Post on 26-Jan-2016
description
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam Reumatik Akut (DRA) masih menjadi masalah kesehatan di
negara yang sedang berkembang. Angka mortalitas untuk Penyakit Jantung
Reumatik (PJR) mencapai 0,5 per 100.000 penduduk di negara maju, hingga 8,2
per 100.000 penduduk di negara berkembang dan di daerah Asia Tenggara
diperkirakan 7,6 per 100.000. Demam reumatik akut masih menjadi masalah
medis dan sosial di perkirakan 500.000 yang meninggal dunia diseluruh dunia
karena penyakit tersebut.1 Angka kecacatan pertahun akibat PJR diperkirakan
sekitar 27,4 per 100.000 penduduk di negara maju dan sekitar 173,4 per 100.000
penduduk dinegara berkembang yang secara ekonomis sangat
merugikan.1Demam rematik akut merupakan penyebab utama penyakit jantung
didapat pada anak usia 5 tahun sampai dewasa muda dinegara berkembang
dengan keadaan sosio-ekonomi rendah dan lingkungan buruk. Di Indonesia,
prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8 anak sekolah dengan usia 5-15
tahun.2 Data insiden DRA yang dapat dipercaya sangat sedikit sekali. Pada
beberapa negara data yang diperoleh hanya berupa data lokal yang terdapat
pada anak sekolah.Insiden per tahunnya cenderung menurun dinegara maju,
tetapi di negara berkembang tetap tinggi,sebabagi contoh di Cina tercatat
berkisar antara 1- 150 per 100.000 1.
Demam Reumatik Akut (DRA) adalah suatu penyakit yang diakibatkan
oleh respon imunologis lambat yang terjadi setelah infeksi grup A streptokokus β-
hemolitikus. Demam reumatik akut biasanya terjadi akibat infeksi grup A
1
streptokokus β-hemolitikus pada saluran pernafasan bagian atas.3 Penyakit
Jantung Reumatik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala
sisa dari DRA, yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. Pada DRA
atau PJR, antibodi yang terbentuk terhadap grup A streptokokus β-hemolitikus
memberikan reaksi silang dengan jaringan jantung, persendian,kulit dan jaringan
lainnya yang selanjutnya mencetuskan reaksi inflamasi multi sistem, manifestasi
klinis yang paling sering ditemui berupa poliartritis migran, karditis, demam dan
manifestasi klinis lain berupa korea sydenham, nodul subkutan dan eritema
marginatum yang jarang ditemui.1
Beberapa faktor yang diduga berperan terhadap serangan berulang DRA
yaitu usia saat pertama serangan, adanya PJR, jarak waktu serangan berulang
dari serangan sebelumnya, serangan demam sebelumnya, banyaknya anggota
keluarga, riwayat keluarga dengan DRA atau PJR, faktor sosial, edukasi pasien,
risiko infeksi streptokokus di area tempat tinggal dan penerimaan pasien
terhadap pengobatan yang diberikan.3
Pada saat serangan DRA awal memungkinkan terjadi karditis ringan,
yang manifestasinya subklinis, tidak terdiagnosis, dengan demikian pasien tidak
mendapat obat profilaksis untuk mencegah kekambuhannya. Terutama saat
kondisi pasien dengan sosial ekonomi rendah, kekambuhan menyebabkan
kerusakan jantung lebih lanjut dan akan menyebabkan PJR yang simptomatik,
dengan keterlibatan beberapa katup jantung dan kegagalan jantung yang
kongestif akibat serangan DRA pertama yang berat. Tingginya angka prevalensi
karditis subklinis yang ditemukan dari ekokardiografi menunjukkan bahwa
serangan awal DRA mungkin relatif ringan dan tidak adanya profilaksis
menyebabkan kekambuhan dengan manifestasi yang lebih berat.4,5
2
Beberapa studi mendukung adanya kerentanan genetik terhadap DRA
dan PJR berhubungan dengan gen HLA klas 1 dan HLA klas 2 yang terletak di
kromosom 6 dan sering dihubungkan dengan kerentanan penyakit autoimun.
Beberapa gen menjadi faktor predisposisi seseorang mudah terkena DRA.
Polimorfisme gen TNF-α berhubungan dengan kemudahan mendapatkan
penyakit demam reumatik. Polimorfisme terjadi di regio promotor dari gen TNF-α
di nukleotida 308 yang mengalami transkripsi. Pengetahuan mengenai
polimorfisme gen dalam patogenesis dan kerentanan terhadap DRA dan PJR
dapat memberikan pemahaman serta pengetahuan untuk kedepannya agar
dapat mendeteksi secara dini terjadinya DRA danPJR sehingga dapat
mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit DRA dan PJR.6,7
1.2 Tujuan
Tujuan tinjauan kepustakaan ini adalah untuk mengetahui peranan dari
polimorfisme gen terhadap patogenitas dan kerentanan terjadinya demam
reumatik akut dan penyakit jantung reumatik.
3
BAB 2
DEMAM REUMATIK AKUT DAN PENYAKIT JANTUNG REUMATIK
2.1 Definisi
Demam Reumatik Akut (DRA) adalah sindrom klinis sebagai salah satu
akibat infeksi kuman grup A streptokokus β-hemolitikus, yang ditandai oleh satu
atau lebih manifestasi mayor (karditis, poliartritis, korea,nodul subkutan, dan
eritema marginatum) dan mempunyai ciri khas untuk kambuh kembali.8
PJR adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele)
dari Demam Reumatik Akut (DRA), yang ditandai dengan cacat katup jantung.
Definisi lain mengatakan bahwa PJR adalah hasil DRA, yang merupakan suatu
kondisi yang dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi grup A streptokokus β-
hemolitikuspada saluran nafas bagian atas .9
Beberapa tahun yang lalu, dari data yang ada menyatakan bahwa
Streptokokkus grup A tidak hanya menempel pada sel epitel tetapi menyerang
sel epitel tersebut. La Pentad memperlihatkan bahwa Streptokokkus grup A
mempunyai potensi untuk menyerang sel epitel manusia dengan frekuensi yang
sama dengan bakteri pathogen seperti Listeria dan Salmonella.Ilustrasi dari
invasi sel epitel oleh Streptokokkus grup A dapat dilihat dari gambar 1
4
Gambar 1 : Elektron mikrograf yang memperlihatkan masuknya streptokokus ke dalam sel faring manusia4. Streptokokus grup A yang dilihat berhubungan dengan permukaan atas microvilli sel faring. Pembesaran membran terjadi selama proses internalisasi. Interaksi pada permukaan dapat dilihat antara sel faring dan streptokokus
2.2 Epidemiologi
Insiden PJR tertinggi dilaporkan terjadi pada suku Samoan di Kepulauan
Hawai sebesar 206 penderita per 100.000 penduduk pada periode tahun 1980-
1984. Prevalensi PJR di Ethiopia tahun 1999 adalah 6,4 per 100.000 penduduk
pada kelompok usia 5-15 tahun. DR akut dan PJR diduga merupakan hasil
respon autoimun, namun patogenesis yang pasti masih belum jelas.
Insiden DRA dibeberapa negara berkisar 50 per 100.000 anak.Jumlah
tertinggi dilaporkan didaerah Australia dan New Zealand (tabel 1). Sebagai
contoh, jumlah insiden untuk usia sekolah pada Pulau pasifik di New Zealand
sekitar 80-100 per 100.000 anak, dan di Aborigin dan Australia utara sekitar 245-
351 per 100.000 anak, sedangkan menurut data survei komunitas insiden dari
DRA sekitar 500 per 100.000 penduduk.
5
Tabel 1. Insiden Demam Reumatik pada anak dan remaja sejak tahun 199010
Pada tahun 2001 di Asia Tenggara, angka kematian akibat PJR sebesar
7,6 per 100.000 penduduk. Di Utara India pada tahun 1992-1993, prevalensi PJR
sebesar 1,9-4,8 per 1.000 anak sekolah (dengan umur 5-15 tahun). Sedangkan
di Nepal dan Srilanka masing-masing sebesar 1,2 per 1000 anak sekolah dan
1per 1000 anak sekolah.10,11
Prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8 per 1000 anak sekolah
dengan usia 5-15 tahun.2 Pada beberapa negara data yang diperoleh hanya
berupa data lokal yang terdapat pada anak sekolah. Insiden per tahun cenderung
menurun di negara maju, tetapi di negara berkembang tercatat berkisar antara 1
sampai 150 per 100.000 penduduk di Cina1.
6
2.3 Etiologi
Demam reumatik akut diketahui mempunyai hubungan dengan infeksi
kuman grup A streptokokus β-hemolitikus pada saluran nafas atas dan infeksi
pada kulit, juga mempunyai hubungan terjadinya glomerulonefritis akut. Kuman
grup A streptokokus β-hemolitikus dapat dibagi atas sejumlah grup serologi yang
didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri
tersebut. Saat ini lebih dari 130 serotipe M bertanggung jawab pada manusia,
tetapi hanya grup A yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis DRA
dan PJR. Hubungan kuman grup A streptokokus β-hemolitikus sebagai
penyebab DRA terjadi secara tidak langsung, karena organisme penyebab tidak
dapat diperoleh dari lesi, tetapi banyak penelitian klinis, imunologis dan
epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit ini mempunyai hubungan
dengan infeksi grup A streptokokus β-hemolitikus, terutama serotipe
M1,3,5,6,14,18,19 dan 24.23
Sekurang-kurangnya sepertiga penderita tidak didapatkan adanya riwayat
infeksi saluran nafas karena infeksi streptokokus sebelumnya dan pada kultur
swab tenggorok terhadap grup A streptokokus β-hemolitikus sering negatif pada
saat serangan DRA. Tetapi respon antibodi terhadap produk ekstraseluler
streptokokus dapat ditunjukkan pada hampir semua kasus DRA dan serangan
akut DRA sangat berhubungan dengan besarnya respon antibodi. Diperkirakan
banyak anak yang mengalami episode faringitis setiap tahunnya dan 15-20%
disebabkan oleh streptokokus grup A dan 80% lainnya disebabkan infeksi virus.
Insiden infeksi grup A streptokokus β-hemolitikus pada tenggorokan bervariasi di
antara berbagai negara dan di daerah di dalam satu negara. Insiden tertinggi
didapatkan pada anak usia 5-15 tahun.23
7
2.4 Patofisiologi Penyakit Jantung Reumatik (PJR)
Patofisiologi terjadinya penyakit jantung reumatik belum diketahui secara
jelas tetapi terdapat penelitian yang mendapatkan bahwa demam reumatik yang
mengakibatkan penyakit jantung reumatik terjadi akibat sensitisasi dari antigen
streptokokus setelah satu sampai empat minggu infeksi streptokokus di
faring.Lebih kurang 95% pasien menunjukkan peningkatan titer antistreptolisin O
(ASTO), antideoksribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua macam
tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman streptokokus grup A. Interaksi
antara pejamu dan patogen terjadi karena menempelnya permukaan ligan
streptokokus ke reseptor spesifik pada sel pejamu. Masuknya streptokokus grup
A ke sel epitel dermis ataupun faring merupakan awal penentu pentingnya
kolonisasi dari sel pejamu tersebut. Tanpa mekanisme adhesi yang kuat
streptokokus grup A tidak dapat menembus ke jaringan sel pejamu dan
disingkirkan oleh mukosa dan air liur. Telah diketahui bahwa streptokokus grup A
mempunyai antifagositosis pada dinding permukaannya yang terdiri dari protein
M dan kapsul asam hialuronik. Ada 2 mekanisme yang menjelaskan mengenai
antifagosit dari protein M streptokokus. Mekanisme pertama adalah ikatan dari
faktor H yang dapat menghambat aktivasi dari komplemen dimana faktor H
merupakan komponen yang secara rutin menghambat endapan dari C3b.
Antifagosit streptokokus grup A juga dimediasi ikatan antara protein M
dan fibrinogen. Ikatan fibrinogen dengan protein M menghambat aktivasi dari
komplemen melalui jalur alternatif dan akhirnya mengurangi jumlah C3b ke
streptokokus sehingga mengurangi fagosit yang diproduksi leukosit PMN.
8
Antibodi pejamu menghalangi protein M dengan mengikat epitop N terminal dari
protein M yang menghasilkan aktivasi dari jalur komplemen klasik (gambar 2).4
Gambar 2. Pengenalan sistem imun terhadap Streptokokus group A4
Pengenalan sistem imun dengan streptokokus grup A dan opsonisasi oleh komplemen dan antibodi tipe spesifik melawan protein M. Reseptor Fc pada makrofag terikat regio antibodi Fc yang menginduksi fagositosis dan memakan streptokokus.
Infeksi dari streptokokus ini pada awalnya akan mengaktifkan sistem
imun. Seberapa besar sistem imun yang aktif ini sangat dipengaruhi oleh faktor
virulensi dari kuman itu sendiri yaitu kejadian terjadinya bakteremia. Beberapa
protein yang cukup penting dalam faktor antigenisitas antara lain adalah protein
M dan N asetil glukosamin pada dinding sel bakteri tersebut. Kedua faktor
antigen tersebut akan dipenetrasikan oleh makrofag ke sel CD4+naif.
Selanjutnya sel CD4 akan menyebabkan poliferasi dari sel Th 1 dan Th 2 melalui
berbagai sitokin antara lain IL-1,IL-2,IFNʏ dan TNF α,IL-4,IL-5 dan IL-13. Th 1
akan menghasilkan IL-1,IL-2, IFNʏ.Sedangkan Th2 yang sebagai mediator
humoral dan alergi akan menghasilkan IL-4,IL-5 dan IL-13. Infeksi faring dari
streptokokus akan merangsang reaksi inflamasi yang melibatkan sitokin
proinflamasi seperti IL-1, IL-6 dan TNF-α. Pada anak yang terkena demam
9
reumatik akut limfosit akan mengalami eksaserbasi setelah 1-6 bulan terinfeksi
streptokokus.
Gambar 3. Patofisiologi Demam Reumatik akut dan PJR
Dari gambar 3, dijelaskan pada saat infeksi faring oleh karena
Streptococcus pyogenes mencetuskan epitop yang mirip dengan stuktur manusia
(molecular mimicry) awalnya akan menimbulkan imun respon innate yang
merangsang imunitas adaptif lokal yang menghasilkan sitokin pro inflamasi dan
antibodi. Dimana sitokin secara sistematis akan mengaktivasi dan menghasilkan
berbagai macam limfosit. Di persendian, antibodi akan menghasilkan kompleks
imun dan mengaktivasi komplemen menginduksi artritis. Beberapa antibodi
mengenali neuron basal ganglia dan menginduksi sekresi dopamin sehingga
10
terjadi korea sydenham dan mungkin dapat terjadi gangguan obsesif kompulsi
pada beberapa pasien. Antibodi sendiri mempunyai risiko pada struktur hati
terutama berasal dari miosin, laminin dan tropomiosin menghasilkan adhesi dari
molekul yang disebut VCAM-1 yang akan mengekspresikan monosit dan
makrofag. Sel mononuklear tersebut memproduksi sitokin gamma yang berperan
pada proinflamasi dan antiinflamasi. Keseimbangan antara sitokin dapat
dipengaruhi oleh genetik dari pejamu dan menjadi penentu dari limfosit perifer
yang akan masuk kejantung dimana akan terjadi penyebaran fenomena epitop
yang akan menyebabkan inflamasi dan kerusakan pada jantung. 11
2.5 Diagnosis
Diagnosis pada demam reumatik akut memerlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti. Gambaran klinis demam reumatik bergantung pada
sistem organ yang terlibat dan manifestasi klinis yang tampak bisa tunggal atau
merupakan gabungan sistem organ. Sebuah diagnosis PJR dibuat setelah
konfirmasi adanya DRA. Diagnosis klinis mayor dari DRA dikenalkan lewat
kriteria Jones, sejak tahun 1944 dan mengalami modifikasi mengalami revisi 2x
dan yang terbaru menjadi panel (tabel 2) yang dibuat oleh American Heart
Association. Setiap revisi meningkatkan spesifitas tetapi menurunkan sensitivitas
dari kriteria, terutama menanggapi insiden DRA yang semakin menurun
dibeberapa negara. Dibeberapa daerah didunia dimana DRA masih terjadi
endemis atau epidemis, juga berkaitan dengan diagnosis yang berlebihan dari
DRA itu sendiri , dan kurangya ketentuan dari pemberian profilaksis sekunder
untuk mencegah kambuhnya DRA dan memberatnya PJR dapat terjadi over
diagnosis, sehingga kriteria Jones tahun 1992 juga tidak lebih sensitif dari
11
sebelumnya. Begitu juga kriteria WHO tahun 2002 , dimana kriteria yang
ditentukan tidak terlalu ketat untuk mendiagnosis kekambuhan dari DRA yang
mungkin terdapat PJR.
Tabel 2. Panel Diagnosis Demam Rematik Akut10
12
Kriteria Jones membutuhkan kriteria 2 mayor atau 1 mayor dan 2 kriteria minor
untuk diagnosis demam reumatik.
1. Kriteria diagnostik mayor termasuk karditis, poliartritis, korea, eritema
marginatum dan nodul subkutan.
2. Kriteria diagnostik minor termasuk demam, artralgia, panjang interval PR
pada EKG, adanya protein C reaktif, leukositosis, peningkatan reaktan
fase akut (peningkatan tingkat sedimentasi eritrosit).8
The National Heart Foundation of Australia dan Cardiac Society of Australia
dan New Zealand membuat revisi dalam pedoman yang dibuat untuk
populasi yang mempunyai risiko tinggi karena tingkat sensitivitas yang
meningkat seperti didaerah Aborigin dan pulau Torres Strait (tabel 3).
Kelompok dengan risiko tinggi meliputi sekelompok orang yang tinggal di
daerah yang terpencil dimana terdapat jumlah kejadian DRA atau RHD,
dimana didaerah Aborigin dan pulau Torres Strait, maori, dan pulau Pasifik
yang kemungkinan juga mempunyai risiko tinggi terjadinya RHD.
13
Tabel 3.GuidelineDiagnosisDemam Rematik Akut8
Sebagai diagnosis awal terjadinya DRA, anak – anak yang sebelumnya
mengalami infeksi dari Streptokokkus grup A dinilai kadar ASTO dan anti- DNase
B titre (tabel 4) yang menggambarkan dari tingkat demografi DRA yang terjadi
terbanyak pada anak usia lebih dari 9 tahun8.
14
Tabel 4. Titer antobodi Streptokokus group A8
2.6 Manifestasi Klinis
Demam reumatik akut terdiri dari sejumlah manifestasi klinis, diantaranya
artritis,korea, nodul subkutan, dan eritema marginatum.
Manifestasi klinis ini dapat dibagi menjadi manifestasi mayor dan minor, yaitu :
1. Manifestasi klinis mayor
Manifestasi mayor terdiri dari artritis, karditis, korea, eritema
marginatum, dan nodul subkutan. Artritis adalah gejala mayor yang sering
ditemukan pada DRA. Biasanya mengenai sendi-sendi besar seperti lutut,
pergelangan kaki, siku dan pergelangan tangan. Sendi yang terkena
menunjukkan gejala-gejala radang seperti bengkak, merah, panas sekitar
sendi, nyeri dan terjadi gangguan fungsi sendi.
15
Kelainan pada tiap sendi akan menghilang sendiri tanpa
pengobatan dalam beberapa hari sampai 1 minggu dan seluruh gejala
sendi biasanya hilang dalam waktu 5 minggu, tanpa gejala sisa apapun.
Karditis merupakan proses peradangan aktif mengenai endokardium,
miokardium, dan perikardium. Dapat salah satu saja, seperti endokarditis,
miokarditis, dan perikarditis. Endokarditis dapat menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan pada daun katup yang menyebabkan terdengarnya
bising. Miokarditis ditandai oleh adanya pembesaran jantung dan tanda-
tanda gagal jantung. Karditis ditemukan sekitar 50% pasien DRA. Gejala
dini karditis adalah rasa lelah, pucat, lemas dan anak tampak sakit
meskipun belum ada gejala spesifik. Karditis merupakan kelainan yang
paling serius pada DRA, dan dapat menyebabkan kematian selama
stadium akut. Diagnosis klinis karditis dapat ditegakkan jika satu atau
lebih tanda berikut ini ditemukan,seperti adanya perubahan sifat bunyi
jantung organik, ukuran jantung yang bertambah besar, terdapat tanda
perikarditis , dan adanya gagal jantung kongestif.1,2,11
Korea merupakan gangguan sistem saraf pusat yang ditandai oleh
gerakan tiba-tiba, tanpa tujuan, dan tidak teratur, seringkali disertai
kelemahan otot dan emosi yang tidak stabil. Gerakan tanpa disadari akan
ditemukan pada wajah dan anggota gerak tubuh. Gerakan ini akan
menghilang pada saat tidur. Korea biasanya muncul setelah periode laten
yang panjang, yaitu 2-6 bulan setelah infeksi streptokokus dan pada
waktu seluruh manifestasi DRA lainnya mereda.1,2,11Eritema marginatum
merupakan manifestasi DRA pada kulit, berupa bercak-bercak merah
16
muda dengan bagian tengahnya pucat sedangkan tepinya berbatas
tegas, berbentuk bulat atau bergelombang, tidak nyeri dan tidak gatal.
Tempatnya dapat berpindah-pindah, dikulit dada bagian dalam lengan
atau paha tetapi tidak pernah terdapat dikulit muka. Eritema marginatum
ini ditemukan kira-kira 5% dari penderita DRA dan merupakan manifestasi
klinis yang paling sukar di diagnosis.
Nodul subkutan merupakan manifestasi mayor DRA yang terletak
dibawah kulit, keras, tidak terasa sakit, mudah digerakkan, berukuran
antara 3-10 mm. Kulit diatasnya dapat bergerak bebas. Biasanya terdapat
dibagian ekstensor persendian terutama sendi siku, lutut, pergelangan
tangan dan kaki. Nodul ini timbul selama 6-10 minggu setelah serangan
DRA.1,2,11Untuk manifestasi mayor dapat disimpulkan dari tabel 5.
Tabel 5. Manifestasi Demam Reumatik Akut31
17
Manifestasi klinis minor merupakan manifestasi yang kurang spesifik
tetapi diperlukan untuk diagnosis DRA. Manifestasi klinis minor ini meliputi
demam, artralgia, nyeri perut. Demam hampir selalu ada pada poliartritis
reumatik. Suhunya jarang melebihi 39°C dan biasanya kembali normal dalam
waktu 2 atau 3 minggu, walau tanpa pengobatan. Atralgia adalah nyeri sendi
tanpa tanda radang pada sendi, seperti nyeri, merah, hangat, yang terjadi
selama beberapa hari atau minggu. Rasa sakit akan bertambah bila penderita
melakukan latihan fisik. Gejala lain adalah nyeri perut yang biasanya membuat
penderita kelihatan pucat dan merupakan tanda subklinis dari DRA.11Beberapa
gambaran klinis dari DRA tidak terlalu spesifik, sehingga diagnosis banding
lainnya juga perlu dipertimbangkan (tabel 6). Sebagian besar menjadi alternatif
pertimbangan yang juga berdasarkan lokasi dari penderita dan kelompok etnik
penderita tersebut.
Tabel 6.Diagnosis Banding dari Demam Reumatik31
18
2.7 Pengobatan
2.7.1 Pengobatan Penyebab
Pengobatan penyebab dari demam reumatik akut dilakukan melalui
eradikasi kuman streptokokus pada serangan akut dan pencegahan sekunder
demam reumatik akut.
Secara keseluruhan pengobatan yang efektif untuk DRA sangat rendah
berarti bagaimana caranya menurunkan terjadinya DRA dan PJR dengan
melakukan pereventif. Pencegahan primer untuk DRA hanya berkisar pada
pemberian antibiotik pada pengobatan simptomatis faringitis yang disebabkan
Streptokokkus grup A. Pemberian antibiotik untuk faringitis diberikan selama 9
hari untuk mencegah terjadinya DRA. Dari tabel 7 terdapat beberapa antibiotik
untuk pencegahan primer. Pengobatan tambahan meliputi pemberian antibiotik
dosis tunggal amoksilin,yang efektif.
Tabel 7.Rekomendasi terapi yang diberikan pasien Demam Reumatik Akut8
19
Pengobatan untuk pencegahan sekunder yang diajukan adalah dengan
pemberian suntikan penisillin setiap 1 bulan. Lama pemberian pencegahan
sekunder sangat bervariasi, bergantung pada berbagai faktor termasuk waktu
serangan dan serangan ulang, umur pasien dan keadaan lingkungan. Makin
muda saat serangan, makin besar kemungkinan untuk kambuh.1,10
2.7.2 Pengobatan Suportif
Untuk pasien demam reumatik akut harus tirah baring, Karditis hampir
selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak dari awal serangan.1,10(tabel 8).
Tabel 8.Tirah baring dan mobilisasi penderita demam reumatik1,10
Status Jantung Penatalaksanaan
Tanpa Karditis Tirah baring selama 2 minggu dan mobilisasi bertahap selama 2 minggu
Karditis tanpa Kardiomegali
Tirah baring selama 4 minggudan mobilisasi bertahap selama 4 minggu
Karditis dengan Kardiomegali
Tirah baring selama 6 minggu dan mobilisasi bertahap selama 6 minggu
Karditis dengan gagal jantung
Tirah baring selama dalam keadaan gagal jantung dan mobilisasi bertahap selama 3 bulan
20
Obat anti radang diberikan untuk menekan gejala radang akut yang timbul
meskipun adanya radang dan perjalanan penyakitnya sendiri tidak berubah. Oleh
karena itu obat anti radang sebaiknya hanya diberikan bila diagnosis telah
ditegakkan.(tabel 9)
Tabel 9. Pedoman pemberian analgetik dan anti-inflamasi1,10
Manifestasi Klinik Pengobatan
Artralgia Salisilat saja 75-100 mg/kg BB/hari
Artritis saja, danatau karditis tanpa kardiomegali
Salisilat saja 100 mg/kg BB/hari selama 2 minggu dilanjutkan dengan 75 mg/kg BB selama 4-6 minggu.
Karditis dengan kardiomegali atau gagal jantung
Prednison 2 mg/kg/ BB/hari selama 2 minggu,dikurangi bertahap selama 2 minggu ditambah salisilat 75 mg/kg BB selama 6 minggu.
21
BAB 3
PERAN POLIMORFISME GEN TERHADAP DEMAM REUMATIK AKUT
DAN PENYAKITJANTUNG REUMATIK
. Polimorfisme atau Single Nucleotida Polimorphism (SNP) adalah suatu
variasi urutan nukleotida atau perubahan salah satu basa nukleotida pada gen.
Polimorfisme gen akan menyebabkan peningkatan atau penurunan proses
transkripsi sehingga mempengaruhi produksi protein TNF-α.Sejauh ini, telah
ditemukan2 single nucleotide polymorphisms (SNP) pada daerah promotor TNF-
α pada lokasi nukleotida 238 dan 308 dari gen TNF-α.14
Dari beberapa studi diduga demam reumatik diturunkan dari gen resesif
tunggal. Beberapa studi mendukung bahwa kerentanan genetik terhadap DRA
dan PJR berhubungan dengan gen HLA klas 1 dan HLA klas 2 yang terletak di
kromosom 6 dan sering dihubungkan dengan kerentanan penyakit autoimun.
Mudahnya seseorang terkena demam reumatik tiap individu berhubungan
dengan imunogenik, genetik, dan faktor lingkungan. Beberapa gen menjadi faktor
predisposisi seseorang mudah terkena DRA. Polimorfisme gen TNF-α
berhubungan dengan kerentanan demam reumatik. Polimorfisme terjadi di regio
promotor dari gen TNF-α di nukleotida 308 yang mengalami transkripsi. Sitokin
IL-10 dikenal sebagai antiinflamasi dan mengatur aktivitas respon imun. IL-10
menghambat sintesis sitokin proinflamasi dan kemokin melalui monosit,
makrofag, neutrofil dan eosinofil.6,7
Meskipun produksi sitokin TNF-α dipicu oleh proses inflamasi kecepatan
produksi TNF-α dipengaruhi faktor genetik, yaitu adanya polimorfisme yang
terdapat pada gen yang menyandi sitokin tersebut.
22
Begitu banyak gen inflamasi dan satu diantaranya IL-1 yang terletak
dikromosom 2 dan berfungsi sebagai sitokin gen ekspresi proinflamasi IL-1α dan
IL-1β dan inhibitor IL-1 antagonis reseptor (IL-1RA). Satu studi di Taiwan
menyatakan variasi IL-1β dan IL-1RA tidak berhubungan dengan PJR.14TNF-α
merupakan sitokin proinflamasi yang kuat dan suatu mediator yang penting pada
inflamasi.Tumor nekrosis faktor A (TNF A) merupakan gen lainnya yang
berfungsi sebagai anti inflamasi di MHC klas II. Ada 3 penelitian yang
memperlihatkan hubungan antara polimorfisme TNF α dengan DRA atau PJR.Di
Brasil disebutkan adanya satu alel TNF α (308A dan 238A) yang mempermudah
terjadinya DRA dan PJR sehingga lebih mudah terkena gangguan katup jantung.
Di Turki dan Meksiko menyebutkan alel TNF-α 308A juga dihubungkan dengan
terjadinya DRA dan PJR .Variasi dari TNF-α 308A mungkin menjadi faktor
predisposisi terjadinya DRA dan PJR. Mekanisme molekuler hubungan antara
TNF-α 308A/G dengan kerentanan terjadinya DRA atau PJR sampai saat ini
belum diketahui. Diketahui TNF-α 308A menghasilkan produksi TNF-α yang
tinggi. TNF meningkatkan sintesis sitokin proinflamasi dan mengaktivasi NFkB
yang secara berurutan mengaktivasi transkripsi gen proinflamasi.18,19,20Selama
fase inflamasi akut dari infeksi tenggorokan, protein fase akut, seperti mannose
binding lectin (MBL), dan sitokin IL-1, IL-6, dan TNF-α diproduksi untuk
mengeliminasi bakteri. Semua protein tersebut dikontrol secara genetik, dan
pada pasien DRA dan PJR terjadi perubahan atau mutasi yang menyebabkan
perubahan ekspresi sehingga menyebabkan kerusakan. Ditambahkan juga, pada
pasien DRA dan PJR, terjadi peningkatan TN-α di plasma akibat stimulasi dari
sel mononuklear yang didapatkan dari pasien dengan demam rematik akut
dengan antigen Streptokokus disertai TNF-α yang tinggi dibandingkan dengan
23
kontrol.14,18,19 Meskipun DRA sudah lama diketahui berhubungan dengan infeksi
Streptokokus selama bertahun-tahun, patogenesis yang jelas dari DRA tidak
diketahui secara pasti. Lingkungan dan faktor abnormalitas genetik dipercaya
memainkan peran penting dari patogenesis DRA. Penelitian yang dilakukan
Yegin menunjukkan adanya overproduksi dari sitokin proinflamasi berimplikasi
terhadap berbagai macam penyakit manusia, seperti sepsis,malaria serebral dan
penyakit autoimun.Terjadi peningkatan dari TN-α ,IL-1 dan IL-6 di darah tepidan
infiltrasi sel T pada penderita PJR. 13 Data dari penelitian yang dilakukan oleh
Narin et al menunjukkan bahwa sitokin inflamasi berperan dalam patogenesis
DRA dan terjadi peningkatan yang signifikan dari TNF-α,IL-8 dan IL-6 pada fase
akut dari demam reumatik.20
Hafez et al menemukan hubungan kadar dari IFNʏ dan keparahan dari
karditis yang mengindikasikan adanya kerentanan dari genetik dan tingkat
respon yang berbeda. Dari penelitian A. Berdeli menyatakan, over produksi dari
TNF-α dapat disebabkan berbagai penyakit, seperti sepsis, malaria serebral,dan
penyakit autoimun seperti multiple sclerosis,rheumatoid arthritis,systemic lupus
erythematosus dan Chron’s disease juga kanker. Kerentanan penyakit tersebut
mempunyai dasar genetik, dan kemungkinan gen TNF sebagai kandidat gen
yang memiliki predisposisi terjadinya semua penyakit tersebut. Penelitian oleh
Yegin menemukan peningkatan TNF-α, interleukin IL-8 dan peningkatan IL-6
yang diobservasi sebagai fase akut DRA. TNF-α mempunyai kadar yang lebih
tinggi pada pasien PJR dengan gagal jantung. Ditambahkan juga bahwa kadar
TNF-α dari penelitian yang berbeda mengindikasikan polimorfisme promotor 308
mempunyai efek penting dalam aktivitas transkripsi, meskipun ada beberapa
penelitian lain yang tidak dapat menunjukkan perbedaan aktivitas transkripsi
24
antara alel 308G dan 308A. Beberapa studi mendukung bahwa alel 238 tidak
mempunyai relevansi fisiologis. Berdasarkan penelitian ekspresi gen in vitro
menunjukkan regulasi TNF-α dengan alel TNF-α yang berbeda, masih
memungkinkan polimorfisme TNF-α mempengaruhi tingkat ekspresi gen.22,23,27
Berdeli melakukan penelitian mengenai hubungan antara polimorfisme
single nucleotide pada regio promotor dari sitokin proinflamasi TNF-α dengan
DRA pada pasien rawat inap. Didapatkan hasil yang tidak signifikan pada
frekuensi dari alel TNF-α 308 G dan alel A antara pasien dan kontrol. Frekuensi
dari alel TNF-α 308 hanya 6,8% dibanding kontrol sekitar 11,2%. Penelitian lain
juga menyatakan bahwa frekuensi alel A yang rendah pada populasi kontrol
dibanding populasi di Amerika sekitar 17.5%, Hungaria 16.4%, Gambia 16%. Hal
ini disebabkan adanya hubungan lokus HLA, seperti perbedaan dari distribusi
alel tersebut.25
Dari penelitian yang dilakukan A Settin dkk pada 50 anak dengan PJR
dari RS Universitas Mansoura yang bertujuan untuk mencari hubungan dari
polimorfisme gen sitokin dengan kerentanan terjadinya PJR didapatkan bahwa,
TN-α yang merupakan salah satu sitokin yan aktif dan berperan dalam
pathogenesis DRA . Kadar TNF-α ditemukan meningkat pada sel inflamasi yang
menginfiltrasi jantung.
Produksi sitokin ini terjadi setelah infeksi miokarditis. Penelitian
sebelumnya di Egypt tentang DRA, kadar serum sitokin mRNA dari IL-1α, IL-1B
dan TNF-α sebelum dan sesudah terapi meningkat akibat overproduksi dari IL-1α
begitu juga pada IL-2 dan TNF-α. Didapatkan peningkatan kadar serum IL-6 dan
TNF-α pada fase akut dan setelah terapi DRA selama 7 hari (tabel 10).
25
Hubungan interaktif antara TNF α dan IL-10 juga telah diteliti pada
penyakit autoimun lainnya. Penelitian baru-baru ini menemukan bentuk interaktif
polimorfisme gen dari -308 TNF α dengan -1082 IL-10 yang secara signifikan
cukup tinggi frekuensi genotip homozigot A/A dan atau G/G atau keduanya yang
dipertimbangkan sebagai genotip yang lebih besar mendapatkan PJR.7,25
Tabel 10. Ringkasan Penelitian mengenai Polimorfisme gen terhadap kerentanan terjadinya DRA dan PJR
Penelitian Populasi Metode Hasil
Yegin dkk,1997
Membandingkan 27 pasien DRA dan 15 pasien PJR
In vivo, menghitung konsentrasi TN-α,IL-1α ,IL-6, IL-1β,IL-8 pada pasien DRA dan PJR
Adanya peningkatan TNFα, IL-6, IL-8 pada pasien DRA dan PJR
Hernandez dkk,2003
87 pasien PJR di Meksiko
In vivo, untuk mengetahui hubungan polimorfisme gen TNFα dengan terjadinya PJR
Hubungan polimorfisme gen TNFα dengan kerentanan mendapatkan PJR
A.Settin,dkk2006
50 anak dengan PJR dibanding 98 anak yang sehat
Studi case-control yang bertujuan untuk mengetahui hubungan polimorfisme gen TNFα,IL-10 ,IL-6, IL-1Ra
Predisposisi dari PJR salah satunya dipengaruhi faktor genetik meliputi poliformisme gen sitokin dengan mudah mendapatkan suatu PJR
26
terhadap kerentanan dan keparahan PJR
Enas Tawfik,dkk2010
20 anak dengan DRA dibandingkan 10 anak yang sehat
In vivo, membuktikan peningkatan homozigot TNFα dibanding kelompok kontrol
Adanya kerentanan DRA yang berhubungan dengan polimorfisme gen TNFα dan IL10
Nilgun Col dkk2011
38 pasien DRA dibandingkan 40 anak yang sehat
Invivo, membuktikan peningkatan homozigot TNFα dibanding kelompok kontrol
Ekspresi yang tinggi dari gen IFNʏmerupakan faktor risiko DRA dan juga gen TNF-α, IL-6 dan TGF-β1 rentan terhadap penyakit DRA
L.Guilherme dkk2004
18 pasien PJR di Brasil
Invitro , membuktikan TNF-α, IFNʏ, IL-4 dan IL-10 yang meningkat pada pasien PJR
Terjadinya peningkatan ekspresi TNF-α, IFNʏ, IL-4 dan IL-10 yang meningkat pada pasien PJR
A.Berdelli dkk2006
66 pasien DRA di Turki
Studi case-control, hubungan mengenai promotor polimorfisme G/A 308 gen TNFα
Tidak ada hubungan interaksi antara polimorfisme gen TNFα di 308 dengan progresifitas penyakit DRA
Rehman S dkk2012
150 pasien PJR dan 204 kontrol di Pakistan
Studi invivo untuk mengetahui peran sitokin polimorfisme gen TNFα, IL-10, IL-6, berpotensi sebagai biomarker PJR
Polimorfisme TNFα, IL-6, dapat menjadi marker yang penting untuk identifikasi individu rentan terhadap PJR
Amal A dkk2010
8 anak dengan PJR da nada gangguan katup dan 50 kontrol di Kairo
Studi invivo untuk mengetahui hubungan polimorfisme TNFα dengan PJR
Terjadinya peningkatan kadar polimorfisme TNFα pada pasien PJR
Ringkasan perkembangan terjadinya DRA/PJR meliputi jaringan yang
luas dari reaksi imun kompleks yang terdiri dari beberapa bagian.(1) Mimikri
molekul antara antigen Streptokokkus dan jaringan manusia, terutama jaringan
pada jantung yang menyebabkan kerusakan pada katup jantung pasien PJR. (2)
CD4+ limfosit T merupakan efektor utama dari kerusakan jantung dan
memainkan bentuk degenerative untuk pengenalan antigen.(3) Beberapa
Streptokokkus mendominasi sstem imun peptide dengan pengenalan dari
vimentin, myosin dan beberapa katup mitral, memungkinkan akibat dari
mekanisme penyebaran epitope.(4) Beberapa molekul HLA kelas II berkaitan
dengan penyakit , dan HLA- DR 7/ DR 53 dikombinasikan dengan beberapa
27
molekul HLA – DQ sepertinya dikaitkan dengan perkembangan kerusakan
beberapa katup pada pasien PJR.(5) Pengenalan sel T memainkan reaktifitas
didalam molekul melawan Streptokokkus dan epitop protein manusia dengan
tngkat homolog yang rendah.(6) Sitokin Th 1 mendominasi kerusakan dari katup
jantung . Dan semua bagian tersebut dijabarkan pada perkembangan PJR
(gambar 4).
Gambar 4.Perkembangan Demam Reumatik Akut dan Penyakit Jantung Reumatik27
Setelah terjadi infeksi tenggorokan oleh streptokokus yang tidak sembuh, terbentuklah imun kompleks humoral dan seluler melawan S.pyogenes yang akhirnya memicu autoimun dari jaringan tubuh sendiri.Reaksi autoimun diawali dengan Sel T diperifer mengenali protein M5 yang dipresentasikan antigen presenting cell(makrofag/monosit) melalui HLA klas II. Sitokin proinflamasi akan diproduksi sehingga terjadi aktivasi dari sel CD4+ yang mengalami ekspansi ke sel jantung(miokard dan jaringan katup)dan beberapa protein dari sel jantung dikenal sebagai molekul mimikri. Beberapa sel T yang autoreaktif akan menjadi TCR yang mampu mengenali beberapa antigen yang berbeda. Sel mononuklear intralesi juga diproduksi oleh sitokin Th1(IFNʏ dan TNF-α).Dari gambar katup mitral pada pasien dengan PJR memperlihatkan lesi veruka yang ditunjuk panah.Gambar panah sebelah kiri bawah menunjukkan bagian katup mitral yang rusak memperlihatkan infiltrasi sel mononuklear di endokardium.Secara in vitro sel T limfoblast seperti gambaran bunga.
28
BAB 4
RINGKASAN
Demam Reumatik Akut (DRA) dan Penyakit Jantung Reumatik masih
merupakan masalah kesehatan dinegara yang sedang berkembang. Beberapa
faktor yang diduga berperan terhadap serangan berulang DRA yaitu usia saat
pertama serangan, adanya PJR, jarak waktu serangan berulang, jumlah
serangan demam sebelumnya, banyaknya anggota keluarga, riwayat keluarga
dengan DRA atau PJR, faktor sosial dan edukasi pasien, risiko infeksi
streptokokus di area tempat tinggal dan penerimaan pasien terhadap
pengobatan yang diberikan.
Demam reumatik akut diturunkan dari gen resesif tunggal. Beberapa
penelitian menyatakan adanya kerentanan genetik terhadap DRA dan PJR yang
berhubungan dengan gen HLA klas 1 dan HLA klas 2, yang terletak di kromosom
6 dan sering dihubungkan dengan kerentanan penyakit autoimun. Beberapa gen
menjadi faktor predisposisi seseorang mudah terkena DRA. Meskipun produksi
sitokin TNF-α dipicu oleh proses inflamasi kecepatan produksi TNF-α
dipengaruhi faktor genetik, yaitu adanya polimorfisme yang terdapat pada gen
yang menyandi sitokin tersebut. Polimorfisme atau Single Nucleotida
Polimorphism (SNP) adalah suatu variasi urutan nukleotida atau perubahan
29
salah satu basa nukleotida pada gen. Polimorfisme gen akan menyebabkan
peningkatan atau penurunan proses transkripsi sehingga mempengaruhi
produksi protein TNF-α. Sejauh ini, telah ditemukan 2 single nucleotide
polymorphisms (SNP) pada daerah promotor TNF-α pada lokasi nukleotida 238
dan 308 dari gen TNF-α.14
DAFTAR PUSTAKA
1. Madiyono B, Sukardi R, Kuswiyanto R B. Demam Reumatik dan Penyakit
Jantung Reumatik pada anak. Dalam :Roebianto P.S,Penyun-ting.
Management of pediatric heart disease for practitioners : from early detection
to intervention. Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM;2009.h.95-114.
2. Siregar A.A Demam Reumatik Jantung dan penyakit Jantung Reumatik
permasalahan Indonesia. Dalam : Pidato pengukuhan jabatan guru besar
tetap pada fakultas kedokteran diucapkan di hadapan rapat terbuka
Universitas Sumatera Utara. 2008. Didapat dari:
http://repository.usu.ac.id/.Diunduh pada tanggal 2 September 2013.
3. Rahmawati N.K., Burhanuddin I, Husain A, Dasril D. Faktor risiko serangan
berulang demam rematik/Penyakit Jantung Rematik. Sari Pediatri
2012;14:179-184.
4. Cunningham M.Patogenesis of group A streptococcal infection. Clinical
Microbiology Review 2000;13: 470-511.
30
5. Tawfik E,El-Salam, Manal A.,Ulkarem A.A,Yosseri M.Gene polymorphism of
TNF α and IL-10 related to rheumatic heart disease.Egypt J Med Hum Gen
2010;11: 50-55.
6. Araz N.C,Pehlivan S.,Baspinar O.Role of cytokine gene polymorphisms in
pathogenesis of acute rheumatic fever in turkish children.Eur J Pediatr
2012;171:1103-08.
7. Settin A, Hady AH, El-Baz R,Saber I. Gene polymorphisms of TNF α -308 and
IL-10 -1082,IL-6-174 and IL-1RA VNTR related to susceptibility and severity of
rheumatic heart disease.Pediatr Cardiol 2007;28:363-71.
8. Smith MT, Smith DL,Zurynski Y,Noonan S, Carepetis JR, Elliot EJ.
Persistence of acute rheumatic fever in a tertiary children’s hospital. Paed
and Child Health J 2010;10:11-20.
9. Omurzakova NA,Yamano Y, Saatova GM, Mirzakhanova MI, Shukurova SM,
Kydyralieva RB. High incidence of rheumatic fever and rheumatic heart
disease in the republic of central asia.Rheumatic Diseases Int J 2009;12: 79-
83.
10. Carapetis JR, McDonald M, Wilson NJ. Acute rheumatic fever. Lancet Med J
2005;366:155-168.
11. Azevedo PM, Pereira RR, Guilherme L. Understanding rheumatic fever.
Rheumatol Int 2012;32:1113-20.
12. Morsy MF, Abdelaziz NA, Boghdady AM, Ahmed H. Lack of association
between endothelial constitutive nitric oxide synthase gene polymorphism
and rheumatic heart disease. Mod Rheumatol 2009;19:670-4.
31
13. Kutuculer N, Karaca NE,Koturoglu G. Human soluble tumor necrosis factor
receptor I an interleukin I receptor antagonist in different stages of acute
rheumatic fever. Turkey med J 2008;8:139-420.
14. Guilherme L, Kalil J. Rheumatic fever from innate to acquired immune
response. Annals of New York J2007;1107:426-33.
15. Kelmendi I.M. Rheumatic Fever in Kosova-Long Term Study.Kosovo Cardio
Med J 2007;23:13-27.
16. Guilherme L,Ramasawmy R, Kalil J. Rheumatic fever and rheumatic heart
disease: genetics and pathogenesis. Immunol J2007;66:199-207.
17. Cunningham MW. Streptococcus and rheumatic fever. Curr Opin
Rheumatol.2012;24:408-16.
18. Guilherme L, Kohler KF, Kalil J. Rheumatic heart disease : genes,
inflamation and autoimmunity.Rheumatol Curr Res 2012;10:2161-79.
19. Guilherme L, Cury P. Rheumatic heart disease proinflammatory cytokines
play a role in the progression and maintenance of valvular lesions. American
Pathol J 2007;165:1581-1591.
20. Guilherme L,Kohler KF, Kalil J.Genes autoimmunity and pathogenesis of
rheumatic heart disease.Annals of Paed Cardiol 2011;4:15-25.
21. Berdeli A, Tabel Y, Celik HA. Lack of association between TNFα gene
polymorphism at position 308 and risk of acute rheumatic fever in turkish
patients. Scand J Rheumatol.2006;35:44-7.
22. Veinot JP. Pathology of inflammatory native valvular heart
disease.Cardiovascular Pathology 2006;15:243-51.
32
23. Bisno AL, Gerber MA,Gwaltney JM, Kaplan LE, Schwartz RH. Practice
guidelines for the diagnosis and management of group A streptococcal
pharyngitis. Clin Infect Dis 2002;35:113-125.
24. Parks T,Smeesters PR, Steer AC. Streptococcal skin infection and
rheumatic heart disease.Wal Kluwer health J 2012;24:21-37.
25. Guilherme L, Kohler KF,Pommerantzeff P,Spina G, Kalil J. Rheumatic heart
disease:Key points on Valve Lesions Development. J Clin Exp Cardiology
2013;3:125-46.
26. Rehman, Akhtar N, Saba N, Munir S. A Study on the association of TNFα,IL-
10 ,IL-6, and IL-1Ra (VNTR) gene polymorphisms with rheumatic heart
disease in Pakistani Patiets. Pakistan Med J 2012;61:527-31.
27. Guilherme L, Kalil J. Rheumatic fever :from sore throat to autoimmune heart
lesions. Int Arch Allergy Immunol 2004;134:56-64.
28. Kumar R,Raizada A, Aggarwal AK,Ganguly NK. A community based
rheumatic fever/rheumatic heart disease cohort.Indian Heart J 2002;54;54-8.
29. Wahab AS. Demam reumatik akut. Dalam :Sastroasmoro S, Hanani GI,
Penyun-ting. Buku Ajar Kardiologi Anak.Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta 1994;279-316.
30. Mohammed A, Rashed L. Association of tumor necrosis factor α
polymorphisms with susceptibility and clinical outcomes of RHD.Saudi med J
2010;31:644-9.
31. Carapetis J, Alex B. Diagnosis and management of acute rheumatic heart
disease in Australia. Heart of Found J 2006;5:15-43.
33