencabutan hak atas tanah di atur dalam UU No. 20 tahun
1961, PP No. 39 tahun 1973 , PMDN No. 15 tahun 1975, PMDN No. 2 tahun
1976, surat edaran dritjen agraria No. 12/108/12/75, surat edaran agraria No.
BTU 2/268/2/76 dan lain-lain.
Contoh kasus:
1. Banyak proyek jalan menjadi bancakan pemangku jabatan dan
kontraktor. Proyek peleberan jalan maupun pemeliharaan berkala rentan
dijadikan proyek siluman oleh mereka. Salah satu contohnya adalah proyek
pelebaran jalan nasional dalam kota Muntok,kab.Bangka Barat. Proyek yang
menggunakan dana APBN tahun 2014 sebesar Rp. 22 M, yang dikerjakan PT.
Arga Makmur Mandiri itu dipertanyakan banyak pihak termasuk oleh anggota
DPRD Bangka Belitung. Pasalnya pengerjaan proyek tersebut terkesan asal jadi
tanpa memperhatikan kualitas proyek. Selain itu tidak terlihat adanya pengawas
dari Dinas Pekerjaan Umum yang seharusnya mengawasi proyek tersebut.
2. Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen aturan kerjanya
Keppres No.55/1993, akan tetapi dalam pelaksanaan pembebasan tanahnya tidak
melalui/memakai proses pelaksanaan pengadaan tanah tidak melalui panitia
pengadaan tanah sebagaimana yang diatur dalam peraturan yang berlaku yaitu
Keppres No.55/1993, tetapi melalui tim yang dibentuk Pemerintah Kotamadya
Semarang, Panitia Pembebasan Tanah dan cara penetapan ganti ruginya tidak
memakai dasar NJOP. Besarnya ganti rugi uang yang diberikan kepada warga
yang tanahnya terkepras sebesar Rp.20.000,-/m2, dengan perincian Rp.15.000,-
sebagai uang ganti rugi dan Rp.5.000,- sebagai uang tali asih, ditambah tanah
pengganti berlokasi di Jatisari. Pelaksanaan Pembangunan Pelebaran Jalan
Ngaliyan – Mijen sampai sekarang belum selesai karena terbatasnya dana yang
tersedia di Pemkot melalui APBD dan masih adanya masyarakat yang belum
mengambil ganti rugi sehingga tanahnya tidak dapat dibebaskan sehingga
Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen tidak sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
3. Jalan Tol Semarang-Solo adalah jalan tol di provinsi Jawa Tengah,
Indonesia. Jalan Tol Semarang-Solo menghubungkan kota Semarang dengan
Surakarta. Tol ini mulai dibangun tahun 2009 oleh Jasa Marga dan diperkirakan
akan selesai tahun 2012. Panjang jalan tol ini adalah 75,7 km. Adapun jalan tol
ini terbagi menjadi lima seksi.Pembangunan Tol Semarang-Solo membutuhkan
biaya investasi sebesar 6,1 triliun rupiah, biaya konstruksi 2,4 triliun rupiah, dan
biaya pengadaan tanah 800 miliar rupiah (inilah.com, 2009). Konstruksi tol seksi
I Semarang (Tembalang)-Ungaran dimulai pada awal tahun 2009. Ditargetkan
tol Semarang-Ungaran dapat diselesaikan dalam 13 bulan konstruksi. Tol seksi
II Ungaran-Bawen akan mulai dibangun pada November 2009 (ANTARA,
2009).Walaupun telah didukung penuh oleh pemerintah daerah maupun
pemerintah pusat, namun pengerjaan jalan tol tersebut tidak menjamin menemui
kendala, bahkan terkesan proyek jalan tol tersebut terindikasi korupsi serta
perbedaan rencana antar berbagai pihak mengenai proyek tersebut. Menurut
berita ANTARA 14 Juni 2010, pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo rute
Kota Semarang hingga Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, terancam
tidak selesai sesuai target waktu yang ditentukan. Indikasi itu terlihat dari
permohonan kontraktor yang meminta perpanjangan waktu pengerjaan lima
bulan lagi terhitung sejak Juni 2010. Banyak berbagai faktor penghambat proyek
tersebut selesai tepat waktu, adapun faktor-faktor tersebut adalah pembebasan
dan pembayaran ganti rugi lahan, masih ada bangunan milik penduduk yang
belum dibongkar, musim hujan yang masih terjadi.
4. Permasalahan yang lebih besar dihadapi adalah adanya kasus di Desa
Jatirunggo, Kabupaten Semarang yang terindikasi adanya korupsi serta negosiasi
fiktif harga tanah antara warga desa dengan Tim Pengadaan Tanah. Kasus yang
memprihatinkan di Desa Jatirunggo adalah pada tanggal 30 April 2010 tabungan
senilai Rp 13,2 miliar yang disimpan di Bank Mandiri milik warga Desa
Jatirunggo hilang. Uang tersebut merupakan pembayaran atas tanah warga yang
dibeli untuk mengganti lahan PT. Perhutani yang terkena proyek Jalan tol
Semarang-Solo.Pengadaan tanah di Desa Jatirunggo dinailai merugukan
keuangan negara sekitar Rp 8,1 miliar karena pemerintah membayar
penggantian lahan Rp 50.000 per meter persegi namun warga hanya menerima
Rp 20.000 per meter persegi. Kasus transaksi pemindahbukuan rekening tersebut
dinilai Komisi D DPRD Jateng berpindah ke rekening diduga milik broker.
Kejadian tersebut semakin tidak wajar karena pihak bank tidak mengklarifikasi
pemindahbukuan itu ke warga. Kejati Jateng juga menemukan bukti awal
adanya rekayasa musyawarah penentuan harga tanah serta menemukan bukti
keterlibatan Agus Sekmaniharto sebagai broker.
Jika dilihat dari permasalahan pembangunan proyek Jalan Tol Solo-
Semarang tersebut menunjukkan bahwa lemahnya birokrasi serta semakin
besarnya peluang melakukan korupsi di daerah. Rencana pembanguangan yang
simpang siur arahnya tersebut menunjukkan bahwa koordianasi antara
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota lemah.
Lemahnya koordinasi ini terlihat dari keinginan dari Kota Salatiga untuk
meminta interchange berada di pusat Salatiga, padahal interchange di pusat Kota
Salatiga tidak ada dalam rencana awal. Hal ini menunjukkan bahwa konsistensi
pemerintah dalam menjalankan proyek sangat rendah.
Faktor dominan penghambat pelaksanaan pengadaan lahan Jalan Tol
Ruas Semarang-Solo Seksi Semarang-Ungaran adalah nilai lahan dan sumber
pembiayaan. Faktor nilai lahan disebabkan oleh perbedaan dasar pemikiran
antara pemilik lahan dengan panitia dalam penentuan besarnya ganti rugi.
Sedangkan faktor sumber pembiayaan disebabkan karena swasta enggan untuk
mencairkan dana pengadaan lahan. Adanya risiko pengadaan lahan yaitu tidak
adanya kepastian mengenai besaran biaya yang harus dibayar investor dan
kepastian waktu kapan lahan dapat dibebaskan menyebabkan investor tidak
dapat melanjutkan investasinya karena lahan belum bebas.
Kasus inidikasi korupsi yang berupa perbedaan antara harga tanah yang
disepakati negara serta jumlah yang diterima warga menunjukkan bahwa Tim
Pengadaan Tanah yang dibentuk pemerintah tidak memiliki intergritas yang
baik. Tim tersebut juga diniliai tidak bekerja secara profesional karena
ditemukannya kasus negosiasi harga fiktif. Belum lagi adanya peran dari bank
yang memindahbukukan renening warga kepada salah satu rekening yang
diduga broker semakin menunjukkan bahwa kinerja Tim rendah.
Kasus yang melibatkan perbankan juga memberi sinyal negatif bagi
pemberantasan korupsi, padahal perbankan dituntut untuk hati-hati serta
profesional dalam menjalankan bisnisnya. Peranperbankan dalam dugaan
korupsi semakin meyakinkan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia telah
berjalan sistematis. Kejadian ini semakin menguatkan kegagalan pemerintah
dalam membagun fasilitas publik yang bersih dari korupsi dan profesional dalam
menjalankan proyek publik.
3.4.2. Upaya Pemerintah di dalam menyelesaikan permasalahan tanah berkaitan
dengan pembangunan nasional
1. Pencabutan Hak atas Tanah
Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang
diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga
negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan
bersama rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan
pembangunan. Dalam pasal 1 UU nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan
pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah
mendenangar menteri agraria, kehaiman dan mentri yang bersangkutan
dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”
Memperhatikan ketentuan yang ada pada pasal 1 UU nomor 20
tahun 1961 di atas, maka sebelum presiden mengeluarkan keputusan
terhadap tanah yang akan di cabut hak-hak atasnya, terlebih dahulu mesti
dilakukan suatu permohonan yang di ajukan kepada yang berkepentingan
seperti yang telah tertuang di dalam pasal 2 UU nomor 20 tahun 1961
Dan dasar pokok dari UU No 20 tahun 1961 tentang
pencabutan hak atas tanah itu adalah ketentuan pasal 18 UU No. 5 tahun
1960 (UUPA) yang menggariskan untuk kepentingan umum negara dapat
melakukan pencabutan hak atas tanah. Pada pasal 18 UUPA tersebut
selengkapnya sebagai berikut:
“untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bersama dari rakyat
hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang
layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”
Terhadap salah satu hak atas tanah yaitu hak milik, maka berlaku
ketentuan Pasal 27 ayat 1 UUPA yang menyebutkan bahwa, “hak milik
hapus jika tanahnya jatuh kepada negara karena pencabutan hak berdasarkan
Pasal 18 UUPA”.
Untuk melaksanakan ketentuan pasal 18 UUPA tentang Ontiegening
tersebut dituntut persayaratan tegas dan ketat sebagai berikut:
1. Pencabutan hak hanya dapat dilaksanakan bilamana kepentingan umum
benar-benar menghendaki. Unsur kepentingan umum ini harus tegas
menjadi dasar dalam pencabutan hak ini;
2. Sesuai dengan ketentuan UU No. 20 tahun 1961 pencabutan hak atas
tanahnya dapat dilakukan atas izin presiden.
3. Pencabuatan hak atas tanah tersebut harus di sertai ganti rugi yang
layak.
Pencabutan hak yang dilakukan oleh pemerintah tanpa mengindahkan
persyaratan tersebut adalah merupakan perbuatan melanggar hukum atau
menyalahgunakan wewenang oleh pemerintah.
Prosedur pencabutan hak atas tanah, pencabutan hak atas tanah untuk
kepentingan umum sebagaimana diatur di dalam UU No. 20 tahun 1961
dapat dilakukan dengan baik acara biasa (pasal 2 sampai dengan 5 UU No.
20 tahun 1961) maupun dengan acara luar biasa (pasal 6 sampai dengan 8
UU No. 20 tahun1961)
1. Dengan acara biasa
Dalam acara biasa pihak pemohon (instansi yang membutuhkan
tanah) menyampaikan permohonan kepada Presiden RI dengan
perantara Menteri Dalam negeri /drijen Agraria setempat dengan
disertai alasan-alasan dan syarat-syarat seperti ditentukan pasal 2 ayat
2 UU No. 20 tahun 1961 yaitu:
a. rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk
kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu.
b. keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak,
luas dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta
benda-benda yang bersangkutan.
c. rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu
dan kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau
menempati rumah yang bersangkutan.
2. Dengan acara luar biasa.
Dalam keadaan mendesak pencabutan hak atas tanah dapat
dilakuakan dengan acara luar biasa atau acara khusus yang
memungkinkanya dilakukan secara lebih cepat. Keadaan mendesak ini
misalnya dalam hal berjangkitnya wabah penyakit dan timbulnya alam
dimana di perluakan tempat penampungan segera. (Lihat pasal 6 UU
No. 20 tahun1961)
1. Menyimpang dari ketentuan pasal 3, maka dalam keadaan yang
sangat mendesak yang memerlukan penguasaan tanah dan/ atau
benda-benda yang bersangkutan dengan segera, atas permintaan yang
berkepentingan Kepala Inspeksi Agraria menyampaikan permintaan
untuk melakukan pencabutan hak tersebut pada pasal 2 kepada
Menteri Agraria, tanpa disertai taksiran gantn ikerugian Panitya
Penaksir dan kalau perlu juga dengan tidak menunggu diterimanya
pertimbangan Kepala Daerah.
2. Dalam hal tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka Menteri Agraria dapat
mengeluarkan surat keputusan yang memberi perkenan kepada yang
berkepentingan untuk menguasai tanah dan/atau benda-benda yang
bersangkutan. Keputusan penguasaan tersebut akan segera diikuti
dengan keputusan Presiden mengenai dikabulkan atau ditolaknya
permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu.
3. Jika telah dilakukan penguasaan atas dasar surat keputusan tersebut
pada ayat 2 pasal ini,maka bilamana kemudian permintaan
pencabutan haknya tidak dikabulkan, yang berkepentingan harus
mengembalikan tanah dan/atau bendabenda yang bersangkutan
dalam keadaan semula dan/atau memberi gantikerugian yang sepadan
kepada yang mempunyai hak.
2. Pembebasan Hak atas Tanah
Salah satu cara berakhirnya hak atas tanah adalah apabila terjadinya
pembebasan hak atas tanah tersebut. Masalah pembebasan tanah sekarang
ini dapat di jumpai aturanya di dalam berbagai peraturan, surat edaran atau
intruksi yang di keluarkan oleh Dapertemen Dalam Negeri. Beberapa di
antartaranya:
1) Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 tahun 1975 (tanggal 13
Desember 1975) tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara
pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah.
2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1976 tentang penggunaan
acara pembebasan tanah untuk swasta.
3) Surat edaran Direktorat jendral agraria tanggal 28 februari 1978 No.
BTU 2/268/1979 tentang PMDN No. 15 tahun 1975 tentang ketentuan-
ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah.
Prosedur pembebasan tanah, menurut PMDN No. 15 tahun 1975
pembebasan tanah hanya dapat dilakukan apabila telah diperoleh kata
sepakat antara pemegang kesepakatan itu menyangkut baik teknis dan
pelaksanaanya maupun mengenai besar dan bentuk ganti rugi. Kesepakatan
itu dilakukan atas dasar sukarela dengan cara musyawarah. Jika upaya
pembebasan tanah menurut prosedur tersebut tidak di capai maka dapat di
tempuh prosedur pencabutan seperti diatur dalam UU No. 20 tahun 1961
dengan ketentuan bahwa keperluan atau penggunaan atas tanah itu sangat
mendesak.
Pembebasan tanah tidak saja dapat dilakukan untuk kepentingan
instansi pemerintahan sja namun intansi swasta juga yaitu dalam hal proyek-
proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau dalam bidang
kepentinganpembangunan secara umum seperti di atur dalam PMDN No. 15
tahun 1975 dan PMDN No 2 tahun1976
Dan bila dalam musyawarah tidak di temui kata sepakat maka dan di
dalam UPDN No 15 tahun 1975 juga tidak di jelaskan bagaimana kah jiga
tidak ditemui kata sepakat dalam musyawarah untuk pembebasan tanah,
maka untuk menguasai tanah tersebut dapat ditempuh prosedur
“pencabuatan” sesuai dengan undang-undang no 20 tahun 1961 dengan
konsukwensi bahwa prosenya akan berjalan lebih lama.
Tata cara penetapan ganti rugi, apabila penetapan bentuk dan
besarnya ganti kerugian atas tanah tidak diterimah oleh pemegang hak atas
tanah akibat pencabutan sesuai ketentuan dalam pasal 8 UU No 20 tahun
1961, pengadilan berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan kasus
tersebut. Hal ini diatur dalam peraturan pemerintah dalam Nomor 39 tahun
1973 tentang acara penetapan ganti kerugian oleh pengadilan tinggi
sehubungan denagan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di
atasnya. Dalam pasal 1 PP Nomor 39 tahun 1973 dinyatakan sebagai
berikut: “permintaan banding tersebut pada pasal 1 peraturan pemerintah ini
diajukan kepada pengadilan tinggi yang daerah kekuasanya meliputi tanah
dan benda-benda yang haknya di cabut, selambat-lambatnya dalam waktu 1
(bulan) terhitung sejak tanggal keputusan presiden itu di maksud dalam
pasal 5 dan 6 UU Nomor 20 tahun 1961 tersebut di sampaikan kepada yang
bersangkutan”
Dalam kaitanya dengan ketentuan dalam pasal 2 di atas, maka
pemohon banding mengajukan permohonan baik tertulis maupun secara
lisan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 3 PP Nomor 39 Tahun
1973 dinyatakan sebagai berikut:
“permintaan banding disampaikan dengan surat atau dengan lisan kepada
panitera pengadilan tinggi dimaksud dalam pasal 1 peraturan pemerintah
yang diajukan oleh yang bersangkutan yang disampaikan secara lisan
permintaan banding diterimah apabila terlebih dahulu dibayar biaya perkara
yang di tetapkan oleh ketua pengadilan tinggi apakah pemita banding tidak
mampu, maka atas pertimbangan ketua pengadilan tinggi ia dapat
dibebaskan dari pembayaran biaya perkara tersebaut pada pasal( 2) ayat ini.
Untuk kelancaran dan kecepatan pemeriksaan terhadap
permohonan banding tersebut, maka pengadilan tinggi menentukan jangka
waktu lamanya pemeriksaan. Dalam pasal 4 dinyatakan bahwa selambat-
lambatnya dalam waktu satu (1) bulan setelah diterimahnya banding,
perkara tersebut harus sudah di periksa oleh pengadilan tinggi yang
berwsangkutan. Pemeriksaan dan putusan di jatuhkan dalam waktu yang
sesingkat-singakatnya.
Berkaitan dengan perkara tersebut, untuk memperlancar jalannya
pemeriksaan, maka pengadilan tinggi dapat memanggil para pihak untuak
di dengar keterangannya masing masaing (pasal 5 ayat (1)). Selanjutnya
permintaan keterangan dari para pihak dapat di limpahkan oleh pengadilan
tinggi ke pengadilan negeri, di mana tanah dan benda-benda tersebut
terletak (ayat (2)).
Pertimbangan pemerintah memberikan kesempatan kepada para
pemegang hak atas tanah, tidak mau menerima besarnya ganti kerugian
walaupun sudah mendapat keputusan dari presiden, dimaksudkan agar
pelaksanaan pencabutan ini dilakukan secara bijak dan hati-hati. Sebab
dengan dilakukanya pencabutan, maka para pemegang hak atas tanah
semula telah melepaskan haknya tersebut. Prinsip kehati-hatian ini
membuat Presiden mengeluarkan intruksi nomor 9 tahun 1973
pelaksanaan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda diatasnya.
Dalam intruksi tersebut di tujukan kepada kepada semua mentri dan
gubernur di seluruh indonesia, bahwa:
“Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya
supaya hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan
dilakukan dengan hati-hati serta denangan hati-hati serta dengan cara-cara
yang adil dan bijaksana, segala sesuatunya sesuai dengan ketentuan-
ketentuan perundang-perundangan yang berlaku.”
Dalam instrusi presiden ini telah di tentukan bawa pembangunan
yang bersifat kepentingan umum, yaitu apabila kegiatan tersebut
menyangkut:
a) Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau
b) Kepentingan masyarakat luas, dan/atau
c) Kepentingan rakyat banyak, dan/atau
d) Kepentingan pembangunan.
Berkaitan dengan poin di atas, menyangkut kegiatan yang dapat
dikategorikan sebagi kepentingan umum, maka dalam intruksi presiden
tersebut telah di tetapkan biidang bangunan yang masuk dalam kategori
sifat kepentingan umum sebagai berikut:
a) Pertahanan;
b) Pekerjaan umum;
c) Jasa umum;
d) Keagamaan;
e) Ilmu pengetahaun dan seni budaya;
f) Kesehatan;
g) Olahraga;
h) Perlengkapan umum;
i) Keselamatan umum terhadap bencana;
j) Kesejahteraan sosial;
k) Makam/kuburan
l) Pariwisata dan rekriasi;
m) Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.
Suatu hal yang dapat di salut dari adanaya instruksi presiden ini
menyangkut mengenai penghargaan terhadap pemegang hak atas tanah
yang akan dicabut dengan alasan demi kepentingan umum, karena alasan
sangat mendesak. Hal ini di atur dalam pasal 4 intruksi Presiden ini
sebagai berikut:
Dengan tetap memperhatikan kepentingan pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan, naka penguasaan atas tanah dalam keadaan
yang sangat mendesak sebagai di maksud dalam pasal 6 UU Nomor 20
tahun 1961 (lembaran negara tahun 1961 nomor 288) hanya dapat
dilakukan apabila kepentingan umum menghendaki keadaan sangat
mendesak, di mana penundaan pelaksanaanya dapat menimbulkan
bencana alam yang dapat menimbulkan bencana alam yang mengancam
keselamatan umum; (b) penyediaan tanah tersebut sangat di perlukan
dalam suatu suatu kegiatan pembangunan yang oleh pemerintah dan atau
pemerintah daerah maupun masyarakat luas pelaksanaanya di anggap
tidak dapat di tunda-tunda lagi.
Menelaah ketentuan dalam intruksi Presiden di atas, maka
pencabutan hak atas tanah dengan alasan dalam keadaan yang sangat
mendesak merupakan persyaratan yang sangat berat. Sebab dengan
adanya persyaratan mengenai dapat dilakukan dengan alasan
menimbulkan bencana alam akan mengancam keselamatan umum
merupakan persyaratan kedua yang mensyaratkan agar pencabutan dapat
dilakukan dengan dalih suatu pembangunan yang sangat sulit untuk di
buktikan. Oleh kerena itu, kesimpulannya bahwa pelaksanaan yang
sangat sulit di buktikan. Oleh karena itu, kesimpulannya bahwa
pelaksanaan pencabutan hak atas tanah meruoakan instrumen hukum
yang sangat melindungi kepentingan pemegang hak atas tanah.
4.KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, maka adapun kesimpulan yang dapat diambil
adalah:
1. Berdasarkan UUPA tanah itu dipergunakan atau tidak,diusahai atau tidak,
harus didasarkan kepada 2 kepentingan sekaligus yaitu kepentingan individu
si pemilik dan kepentingan social masyarakat secara berkeseimbangan yang
bersifat dwi tunggal. Sedangkan pada hukum perdata barat lebih
mengutamakan kepentingan individu dan tidak bersifat dwi tunggal atas
kepentingan sipemilik dan kepentinagn masyarakat itu.
2. Setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial sebagaimana termuat di dalam
Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria. Ketentuan tersebut juga berlaku terhadap hak milik sebagai
salah satu dari jenis hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh dalam
kandungan pengertian sebagai hak mutlak tidak terbatas dan tidak dapat
diganggu gugat. Sekalipun demikian, hak milik tetap memiliki fungsi sosial
karena di dalam Pasal 20 UUPA mengenai pengertian daripada hak milik
tetap merujuk pada Pasal 6 UUPA.
3. Terkait dengan masalah pembangunan yang bertujuan untuk kepentingan
umum, hak-hak atas tanah termasuk juga hak milik dapat diupayakan
pencabutan hak maupun pembebasan hak atas tanah oleh pemerintah daerah
setempat yang nantinya akan diberikan ganti rugi atau kompensasi.
4. Berkaitan dengan perwujudan dan pengembangan fungsi social dari hak-
hak atas tanah itu di dalam kehidupan bermasyarakat , berbangsa dan
bernegara maka pada pasal-pasal lain dalam UUPA terutama pasal 7
(larangan latifundia), pasal 10 (larangan absentee), pasal 17 (penetapan
ceiling), pasal 15(kewajiban menjaga kesuburan tanah), pasal 14
(perencanaan peruntukkan dan penggunaan tanah), pasal 18 (pencabutan ha
katas tanah), dan pasal-pasal lainnya yang masih memerlukan penjabaran
lebih lanjut adalah merupakan konsrp pokok (azas) dalam UUPA yang
wajib dilaksanakan.
5. Implementasi pasal 6 UUPA belum terlaksana dengan baik
5. SARAN
1. Dengan seringnya masalah pencabutan maupun pembebasan hak atas tanah yang terjadi di masyarakat lebih karena penerapan dari aturan-aturan ini yang tidak efektif. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, dimana salah satunya adalah prosedur pelaksanaan maupun ganti kerugian yang terbilang ketat sehingga menimbulkan banyaknya keluhan di masyarakat. Oleh karena itu, dapat disarankan agar di dalam pelaksanaan baik itu pencabutan ataupun pembebasan hak atas tanah yang dilakukan demi kepentingan umum memperhatikan pula hak-hak masyarakat yang dirugikan dalam hal ini agar nantinya tidak menimbulkan masalah-masalah baru di kemudian hari.
2.Hendaknya pasal 6 UUPA ini dapat benar-benar menjadi pasal yang sesuai dengan amanat pasal 33 (3) UUD NRI 1945 yang mengutamakan kemakmuran rakyat, semoga pemerintah dapat lebih baik lagi dalam melindungi hak-hak masyarakat agar tidak diperkosa oleh oknum-oknum yang berkepentingan yang bergerak dengan tameng fungsi social ha katas tanah
1.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Kalo, Syafruddin. 2004. Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Jakarta: Pustaka Bangsa Press.
Parlindungan, A.P. 1998. Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung: Mandar Maju.
Siregar, Tanpil Anshari. 2004. Undang-Undang Pokok Agraria dalam Bagan. Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU.
Yamin, Muhammad. 2003. Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria. Medan: Pustaka Bangsa Press.
Perundang-Undangan:
UUD NRI 1945
UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
UU No 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah
Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDP) No. 15 tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Pemerintah
Majalah:
Muktar, Romli. 2014. “ProyekAsal Jadi Muntok”. Forum Keadilan. XXIV.
Internet:
Aminoto, Nirmala.”Hak atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial”.03 November2014.http://www.academia.edu/7703311/HAK_ATAS_TANAH_MEMPUNYAI_FUNGSI_SOSIAL