Eti Opa to Genesis

28
ANEMIA DEFISIENSI BESI Oleh: Maya Alvionita A. Definisi Menurut Bakta (2006), anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi karena kurangnya penyediaan besi untuk erritropoesis karena tidak adanya cadangan besi sehingga menyebabkan berkurangnya pembentukan hemoglobin. Anemia defisiensi besi sering dijumpai di negara-negara tropik dan negara dunia ketiga karena sangat berkaitan dengan taraf sosial ekonomi dan mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia. B. Etiologi Anemia defisiensi besi disebabkan antara lain oleh (Bakta, 2007; Sachber, Mc Person, 2000; Theml et all, 2004; Bakta, 2006) 1. Perdarahan menahun (bersifat kronis dan patologis), berasal dari : a.Saluran cerna (sering) : karena tukak peptik, kanker (kolon dan lambung), hemoroid (ambeien) , infeksi cacing tambang, pemakaian salisilat, ulcus pepticum, varices esophagus, gastritis, hernia hiatus, diverikulitis, konsumsi alkohol atau aspirin. b.Saluran genitalia perempuan : menorrhagia (menstruasi berlebihan) dan metrorhagia (perdarahan di luar waktu haid) c.Saluran kemih (jarang) : hematuria d.Saluran napas : hemoptoe (batuk darah) 2. Faktor nutrisi a. Kurangnya jumlah zat besi di dalam makanan b.Kualitas (bioavailabilitas) besi tidak baik (pada makanan yang banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).

description

mbg

Transcript of Eti Opa to Genesis

Page 1: Eti Opa to Genesis

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Oleh: Maya Alvionita

A. Definisi

Menurut Bakta (2006), anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi karena kurangnya

penyediaan besi untuk erritropoesis karena tidak adanya cadangan besi sehingga menyebabkan

berkurangnya pembentukan hemoglobin. Anemia defisiensi besi sering dijumpai di negara-negara

tropik dan negara dunia ketiga karena sangat berkaitan dengan taraf sosial ekonomi dan mengenai

lebih dari sepertiga penduduk dunia.

B. Etiologi

Anemia defisiensi besi disebabkan antara lain oleh (Bakta, 2007; Sachber, Mc Person, 2000; Theml

et all, 2004; Bakta, 2006)

1. Perdarahan menahun (bersifat kronis dan patologis), berasal dari :

a. Saluran cerna (sering) : karena tukak peptik, kanker (kolon dan lambung),

hemoroid (ambeien) , infeksi cacing tambang, pemakaian salisilat, ulcus pepticum, varices

esophagus, gastritis, hernia hiatus, diverikulitis, konsumsi alkohol atau aspirin.

b. Saluran genitalia perempuan : menorrhagia (menstruasi berlebihan) dan metrorhagia

(perdarahan di luar waktu haid)

c. Saluran kemih (jarang) : hematuria

d. Saluran napas : hemoptoe (batuk darah)

2. Faktor nutrisi

a. Kurangnya jumlah zat besi di dalam makanan

b. Kualitas (bioavailabilitas) besi tidak baik (pada makanan yang banyak serat, rendah vitamin C,

dan rendah daging).

3. Meningkatnya kebutuhan besi (misalnya pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan,

kehamilan, wanita menyusui, wanita menstruasi )

4. Malabsorbsi/ gangguan absorbsi besi, terjadi pada gastrektomi (pengangkatan sebagian atau

seluruh lambung) , tropical sprue atau kolitis kronik, gastritis.

Pada orang dewasa yang sering dijumpai adalah karena perdarahan menahun. Pada laki-laki

paling sering karena perdarahan gastrointestinal. Di negara tropik, paling sering terjadi karena

infeksi cacing tambang. Sedangkan pada perempuan dalam masa reproduksi karena meno-

metorhagia (Bakta, 2006)

Page 2: Eti Opa to Genesis

C. Patogenesis

Perdarahan menahun menyebabkan tubuh banyak kehilangan besi dan berakibat pada

penurunan cadangan besi. Cadangan besi yang berkurang ini menyebabkan timbulnya defisiensi

besi yang terdiri atas tiga tahap, dimulai dari tahap yang paling ringan yaitu tahap pralaten ( iron

depletion state atau negative iron balance), kemudian tahap laten (iron deficient erythropoesis) dan

tahap anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia).

1. Tahap pertama (iron depletion state) ditandai dengan turunnya kadar feritin serum kurang dari

12 µg/L, peningkatan absorbsi besi dalam usus, dan pengecatan besi di sumsum tulang negatif.

Sedangkan komponen lain seperti kapasitas ikat besi total/total iron binding capacity (TIBC), besi

serum/ serum iron (SI), saturasi transferin, RDW, MCV, hemoglobin, dan morfologi sel masih

normal.

2. Jika kekurangan besi berlangsung terus-menerus, akan terjadi keadaan iron deficient

erythropoesis dimana cadangan besi akan menjadi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis

berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tapi gejala an emia secara

klinis belum nampak. Pada fase ini kelainan yang terjadi adalah penurunan feritin serum, besi

serum, saturasi transferin dalam serum, peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc

protophorphyrin dalam eritrosit dan peningkatan total iron binding capacity (TIBC) >390 µg/dl.

Saat ini, parameter keadaan ini yang spesifik adalah peningkatan reseptop transferin dalam

serum.

3. Tahap lebih lanjut adalah iron deficiency anemia yang disebabkan jumlah besi terus-menerus

turun dan semakin menganggu eritropoesis sehingga kadar hemoglobin mulai turun. Terjadi

pula kekurangan besi di epitel serta beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku,

epitel mulut, dan faring serta berbagai gejala lain. Komponen-komponen lain juga akan

mengalami perubahan seperti gambaran morfologi sel darah mikrositik hipokromik, sedangkan

RDW dan TIBC meningkat >410 µg/dl.

(Bakta, 2006)

Tabel 1. Urutan tahapan defisiensi besi

Iron StatusIron Replete

(normal)

Stage 1

Iron Depleted

Stage 2

Iron deficient

erythropoiesis

Stage 3

Iron deficiency

anemia

Serum Feritin (µg/L) >12 <12 <12 <12

Marrow Iron 2-3+ 0-1+ 0 0

Page 3: Eti Opa to Genesis

TIBC (µg/dl) 300-360 360 390 410

Serum Iron (µg/dl) 65-165 115 <60 <40

Transferin saturation

(%)

20-50 30 <15 <10

RDW Normal Normal Normal Meningkat

MCV Normal Normal Normal Menurun

Hemoglobin Normal Normal Normal Menurun

RBC Morfology Normal Normal Normal

(dikutip dari Koss, 1998 dalam Muhammad dan Sianipar)

D. Manifestasi Klinis

Menurut Bakta (2006), gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3, yaitu gejala

umum anemia, gejala khas defisiensi besi, dan gejala penyakit dasar.

1. Gejala umum anemia

Gejala umum ini terlihat pada defisiensi besi jika kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl.

Gejalanya berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, telinga mendenging,

pucat terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku. Pada penurunan hemoglobin

yang perlahan, gejala ini kurang nampak karena mekanisme kompensasi tubuh berjalan baik.

2. Gejala khas defisiensi besi

Gejala khas yang tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah sebagai berikut :

Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris vertikal dan

menjadi cekung.

Atrofi papila lidah : permukaan lidah licin dan mengkilap (papil lidah menghilang)

Stomatitis angularis (cheilosis) : adanya keradangan pada sudut mulut, timbul bercak pucat

keputihan.

Disfagia : nyeri menelan karena epitel hipofaring rusak.

Atrofi mukosa gaster.

Pica : keinginan untuk memakan bahan tidak lazim

Sindroma Plummer Vinson/ Paterson Kelly,merupakan kumpulan gejala dari anemia

hipokromik mikrositik,

atrofi papil lidah dan disfagia.

Page 4: Eti Opa to Genesis

3. Gejala penyakit dasar

Terdapat gejala penyakit yang menyebabkan anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya, karena

penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan

berwarna kuning. Jika disebabkan karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala

gangguan buang air besar atau gejala lain tergantung lokasi kanker.

E. Penegakan Diagnosis

Menurut Bakta (2006), terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan

adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin dan hematokrit. Tahap kedua adalah

memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari

defisiensi besi yang terjadi. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain :

1. Anamnesis

Anamnesis dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai :

Biodata

Keluhan utama

Riwayat penyakit sekarang

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit keluarga

Kondisi psikososial

Terapi obat sebelumnya

2. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium)

Pemeriksaan fisik terhadap pasien pada konjungtiva mata, warna kulit, kuku, mulut, dan papil

lidah. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan :

Pucat pada membrane mukosa (konjubgtiva mata, gusi, lidah)

Pucat pada kulit (lipatan telapak tangan)

Pucat pada jaringan di bawah kuku (pada orang berkulit gelap)

Terdapat kuku sendok (koilynochia)

Stomatitis angularis

Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin

Melalui pemeriksaan laboratorium, untuk menegakkan diagnosis tahap satu dan tahap

dua, dapat dipakai criteria diagnosis anemia defisiensi besi sebagai berikut (Bakta, 2006) :

Terjadi anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan MCHC

<31% dengan salah satu dari a, b, c, atau d :

Page 5: Eti Opa to Genesis

a. Dua dari tiga parameter berikut :

Besi serum <50 mg/dl

TIBC >350 mg/dl

Saturasi transferin <15, atau

b. Feritin serum <20 mg/dl, atau

c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan cadangan besi

(butir-butir hemosiderin) negatif, atau

d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/ hari (atau preparat besi lain yang setara)

selama 4 minggu diserrtai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl

Untuk tahap ketiga, pemeriksaan dilakukan dengan focus utama mencari sumber

perdarahan pada pasien dewasa. Pemeriksaannya (Bakta, 2006) :

Anamnesis menstruasi pada wanita dan pemeriksaan ginekologi jika diperlukan

Pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing tambang (dinyatakan cacing tambang sebagai

penyebab jika ditemukan telur per gram feses (TPG) atau egg per gram faeces (EPG) >2000

pada perempuan dan >4000 pada laki-laki.

Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dapat dilakukan tes darah samar (occult blood

test) pada feses, dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau

bawah.

F. Terapi

1. Terapi kausal : terapi pada penyebab perdarahan.

2. Iron replacement therapy (pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam

tubuh)

a. Terapi besi oral

Preparat utama : ferrous sulphat (sulfas ferosus) -> murah tapi efektif.

Dosis anjuran 3x200 mg.

Efeknya meningkatkan absorbsi besi 50 mg per hari, dapat meningkatkan eritropoesis

dua sampai tiga kali.

Pada pasien yang mengalami intoleransi, pemberiannnya saat makan atau setelah

makan (Bakta, 2006)

Preparat lain : ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous

succinate -> lebih mahal, efek sama dengan ferrous sulphat, enteric coated (efek

samping lebih rendah, mengurangi absorbs besi).

Page 6: Eti Opa to Genesis

Pemberian : lebih efektif saat lambung kosong, tapi efek samping lebih besar

dibandingkan pemberian setelah makan.

Pengobatan : diberikan selama 3 sampai 6 bulan, ada pula yang menganjurkan

hingga 12 bulan dengan dosis pemeliharaan 100 sampai 200 mg. Tanpa dosis

pemeliharaan anemia kambuh kembali.

Efek samping : gangguan gastrointestinal, berupa mual, muntah, serta konstipasi.

Untuk mengurangi efek samping diberikan saat makan atau dosis dikurangi menjadi

3x100 mg.

Beberapa hal yang menyebabkan kegagalan respon terhadap pemberian preparat besi

peroral antara lain perdarahan yang masih berkelanjutan (kausanya belum teratasi), ketidak

patuhan pasien dalam minum obat (tidak teratur) dosis yang kurang, alabsorbsi, salah

diagnosis atau anemia multifaktorial. ( Bakta, 2007,H offbrand AV, et al, 2005).

b. Terapi besi parenteral (secara IM dan IV pelan)

Risiko besar dan harga mahal. Pemberian atas indikasi berikut ini :

1) Intoleransi terhadap pemberian besi oral

2) Kepatuhan terhadap obat yang rendah

3) Gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yang kambuh jika diberi besi

4) Penyerapan besi terganggu, misalnya pada gastrektomi

5) Perdarahan hebat sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian per oral, misalnya

pada heredity hemorrhagic teleangiectasia

6) Kebutuhan besi besar dalam waktu pendek

7) Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal

kronik atau anemia penyakit kronik

8) Untuk koreksi defisiensi zat besi yaitu bila kadar feritin serum awal <100 mg/ml

Preparat :

Iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml)

Iron sorbitol citric acid complex (Jectofer), pemberian secara IM

Iron ferric gluconate

Iron sucrose

Tujuan : mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai 1000

mg.

Page 7: Eti Opa to Genesis

Dosis :

Efek samping :

Efek samping preparat besi parental lebih berbahaya. Beberapa efek samping yang

dapat ditimbulkan dari pemberian besi parenteral meliputi nyeri setempat dan warna

coklat pada tempat suntikan, flebitis, sakit kepala, demam, artralgia, nausea, vomitus,

nyeri punggung, flushing, urtikaria, bronkospasme, dan jarang terjadi anafilaksis dan

kematian (Bakta, IM, 2007; Hoffbrand AV,et al, 2005; Tierney LM, et al, 2001).

Mengingat banyaknya efek samping maka pemberian parenteral perlu

dipertimbangkan benar benar. Pemberian secara infus harus diberikan secara hati-hati.

Terlebih dulu dilakukan tes hipersensitivitas, dan pasien hendaknya diobservasi selama

pemberian secara infus agar kemungkinan terjadinya anafilaksis dapat lebih diantisipasi.

(Bakta, IM, 2007; Hoffbrand AV,et al, 2005; Tierney LM, et al, 2001).

c. Pengobatan lain (Bakta, 2006) :

Diet : makanan tinggi protein, terutama protein hewani

Vitamin C : dosisnya 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan absorbsi besi

Transfusi darah (berupa PRC/ packed red cell untuk mengurangi overload), dengan

indikasi :

1) Ada penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung

2) Anemia yang sangat simtomatik, misalnya dengan gejala pusing yang menyolok

3) Memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat, misalnya pada kehamilan

trimester akhir atau preoperasi

DAFTAR PUSTAKA

Bakta, IM. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.Hoffbrand, AV. et all. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC.Koss, W. 1998. Anemies of abnormal iron Metabolism and hemochromatosis. In : Koepke JA, Martin

EA, Steininger CA eds. Clinical Haematology, Principles Procedures and Correlation, 9th edition, Lippincot Philadelphia, 979-1010

Muhammad, A, dan Sianipar O.____. Penentuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit Kronis Menggunakan peran Indeks sTfR-F. Journal Pathology Vol 1 No 1-new.indd- Journal Unair

Kebutuhan besi (mg) = (15 – Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg

Page 8: Eti Opa to Genesis

Sacher, RA. MC Pherson, RA. 2000 . Widman’s Clinical Interpretation of Laboratory Tests. Philadelphia: FA Davis Company.

Theml Harald, MD. et all. 2004. Color Atlas Hematology Practical Microscopic and And Clinical Diagnosis. New York:

Tierney, LM. et all. 2001. Current Medical Diagnosis and Treatment . San Fransisco : Mc Graw-Hill Companies.

Anemia Haemolitik (HA)

By: Firyal Maulia

A. DEFINISI

Anemia hemolitik disebabkan oleh berkurangnya waktu hidup sel darah merah; waktu hidup

rata-rata sel darah merah normal adalah 120 hari. Anemia hemolitik terjadi bila waktu hidup rata-

rata sel darah merah berkurang sampai hanya 15 hari atau kurang, terjadi pada erythropoiesis yang

tidak efektif, defisiensi hematinic atau penyakit sumsum tulang. Hemolysis dapat disebabkan

adanya kesalahan pada sel darah merah, biasanya diwariskan oleh orang tua penderita., atau

karena keabnormalan lingkungan sel darah merah, biasanya didapatkan bukan diwariskan (Mehta,

2005).

B. ETIOLOGI

Anemia hemolitik dapat dikelompokkan berdasarkan penyebabnya menjadi anemia hemolitik

diwariskan (inherited) , dan anemia hemolitik acquired (didapat). Anemia hemolitik diwariskan

dapat berupa defek pada membrane sel darah merah, kekurangan enzim, kesalahan pada gen yang

terdapat pada hemoglobin, dan lainnya (Mehta, 2005).

Terdapat beberapa penyakit yang merupakan tipe anemia hemolitik yang diwariskan, seperti

thalassemia, sickle cell disease, keabnormalan enzim G6PD, keabnormalan enzim pyruvate kinase,

anemia hemolitik dapat disebabkan oleh defek atau keabnormalan pada membran sel darah

merah, seperti Hereditary Spherocytosis dan Hereditary Elliptocytosis (Ovalocytosis), pada dua

penyakit ini sel darah merah kehilangan membrannya selama perjalanan melalui sistem

retikuloendotelial, khususnya lien (Mehta, 2005).

Beberapa penyakit yang merupakan tipe anemia hemolitik yang didapatkan, yaitu anemia

hemolitik autoimun, anemia hemolitik alloimun, induksi obat, sindrom fragmentasi sel darah

merah, infeksi, agen-agen kimia, dan hemoglobinuria nocturnal paroxysmal (Mehta, 2005).

Page 9: Eti Opa to Genesis

C. PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI

Sel darah merah normal yang sudah tuaseharusnya akan difagosit oleh makrofag di sistem

retikulo endotelial, seperti liver, lien, dan sumsum tulang. Akan tetapi ada beberapa penyebab sel

darah merah mengalami lysis secara premature (Mehta, 2005)

Anemia hemolitik pada ras kulit putih biasanya disebabkan oleh defek atau keabnormalan

pada membran sel darah merah, disebut juga Hereditary spherocytosis (HS). Penyakit ini

merupakan mutasi kromosom autosom bersifat dominan, dengan tingkat keparahan yang

bervariasi dan menimbulkan anemia hemolitik yang sangat parah pada neonatus, dan nantinya

akan menyebabkan anemia hemolitik simptomatik. Kekurangan protein mebran, seperti ankryn,

adalah salah satu penyebabnya. Sel darah merah kehilangan membrannya selama perjalanan

melalui sistem retikuloendotelial, khususnya lien. Sel darah merah menjadi berbentuk bola secara

progresif (berkurangnya permukaan/rasio volume) dan mikrositik. Sel darah merah didestruksi

secara prematur (oleh makrofag), terutama di lien (Mehta, 2005).

Defek pada spectrin (protein kontraktil yang melekat pada glikoprotein di permukaan

membran sitoplasma sel darah merah, menjaga bentuk sel) menyebabkan Hereditary elliptocytosis

(HE), HE lebih ringan dibandingkan dengan HS. Bentuk genotip homozigot pada HE dapat

menyebabkan anemia hemolitik parah atau disebut Hereditary pyropoikilocytosis (Mehta, 2005).

Defisiensi Enzim Glucose-6-phospate dehydrogenase. G6PD adalah enzim pertama dalam

perjalanan hexose monophospatase yang menghasilkan energy dalam bentuk NADPH. Kekurangan

G6PD menyebabkan sel darah merah menjadi rentan terhadap stress oksidatif. Gen pembawa

penyakit ini terdapat pada kromosom X, penurunan penyakit ini terkait seks. Pria penderita

defisiensi enzim ini akan mengalami anemia hemolitik apabila terpapar stress oksidatif, terutama

oleh obat-obatan, infeksi, ingesti kacang fava dan pada masa neonatus. Defisiensi enzim ini umum

terjadi pada populasi ras kulit hitam, ras mediteranian, ras timur tengah dan oriental. Terbukti

bahwa orang dengan defisiensi G6PD kebal terhadap lebih tahan terhadap malaria. Agen-agen

penyebab anemia hemolitik pada defisiensi enzim G6PD antara lain infeksi dan penyakit akut

lainnya, seperti diabetes ketoacidosis, obat-obatan (contoh; obat antimalaria, seperti primaquine,

sulphonamide dan sulphone, contoh cotrimoxazole, sulphanilamide, dapsone, salazopyrine), agen

antibakteri (contoh; nitrofuran, chloramphenicol), obat analgesic (contoh; aspirin, dosis sedang

aman digunakan), obat antihelminth (contoh; β-naphthol, stibophen, niridazole), miscellaneous

(contoh; analog vitamin K, naphthalene, probenecid), dan kacang fava. Splenectomy juga berperan

dalam menimbulkan anemia (Mehta, 2005).

Page 10: Eti Opa to Genesis

Defisiensi Enzim Pyruvate Kinase adalah defisiensi enzim yang paling sering terjadi dalam

perjalanan glycolytic yang menyebabkan anemia hemolitik non-spherocytic kronis atau Chronic

non-spherocytic haemolytic anemia (CNSHA).Pewarisannya melalui kromosom autosom, bersifat

resesif. Defisiensi enzim lainnya jarang menjadi penyebab CNSHA dan lebih sering disebabkan

penyakit musculoskeletal (Mehta, 2005).

Thalassemia dan Sickle cell merupakan Anemia hemolitik yang disebabkan karena kesalahan

genetic pada hemoglobin. Beberapa jenis thalassemia disebabkan oleh ketidakmampuan penderita

untuk memproduksi rantai alpha atau rantai beta pada hemoglobin dalam jumlah yang seharusnya.

Hal ini menyebabkan produksi sel darah merah terhambat, dan sel darah merah dewasa menjadi

rapuh dan berumur pendek. Kekurangan sel darah merah sehat akan menyebabkan masalah

perkembangan dan pertumbuhan di semua bagian tubuh. Sementara anemia sel sabit (sickle cell

anemia) disebabkan karena mutasi yang mempengaruhi rantai asam amino pada rantai beta dari

hemoglobin. Saat kandungan oksigen dalam darah tinggi, hemoglobin dan sel darah merah yang

membawa oksigen tampak normal. Akan tetapi, setelah hemoglobin yang bermasalah tersebut

melepas ikatan oksigen yang dibawanya, hemoglobin-hemoglobin di sekitarnya akan terpengaruh

dan sel-sel darah merah tersebut akan menciut dan menjadi kaku. Proses ini membuat sel darah

merah menjadi rapuh dan mudah rusak. Terlebih lagi, sel darah merah yang sudah melipat untuk

memasuki kapiler untuk mendistribusikan oksigen ke jaringan dapat melekat saat proses

penyabitan terjadi, sehingga dapat menyebabkan penyumbatan sirkulasi, dan jaringan-jaringan

sekitarnya akan kekurangan asupan oksigen (Martini, 2012).

Anemia hemolitik autoimun disebabkan autoantibodi menyerang membrane sel darah merah.

Anemia hemolitik autoimun dibagi menjadi anemia hemolitik hangat dan anemia hemolitik dingin.

Antibodi yang berperan pada anemia hemolitik autoimun hangat adalah IgG dan memiliki aktivitas

maksimum pada suhu 37o C. Sedangkan antibody yang berperan dalam Anemia hemolitik autoimun

dingin adalah IgG dan memiliki aktivitas maksimum pada suhu 4o C (Mehta, 2005).

Anemia hemolitik alloimun merupakan HA yang terjadi ketika antibody yang diproduksi

seorang individu bereaksi menyerang sel darah merah individu lain, seperti dalam ketidakcocokan

dalam tranfusi darah, hemolitik neonatus, dan transplantasi organ (Mehta, 2005).

Imun yang terinduksi obat juga dapat menimbulkan anemia hemolitik, melalui mekanisme,

sebagai berikut (1) Antibody diarahkan untuk melawan obat (contoh; penicillin)-kompleks

membrane sel darah merah, obat berperan sebagai hapten. (2) Antibodi melawan obat (contoh;

quinidine)-kompleks protein plasma dengan endapan lanjutan dari kompleks imun pada sel darah

Page 11: Eti Opa to Genesis

merah. (3) Stimulasi produksi autoantibodi (tipe hangat) melawan sel darah merah (ccontoh;

methyldopa, fludarabine) (Mehta, 2005).

Sindrom fragmentasi sel darah merah merupakan salah satu acquired HA yang disebabkan sel

darah merah terpapar oleh permukaan abnormal (contoh; katup jantung artifisial tak berendotel

atau cangkokan artifisial), atau sel darah merah mengalir melalui pembuluh darah kecil yang

mengandung helai-helai fibrin (contoh; koagulasi intravascular tersebar) atau melalui pembuluh

darah yang rusak. Ini disebut anemia mikroangiopatik, microangiopathic haemolitic anemia (MAHA)

dan terjadi pada thrombotic thrombocytopenic purpura, sindrom hemolitik uremik,

adenocarcinoma yang menyebar, hipertensi yang membahayakan, pre-eclampsia dan

meningococcal septicaemia. Hemolisis terjadi secara ekstravaskuler dan intravaskuler (Mehta,

2005).

Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh hemolysis akibat infeksi, seperti virus malaria yang

merusak langsung sel darah merah, toksin (contoh; toksin dari clostridium perfringens), stress

oksidatif pada indivdu yang mengalami defisiensi enzim G6PD, MAHA, pembentukan autoimun

(contoh; mononucleosis menular), destruksi ekstra vascular (contoh; malaria) (Mehta, 2005).

Beberapa obat seperti dapsone, atau bahan kimia seperti klorat dapat menimbulkan hemolysis

karena oksidasi bahkan dengan level G6PD normal. Luka bakar parah dan gigitan ular juga dapat

menyebabakan hemolysis (Mehta, 2005).

D. MANIFESTASI KLINIK

1. Anemia.

2. Jaundice (biasanya ringan), disebabkan bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam plasma; tidak

terdapat bilirubin pada urin.

3. Peningkatan timbulnya pigmen batu empedu.

4. Splenomegali, pada banyak tipe HA

5. Borok pada pergelangan kaki, terutama pada anemia sel sabit, thalassemia intermedia, dan

Hereditary Spherocytosis.

6. Ekspansi sumsum tulang, pada anak-anak, ekspansi tulang contoh: tulang frontal pada

thalassemia beta major.

7. Kegawatan aplastic yang disebabkan infeksi parvovirus dan anemia megaloblastik yang

disebabkan kekurangan asam folat.

(Mehta, 2005).

Page 12: Eti Opa to Genesis

E. PENEGAKKAN DIAGNOSIS

Menurut Schrier 2011 dalam Oehadian (2012), terdapat beberapa pendekatan yang

dilakukan untuk membantu diagnosis pasien dengan anemia:

1. Evaluasi Penderita

Evaluasi penderita dengan anemia diarahkan untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan:

• Apakah penderita mengalami perdarahan saat ini atau sebelumnya?

• Apakah didapatkan adanya bukti peningkatan destruksi sel darah merah (hemolisis)?

• Apakah terdapat supresi sumsum tulang?

• Apakah terdapat defisiensi besi? Apakah penyebabnya?

Apakah terdapat defi siensi asam folat dan vitamin B12? Apakah penyebabnya?

2. Riwayat penyakit

Beberapa komponen penting dalam riwayat penyakit yang berhubungan dengan anemia:

• Riwayat atau kondisi medis yang menyebabkan anemia (misalnya, melena pada penderita

ulkus peptikum, artritis reumatoid, gagal ginjal).

• Waktu terjadinya anemia: baru, subakut, atau lifelong. Anemia yang baru terjadi pada

umumnya disebabkan penyakit yang didapat, sedangkan anemia yang berlangsung

lifelong, terutama dengan adanya riwayat keluarga, pada umumnya merupakan kelainan

herediter (hemoglobinopati, sferositosis herediter).

• Etnis dan daerah asal penderita: talasemia dan hemoglobinopati terutama didapatkan

pada penderita dari Mediterania, Timur Tengah, Afrika sub-Sahara, dan Asia Tenggara.

• Obat-obatan. Obat-obatan harus dievaluasi dengan rinci. Obat-obat tertentu, seperti

alkohol, asam asetilsalisilat, dan antiinfl amasi nonsteroid harus dievaluasi dengan cermat.

• Riwayat transfusi.

• Penyakit hati.

• Pengobatan dengan preparat Fe.

• Paparan zat kimia dari pekerjaan atau lingkungan.

• Penilaian status nutrisi.

3. Pemeriksaan fisik

Tujuan utamanya adalah menemukan tanda keterlibatan organ atau multisistem dan untuk

menilai beratnya kondisi penderita.

Pemeriksaan fisik perlu memperhatikan (Schrier 2011 dalam Oehadian 2012):

• adanya takikardia, dispnea, hipotensi postural.

Page 13: Eti Opa to Genesis

• pucat: sensitivitas dan spesifi sitas untuk pucat pada telapak tangan, kuku, wajah atau

konjungtiva sebagai prediktor anemia bervariasi antara 19-70% dan 70-100%.

• ikterus: menunjukkan kemungkinan adanya anemia hemolitik. Ikterus sering sulit

dideteksi di ruangan dengan cahaya lampu artifisial. Pada penelitian 62 tenaga medis,

icterus ditemukan pada 58% penderita dengan bilirubin >2,5 mg/dL dan pada 68%

penderita dengan bilirubin 3,1 mg/dL.

• penonjolan tulang frontoparietal, maksila (facies rodent/chipmunk) pada talasemia.

• lidah licin (atrofi papil) pada anemia defisiensi Fe.

• limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri tulang (terutama di sternum); nyeri tulang

dapat disebabkan oleh adanya ekspansi karena penyakit infi ltratif (seperti pada leukemia

mielositik kronik), lesi litik ( pada myeloma multipel atau metastasis kanker).

• petekhie, ekimosis, dan perdarahan lain.

• kuku rapuh, cekung (spoon nail) pada anemia defisiensi Fe.

• Ulkus rekuren di kaki (penyakit sickle cell, sferositosis herediter, anemia sideroblastik

familial).

• Infeksi rekuren karena neutropenia atau defisiensi imun.

4. Pemeriksaan laboratorium

• Complete blood count (CBC)

CBC terdiri dari pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit, ukuran eritrosit,

dan hitung jumlah leukosit. Pada beberapa laboratorium, pemeriksaan trombosit, hitung

jenis, dan retikulosit harus ditambahkan dalam permintaan pemeriksaan (tidak rutin

diperiksa). Pada banyak automated blood counter, didapatkan parameter RDW yang

menggambarkan variasi ukuran sel (Schrier, 2011). Pada anemia hemolitik terdapat tanda-

tanda seperti; volume hemoglobin bisa tampak normal atau berkurang. Bilirubin tak

terkonjugasi pada serum meningkat. Tidak terdapat haptoglobin pada serum. Fecal

Stercobilinogen dan urobilinogen meningkat. Hemolisis intravaskuler menyebabkan

meningkatnya plasma dan hemoglobin pada urin, tes serum (Schumm’s) untuk

methaemalbumin, haemosiderin menunjukan hasil postif. (Mehta, 2005).

• Pemeriksaan morfologi apusan darah tepi

Apusan darah tepi harus dievaluasi dengan baik. Beberapa kelainan darah tidak dapat

dideteksi dengan automated blood counter (Schrier 2011 dalam Oehadian 2012). Sel

darah merah berinti (normoblas). Pada keadaan normal, normoblas tidak ditemukan

Page 14: Eti Opa to Genesis

RPI = (%retikulosit x hematokrit penderita / 45) / Faktor koreksi.

dalam sirkulasi. Normoblas dapat ditemukan pada penderita dengan kelainan hematologis

(penyakit sickle cell, talasemia, anemia hemolitik lain) atau merupakan bagian dari

gambaran lekoeritroblastik pada pende-rita dengan bone marrow replacement. Pada

penderita tanpa kelainan hematologis sebe-lumnya, adanya normoblas dapat

menunjukkan adanya penyakit yang mengancam jiwa, seperti sepsis atau gagal jantung

berat (Schrier 2011 dalam Oehadian 2012). Pada anemia hemolitik, preparat apusan dapat

terlihat polychromasia (sel darah merah yang masih muda terwarnai biru), bentuk sel

berubah, contoh spherocytes, elliptocytes, sickle cell atau sel darah merah

terfragementasi (Mehta, 2005).

Hipersegmentasi neutrofi l

Hipersegmentasi neutrofi l merupakan abnormalitas yang ditandai dengan lebih dari 5%

neutrofi l berlobus >5 dan/atau 1 atau lebih neutrofi l berlobus >6. Adanya

hipersegmentasi neutrofi l dengan gambaran makrositik berhubungan dengan gangguan

sintesis DNA (defisiensi vitamin B12 dan asam folat) (Schrier 2011 dalam Oehadian 2012).

• Hitung retikulosit

Retikulosit adalah sel darah merah imatur. Hitung retikulosit dapat berupa persentasi dari

sel darah merah, hitung retikulosit absolut, hitung retikulosit absolut terkoreksi, atau

reticulocyte production index. Produksi sel darah merah efektif merupakan proses

dinamik. Hitung retikulosit harus dibandingkan dengan jumlah yang diproduksi pada

penderita tanpa anemia. Rumus hitung retikulosit terkoreksi adalah (Schrier 2011 dalam

Oehadian 2012):

Hitung Retikulosit terkoreksi = % retikulosit penderita x hematocrit / 45

Faktor lain yang memengaruhi hitung retikulosit terkoreksi adalah adanya pelepasan

retikulosit prematur di sirkulasi pada penderita anemia. Retikulosit biasanya berada di

darah selama 24 jam sebelum mengeluarkan sisa RNA dan menjadi sel darah merah.

Apabila retikulosit dilepaskan secara dini dari sumsum tulang, retikulosit imatur dapat

berada di sirkulasi selama 2-3 hari. Hal ini terutama terjadi pada anemia berat yang

menyebabkan peningkatan eritropoiesis. Perhitungan hitung retikulosit dengan koreksi

untuk retikulosit imatur disebut reticulocyte production index (RPI) (Schrier 2011 dalam

Oehadian 2012)

Page 15: Eti Opa to Genesis

Faktor koreksi dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 Faktor koreksi hitung RPI 2,7

Hematokrit penderita (%) Faktor Koreksi

40 – 45 1,0

35 – 39 1,5

25 – 34 2,0

15 – 24 2,5

<15 3,0

RPI di bawah 2 merupakan indikasi adanya kegagalan sumsum tulang dalam produksi sel

darah merah atau anemia hipoproliferatif. RPA 3 atau lebih merupakan indikasi adanya

hiperproliferasi sumsum tulang atau respons yang adekuat terhadap anemia (Schrier 2011

dalam Oehadian 2012). Jumlah retikulosit meningkat pada anemia hemolitik (Mehta,

2005).

• Jumlah leukosit dan hitung jenis

Adanya leukopenia pada penderita anemia dapat disebabkan supresi atau infiltrasi sum-

sum tulang, hipersplenisme atau defisiensi B12 atau asam folat. Adanya leukositosis dapat

menunjukkan adanya infeksi, infl amasi atau keganasan hematologi. Adanya kelainan

tertentu pada hitung jenis dapat memberikan petunjuk ke arah penyakit tertentu (Schrier

2011 dalam Oehadian 2012):

Peningkatan hitung neutrofi l absolut pada infeksi

Peningkatan hitung monosit absolut pada mielodisplasia

Peningkatan eosinofi l absolut pada infeksi tertentu

Penurunan nilai neutrofi l absolut setelah kemoterapi

Penurunan nilai limfosit absolut pada infeksi HIV atau pemberian kortikosteroid

Jumlah trombosit

Abnormalitas jumlah trombosit memberikan informasi penting untuk diagnostik.

Trombositopenia didapatkan pada beberapa keadaan yang berhubungan dengan anemia,

misalnya hipersplenisme, keterlibatan keganasan pada sumsum tulang, destruksi

trombosit autoimun (idiopatik atau karena obat), sepsis, defisiensi folat atau B12.

Peningkatan jumlah trombosit dapat ditemukan pada penyakit mieloproliferatif,

defisiensi Fe, infl amasi, infeksi atau keganasan. Perubahan morfologi trombosit

Page 16: Eti Opa to Genesis

(trombosit raksasa, trombosit degranulasi) dapat ditemukan pada penyakit

mieloproliferatif atau mielodisplasia (Schrier 2011 dalam Oehadian 2012).

• Pansitopenia

Pansitopenia merupakan kombinasi anemia, trombositopenia dan netropenia.

Pansitopenia berat dapat ditemukan pada anemia aplastik, defisiensi folat, vitamin B12,

atau keganasan hematologis (leukemia akut). Pansitopenia ringan dapat ditemukan pada

penderita dengan splenomegali dan splenic trapping sel-sel hematologis (Schrier 2011

dalam Oehadian 2012).

Evaluasi kadar hemoglobin dan hematokrit secara serial dapat membantu diagnostic

(Schrier, 211) Contoh: Pada seorang penderita, Hb turun dari 15 g% menjadi 10 g% dalam

7 hari. Bila disebabkan oleh ganguan produksi total (hitung retikulosit = 0) dan bila

destruksi sel darah merah berlangsung normal (1% per hari), Hb akan turun 7% dalam 7

hari. Penurunan Hb seharusnya 0,07 x 15 g% = 1,05 g%. Pada penderita ini, Hb turun lebih

banyak, yaitu 5 g%, sehingga dapat diasumsikan supresi sumsum tulang saja bukan

merupakan penyebab anemia dan

menunjukkan adanya kehilangan darah atau destruksi sel darah merah (Schrier 2011

dalam Oehadian 2012).

F. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan untuk anemia hemolitik termasuk tranfusi darah, obat-obatan,

plasmapheresis, operasi, transplantasi stem cell darah dan sumsum, dan perubahan gaya hidup

(National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).

Orang yang menderita anemia hemolitik ringan bisa jadi tidak memerlukan pengobatan lebih

lanjut, selama kondisi mereka tidak memburuk. Orang yang menderita anemia hemolitik parah

biasanya memerlukan pengobatan. Anemia hemolitik parah bisa menjadi fatal apabila tidak

ditangani dengan benar (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).

Tujuan Pengobatan:

Mengurangi atau menghentikan destruksi dari sel darah merah

Meningkatkan jumlah sel darah merah sampai batas normal

Mengatasi penyebab dari anemia hemolitik tersebut

(National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).

Page 17: Eti Opa to Genesis

Pengobatan bergantung pada tipe, penyebab, dan keparahan dari anemia hemolitik yang

diderita. Dokter juga akan mempertimbangkan umur, kesehatan secara umum, dan riwayat medis.

Jika seorang individu menderita anemia hemolitik diwariskan, itu merupakan kondisi seumur hidup

yang memerlukan pengobatan berkesinambungan. Sedangkan untuk penderita anemia hemolitik

didapatkan (acquired), dapat disembuhkan jika penyebabnya dapat ditemukan dan diobati

(National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).

a. Transfusi Darah

Transfusi darah digunakan untuk merawat anemia hemolitik parah atau yang mengancam

nyawa. Transfusi darah merupakan prosedur yang sering digunakan, diberikan melalui

intravena. Transfusi membutuhkan kecocokan yang akurat antara darah donor dan darah

penerima (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).

b. Obat-obatan

Obat-obatan dapat mengatasi beberapa tipe anemia hemolitik, terutama anemia

hemolitik autoimun. Obat-obatan kortikosteroid, seperti prednisone, dapat menghentikan atau

membatasi kemampuan sistem imun untuk membuat antibody yang menyerang sel darah

merah. Jika penderita tidak bereaksi terhadap kortikosteroid, dokter akan meresepkan obat-

obatan lain untuk menekan sistem imun penderita. Contoh termasuk rituximab dan

cyclosporine (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).

Jika individu menderita sickle cell anemia parah, dokter akan merekomendasikan

hydroxyurea. Obat ini mendorong tubuh untuk memproduksi hemoglobin fetal. Hemoglobin

fetal adalah tipe hemoglobin yang dimiliki oleh neonatus (National Heart, Lung, and Blood

Institute, 2011).

Pada penderita sickle cell anemia, hemoglobin fetal membantu mencegah sel darah

merah menyabit atau mengkerut dan mengatasi anemia (National Heart, Lung, and Blood

Institute, 2011).

c. Plasmapheresis

Plasmapheresis adalah sebuah prosedur yang menghilangkan antibody dalam darah.

Untuk prosedur ini, darah diambil dari tubuh menggunakan sebuah jarum yang ditusukkan

melalui vena (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).

Plasma yang mengandung antibody dipisahkan dari komponen darah lainnya. Lalu,

plasma dari donor dan komponen darah lainnya milik penerima dimasukkan kembali ke

Page 18: Eti Opa to Genesis

tubuh penerima donor plasma. Treatment ini membantu jika treatment yang lain tidak

bekerja (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).

d. Operasi

Sebagian orang yang menderita anemia hemolitik membutuhkan tindakan operasi untuk

membuang limpa mereka. Limpa yang normal membantu melawan infeksi dan menyaring sel

darah yang sudah tua atau rusak. Limpa yang mengalami pembesaran atau terserang

penyakit dapat mendestruksi sel darah merah lebih dari batas normal, dan menyebabkan

anemia. Pengangkatan limpa dapat menghentikan atau mengurangi tingginya laju destruksi

sel darah merah (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).

e. Transplantasi Stem Cell Drah dan Sumsum

Pada sebagian tipe dari anemia hemolitik, seperti thalassemia, sumsum tulang tidak

dapat memproduksi sel darah merah sehat dalam jumlah yang cukup. Sel darah merah

didestruksi sebelum masa hidup normalnya berakhir. Transplantasi sel stem darah dan

sumsum dapat diterapkan untuk mengatasi anemia hemolitik tipe ini (National Heart, Lung,

and Blood Institute, 2011).

Sel stem darah dan sumsum hasil transplantasi mengantikan sel stem yang rusak dengan

sel stem yang sehat dari pendonor. Selama proses transplantasi, seperti transfuse darah,

penderita mendapat donor sel stem dari sebuah tabung yang dialirkan melalui vena. Setelah

sel stem donor berada dalam tubuh penerima, sel stem donor akan menuju sumsum tulang

penerima dan memulai produksi sel darah merah (National Heart, Lung, and Blood Institute,

2011).

f. Perubahan Gaya Hidup

Jika seorang individu menderita anemia hemolitik autoimun dingin, cobalah hindari

tempat-tempat bersuhu dingin. Ini akan membantu mencegah penghancuran sel darah

merah. Bagi penderita, sangat penting untuk melindungi jari-jari tangan dan kaki, serta

telinga dari suhu dingin (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).

Untuk melindungi diri, penderita dapat melakukan (National Heart, Lung, and Blood

Institute, 2011);

Menggunakan sarung tangan ketika mengambil makanan dari kulkas atau freezer

Memakai topi, scarf, dan mantel dengan manset sempit/ketat

Matikan AC atau berpakaian hangat saat AC dinyalakan

Hangatkan mobil sebelum menyetir saat musim dingin

Page 19: Eti Opa to Genesis

Individu yang lahir dengan defisiensi enzim G6PD dapat menghindari zat-zat yang

memicu anemia, seperti menghindari kacang fava, naphthalene (zat yang ditemukan pada

beberapa kapur barus), obat-obat tertentu (yang dianjurkan dokter untuk dijauhi) (National

Heart, Lung, and Blood Institute, 2011).

G. PROGNOSIS

Prognosis bagi penderita anemia hemolitik tergantung dari penyebabnya dan seberapa

parahnya. Kesehatan dasar pasien anemia hemolitik juga mempengaruhi prognosis. Kasus-kasus

anemia hemolitik yang disebabkan obat atau infeksi umumnya pulih dengan cepat. Penderita

anemia hemolitik autoimun biasanya bereaksi baik pada pengobatan. Sedangkan harapan untuk

penderita anemia hemolitik diwariskan (inherited) tergantung dari tipe dan keparahannya

(National Heart, Lung, and Blood Institute, 2010).

Secara keseluruhan, tingkat mortalitas anemia hemolitik rendah. Akan tetapi, risiko bagi

penderita usia lanjut dan penderita dengan gangguan kardiovaskuler lebih besar (Schick, 2013).

DAFTAR PUSTAKA

Hemolytic Anemia. Available at: http://www.intelihealth.com/IH/ihtIH/:/9339/21246.html (diakses pada 25 Juli 2013).

Martini F. 2012. Fundamentals of Anatomy and Physiology 9th ed. USA: Pearson Education Inc.Mehta AB, Hoffbrand AV. 2005. Haematology at a Glance. London : Blackwell

Science.National Heart, Lung, and Blood Institute. 2011. “How Is Hemolytic Anemia Treated?”. Available at:

http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/ha/treatment.html (diakses pada 25 Juli 2013).

Oehadian, Amaylia. 2012. “Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia”. Continuing Medical Education. vol 39. no. 6.

Schick, Paul. 2013. “Hemolytic Anemia, Prognosis”. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/201066-overview#aw2aab6b2b5aa (diakses pada 25 Juli 2013).

Schrier, Stanley L. 2011. “Approach to The Adult Patient with Anemia”. [cited 2011, June 9 ]. Available from: www.uptodate.com (diakses pada 25 Juli 2013).

Schrier, Stanley L. 2011. “Approach to The Diagnosis of Hemolytic Anemia in The Adult”. [cited 2011, June 9 ]. Available from: www.uptodate.com (diakses pada 25 Juli 2013).