Post on 05-Dec-2015
description
ANEMIA DEFISIENSI BESI
Oleh: Maya Alvionita
A. Definisi
Menurut Bakta (2006), anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi karena kurangnya
penyediaan besi untuk erritropoesis karena tidak adanya cadangan besi sehingga menyebabkan
berkurangnya pembentukan hemoglobin. Anemia defisiensi besi sering dijumpai di negara-negara
tropik dan negara dunia ketiga karena sangat berkaitan dengan taraf sosial ekonomi dan mengenai
lebih dari sepertiga penduduk dunia.
B. Etiologi
Anemia defisiensi besi disebabkan antara lain oleh (Bakta, 2007; Sachber, Mc Person, 2000; Theml
et all, 2004; Bakta, 2006)
1. Perdarahan menahun (bersifat kronis dan patologis), berasal dari :
a. Saluran cerna (sering) : karena tukak peptik, kanker (kolon dan lambung),
hemoroid (ambeien) , infeksi cacing tambang, pemakaian salisilat, ulcus pepticum, varices
esophagus, gastritis, hernia hiatus, diverikulitis, konsumsi alkohol atau aspirin.
b. Saluran genitalia perempuan : menorrhagia (menstruasi berlebihan) dan metrorhagia
(perdarahan di luar waktu haid)
c. Saluran kemih (jarang) : hematuria
d. Saluran napas : hemoptoe (batuk darah)
2. Faktor nutrisi
a. Kurangnya jumlah zat besi di dalam makanan
b. Kualitas (bioavailabilitas) besi tidak baik (pada makanan yang banyak serat, rendah vitamin C,
dan rendah daging).
3. Meningkatnya kebutuhan besi (misalnya pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan,
kehamilan, wanita menyusui, wanita menstruasi )
4. Malabsorbsi/ gangguan absorbsi besi, terjadi pada gastrektomi (pengangkatan sebagian atau
seluruh lambung) , tropical sprue atau kolitis kronik, gastritis.
Pada orang dewasa yang sering dijumpai adalah karena perdarahan menahun. Pada laki-laki
paling sering karena perdarahan gastrointestinal. Di negara tropik, paling sering terjadi karena
infeksi cacing tambang. Sedangkan pada perempuan dalam masa reproduksi karena meno-
metorhagia (Bakta, 2006)
C. Patogenesis
Perdarahan menahun menyebabkan tubuh banyak kehilangan besi dan berakibat pada
penurunan cadangan besi. Cadangan besi yang berkurang ini menyebabkan timbulnya defisiensi
besi yang terdiri atas tiga tahap, dimulai dari tahap yang paling ringan yaitu tahap pralaten ( iron
depletion state atau negative iron balance), kemudian tahap laten (iron deficient erythropoesis) dan
tahap anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia).
1. Tahap pertama (iron depletion state) ditandai dengan turunnya kadar feritin serum kurang dari
12 µg/L, peningkatan absorbsi besi dalam usus, dan pengecatan besi di sumsum tulang negatif.
Sedangkan komponen lain seperti kapasitas ikat besi total/total iron binding capacity (TIBC), besi
serum/ serum iron (SI), saturasi transferin, RDW, MCV, hemoglobin, dan morfologi sel masih
normal.
2. Jika kekurangan besi berlangsung terus-menerus, akan terjadi keadaan iron deficient
erythropoesis dimana cadangan besi akan menjadi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tapi gejala an emia secara
klinis belum nampak. Pada fase ini kelainan yang terjadi adalah penurunan feritin serum, besi
serum, saturasi transferin dalam serum, peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc
protophorphyrin dalam eritrosit dan peningkatan total iron binding capacity (TIBC) >390 µg/dl.
Saat ini, parameter keadaan ini yang spesifik adalah peningkatan reseptop transferin dalam
serum.
3. Tahap lebih lanjut adalah iron deficiency anemia yang disebabkan jumlah besi terus-menerus
turun dan semakin menganggu eritropoesis sehingga kadar hemoglobin mulai turun. Terjadi
pula kekurangan besi di epitel serta beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku,
epitel mulut, dan faring serta berbagai gejala lain. Komponen-komponen lain juga akan
mengalami perubahan seperti gambaran morfologi sel darah mikrositik hipokromik, sedangkan
RDW dan TIBC meningkat >410 µg/dl.
(Bakta, 2006)
Tabel 1. Urutan tahapan defisiensi besi
Iron StatusIron Replete
(normal)
Stage 1
Iron Depleted
Stage 2
Iron deficient
erythropoiesis
Stage 3
Iron deficiency
anemia
Serum Feritin (µg/L) >12 <12 <12 <12
Marrow Iron 2-3+ 0-1+ 0 0
TIBC (µg/dl) 300-360 360 390 410
Serum Iron (µg/dl) 65-165 115 <60 <40
Transferin saturation
(%)
20-50 30 <15 <10
RDW Normal Normal Normal Meningkat
MCV Normal Normal Normal Menurun
Hemoglobin Normal Normal Normal Menurun
RBC Morfology Normal Normal Normal
(dikutip dari Koss, 1998 dalam Muhammad dan Sianipar)
D. Manifestasi Klinis
Menurut Bakta (2006), gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3, yaitu gejala
umum anemia, gejala khas defisiensi besi, dan gejala penyakit dasar.
1. Gejala umum anemia
Gejala umum ini terlihat pada defisiensi besi jika kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl.
Gejalanya berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, telinga mendenging,
pucat terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku. Pada penurunan hemoglobin
yang perlahan, gejala ini kurang nampak karena mekanisme kompensasi tubuh berjalan baik.
2. Gejala khas defisiensi besi
Gejala khas yang tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah sebagai berikut :
Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris vertikal dan
menjadi cekung.
Atrofi papila lidah : permukaan lidah licin dan mengkilap (papil lidah menghilang)
Stomatitis angularis (cheilosis) : adanya keradangan pada sudut mulut, timbul bercak pucat
keputihan.
Disfagia : nyeri menelan karena epitel hipofaring rusak.
Atrofi mukosa gaster.
Pica : keinginan untuk memakan bahan tidak lazim
Sindroma Plummer Vinson/ Paterson Kelly,merupakan kumpulan gejala dari anemia
hipokromik mikrositik,
atrofi papil lidah dan disfagia.
3. Gejala penyakit dasar
Terdapat gejala penyakit yang menyebabkan anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya, karena
penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan
berwarna kuning. Jika disebabkan karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala
gangguan buang air besar atau gejala lain tergantung lokasi kanker.
E. Penegakan Diagnosis
Menurut Bakta (2006), terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan
adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin dan hematokrit. Tahap kedua adalah
memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari
defisiensi besi yang terjadi. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain :
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai :
Biodata
Keluhan utama
Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit keluarga
Kondisi psikososial
Terapi obat sebelumnya
2. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium)
Pemeriksaan fisik terhadap pasien pada konjungtiva mata, warna kulit, kuku, mulut, dan papil
lidah. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan :
Pucat pada membrane mukosa (konjubgtiva mata, gusi, lidah)
Pucat pada kulit (lipatan telapak tangan)
Pucat pada jaringan di bawah kuku (pada orang berkulit gelap)
Terdapat kuku sendok (koilynochia)
Stomatitis angularis
Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin
Melalui pemeriksaan laboratorium, untuk menegakkan diagnosis tahap satu dan tahap
dua, dapat dipakai criteria diagnosis anemia defisiensi besi sebagai berikut (Bakta, 2006) :
Terjadi anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan MCHC
<31% dengan salah satu dari a, b, c, atau d :
a. Dua dari tiga parameter berikut :
Besi serum <50 mg/dl
TIBC >350 mg/dl
Saturasi transferin <15, atau
b. Feritin serum <20 mg/dl, atau
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan cadangan besi
(butir-butir hemosiderin) negatif, atau
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/ hari (atau preparat besi lain yang setara)
selama 4 minggu diserrtai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl
Untuk tahap ketiga, pemeriksaan dilakukan dengan focus utama mencari sumber
perdarahan pada pasien dewasa. Pemeriksaannya (Bakta, 2006) :
Anamnesis menstruasi pada wanita dan pemeriksaan ginekologi jika diperlukan
Pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing tambang (dinyatakan cacing tambang sebagai
penyebab jika ditemukan telur per gram feses (TPG) atau egg per gram faeces (EPG) >2000
pada perempuan dan >4000 pada laki-laki.
Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dapat dilakukan tes darah samar (occult blood
test) pada feses, dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau
bawah.
F. Terapi
1. Terapi kausal : terapi pada penyebab perdarahan.
2. Iron replacement therapy (pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam
tubuh)
a. Terapi besi oral
Preparat utama : ferrous sulphat (sulfas ferosus) -> murah tapi efektif.
Dosis anjuran 3x200 mg.
Efeknya meningkatkan absorbsi besi 50 mg per hari, dapat meningkatkan eritropoesis
dua sampai tiga kali.
Pada pasien yang mengalami intoleransi, pemberiannnya saat makan atau setelah
makan (Bakta, 2006)
Preparat lain : ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous
succinate -> lebih mahal, efek sama dengan ferrous sulphat, enteric coated (efek
samping lebih rendah, mengurangi absorbs besi).
Pemberian : lebih efektif saat lambung kosong, tapi efek samping lebih besar
dibandingkan pemberian setelah makan.
Pengobatan : diberikan selama 3 sampai 6 bulan, ada pula yang menganjurkan
hingga 12 bulan dengan dosis pemeliharaan 100 sampai 200 mg. Tanpa dosis
pemeliharaan anemia kambuh kembali.
Efek samping : gangguan gastrointestinal, berupa mual, muntah, serta konstipasi.
Untuk mengurangi efek samping diberikan saat makan atau dosis dikurangi menjadi
3x100 mg.
Beberapa hal yang menyebabkan kegagalan respon terhadap pemberian preparat besi
peroral antara lain perdarahan yang masih berkelanjutan (kausanya belum teratasi), ketidak
patuhan pasien dalam minum obat (tidak teratur) dosis yang kurang, alabsorbsi, salah
diagnosis atau anemia multifaktorial. ( Bakta, 2007,H offbrand AV, et al, 2005).
b. Terapi besi parenteral (secara IM dan IV pelan)
Risiko besar dan harga mahal. Pemberian atas indikasi berikut ini :
1) Intoleransi terhadap pemberian besi oral
2) Kepatuhan terhadap obat yang rendah
3) Gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yang kambuh jika diberi besi
4) Penyerapan besi terganggu, misalnya pada gastrektomi
5) Perdarahan hebat sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian per oral, misalnya
pada heredity hemorrhagic teleangiectasia
6) Kebutuhan besi besar dalam waktu pendek
7) Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal
kronik atau anemia penyakit kronik
8) Untuk koreksi defisiensi zat besi yaitu bila kadar feritin serum awal <100 mg/ml
Preparat :
Iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml)
Iron sorbitol citric acid complex (Jectofer), pemberian secara IM
Iron ferric gluconate
Iron sucrose
Tujuan : mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai 1000
mg.
Dosis :
Efek samping :
Efek samping preparat besi parental lebih berbahaya. Beberapa efek samping yang
dapat ditimbulkan dari pemberian besi parenteral meliputi nyeri setempat dan warna
coklat pada tempat suntikan, flebitis, sakit kepala, demam, artralgia, nausea, vomitus,
nyeri punggung, flushing, urtikaria, bronkospasme, dan jarang terjadi anafilaksis dan
kematian (Bakta, IM, 2007; Hoffbrand AV,et al, 2005; Tierney LM, et al, 2001).
Mengingat banyaknya efek samping maka pemberian parenteral perlu
dipertimbangkan benar benar. Pemberian secara infus harus diberikan secara hati-hati.
Terlebih dulu dilakukan tes hipersensitivitas, dan pasien hendaknya diobservasi selama
pemberian secara infus agar kemungkinan terjadinya anafilaksis dapat lebih diantisipasi.
(Bakta, IM, 2007; Hoffbrand AV,et al, 2005; Tierney LM, et al, 2001).
c. Pengobatan lain (Bakta, 2006) :
Diet : makanan tinggi protein, terutama protein hewani
Vitamin C : dosisnya 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan absorbsi besi
Transfusi darah (berupa PRC/ packed red cell untuk mengurangi overload), dengan
indikasi :
1) Ada penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung
2) Anemia yang sangat simtomatik, misalnya dengan gejala pusing yang menyolok
3) Memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat, misalnya pada kehamilan
trimester akhir atau preoperasi
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, IM. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.Hoffbrand, AV. et all. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC.Koss, W. 1998. Anemies of abnormal iron Metabolism and hemochromatosis. In : Koepke JA, Martin
EA, Steininger CA eds. Clinical Haematology, Principles Procedures and Correlation, 9th edition, Lippincot Philadelphia, 979-1010
Muhammad, A, dan Sianipar O.____. Penentuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit Kronis Menggunakan peran Indeks sTfR-F. Journal Pathology Vol 1 No 1-new.indd- Journal Unair
Kebutuhan besi (mg) = (15 – Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg
Sacher, RA. MC Pherson, RA. 2000 . Widman’s Clinical Interpretation of Laboratory Tests. Philadelphia: FA Davis Company.
Theml Harald, MD. et all. 2004. Color Atlas Hematology Practical Microscopic and And Clinical Diagnosis. New York:
Tierney, LM. et all. 2001. Current Medical Diagnosis and Treatment . San Fransisco : Mc Graw-Hill Companies.
Anemia Haemolitik (HA)
By: Firyal Maulia
A. DEFINISI
Anemia hemolitik disebabkan oleh berkurangnya waktu hidup sel darah merah; waktu hidup
rata-rata sel darah merah normal adalah 120 hari. Anemia hemolitik terjadi bila waktu hidup rata-
rata sel darah merah berkurang sampai hanya 15 hari atau kurang, terjadi pada erythropoiesis yang
tidak efektif, defisiensi hematinic atau penyakit sumsum tulang. Hemolysis dapat disebabkan
adanya kesalahan pada sel darah merah, biasanya diwariskan oleh orang tua penderita., atau
karena keabnormalan lingkungan sel darah merah, biasanya didapatkan bukan diwariskan (Mehta,
2005).
B. ETIOLOGI
Anemia hemolitik dapat dikelompokkan berdasarkan penyebabnya menjadi anemia hemolitik
diwariskan (inherited) , dan anemia hemolitik acquired (didapat). Anemia hemolitik diwariskan
dapat berupa defek pada membrane sel darah merah, kekurangan enzim, kesalahan pada gen yang
terdapat pada hemoglobin, dan lainnya (Mehta, 2005).
Terdapat beberapa penyakit yang merupakan tipe anemia hemolitik yang diwariskan, seperti
thalassemia, sickle cell disease, keabnormalan enzim G6PD, keabnormalan enzim pyruvate kinase,
anemia hemolitik dapat disebabkan oleh defek atau keabnormalan pada membran sel darah
merah, seperti Hereditary Spherocytosis dan Hereditary Elliptocytosis (Ovalocytosis), pada dua
penyakit ini sel darah merah kehilangan membrannya selama perjalanan melalui sistem
retikuloendotelial, khususnya lien (Mehta, 2005).
Beberapa penyakit yang merupakan tipe anemia hemolitik yang didapatkan, yaitu anemia
hemolitik autoimun, anemia hemolitik alloimun, induksi obat, sindrom fragmentasi sel darah
merah, infeksi, agen-agen kimia, dan hemoglobinuria nocturnal paroxysmal (Mehta, 2005).
C. PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI
Sel darah merah normal yang sudah tuaseharusnya akan difagosit oleh makrofag di sistem
retikulo endotelial, seperti liver, lien, dan sumsum tulang. Akan tetapi ada beberapa penyebab sel
darah merah mengalami lysis secara premature (Mehta, 2005)
Anemia hemolitik pada ras kulit putih biasanya disebabkan oleh defek atau keabnormalan
pada membran sel darah merah, disebut juga Hereditary spherocytosis (HS). Penyakit ini
merupakan mutasi kromosom autosom bersifat dominan, dengan tingkat keparahan yang
bervariasi dan menimbulkan anemia hemolitik yang sangat parah pada neonatus, dan nantinya
akan menyebabkan anemia hemolitik simptomatik. Kekurangan protein mebran, seperti ankryn,
adalah salah satu penyebabnya. Sel darah merah kehilangan membrannya selama perjalanan
melalui sistem retikuloendotelial, khususnya lien. Sel darah merah menjadi berbentuk bola secara
progresif (berkurangnya permukaan/rasio volume) dan mikrositik. Sel darah merah didestruksi
secara prematur (oleh makrofag), terutama di lien (Mehta, 2005).
Defek pada spectrin (protein kontraktil yang melekat pada glikoprotein di permukaan
membran sitoplasma sel darah merah, menjaga bentuk sel) menyebabkan Hereditary elliptocytosis
(HE), HE lebih ringan dibandingkan dengan HS. Bentuk genotip homozigot pada HE dapat
menyebabkan anemia hemolitik parah atau disebut Hereditary pyropoikilocytosis (Mehta, 2005).
Defisiensi Enzim Glucose-6-phospate dehydrogenase. G6PD adalah enzim pertama dalam
perjalanan hexose monophospatase yang menghasilkan energy dalam bentuk NADPH. Kekurangan
G6PD menyebabkan sel darah merah menjadi rentan terhadap stress oksidatif. Gen pembawa
penyakit ini terdapat pada kromosom X, penurunan penyakit ini terkait seks. Pria penderita
defisiensi enzim ini akan mengalami anemia hemolitik apabila terpapar stress oksidatif, terutama
oleh obat-obatan, infeksi, ingesti kacang fava dan pada masa neonatus. Defisiensi enzim ini umum
terjadi pada populasi ras kulit hitam, ras mediteranian, ras timur tengah dan oriental. Terbukti
bahwa orang dengan defisiensi G6PD kebal terhadap lebih tahan terhadap malaria. Agen-agen
penyebab anemia hemolitik pada defisiensi enzim G6PD antara lain infeksi dan penyakit akut
lainnya, seperti diabetes ketoacidosis, obat-obatan (contoh; obat antimalaria, seperti primaquine,
sulphonamide dan sulphone, contoh cotrimoxazole, sulphanilamide, dapsone, salazopyrine), agen
antibakteri (contoh; nitrofuran, chloramphenicol), obat analgesic (contoh; aspirin, dosis sedang
aman digunakan), obat antihelminth (contoh; β-naphthol, stibophen, niridazole), miscellaneous
(contoh; analog vitamin K, naphthalene, probenecid), dan kacang fava. Splenectomy juga berperan
dalam menimbulkan anemia (Mehta, 2005).
Defisiensi Enzim Pyruvate Kinase adalah defisiensi enzim yang paling sering terjadi dalam
perjalanan glycolytic yang menyebabkan anemia hemolitik non-spherocytic kronis atau Chronic
non-spherocytic haemolytic anemia (CNSHA).Pewarisannya melalui kromosom autosom, bersifat
resesif. Defisiensi enzim lainnya jarang menjadi penyebab CNSHA dan lebih sering disebabkan
penyakit musculoskeletal (Mehta, 2005).
Thalassemia dan Sickle cell merupakan Anemia hemolitik yang disebabkan karena kesalahan
genetic pada hemoglobin. Beberapa jenis thalassemia disebabkan oleh ketidakmampuan penderita
untuk memproduksi rantai alpha atau rantai beta pada hemoglobin dalam jumlah yang seharusnya.
Hal ini menyebabkan produksi sel darah merah terhambat, dan sel darah merah dewasa menjadi
rapuh dan berumur pendek. Kekurangan sel darah merah sehat akan menyebabkan masalah
perkembangan dan pertumbuhan di semua bagian tubuh. Sementara anemia sel sabit (sickle cell
anemia) disebabkan karena mutasi yang mempengaruhi rantai asam amino pada rantai beta dari
hemoglobin. Saat kandungan oksigen dalam darah tinggi, hemoglobin dan sel darah merah yang
membawa oksigen tampak normal. Akan tetapi, setelah hemoglobin yang bermasalah tersebut
melepas ikatan oksigen yang dibawanya, hemoglobin-hemoglobin di sekitarnya akan terpengaruh
dan sel-sel darah merah tersebut akan menciut dan menjadi kaku. Proses ini membuat sel darah
merah menjadi rapuh dan mudah rusak. Terlebih lagi, sel darah merah yang sudah melipat untuk
memasuki kapiler untuk mendistribusikan oksigen ke jaringan dapat melekat saat proses
penyabitan terjadi, sehingga dapat menyebabkan penyumbatan sirkulasi, dan jaringan-jaringan
sekitarnya akan kekurangan asupan oksigen (Martini, 2012).
Anemia hemolitik autoimun disebabkan autoantibodi menyerang membrane sel darah merah.
Anemia hemolitik autoimun dibagi menjadi anemia hemolitik hangat dan anemia hemolitik dingin.
Antibodi yang berperan pada anemia hemolitik autoimun hangat adalah IgG dan memiliki aktivitas
maksimum pada suhu 37o C. Sedangkan antibody yang berperan dalam Anemia hemolitik autoimun
dingin adalah IgG dan memiliki aktivitas maksimum pada suhu 4o C (Mehta, 2005).
Anemia hemolitik alloimun merupakan HA yang terjadi ketika antibody yang diproduksi
seorang individu bereaksi menyerang sel darah merah individu lain, seperti dalam ketidakcocokan
dalam tranfusi darah, hemolitik neonatus, dan transplantasi organ (Mehta, 2005).
Imun yang terinduksi obat juga dapat menimbulkan anemia hemolitik, melalui mekanisme,
sebagai berikut (1) Antibody diarahkan untuk melawan obat (contoh; penicillin)-kompleks
membrane sel darah merah, obat berperan sebagai hapten. (2) Antibodi melawan obat (contoh;
quinidine)-kompleks protein plasma dengan endapan lanjutan dari kompleks imun pada sel darah
merah. (3) Stimulasi produksi autoantibodi (tipe hangat) melawan sel darah merah (ccontoh;
methyldopa, fludarabine) (Mehta, 2005).
Sindrom fragmentasi sel darah merah merupakan salah satu acquired HA yang disebabkan sel
darah merah terpapar oleh permukaan abnormal (contoh; katup jantung artifisial tak berendotel
atau cangkokan artifisial), atau sel darah merah mengalir melalui pembuluh darah kecil yang
mengandung helai-helai fibrin (contoh; koagulasi intravascular tersebar) atau melalui pembuluh
darah yang rusak. Ini disebut anemia mikroangiopatik, microangiopathic haemolitic anemia (MAHA)
dan terjadi pada thrombotic thrombocytopenic purpura, sindrom hemolitik uremik,
adenocarcinoma yang menyebar, hipertensi yang membahayakan, pre-eclampsia dan
meningococcal septicaemia. Hemolisis terjadi secara ekstravaskuler dan intravaskuler (Mehta,
2005).
Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh hemolysis akibat infeksi, seperti virus malaria yang
merusak langsung sel darah merah, toksin (contoh; toksin dari clostridium perfringens), stress
oksidatif pada indivdu yang mengalami defisiensi enzim G6PD, MAHA, pembentukan autoimun
(contoh; mononucleosis menular), destruksi ekstra vascular (contoh; malaria) (Mehta, 2005).
Beberapa obat seperti dapsone, atau bahan kimia seperti klorat dapat menimbulkan hemolysis
karena oksidasi bahkan dengan level G6PD normal. Luka bakar parah dan gigitan ular juga dapat
menyebabakan hemolysis (Mehta, 2005).
D. MANIFESTASI KLINIK
1. Anemia.
2. Jaundice (biasanya ringan), disebabkan bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam plasma; tidak
terdapat bilirubin pada urin.
3. Peningkatan timbulnya pigmen batu empedu.
4. Splenomegali, pada banyak tipe HA
5. Borok pada pergelangan kaki, terutama pada anemia sel sabit, thalassemia intermedia, dan
Hereditary Spherocytosis.
6. Ekspansi sumsum tulang, pada anak-anak, ekspansi tulang contoh: tulang frontal pada
thalassemia beta major.
7. Kegawatan aplastic yang disebabkan infeksi parvovirus dan anemia megaloblastik yang
disebabkan kekurangan asam folat.
(Mehta, 2005).
E. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Menurut Schrier 2011 dalam Oehadian (2012), terdapat beberapa pendekatan yang
dilakukan untuk membantu diagnosis pasien dengan anemia:
1. Evaluasi Penderita
Evaluasi penderita dengan anemia diarahkan untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan:
• Apakah penderita mengalami perdarahan saat ini atau sebelumnya?
• Apakah didapatkan adanya bukti peningkatan destruksi sel darah merah (hemolisis)?
• Apakah terdapat supresi sumsum tulang?
• Apakah terdapat defisiensi besi? Apakah penyebabnya?
Apakah terdapat defi siensi asam folat dan vitamin B12? Apakah penyebabnya?
2. Riwayat penyakit
Beberapa komponen penting dalam riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia:
• Riwayat atau kondisi medis yang menyebabkan anemia (misalnya, melena pada penderita
ulkus peptikum, artritis reumatoid, gagal ginjal).
• Waktu terjadinya anemia: baru, subakut, atau lifelong. Anemia yang baru terjadi pada
umumnya disebabkan penyakit yang didapat, sedangkan anemia yang berlangsung
lifelong, terutama dengan adanya riwayat keluarga, pada umumnya merupakan kelainan
herediter (hemoglobinopati, sferositosis herediter).
• Etnis dan daerah asal penderita: talasemia dan hemoglobinopati terutama didapatkan
pada penderita dari Mediterania, Timur Tengah, Afrika sub-Sahara, dan Asia Tenggara.
• Obat-obatan. Obat-obatan harus dievaluasi dengan rinci. Obat-obat tertentu, seperti
alkohol, asam asetilsalisilat, dan antiinfl amasi nonsteroid harus dievaluasi dengan cermat.
• Riwayat transfusi.
• Penyakit hati.
• Pengobatan dengan preparat Fe.
• Paparan zat kimia dari pekerjaan atau lingkungan.
• Penilaian status nutrisi.
3. Pemeriksaan fisik
Tujuan utamanya adalah menemukan tanda keterlibatan organ atau multisistem dan untuk
menilai beratnya kondisi penderita.
Pemeriksaan fisik perlu memperhatikan (Schrier 2011 dalam Oehadian 2012):
• adanya takikardia, dispnea, hipotensi postural.
• pucat: sensitivitas dan spesifi sitas untuk pucat pada telapak tangan, kuku, wajah atau
konjungtiva sebagai prediktor anemia bervariasi antara 19-70% dan 70-100%.
• ikterus: menunjukkan kemungkinan adanya anemia hemolitik. Ikterus sering sulit
dideteksi di ruangan dengan cahaya lampu artifisial. Pada penelitian 62 tenaga medis,
icterus ditemukan pada 58% penderita dengan bilirubin >2,5 mg/dL dan pada 68%
penderita dengan bilirubin 3,1 mg/dL.
• penonjolan tulang frontoparietal, maksila (facies rodent/chipmunk) pada talasemia.
• lidah licin (atrofi papil) pada anemia defisiensi Fe.
• limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri tulang (terutama di sternum); nyeri tulang
dapat disebabkan oleh adanya ekspansi karena penyakit infi ltratif (seperti pada leukemia
mielositik kronik), lesi litik ( pada myeloma multipel atau metastasis kanker).
• petekhie, ekimosis, dan perdarahan lain.
• kuku rapuh, cekung (spoon nail) pada anemia defisiensi Fe.
• Ulkus rekuren di kaki (penyakit sickle cell, sferositosis herediter, anemia sideroblastik
familial).
• Infeksi rekuren karena neutropenia atau defisiensi imun.
4. Pemeriksaan laboratorium
• Complete blood count (CBC)
CBC terdiri dari pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit, ukuran eritrosit,
dan hitung jumlah leukosit. Pada beberapa laboratorium, pemeriksaan trombosit, hitung
jenis, dan retikulosit harus ditambahkan dalam permintaan pemeriksaan (tidak rutin
diperiksa). Pada banyak automated blood counter, didapatkan parameter RDW yang
menggambarkan variasi ukuran sel (Schrier, 2011). Pada anemia hemolitik terdapat tanda-
tanda seperti; volume hemoglobin bisa tampak normal atau berkurang. Bilirubin tak
terkonjugasi pada serum meningkat. Tidak terdapat haptoglobin pada serum. Fecal
Stercobilinogen dan urobilinogen meningkat. Hemolisis intravaskuler menyebabkan
meningkatnya plasma dan hemoglobin pada urin, tes serum (Schumm’s) untuk
methaemalbumin, haemosiderin menunjukan hasil postif. (Mehta, 2005).
• Pemeriksaan morfologi apusan darah tepi
Apusan darah tepi harus dievaluasi dengan baik. Beberapa kelainan darah tidak dapat
dideteksi dengan automated blood counter (Schrier 2011 dalam Oehadian 2012). Sel
darah merah berinti (normoblas). Pada keadaan normal, normoblas tidak ditemukan
RPI = (%retikulosit x hematokrit penderita / 45) / Faktor koreksi.
dalam sirkulasi. Normoblas dapat ditemukan pada penderita dengan kelainan hematologis
(penyakit sickle cell, talasemia, anemia hemolitik lain) atau merupakan bagian dari
gambaran lekoeritroblastik pada pende-rita dengan bone marrow replacement. Pada
penderita tanpa kelainan hematologis sebe-lumnya, adanya normoblas dapat
menunjukkan adanya penyakit yang mengancam jiwa, seperti sepsis atau gagal jantung
berat (Schrier 2011 dalam Oehadian 2012). Pada anemia hemolitik, preparat apusan dapat
terlihat polychromasia (sel darah merah yang masih muda terwarnai biru), bentuk sel
berubah, contoh spherocytes, elliptocytes, sickle cell atau sel darah merah
terfragementasi (Mehta, 2005).
Hipersegmentasi neutrofi l
Hipersegmentasi neutrofi l merupakan abnormalitas yang ditandai dengan lebih dari 5%
neutrofi l berlobus >5 dan/atau 1 atau lebih neutrofi l berlobus >6. Adanya
hipersegmentasi neutrofi l dengan gambaran makrositik berhubungan dengan gangguan
sintesis DNA (defisiensi vitamin B12 dan asam folat) (Schrier 2011 dalam Oehadian 2012).
• Hitung retikulosit
Retikulosit adalah sel darah merah imatur. Hitung retikulosit dapat berupa persentasi dari
sel darah merah, hitung retikulosit absolut, hitung retikulosit absolut terkoreksi, atau
reticulocyte production index. Produksi sel darah merah efektif merupakan proses
dinamik. Hitung retikulosit harus dibandingkan dengan jumlah yang diproduksi pada
penderita tanpa anemia. Rumus hitung retikulosit terkoreksi adalah (Schrier 2011 dalam
Oehadian 2012):
Hitung Retikulosit terkoreksi = % retikulosit penderita x hematocrit / 45
Faktor lain yang memengaruhi hitung retikulosit terkoreksi adalah adanya pelepasan
retikulosit prematur di sirkulasi pada penderita anemia. Retikulosit biasanya berada di
darah selama 24 jam sebelum mengeluarkan sisa RNA dan menjadi sel darah merah.
Apabila retikulosit dilepaskan secara dini dari sumsum tulang, retikulosit imatur dapat
berada di sirkulasi selama 2-3 hari. Hal ini terutama terjadi pada anemia berat yang
menyebabkan peningkatan eritropoiesis. Perhitungan hitung retikulosit dengan koreksi
untuk retikulosit imatur disebut reticulocyte production index (RPI) (Schrier 2011 dalam
Oehadian 2012)
Faktor koreksi dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Faktor koreksi hitung RPI 2,7
Hematokrit penderita (%) Faktor Koreksi
40 – 45 1,0
35 – 39 1,5
25 – 34 2,0
15 – 24 2,5
<15 3,0
RPI di bawah 2 merupakan indikasi adanya kegagalan sumsum tulang dalam produksi sel
darah merah atau anemia hipoproliferatif. RPA 3 atau lebih merupakan indikasi adanya
hiperproliferasi sumsum tulang atau respons yang adekuat terhadap anemia (Schrier 2011
dalam Oehadian 2012). Jumlah retikulosit meningkat pada anemia hemolitik (Mehta,
2005).
• Jumlah leukosit dan hitung jenis
Adanya leukopenia pada penderita anemia dapat disebabkan supresi atau infiltrasi sum-
sum tulang, hipersplenisme atau defisiensi B12 atau asam folat. Adanya leukositosis dapat
menunjukkan adanya infeksi, infl amasi atau keganasan hematologi. Adanya kelainan
tertentu pada hitung jenis dapat memberikan petunjuk ke arah penyakit tertentu (Schrier
2011 dalam Oehadian 2012):
Peningkatan hitung neutrofi l absolut pada infeksi
Peningkatan hitung monosit absolut pada mielodisplasia
Peningkatan eosinofi l absolut pada infeksi tertentu
Penurunan nilai neutrofi l absolut setelah kemoterapi
Penurunan nilai limfosit absolut pada infeksi HIV atau pemberian kortikosteroid
Jumlah trombosit
Abnormalitas jumlah trombosit memberikan informasi penting untuk diagnostik.
Trombositopenia didapatkan pada beberapa keadaan yang berhubungan dengan anemia,
misalnya hipersplenisme, keterlibatan keganasan pada sumsum tulang, destruksi
trombosit autoimun (idiopatik atau karena obat), sepsis, defisiensi folat atau B12.
Peningkatan jumlah trombosit dapat ditemukan pada penyakit mieloproliferatif,
defisiensi Fe, infl amasi, infeksi atau keganasan. Perubahan morfologi trombosit
(trombosit raksasa, trombosit degranulasi) dapat ditemukan pada penyakit
mieloproliferatif atau mielodisplasia (Schrier 2011 dalam Oehadian 2012).
• Pansitopenia
Pansitopenia merupakan kombinasi anemia, trombositopenia dan netropenia.
Pansitopenia berat dapat ditemukan pada anemia aplastik, defisiensi folat, vitamin B12,
atau keganasan hematologis (leukemia akut). Pansitopenia ringan dapat ditemukan pada
penderita dengan splenomegali dan splenic trapping sel-sel hematologis (Schrier 2011
dalam Oehadian 2012).
Evaluasi kadar hemoglobin dan hematokrit secara serial dapat membantu diagnostic
(Schrier, 211) Contoh: Pada seorang penderita, Hb turun dari 15 g% menjadi 10 g% dalam
7 hari. Bila disebabkan oleh ganguan produksi total (hitung retikulosit = 0) dan bila
destruksi sel darah merah berlangsung normal (1% per hari), Hb akan turun 7% dalam 7
hari. Penurunan Hb seharusnya 0,07 x 15 g% = 1,05 g%. Pada penderita ini, Hb turun lebih
banyak, yaitu 5 g%, sehingga dapat diasumsikan supresi sumsum tulang saja bukan
merupakan penyebab anemia dan
menunjukkan adanya kehilangan darah atau destruksi sel darah merah (Schrier 2011
dalam Oehadian 2012).
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk anemia hemolitik termasuk tranfusi darah, obat-obatan,
plasmapheresis, operasi, transplantasi stem cell darah dan sumsum, dan perubahan gaya hidup
(National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).
Orang yang menderita anemia hemolitik ringan bisa jadi tidak memerlukan pengobatan lebih
lanjut, selama kondisi mereka tidak memburuk. Orang yang menderita anemia hemolitik parah
biasanya memerlukan pengobatan. Anemia hemolitik parah bisa menjadi fatal apabila tidak
ditangani dengan benar (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).
Tujuan Pengobatan:
Mengurangi atau menghentikan destruksi dari sel darah merah
Meningkatkan jumlah sel darah merah sampai batas normal
Mengatasi penyebab dari anemia hemolitik tersebut
(National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).
Pengobatan bergantung pada tipe, penyebab, dan keparahan dari anemia hemolitik yang
diderita. Dokter juga akan mempertimbangkan umur, kesehatan secara umum, dan riwayat medis.
Jika seorang individu menderita anemia hemolitik diwariskan, itu merupakan kondisi seumur hidup
yang memerlukan pengobatan berkesinambungan. Sedangkan untuk penderita anemia hemolitik
didapatkan (acquired), dapat disembuhkan jika penyebabnya dapat ditemukan dan diobati
(National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).
a. Transfusi Darah
Transfusi darah digunakan untuk merawat anemia hemolitik parah atau yang mengancam
nyawa. Transfusi darah merupakan prosedur yang sering digunakan, diberikan melalui
intravena. Transfusi membutuhkan kecocokan yang akurat antara darah donor dan darah
penerima (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).
b. Obat-obatan
Obat-obatan dapat mengatasi beberapa tipe anemia hemolitik, terutama anemia
hemolitik autoimun. Obat-obatan kortikosteroid, seperti prednisone, dapat menghentikan atau
membatasi kemampuan sistem imun untuk membuat antibody yang menyerang sel darah
merah. Jika penderita tidak bereaksi terhadap kortikosteroid, dokter akan meresepkan obat-
obatan lain untuk menekan sistem imun penderita. Contoh termasuk rituximab dan
cyclosporine (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).
Jika individu menderita sickle cell anemia parah, dokter akan merekomendasikan
hydroxyurea. Obat ini mendorong tubuh untuk memproduksi hemoglobin fetal. Hemoglobin
fetal adalah tipe hemoglobin yang dimiliki oleh neonatus (National Heart, Lung, and Blood
Institute, 2011).
Pada penderita sickle cell anemia, hemoglobin fetal membantu mencegah sel darah
merah menyabit atau mengkerut dan mengatasi anemia (National Heart, Lung, and Blood
Institute, 2011).
c. Plasmapheresis
Plasmapheresis adalah sebuah prosedur yang menghilangkan antibody dalam darah.
Untuk prosedur ini, darah diambil dari tubuh menggunakan sebuah jarum yang ditusukkan
melalui vena (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).
Plasma yang mengandung antibody dipisahkan dari komponen darah lainnya. Lalu,
plasma dari donor dan komponen darah lainnya milik penerima dimasukkan kembali ke
tubuh penerima donor plasma. Treatment ini membantu jika treatment yang lain tidak
bekerja (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).
d. Operasi
Sebagian orang yang menderita anemia hemolitik membutuhkan tindakan operasi untuk
membuang limpa mereka. Limpa yang normal membantu melawan infeksi dan menyaring sel
darah yang sudah tua atau rusak. Limpa yang mengalami pembesaran atau terserang
penyakit dapat mendestruksi sel darah merah lebih dari batas normal, dan menyebabkan
anemia. Pengangkatan limpa dapat menghentikan atau mengurangi tingginya laju destruksi
sel darah merah (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).
e. Transplantasi Stem Cell Drah dan Sumsum
Pada sebagian tipe dari anemia hemolitik, seperti thalassemia, sumsum tulang tidak
dapat memproduksi sel darah merah sehat dalam jumlah yang cukup. Sel darah merah
didestruksi sebelum masa hidup normalnya berakhir. Transplantasi sel stem darah dan
sumsum dapat diterapkan untuk mengatasi anemia hemolitik tipe ini (National Heart, Lung,
and Blood Institute, 2011).
Sel stem darah dan sumsum hasil transplantasi mengantikan sel stem yang rusak dengan
sel stem yang sehat dari pendonor. Selama proses transplantasi, seperti transfuse darah,
penderita mendapat donor sel stem dari sebuah tabung yang dialirkan melalui vena. Setelah
sel stem donor berada dalam tubuh penerima, sel stem donor akan menuju sumsum tulang
penerima dan memulai produksi sel darah merah (National Heart, Lung, and Blood Institute,
2011).
f. Perubahan Gaya Hidup
Jika seorang individu menderita anemia hemolitik autoimun dingin, cobalah hindari
tempat-tempat bersuhu dingin. Ini akan membantu mencegah penghancuran sel darah
merah. Bagi penderita, sangat penting untuk melindungi jari-jari tangan dan kaki, serta
telinga dari suhu dingin (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).
Untuk melindungi diri, penderita dapat melakukan (National Heart, Lung, and Blood
Institute, 2011);
Menggunakan sarung tangan ketika mengambil makanan dari kulkas atau freezer
Memakai topi, scarf, dan mantel dengan manset sempit/ketat
Matikan AC atau berpakaian hangat saat AC dinyalakan
Hangatkan mobil sebelum menyetir saat musim dingin
Individu yang lahir dengan defisiensi enzim G6PD dapat menghindari zat-zat yang
memicu anemia, seperti menghindari kacang fava, naphthalene (zat yang ditemukan pada
beberapa kapur barus), obat-obat tertentu (yang dianjurkan dokter untuk dijauhi) (National
Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).
G. PROGNOSIS
Prognosis bagi penderita anemia hemolitik tergantung dari penyebabnya dan seberapa
parahnya. Kesehatan dasar pasien anemia hemolitik juga mempengaruhi prognosis. Kasus-kasus
anemia hemolitik yang disebabkan obat atau infeksi umumnya pulih dengan cepat. Penderita
anemia hemolitik autoimun biasanya bereaksi baik pada pengobatan. Sedangkan harapan untuk
penderita anemia hemolitik diwariskan (inherited) tergantung dari tipe dan keparahannya
(National Heart, Lung, and Blood Institute, 2010).
Secara keseluruhan, tingkat mortalitas anemia hemolitik rendah. Akan tetapi, risiko bagi
penderita usia lanjut dan penderita dengan gangguan kardiovaskuler lebih besar (Schick, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Hemolytic Anemia. Available at: http://www.intelihealth.com/IH/ihtIH/:/9339/21246.html (diakses pada 25 Juli 2013).
Martini F. 2012. Fundamentals of Anatomy and Physiology 9th ed. USA: Pearson Education Inc.Mehta AB, Hoffbrand AV. 2005. Haematology at a Glance. London : Blackwell
Science.National Heart, Lung, and Blood Institute. 2011. “How Is Hemolytic Anemia Treated?”. Available at:
http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/ha/treatment.html (diakses pada 25 Juli 2013).
Oehadian, Amaylia. 2012. “Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia”. Continuing Medical Education. vol 39. no. 6.
Schick, Paul. 2013. “Hemolytic Anemia, Prognosis”. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/201066-overview#aw2aab6b2b5aa (diakses pada 25 Juli 2013).
Schrier, Stanley L. 2011. “Approach to The Adult Patient with Anemia”. [cited 2011, June 9 ]. Available from: www.uptodate.com (diakses pada 25 Juli 2013).
Schrier, Stanley L. 2011. “Approach to The Diagnosis of Hemolytic Anemia in The Adult”. [cited 2011, June 9 ]. Available from: www.uptodate.com (diakses pada 25 Juli 2013).