Post on 19-Feb-2016
description
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
Nama Mahasiswa : Rifqa wildaini Dokter Pembimbing :dr.Herr S.Sp.A
NIM : 030.07.218 Tanda tangan :
I. IDENTITAS PASIEN
DATA PASIEN AYAH IBU
Nama By. Ny. S Tn. F Ny. S
Umur 4 hari 30 tahun 26 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan
Alamat Dumeling rt/rw 03/04, Wanasari
Agama Islam Islam Islam
Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan - D3 SMA
Pekerjaan - wiraswasta Ibu Rumah Tangga
Penghasilan - Rp 2.500.000 -
Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
Asuransi BPJS Non PBI
No. RM 802.901
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung pasien
pada hari Rabu, 31 oktober 015, pukul 14.00 WIB, di Ruang Dahlia RSUD
Kardinah.
a. Keluhan Utama1
Sesak nafas
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien seorang bayi laki-laki rujukan dari rumah sakit mitra keluarga
datang pada tanggal 28 oktober 2015 ke rs kardinah, os lahir pada tanggal 27
oktober 2015 pukul 18.00 secara sectio secaria di RS mitra keluarga, dari ibu
G2P1A0 hamil 38 minggu, keadaan bayi saat lahir yaitu menangis kuat, air
ketuban keruh dan skor APGAR 7-8-9, dengan berat lahir 2500 gram, panjang
badan 48 cm, lingkar kepala 31.5 cm dan lingkar dada 32 cm. Namun 2 jam
setelah kelahiran, bayis sesak, merintih dan ditemukan adanya napas cuping
hidung serta retraksi pada dada dan menangis kurang kuat.
Selama kehamilan ibu melakukan kontrol rutin ke bidan tiap bulan, hingga
mencapai usia kehamilan 36, Satu hari sebelum masuk rumah sakit, tanggal 26
oktober 2015 ibu pasien mulai terasa mulas-mulas sekitar pukul 23.00 WIB dan
tanggal 27pasien dibawa ke RS Mitra keluarga. Di RS Mitraara keluargaibu
pasien diobservasi selama 1x24 jam, Ibu pasien mengaku ketuban belum pecah,
dan pada tanggal 27 september 2015 pukul 17.30.00 dilakukan SC atas indikasi
riwayat SC ,bayi lahir bugar.
Menurut ibu pasien awalnya bayi sempat melakukan inisiasi menyusui dini
namun 2 jam kemudian, bayi merintih dan ditemukan adanya napas cuping
hidung, sehingga inisiasi menyusui dini tidak dilanjutkan. Lalu pada tanggal 28
oktober bayi di rujuk ke rs kardinah selama perjalanan menurut ayah pasien
mengaku tidak ada henti nafas. Sesampainya di PONEK IGD RSU Kardinah
pada tanggal 28 oktober 2015 pukul 18.00 WIB. Pasien diperiksa .Kemudian bayi
dilaporkan kepada dokter spesialis anak, dan setuju untuk dilakukan perawatan di
Ruang Perinatologi Dahlia RSUD Kardinah dan mendapat terapi sesuai dengan
dokter spesialis anak
Kemudian observasi pasien tampak sesak, nafas cuping hidung,merintih,
dan terdapat retraksi dada, dan gerak kurang aktif. Kemudian pasien dirawat
dalam inkubator dan dipindahkan ke ruang dahlia, diberikan oksigen sungkup 2
liter/menit dan.
Selama perawatan di Dahlia bayi dipasang cpap vent O2 nasal dan
observasi selama satu jam.setelah satu jam observasi, bayi masih merintih, masih
2
ditemukan napas cuping hidung dan retraksi dada. Kemudian bayi langsung
dilaporkan lagi kepada dokter spesialis anak dan dilakukan intubasi dan memakai
vent sim v. Dalam 24 jam pasien dapat buang air kecil dan buang air besar.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pasien riwayat penyakit dahulu belum dapat dievaluasi.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien mengaku bahwa anak pertama lahir satu tahun yang lalu, dengan
usia kehamilan cukup bulan, saat lahir, bayi tidak mengis + kejang. Dan
meninggal saat usia 2 hari.
e. Riwayat Lingkungan Perumahan
Kepemilikan rumah pribadi. Rumah pasien berukuran 7x10 meter terletak
di daerah padat penduduk, jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya
berdekatan. Tempat tinggal pasien memiliki 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, 1
ruang tamu, 1 dapur. Rumah pasien memiliki 2 jendela yang terletak di ruang
tamu dan kamar tidur. Sehari-hari jendela tersebut dibuka sehingga rumah
mendapatkan sirkulasi udara. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah,
lampu tidak dinyalakan pada siang hari. Air berasal dari sumur, limbah rumah
tangga dialirkan ke selokan rumah.
Kesan: Keadaan lingkungan rumah padat dan sanitasi cukup baik, ventilasi
dan pencahayaan cukup baik.
f. Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien adalah seorang wiraswasta, dengan penghasilan perbulan rata-
rata kurang lebih Rp.2.500.000,- per bulan. Ibu pasien adalah seorang ibu rumah
tangga yang tidak mempunyai pemasukan. Ayah menanggung nafkah 1 orang
istri dan 1 orang anak. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS non PBI.
Kesan: Riwayat sosial ekonomi baik.
3
g. Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Prenatal
Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilan ke dokter. Selama hamil, kondisi
ibu baik. Mendapat imunisasi TT 2x selama kehamilan. Riwayat demam,
perdarahan, darah tinggi, riwayat minum obat tanpa resep disangkal, dan tidak
pernah mengkonsumsi obat-obatan dan jamu selama kehamilan, tidak merokok
dan tidak mengkonsumsi alkohol.
Oleh dokter SpOG, dikarenakan besar kandungan ibu yang kurang untuk
usia kehamilannya dianjurkan untuk perbanyak makan es krim dan alpukat. Dari
hasil USG didapatkan bahwa janin baik tetapi berat janin kurang untuk usia
kehamilannya.
Kemudian ibu pun memperbanyak konsumsi es krim dan alpukat, hingga
besar kandungannya sesuai dengan usia kehamilannya.
Selama hamil, ibu makan 3x sehari berupa nasi, lauk pauk dan sayuran. Ibu
pasien sering mengkonsumsi es krim dan alpukat. Sejak awal kehamilan sampai
usia 36 minggu, berat badan ibu mengalami peningkatan sebanyak 11 kg (dari 55
menjadi 66 kg, tinggi badan 154 cm).
Kesan: Riwayat pemeliharaan antenatal baik, kualitas dan kuantitas nutrisi
selama kehamilan baik.
h. Riwayat Persalinan
Tempat kelahiran : Ruang OK RS Mitra Keluarga
Penolong persalinan : Dokter
Cara persalinan : Sectio secaria
Masa gestasi : 38minggu G2P1A0
Air ketuban : keruh
Berat badan lahir : 2500 gram
Panjang badan lahir : 48 cm
Lingkar kepala : 31.5 cm
Lingkar dada : 32 cm
Langsung menangis : Ya
Nilai APGAR : 7-8-9
Plasenta : Lengkap, tidak ada kelainan
4
Kelainan bawaan : Tidak ada
Kesan: Neonatus aterm, lahir sectio secaria, berat badan lahir cukup dan
bayi bugar.
i. Riwayat Pemeliharaan Postnatal
Riwayat pemeliharaan postnatal belum dapat dievaluasi
j. Corak Reproduksi Ibu
Ibu P2A0, anak pertama laki laki meninggal saat berusia berusia 2 hari, dan
anak kedua (pasien) berusia 4hari.
.
k. Riwayat Keluarga Berencana
Belum menggunakan KB.
l. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Pertumbuhan
o Berat badan lahir 2500 gr, panjang badan lahir 48cm, lingkar kepala
31,5 cm lingkar dada 32cm.
Perkembangan
o Riwayat perkembangan belum dapat dievaluasi.
m. Riwayat Makan dan Minum Anak
Riwayat makan dan minum belum dapat dievaluasi.
n. Riwayat Imunisasi
VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)
BCG - - - - - -
DPT - - - - - -
POLIO - - - - - -
CAMPAK - - - - - -
5
HEPATITIS B - - - - -
Kesan: imunisasi dasar belum lengkap
q. Silsilah Keluarga
Keterangan: = Laki-laki = Perempuan = Pasien
= meninggal
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari sabtu, tanggal 31 oktober 2015, pukul
14.30 WIB, di Ruang Dahlia.
a. Kesan Umum
Menangis : cukup kuat Pucat : (-)
Gerak : cukup aktif Sianosis : (-)
Kejang : (-) Retraksi : (+)
Ikterik : (+) kramer 3 Sesak : (+)
b. Tanda Vital
Tekanan darah : tidak dilakukan
Nadi : 124x/menit, reguler, isi dan ketegangan cukup
Laju nafas : 52x/menit, tidak teratur
Suhu : 36,40 C (aksila)
SpO2 : 99%
c. Data Antropometri6
Berat badan sekarang : 2250 gr
Panjang badan sekarang : 48 cm
d. Status Internus
Kepala : mesosefali, lingkar kepala 31.5 cm
UUB teraba datar, tegang (-), molase (-)
kaput suksadenum (-), sefal hematom (-)
Rambut: Hitam, lebat, tampak terdistribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-),
mata cekung (-/-), lakrimasi (-/-).
Hidung: Bentuk normal, deformitas (-), napas cuping hidung (-)
sekret (-), darah (-)
Telinga: Bentuk dan ukuran normal, recoil (segera/segera)
Mulut : Kering (-), sianosis (-), stomatitis (-), lidah normoglossia
labioschizis (-), palatoschizis (-)
Leher : pendek, pergerakan lemah, tumor (-), tanda trauma (-)
Thorax
Pulmo:
o Inspeksi : bentuk dada simetris kanan dan kiri
kulit kuning kemerahan, tidak ada efloresensi
bermakna, sternum dan iga normal
retraksi subcostal (+)
o Palpasi : simetris, tidak ada hemithoraks yang tertinggal
: areola berbintil, benjolan 1-2 mm
o Perkusi : pemeriksaan tidak dilakukan
o Auskultasi : SN vesikuler di kedua lapang paru
: ronki -/-, wheezing -/-
Cor:
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV midklavikula sinistra.
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen:
7
Inspeksi : datar, tali pusat terawat
: venektasi (-), warna kulit agak merah muda
pucat (-), ikterik (+)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Supel
Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Vertebra : spina bifida (-), meningocele (-)
Urogenital : Laki-laki, testis belum turun sempurna
Anorektal : anus (+), diaper rash (-)
Ekstremitas : keempat ekstremitas lengkap, simetris, sklerema (-)
Superior Inferior
Akral Hangat +/+ +/+
Akral Sianosis - / - - / -
Akral Ikterik -/ - - / -
CRT <2” <2”
Oedem - / - - / -
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Refleks primitif
a) Refleks oral
Refleks hisap : (+)
Refleks rooting : (+)
b) Refleks moro : tidak dilakukan
c) Refleks palmar grasp : (+)
d) Refleks plantar grasp : (+)
IV. PEMERIKSAAN KHUSUS
1. Maturitas Bayi (Lubchenko)
Berat Lahir : 2500 gram
Usia Kehamilan : 48 minggu
8
Kesan : neonatus lebih bulan, sesuai untuk masa kehamilan
2. Ballard Score
9
Ballard Score = maturitas neuromuskular + maturitas fisik
= 20 + 16 = 36 38 minggu
3. APGAR Score
0 1 2
ApperanceSeluruh tubuh
biru/pucat
Tubuh
kemerahan,
ekstremitas biru
Seluruh tubuh
kemerahan
Pulse Tidak ada <100x/menit >100x/menit
Grimmace Tidak bereaksi Gerakan sedikit Reaksi melawan
Activity LumpuhEkstremitas fleksi
sedikitGerakan aktif
Respiratory Tidak ada Lambat Menangis
APGAR score: menit pertama 1 – 2 – 1 – 2 – 2 = 7
: menit kelima 1 – 2 – 1 – 2 – 2 = 8
: menit kesepuluh 2 – 2 – 1 – 2 – 2 = 9
Tidak ada asfiksia
10
4. Downe Score
0 1 2
Frekuensi Napas < 60 x/menit 60-80 x/menit > 80 x/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak sianosisSianosis hilang
dengan O2
Sianosis menetap
walaupun diberi
O2
Air Entry Udara masuk
Penurunan
ringan udara
masuk
Tidak ada udara
masuk
Merintih Tidak merintih
Dapat didengar
dengan
stethoscope
Dapat didengar
tanpa alat bantu
Downe Score 5 distress pernapasan sedang
5. Bell Squash Score
Partus tindakan (SC, vakum, sungsang)
Ketuban tidak normal
Kelainan bawaan
Asfiksia
Preterm
BBLR
Infus tali pusat
Riwayat penyakit ibu
Riwayat penyakit kehamilan
Bell Squash Score 2 resiko neonatal infeksi
11
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah 28 oktober 2015 jam 00.56 WIB (RS Mitra)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 18.6 g/dl 15.3 – 23.6
Leukosit 14.2 103/ul 9.400-34000
Hematokrit 55 % 44-72
Trombosit 275 10^3/uL 150 – 450
Eritrosit 5.31 106/ul 4.30 – 6.30
MCV 103 U 98-122
MCH 35 Pcg 33-41
MCHC 34 g/dl 26-34
Natrium 131 Mmol/l 132-147
Kalium 5.08 Mmol/l 3.60-6.10
Chlorida 99 Mmol/l 95-116
GDS 84 Mg/dl 70-140
Laboratorium Darah 29 oktober 2015 jam 11.05 WIB (Dahlia)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 17.5 g/dl 12.7 – 18.7
Leukosit 18.5 103/ul 5.0 – 20.0
Hematokrit 47.5 % 47 – 75
Trombosit 252 10^3/uL 217 – 497
Eritrosit 16.0 106/ul 3.7 – 6.1
RDW 18.0 % 11.5 – 14.5
MCV 91.2 U 84 – 128
MCH 33.6 Pcg 26 – 38
MCHC 36.8 g/dl 26 – 34
Laboratorium Darah 30 0ktober 2015 jam 17.20 WIB (Dahlia)
Bilirubin total 12.03 mg/dl 3.4 – 11.5
Bilirubin direk 2.98 mg/dl 0 – 0.25
12
Laboratorium Darah 01 november 2015 (dahlia)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Bilirubin total 10.99 mg/dl 1.5-12
Bilirubin indirek 2.98 mg/dl 0-0.25
Pemeriksaan X foto baby gram (27 oktober 2015)
Cor : ctr 47%bentuk dan letak jantung masih dalam batas normal
Pulmo: corakan bronko vaskular menigkat, tampak bercak kesuraman pada perihilier dan
parakardial kanan kiri.tak tampak airbronkogram
Abdomen : distribusi udara usus masih baik. Tak tampak dilatasi maupun distensi.
Kesan : Cor normal
Pulmo : Pneumonia neonatal
Abdomen tak tampak kelainan
13
VI. DAFTAR MASALAH
Daftar masalah pada kasus ini berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Dari hasil anamnesis didapatkan bayi lahir usia kehamilan 38 minggu dan selama masa
kehamilan, kandungan ibu dikatakan kecil untuk kehamilannya. Bayi lahir bugar dengan
APGAR skor 7-8-9 dan melakukan inisiasi menyusui dini. Kemudian 2 jam setelah lahir
bayi merintih dan terlihat sesak, kemudian bayi diberi oksigen sungkup 2 liter/menit dan
di observasi.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan bayi merintih, pernapasan yang cepat dan napas
cuping hidung disertai retraksi dinding dada menunjukkan bahwa adanya gangguan
pernafasan. Menurut Ballard Score usia gestasi 38 minggu yang menunjukan bayi lahir
aterm.
Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan dari kadar bilirubin total dan
bilirubin direk yang menunjukan adanya hiperbilirubinemia.
VII. DIAGNOSA BANDING
Distress pernapasan Neonatus aterm Hiperbilirubinemia Observasi
neonatal infeksi
Faktor intrapulmoner
Faktor ekstrapulmoner
Faktor metabolik
Bayi sesuai untuk
masa kehamilan
Bayi kecil untuk
masa kehamilan
Bayi besar untuk
masa kehamilan
Fisiologis
Non fisiologis
Infeksi post-natal
Infeksi durante natal
Infeksi ante-natal
VIII. DIAGNOSIS KERJA
a) Neonatus aterm
b) Bayi berat lahir cukup – sesuai masa kehamilan
c) Distress pernapasan
d) hiperbilubinemia
e) Obs neonatal infeksi
14
IX. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
IVFD D5 ¼ NS 12 tpm
Inj pycin 2x150 mg
Inj gentamisin 2x7 mg
Inj aminopilin 2x3 mg
Inj ca glukonas 1x0,6 cc%
Sibital 50 mg (jika kejang)
O2 CPAP PEEP 6 cmH2O / FiO2 40%
b. Nonmedikamentosa
Rawat intensif, monitor tanda vital
Oksigenasi menggunakan CPAP nasal
Pasang OGT
Diet tunda → bila stabil ASI 8 x 5-10cc
Fototerapi 1x24 jam
Edukasi keluarga pasien mengenai penyakit, terapi dan komplikasinya
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
XI. SARAN PEMERIKSAAN
- Darah lengkap
- SGOT / SGPT
- Test golongan darah dan rhesus ibu
- AGD
15
XII. PERJALANAN PENYAKIT
28 oktober 2015Hari perawatan ke-0
Saat di UGD02.05
29 oktober 2015Hari perawatan ke-1
Saat di dalia06.00
30 oktober 2015Hari perawatan ke-2
Saat di dalia06.00
S PB dari RS dengan distress pernafasan, Demam (-)Kejang (-) Sesak (+)BAB (+)BAK (+)Pucat (-)Sianosis (-)Ikterik (-)Merintih (+)ASI (-)Refleks hisap (+)
Demam (-)Kejang (-) Sesak (+)BAB (+)BAK (+)Pucat (-)Sianosis (-)Ikterik (-)Merintih (+)ASI (+)Refleks hisap (+)
Demam (+), Kejang (-) Sesak (-) BAB (+)BAK (+)Pucat (-), Sianosis (-)Ikterik (+)Merintih (-), ASI (+)Refleks hisap (+)
O KU:Menangis kurang kuat(merintih) gerak kurang aktif, retraksi (+) , subcostal, nafas cuping hidung (+)N: 155x/mP : 75x/mS : 36.4oCSpO2 : 88%BB 2500 gr Kepala: Mesosefali, UUB datar, tegang(-), molase(-)Mata: CA (-/-), SI (-/-)Toraks:SN vesikuler, Rh-/-,Wh-/-S1-S2 reg, M(-), G(-) Retraksi (+) sedangAbdomen: Supel, BU (+) Ekstremitas: dbn
KU: Menangis kurang kuat/gerak kurang aktif, retraksi (+) subcostalN: 132x/mP : 70x/mS : 36.3oCBB 2350 gr Kepala: Mesosefali, UUB datar, tegang(-), molase(-)Mata: CA (-/-), SI (-/-)Toraks: SN vesikuler, Rh-/-,Wh-/-S1-S2 reg, M(-), G(-) Retraksi (+) sedangAbdomen: Supel, BU (+) Ekstremitas: dbnKebutuhan cairan: 2.3 x 90 = 207 cc/hari
KU: Menangis kuat/gerak aktif, retraksi (+) subcostalN 140x/mRR 48x/mS 37.9oCBB 2240 gr Kepala:Mesosefali, UUB datar, tegang(-), molase(-)Mata: CA (-/-), SI (-/-)Toraks: SN vesikuler, Rh-/-,Wh-/-S1-S2 reg, M(-), G(-) Retraksi (+)ringanAbdomen: Supel, BU (+) Ekstremitas: dbnKebutuhan cairan : 2.2x100 =220cc/hari
A Neonatal aterm Neonatal aterm Neonatal aterm
16
Distress pernafasanObs. neonatal infection
Distress pernafasanObs. neonatal infection
Distress pernafasanObs. neonatal infection
P Langkah awalO2 CPAP nasal vent / PEEP 6 / fiO240 %IVFD D5 ¼ NS 12 tpm
Inj pycin 2x150 mg
Inj gentamisin 2x7 mg
Inj aminopilin 2x3 mg
Inj ca glukonas 1x0,6 cc%
Sibital 50 mg (jika kejang)
O2 ventilator mode simv PEEP6/PIP12/FIO2 30%IVFD D5 ¼ NS 12 tpm
Inj pycin 2x150 mg
Inj gentamisin 2x7 mg
Inj aminopilin 2x3 mg
Inj ca glukonas 1x0,6 cc%
Sibital 50 mg (jika kejang
O2 CPAP nasal vent / PEEP 6/ FIO2 30% IVFD D5 ¼ NS 12 tpmInj pycin 2x150 mg
Inj gentamisin 2x7 mg
Inj aminopilin 2x3 mg
Inj ca glukonas 1x0,6 cc%
Pct infus 25 mg
Sibital 50 mg (jika kejang) Diet dicoba ASI : 8x5-10cc (sonde)
31 oktober 2015Hari perawatan ke-4
Saat di dahlia06.00
01november 2015Hari perawatan ke-5
Saat di dahlia06.00
02 november 2015Hari perawatan ke-6
Saat di dalia06.00
S Demam (-)Kejang (-) Sesak (-)BAB (+)BAK (+)Pucat (-)Sianosis (-)Ikterik (+)Merintih (-)ASI (+)Refleks hisap (+)
Demam (-)Kejang (-) Sesak (+)BAB (+)BAK (+)Pucat (-)Sianosis (-)Ikterik (+)Merintih (-)ASI (+)Refleks hisap (+)
Demam (+), Kejang (-) Sesak (-) BAB (+)BAK (+)Pucat (-), Sianosis (-)Ikterik (+)Merintih (-), ASI (+)Refleks hisap (+)
O KU:Menangis kuat, gerak k aktif, retraksi (-) , subcostal.
KU: Menangis kuat/gerak aktif, retraksi (-) subcostal
KU: Menangis kuat/gerak aktif, retraksi (-) subcostal
17
N: 142x/mP : 44x/mS : 36.9oCBB 2250 gr Kepala: Mesosefali, UUB datar, tegang(-), molase(-)Mata: CA (-/-), SI (-/-)Toraks:SN vesikuler, Rh-/-,Wh-/-S1-S2 reg, M(-), G(-) Retraksi (+) sedangAbdomen: Supel, BU (+) Ekstremitas: dbnKebutuhan cairan2.2x110= 242 cc/hari
N: 124x/mP : 44x/mS : 36.4oCBB 2210 gr Kepala: Mesosefali, UUB datar, tegang(-), molase(-)Mata: CA (-/-), SI (+/+)Toraks: SN vesikuler, Rh-/-,Wh-/-S1-S2 reg, M(-), G(-) Retraksi (+) sedangAbdomen: Supel, BU (+) Ekstremitas: dbnKebutuhan cairan: 2.2 x 120 = 264 cc/hari
N 140x/mRR 48x/mS 37.9oCBB 2240 gr Kepala:Mesosefali, UUB datar, tegang(-), molase(-)Mata: CA (-/-), SI (+/+)Toraks: SN vesikuler, Rh-/-,Wh-/-S1-S2 reg, M(-), G(-) Retraksi (+)ringanAbdomen: Supel, BU (+) Ekstremitas: dbnKebutuhan cairan : 2.2x130 =286cc/hari
A Neonatal atermDistress pernafasanhiperbilirubinemiaObs. neonatal infection
Neonatal atermDistress pernafasanHiperbilirubinemiaObs. Neonatal infection
Neonatal atermDistress pernafasanHiperbilirubinemiaObs. Neonatal infection
P O2 CPAP nasal / PEEP 6 / fiO2 30 %IVFD D5 ¼ NS 12 tpm
Inj pycin 2x150 mg
Inj gentamisin 2x7 mg
Inj aminopilin 2x3 mg
Inj ca glukonas 1x0,6 cc%
Pct 25 mg infus
Diet asi 8x10-20cc(sonde)
Fototerapi 24 jam
O2 ventilator mode simv PEEP6/ FIO2 30%
Terapi lanjutDiet asi 8x30cc(sonde)
O2 CPAP nasal vent / PEEP 6/ FIO2 25%
Terapi lanjutDiet asi 8x30cc(sonde)
18
03 november 2015Hari perawatan ke-6
Saat di dahlia06.00
04november 2015Hari perawatan ke-7
Saat di dahlia06.00
05 november 2015Hari perawatan ke-8
Saat di dalia06.00
S Demam (-)Kejang (-) Sesak (-)BAB (+)BAK (+)Pucat (-)Sianosis (-)Ikterik (-)Merintih (-)ASI (+)Refleks hisap (+)
Demam (-)Kejang (-) Sesak (+)BAB (+)BAK (+)Pucat (-)Sianosis (-)Ikterik (+)Merintih (-)ASI (+)Refleks hisap (+)
Demam (-), Kejang (-) Sesak (-) BAB (+)BAK (+)Pucat (-), Sianosis (-)Ikterik (+)Merintih (-), ASI (+)Refleks hisap (+)
O KU:Menangis kuat, gerak k aktif, retraksi (+) , subcostal.N: 142x/mP : 44x/mS : 36.9oCBB 2225gr Kepala: Mesosefali, UUB datar, tegang(-), molase(-)Mata: CA (-/-), SI (+/+)Toraks:SN vesikuler, Rh-/-,Wh-/-S1-S2 reg, M(-), G(-) Retraksi (+) sedangAbdomen: Supel, BU (+) Ekstremitas: dbnKebutuhan cairan2.2x140= 308 cc/hari
KU: Menangis kuat/gerak aktif, retraksi (+) subcostalN: 128x/mP : 42x/mS : 36.7oCBB 2200 gr Kepala: Mesosefali, UUB datar, tegang(-), molase(-)Mata: CA (-/-), SI (+/+)Toraks: SN vesikuler, Rh-/-,Wh-/-S1-S2 reg, M(-), G(-) Retraksi (+) sedangAbdomen: Supel, BU (+) Ekstremitas: dbnKebutuhan cairan: 2.2 x 150 = 330 cc/hari
KU: Menangis kuat/gerak aktif, retraksi (-) subcostalN 130x/mRR 40x/mS 36.6oCBB 2240 gr Kepala:Mesosefali, UUB datar, tegang(-), molase(-)Mata: CA (-/-), SI (+/+)Toraks: SN vesikuler, Rh-/-,Wh-/-S1-S2 reg, M(-), G(-) Retraksi (+)ringanAbdomen: Supel, BU (+) Ekstremitas: dbnKebutuhan cairan : 2.2x150 =330cc/hari
A Neonatal atermDistress pernafasanhiperbilirubinemiaObs. neonatal infection
Neonatal atermDistress pernafasanHiperbilirubinemiaObs. Neonatal infection
Neonatal atermDistress pernafasanHiperbilirubinemiaObs. Neonatal infection
P O2 low flow
Terapi lanjut
O2 low flow
Terapi lanjut
Terapi lanjutFototerapi 1x24 jam
19
Diet asi 8x30cc
06 novemberHari perawatan ke-7
Saat di dahlia06.00
07november 2015Hari perawatan ke-8
Saat di dahlia06.00
S Demam (-)Kejang (-) Sesak (-)BAB (+)BAK (+)Pucat (-)Sianosis (-)Ikterik (-)Merintih (-)ASI (+)Refleks hisap (+)
Demam (-)Kejang (-) Sesak (+)BAB (+)BAK (+)Pucat (-)Sianosis (-)Ikterik (-)Merintih (-)ASI (+)Refleks hisap (+)
O KU:Menangis kuat, gerak k aktif, retraksi (-) , subcostal.N: 126x/mP : 44x/mS : 37.0oCBB 2270 gr Kepala: Mesosefali, UUB datar, tegang(-), molase(-)Mata: CA (-/-), SI (-/-)Toraks:SN vesikuler, Rh-/-,Wh-/-S1-S2 reg, M(-), G(-) Retraksi (+) sedangAbdomen: Supel, BU (+) Ekstremitas: dbnKebutuhan cairan2.2x150= 330 cc/hari
KU: Menangis kuat/gerak aktif, retraksi (-) subcostalN: 124x/mP : 44x/mS : 36.4oCBB 2285 gr Kepala: Mesosefali, UUB datar, tegang(-), molase(-)Mata: CA (-/-), SI (+/+)Toraks: SN vesikuler, Rh-/-,Wh-/-S1-S2 reg, M(-), G(-) Retraksi (+) sedangAbdomen: Supel, BU (+) Ekstremitas: dbnKebutuhan cairan: 2.2 x 150 = 330 cc/hari
A Neonatal atermDistress pernafasan
Neonatal atermDistress pernafasan
20
hiperbilirubinemiaObs. neonatal infection
HiperbilirubinemiaObs. Neonatal infection
P Terapi lanjut
Diet asi 8x10-20cc(sonde)
Fototerapi 24 jam
Acc pulang
21
ANALISIS KASUS
Pasien bayi perempuan usia 4hari, didiagnosis dengan Neonatus aterm, Bayi Berat
Lahir Cukup – Sesuai Masa Kehamilan, Distress pernapasan dan Hiperbilirubinemia.
Dasar diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Masalah Interpretasi
Anamnesis
- Pada anamnesis didapatkan bahwa
pasien lahir bugar, namun beberapa
jam kemudian pasien merintih dan
tampak sesak.
Distress pernapasan pada bayi ini dapat
disebabkan oleh faktor yang berasal dari
intrapulmoner, ekstrapulmoner ataupun
metabolik. Dari faktor intrapulmoner
dapat disebabkan oleh Transient
Tachypnea of Newborn, Hyalin
Membrane Disease, Aspiration
Syndrome, Agenesis paru, pneumonia
Bronkopneumonia. Dari faktor
ekstrapulmoner dapat disebabkan oleh
adanya anemia berat, Penyakit Jantung
Bawaan, kelainan SSP, hernia
diafragmatika. Dari faktor metabolik
dapat disebabkan oleh hipoglikemia,
hipotermi, Electrolyte Imbalance.
Distress pernapasan yang terjadi pada
kasus ini dicurigai karena Transient
Tachypnea of Newborn dimana terdapat
laju pernapasan yang cepat, bayi
merintih, napas cuping hidung, terjadi
beberapa saat setelah bayi lahir dan
merupakan self-limited disease dengan
prognosis yang baik serta resolusi dari
penyakit ini terjadi ±72 jam (pada kasus
22
ini hari ke-4 keluhan sudah membaik).
Pemeriksaan Fisik
- Pasien menangis tidak kuat
(merintih)
- Retraksi dinding dada
- Tachypnea
- Downe skor 5
- Sklera ikterik, kulit ikterik kramer 3
Dari pemeriksaan fisik didapatkan
pasien menangis tidak kuat (merintih)
disertai dengan retraksi dinding dada
dan laju napas yang cepat, menunjukan
adanya distress pernapasan yang
kemungkinan besar disebabkan oleh
Transient Tachypnea of Newborn.
Downe skor 5 menunjukkan adanya
gangguan pernapasan sedang.
Selain itu didapatkan juga kulit yang
ikterik kramer 3 menunjukan adanya
hiperbilirubinemia yang dapat
disebabkan oleh banyak faktor mulai
dari faktor produksi yang meningkat
(hemolisis sel darah merah, sepsis),
faktor transport yang rendah (penurunan
kada albumin), faktor ekskresi yang
menurun (defisiensi enzim hati,
hepatocellular cholestasis, obstructive
cholestasis).
Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium)
Hasil laboratorium darah:
Bilirubin Total 12.03 mg/dl
Bilirubin Direk 2.98 mg/dl
Pada hasil laboratorium didapatkan
peningkatan kadar bilirubin total dan
direk, hal ini menunjukan adanya
penurunan ekskresi bilirubin direk
(cholestasis) yang dapat disebabkan
oleh sumbatan pada sistem biliaris.
23
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEFINISI
Ikterus (‘jaundice’) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah,
sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan. Pada
orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin > 2 mg/dL (> 17 µmol/L),
sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin > 5 mg/dL ( >86µmol/L).
(Etika, Harianto, Indarso, & Damanik)
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah
ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum
bilirubin terhadap usia neonatus > 95 % menurut Normogram Bhutani. (Etika, Harianto,
Indarso, & Damanik)
Kadar bilirubin terhadap usia neonatus
24
II.1.1. METABOLISME BILIRUBIN
Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang
sebanyak 75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom,
katalase, dan heme bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum
tulang. Metabolisme bilirubin terdiri dari tahapan (Martiza, 2012):
1. Transport bilirubin
2. Pengambilan bilirubin oleh sel hati
3. Konjugasi
4. Sekresi bilirubin terkonjugasi
5. Sirkulasi enterohepatik
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel
hati dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali
untuk pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang dieksresikan ke dalam
paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin
reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air secara cepat akan diubah menjadi bilirubin
melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik
dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan
mengeksresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin (Abdurrahman,
2014)
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme
haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. 1 gram haemoglobin akan menghasilkan 34 mg
bilirubin dan sisanya 25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan
heamoglobin karena eritropoiesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan
yang mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme
bebas. Bayi baru lahir akan memproduksi 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa
sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan
masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa
(120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga
reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat melalui sirkulasi enterohepatik
(Abdurrahman, 2014).
25
Transportasi bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang
rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang berikatan dengan albumin
tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga
mempunyai afinitas tinggi terhadap obat-obatan bersifat asam seperti penisilin dan
sulfonamid. Obat-obatan tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk
bilirubin sehingga bersifat kompetitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan
albumin. Obat-obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara
menurunkan afinitas albumin adalah digoksin, gentamisin, furosemid, dll.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:
Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk
sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum
Bilirubin bebas
Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukoronida dan diglukoronida)
yaitu bilirubin yang siap diekskresikan melalui ginjal atau sistem bilier.
Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (δ-bilirubin)
Pada 2 minggu pertama kehidupan, δ-bilirubin tidak akan tampak.
Peningkatan kadar δ-bilirubin secara signifikan dapat ditemukan pada bayi
baru lahir normal yang lebih tua dan pada anak. Konsentrasinya meningkat
bermakna pada keadaan hiperbilirubinemia terkonjugasi persisten karena
berbagai kelainan pada hati.
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit,
albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ditransfer melalui sel
membran yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan
sitosolik lainnya. Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk ke sirkulasi, dari
sintesis de novo, resirkulasi enterohepatik, perpindahan bilirubin antar jaringan,
pengambilan bilirubin oleh sel hati dan konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi
bilirubin tak terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan normal ataupun tidak normal.
26
Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan
berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Penelitian menunjukkan hal ini
terjadi karena adanya defisiensi ligandin, tetapi hal itu tidak begitu penting dibandingkan
dengan defisiensi konjugasi bilirubin dalam menghambat transfer bilirubin dari darah ke
empedu selama 3-4 hari pertama kehidupan.
Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut
dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronyl
transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.
Bilirubin ini kemudian dieksresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu
molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke dalam retikulum endoplasmik untuk
rekonjugasi berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke
hati akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi seperti halnya pada keadaan hemolisis
kronik yang berat pigmen yang tertahan adalah bilirubin monoglukoronida.
Ekskresi (Sekresi )Bilirubin dan Sirkulasi Enterohepatik
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam
kandung empedu kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feses.
Proses ekskresinya sendiri merupakan proses yang memerlukan energi. Setelah berada di
usus halus, bilurubin terkonjugasi tidak langsung diresorbsi, kecuali jika dikonversikan
kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat
dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk
dikonjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.
Terdapat perbedaaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa
usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat
mengidrolisia monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak
terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir,
lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi
sterkobilin.
Bayi baru lahir mempunyasi konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi yang relatif
tinggi di dalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis
27
bilirubin glukoronida yang berlebih dan konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan di
dalam mekonium. Pada bayi baru lahir, kekurangan relatif flora bakteri untuk mengurangi
bilirubin menjadi urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool bilirubin usus
dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa. Peningkatan hidrolisis
bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas β-glukoronidase mukosa
yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida terkonjugasi. Pemberian substansi oral yang
tidak larut seperti agar atau arang aktif yang dapat mengikat bilirubin akan meningkatkan
kadar bilirubin tinja dan mengurangi kadar bilirubin serum, hal ini menggambarkan peran
kontribusi sirkulasi enterohepatik pada keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada
bayi baru lahir (Abdurrahman, 2014).
II.1.2. IKTERUS NEONATORUM (NEONATAL JAUNDICE)
Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum adalah
keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera
akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus lebih mengacu pada
28
gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih
mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total.
Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir, walaupun jaundice akan
timbul segera setelahnya. Hal ini dikarenakan kemampuan plasenta untuk membersihkan
bilirubin dari sirkulasi fetus dalam beberapa hari berikutnya, hampir semua bayi
mengalami peningkatan bilirubin serum (>1,4 mg/dl). Dengan meningkatnya bilirubin
serum kulit menjadi jaundice dengan urutan sefalo-kaudal. Mula-mula ikterus tampak di
kepala dan bergerak ke arah kaudal ke telapak tangan dan telapak kaki. Hal ini ditentukan
oleh kramer yang menentuka kadar bilirubin indirek di dalam serum.
Kramer 1: kepala-leher = 4-8 mg/dl
Kramer 2: tubuh sebelah atas = 5-12 mg/dl
Kramer 3: tubuh sebelah bawah dan paha = 8-16 mg/dl
Kramer 4: lengan dan tungkai bawah = 11-18 mg/dl
Kramer 5: telapak tangan dan telapak kaki = > 15 mg/dl
Cara untuk melihat jaundice adalah dengan cara menekan kulit secara hati-hati dengan jari
dibawah penerangan yang cukup.
29
II.1.2.a. KLASIFIKASI
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-
hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologis tertentu
pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus,
masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2 – 3 dan mencapai puncaknya
pada hari ke 5 – 7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10 – 14. Kadar
bilirubin pun biasanya tidak > 10 mg/dL (171 µmol/L) pada bayi kurang bulan dan <
12 mg/dL (205 µmol/L) pada bayi cukup bulan. Masalah timbul apabila produksi
bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hepar menurun sehingga terjadi
akumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat
menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misalnya kerusakan sel otak yang
akan mengakibatkan gejala sisa dikemudian hari, bahkan terjadinya kematian. Karena
itu bayi ikterus sebaiknya baru dianggap fisiologis apabila telah dibuktikan bukan suatu
keadaan patologis. Berikut adalah perbedaan ikterus fisiologi dan ikterus patologis:
1. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang
bulan maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan. Ikterus jenis ini
juga merupakan penyebab umum hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Keadaan
ini adalah diagnosis eksklusi yang dibuat setelah menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain yang lebih serius, seperti hemolisis, infeksi, dan penyakit metabolik
(Marcdante, Kliegman, Jenson, & Behrman, 2014). Peningkatan kadar bilirubin
tidak terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi
peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan clearance bilirubin
(Abdurrahman, 2014). Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis:
Dasar Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia
Peningkatan produksi bilirubin Peningkatan sel darah merah
Penurunan umur sel darah merah
Peningkatan early bilirubin
30
Peningkatan resirkulasi melalui
enterohepatik shunt
Peningkatan aktifitas β-glukoronidase
Tidak adanya flora bakteri
Pengeluaran mekonium yang terlambat
Penurunan bilirubin clearance
Penurunan clearance dari plasma
Penurunan metabolisme hepatik
Defisiensi protein karier
Penurunan aktifitas UDPGT
Adapun tanda-tandanya adalah (Marcdante, Kliegman, Jenson, & Behrman, 2014):
a) Timbul pada hari kedua dan ketiga
b) Kadar bilirubin indirek puncak tidak lebih dari 12 mg/dL pada hari ke-3
kehidupan.
c) Pada bayi prematur kadar bilirubin indirek puncak ini lebih tinggi yaitu 15
mg/dL dan lambat (hari kelima).
d) Kadar puncak bilirubin indirek selama periode ikterus fisiologis lebih tinggi
pada bayi yang mendapat ASI daripada susu formula (15 sampai 17 mg/dL vs
12 mg/dL). Kadar yang lebih tinggi ini mungkin terjadi karena kurangnya
asupan cairan pada bayi ASI .
e) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
f) Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
g) Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
h) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.
Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi minum lebih sering dan bayi
dengan aspirasi mekonium atau pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai
insiden yang rendah untuk terjadinya ikterus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu
formula cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari
pertama kehidupan jika dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat
ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi
yang terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis.
Pemberian ASI merupakan faktor yang berhubungan dengan neonatal jaundice.
Bayi-bayi yang mendapat ASI mempunyai kadar bilirubin serum yang lebih tinggi
dibandingkan bayi-bayi yang mendapat susu formula. Hal ini terjadi karena diduga
31
sirkulasi bilirubin enterohepatik dapat dipicu oleh glukoronidase atau zat lain dalam ASI
yang menyebabkan kadar lemak bebas yang dapat menghambat glukoroniltransferase
hepatik. Faktor lain yang berhubungan dengan jaundice pada bayi yang mendapat ASI
antara lain intake kalori, intake cairan, penurunan berat badan, keterlambatan pasase
mekonium, flora intestinal, dan hambatan bilirubin glukoronil transferase oleh suatu faktor
dalam susu yang tidak dapat diidentifikasi (Martiza, 2012).
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early
(berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan dengan ASI). Bentuk early
onset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum. Bentuk late onset diyakini
dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang memperngaruhi proses konjugasi dan ekskresi.
Penyebab late onset tidak diketahui, tetapi telah dihubungkan dengan adanya faktor
spesifik dari ASI yaitu: 2α-20β-pregnanediol yang mempengaruhi aktivitas UDPGT atau
pelepasan bilirubin konjugasi dari hepatosit; peningkatan aktifitas lipoprotein lipase yang
kemudian melepaskan asam lemak bebas ke dalam usus halus; penghambatan konjugasi
akibat peningkatan asam lemak unsaturated; atau β-glukorunidase atau adanya faktor lain
yang mungkin menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.
2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-
tandanya sebagai berikut (Marcdante, Kliegman, Jenson, & Behrman, 2014):
a) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b) Kadar puncak bilirubin melebihi 13 mg/dL pada neonatus cukup bulan,
bilirubin direk lebih dari 1,5 mg/dL.
c) Peningkatan kadar bilirubin lebih dari 0,5 mg/dL/jam
d) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e) Hepatosplenomegali dan anemia
f) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
g) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan oleh proses fisiologis atau patologis atau
kombinasi keduanya. Resiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI,
32
bayi kurang bulan, dan bayi mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi
karena peningkatan produksi atau penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi
pada bayi immatur.
Bayi yang diberi ASI memiliki kadar bilirubin serum yang lebih tinggi dibandingkan bayi
yang diberi susu formula. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa faktor antara lain;
frekuensi menyusui yang tidak adekuat, kehilangan berat badan/dehidrasi
Asupan cairan:
Kelaparan
Frekuensi menyusui
Kehilangan berat badan/dehidrasi
Hambatan ekskresi bilirubin hepatik
Pregnandiol
Lipase-free fatty acids
Unidentified inhibitor
Intestinal reabsorption of bilirubin
Pasase mekonium terlambat
Pembentukan urobilinoid bakteri
Beta-glukoronidase
Hidrolisis alkaline
Asam empedu
II.1.2.b. ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab ikterus neonatarum dapat
dibagi:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain,
defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
33
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat
untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan
infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom Criggler-
Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan
penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
Selain itu, neonatal beresiko untuk mengabsorbsi bilirubin intestinal karena
empedu neonatus mengandung kadar bilirubin monoglukoronida yang tinggi
sehingga lebih mudah dikonversikan menjadi bilirubin, juga mengandung sejumlah
glukoronidase dalam lumen intestinal yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi
menjadi bilirubin yang mudah diabsorpsi dari intestinal. Empedu neonatus kurang
mengandung flora intestinal untuk mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi
urobilid dan mekonium. Keadaan-keadaan yang memperlama pasase mekonium
(penyakit Hirschprung, ileus mekonium, meconium pluge syndrome) berhubungan
dengan hiperbilirubinemia. Pasase dini mekonium berhubungan dengan kadar
bilirubin serum yang lebih rendah.
II.1.2.c. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin.
Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
34
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air(bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh
dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan
larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri
kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini
umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin. Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl.
Ikterus akan muncul pada dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru
lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan
oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya
atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang
dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi
hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin
tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2-
2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning.
Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice (Etika, Harianto, Indarso, & Damanik).
II.1.2.d. PENCEGAHAN dan TATALAKSANA
Pencegahan dititik beratkan pada pemberian minum sesegera mungkin, sering
menyusui untuk menurunkan shunt enterohepatik, menunjang kestabilan bakteri flora
normal, dan merangsang aktifitas usus halus.
Strategi Pencegahan hiperbilirubinemia:
1) Pencegahan primer
- Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari
beberapa hari pertama
- Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dextrose atau air pada bayi
35
yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi
2) Pencegahan sekunder
- Harus melakukan penilaian sistematis terhadap resiko kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal
o Golongan darah : semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah
ABO dan rhesus
Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif,
dilakukan pemeriksaan antibody direk (tes coombs), golongan
darah dan tipe Rh darah tali pusat bayi
Bila golongan darah ibu O, Rh positif terdapat pilihan untuk
dilakukan tes golongan darah dan tes Coombs atau tidak.
o Penilaian klinis : harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin
dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol bayi
secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus
3) Evaluasi laboratorium
- Pengukuran bilirubin dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus
dalam 24 jam pertama setelah lahir.
- Pengukuran bilirubin harus dilakukan jika tampak ikterus berlebihan
- Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam
jam
4) Penyebab kuning
- Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus
dilakukan analisis dan kultur urin.
- Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih 3 minggu harus dilakukan
pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk
mengidentifikasi adanya kolestasis
- Bila kadar bilirubin direk atau konjugasi meningkat, dilakukan evaluasi
tambahan untuk mencari penyebab kolestasis
- Pemeriksaan terhadap kadar glucose-6-phosphatase dehydrogenase (G6PD)
direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi.
36
5) Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan
- Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap resiko
berkembangnya hiperbilirubinemia berat berdasarkan kadar bilirubin atau
berdasarkan penilaian faktor klinis. Penilaian ini penting pada bayi yang
pulang sebelum umur 72 jam.
6) Kebijakan dan prosedur rumah sakit
- Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orang tua saat keluar RS
- Semua bayi harus diperiksa oleh petugas beberapa hari setelah keluar RS :
Bayi keluar RS Harus dilihat saat umur
Sebelum umur 24 jam 72 jam
Antara umur 24 dan 47.9 jam 96 jam
Antara umur 48-72 jam 120 jam
- Untuk bayi yang dipulangkan sebelum 48 jam diperlukan 2 kunjungan yaitu
yang pertama antara 24-72 jam dan kedua antara 72-120 jam.
7) Pengelolaan bayi dengan ikterus
Pengelolaan bayi ikterus dini (early jaundice) yang mendapat ASI
1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran jika feses tidak keluar
dalam 24 jam
2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui sering dengan waktu yang singkat lebih
efektif dibandingkan dengan menyusui lama dengan frekuensi jarang.
3. Tidak dianjurkan pemberian air, dextrosa atau formula pengganti
4. Observasi berat badan, BAK, dan BAB
5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, tingkatkan pemberian minum, rangsang pengeluaran produk
ASI dengan cara memompa, dan menggunakan fototerapi
6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas ASI, sehingga penghentian
menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat
>20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning.
Hiperbilirubinemia merupakan alasan paling sering bayi dibawa kembali ke rumah
37
sakit pada umur beberapa minggu. Langkah paling penting penanganan jaundice adalah
menentukan penyebabnya. Selain itu, tujuan utama dalam penatalakasannanya adalah
untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menimbulkan kernikterus. Jika fraksi bilirubin tak terkonjugasi meningkat, langkah-
langkah penangangan harus diambil adalah mencegah pemberian zat-zat pengikat albumin.
Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi
bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang
terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan (luminal).
Obat-obatan seperti sulfonamid dan seftriakson diketahui dapat menggeser bilirubin
sehingga potensial untuk menyebabkan bilirubin ensefalopati. Untuk itu pilihan terapi
untuk menurunkan kadar bilirubin tidak terkonjugasi antara lain foto terapi, exchange
transfusion, pemutusan sirkulasi enterohepatik dan induksi enzim (Martiza, 2012).
Penggunaan farmakoterapi
Digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan merangsang induksi enzim-enzim
hati dan protein pembawa, guna mempengaruhi penghancuran heme, atau untuk mengikat
bilirubin dalam usus halus sehingga reabsorpsi enterohepatik menurun, antara lain:
- Immunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi-bayi dengan Rh yang berat
dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan
tindakan transfusi ganti.
- Fenobarbital memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang aktivitas dan
konsentrasi UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan
bilirubin. Namun secara umum tidak direkomendasikan digunakan setelah lahir.
- Metalloprotoporphyrin untuk mencegah hiperbilirubinemia. Zat ini analog sintesis
heme. Protoporphyrin terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif dari heme
oksigenase. Enzim ini dibutuhkan untuk katabolisme heme menjadi biliverdin.
Dengan zat ini heme dicegah dari katabolisme dan diekskresikan secarah utuh
dalam empedu.
Terapi Sinar (Fototerapi)
Fototerapi terdiri dari sinar radiasi bayi jaundice dengan lampu energi foton yang
akan merubah struktur molekul bilirubin. Pengaruh sinar terhadap ikterus telah
diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958. Banyak teori yang dikemukakan mengenai
38
pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar
menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang
berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang
merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih
mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer
dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus,
sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus
halus. Terapi sinar dilakukan pada semua penderita dengan kadar bilirubin indirek >12
mg/dL dan pada bayi-bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus
pada hari pertama kelahiran. Secara umum fototerapi digunakan untuk mencegah agar
bilirubin tidak mencapai kadar yang memerlukan exchange transfusion. Pada
penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum dan
sesudah transfusi dikerjakan.
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu
neon yang diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang berventilasi. Agar
bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada
jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi
untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah
lampu setiap 2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala.
Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area
sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke
arah bayi.
Pilihan lampu yang digunakan masih diperdebatkan. Sinar biru khusus
tampaknya lebih baik daripada sinar putih atau hijau. Saat ini tersedia fototerapi dengan
menggunakan woven fibrotic pads yang efektif (dibandingkan dengan foto
konvensional) dan aman.
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat
seluas-luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-
ubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua
mata ditutup namun gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin
dan hemoglobin bayi di pantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar
bilirubin <10 mg/dL (<171 µmol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100
jam Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila
39
ditemukan efek samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan
antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi
dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang
penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.
Komplikasi Foto terapi
Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan
terapi sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat
mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek lanjut
yang terlihat selama ini ebrsifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan
memperhatikan tata cara pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas. Kelainan
yang mungkin timbul pada terapi sinar antara lain :
a) Peningkatan “insensible water loss” pada bayi : Hal ini terutama akan terlihat pada
bayi yang kurnag bulan. Kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali lebih besar dari
keadaan biasa. Untuk hal ini pemberian cairan pada penderita dengan terapi sinar
perlu diperhatikan dengan sebaiknya.
b) Frekuensi defekasi yang meningkat : Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini,
antara lain karena meningkatnya peristaltik usus. Diare tersebut merupakan akibat
efek sekunder yang terjadi pada pembentukan enzim lactase karena meningkatnya
bilirubin indirek pada usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan
mengurangi timbulnya diare.
40
c) Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut “flea bite rash” di daerah muka,
badan dan ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada
beberapa bayi dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby syndrome. Hal
ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi
sinar. Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi
proses tumbuh kembang bayi.
d) Gangguan retina : Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percobaan
Penelitain Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi
mata pada umumnya. Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya masih
diteruskan.
e) Gangguan pertumbuhan : Pada binatang percobaan ditemukan gangguan
pertumbuhan. Lucey (1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat
menemukan gangguan tumbuh kembang pada bayi yang mendapat terapi sinar.
Meskipun demikian hendaknya pemakaian terapi sinar dilakukan dengan indikasi
yang tepat selama waktu yang diperlukan.
f) Kenaikan suhu : Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin
memperlihatkan kenaikan suhu, Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan
dengan mematikan sebagian lampu yang dipergunakan.
g) Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang
ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan
menghilang dengan sendirinya.
h) Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah
kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.
Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi.
Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat
penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat
tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
Transfusi Tukar (Exchange Transfusion)
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat
bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit
yang telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis.
Indikasi exchange transfusion beragam dan dapat berhubungan dengan adanya
41
anemia maupun peningkatan kadar bilirubin serum dan walaupun transfusi tukar ini
sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul perlu di
perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi Kriteria melakukan
transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin
terhadap albumin.
Yang dimaksud ada komplikasi apabila :
1. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5
2. PaO2 < 40 torr selama 1 jam
3. pH < 7,15 selama 1 jam
4. Suhu rektal ≤ 35 o C
5. Serum Albumin < 2,5 g/dL
6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
8. Anemia hemolitik
9. Berat bayi ≤ 1000 g
Penanganan ikterus berdasarkan kadar serum bilirubin
Usia
Terapi
sinar
Transfusi tukar
Bayi sehat Faktor Risiko* Bayi sehat Faktor Risiko*
mg/dL µmol/L mg/dL µmol/L mg/dL µmol/L mg/dL µmol/L
Hari 1 Setiap ikterus yang terlihat 1
5
260 13 220
Hari 2 15 260 13 220 2
5
425 15 260
Hari 3 18 310 16 270 3
0
510 20 340
Hari 4 dst 20 340 17 290 3
0
510 20 340
(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on
Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or
more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294)
42
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang
akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila
hiperbilirubinemia yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah
ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain
yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang
bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai
darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada,
maka dapat dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah
darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB.
Macam Transfusi Tukar:
1. ‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat
mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 % mengganti Hb
bayi.
2. ‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65% Hb bayi.
3. ‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus
polisitemia atau darah pada anemia.
Volume Darah pada Transfusi Tukar
* Volume darah bayi cukup bulan 85 cc / kg BB
* Volume darah bayi kurang bulan 100 cc /kg BB
(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia.
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation.
Pediatrics 2004; 114 : 294)
43
Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan harus
dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan yang aseptik yang
dilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi disertai dengan alat yang
dapat mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan pula kemungkinan terjadinya
komplikasi transfusi tukar seperti asidosis, bradikardia, aritmia, ataupun henti jantung.
Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berat dimana fasilitas sarana dan tenaga
tidak memungkinkan dilakukan terapi sinar atau transfusi tukar, penderita dapat dirujuk
ke pusat rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil (‘transportable’) dengan
memperhatikan syarat- syarat rujukan bayi baru lahir risiko tinggi.
Pemutusan Sirkulasi Enterohepatik
Adapun pendekatan farmakologis untuk mencegah dan mengobati
hiperbilirubinemia neonatal, sirkulasi enterohepatik dapat diinterupsi dengan pemberian
parenteral. Zat-zat yang dapat mengikat bilirubin dalam intestinum mencegah resorbsi
zat-zat ini antara lain adalah agar, kolestiramin, charcoal aktif, dan kalsium fosfat.
Mungkin akan meningkatkan peristaltik usus sebagai suatu upaya untuk mempersingkat
waktu absorbsi bilirubin. Pemberian makanan yang sering dan stimulasi rektal
berhubungan dengan penurunan kadar bilirubin serum. Pemberian bilirubin oksidase
parenteral, suatu enzim yang memecah bilirubin menjadi biliverdin, diperol dan produk
lainnya, merupakan cara lain untuk menghambat sirkulasi enterohepatik, yang sampai
saat ini masih diuji coba (Martiza, 2012).
Induksi Enzim
Aktivitas BUGT hepatik neonatal masih rendah, tidaklah mengherankan bahwa
induksi BUGT hepatik menyebabkan penurunan kadar bilirubin. Induksi semacam ini
pada neonatus dapat dilakukan dengan pemberian fenobarbital atau difenilhidantoin pada
ibu sebelum melahirkan, bahkan bayi dengan berat badan lahir rendah (<2000 gram)
memberikan respons terhadap terapi fenobarbital in utero dengan peningkatan kadar
bilirubin terkonjugasi serum dan penurunan kebutuhan fototerapi (Martiza, 2012).
Optimalisasi pemberian ASI pada periode perinatal adalah penting, jika kadar
bilirubin meningkat, dianjurkan untuk mendukung ibu agar lebih sering menyusui dengan
interval 2 jam dan tidak memberikan makanan tambahan atau setidaknya 8-10x per 24
44
jam. Ada hubungan yang jelas antara frekuensi menyusui dengan penurunan insidensi
hiperbilirubinemia. Pemberian yang sering mungkin tidak akan meningkatkan intake
tetapi akan meningkatkan peristaltik dan frekuensi BAB sehingga meningkatkan ekskresi
bilirubin. Pemberian ASI dalam 24 jam pertama berhubungan nyata dengan frekuensi
pasase mekonium.
45
46
47
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurrahman, S. (2014). Hiperbilirubinemia. Dalam A. Y. M. Sholeh Kosim, Buku
Ajar Neonatologi (hal. 147-169). Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Etika, R., Harianto, A., Indarso, F., & Damanik, S. M. (t.thn.).
HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS (HYPERBILIRUBINEMIA IN
NEONATE). Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.
Soetomo - Surabaya , 1-14.
3. (2014). Anemia dan Hiperbilirubinemia. Dalam K. J. Marcdante, R. M. Kliegman, H.
B. Jenson, & R. E. Behrman, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial (Indonesian
Edition) (hal. 274-277). Elsevier.
4. Martiza, I. (2012). Ikterus. Dalam M. Juffrie, S. S. Soenarto, H. Oswari, S. Arief, I.
Rosalina, & N. S. Mulyani, Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi (hal. 263-284).
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
5. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia.
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of
gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294
48