Post on 30-Jan-2018
A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran merupakan sebuah proses belajar, dimana didalamnya terdapat usaha-usaha
yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar.
Masalah pembelajaran itu sendiri merupakan masalah yang cukup kompleks dan banyak
factor yang mempengaruhinya.Oleh karena itu ada tiga prinsip yang layak diperhatikan
dalam pembelajaran.Pertama, proses pembelajaran menghasilkan perubahan perilaku anak
didik yang relative permanen. Tentunya dalam proses ini terdapat peran penggiat
pembelajaran, yakni guru sebagai pelaku perubahan (agent of change). Kedua, anak didik
memiliki potensi, kemampuan yang merupakan benih kodrati untuk ditumbuhkembangkan
tanpa henti.Oleh karena itu, proses pembelajaran seyogyanya menyirami benih kodrati ini
hingga tumbuh subur dan berbuah.Ketiga, perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak
tumbuh linear sejalan proses kehidupan. Artinya, proses belajar mengajar memang bagian
dari kehidupan itu sendiri, tetapi ia didesain secara khusus dan diniati demi tercapainya
kondisi dan kualitas ideal. Ketiga hal ini menegaskan definisi pembelajaran.1
Dewasa ini, seperti yang kita ketahui dampak globalisasi yang begitu hebatnya mampu
membawa masyarakat Indonesia melupakan pendidikan karakter bangsa.Padahal, pendidikan
karakter merupakan suatu pondasi bangsa yang sangat penting dan perlu ditanamkan sejak
dini kepada anak-anak.Dari berbagai peristiwa saat ini, mulai dari tawuran antar pelajar,
pengrusakan fasilitas pendidikan, kenakalan remaja, sampai pembunuhan sesama pelajar
telah menunjukkan betapa rendahnya karakter dari diri bangsa Indonesia.2
Terpuruknya bangsa dan negara Indonesia saat ini tidak hanya disebabkan oleh krisis
ekonomi melainkan juga oleh krisis akhlak.Oleh karena itu, perekonomian bangsa menjadi
ambruk, korupsi, kolusi, nepotisme dan perbuatan-perbuatan yang merugikan bangsa
merajalela.Perbuatan-perbuatan yang merugikan dimaksud adalah perkelahian, perusakan,
perkosaan, minum-minuman keras, dan bahkan pembunuhan.Keadaan seperti itu, terutama
krisis akhlak terjadi karena kesalahan dunia pendidikan atau kurang berhasilnya dunia
pendidikan dalam menyiapkan generasi muda bangsanya.
Dunia pendidikan telah melupakan tujuan utama pendidikan yaitu mengembangkan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara seimbang.Dunia pendidikan kita telah
1 Munadi, Yudhi.2010. Media Pembelajaran Sebuah Pendekatan Baru. Jakarta: Gaung Persada (GP) Press.Hal 4.2 Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Kasus Multidimensional. Jakarta: PT Bumi Aksara. Hal 1.
1
memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan, tetapi melupakan pengembangan
sikap/nilai dan perilaku dalam pembelajarannya.Dunia pendidikan sangat meremehkan mata-
mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa.
Di sisi lain, tidak dipungkiri bahwa pelajaran-pelajaran yang mengembangkan karakter
bangsa seperti Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Pendidikan Agama serta Ilmu
Pengetahuan Sosial dalam pelaksanaan pembelajarannya lebih banyak menekankan pada
aspek kognitif dari pada aspek afektif dan psikomotor. Di samping itu, penilaian dalam mata-
mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan nilai belum secara total mengukur sosok
utuh pribadi siswa.
Berdasarkan kondisi peserta didik, peserta didik di kelas 1-3 berada di rentangan usia
dini. Pada usia tersebut seluruh aspek perkembangan kecerdasan seperti IQ, EQ dan SQ
tumbuh dan berkembang sangat luar biasa. Pada umumnya tingkat perkembangannya masih
meilhat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik) sehingga pembelajarannya
bergantung pada objek-objek yang konkret. Selain itu, jika pembelajaran dilakukan secara
terpisah maka akan memunculkan permasalahan pada kelas awal (kelas 1-3) yaitu tingginya
angka mengulang kelas dan putus sekolah. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesiapan
sekolah sebagian besar peserta didik kelas awal SD/MI di Indonesia masih rendah.3
Atas dasar pemikiran tersebut, maka model pembelajaran untuk kelas awal (kelas 1-3)
lebih sesuai jika menggunakan pembelajaran tematik berbasis karakter. Untuk mencapai
tujuan pendidikan karakter yang utuh perlu ditunjang oleh kurikulum yang mendukungnya,
yaitu kurikulum holistic yang berupa pembelajaran tematik.Pembelajaran tematik merupakan
sebuah pembelajaran yang “menyentuh” semua aspek kebutuhan anak.Sebuah pembelajaran
yang terkait, tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi, keterampilan, dengan
menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual. Bidang-bidang pengembangan yang
ada di setiap satuan pendidikan dikembangakan dalam konsep pendidikan kecakapan hidup
yang terkait dengan pendidikan personal dan social, pengembangan berpikir, kognitif,
pengembangan karakter dan pengembangan persepsi motoric dapat teranyam dengan baik
apabila materi ajarnya dirancang melalui pembelajaran terpadu (tematik) dan menyeluruh
(holistik).4
3 http://akhmadsudrajat.wordpress.com/latarbelakang-pembelajaran-tematik4 Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Kasus Multidimensional. Jakarta: PT Bumi Aksara. Hal. Hal 32.
2
Secara teknis, pembelajaran terpadu (tematik) dan menyeluruh (holistik) terjadi apabila
kurikulum dapat menampilkan tema yang mendorong terjadinya eksplorasi atau kejadian-
kejadian secara autentik dan alamiah. Dengan munculnya tema atau kejadian yang alami ini
akan terjadi suatu proses pembelajaran yang bermakna dan materi yang dirancang akan
saling terkait dengan berbagai bidang pengembangan yang ada dalam kurikulum sehingga
pendidikan mampu membentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu
dengan mengembangkan aspek fisik, emosi, social, kreativitas, spiritual dan intelektual siswa
secara optimal, serta membentuk manusia yang long life learners (pembelajar sejati).
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti melakukan penelitian dengan judul:
“Implementasi Pembelajaran Tematik Berbasis Karakter Terhadap Keberhasilan
Akademik Siswa MI Miftahul Huda Ngasem Ngajum Malang”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana langkah-langkah penerapan pembelajaran tematik berbasis karakter di MI
Miftahul Huda Ngasem Ngajum Malang?
2. Adakah pengaruh penerapan pembelajaran tematik berbasis karakter terhadap
keberhasilan akademik siswa MI Miftahul Huda Ngasem Ngajum Malang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan pembahasan diatas, maka dapat dirumuskan tujuan penelitian sebagai
berikut:
1. Untuk mendeskripsikan penerapan pembelajaran tematik berbasis karakter di Miftahul
Huda Ngasem Ngajum Malang.
2. Untuk mengetahui pengaruh penerapan pembelajaran tematik berbasis karakter terhadap
keberhasilan akademik siswa MI Miftahul Huda Ngasem NgajumMalang.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Penelitian ini sangat penting bagi peneliti guna untuk meningkatkan wawasan serta
pedoman bagi peneliti sebagai calon sarjana yang professional. Selain itu, dengan
3
melaksanakan PTK peneliti sedikit demi sedikit mengetahui strategi pembelajaran yang
sesuai untuk meningkatkan keberhasilan akademik peserta didik.
2. Bagi guru
Dengan penelitian ini, diharapkan hasil dari penelitian itu bisa menambah wawasan guru
serta menjadi pedoman guru dalam melaksanakan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar)
guna meningkatkan keberhasilan akademik peserta didik dalam era globalisasi ini.
3. Bagi peserta didik
Meningkatkan keberhasilan akademik serta mempunyai karakter yang unggul.
4. Bagi sekolah
Dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam pelaksanaan
pendidikan untuk meningkatkan keberhasilan akademik peserta didik.
E. Kajian Kepustakaan
1. Konsep teori
a. Kajian tentang pembelajaran tematik
1) Hakikat pembelajaran tematik
Pembelajaran tematik merupakan pola pembelajaran yang
mengintegrasikan pengetahuan, ketrampilan, kreativitas, nilai dan sikap
pembelajaran dengan menggunakan tema.Pembelajaran tematik dengan demikian
adalah pembelajaran terpadu atau terintegrasi yang melibatkan beberapa pelajaran
bahkan lintas rumpun mata pelajaran yang diikat dalam tema-tema
tertentu.Pembelajaran ini melibatkan beberapa kompetensi dasar, hasil belajar,
dan indiaktor dari suatu mata pelajaran atau bahkan beberapa mata pelajaran.
Keterpaduan dalam pembelajaran ini dapat dilihat dari aspek proses atau waktu,
aspek kurikulum dan aspek belajar mengajar. Diterapkannya pembelajaran
tematik dalam pembelajaran, membuka ruang yang luas bagi peserta didik untuk
mengalami sebuah pengalaman belajar yang lebih bermakna, berkesan dan
menyenangkan.5
Pembelajaran tematik sebagi model pembelajaran termasuk salah satu tipe
atau jenis daripada model pembelajaran terpadu.Istilah pembelajaran tematik pada
dasarnya adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk
5 SB, Mamat. 2005. Pedoman Pelaksanaan Pembelajaran Tematik. Jakarta: Departemen Agama RI. Hal 3.
4
mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman
bermakna kepada siswa (Depdiknas, 2006:5).6
Istilah model pembelajaran terpadu sebagai konsep sering dipersamakan
dengan integrated teaching and learning, integrated curriculum approach, a
coherent curriculum approach. Jadi berdasarkan istilah tersebut, maka
pembelajaran terpadu pada dasarnya lahir salah satunya dari pola pendekatan
kurikulum yang terpadu (integrated curriculum approach). Definisi mendasar
tentang kurikulum terpadu dikemukakan oleh Humphreys, et al. (1981:11-12)
bahwa:
“studi terpadu adalah studi di mana para siswa dapat mengeksplorasi pengetahuan mereka dalam berbagai mata pelajaran yang berkaitan dengan aspek-aspek tertentu dari lingkungan mereka. Ia melihat pertauatan anatar kemanusiaan, seni komunikasi, ilmu pengetahuan alam, matematika, studi social, music dan seni. Keterampilan pengetahuan dikembangkan dan diterapkan di lebih dari satu wilayah studi.”7
Konsep pembelajaran terpadu pada dasarnya telah lama dikemukakan oleh John
Dewey sebagai upaya untuk mengintegrasikan perkembangan dan pertumbuhan
siswa dan kemampuan pengetahuannya (Beans, 1993 dalam Udin Syaefudin dkk,
2006:4). Ia memberikan pengertian bahwa pembelajaran terpadu adalah
pengdekatan untuk mengembangkan pengetahuan siswa dalam pembentukan
pengetahuan berdasarkan pada interaks dengan lingkungan dan pengalaman
kehidupannya. Hal ini membantu siswa untuk belajar menghabungkan apa yang
telah dipelajari dan apa yang sedang dipelajari.Menurut T. Raka Joni (1996)
bahwa pembelajaran terpadu merupakan suatu system pembelajaran yang
memungkinkan siswa secara individual ataupun kelompok aktif mencari,
menggali, dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistic,
bermakna dan autentik. Pembelajaran terpadu akan terjadi apabila peristiwa-
peristiwa autentik atau eksplorasi topic/tema menjadi pengendali di dalam
kegiatan pembelajaran. Dengan berpartisipasi di dalam eksplorasi tema/peristiwa
6Trianto. 2011. Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik bagi Anak Usia Dini TK/RA & Anak Usia Kelas Awal SD/MI. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal 147.7Ibid. hal 148.
5
tersebut siswa belajar sekaligus proses dan isi beberapa mata pelajaran secara
serempak.8
Pendekatan tematik atau terpadu dalam pembelajaran sangat membuka
peluang bagi guru untuk mengambangakan berbagai strategi dan metodologi
paling tepat.Pemilihan dan pengembangan strategi pembelajaran
mempertimbangkan kesesuaian dengan tema-tema yang dipilih
sebelumnya.Disinilah guru dituntut lebih kreatif dalam menghadirkan suasana
pembelajaran yang menggiring peserta didik mampu memahami kenyataan hidup
yang dijalaninya setiap hari baik menyangkut dirinya sebagai pribadi maupun
dalam hubungannya dengan keluarga, masyarakat, lingkungan dan alam
sekitarnya.
Adapun pendekatan yang dipilih, yang terpenting dalam pembelajaran
adalah menempatkan peserta didik sebagai pusat aktivitas. Peserta didik tidak
hanya terbatas “mempelajari tentang suatu hal”, melainkan bagaimana proses
belajar itu mampu memperkaya khazanah pengalaman belajar dan mempelajari
bagaimana cara belajar. Proses pengalaman belajar tersebut dituangkan dalam
kegiatan belajar yang menggali dan mengembangkan fenomena alam di
sekitarnya. Dalam pembelajaran tematik, pembelajaran tidak semata-mata
mendorong peserta didik untuk mengetahui (learning to know), tapi belajar juga
untuk melakukan (learning to do), belajar untuk menjadi (learning to be), dan
belajar untuk hidup bersama (learning to live together).9
Berdasarkan berbagai pengertian tersebut di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa pembelajaran tematik/terpadu merupakan suatu model
pembelajaran yang memadukan beberapa materi pembelajaran dari berbagai
standar kompetensi dan kompetensi dasar dari satu atau beberapa mata pelajaran.
Penerapan pembelajaran ini dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yakni
penentuan berdasarkan keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar,
tema dan masalah yang dihadapi.
2) Prinsip dasar pembelajaran tematik
8Trianto. 2011. Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik bagi Anak Usia Dini TK/RA & Anak Usia Kelas Awal SD/MI. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal 150.9 SB, Mamat. 2005. Pedoman Pelaksanaan Pembelajaran Tematik. Jakarta: Departemen Agama RI. Hal 4.
6
Sebagai bagaian dari pembelajaran terpadu, maka pembelajaran tematik
memiliki prinsip dasar sebagaimana halnya pembelajaran terpadu.Menurut Ujang
sukandi, dkk (2001: 109), pembelajaran terpadu memiliki satu tema actual, dekat
dengan dunia siswa da nada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.Tema ini
menjadi alat pemersatu materi yang beragam dari beberapa materi pelajaran.
Secara umum prinsip-prinsip pembelajaran tematik dapat diklasifikasikan
menjadi:10
a. Prinsip penggalian tema
Prinsip penggalian tema merupakan prinsip utama (focus) dalam pembelajaran
tematik. Artinya tema-tema yang saling tumpang tindih dan ada keterkaitan
menjadi target utama dalam pembelajaran. Dengan demikian, dalam
penggalian tema tersebut hendaklah memerhatikan beberapa persyaratan:
a) Tema hendaknya tidak terlalu luas, namun dengan mudah dapat
digunakan untuk memadukan banyak mata pelajaran.
b) Tema harus bermakna, makudnya ialah tema yang dipilih untuk dikaji
harus memberikan bekal bagi sisa untuk belajar selanjutnya.
c) Tema harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologiss anak.
d) Tema dikembangkan harus meadahi sebagian besar minat anak.
e) Tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan peristiwa-peristiwa
autentik yang terjadi di dalam rentang waktu belajar.
f) Tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan kurikulum yang
berlaku serta harapan masyarakat (asas relevansi).
g) Tema yang dipilih hendaknya juga mempertimbangkan ketersediaan
sumber belajar.
b. Prinsip pengelolaan pembelajaran
Pengelolaan pembelajaran dapat optimal apabila guru mampu menempatkan
dirinya dalam keseluruhan proses. Artinya, guru harus mampu menempatkan
diri sebagai fasilitator dan mediator dalam proses pembelajaran. Oleh sebab
10Trianto. 2011. Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik bagi Anak Usia Dini TK/RA & Anak Usia Kelas Awal SD/MI. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal 154-156
7
menurut Prabowo (2000), baha dalam pengelolaan pembelajaran hendaklah
guru dapat berlaku sebagai berikut:
a) Guru hendaknya jangan menjadi single actor yang mendominasi
pembicaraan dalam proses belajar mengajar.
b) Pemberian tanggung jawab individu dan kelompok harus jelas dalam
setiap tugas yang menuntut adanya kerja sama kelompok.
c) Guru perlu mengakomodasi terhadap ide-ide yang terkadang sama sekali
tidak terpikirkan dalam perencanaan.
c. Prinsip evaluasi
Evaluasi pada dasarnya menjadi fokus dalam setiap kegiatan. Bagaimana
suatu kerja dapat diketahui hasilnya apabila tidak dilakukan evaluasi. Dalam
hal ini, maka dalam melaksanakan evaluasi dalam pembelajaran tematik,
maka diperlukan beberapa langkah-langkah positif antara lain:
a) Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan evaluasi diri (self
evaluation/self assesment) disamping bentuk evalusi lainnya.
b) Guru perlu mengajak para siswa untuk mengevaluasi perolehan belajar
yang telah dicapai berdasarkan kriteria keberhasilan pencapain tujuan
yang akan dicapai.
d. Prinsip reaksi
Dampak pengiring (nurturant effect) yang penting bagi perilaku secara sadar
belum tersentuh oleh guru dalam KBM. Karena itu, guru dituntut agar mampu
merncanakan dan melaksanakan pembelajaran sehingga tercapai secara tuntas
tujuan-tujuan pembelajaran. Guru harus bereaksi terhadap aksi siswa dalam
semua peristiwa serta tidak mengarahkan aspek yang sempit tetapi kesebuah
kesatuan yang utuh dan bermakna. Pembelajaran tematik memungkinkan hal
ini dan guru hendaknya menemukan kiat-kiat untuk memunculkan ke
permukaan hal-hal yang dicapai melalui dampak pengiring tersebut.
3) Arti penting pembelajaran tematik
Pembelajaran tematik, sebagai model pembelajaran memiliki arti penting
dalam membangun kompetensi peserta didik, antara lain: pertama, pembelajaran
tematik lebih menekankan pada keterlibatan siswa dalam proses belajar secara
8
aktif dalam proses pembelajaran, sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman
langsung dan terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang
dipelajarinya. Kedua, pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan
konsep belajar sambil melakukan sesuatu (learning by doing). Oleh karena itu,
guru perlu mengemas atau merancang pengalaman belajar yang akan
memengaruhi kebermaknaan belajar siswa.11
Ada beberapa alasan tentang pengtingya pendekatan tematik dalam
pembelajaran, terutama bagi peserta didik madrasah tingkat dasar. Pertama,
pendekatan tematik mengharuskan perubahan paradigma pembelajaran lama yang
keliru. Dulu, proses belajar mengajar masih berpusat kepada guru. Guru adalah
segalanya bagi peserta didik. Sehingga yang terjadi adalah sekedar “pengajaran”,
bukan “pembelajaran”. Tidak demikian halnya bagi pembelajaran tematik.
Dengan pendekatan tematik, pembelajaran (bukan pengajaran) dipusatkan kepada
peserta didik, bukan guru. Sebab dalam hal ini guru memerankan fungsi fasilitator
dan motivator yang membantu pengembangan kreativitas peserta didik, tanpa
harus ada penyeragaman atau pemaksaan untuk mengikut pemahaman guru.
Disana peserta didik diberikan ruang bebas untuk mewujudkan potensi dan
menampilkan karakteristiknya masing-masing. Kedua, pembelajaran tematik
meruapakan pendekatan pembelajaran yang disesuaikan dengan perkembangan
dan kecenderungan anak usia dini rentang umur antara 0-8 tahun. Dalam tinjauan
psikologi, anak tumbuh dan berkembang secara holistik dan menyeluruh.
Perkembangan aspek kognitif seorang anak, berkaiatan erat dengan
perkembangan aspek psikomotorik. Pada rentang umur tersebut, perkembangan
berbagai kecerdasan anak IQ, EQ dan SQ sangat luar biasa. Ketiga, pendekatan
tematik memungkinkan penggabungan berbagai perspektif dan kajian interdisiplin
dalam memahami suatu tema tertentu. Penerapan pendekatan tematik merupakan
upaya pengembangan kemampuan dan potensi peserta didik dalam memahami
kenyataan hidup yang serba kompleks dan multivariabel. Keempat, pendekatan
tematik mendorong peserta didik memahami wacana aktual dan kontekstual.
Sehingga pembelajaran digiring bukan hanya untuk memperkaya wawasan
11 Ibid. Hal 156
9
keilmuan peserta didik, tetapi juga melibatkan peserta didik untuk mendapatkan
pengalaman langsung dari realitas gejala sosiokultural ataupun gejala alam yang
terus berubah. Kelima, pendekatan temtik menuntut penerapan metodologi
pembelajaran yang bervariasi. Metodologi pembelajaran hendaknya disesuaikan
dengan (content) tema yang sedang menjadi materi pembelajaran serta waktu dan
tempat.12
Selain itu, pembelajaran tematik juga memiliki arti penting dalam kegiatan
belajar belajar. Ada beberapa alasan yang mendasarinya13, yaitu:
1) Dunia anak adalah dunia nyata
Tingkat perkembangan mental anak selalu dimulai dengan tahap berpikir
nyata. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak melihat mata pelajaran
berdiri sendiri. Mereka melihat objek atau peristiwa yang didalamnya
memuat sejumlah konsep/materi beberapa mata pelajaran.
2) Proses pemahaman anak terhadap suatu konsep dalam suatu peristiwa/objek
lebih terorganisasi
Proses pemahaman anak terhadap suatu konsep dalam suatu objek sangat
bergantung pada pengetahuan yang sudah dimiliki anak sebelumnya.
Masing-masing anak selalu membangun sendiri pemahaman terhadap konsep
baru.
3) Pembelajaran akan lebih bermakna
Pembelajaran akan lebih bermakna kalau pelajaran yang sudah dipelajari
siswa dapat memanfaatkan untuk mempelajari materii berikutnya.
Pembelajaran terpadu sangat berpeluang untuk memanfaatkan pengetahuan
sebelumnya.
4) Memberi peluang siswa untuk mengembangkan kemampuan diri
Pengajaran terpadu memberi peluang siswa untuk mengembangkan tiga
ranah sasaran pendidikan secara bersamaan. Ketiga ranah pendidikan itu
meliputi sikap (jujur, teliti, tekun dan terbuka terhadap gagasan ilmiah),
12 SB, Mamat. 2005. Pedoman Pelaksanaan Pembelajaran Tematik. Jakarta: Departemen Agama RI. Hal 7-1013 Trianto. 2011. Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik bagi Anak Usia Dini TK/RA & Anak Usia Kelas Awal SD/MI. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal 158
10
keterampilan (memperoleh, memanfaatkan, dan memilih informasi,
menggunakan alat dan kepemimpinan) dan ranah kognitif (pengetahuan).
5) Memperkuat kemampuan yang diperoleh
Kemampuan yang diperoleh dari satu mata pelajaran akan saling memperkuat
kemampuan yang diperoleh dari mata pelajaran lain.
6) Efisiensi waktu
Guru dapat lebih menghemat waktu dalam menyusun persiapan mengajar.
Tidak hanya siswa, guru pun dapat belajar lebih bermakna terhadap konsep-
konsep sulit yang akan diajarkan.
4) Kelebihan pembelajaran tematik
Pembelajaran tematik pada kenyataannya memiliki beberapa kelebihan seperti
pembelajaran terpadu. Menurut Departemen Pendidikan Kebudayaan (1996),
pembelajaran terpadu memiliki kelebihan sebagai berikut:
1) Pengalaman dan kegiatan belajar anak relevan dengan tingkat
perkembangannya.
2) Kegiatan yang dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan anak.
3) Kegiatan belajar bermakna bagi anak, sehingga hasilnya dapat bertahan lama.
4) Keterampilan berpikir anak berkembang dalam proses pembelajaran terpadu.
5) Kegiatan belajar mengajar bersifat pragmatis sesuai lingkungan anak.
6) Keterampilan sosial anak berkembang dalam proses pembelajaran terpadu.
Keterampilan sosial ini antara lain: kerja sama, komunikasi dan mau
mendengarkan pendapat orang lain.
Selain keenam kelebihan tersebut, apabila pembelajaran tematik dirancang
bersama, dapat meningkatkan kerja sama antarguru bidang kajian terkait, guru
dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik, peserta didik/guru
dengan narasumber, sehingga belajara lebih menyenangkan, belajar dalam situasi
nyata dan dalam konteks yang lebih bermakna (Indrawati, 2009:2). Pembelajaran
terpadu juga menyajikan beberapa keterampilan dalam suatu proses pembelajaran.
Selain mempunyai sifat luwes, pembelajaran terpadu memberikan hasil yang
dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak (Depdiknas, 2000:2).
11
Apabila ditinjau dari aspek guru dan peserta didik, pembelajaran tematik
memiliki beberapa keuntungan.14 Keuntungan pembelajaran tematik bagi guru
antara lain:
1) Tersedia waktu lebih banyak untuk pembelajaran.
2) Hubungan antar-mata pelajaran dan topik dapat diajarkan secara logis dan
alami.
3) Dapat ditunjukkan bahwa belajar merupakan kegiatan yang kontinu, tidak
terbatas pada buku paket. Guru dapat membantu siswa memperluas
kesmpatan belajar ke berbagai aspek kehidupan.
4) Guru bebas membantu siswa melihat masalah, situasi atau topik dari berbagai
sudut pandang.
5) Pengembangan masyarakat belajara terfasilitasi. Penekanan pada kompetisi
bisa dikurangi dan diganti dengan kerjasama dan kolaborasi.
Adapun keuntungan pembelajaran tematik bagi siswa antara lain:
1) Dapat lebih memfokuskan diri pada proses belajar, daripada hasil belajar.
2) Menghilangkan batas semu antarbagian kurikulum dan meyediakan
pendekatan proses belajar yang integratif.
3) Menyediakan kurikulum yang berpusat pada siswa yang dikaitkan dengan
minat, kebutuhan, dan kecerdasan; mereka didorong untuk membuat
keputusan sendiri dan bertanggung jawab pada keberhasilan belajar.
4) Merangsang penemuan dan penyelidikan mandiri di dalam dan di luar kelas.
5) Membantu siswa membangun hubungan antara konsep dan ide sehingga
meningkatkan apresiasi dan pemahaman.
Selain kelebihan yang dimiliki, pembelajaran tematik juga memiliki
keterbatasan, terutama dalam pelaksanaannya, yaitu pada perencanaan dan
pelaksaan evaluasi yang lebih banyak menuntut guru untuk melakukan evaluasi
proses, dan tidak hanya evaluasi dampak pembelajaran langsung saja (Indrawati,
2009: 2).
5) Karakteristik pembelajaran tematik
14 http://www.ditnaga-dikti.org/ditnaga/files/PIP/tematik.pdf
12
Menurut Depdiknas (2006: 6) pembelajaran tematik memiliki ciri khas antara
lain:
a. Pengalaman dan kegiatan belajar sangat relevan dengan tingkat perkembangan
dan kebutuhan anak usia sekolah dasar.
b. Kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran tematik
bertolak dari minat dan kebutuhan siswa.
c. Kegiatan belajar akan lebih bermakna dan berkesan bagi siswa sehingga hasil
belajar dapat bertahan lebih lama.
d. Membantu mengembangkan keterampilan berfikir siswa.
e. Menyajikan kegiatan belajar yang bersifat pragmatis sesuai dengan
permasalahan yang sering ditemui siswa dalam lingkungannya.
f. Mengembangkan keterampilan sosial siswa, seperti kerjasama, toleransi,
komunikasi dan tanggap terhadap gagasan orang lain.
Selain itu, sebagai model pembelajaran tematik di sekolah dasar/madrasah
ibtidaiyah, pembelajaran tematik memiliki karakteristik antara lain, (Depdiknas:
2006) :
1) Berpusat pada siswa
Pembelajaran tematik berpusat pada siswa (student center), hal ini sesuai
dengan pendekatan belajar modern yang lebih banyak menempatkan siswa
sebagai subjek belajar, sedangkan guru lebih banyak berperan sebagai
fasilitator, yaitu memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan
aktivitas belajar.
2) Memberikan pengalaman langsung
Pembelajaran tematik memberikan pengalaman langsung kepada siswa
(direct experiences). Dengan pengalaman langsung ini siswa dihadapkan
pada sesuatu yang nyata/konkret sebagai dasar untuk memahami hal-hal
yang lebih abstrak.
3) Pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas
Dalam pembelajaran tematik pemisahan antar amat pelajaran menjadi tidak
begitu jelas. Fokus pembelajaran diarahkan kepada pembahasan tema-tema
yang paling dekat berkaitan dengan kehidupan siswa.
13
4) Menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran
Pembelajaran tematik menyajikan konsep-konsep dari berbagai mata
pelajaran dalam suatu proses pembelajaran. Dengan demikian, siswa mampu
memahami konsep-konsep tersebut secara utuh. Hal ini diperlukan untuk
membantu siswa dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
dalam kehidupan sehari-hari.
5) Bersifat fleksibel
Pembelajaran tematik bersifat luwes (fleksibel) di mana guru dapat
mengaitkan bahan ajar dari satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang
lainnya, bahkan mengaitkan dengan kehidupan siswa dan keadaan
lingkungan di mana sekolah dan siswa berada.
6) Menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan
Pembelajaran tematik mengadopsi prinsip belajar PAIKEM, yaitu
pembelajaran aktif, kreatuf, efektif dan menyenangkan.
Aktif, bahwa dalam pembelajaran peserta didik aktif secara fisik dan mental
dalam hal mengemukakan penalaran (alasan), menemukan kaitan yang satu
dengan yang lain, mengkomunikasikan ide/gagasan, mengemukakan bentuk
representasi yang tepat dan menggunakan semua itu untuk memecahkan
masalah.
Kreatif, berarti dalam pembelajaran peserta didik melakukan serangakaian
proses pembelajaran secara runtut dan berkesinambungan yang meliputi:
a) Memahami masalah
- Menemukan ide yang terkait
- Mempresentasikan dalam bentuk lain yang mudah diterima
- Menemukan gap yang harus diisi untuk memecahkan masalah
b) Merencanakan pemecahan masalah
- Memikirkan macam-macam strategi yang mungkin dapat digunakan
untuk memecahkan masalah
- Memilih strategi atau gabungan strategi yang palling efektif dan
efisien
- Merancang tahap-tahap eksekusi
14
c) Melaksanakan rencana pemecahan masalah
- Menentukan titik awal kegiatan pemecahan masalah
- Menggunakan penalaran untuk memperoleh solusi yang dapat
dipertanggung jawabkan
d) Memeriksa ulang pelaksanaan pemecahan masalah
- Memeriksa ketepatan jawaban dan langkah-langkahnya
Efektif, artinya adalah berhasil mencapai tujuan sebagaimana yang
diharapkan. Dalam pembelajaran telah terpenuhi apa yang menjadi tujuan
dan harapan yang hendak dicapai.
Menyenangkan, berarti sifat terpesona dengan keindahan, kenyamanan,
dan kemanfaatannya sehingga mereka terlibat dengan asyik dalam belajar
sampai luap waktu, penuh percaya diri, dan tertantang untuk melakukan hal
serupa atau hal yab]ng lebih berat lagi.
6) Langkah-langkah pembelajaran tematik
Pada dasaranya langkah-langkah (sintaks) pembelajaran tematik mengikuti
langkah-langkah pembelajaran terpadu. Secara umum sintaks tersebut mengikuti
tahap-tahap yang dilalui dalam setiap model pembelajaran meliputi tiga tahap
yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. (Prabowo, 2000: 6). Adapun
secara umum langkah-langkah pembelajaran tematik sebagai berikut:
1) Tahap perencanaan
a) Menentukan jenis mata pelajaran dan jenis keterampilan yang dipadukan.
Karakteristik mata pelajaran menjadi pijakan untuk kegiatan awal ini.
Seperti contoh yang diberikan Fogarty (1991: 28), untuk jenis mata
pelajaran sosial dan bahasa dapat dipadukan keterampilan berfikir dengan
keterampilan sosial.
b) Memilih kajian materi, standar kompetensi, kompetensi dasar dan
indikator.
Langkah ini akan mengarahkan guru untuk menentukan sub-keterampilan
dari masing-masing keterampilan yang dapat diintegrasikan dalam suatu
unit pembelajaran.
c) Menentukan sub-keterampilan yang dipadukan
15
Secara umum keterampilan yang harus dikuasai meliputi keterampilan
berfikir, keterampilan sosial, dan keterampilan mengorganisasi yang
masing-masing terdiri atas sub-sub keterampilan.
d) Merumuskan indikator hasil belajar
Berdasarkan kompetensi dasar dan sub keterampilan yang dipillih
dirumuskan indikator. Setiap indikator dirumuskan berdasarkan kaidah
penulisan yang meliputi: audience, behaviour, condition dan degree.
e) Menentukan langkah-langkah pembelajaran
Langkah ini diperlukan sebagai strategi guru untuk mengintegrasikan
setiap sub-keterampilan yang telah dipilih pada setiap langkah
pembelajaran.
2) Tahap pelaksanaan
Prinsip-prinsip utama dalam pelaksanaan pembelajaran terpadu, meliputi:
a) Guru hendaknya tidak menjadi single actor yang mendominasi dalam
kegiatan pembelajaran. Peran guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran
memungkinkan siswa menjadi pembelajaran mandiri.
b) Pemberian tanggung jawab individu dan kelompok harus jelas dalam
setiap tugas yang menuntut adanya kerjasama dalam kelompok.
c) Guru perlu akomodatif terhadap ide-ide yang terkadang sama sekali tidak
terpikirkan dalam proses perencanaan. (Depdiknas, 1996: 6)
3) Tahap evaluasi
Tahap evaluasi dapat berupa evaluasi proses pembelajaran dan evaluasi
hasil pembelajaran. Tahap evaluasi menurut Depdiknas (1996: 6), hendaknya
memerhatikan prinsip evaluasi pembelajaran terpadu, yaitu:
a) Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan evaluasi diri di
samping bentuk evaluasi lainnya.
Guru perlu mengajak para siswa untuk mengevalusi perolehan belajar
yang telah dicapai berdasarkan kriteria keberhasilan pencapaian tujuan
yang akan dicapai.
b. Kajian tentang pendidikan karakter
1) Hakikat pendidikan dan pendidikan karakter
16
Pendidikan menurut John Dewey adalah proses pembentukan kecakapan
fundamental secara intelektual dan emosional kea rah alam dan sesame manusia.
Tujuan pendidikan dalam hal ini agar generasi muda sebagai generasi penerus
bangsa dapat menghayati, memahami, mengamalkan nilai-nilai atau norma-norma
tersebut dengan cara mewariskan segala pengalaman, peengetahuan, kemampuan
dan keterampilan yang melatarbelakangi nilai-niali dan norma-norma hidup dan
kehidupan.15
Selain itu pendidikan juga merupakan proses internalisasi budaya ke dalam diri
seseorang dan masyarkat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab.
Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih
luas lagi, yaitu sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturasi dan
sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar
kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup tiga hal paling mendasar,
yaitu:
1) Afektif, yang tercermin pada kual,its keimanan, ketakwaan, akhlak mulia
termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul dan kompetisi estetis.
2) Kognitif, yang tercermin pada kapasitas piker dan daya intelektu7alitas untuk
menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi.
3) Psikomotorik, yang tercermin pada kemampuan mengembangkan
keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Sedangkan karakter menurut Simon Philips dalam buku Refleksi Karakter
Bangsa (2008: 235), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada susatu
system yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang ditampilkan.
Sementara itu Koesoema A (2007: 80) menyatakan bahwa karakter sam dengan
kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai “ cirri atau karakteristik atau gaya
atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang
diterima lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan
seseorang sejak lahir.” Prof. Suyanto, Ph.D menyatakan bahwa karakter adalah
cara berpikir dan berperilaku yang menjadi cirri kahs tiap individu untuk hidup 15 Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan karakter: menjawab tantangan krisis multidimensional. Jakarta: PT Bumi Aksara. Hal 67.
17
dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bias membuat keputusan dan
sisap mempertanggungjawabkab tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Imam
Ghazali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas
manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia
sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.16
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakter itu
berkaiatn dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral. Jadi ‘orang
berkarakter’ adalah oranr yang mempunyai kualitas moral positif. Dengan
demikian, pendidikan adalah membangun karakter, yang secara implicit
mengandung arti membangung sifat atau pola perilaku yang didasari atau
berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan negative atau
yang buruk. Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligan (Raka, 2007:5) yang
mengaitlkan secara langsung ‘character strength’ dengan kebajikan. Character
strength dipandang sebagi unsure-unsur psikologis yang membangun kebajikan.
Dimana salah satu criteria utamanya adalah karakter tersebut berkontribusi besar
dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam
membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang
lain.
Untuk dapat memahami pendidikan karakter itu sendiri, kita perlu memahami
struktur antroplogis yang ada dalam diri manusia (Koesoema A, 2007:80).
Struktur antropologis manusia terdiri atas jasad, ruh dan akal. Hal ini selaras
dengan pendapat Lickona (1992) yang menekankan tiga komponen karakter yang
baik, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan
tentang moral), dan moral action (perbuatan moral), yang diperlukan agar anak
mampu memahami, merasakan dan mengerjakan nilai-nilai kebajikan. Istilah
lainnya adalah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dalam mewujudkan pendidikan karakter, tidak dapat dilakukan tanpa
penanaman nilai-nilai (Azra, 2002:172). Terdapat Sembilan karakter yang berasal
dari nilai-nilai luhur universal, yaitu:
16 Ibid. hal 70
18
1) Cinta Tuhan segenap ciptaan-Nya.
2) Kemadirian dan tanggung jawab
3) Kejujuran/amanah, diplomatis
4) Hormat dan santun
5) Dermawan, suka tolong menolong dan gotong-royong/kerjasama
6) Percaya diri dan pekerja keras
7) Kepemimpinan dan keadilan
8) Baik dan rendah hati
9) Karakter toleransi, kedamaian dan kesatuan
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan
holistic dengan menggunakan metode knowing the good, feeling the good dan
acting the good. Knowing the good bias mudah diajarkan sebab pengetahuan
bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditrumbuhkan feeling
loving the good, yakni bagaiman merasakan dan mencintai kebajikan menjadi
engine yang bias membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan.
Dengan cara demikian akan tumbuh kesadaran bahwa orang mau melakukan
perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa
melakukan kebajikan maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Dengan demikian tujuan pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan
mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian
pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan
seimbang. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara
mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan
menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia
sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pada tingkat institusi, pendidikan
karakter mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang
melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian dan symbol-simbol yang
dipraktikan oleh semua warga sekolah dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya
sekolah merupakan cirri khas, karakter atau watak dan citra sekolah tersebut di
mata masyarakat luas.
2) Ciri dasar dan sasaran pendidikan karakter
19
Menurut Foerster, pencetus pendidikana karakter dan pedagog Jerman, ada
empat cirri dasar dalam pendidikan karkater, yaitu:
1) Keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai.
Nilai menjadi pedoman normative setiap tindakan.
2) Koherensi yang member keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip,
tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi
merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya
koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
3) Otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai
menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas
keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
4) Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna
mengingini apa yang dipandang baik dan kesetiaan meruapakan dasar bagi
penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia
melewati tahap individualitas menuju personalitas. “orang-orang modern sering
mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan
aku rohani, antara independensi eksterior dan imperior.” Karakter inilah yang
menentukan performa seseorang pribadi dalam segala tindakannya.17
Adapun sasaran pendidikan karakter adalah seluruh warga civitas
akademika yang terdapat pada setiap satuan pendidikan, baik negeri maupun
swasta. Semua warga sekolah yang meliputi peserta didik, guru, karyawan
administrasi dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah
yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik
dapat dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan
ke sekolah-sekolah lain. Melalui program ini diharapkan lulusannya memiliki
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus
memilik kepribadian yang baik seuai norma-norma dan buday-budaya Indonesia.
17 Ibid. Hal 129.
20
Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi
budaya sekolah.
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui
pencapaian indicator oleh peserta didik sebagiamana tercantum dalam Standar
Kompetensi Lulusan, yang natara lain meliputi sebagai berikut:18
1) Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan
remaja.
2) Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri.
3) Menunjukkan sikap percaya diri.
4) Mematuhi aturan-aturan social yang berlaku dalam lingkungan yang lebih
luas.
5) Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras dan golongan social
ekonomi dalam lingkup nasional.
6) Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-
sumber lain secara logis, kritis dan kreatif.
7) Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif.
8) Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang
dimilikinya.
9) Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
10) Mendeskripsikan gejala alam dan social.
11) Memanfatkan lingkungan secara bertanggung jawab.
12) Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam Negara kesatuan
Republik Indonesia.
13) Menghargai karya seni dan budaya nadional.
14) Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya.
15) Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar aman, dan memanfaatkan waktu luang
dengan baik.
16) Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun
18 Ibid. Hal 88.
21
17) Memahami hak dann kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di
masyarakat. Menghargai adanya perbedaan pendapat.
18) Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana.
19) Menunjukkna keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis
dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana.
20) Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan
menengah.
21) Memiliki jiwa kewirausahaan.
3) Pendekatan pendidikan karakter
Pendekatan pendidikan karakter menurut Superka, et. Al. (1976) yang
dirumuskan dalam tipologinya berdasarkan pada berbagai pendidikan karakter
yang berkembang dan digunakan dalam dunia pendidikan. Dalam kajian tersebut
dibahas delapan pendekatan pendidikan nilai berdasarkan kepada berbagai
literature dalam bidang psikologi, sosiologi, filsafat dan pendidikan yang
berhubungan dengan nilai. Selanjutnya, berdasarkan hasil pembahasan dengan
para pendidik dan alasan-alasan praktis dalam penggunaannya di lapangan,
berbagai pendekatan tersebut telah diringkas menjadi lima tipologi pendekatan
yaitu:19
1) Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach)
Pendekatan penanaman nilai adalah suatu pendekatan yang memberi
penekanan pada penanaman nilai-nilai social dalam diri siswa. Menurut
pendeketan ini, tujuan pendekatan nilai adalah diterimanya nilai-nilai social
tertentu oleh siswa dan berubahnya nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-
nilai social yang diinginkan. (Superka, et al. 1976). Menurut pendekatan ini
metode yang digunakan dalam proses pembelajaran antara lain keteladanan,
penguatan positif dan negative, simulasi, permainan peran dan lain-lain.
2) Pendekatan pengembangan moral kognitif (cognitive moral development
approach)
Dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya
memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya.
19 Ibid. Hal 106
22
Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-
maslaah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Menurut
pendekatan ini, perkembangan moral dilihat sebagai perkembangan tingkat
berfikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih
rendah menuju tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1998).
Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai oleh pendekatan ini. Pertama,
membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks
berdasrkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk
mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam
suatu masalah morla (Lihat Superka, et al. 1976; Banks, 1985).
3) Pendekatan analisis nilai (values clarification approach)
Pendekatan analisis nilai memberikan penekanan pada perkembangan
kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah
yang berhubungan dengan nilai-nilai social. Jika dibandingkan dengan
pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan analisis nilai lebih
menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai
social. Sementara itu, pendekatan perkembangan kognitif lebih berfokus pada
dilemma moral yang bersifat perseorangan.
Ada dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini. Pertama,
membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan
penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah social, yang
berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu siswa untuk
menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubungkan
dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metode-
metode pengajaran yang sering digunakan adalah pembelajaran secara
individu atau kelompok tentang masalah-masalah social yang memuat nilai
moral, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan dan diskusi kelas
berdasarkan kepada pemikiran rasioanal (Superka, et al. 1976).
4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach)
Pendekatan klarifikasi nilai member penekanan pada usaha membantu siswa
dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan
23
kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Menurut pendeketaan ini,
tujuan pendidikan akarakter ada tiga. Pertama, membantu siswa agar
menyadari dan mengidentifikasi nilai-nlai mereka sendiri serta nilai-nialai
orang lain. Kedua, membantu siswa agar mampu berkomunikasi secara
terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya
sendiri. Ketiga, membantu siswa agar mampu menggunakan secara bersama-
sma kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, mampu
memahami perasaan, nilai-nilai dan pola tingkah laku mereka sendiri
(Superka, et al. 1976). Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini
menggunakan metode dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau
kecil dan lain-lain (Raths, et. Al., 1978).
5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach)
Pendekatan pembelajaran berbuat menekankan pada usaha memberikan
kesempatankepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik
secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam satu kelompok.
Superka, et al. (1976) menyimpulkan ada dua tujuan utama pendidikan moral
berdasrkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada
siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun
secara bersama-sama berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri. Kedua,
mednorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan
makhluk social dalam pergaualan dengan sesame, yang tidak memiliki
kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat yang
harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi.
Metode-metode pembelajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai
dan klarifikasi bilai digunakan juga dalam pendekatan ini. Metode-metode
lain yang digunakan juga adalah proyek-proyek tertentu untuk dilakukan di
sekolah atau dalam masyarakat dan praktik keterampilan dalam berorganisasi
atau berhubungan antara sesame (Superka, et al. 1976)
4) Strategi pendidikan karakter
24
Dalam penerapan pendidikan karakter dapat dilakukan dengan berbagai strategi
pengintegrasian. Strategi yang dapat dilakukan adalah:20
a. Pengintegrasian dalam kegiatan sehari-hari
Pelaksanaan strategi ini dapat dilakukan melalui cara berikut:
1. Keteladanan/contoh
Kegiatan ini bias dilakukan oleh pengawa, kepala sekolah, staf
administrasi di sekolah yang dapat dijadikan model bagi peserta didik.
2. Kegiatan spontan
Yaitu kegiatan yang dilakukan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan
ini biasanya dilakukan pada saat guru mengetahui sikap/tingkah laku
peserta didik yang kurang baik, seperti meminta sesuatu dengan berteriak,
mencoret dinding.
3. Teguran
Guru perlu menegur peserta didik yang melakukan perilaku buruk dan
mengingatkannya agar mengamalkan nilai-nilai yang baik sehingga guru
dapat membantu mengubah tingkah laku mereka.
4. Pengkondisian lingkungan
Suasana sekolah dikondisikan sedemikian rupa dengan penyediaan sarana
fisik. Contoh: penyediaan tempat sampah, jam dinding dan lain
sebagainya.
5. Kegiatan rutin
Kegiatan ini merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara
terus-menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan berbaris masuk
ruang kelas, berdoa sebelum dan sesudah kegiatan.
b. Pengintegrasian dalam kegiatan yang diprogramkan
Strategi ini dilaksanakan setelah terlebih dahulu guru membuat perencanaan
atas nilai-nilai yang akan diintegrasikan dalam kegiatan tertentu. Hal ini
dilakukan jika guru menganggap perlu memberikan pemahaman atau prinsip-
prinsip moral yang diperlukan.
c. Kajian tentang prestasi belajar20 Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan karakter: menjawab tantangan krisis multidimensional. Jakarta: PT Bumi Aksara. Hal 175
25
1) Hakikat prestasi belajar
Prestasi belajar merupakan hal yang tidak pernah habis-habisnya
dibicarakan di dunia pendidikan. Karena prestasi belajar merupakan simbol dari
keberhasilan seorang siswa dalam studinya. Sehingga prestasi yang tinggi
merupakan dambaan setiap siswa, guru, juga orang tua.
Pengertian prestasi belajar menurut Darmadi (2009: 100) adalah sebagai berikut:21
Sebuah kecakapan atau keberhasilan yang diperoleh seseorang setelah melakukan sebuah kegiatan dan proses belajar sehingga dalam diri seseorang tersebut mengalami perubahan tingkah laku sesuai dengan kompetensi belajarnya.
Sedangkan menurut Nurkencana (dalam Ade Sanjaya, 2011) adalah sebagai berikut: Prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai atau diperoleh anak berupa nilai mata pelajaran. Ditambahkan bahwa prestasi belajar merupakan hasil yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar.
Lanawati (dalam Reni Akbar Hawadi, 2004: 168) berpendapat bahwa “prestasi belajar adalah hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa sesuai dengan tujuan instruksional yang menyangkut isi pelajaran dan perilaku yang diharapkan oleh siswa”.
Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah sesuatu yang merupakan hasil dari proses belajar yang mengakibatkan perubahan tingkah laku sesuai dengan kompetensi belajarnya
2) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
21 Prestasi Belajar. 2012. (Online) (http://elnicovengeance.wordpress.com/2012/09/30/prestasi-belajar/. Diakses tgl 13 Desember 2012, 19:50)
26
Menurut Djaali (dalam Muhammad Baitul Alim, 2009) prestasi belajar seorang siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1) Faktor Intrinsik (faktor dari dalam diri) a) Kesehatan
Apabila kesehatan anak terganggu dengan sering sakit kepala, pilek, deman dan lain-lain, maka hal ini dapat membuat anak tidak bergairah untuk mau belajar. Secara psikologi, gangguan pikiran dan perasaan kecewa karena konflik juga dapat mempengaruhi proses belajar.
b) IntelegensiFaktor intelegensi dan bakat besar sekali pengaruhnya terhadap kemampuan belajar anak. MenurutGardner dalam teori Multiple Intellegence, intelegensi memiliki tujuh dimensi yang semiotonom, yaitu linguistik, musik, matematik logis, visual spesial, kinestetik fisik, sosial interpersonal dan intrapersonal.
c) Minat dan motivasiMinat yang besar terhadap sesuatu terutama dalam belajar akan mengakibatkan proses belajar lebih mudah dilakukan. Motivasi merupakan dorongan agar anak mau melakukan sesuatu. Motivasi bisa berasal dari dalam diri anak ataupun dari luar lingkungan
d) Cara belajarPerlu untuk diperhatikan bagaimana teknik belajar, bagaimana bentuk catatan buku, pengaturan waktu belajar, tempat serta fasilitas belajar.
2) Faktor Eksternal (faktor dari lingkungan)a) Keluarga
27
Situasi keluarga sangat berpengaruh pada keberhasilan anak. Pendidikan orangtua, status ekonomi, rumah, hubungan dengan orangtua dan saudara, bimbingan orangtua, dukungan orangtua, sangat mempengaruhi prestasi belajar anak.
b) SekolahTempat, gedung sekolah, kualitas guru, perangkat kelas, relasi teman sekolah, rasio jumlah murid per kelas, juga mempengaruhi anak dalam proses belajar.
c) MasyarakatApabila masyarakat sekitar adalah masyarakat yang berpendidikan dan moral yang baik, terutama anak-anak mereka. Hal ini dapat sebagai pemicu anak untuk lebih giat belajar.
d) Lingkungan sekitarBangunan rumah, suasana sekitar, keadaan lalu lintas dan iklim juga dapat mempengaruhi pencapaian tujuan belajar.Berdasarkan faktor-faktor tersebut, jelas bahwa tinggi atau
rendahnya prestasi belajar siswa tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas pembelajaran di sekolah saja. Ada faktor dari dalam diri siswa ataupun dari lingkungan siswa. Maka dari itu untuk dapat meningkatkan prestasi siswa, diharapkan ada keinginan dari dalam diri siswa dan juga dukungan ataupun motivasi dari keluarga dan lingkungan disekitarnya.
2. Penelitian terdahulu
Untuk menambah referensi dan sebagai rujukan, penulis mengungkapkan
beberapa penelitian terdahulu yang pertama ditulis oleh Sarah yang berjudul
Pembelajaran Tematik Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam Mata Pelajaran
IPS dengan Tema Permainan di Kelas III Sekolah Dasar, bahwa dengan menerapkan
pembelajaran tematik pada proses pembelajaran IPS di kelas III SDN Karyabakti
Kecamatan Haurwangi Kabupaten Cianjur mampu meningkatkan hasil belajar siswa.
28
Disini ada perbedaan dan persamaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian
yang akan peneliti lakukan, persamaannya antara lain adalah model pembelajaran yang
digunakan sama-sama menggunakan model pembelajaran tematik untuk meningkatkan
hasil/prestasi belajar, sedangkan perbedaannya adalah kalau penelitian terdahulu itu
menggunakan pembelajaran tematik untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata
pelajaran IPS, sedang penelitian sekarang itu menggunakan pembelajaran tematik
berbasis karakter dalam meningkatkan keberhasilan akademik.
Sedangkan penelitian yang kedua dilakukakn oleh Neneng Yani yang berjudul
Penerapan Pendekatan Contextual Teaching Learning dalam Pembelajaran Tematik
untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Pembelajaran IPA di Kelas 2 SD Negeri
Soka 34/4 Kota Bandung, bahwa dengan menerapkan pendekatan CTL dalam
pembelajaran tematik pada proses pembelajaran IPA di kelas 2 SD Negeri Soka 34/4
Kota Bandung terbukti efektif dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Disini ada perbedaan dan persamaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian
yang akan peneliti lakukan, persamaannya antara lain adalah model pembelajaran yang
digunakan sama-sama menggunakan model pembelajaran tematik untuk meningkatkan
hasil/prestasi belajar, sedangkan perbedaannya adalah kalau penelitian terdahulu itu
menggunakan pendekatan Contextual Teaching Learning (CTL) dalam pembelajaran
tematik untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPA, sedang
penelitian sekarang itu menerapkan pembelajaran tematik berbasis karakter dalam
meningkatkan keberhasilan akademik.
3. Kerangka teoritik
29
Kondisi Awal
Tindakan
Kondisi Akhir
1. Tingginya angka mengulang kelas2. Karakter bangsa yang mulai hilang3. Efek pembelajaran yang kurang dirasakan
siswa
Pembelajaran tematik berbasis karakter
1. Prestasi akademik meningkat2. Angka mengulang kelas menurun3. Kognitif 4. Afektif5. Psikomotorik
F. Metode Penelitian
1. Lokasi penelitian
Adapun lokasi yang dijadikan subyek penelitian ini adalah MI MIftahul Huda
Ngasem Ngajum Malang. Penerapan pembelajaran tematik berbasis karakter
dilaksanakan pada kelas III semester genap tahun ajaran 2012-2013, dengan alasan
berdasarkan survei keberhasilan akademik atau prestasi siswa dari proses pembelajaran
konvensional yang dilakukan selama ini menunjukkan kurang baik, maka dari itu peneliti
melakukan penelitian MI Miftahul Huda Ngasem Ngajum Malang.
2. Jenis penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah ditetapkan,maka
jenis dari penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian penjelasan atau
eksplanatory. Singarimbun menyatakan bahwa “Penelitian eksplanatory adalah
penelitian yang menjelaskan hubungan kausal antara variable-variabel penelitian dan
melalui pengujian hipotesa”.
Dalam penelitian jenis ini yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah
akan diuji untuk mengetahui adanya pengaruh antara variabel-variabel dalam
penelitian yaitu mengenai implementasi pembelajaran tematik berbasis karakter
berpengaruh terhadap keberhasilan akademik siswa MI Miftahul Huda Ngasem Ngajum
Malang.
3. Populasi dan sampel
a. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan dari subyek penelitian. Populasi dapat berupa
manusia, benda, gejala-gejala, pola hidup, tingkah laku, dan sebagainya. Ada dua
macam populasi dalam penelitian yaitu, populasi terhingga yang terdiri dari elemen
dengan jumlah tertentu dan populasi tak terhingga yang terdiri dari elemen yang
sukar dicari batasannya. Dalam penelitian ini peneliti menentukan populasi yaitu
siswa MI Miftahul Huda Ngasem Ngajum Malang kelas III.
30
b. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada
pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti
dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari
sampel itu, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel
yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili). Dalam
penelitian ini peneliti menentukan sampel dari penelitian yaitu siswa kelas III A MI
Miftahul Huda Ngasem Ngajum Malang.
4. Instrument penelitian
Hal yang terpenting dalam penelitian adalah menentukan instrumen yang
digunakan untuk mengukur variabel. Dalam penelitian ini terdiri dari tiga variabel
yaitu pembelajaran tematik berbasis karakter sebagai variabel bebas, sedangkan
keberhasilan akademik atau prestasi siswa sebagai variabel terikat.
5. Validitas dan reliabilitas
Hasil dari sebuah penelitian akan sangat tergantung pada kualitas data yang
dipakai dalam pengujian tersebut. Data penelitian yang didalam proses
pengumpulanya seringkali menuntut pembiayaan, waktu dan tenaga yang besar tidak
akan berguna apabila alat pengukur yang digunakan untuk mengumpulkan data tersebut
tidak memiliki validitas dan reliabilitas.
a. Validitas instrument
Instrument yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data
(pengukuran) itu valid atau shahih. Valid disini berarti instrument tersebut dapat
digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Seperti meteran yang valid
dapat digunakan untuk mengukur panjang dengan teliti, karena memang meteran
digunakan untuk mengukur panjang. Meteran tersebut menjadi tidak valid jika
digunakan untuk mengukur berat.22
b. Reliabilitas instrument
22 Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: CV Alfabeta. Hal 121
31
Instrument yang reliable adalah instrument yang bila digunakan beberapa kali untuk
mengukur objek yang sama, akan menghasilkan data yang sama. Alat ukur panjang
dari karet adalah contoh instrument yang tidak reliable/konsisten.23
6. Teknik pengumpulan data
Untuk menentukan data yang yang diperlukan maka dibutuhkan adanya teknik
pengumpulan data agar bukti-bukti dan fakta-fakta yang diperoleh berfungsi sebagai
data obyektif dan tidak terjadi penyimpangan dari keadaan yang sebenarnya. Untuk
menggali data dari sumber yang telah ditentukan, maka diperlukan alat kerja untuk
mengumpulkan data yang disebut dengan teknik atau metode pengumpulan data. Adapun
metode-metode yang diperlukan tersebut di antaranya adalah:
a. Kuesioner (angket)
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi
seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya.
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan
pasti variable yang akan diukur dan tahu apa yang bias diharapkan dari responden.24
b. Observasi
Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila
dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara dan kuesioner. Kalau
wawancara dan kuesioner selalu berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak
terbatas pada orang, tetapi juga objek-objek alam yang lain.25
7. Analisis data
Dari hasil penelitian maka diperolehlah data, dari data yang diperoleh tersebut
maka dilakukan analisis untuk memastikan bahwa dengan penerapan pembelajaran
tematik berbasis karakter dapat meningkatkan keberhasilan akademik atau prestasi siswa
MI Miftahul Huda Ngasem Ngajum Malang.
Data yang diperoleh peneliti dari penelitian tersebut merupakan data yang
bersifat kuantitatif, sehingaa dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif
kuantitatif. Sajian tersebut untuk menggambarkan bahwa dengan tindakan yang
23 Ibid. hal 12124 Ibid. Hal 142 25 Ibid. Hal 145
32
dilakukan dapat menimbulkan adanya perbaikan, peningkatan, atau perubahan ke arah
yang lebih baik.
G. Daftar Pustaka
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: CV Alfabeta.
Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Trianto. 2010. Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik bagi Anak Usia Dini TK/RA &
Anak Usia Kelas Awal SD/MI. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
SB, Mamat. 2005. Pedoman Pelaksanaan Pembelajaran Tematik. Jakarta: Departemen
Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Tim Pakar Yayasan Jati Diri Bangsa. 2011. Pendidikan Karakter di Sekolah: dari Gagasan
ke Tindakan. Jakarta: PT Media Elex Komputindo.
Ihsan, Fuad. 2010. Dasar-Dasar Kependidikan: Komponen MKDK. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Muhnadi, Yudhi.2010. Media Pembelajaran (Sebuah Pendekatan Baru). Jakarta: Gaung
Persada Press.
H. Lampiran (halaman selanjutnya)
33