Post on 28-Dec-2015
A. Pengantar
Kota-kota yang mengalami kehidupan dengan kondisi sosial politik, keagamaan,
dan budaya yang berbeda-beda mempunyai beberapa unsur eksternal yang menonjol
sehingga mempengaruhi perkembangan kota (Melville, 1995). Perkembangan kota
secara historis dipandang sebagai penyebab dan solusi untuk perbaikan sosial, ekonomi,
politik dan budaya. Namun, dalam perkembangan kota mebuat perubahan lingkungan.
Perubahan lingkungan dipengaruhi oleh tingkat dan jenis industrialisasi, kualitas
perumahan, aksesibilitas untuk ruang hijau dan meningkatkan keprihatinan terhadap
transportasi (McCarthy, 2002). Kerusakan lingkungan merupakan permasalah kota yang
diakibatkan oleh perkembangan kota yang mempengaruhi urbanisasi secara besar-
besaran di kota.
Pada tahun 2008-2009 diperkirakan lebih dari setengah jumlah penduduk dunia
berdomisili di kawasan perkotaan. Dalam Lingkup Indonesia, diperkirakan overlapping
jumlah penduduk perkotaan dan perdesaan akan terjadi pada tahun 2015. Bertambahnya
jumlah penduduk yang terus meningkat membuat layanan kota akan semakin tidak
efektif, kecuali kota dapat memberikan fasilitas layanan yang dibutuhkan oleh
masyarakat secara keseluruhan yang tinggal di kota. Kenyataannya sekarang ini banyak
kota-kota di seluruh dunia yang masih belum dapat melayani masyarakat yang tinggal di
dalamnya.
Hal ini dikarenakan kota tidak dapat menyediakan fasilitas layanan infrastruktur
untuk mewadahi aktivitas masyarakat sehari-hari di kota, sehingga banyak masyarakat
kota yang tidak merasa nyaman lagi untuk tinggal dikota, karena kepadatan penduduk
yang membuat ruang kota semakin sempit, kemacetan dan kerusakan lingkungan.
Padahal seharusnya tidaklah demikian, semakin berkembang dan maju suatu kota, maka
kenyamanan hidup di kota tersebut seharusnya dapat semakin meningkat. Kondisi ini lah
1
yang harus menjadi identitas kota masa depan, menjadi kota yang berkembang, maju
sejalan dengan tingkat liveability yang tinggi.
B. Pengertian Liveable City
Menurut Hahlweg (1997), kota yang layak huni adalah kota yang dapat menampung
seluruh kegiatan masyarakat kota dan aman bagi seluruh masyarakat.
Menurut Evan (2002), konsep Livable City digunakan untuk mewujudkan bahwa
gagasan pembangunan sebagai peningkatan dalam kualitas hidup membutuhkan fisik
maupun habitat sosial untuk realisasinya.
Livable City adalah kota dimana ruang umum yang merupakan pusat kehidupan
sosial dan fokus ke seluruh masyarakat (Salzano,1997).
“A Livable City is a city where I can have a healthy life and where I have the chance for
easy mobility – by foot, by bicycle, by public transportation, and even by car where there
is no other choice…The Livable City is a city for all people. That means that the Livable
City should be attractive, worthwhile, safe for our children, for our older people, not
only for the people who earn money there and then go and live outside in the suburbs
and in the surrounding communities. For the children and elderly people it is especially
important to have easy access to areas with green, where they have a place to play and
meet each other, and talk with each other. The Livable City is a city for all. (D. Hahlweg,
1997)”
Pengertian Livable City dari perspektif orang-orang adalah kota yang layak huni
dimana masyarakat kota dapat mencari pekerjaan, melayani kebutuhan dasar termasuk
air bersih dan sanitasi, memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan
yang layak, hidup dalam komunitas yang aman dan lingkungan yang bersih. Dapat
dikatakan bahwa Livable City merupakan gambaran sebuah lingkungan dan suasana kota
yang nyaman sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat untuk beraktifitas yang dilihat
dari berbagai aspek, baik aspek fisik (fasilitas perkotaan, prasarana, tata ruang, dll)
maupun aspek non-fisik (hubungan sosial, aktivitas ekonomi, dll).
2
C. Prinsip-prinsip Liveable City
Menurut Lennard (1997), prinsip dasar untuk Livable City adalah:
Tersedianya berbagai kebutuhan dasar masyarakat perkotaan (hunian yang layak, air
bersih, listrik).
Tersedianya berbagai fasilitas umum dan fasilitas sosial (transportasi publik, taman
kota, fasilitas ibadah/kesehatan/ibadah).
Tersedianya ruang dan tempat publik untuk bersosialisasi dan berinteraksi.
Keamanan, Bebas dari rasa takut.
Mendukung fungsi ekonomi, sosial dan budaya.
Sanitasi lingkungan dan keindahan lingkungan fisik.
Menurut Douglass (2002), dalam Livable City dapat dikatakan bertumpu pada 4
(empat) pilar, yaitu:
Meningkatkan sistem kesempatan hidup untuk kesejahteraan masyarakat.
Penyediaan lapangan pekerjaan.
Lingkungan yang aman dan bersih untuk kesehatan, kesejahteraan dan untuk
mempertahankan pertumbuhan ekonomi.
Good governance.
D. Institusi Penilaian Liveable City
Beberapa institusi telah mengadakan beberapa penilaian mengenai Livable City ini,
diantaranya adalah:
Americas Most Livable Communities, yang menilai tingkat kenyamanan hidup kota-
kota di Amerika Serikat.
Urban Construction Management Company, UCMC – IBRD (World Bank), yang
menilai tingkat sustanabiliy kota-kota di dunia.
International Center For Sustainable Cities, Vancouver Working Group Discussion,
yang menilai tingkat kenyamanan hidup kota-kota di Kanada.
Indonesia Most Liveable City Index2011 oleh Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia
(IAP), yang menilai tingkat kenyaman hidup kota-kota di Indonesia.
3
E. Manfaat Livable City
Adapun manfaat dari Livable City adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat akan lebih banyak berinteraksi di ruang publik
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
3. Meningkatkan Happiness Index masyarakat
F. Kendala Livable City
Mewujudkan sebuah kota menjadi kota yang layak huni bukan merupakan hal yang
mudah. Berikut merupakan kendala dalam perwujudan Livable City:
1. Harus baiknya hubungan antara pemerintah dengan seluruh penduduk kota (good
governance).
2. Perlunya pemimpin kota yang handal untuk mewujudkan kota yang nyaman,
karena pemimpin benar-benar berperan penting dalam pengambilan keputusan
untuk mewujudkan kota yang nyaman.
3. Perlunya penduduk kota yang berpartisipasi aktif serta kooperatif dalam
melaksanakan aturan-aturan yang diberikan pemerintah (masyarakat madani).
G. Penerapan Livable City
Kota nyaman atau kota layak huni mempunyai arti kontekstual yang sangat luas.
Maka dari itu, segala upaya yang dilakukan oleh sebuah kota untuk meningkatkan
kenyamanan suatu kota tersebut dapat dikatakan sebagai upaya perwujudan livable city.
Issue-Issue perencanaan seperti sustainable development, smart city, sustainable
transportation, dan keadilan serta pemerataan terhadap seluruh manusi merupakan salah
satu perwujudan dari penerapan livable city.
Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis,
masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan
pemenuhan kebutuhan generasi masa depan" (menurut Brundtland Report dari PBB,
1987). Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan.
Lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan:
pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Dokumen-
dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005 menyebut ketiga hal
dimensi tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan
berkelanjutan.
4
Gambar Skema Pembangunan Berkelanjutan
H. Best Practice Livable City
Salahsatu kota yang dapat dikatakan layak huni adalah Melbourne, Australia.
Melbourne kembali dinobatkan sebagai kota paling nyaman ditinggali di dunia
berdasarkan survei terbaru tentang kenyamanan kota untuk ditinggali oleh Economist
Intelligence Unit (EIU), sehingga membantu kota ini mempertahankan gelarnya selama
dua tahun berturut-turut. Kota-kota dinilai berdasarkan lima kategori: stabilitas,
perawatan kesehatan, budaya dan lingkungan, pendidikan dan infrastruktur, dengan
koresponden di masing-masing kota. Melbourne mendapatkan skor sempurna untuk
infrastruktur, perawatan kesehatan dan pendidikan sebagai kota paling nyaman untuk
ditinggali di dunia. Kehidupan yang semarak di Melbourne meliputi belanja, rekreasi dan
olahraga terbaik di Australia, serta tempat seni ternama. Kehidupan kota yang memiliki
komunitas multi kultural ini dipadukan dengan komitmennya terhadap pendidikan
berkualitas, menjadikan Melbourne salah satu kota paling dinamis di dunia.
5
Tabel Peringkat Kota Layak Huni di Dunia Menurut EUI Tahun 2013
Sumber: Economist Intelligence Unit’s (EIU) Global Liveability Survey, 2013.
I. Penelitian Mengenai Livable City
Untuk mengetahui persepsi warga kota mengenai tingkat kenyamanan kota-kota
besar di Indonesia maka Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) melakukan penelitian
Indonesia Most Livable City Index (MLCI) 2011. Kegiatan ini merupakan sebuah indeks
tahunan yang menunjukkan tingkat kenyamanan warga kota untuk tinggal, menetap dan
beraktivitas di suatu kota yang ditinjau dari berbagai aspek perkotaan. Indeks ini
dihasilkan dengan dengan pendekatan : ”Snapshot, Simple and Actual” yang dilakukan di
15 kota besar di Indonesia, yaitu Yogyakarta, Denpasar, Makasar Manado, Surabaya,
Semarang, Banjarmasin, Batam, Jayapura, Bandung, Palembang, Palangkaraya, Jakarta,
Pontianak dan Medan.
Kriteria indikator yang digunakan IAP dalam melakukan penelitian ini adalah
terdiri dari 26 indikator yang dikelompokkan ke dalam 9 kriteria utama, yaitu:
1.Aspek Tata Ruang (Tata Kota, RTH),
2.Aspek Lingkungan (Kebersihan, Polusi),
3.Aspek Transportasi (Jalan, Angkutan),
4.Aspek Fasilitas Kesehatan,
5.Aspek Fasilitas Pendidikan,
6.Aspek Infrastruktur – Utilitas (Listrik, Air, Telekomunikasi),
7.Aspek Ekonomi (LapanganKerja, LokasiKerja),
8.Aspek Keamanan,
9.Aspek Sosial (Kebudayaan, Interaksi Warga).
6
Dari penelitian ini didapatkan hasil dari Indonesia Most Livable City Index 2011 adalah
dengan index rata-ratanya 54,26% penduduk yang merasa nyaman tinggal dikotanya.
Sumber: IAP, 2011.
7
Kota 2009 2011Yogyakarta 65,34 66.52%Denpasar 63.63%Makasar 56,52 58.46%Manado 59,90 56.39%Surabaya 53,13 56.38%Semarang 52,52 54.63%Banjarmasin 52,61 53.16%Batam 52.60%Jayapura 53,86 52.56%
Bandung 56,37 52.32%Palembang 52.15%Palangkaraya 52,04 50.86%Jakarta 51,90 50.71%Pontianak 43,65 46.92%Medan 52,28 46.67%
REFERENSI
Branch, Melville C, 1995 : Perencanaan Kota Kompresif. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.
Douglass, Mike.2002. From global intercity competition to cooperation for livable cities
and economic resilience in Pacific Asia. Environment and Urbanization 2002 14: 53.
Evans, Peter. 2002. Livable Cities? The Politics of Urban Livelihood and
Sustainability.University of California Press, Berkeley.
Hahlweg, D. 1997. “The City as a Family” In Lennard, S. H., S von Ungern Sternberg,
H. L. Lennard, eds. Making Cities Livable. International Making Cities Livable
Conferences. California, USA: Gondolier Press.
McCarthy, Mark. 2002. Urban Development And Health Inequalities. Scand J Public
Health 2002 30: 59.
Salzano, E. 1997. “Seven Aims for the Livable City” in Lennard, S. H., S von Ungern-
Sternberg, H. L. Lennard, eds. Making Cities Livable. International Making Cities
Livable Conferences. California, USA: Gondolier Press
Sternberg, H. L. Lennard, eds. Making Cities Livable. International Making Cities
Livable Conferences. Gondolier Press: California, USA.
Palej, A. 2000. “Architecture for, by and with Children: A Way to TeachLivable City”
Paper presented at the International Making Cities Livable Conference, Vienna, Austria,
2000.
Wheeler, Stephen M . 2004. Planning For Sustainability, Creating Livable, Equitable,
And Ecological Communities. New York. Routledge.
8