Post on 12-Jan-2016
description
CASE REPORT
G3P2A0 HAMIL 34 MINGGU TUNGGAL HIDUP
PRESENTASI BOKONG BELUM INPARTU
DENGAN KETUBAN PECAH DINI JANIN
Oleh
Rizqun Nisa Afriyanti
1118011113
Preceptor
dr. Ratna Dewi PS Sp.OG
SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDOEL MOELOEK
2015
1
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama : Ny. Herlina
Usia : 20 tahun
Suku : Lampung
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Gg. Fayakun, Garuntang, Bandar Lampung
Tanggal MRS : 12 Maret 2015, Pkl. 03.30 WIB
II. ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Keluar air air dari kemaluan sejak 1 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
± 14 jam SMRS Os mengeluh keluar air air dari kemaluan bewarna jernih
dan tidak berbau, perut mulas menjalar ke pinggang (-) , keluar darah dan
dan lendir (-), R/ keputihan (+), R/ trauma (-), R/ post coitus (-), os ke
bidan lalu di rujuk ke puskesmas di dapatkan hasil USG cairan ketuban
sedikit lalu os dirujuk ke RSAM ,os mengaku hamil cukup bulan , gerakan
janin masih di rasakan
Riwayat Haid
Menarche : 13 thn
Siklus haid : teratur
Lamanya : 5 hari
Banyaknya : 3x/hari ganti balutan
Warnanya : merah
Baunya : -
Dismenorrea : -
2
HPHT : 21 Juli 2014
2. Riwayat Perkawinan
Pernikahan yang pertama dan sudah berlangsung ±11 tahun.
3. Riwayat Kehamilan- Persalinan-Nifas Terdahulu
No Tahun
Persalinan
Tempat
Pertolongan
Usia
Kehamilan
Jenis
Persalinan
Penolong Penyulit Anak
JK BB Keadaan
1 6-6-2005 bidan 9 bulan Spontan Bidan - ♀ 2500 sehat
2 23-9-2009 bidan 9 bulan Spontan Bidan - ♂ 3500 sehat
3 Hamil ini
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak menderita penyakit darah tinggi, penyakit jantung, penyakit
asma. Ginjal, kencing manis.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
keluarga tidak memiliki riwayat penyakit
6. Riwayat Operasi
Tidak pernah 7. Riwayat Kontrasepsi
Pasien menggunakan pil kontrasepsi KB sejak 2009-2014
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Present
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5ºC
B. Status Generalis
Kulit : turgor baik
Mata : Konjungtiva anemis (-/-)
3
Mulut : Karies (-)
Thoraks : Mammae dalam batas normal.
Jantung : Bunyi jantung I-II, regular, murmur (-), gallop (-), HR 84 x/mnt
Paru : sonor, vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : Inspeksi : perut Cembung
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-)
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+)
Extremitas : Edema (-/-)
C. Status Obsitetri
Pemeriksaan Luar
Abdomen : cembung (+), striae gravidarum (+), chloasma
gravidarum (+),
Leopold I : FUT 3 jbpx (32 cm) presentasi kepala
Leopold II : punggung kiri , letak memanjang
Leopold III : presentasi bokong , belum masuk pintu atas panggul
Leopold IV : konvergen, penurunan 5/5
His : -
DJJ :158 x/menit
Ketuban : (+)
Gerakan janin : (+)
Pemeriksaan Inspekulo
Porsio : livide
OUE : tertutup
4
Flour : negatif
Fluxus : negatif
Erosi : negatif
Laserasi : negatif
Polip : negatif
Pemeriksaan Vaginal Toucher
Pembukaan : Ɵ kuncup
Pendataraan serviks : 0 %
Penurunan kepala : 5/5
Konsisten serviks :lunak
Posisi serviks : medial
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratori um ( 13 Maret 2015 pukul 02.00 WIB )
Hb : 12,2 g/dl ( 12-16,5 g/dl)
Hematokrit : 37% (37- 48 %)
LED : 20 mm/jam (< 20 mm/jam)
Leukosit : 7500/ul ( 5000-10000/ul)
Trombosit : 334.000/ul (150-450rb/uL)
SGOT : 21 U/L ( <31 U/L)
SGPT : 13 U/L ( <31 U/L)
Ureum : 16 mg/dl (15-40 mg/dL)
Creatinin : 0,8 mg/dl (0,6-1,1 mg/dL )
GDS : 82 mg/dl ( 70-110 mg/dL )
Hasil USG ( 13 Maret 2015 pukul 10.00)
- Tampak Janin tunggal hidup presentasi bokong
- Gerakan janin normal
- Usia gestasi 32 minggu
- Tafsiran berat janin 1900 gram
- Ketuban cukup
5
V. DIAGNOSA KLINIS
Mola Hidatidosa
VI. PENATALAKSANAAN
- Perbaikan KU
- IVFD RL gtt xx/menit
- Persiapan darah
- Kuretase
Dilakukan pada 11 Nov 2011 Pkl 04.00 WIB dengan darah 3 kolf + infus
2 jalur + premedikasi ketorolac, lidocain, sulfas atropin, diazepam)
- Cefadroxil 3 x 1
- Metil Ergometrin 3 x 1
- B complex 3 x 1
VII.FOLLOW UP
Follow up (9 Nov 2011)
Keluhan:
Ada flek2 kecokelatan
Status present:
KU: baik
Sens: CM
TD: 110/80 mmHg
Nadi: 80x/m
RR: 21x/m
T: 36,8oC
Follow up (10 Nov 2011)
Keluhan:
Ada flek2 kecokelatan, tadi malam demam, nyeri perut (+)
Status present:
KU: baik
Sens: CM
6
TD: 110/80 mmHg
Nadi: 88x/m
RR: 21x/m
T: 36,8oC
Follow up (11 Nov 2011- Post Curret Mola Pkl. 04.00 WIB)
Keluhan:
Perdarahan (+) tetapi tidak aktif, pusing (+)
Status present:
KU: baik
Sens: CM
TD: 110/80 mmHg
Nadi: 88x/m
RR: 20x/m
T: 37oC
Follow up (12 Nov 2011)
Keluhan:
Perdarahan (-), pusing (-), mual (-), nyeri perut (-)
Status present:
KU: baik
Sens: CM
TD: 110/80 mmHg
Nadi: 80x/m
RR: 21x/m
T: 36,9oC
Pasien pulang tanggal 12 Nov 2011
Kembali kontrol Post Curret Mola tanggal 19 Nov 2011
Obat-obatan yang dilanjutkan :
1. Cefadroxil 3 x 1
2. Metil ergometrin 3 x 1
3. B complex 3 x 1
7
Analisa Kasus
Anamnesa
Os mengeluh keluar darah dari kemaluan ± 2 hari SMRS berupa flek-flek
kecokelatan yang semakin lama semakin banyak, os mengganti pembalut
2x ganti pembalut, riwayat keluar gelembung seperti mata ikan (+).
Pasien mengaku sedang hamil 5 bulan dan sudah pernah mengecek pp test
pada bulan Juni dan hasilnya positif. Pasien mengatakan sering mual dan
muntah sampai ≥ 10 x/hari, perutnya cepat membesar lebih dari usia
kehamilannya, namun kini menurut pasien ia tidak merasakan gerakan
janinnya. r/ jantung berdegup kencang(-), keringat dingin
(-), sesak nafas (-)
1. Apakah diagnosis kasus ini sudah tepat ?
Penegakkan diagnosis pasien berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan obstetrik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan
hasil anamnesis diperoleh adanya amenorhea, perdarahan pervaginam
yang disertai keluarnya jaringan menyerupai buah anggur, perut yang
membesar lebih dari usia kehamilannya. Ibu juga tidak merasakan gerakan
janin sejak awal usia kehamilan.
Hal ini sesuai dengan teori dimana dikatakan bahwa tanda dan
gejala mola hidatidosa ialah amenorhea, perdarahan pervaginam, dan tidak
ditemukan tanda kehamilan pasti seperti balotemen dan detak jantung
anak. Perdarahan pervaginam sering terjadi sebagai komplikasi dari mola
hidatidosa yang terlambat didiagnosis, dimana telah terjadi ekspulsi
jaringan menyerupai buah anggur secara spontan. Keluarnya gelembung
mola merupakan diagnosis yang paling tepat. Namun bila kita menunggu
sampai gelembung mola keluar biasanya sudah terlambat karena
pengeluaran gelembung umumnya disertai perdarahan yang banyak dan
keadaan umum pasien menurun.
Perdarahan dapat terjadi selama beberapa minggu atau bulan secara
intermiten. Akibat perdarahan, maka anemia defisiensi besi dan anemia
8
delusional akibat hipervolemia seringkali terjadi pada beberapa kasus mola
yang besar. Jaringan mola dapat terpisah dari desidua dan menganggu
pembuluh darah maternal, yang akan mendistensi cavum endometrium
dikarenakan kumpulan darah.
Pada pemeriksaan fisik diperoleh FUT pertengahan pusat-
proc.xyphoideus/25cm (24 minggu) yang tidak sesuai dengan perhitungan
usia kehamilan pasien ini berdasarkan HPHT yaitu tanggal 26 Juni 2011
(20 minggu). Didapatkan juga abdomen cembung dan lunak dan tidak
terdengarnya denyut jantung janin.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan sebelum evakuasi mola
ialah pemeriksaan laboratorium darah lengkap, tes fungsi tiroid, serum
hCG, tipe golongan darah, foto polos thorax dan USG. Pada kasus ini,
hasil pemeriksaan darah diperoleh bahwa kadar hemoglobin pasien adalah
6,6 mg/dl. Hasil pemeriksaan ini akibat perdarahan pervaginam.
Disamping itu dilakukan pula pemeriksaan urine (kualitatif) yang
menunjukkan hasil +. Hal ini menunjukkan tingginya kadar β hCG dalam
urine yang dihasilkan secara berlebihan oleh sel trofoblas.
Pemeriksaan β hCG urine tidak dapat membedakan apakah
produksinya normal seperti pada kehamilan normal atau akibat mola
hidatidosa. Untuk itu harus dilakukan pemeriksaan β hCG serum untuk
memperkuat diagnosis dan mengetahui apakah mola berisiko tinggi atau
rendah, hal ini sangat menentukan penatalaksanaan maupun prognosis
pasien, dimana kadar yang lebih dari 100.000 mIU/ml biasanya
diakibatkan oleh mola, sedangkan kehamilan normal kadarnya < 60.000
mIU/ml dan pada pasien ini didapatkan kadar β hCG serum 120.800
mIU/ml.
Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan , adalah rontgen
thoraks dan pemeriksaan USG. Pemeriksaan foto polos thoraks
bermanfaat untuk mengetahui adanya metastasis ke paru. Pemeriksaan
USG dilakukan maka dapat timbul gambaran mola yang khas berupa badai
9
salju (snow flake pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey
comb).
Pemeriksaan penunjang yang harusnya dilakukan setelah dilakukan
kuretase ialah pemeriksaaan histologi dari hasil jaringan kuret, yaitu hasil
histopatologi tampak di beberapa tempat villi yang edema dengan sel
trofoblas yang tidak begitu berproliferasi, sedangkan di tempat lain masih
tampak villi yang normal. Namun perlu diingat bahwa hasil pemeriksaan
PA tidak mampu memperkirakan terjadinya koriokarsinoma yang timbul
setelah mola hidatidosa.
2. Apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat
?
Penatalaksanaan pada kasus ini ialah dengan memperbaiki keadaan
umum dan melakukan evakuasi mola dengan kuretase sebanyak satu kali.
Perbaikan keadaan umum yang dilakukan ialah dengan memberikan IVFD
RL dan transfusi WB hingga Hb mencapai > 8 mg/dl. Dalam melakukan
kuretase untuk evakuasi jaringan mola, kuret harus dilakukan sampai
bersih karena residu sel trofoblas sering tumbuh dan berkembang. Bila
kuret diyakini tidak bersih maka kuret ulangan dapat dilakukan 1-2
minggu kemudian.
Pengamatan Lanjut
Setelah evakuasi mola maka tetap harus dilakukan pemeriksaan
lanjutan dimana kadar hCG pasien harus tetap dimonitor. Tujuan
pengamatan lanjut penderita mola hidatidosa adalah untuk
mendeteksi adanya infiltrasi sel-sel trofoblas dan untuk
memberikan dasar bagi pengobatan. Hal ini telah dilakukan
dengan melaksanakan rencana pengamatan lanjut yaitu
dengan mmberikan jadwal terhadap pasien.
kontrol ke poli Kandungan dan kebidanan
cek kadar β HCG serum tiap minggu sampai β HCG
selama 3 minggu berurut-turut
10
tiap 2 minggu sampai bulan ke 2 dan 3
tiap bulan sampai bulan ke 4
tiap 3 bulan sampai 2 tahun.
Apabila dalam pemeriksaan lanjutan diperoleh bahwa kadar hCG
preevakuasi < 100.000 mIU/ml, besar uterus < 20 minggu dan tidak
ditemukan kista teka lutein dengan diameter > 6 cm maka prognosis
pasien baik.
Pencegahan keganasaan :
Histerektomi dianjurkan pada penderita yang berumur 35
tahun keatas atau lebih, yang telah mempunyai cukup
anak. Pada pasien ini seharusnya dianjurkan, karena
pasien telah berumur 48 dan telah mempunyai cukup
anak.
11
MOLA HIDATIDOSA
Mola Hidatidosa adalah penyakit yang berasal dari jaringan trofoblast yang
bersifat jinak dimana pertumbuhan/proliferasi sel-sel trofoblast yang berlebihan
dengan stroma mengalami degenerasi hidropik (terutama sinsitiotrofoblast), villi
choriales (jonjot-jonjot chorion) tumbuh berganda berbentuk gelembung kecil
berisi cairan jernih (asam amino, mineral) menyerupai buah anggur sehingga
penderita sering dikatakan hamil anggur.
Mola Hidatidosa merupakan suatu penyakit trofoblastik yang angka
kejadiannya termasuk tinggi di Indonesia maupun di Dunia. Prevalensi molla
hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika dan Amerika Latin di bandingkan dengan
negara-negara barat. Molla hidatidosa terjadi pada 1 dari sekitar 2000 kehamilan
di Amerika Serikat dan Eropa, tetapi kejadian ini jauh lebih sering dijumpai di
negara-negara lain, khusunya di kawasan Asia dimana frekuensinya paling sedikit
sepuluh kali lebih tinggi daripada di Amerika Serikat (satu dari sekitar 120
kehamilan). Insidensi yang tinggi juga ditemukan di Meksiko dan di antara
penduduk pribumi Alaska.
Berbagai macam faktor resiko yang mendukung terjadinya molla hidatidosa
ini. Pada multiparitas lebih sering ditemukan adanya molla hidatidosa, jadi dengan
meningkatnya paritas kemungkinan mendapatkan molla hidatidosa akan lebih
besar, begitu juga faktor sosial ekonomi kemungkinan mempengaruhi terjadinya
molla hidatidosa disamping juga faktor usia.
Menjelang awal atau akhir reproduksi seorang wanita terdapat frekuensi mola
hidatidosa yang relatif tinggi dalam kehamilan. Efek usia yang paling menonjol
terlihat pada wanita yang umurnya melebihi 40 tahun, yaitu frekuensi relatif
kelainan tersebut 10 kali lebih besar dibandingkan pada usia 20 sampai 40 tahun.
Ada sejumlah kasus otentik mola hidatidosa pada para wanita yang umurnya 50
tahun atau lebih, sedangkan kehamilan normal pada usia lanjut seperti itu praktis
tidak diketahui.
12
Mola hidatidosa merupakan suatu penyakit trofoblast yang bersifat jinak dan
mempunyai kemungkinan 18-20% menjadi ganas. Tumor ini ada yang kadang-
kadang masih mengandung villus di samping trofoblast yang berproliferasi, dapat
mengadakan invasi yang umumnya bersifat lokal, dan dinamakan molla destruens
(invasive mole, penyakit trofoblast ganas jenis fillosum). Selain itu terdapat pula
tumor trofoblast yang hanya terdiri atas sel-sel trofoblast tanpa stroma, yang
umumnya tidak hanya berinvasi di otot uterus tetapi menyebar ke alat-alat lain
(koriokarsinoma, penyakit trofoblast ganas non villosum). Oleh karena itu setelah
diagnosis ditegakkan maka molla hidatidosa harus segera digugurkan.
Mola hidatidosa merupakan penyakit trofoblast jinak yang angka kejadiannya
di Indonesia maupun di Dunia termasuk tinggi, untuk itu perlu diketahui faktor-
faktor resiko yang mempengaruhi tingginya angka kejadian molla tersebut untuk
upaya prevensi maupun diagnosis dini guna mencegah komplikasi, sehingga
terwujud suatu penatalaksanaan molla hidatidosa yang benar.
Epidemiologi
Penyakit trofoblast ini, baik dalam bentuk jinak atau ganas, banyak
ditemukan di negara Asia dan Mexico, sedangkan di negara Barat lebih jarang.
Angka di Indonesia umumnya berupa angka rumah sakit, untuk molla hidatidosa
berkisar antara 1 : 50 sampai 1 : 141 kehamilan, sedangkan untuk koriokarsinoma
1 : 297 sampai 1: 1035 kehamilan. Di negara-negara barat kejadian molla
dilaporkan 1 dari 2000 kehamilan, sedangkan di negara-negara berkembang 1 dari
120 kehamilan. Dibawah ini ada beberapa penelitian yang paling tidak dapat
menjadi gambaran angka kejadian molla di Indonesia, diantaranya adalah:
- Soejoenoes dkk. 1967 1 : 85 kehamilan
- Di RSCM (Jakarta) 1 : 31 persalinan dan 1 : 49 kehamilan
- Luat .A. Siregar 1982 (Medan) 1 – 16 : 100 kehamilan
- Soetomo (Surabaya) 1 : 80 persalinan
- Djamhoer Martadisoebrata (Bandung) 9 – 21 : 1000 kehamilan
- Laksmi dkk. (Malang) 2,47 : 1000 atau 1 : 405 persalinan
13
Angka-angka ini jauh lebih tinggi daripada negara-negara Barat, dimana
insidensinya berkisar 1 : 1000 sampai 1 : 2500 kehamilan untuk molla hidatidosa,
1 : 40 000 untuk koriokarsinoma.
Angka kejadian molla di negara lain misalnya :
- USA 1 : 2000 kehamilan
- Hongkong 1 : 530 kehamilan
- Taiwan 1: 125 kehamilan
Molla parsialis lebih jarang lagi ditemukan. Menurut Khoo (1966) insidensinya
berkisar antara 1 : 10.000 – 1 : 100.000 kehamilan.
Etiologi
Walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak abad keenam, tetapi sampai
sekarang belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Berbagai teori telah
dianjurkan, misalnya teori infeksi, defisiensi makanan, terutama protein tinggi dan
teori kebangsaan. Ada pula teori consanguinity. Teori yang paling cocok dengan
keadaan adalah teori dari Acosta Sison, yaitu defisiensi protein, karena kenyataan
membuktikan bahwa penyakit ini lebih banyak ditemukan pada wanita dari
golongan sosio ekonomi rendah. Akhir-akhir ini dianggap bahwa kelainan
tersebut terjadi karena pembuahan sel telur dimana intinya telah hilang atau tidak
aktif lagi oleh sebuah sel sperma yang mengandung 23 X (haploid) kromosom,
kemudian membelah menjadi 46 XX, sehingga molla hidatidosa bersifat
homozigote, wanita dan androgenesis. Kadang-kadang terjadi pembuahan oleh 2
sperma, sehingga terjadi 46 XX atau 46 XY.
Secara ringkas faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya molla hidatidosa
antara lain adalah :
1. Multiparitas
2. Faktor ovum (ovum mati) : ovum memang sudah patologik, tetapi
terlambat dikeluarkan
3. Imunoselektif dari trofoblast
14
4. Infeksi virus
5. Kelainan kromosom yang belum jelas
6. Kekurangan protein
7. Keadaan sosial ekonomi yang rendah
Klasifikasi
Pengklasifikasian molla hidatidosa didasarkan ada tidaknya jaringan janin
dalam uterus. Pengklasifikasian tersebut adalah :
1. Molla hidatidosa komplit (klasik)
Merupakan suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana tidak
ditemukan janin, hampir seluruh villi korialis mengalami perubahan
hidropik. Secara makroskopik ditandai dengan gelembung-gelembung
putih, tembus pandang, berisi cairan jernih dengan ukuran yang bervariasi
dari beberapa milimeter sampai 1-2 centimeter.
Massa tersebut dapat tumbuh besar sehingga memenuhi uterus. Gambaran
histologik mempelihatkan :
a. Degenerasi hidropik dan pembengkakan stroma villus
b. Tidak ada pembuluh darah dalam villi yang membengkak
c. Proliferasi epitel trofoblast hingga mencapai derajat yang beragam
d. Tidak ditemukan janin dan aminion.
Pada penelitian sitogenik ditemukan komposisi kromosom yang paling
sering (tidak selalu) 46, XX dengan kromosom sepenuhnya dari ayah.
Kadang juga ditemukan 46, XY. Resiko neoplasia trofoblastik pada jenis
molla ini ± 20 %.
15
Gambar 1. Gambaran molahdatidosa komplet
2. Molla hidatidosa inkomplit (parsial)
Merupakan keadaan dimana perubahan molla hidatidosa bersifat lokal
serta belum begitu jauh dan masih terdapat janin atau sedikitnya kantong
amnion, umumnya janin mati pada bulan pertama. Secara makroskopis
tanpa gelembung molla yang disertai janin atau bagian dari janin. Pada
gambaran histologi tampak bagian villi yang avaskuler, terjadi
pembengkakan hidatidosa yang berjalan lambat, sementara villi yang
vaskuler dari sirkulasi darah fetus. Plasenta yang masih berfungsi tidak
mengalami perubahan. Kariotipe secara khas berupa triploid yang biasanya
69, XXY atau 69, XYY. Resiko untuk terjadinya koriokarsinoma pada
jenis molla ini sangat kecil, ± 4-8 %.
16
Perbedaan antara mola komplit dan mola parsial
Perbedaan Mola komplit Mola parsial
Embrio atau jaringan
fetus
Tidak ada Ada
Gelembung villi Difus Fokal
Hiperplasia
trofoblastik
Difus Fokal
Kariotipe Paternal 46XX (96%)
atau 46XY (4%)
Paternal dan maternal
69 XXY atau 69 XYY
Malignant change 5-10% Jarang
Gambar 3. Gambaran morfologi villi.
A. Villi korealis normal
B. Mola parsial (kasus triploid,69, XXY). Villi normal diselingi yang
hidropik
C. Mola komplit (46,XX). Seluruh villi mengalami hidrofik.
17
Faktor Resiko
Walaupun etiologi penyakit ini belum diketahui secara pasti, tetapi telah lama
disadari bahwa penderita penyakit ini mempunyai faktor resiko tertentu. Telah
diketahui bahwa penyakit ini banyak ditemukan pada :
- Golongan sosio ekonomi rendah
- Umur dibawah 20 tahun dan diatas 34 tahun dan
- Paritas tinggi.
Patogenesis
Ada beberapa teori yang diajukan menerangkan patogenesis dari penyakit
trofoblast :
1. Teori missed abortion :
Mudigah mati pada kehamilan 3-5 minggu (missed abortion). Karena itu
terjadi gangguan peredaran darah, sehingga terjadi penimbunan cairan
dalam jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah gelembung-
gelembung. Menurut Reynolds, kematian mudigah disebabkan kekurangan
gizi berupa asam folat dan histidin pada kehamilan hari ke 13 dan 21. Hal
ini kemudian menyebabkan gangguan dalam angiogenesis.
2. Teori neoplasma dari Park :
Yang abnormal adalah sel-sel trofoblast yang mempunyai fungsi abnormal
pula, dimana terjadi resorbsi cairan yang berlebihan kedalam villi sehingga
timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan
kematian mudigah.
Gejala Klinis
1. Pada pasien amenorhea terdapat perdarahan kadang-kadang sedikit,
kadang banyak, karena perdarahan tersebut biasanya pasien anemis
2. Uterus lebih besar daripada usia kehamilan
3. Hyperemesis lebih sering terjadi, dan biasanya lebih hebat
18
4. Mungkin timbul preeklampsia atau eklampsia
Biasanya jika terjadi sebelum minggu ke 24 menunjukan ke arah molla
hidatidosa
5. Tidak ada tanda-tanda adanya janin, sehingga tidak ada balotement, tidak
ada bunyi jantung janin dan tidak tampak kerangka janin pada rontgen foto
Pada molla parsialis (keadaan yang jarang terjadi) dapat ditemukan janin
6. Kadar hormon choriogonadotropin (HCG) tinggi pada urin dan darah
7. Akhir-akhir ini ditemukan adanya gejala tirotoksikosis
Diagnosis
Anamnesis/keluhan :
a. Amenorhea
b. Gejala-gejala hamil muda kadang-kadang lebih dari kehamilan biasa.
c. Kadangkala ada tanda toxemia gravidarum
d. Perdarahan : sedikit/banyak, tidak teratur warna tengguli tua atau
kecoklatan seperti bumbu rujak
e. Pembesaran uterus tidak sesuai (lebih besar) dengan umur kehamilan
seharusnya
f. Keluar jaringan molla seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu
ada);merupakan diagnosis pasti
g. Tirotoksikosis
Inspeksi :
a. Muka dan kadang-kadang badan kelihatan pucat kekuning-kuningan,
disebut muka molla (molla face).
b. Kalau gelembung molla keluar dapat dilihat jelas
Palpasi :
a. Uterus membesar tidak sesuai dengan umur kehamilan, teraba lembek
19
b. Tidak teraba bagian-bagian janin, balotement negatif, tidak dirasakan
gerakan janin.
c. Adanya fenomena harmonika : darah dan gelembung molla keluar, fundus
uteri turun, kemudian naik lagi karena terkumpulnya darah baru
Auskultasi :
Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin
Pemeriksaan Dalam :
Konfirmasi besarnya rahim, lembek, tidak ada bagian-bagian janin,
perdarahan dan jaringan dalam canalis cervikalis dan vagina, dan evaluasi
keadaan cervik.
Pemeriksaan Penunjang :
a. Reaksi kehamilan
Kadar HCG serum yang sangat tinggi pada hari ke 100 atau lebih sesudah
periode menstruasi terakhir sangat sugestif untuk mendiagnosis molla
hidatidosa. Karena kadar HCG yang tinggi maka uji biologik dan uji
imunologik (Galli Mainini dan planotetst) akan positif setelah pengenceran
(titrasi) :
- Galli Mainini 1/300 (+) suspek mollahidatidosa
- Galli Mainini 1/200 (+) kemungkinan mollahidatidosa atau hamil kembar.
Bahkan pada molla atau koriokarsinoma uji biologik atau imunologik cairan
serebro-spinal dapat menjadi positif
b. Uji Sonde
Uji sonde menurut Hanifa, sonde masuk tanpa tahanan dan dapat diputar 360
derajat dengan deviasi sonde kurang dari 10 derajat.
20
Sonde (penduga rahim) dimasukkan pelan-pelan dan hati-hati kedalam kanalis
cervikalis dan cavum uteri, bila tidak ada tahanan sonde diputar setelah ditarik
sedikit, juga tidak ada tahanan
c. Biopsi acosta sison, yaitu masukkan tang tampon kedalam cavum uterus
d. Rontgen foto abdomen : tidak terlihat tulang-tulang janin (pada kehamilan
3-4 bulan)
e. Arteriogram khusus pelvis
f. Ultrasonografi : pada molla akan kelihatan gambaran badai salju (snow
flake pattern); dan tidak ada kelihatan janin
g. T3 dan T4 bila ada gejala tirotoksikosis
Diagnosis pasti jika kita melihat lahirnya gelembung-gelembung molla, tapi yang
baik ialah mendiagnosis sebelum gelembung milla keluar.
Diagnosis Banding
1. Abortus
2. Kehamilan ganda
3. Hidramnion
4. Kehamilan dengan mioma
5. Kehamilan normal.
Komplikasi
1. Perdarahan yang hebat sampai syok; kalau tidak segera ditolong akan
berakibat fatal
2. Perdarahan berulang-ulang dapat menyebabkan anemia
3. Infeki sekunder
4. Perforasi karena keganasan dan karena tindakan
5. Menjadi ganas (PTG) pada kira-kira 18-20 kasus, akan menjadi mola
destruens atau khoriokarsinoma
21
Penatalaksanaan
Mola hidatidosa harus dievakuasi sesegera mungkin setelah diagnosis
ditegakkan. Bila perlu lakukan stabilisasi dahulu dengan melakukan perbaikan
keadaan umum penderita dengan mengobati beberapa kelainan yang menyertai
seperti tirotoksikosis.
Terapi mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap yaitu :
1. Perbaiki keadaan umum
a. Koreksi dehidrasi
b. Transfusi darah bila ada anemia (Hb <10 gr/dl)
c. Bila ada gejala preeklampsia dan hiperemesis gravidarum diobati sesuai
dengan protokol
d. Penatalaksanaan hipertiroidisme
Jika gejala tirotoksikosis berat, terapi dengan obat-obatan antitiroid, ß-
bloker, dan perawatan suportif (pemberian cairan, perawatan respirasi)
penting untuk menghindari presipitasi krisis tiroid selama evaluasi.
Tujuan terapi adalah untuk mencegah pelepasan T4 yang terus-menerus
dan menghambat konversi menjadi T3 untuk memblok aksi perifer
hormon tiroid dan untuk mengobati faktor-faktor presipitasi. Agen-agen
antitiroid dapat menurunkan level T3 dan T4 serum dengan cepat
seperti sodium ipodoat (orografin, suatu kontras yang mengandung
iodine) yang merupakan terapi pilihan dalam mencegah krisis tiroid
setelah hipertiroidisme yang diinduksi kehamilan mola karena Ca
mengurangi konsentrasi T3 dan T4 dengan cepat. Apabila sodium
ipodoat tidak tersedia, PTU harus digunakan dan dikombinasikan
dengan iodida. PTU berbeda dengan metimazol, menghambat konversi
T4 menjadi T3 di perifer dan karenanya lebih disukai daripada
metimazol. Loading dose 300-600 mg PTU diikuti oleh 150-300 mg
setiap 6 jam (perrektal atau melalui NGT). Kalium iodida oral (3-5
tetes, 3x sehari, 35 mg iodida/tetes) atau iodine lugol (30-60 tetes/hari
dibagi dala 4 dosis, 8 mg iodida/tetes) atau natrium iodida intravena
22
(0,25-0,5 g tiap 8-12 jam) menginduksi penurunan level T3 dan T4
yang cepat.
ß-bloker digunakan untuk mengontrol takikardi dan gejala lain yang
diaktivasi saraf simpatis. Propanolol dimulai pada dosis 1-2 mg tiap 5
menit secara intravena (dosis maksimum 6 mg) diikuti dengan
propanolol oral pada dosis 20-40 mg tiap 4-6 jam.
2. Pengeluaran jaringan mola
Bila sudah terjadi evakuasi spontan lakukan kuretase untuk memastikan
kavum uteri sudah kosong. Bila belum lakukan evakuasi dengan kuret hisap.
Bila serviks masih tertutup dapat didilatasi dengan dilator nomor 9 atau 10.
Setelah seluruh jaringan dievakuasi dengan kuret hisap dilanjutkan kuret
tajam dengan hati-hati untuk memastikan kavum uteri kosong. Penggunaan
uterotonika tidak dianjurkan selama proses evakuasi dengan kuret hisap atau
kuret taja. Untuk menghentikan perdarahan, uterotonika diberikan setelah
evakuasi. Induksi dengan medikamentosa seperti prostaglandin dan
oksitosin tidak dianjurkan karena meningkatkan emboli trofoblas.
Teknik evakuasi mola hidatidosa ada 2 cara yaitu :
a. Kuretase
Dilakukan setelah keadaan umum diperbaiki dan setelah pemeriksaan-
persiapan selesai (pemeriksaan darah rutin, kadar β-hCG serta foto
thoraks), kecuali bila jaringan mola sudah keluar spontan.
Bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan pemasangan
laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian.
Sebelum kuretase terlebih dahulu siapkan darah 500 cc dan pasang infus
dengan tetesan oksitosin 10 IU dalam 500 cc Dextrose 5%
Kuretase dilakukan sebanyak 2x dengan interval minimal 1 minggu
Seluruh jaringan hasil kerokan dikirim ke laboratorium Patologi Anatomi
23
b. Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada wanita dengan :
Umur > 35 tahun
Anak hidup > 3 orang
3. Terapi profilaksis dengan sitostatika
Diberikan pada kasus mola dengan risiko tinggi akan terjadi keganasan
misalnya pada umur tua dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan
histerektomi atau kasus mola dengan hasil histopatologi yang
mencurigakan. Biasanya diberikan Methotrexate atau Actinomycin D.
Indikasi pemberian kemoterapi pada penderita pasca mola hidatidosa
adalah sebagai berikut :
Kadar β-hCG yang tinggi > 4 minggu pascaevakuasi (serum >20.000
IU/liter, urine >30.000 IU/24 jam)
Kadar β-hCG yang meningkat progresif pascaevakuasi
Kadar β-hCG berapapun juga yang terdeteksi pada 4 bulan
pascaevakuasi
Kadar β-hCG berapapun juga yang disertai tanda-tanda metastasis
otak, renal, hepar, traktus gastrointestinal, atau paru-paru.
4. Penatalaksanaan pascaevakuasi
a. Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan
setelah mola hidatidosa, lama pengawasan berkisar 1 sampai 2 tahun.
b. Pengamatan lanjut meliputi pemeriksaan pelvis dan β-hCG setiap
minggu sampai β-hCG negatif, bila ditemui anemia atau infeksi harus
diberikan pengobatan yang adekuat. ß-hCG negatif diikuti tiap minggu
2 kali pemeriksaan, bila tetap negatif dilakukan tiap bulan sampai
dengan bulan keenam, lalu tiap 2 bulan sekali selama 6 bulan.
c. Diberikan kontrasepsi oral setelah kadar β-hCG normal. Bila penurunan
β-hCG sesuai dengan kurva regresi, pasien diperkenankan hamil setelah
24
6 bulan. Dapat juga dengan metode barier, namun IUD tidak
dianjurkan. Bila penurunan labat, tunda kehamilan lebih lama lagi.
d. Bila terjadi kehamilan lakukan USG dan lakukan pemeriksaan hCG
postpartum untuk menyingkirkan reaktifasi residu dari mola.
e. Pasien dengan besar uterus 4 kali lebih besar dari usia gestasi dan
adanya kista lutein, maka risiko untuk menjadi karsinoma adalah 50%.
Dikarenakan 20% pasien dengan mola komplit dan 5-7 % pasien dengan mola
parsial dapat menjadi penyakit yang berulang. Follow up yang ketat sangat
diperlukan. Kadar β-hCG perlu dimonitor setiap minggu sampai diperoleh 3 kali
angka yang normal dan kemudian setiap bulan untuk 6 bulan. Sangat penting bagi
pasien untuk menggunakan kontrasepsi selama 6 bulan sehingga peningkatan β-
hCG yang normal terjadi dalam kehamilan tidak dikacaukan dengan penyakit
yang berulang. Pil KB tidak meningkatkan resiko dari penyakit post mola. Setelah
angka β-hCG normal selama 6 bulan, kehamilan menjadi aman, pemeriksaan
rontgen paru-paru dilakukan tiap bulan. Selama pemeriksaan kadar β-HCG,
pasien diberitahukan supaya tidak hamil.
Pada kasus-kasus yang tidak menjadi ganas, kadar β-HCG lekas turun
menjadi negatif dan tetap negatif. Pada awal masa pasca molla dapat dilakukan tes
hamil biasa, akan tetapi setelah tes hamil biasa menjadi negatif, perlu dilakukan
pemeriksaan radio-imunoassay β-HCG dalam serum, pemeriksaan yang peka ini
dapat menemukan hormon dalam kuantitas yang rendah.
Kematian pada mola hidatidosa disebabkan karena perdarahan, infeksi,
eklampsia, payah jantung atau tirotoksikosis. Di negara maju, kematian mola
hampir tidak ada lagi, tetapi dinegara berkembang masih cukup tinggi yaitu
berkisar 2.2% dan 5.7%. Hampir 20% mola hidatidosa komplit akan berlanjut
menjadi neoplasia trofoblas kehamilan. Terjadinya proses keganasan bisa
berlangsung antara 7 hari sampai 3 bulan pasca mola, tetapi yang paling banyak
dalam 6 bulan pertama. Pada Mola hidatidosa parsial jarang terjadi.
.
25
Prognosis
Kematian pada molla hidatidosa disebabkan karena perdarahan yang
mengakibatkan anemia pada pasien, infeksi, eklampsia, payah jantung, dan
tirotoksikosis. Di negara maju, kematian karena molla hampir tidak ada lagi,
tetapi di negara-negara berkembang masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 2,2%
dan 5,7%. Sebagian besar dari pasien molla akan segera sehat kembali setelah
jaringannya dikeluarkan, tetapi ada sekelompok wanita yang kemudian menderita
degenerasi keganasan menjadi koriokarsinoma. Presentase keganasan yang
dilaporkan oleh berbagai klinik sangat berbeda-beda, berkisar antara 5,56%.
Terjadinya proses keganasan bisa berlangsung antara 7 hari sampai 3 tahun
pasca molla, tetapi yang paling banyak dalam 6 bulan pertama. Ada wanita yang
pernah menderita molla hidatidosa, kemudian pada kehamilan berikutnya
mendapat molla lagi, kejadian molla berulang ini agak jarang. Ada yang
mengatakan bahwa molla berulang mempunyai resiko lebih tinggi untuk menjadi
koriokarsinoma, tetapi pengalaman tidak menunjukan hal demikian. Untuk
menentukan kapan kembalinya fungsi reproduksi setelah molla hidatidosa
sebetulnya agak sukar, karena umumnya mereka diharuskan memakai kontrasepsi.
Walaupun demikian banyak yang tidak mematuhi, karena ternyata banyak wanita
pasca molla telah hamil lagi dalam jangka waktu satu tahun. Dengan demikian
dapat diambil kesimpulan bahwa kemampuan reproduksi pasca molla, tidak
banyak berbeda dari kehamilan lainnya. Anak-anak yang dilahirkan setelah molla
hidatidosa ternyata umumnya normal.
26