Post on 11-Apr-2019
CACAT TERSEMBUNYI DALAM JUAL BELI KAYU
(Studi Kasus Jual Beli Kayu Jati Gelondong di Desa Srobyong
Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1)
Dalam Ilmu Syari’ah
Disusun Oleh :
ULIL HIDAYAH NIM: 052311010
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2009
ii
Moh Arifin, M.Hum
Perum Griya Lestari B.3/12 Ngaliyan Semarang
H. Suwanto, S.Ag, M.M
Ds. Troso RT 06/1 Pecangaan Jepara
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksp
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdri. Ulil Hidayah
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
saya kirim naskah skripsi saudara:
Nama : Ulil Hidayah
NIM : 052311010
Judul : CACAT TERSEMBUNYI DALAM JUAL BELI KAYU (Studi
Kasus Jual Beli Kayu Jati Gelondong di Desa Srobyong
Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara)
Dengan ini kami setuju dan mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat
segera dimunaqosahkan. Demikian atas perhatianya kami ucapkan terima kasih.
Wasssalamu’alaikum Wr.Wb.
Semarang 11 Desember 2009
Pembimbing I Pembimbing II MOH. ARIFIN, M.Hum H. SUWANTO, S.Ag, M.M NIP. 19711012 199703 1 002 NIP. 19700302 200501 1 003
iii
DEPARTEMEN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARI’AH Jl. Prof. Dr. Hamka KM 02 Ngaliyan Telp. (024) 7601291 Semarang
PENGESAHAN
Nama : ULIL HIDAYAH
NIM : 052311010
Jurusan : MUAMALAH
Judul : CACAT TERSEMBUNYI DALAM JUAL BELI KAYU
(Studi Kasus Jual Beli Kayu Jati Gelondong di Desa
Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara)
Telah memunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo
Semarang dinyatakan lulus pada tanggal:
31 Desember 2009
Dan dapat diterima sebagai pelengkap ujian akhir Program sarjana Strata satu (1)
guna memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Syari'ah.
Semarang, 7 Januari 2010
Mengetahui
Ketua Sidang Sekretaris Sidang Wahab Zainuri, M.M H. Suwanto, S.Ag., M.M NIP. 19690908 200003 1 004 NIP. 19700302 200501 1 003 Penguji I Penguji II Afif Noor, S.Ag., S.H., M.Hum Ahmad Arif Junaidi, M.Ag NIP. 19760615 200501 1 005 NIP. 19701208 199603 1 002 Pembimbing I Pembimbing II Moh. Arifin, S.Ag., M.Hum H. Suwanto, S.Ag., M.M NIP. 19711012 199703 1 002 NIP. 19700302 200501 1 003
iv
MOTTO
ب الكموأكلوا أموا ال تنآم ا الذينها أياض يرت نة عاركون تجاطل إال أن تبالب كمني الله كان بكم رحيمامنكم وال تقتلوا أنفسكم إن
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu;
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
(Q.S. An-Nisaa: 29)
v
PERSEMBAHAN
Syukurku pada Illahi Robbi atas keagungan cinta dan cahaya
keindahan yang teramat sangat, hingga aku mampu menyelesaikan karya
ini, Kupersembahkan karyaku ini untuk orang‐orang yang aku cinta:
Untuk Ayah dan Ibunda tercinta dan tersayang yang telah mendidik
putrinya tanpa keluh kesah, terima kasih untuk do’a dan dukungan
yang kalian berikan kepada putrimu. Dan tak lupa atas semua bantuan
baik moril maupun materiil (ini adalah hasil dari keprihatinan yang
membutuhkan perjuangan tanpa henti).
Untuk adik‐adikku (Aziz, Abbas, dan Wildan) tercinta dan tersayang,
karya ini adalah sebuah cermin untukmu bahwa untuk menjadi maju
tak boleh ada rasa ragu walau badai menghantammu.
Untuk sahabat sejatiku Kholilurrohman.
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan
tanggung jawab, penulis
menyatakan bahwa skripsi ini
tidak berisi materi yang telah
pernah ditulis oleh orang lain
atau diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi satupun
pemikiran-pemikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat
dalam refrensi yang dijadikan
bahan rujukan.
Semarang, 30 Desember 2009
Deklarator,
ULIL HIDAYAH NIM. 052311010
vii
ABSTRAK Agar tidak terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli Islam memberikan hak khiyar (hak memilih untuk membatalkan atau meneruskan akad). Ketentuan khiyar tersebut berbeda dengan praktek jual beli kayu jati gelondong di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara di mana pembeli kadang-kadang menemukan adanya cacat di dalam kayu jati gelondong tersebut. Dengan ditemukannya cacat tersebut pembeli tidak mempunyai hak untuk mengembalikannya dan juga tidak mendapatkan ganti rugi. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimana pelaksanaan jual beli kayu jati gelondong di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara. Kedua, bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap jual beli kayu jati gelondong di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara.
Penulisan skripsi ini memiliki dua tujuan utama yaitu: pertama, untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan jual beli kayu jati gelondong di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara. Kedua, mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap jual beli kayu jati gelondong di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan normatif. Dalam penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder, metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Kemudian metode yang digunakan untuk menganalisi data menggunakan metode dskriptif normatif. Hasil penelitian mengenai cacat tersembunyi dalam jual beli kayu ( studi kasus jual beli kayu jati gelondong di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara) menyatakan bahwa praktek jual beli yang dilakukan oleh para penjual dan pembeli kayu jati gelondong di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara telah memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’. Setelah dianalisis secara mendalam menyimpulkan bahwa penjual dan pembeli sama-sama tidak mengetahui adanya cacat dalam kayu jati gelondong tersebut dan cacat tersebut bukanlah cacat yang terdapat pada kayu jati gelondongnya akan tetapi merupakan cacat yang diketahui setelah di belah menjadi papan. Sehingga praktek jual beli kayu jati gelondong ini termasuk jual beli yang diperbolehkan syara’ dan hal ini pula sudah menjadi adat kebiasaan (‘urf) masyarakat Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara para pembeli tidak mengembalikan kayu tersebut.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan khadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum Islam pada fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
Sholawat dan salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi agung
Muhammad SAW dan semoga kita termasuk golongan orang yang mendapat
syafa’atnya sampai akhir masa.
Berkat taufiq, hidayah dan inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul: “Cacat Tersembunyi Dalam Jual Beli Kayu (Studi
Kasus Jual Beli Kayu Jati Gelondong Di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo
Kabupaten Jepara)” sebagai suatu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum Islam pada fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
Skripsi ini tidak akan terwujud kehadapan pembaca sekalian tanpa
konstribusi dan bantuan dari banyak pihak dan pada kesempatan ini dengan
perasaan tulus penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang memberi
dorongan dan bantuannya, baik berupa materiil, saran, nasehat dan bimbingannya
yang bermanfa’at bagi penulisan skripsi ini.
Pernyataan terima kasih yang sangat dalam penulis sampaikan kepada
yang terhormat:
1. Prof. Dr. Muhyiddin selaku dekan fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang.
2. Bapak Moh. Arifin, S.Ag., M.Hum selaku pembimbing I dan Drs. H.
Suwanto, S.Ag., M.M selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan
nasehat, bimbingan dan koreksi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
3. Segenap Dosen beserta karyawan fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang yang telah dengan ikhlas memberikan pengetahuan dan pelayanan
yang baik kepada penulis.
ix
4. Ayah dan Ibunda tercinta yang senantiasa mengisi hari-hariku dengan penuh
doa, cinta dan kasih sayang.
5. Adik-adikku (Aziz, Abbas, Wildan) tersayang yang selalu membuatku
tersenyum.
6. Untuk teman-temanku tersayang yang senantiasa menyayangiku walau
terkadang membenciku, tapi rasa benci itu tertutupi karena kita terus saling
menyayangi, Mbak Hanik, Erna, Mbak Maya, Mbak Kheli, Mbak Ikka,
Mbak Ana dan Mbak Pink, persahabatan tak akan putus bila kita tetap
menjaganya.
7. Untuk komunitas Nusa Indah I No 10, Bapak Mastur dan Mbak Mia, terima
kasih atas tempat naungan yang diberikan, dan untuk umi, mbak ana dakwah
dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu Thank’s for
All.
8. Untuk anak-anak paket MUA’05 I love u all.
9. Untuk sahabat sejatiku Kholilurrohman yang telah telah memberikan cahaya
dalam gelapku, semangat dalam ketidakberdayaanku, menghiburku di kala
aku sedih dan menemaniku dengan senyum dan candamu, jangan pernah
berhenti untuk selalu tersenyum.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa tanpa bantuan
moral dari semua pihak di atas, skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan dengan
baik. Dengan memohon kepada Allah SWT semoga amal shaleh mereka
mendapatkan ridho dan menjadi amalan yang baik.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh
dari sempurna, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pembaca sekalian dan khususnya bagi penulis sendiri.
Penulis,
Ulil Hidayah
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………. i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ……………………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………. iii
HALAMAN MOTTO ………………………………………….......... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………. v
HALAMAN DEKLARASI……………………………………………. vi
HALAMAN ABSTRAK ……………………………………………… viii
HALAMAN KATA PENGANTAR ………………………………… ix
DAFTAR ISI ………………………………………………………… x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………… 1
B. Permasalahan …………………………… 6
C. Tujuan Penulisan Skripsi …………………………… 7
D. Manfaat Penelitian …………………………… 7
E. Telaah Pustaka …………………………… 8
F. Metode Penelitian …………………………… 10
G. Sistematika Penulisan …………………………… 12
BAB II KONSEP JUAL BELI DALAM ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli …………………… 15
B. Rukun dan Syarat Jual Beli ………………………………… 19
C. Perjanjian Jual Beli ………………………………… 27
D. Cacat Tersembunyi ………………………………… 31
xi
BAB III PRAKTEK JUAL BELI KAYU JATI di DESA SROBYONG
KECAMATAN MLONGO KABUPATEN JEPARA
A. Lokasi Penelitian ………………………………………………… 42
1. Kondisi Geografis Dan Demogarafis Desa Srobyong .………… 42
2. Kondisi Sosial Masyarakat Lokasi Penelitian ………………… 44
B. Pelaksanaan Jual Beli Kayu Jati Gelondong di Desa Srobyong
Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara …………………………... . 50
1. Sekilas Tentang Kayu Jati ……………………………………. 50
2. Pelaksanaan Jual Beli Kayu Jati ………………………………. 53
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI KAYU
JATI di DESA SROBONG KECAMATAN MLONGGO
KABUPATEN JEPARA
A. Analisis Praktek Jual Beli Kayu Jati Gelondong di Desa Srobyong
Kecamatan Mlongo Kabupaten Jepara ……………………… 57
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Jual Beli Kayu Jati
Gelondong di Desa Srobong Kecamatan Mlonggo
Kabupaten Jepara …….……………………………………… 61
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ………………………………………………………... 74
B. Saran-Saran ……………………………………………………. 75
C. Penutup ………………………………………………………….. 76
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengelolaan harta benda merupakan masalah muamalah termasuk di
dalamnya masalah jual beli. Kebutuhan manusia memerlukan hadirnya suatu
proses jual beli, begitu penting adanya transaksi jual beli Rasulullah bersabda:
صلى اهللا عليه وسلم سئل اي الكسب عن رفاعة ابن رافع رضي اهللا عنه أن النيب 1) رواه البزر وصححه احلاكم(اطيب؟ قال عمل الرجل بيده وكل بيع مربور
Artinya: Rifah bin Rafi’ menceritakan bahwa Nabi SAW pernah ditanya seseorang, apakah usaha yang paling baik? Beliau menjawab: “usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang halal” (HR. Bazzar dan dishahihkan Hakim)
Jual beli menurut pandangan Al-Quran, As-Sunnah, ijma’ adalah
boleh dan semua ulama telah sepakat tentang diperbolehkannya melakukan
jual beli. Allah berfirman
تراض عن تجارة تكون أن إال بالباطل بينكم أموالكم تأكلواال…
كم٢٩…(4من(
Artinya: “…Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu....” (an-Nisa : 29)2
.
1 Al-Hafidz bin Hajar Al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Indonesia: Darul Ahya Al-Kitab
Al-Arabiyah, hlm. 158). 2 Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Pena Pundi Aksara, Cet. Ke-3, 2008,
hlm. 83.
2
Prinsip dasar perdagangan Islam adalah adanya unsur kebebasan
dalam melakukan transaksi. Dengan mengindahkan keridhoan dan melarang
pemaksaan. Bagi mereka yang bergerak di bidang perdagangan atau transaksi
jual beli, maka wajib mengetahui hukum yang berkaitan dengan sah dan
rusaknya transaksi jual beli tersebut. Tujuannya agar usaha yang dilakukannya
sah secara hukum dan terhindar dari hal-hal yang tidak dibenarkan.
Dalam sebuah riwayat, suatu hari Ummar bin Khattab melakukan
pemeriksaan pasar, ia memukul sebagian pedagang dengan tongkat seraya
berkata “ tidak boleh seorang pedagangpun di pasar ini, kecuali mereka yang
memahami hukum jual beli. Seandainya ia tidak tahu, maka dia akan
memakan riba sadar atau tidak”.3
Bertolak dari riwayat tersebut terlebih pada zaman sekarang ini
bentuk-bentuk transaksi yang tidak sesuai dengan syara’ sangatlah banyak
terjadi dikalangan muslim. Di antaranya bentuk jual beli yang tidak sesuai
dengan syara’ yang sering terjadi dimasyarakat yaitu jual beli kredit yang
mengandung bunga (kelebihan). Bentuknya adalah ketika seseorang menjual
suatu barang kepada orang lain dengan harga kredit, setelah itu pihak pertama
membelinya lagi barang tersebut dari pihak kedua dengan harga yang lebih
murah dari harga kredit.4
Contoh lain adalah bentuk jual beli yang sering terjadi di masyarakat
yaitu jual beli fudhuli maksudnya yaitu menjual harta orang lain dengan syarat
3 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Nur Hasanuddin, “Fiqh Sunnah”, Jilid 4, Jakarta: Pena
Pundi Aksara, Cet. Ke-1, 2006, hlm. 120. 4 Saleh Al-Fauzan, Mulakhosul Fiqhiyah, Terj. Abdul Hayyi Al-Kahani, “Fiqh Sehari-
Hari”, Jakarta: Gema Insani Pers, Cet. Ke-2, 2005, hlm. 368.
3
apabila si pemilik barang tersebut suka, maka jual beli itu diteruskan dan jika
ia tidak suka, maka jual beli itu dibatalkan. Contoh lain seperti jika seseorang
membeli suatu barang untuk orang lain tanpa terlebih dulu meminta
persetujuannya dengan syarat apabila orang yang dibelikannya itu suka, maka
jual beli sah dan jika tidak suka maka pembelian itu batal. Imam Syafi’i
melarang kedua model jual beli ini.5
Terlebih lagi bentuk jual beli yang sering terjadi pada masyarakat
Kabupaten Jepara mengenai jual beli mebel (seni ukir), misalnya jual beli
mebel yang belum dibuat dan diketahui wujudnya (pesan), hal ini sering
terjadi ketika waktunya tiba barang tersebut belum ada dan ketiadaannya itu
karena penjual sudah menjualnya pada pembeli lain6. Dari sinilah
memungkinkan timbulnya perselisihan antara penjual pembeli.
Untuk menjaga jangan sampai terjadi perselisihan antara pembeli
dengan penjual, maka syariat Islam memberikan hak khiyar, yaitu hak
memilih untuk melangsungkan atau tidak jual beli tersebut, karena ada suatu
hal bagi kedua belah pihak. Diadakannya khiyar oleh syara’ agar kedua orang
yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh,
supaya tidak terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu.
5 Al-Faqih Abdul Wahid Mahammad, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid,
Terj. Ghazali Said, “Bidayatul Mujtahid”, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hlm. 203. 6 Maslamah, “Jual Beli Barang Seni Ukir”, Semarang: Perpustakaan IAIN Walisongo,
2009, hlm. 85, td.
4
النيب عن ابن عمر أنقرأت على مالك عن نافع: حدثنا يحىي ابن يحىي قالقالص لمسه ولياهللا ع لى :البياحبه مص لىا بالخيار عمهاحد منعان كل و الم
عيقا إال بفرت7 )رواه مسلم( الخيار ي
Artinya: Dari Ibnu Umar RA berkata sesungguhnya Rasulullah Saw Bersabda: “dua orang yang berjual beli, maka boleh bagi masing-masing dari keduanya itu terhadap temannya dengan khiyar, selama keduanya belum berpisah selain jual beli dengan khiyar” (HR. Muslim)
Hak khiyar itu dapat berbentuk:
1. Khiyar Majlis
Khiyar majlis yaitu penjual dan pembeli boleh memilih antara dua
pilihan meneruskan atau membatalkan akad jual beli tersebut selama
keduanya masih berada di tempat jual beli.8
Khiyar majlis diperbolehkan dalam semua bentuk jual beli. Hal ini
didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhori dan
Muslim yakni: “Dua orang yang berjual beli boleh memilih (akan
meneruskan jual beli mereka atau tidak), selama keduanya belum bercerai
dari tempat akad”9
2. Khiyar Syarat
Khiyar syarat ialah khiyar yang ditetapkan bagi salah satu pihak
yang berakad atau keduanya, apakah meneruskan atau membatalkan akad
7 Imam Abi Husain Muslim bin Al Khajjaj, Shohih Muslim, Indonesia: Maktabah Dahlan,
hlm. 1163. 8 Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. Ke-1, 1992, hlm.
408. 9 Ibid.
5
itu selama dalam tenggang waktu yang disepakati bersama.
Masa khiyar syarat paling lama adalah tiga hari tiga malam
terhitung dari waktu akad. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW
yaitu: “engkau boleh khiyar pada segala barang yang telah engkau beli
selama tiga hari tiga malam” (Riwayat Baihaqi dan Ibnu Majah)10
3. Khiyar ‘Aibi
Khiyar ‘Aibi (cacat) ialah hak memilih di mana pembeli boleh
mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang yang dibeli
terdapat cacat pada benda yang diperjualbelikan dan cacat itu tidak
diketahui pemiliknya pada saat akad berlangsung.11
Ketentuan agama Islam yang sedemikian ini tidaklah sesuai dengan
praktek jual beli kayu jati yang terjadi di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo
Kabupaten Jepara. Pada prakteknya jual beli kayu jati tersebut tidaklah
memenuhi etika-etika yang ditentukan oleh syara’ sehingga para pembeli
menemukan adanya cacat tersembunyi di dalam kayu jati gelondong yang
telah dibelinya itu.
Dengan ditemukannya cacat dalam kayu jati gelondong tersebut
penjual tidak peduli akan hal itu dan pembeli tidak mempunyai hak untuk
mengembalikan kayu yang cacat tersebut dan juga tidak mendapatkan ganti
rugi. Sedangkan dalam Islam sendiri ketika seorang pembeli menemukan
10 Ibid. 11 Sudarsono, op.cit., hlm. 421.
6
adanya cacat yang terdapat dalam objek jual beli maka dia mempunyai hak
untuk mengembalikan barang tersebut dan mendapat ganti rugi yang sesuai.
Sehubungan dengan itu transaksi jual beli seperti ini sudah menjadi
tradisi di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara. Dalam
transaksi jual beli tersebut pembeli diperbolehkan meneliti dan memilih
sendiri kayu yang akan dibelinya, akan tetapi bukanlah hal yang mudah bagi
para pembeli untuk mengerti cacat yang tersembunyi di dalam kayu yang
dipilih itu.
Peristiwa ini meskipun sangat mengecewakan pembeli sebagai pihak
yang dirugikan, namun tampaknya tidak ada beban rasa tanggung jawab pada
diri penjual.
Berdasarkan kenyataan dan keterangan itulah yang melatarbelakangi
penulis untuk meneliti lebih jauh mengenai pelaksanaan jual beli kayu jati
gelondong yang mengandung unsur cacat tersembunyi didalamnya dan
membahasnya lebih lanjut dalam bentuk skripsi yang penulis beri judul
“ CACAT TERSEMBUNYI DALAM JUAL BELI KAYU (Studi Kasus Jual Beli
Kayu Jati Gelondong di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten
Jepara)”.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas kiranya dapat dirumuskan pokok permasalahan
yang perlu dikaji dan mendapat beberapa penjelasan yang lebih mendetail
untuk dibahas yaitu:
7
1. Bagaimana pelaksanaan jual beli kayu jati gelondong di Desa Srobyong
Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap jual beli kayu jati gelondong di
Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan jual beli kayu jati gelondong di Desa
Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara.
2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap jual beli
kayu jati gelondong di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten
Jepara?
D. Manfaat penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat tentang hukum jual beli kayu jati
gelondong yang mengandung unsur cacat tersembunyi di dalamnya.
2. Memberi manfaat secara teori dan aplikasi terhadap perkembangan ilmu
hukum di lapangan.
3. Sebagai bahan informasi untuk penelitian lebih lanjut.
8
E. Telaah Pustaka
Sampai dengan disusunnya skripsi ini penulis belum menjumpai
penelitian yang temanya sama dengan penelitian yang hendak disusun.
Penelitian yang ditemukan bermuara pada tema tentang jual beli, di antaranya
skripsi yang disusun oleh Maslamah (Tahun 2009) dengan judul : Jual Beli
Barang Seni Ukir (Study Persepsi Ulama Desa Langon Kecamatan Tahunan
terhadap Jual Beli Seni Ukir Yang Belum Dibuat dan Diketahui Sifat
Wujudnya)12. Dalam kesimpulannya diutarakan bahwa jual beli barang yang
tidak ada di tempat bisa dilarang bisa juga diperbolehkan. Dilarang manakala
informasi yang diberikan pada waktu akad berbeda dengan kenyataan setelah
suatu barang itu ditunjukkan sehingga pembeli menjadi kecewa jika misalnya
dalam praktek jual beli terjadi kondisi yang selalu mengecewakan pembeli
maka jual beli seperti ini sebaiknya dilarang. Akan tetapi manakala dalam
prakteknya antara informasi pada waktu akad sesuai dengan realita pada
waktu penyerahan barang dikemudian hari maka jual beli yang demikian
diperbolehkan.
Skripsi yang disusun oleh Sawidi (Tahun 2003) dengan judul: Studi
Analisis Pendapat Imam Nawawi tentang Syarat Manfaat Benda yang
Diperjualbelikan. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa imam Nawawi
mengharuskan adanya manfaat dalam benda yang diperjualbelikan, tetapi
12 Maslamah, Jual Beli Barang Seni Ukir Study Persepsi Ulama Desa Langon Kecamatan
Tahunan Terhadap Jual Beli Seni Ukir yang Belum Dibuat dan Diketahui Sifat Wujudnya, (Tidak Dipublikasikan, Skripsi IAIN Walisongo, 2009).
9
benda yang bermanfaat itu juga harus suci, halal, tidak menjijikkan, tidak
sedikit jumlahnya dan manfaatnya tidak dilarang oleh syara’.13
Skripsi yang disusun oleh Sulistiyono dengan judul Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Jual Beli (Study Analisis
Terhadap pasal 1493 KUH Perdata). Menurut penyusun skripsi ini bahwa
asas kebebasan berkontrak dalam jual beli adalah suatu asas yang menyatakan
bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) jual
beli yang berisi dan macam apapun asalkan tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 1493 KUH Perdata yaitu kedua belah pihak
diperbolehkan dengan persetujuan-persetujuan istimewa memperluas atau
mengurangi kewajiban yang ditetapkan undang-undang ini, bahkan mereka
diperbolehkan mengadakan persetujuan bahwa penjual tidak akan diwajibkan
menanggung sesuatu apapun.14
Berdasarkan telaah pustaka yang telah disebutkan di atas, maka
penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya yaitu
penelitian yang telah dijelaskan belum ada yang membahas adanya cacat
tersembunyi dalam jual beli kayu lebih khususnya dalam praktek jual beli
kayu jati gelondong di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten
Jepara.
13 Sawidi, Studi Analisis Pendapat Imam Nawawi tentang Syarat Manfaat Benda yang
Diperjualbelikan, (Tidak Dipublikasikan, Skripsi IAIN Walisongo, 2003). 14 Sulistiyono, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Asas Kebebasan Berkontrak dalam Jual
Beli (Study Analisis Terhadap pasal 1493 KUH Perdata), (Tidak Dipublikasikan, Skripsi IAIN Walisongo).
10
F. Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
lapangan, di mana penelitian ini bersifat kualitatif maksudnya adalah
penelitian yang menghasilkan data yang disajikan dalam bentuk kata-kata
tertulis.15
Dan dalam penulisan skripsi ini penulis akan menggunakan
pendekatan normatif yaitu dengan cara melakukan telaah pada undang-
undang (aturan-aturan) dan kaedah-kaedah yang ada sangkut pautnya pada
sesuatu yang menjadi fokus penelitian.16
2. Sumber Data
Penelitian ini mempunyai dua sumber data yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
sumber data yang pertama di lokasi penelitian atau objek penelitian
atau bahan-bahan yang mempunyai otoritas.17 Dalam penelitian ini
adalah para pengrajin mebel, para pembeli kayu dan penjual kayu jati
15 Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya,
1989, hlm. 3. 16 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing, 2006, hlm. 302. 17 Peter Muhammad Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm.
141.
11
gelondong di lokasi penelitian yaitu Desa Srobyong Kecamatan
Mlonggo Kabupaten Jepara.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang berasal dari orang kedua
bukan data yang datang secara langsung atau semua publikasi yang
bukan merupakan dokumen resmi,18 namun data-data ini mendukung
pembahasan penelitian. Fungsinya adalah memberikan keterangan
tambahan atau keterangan pendukung data primer. Dalam penelitian
ini data sekunder antara lain berupa keterangan masyarakat setempat,
buku-buku atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
permasalahan jual beli seperti kitab Kifayatul Ahyar, Al- Umm,
Bidayatul Mujtahid, Fiqh Sunnah, Fiqh Muamalah dan lain-lain.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Metode Interview (Wawancara)
Yaitu usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan
sejumlah pertanyaan, untuk menjawab secara lisan pula.19 Dengan
metode ini diharapkan dapat memperoleh jawaban secara lagsung,
jujur dan benar serta keterangan yang lengkap dari interviewer
sehubungan dengan obyek penelitian. Dalam hal ini wawancara akan
dilakukan pada orang-orang yang terlibat dalam jual beli kayu jati
gelondong yakni para pengrajin mebel, para penjual kayu dan
masyarakat setempat. Dengan metode ini, penulis gunakan secara
18 Ibid. 19 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005, Cet. Ke- 7, hlm. 37.
12
bebas terpimpin di mana sebelum memulai mengajukan pertanyaan,
penulis menyiapkan pokok-pokok penting yang akan ditanyakan dan
untuk selanjutnya penulis dalam mengajukan pertanyaan bebas dengan
kalimat sendiri.
4. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah menganalisis
data dan mengambil kesimpulan data yang terkumpul. Kesemuanya adalah
untuk menyimpulkan data secara teratur dan rapi. Dalam mengelola data
ini penulis akan menggunakan metode deskriptif normatif yaitu metode
yang dipakai untuk membantu dalam menggambarkan keadaan atau sifat
yang dijadikan obyek dalam penelitian dengan dikaitkan norma, kaedah
hukum yang berlaku atau sisi normatifnya untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum.20
G. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan skripsi ini lebih mengarah, maka penulis membagi
pembahasan menjadi beberapa bab. Tiap bab terdiri dari sub bab dengan
maksud untuk mempermudah dalam mengetahui hal-hal yang akan dibahas
dalam skripsi ini dan tersusun rapi dan terarah.
Bab I Berisi Pendahuluan. Bagian ini meliputi latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
20 Johnny Ibrahim, op.cit, hlm. 57.
13
telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan
skripsi.
Bab II Landasan Teori. Meliputi tentang konsep umum jual beli
yang mencakup pengertian dan dasar hukum jual beli, syarat
dan rukun jual beli, perjanjian jual beli dan cacat
tersembunyi.
Bab III Berisi tentang praktek jual beli kayu jati gelondong Di Desa
Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara. Di sini
penulis mencoba untuk memahami tentang kondisi sosial,
ekonomi, budaya dan geografi masyarakat daerah setempat
yaitu Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara.
Di samping itu juga berisi sekilas tentang gambaran umum
kayu jati dan praktek pelaksanaan jual beli kayu jati
gelondong di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo
Kabupaten Jepara.
Bab IV Berisi tentang tinjauan hukum Islam terhadap jual beli kayu
jati gelondong di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo
Kabupaten Jepara, pada bab ini penulis akan membahas dan
menganalisa pada bab sebelumnya yang meliputi analisis
terhadap praktek jual beli kayu jati gelondong di Desa
Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara serta
manganalisa perspektif hukum Islam tentang adanya cacat
14
tersembunyi dalam perjajian jual beli kayu jati gelondong di
Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara.
Bab V Penutup, pada bab ini merupakan bab terakhir dalam
penyusunan skripsi. Berisi tentang kesimpulan dari hasil
penelitian dan saran-saran serta penutup.
15
BAB II
KONSEP JUAL BELI DALAM ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Kebutuhan untuk melakukan transaksi jual beli adalah normal
adanya dan sebagai gambaran ketika seseorang memiliki beberapa dirham
uang dan dia dalam keadaan dahaga dan dipihak lain ada seseorang yang
mamiliki air, maka dalam situasi inilah kebutuhan transaksi timbul.
Ditinjau dari segi bahasa (Etimologis) jual beli berarti:
قمةلابش بئي ش1ئي Artinya: “menukarkan sesuatu dengan sesuatu”
Menurut Imam Taqiyuddin jual beli adalah:
2ئي شةلابقم يفئي شاءطعإ Artinya: “memberikan sesuatu dengan menukarkan sesuatu ”
Kata lain dari al-bai’ adalah as-syira, al-mubadah dan al-tijarah.
Berkenaan dengan kata al-tijarah dalam Al-Quran surat al-Fathir ayat 29:
… وربت ة لنارون تججر٢٩(ي( Artinya: “…Mereka mengharapkan ijarah (perdagangan) yang tidak akan
rugi ” (Fathir: 29) 3
1 Zainuddin Al Malibari, Fathul Mu’in, t.p.t.th, hlm. 66. 2 Imam Taqiyudin, Kifayatul Akhyar, Semarang: Usaha Keluarga, t.th, hlm. 235.
16
Menurut Sayyid Sabiq secara etimologis jual beli adalah berarti
pertukaran mutlak. Kata al-bai ‘jual’ dan as-syira ‘beli’ penggunaannya
disamakan antara keduanya. Dan kata ini masing-masing mempunyai
makna pengertian yang berbeda.4
Adapun pengertian jual beli menurut istilah (terminologis) adalah
pertukaran harta tertentu dengan harta lain berdasarkan keridhoan antara
keduanya.5
Menurut Imam Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayatul Ahyar:
قمةلاببال م لاب قالمللني تصاء بفريابجق وبلوي الل عوهجذأ مفنو 6هي
Artinya: “Penukaran harta dangan harta untuk dikelola (tasarrufkan) dengan ijab dan qobul dengan cara yang diijinkan”
Menurut Imam Zainuddin Al Malibari dalam kitabnya
Fathul Mu’in:
7مقابلة مال بمال على وجه مخصوص
Artinya: “Menukarkan sejumlah harta dengan harta yang lain dengan cara khusus”
Menurut hukum perikatan umum jual beli adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
3 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta: Pena Pundi Aksara, cet. ke-3, 2008,
hlm. 437. 4 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Nur Hasanuddin, Terj. “Fiqh Sunnah”, Jilid 4, Jakarta: Pena
Pundi Aksara, Cet. Ke-1, 2006, hlm.120 5 Ibid., hlm. 121 6 Imam Taqiyudin, op.cit., hlm. 232 7 Zainuddin Al Malibari, Fathul Mu’in, Moch. Anwar, Terj. “Fathul Mu’in”, Bandung:
Sinar Baru Algensindo, Cet. Ke -1, 1994, hlm. 763
17
suatu kebenaran dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan8
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa inti jual
beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang
mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, di mana yang
satu memberikan benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan
perjanjian atau ketentuan yang telah ditentukan syara’.
Sesuai dengan ketetapan syara’ maksudnya adalah memenuhi
syarat- syarat, rukun-rukun dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan
jual beli sehingga bila syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak
sesuai dengan kehendak syara’.
2. Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli menurut pandangan Al-Quran, As-Sunnah dan ijma’
adalah boleh.
a. Landasan Al-Quran
Dasar hukum jual beli dalam al-Qur’an antara lain terdapat pada:
1) Surat Al-Baqarah ayat 275
… ¨≅ ym r&uρ ª!$# yìø‹t7ø9$# tΠ§ym uρ (#4θ t/Ìh9$# 4 …
Artinya: “…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. (QS. Al-Baqarah: 275)9
8 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1999, hlm.
366 9 Depag RI. op.cit., hlm. 47.
18
2) Surat Al-Baqarah ayat 198
)١٩٨ (…ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضال من ربكم
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…” (QS. Al-Baqarah: 195)10
3) Surat an-Nisaa’ ayat 29
يا أيها الذين آمنوا ال تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إال أن تكون عن تراض منكم وال تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما تجارة
)٢٩(
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa’: 29)11
وا اللهاذكرل الله وفض وا منغتابض ووا في األرشرتالة فانت الصفإذا قضي )١٠(كثريا لعلكم تفلحون
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS. Al-Jumu’ah: 10) 12
b. Landasan As-Sunnah
Dasar hukum jual beli dalam as-Sunnah adalah:
10 Ibid., hlm. 30. 11 Ibid., hlm. 83. 12 Ibid., hlm. 554.
19
1) Hadis riwayat Bazzar dan Hakim
يب صلى اهللا عليه وسلم سئل عن رفاعة ابن رافع رضي اهللا عنه أن النرواه البزر (بيع مربور اي الكسب اطيب؟ قال عمل الرجل بيده وكل
13) وصححه احلاكم
Artinya: Rifa’ah bin Rafi’ menceritakan bahwa Nabi SAW pernah ditanya seseorang, apakah usaha yang paling baik? Beliau menjawab: “Usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang halal” (H.R. Bazzar dan Hakim)
c. Landasan Ijma’
Semua Ulama telah sepakat tentang masalah
diperbolehkannya jual beli dan telah dipraktekkan sejak zaman
Rasulullah.14 Hanya saja dalam perkembangannya mengalami
beberapa bentuk atau model jual beli yang membutuhkan
pemikiran atau ijtihad dikalangan ummat Islam.
B. Syarat dan Rukun Jual Beli
1. Rukun Jual Beli
Jual beli adalah merupakan suatu akad, dipandang sah apabila
telah memenuhi rukun dan syarat jual beli.
Mengenai rukun dan syarat para ulama berbeda pendapat.
Menurut Mazhab Hanafi rukun jual beli hanya ijab qobul saja. Menurut
13 Al-Hafidz bin Hajar Al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Indonesia: Darul Ahya Al-Kitab
Al-Arabiyah, hlm. 158). 14 Saleh Al-Fauzan, Mulakhosul Fiqhiyah, Abdul Khayyi Al-Kahani, Terj. “Fiqh Sehari-
hari”, Jakarta: Gema Insani Pers, Cet. Ke-1, 2005, hlm.365
20
mereka yang menjadi rukun jual beli hanyalah kerelaan antara kedua belah
pihak untuk berjual beli. Namun, karena unsur kerelaan berhubungan
dengan hati yang sering tidak kelihatan, maka diperlukan indikator
(qorinah) yang menunjukkan kerelaan tersebut dari kedua belah pihak.
Dapat brbentuk perkataan (ijab qobul) atau dalam bentuk perbuatan
(penyerahan barang atau penerimaan uang).15
Menurut jumhur Ulama rukun jual beli terdiri dari16:
a. Adanya pihak penjual dan pembeli
b. Adanya objek jual beli (benda dan uang)
c. Adanya lafal (ijab qobul)
2. Syarat-syarat Syah Jual Beli
Agar suatu jual beli yang dilakukan pihak penjual dan pembeli
sah, haruslah terpenuhi syarat-syarat yaitu: syarat tentang subjeknya,
syarat tentang objeknya dan syarat tentang lafadznya.
a. Syarat Tentang Subyeknya
Ulama fiqh telah sepakat bahwa orang yang melakukan akad
(Aqidain) haruslah memenuhi syarat:
1) Baligh dan Berakal
Disyaratkan bagi aqidain agar baligh dan berakal agar
tidak mudah ditipu orang. Dengan demikian transaksi jual beli
yang dilakukan anak kecil, orang mabuk, orang gila dan orang
15 M. Ali Hasan, Berbagi Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 118
16 Ibid.
21
dewasa yang tidak dapat mengatur hartanya (pemboros) bisa
dinyatakan tidak sah. Sebab mreka tidak ahli tasarruf (ahli
mengendalikan harta).17
Sebagaimana firman Allah:
فيها وارزقوهم قياما لكم الله جعل التي أموالكم السفهاء تؤتوا والموهاكسقولوا وو مال لهوفا قورع٥ (م(
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang
belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”. (an-Nisaa : 5)18
Bila harta benda yang tidak boleh diserahkan kepada
orang yang belum berakal sempurna, maka ini berarti bahwa
orang yang tidak ahli dalam mentasarrufkan hartanya tidak
boleh melakukan akad jual beli.
Dan anak kecil yang sudah mampu membedakan
mana yang benar dan mana yang salah (mumayyiz) maka sah
akadnya, namun tergantung walinya, menurut pendapat
sebagian ulama diperbolehkan jual beli, khususnya untuk
barang-barang kecil dan tidak bernilai tinggi.19
17 Idris Ahmad, Fiqh Menurut Mazhab Syafi’i, Jakarta: Widjaya, Cet. Ke-1, 1969, hlm. 8 18 Depag RI, op.cit., hlm. 77. 19 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-2, 2000,
hlm. 131
22
1) Dengan Kehendaknya Sendiri
Yang dimaksud dengan kehendak sendiri yaitu bahwa
dalam melakukan perbuatan jual beli tersebut salah satu pihak
tidak melakukan tekanan atau paksaan pihak lainnya.20
Jual beli dianggap tidak sah hukumnya jika salah satu
dari penjual atau pembeli merasa terpaksa. Sebab Allah SWT
telah berfirman :
4 تقتلوا أنفسكمم والإال أن تكون تجارة عن تراض منك…
…)٢٩(
Artinya: “….kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu”...(An-nisa: 29)21
Namun jika pemaksaan tersebut atas dasar pemaksaan
yang benar, maka jual beli dianggap sah. Seperti jika ada
seorang hakim yang memaksanya menjual hak miliknya untuk
menunaikan kewajiban agamanya, maka paksaan ini adalah
paksaan yang didasarkan atas kebenaran.
2) Beragama Islam
Syarat ini hanya tertentu untuk pembeli saja, bukan
untuk penjual. Kalau yang dibeli itu sesuatu yang tertulis di
20 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,
Jakarta: Sinar Grafika, 1994, hlm. 35. 21 Depag RI, op.cit., hlm. 83.
23
dalamnya firman Allah, walau satu ayat sekalipun. Seperti
membeli Al-Quran atau kitab-kitab hadist Nabi.22
b. Syarat Tentang Obyeknya
Ma’qud ‘alaih adalah barang yang dijadikan objek jual beli.
Adapun syarat-syarat barang yang diakadkan yaitu:
1) Suci (halal dan baik)
Disyaratkan barangnya harus dalam keadaan suci. Hal ini
berdasarkan hadist Rasulullah SAW :
ما أنه مسع رسول اهللا صلى اهللا عنهوعن جابر بن عبد اهللا رضى اهللا إن اببه حرم بيع اخلمر وامليتتة : وهو مبكة, عليه وسلم يقولو عام النج
23 )متفق عليه.... (واخلرتير واالصنام
Artinya: “Jabir bin Abdillah menceritakan, bahwa ia
mendengar Rasulullah bersabda pada tahun futuh (pembukaan) di Makkah: sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan berhala ”… (muttafaqqun ‘alaih)
Rasulullah tidak memberikan keringanan dalam
memperjualbelikan barang-barang tersebut dan tidak pula
mencegah untuk memanfaatkannya. Tidak sama dan tidak ada
kaitannya antara mengharamkan jual beli barang tersebut dengan
menghalalkan untuk memanfaatkannya.24
22 Idris Ahmad, op.cit., hlm. 8 23 Al Hafidz bin Hajar Al-Asqalani, loc.cit., hlm. 158. 24 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 124
24
2) Bermanfaat
Disyaratkan barang yang diakadkan haruslah bermanfaat
maksudnya barang yang diakadkan harus memberi manfaat
menurut syara’. Misalnya sesuatu barang dibeli yang tujuan
pemanfaatan barangnya untuk berbuat yang dilarang syara’, maka
dapat dikatakan barang yang demikian tidak bermanfaat.25
3) Milik orang yang melakukan akad
Disyaratkan barang yang diakadkan haruslah milik orang
yang melakukan akad maksudnya bahwa orang yang melakukan
perjanjian jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah barang
tersebut dan atau telah mendapatkan izin dari pemilik sah barang
tersebut.26
Dengan demikian jual beli barang yang dilakukan oleh
orang yang bukan pemilik atau berhak berdasarkan kuasa pemilik
dipandang sebagai perjanjian jual beli yang batal.
4) Mampu diserahkan oleh pelaku akad
Maksudnya adalah barang akad dapat diserahkan oleh
pelaku akad secara syariat atau secara konkret. Sebab, sesuatu yang
tidak dapat diserahkan itu dianggap sama saja dengan sesuatu yang
tidak ada. Dan jual beli dengan cara yang demikian tidaklah sah,
seperti menjual ikan dalam air.27
25 Ibid., hlm. 127 26 Ibid. 27 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, op.cit. ,hlm. 40
25
Ketentuan ini dapat dikemukakan bahwa wujud barang
yang dijual harus nyata dan dapat diketahui jumlahnya (baik
ukuran maupun besarnya).
5) Mengetahui
Apabila dalam transaksi jual beli keadaan dan jumlahnya
tidak diketahui, maka perjanjian jual beli itu tidaklah sah. Sebab
bisa jadi jual beli tersebut mengandung unsur penipuan.28
Mengetahui di sini dapat diartikan yaitu melihat sendiri
keadaan barang baik hitungan, takaran, timbangan atau
kualitasnya. Demikian juga harganya harus diketahui baik itu sifat,
nilai pembayarannya, jumlah maupun masanya.
6) Adanya barang yang diperjualbelikan saat Ijab Qobul
Menyangkut perjanjian jual beli atas suatu barang yang
belum ditangan adalah dilarang sebab bisa jadi jual beli barang itu
sudah rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana yang telah
diperjanjiakan.29
c. Syarat Tentang Lafadznya
Jual beli dianggap sah, jika terjadi sebuah kesepakatan
(sighat) baik secara lisan (sighat qauliyah) maupun dengan cara
perbuatan (sighat fi’liyah). Sighat qauliyah yaitu perkataan yang
terucap dari pihak penjual dan pembeli. Sedangkan sighat fi’liyah yaitu
28 Ibid. 29 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 133
26
sebuah proses serah terima barang yang diperjualbelikan yang terdiri
dari proses pengambilan dan penyerahan.30
Akad sendiri artinya ikatan kata antara penjual dan pembeli.
Umpamanya: “aku jual barangku kepadamu dengan harga sekian” kata
penjual, “aku beli barangmu dengan harga sekian” sahut pembeli.
Perkataan penjual dinamakan ijab dan perkataan pembeli dinamakan
qobul.31
Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah ijab
merupakan ungkapan awal yang diucapkan oleh salah satu dari dua
pihak yang melakukan akad. Dan qabul adalah pihak yang kedua.32
Menurut Imam Syafi’i jual beli bisa terjadi baik dengan kata-
kata yang jelas maupun kinayah (kiasan) dan menurut beliau itu tidak
akan sempurna sehingga mengatakan “sungguh aku telah beli
padamu”.33
Memperhatikan pandangan para fuqoha’ tersebut, maka
dalam masalah ini penulis dapat menggaris bawahi bahwa jika
kerelaan tidak tampak, maka diukurlah dengan petunjuk bukti ucapan
(ijab qobul) atau dengan perbuatan yang dipandang ‘urf (kebiasaan)
sebagai tanda pembelian dan penjualan.
30 Saleh Al-Fauzan, op.cit., hlm. 364 31 Idris ahmad, op.cit., hlm. 6. 32 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 121. 33 Abdul Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Ghazali Said, Terj.
“Bidayatul Mujtahid”, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hlm. 797.
27
Menurut beberapa Ulama, lafadz (ijab qobul) ada beberapa
syarat:
1) Kedua pelaku akad saling berhubungan dalam satu tempat, tanpa
terpisah yang dapat merusak.
2) Orang yang mengucapkannya telah akil baligh dan berakal.
3) Ijab dan qobul harus tertuju pada suatu obyek yang merupakan
obyek akad.
4) Adanya kemufakatan walaupun lafadz keduanya berlainan
5) Waktunya tidak dibatasi, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan,
setahun dll adalah tidak sah.34
C. Perjanjian Jual Beli
Jual beli dapat di tinjau dari beberapa segi:
1. Ditinjau Dari Segi Hukumnya
a. Jual Beli Yang Shahih
Jual beli yang shahih maksudnya jual beli yang sesuai dengan
ketentuan syara’ yaitu jual beli yang telah terpenuhi syarat dan
rukunnya, barangnya bukan milik orang lain dan tidak terikat dengan
khiyar lagi, maka jual beli itu shahih dan mengikat kedua belah pihak.
b. Jual Beli Yang Bathil
Yaitu apabila pada jual beli itu salah satu syarat dan rukunnya
tidak terpenuhi atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak
34 Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. Ke-2, 2001, hlm.
124
28
diperbolehkan syara’. Umpamanya jual beli yang dilakukan oleh anak-
anak, orang gila atau barang-barang yang dijual itu barang yang
diharamkan syara’ (bangkai, darah, babi dan khamr).
Adapun bentuk-bentuk jual bli yang bathil diantaranya adalah
sebagai berikut:
1) Jual beli barang yang tidak ada
2) Jual beli yang mengandung unsur tipuan
3) Jual beli benda najis
4) Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
5) Jual beli air sungai, air danau, air laut dan air yang tidak boleh
dimiliki orang lain.35
2. Ditinjau dari Segi Obyeknya
a. Jual Beli Benda Yang Kelihatan
Yaitu jual beli yang pada waktu akad jual beli benda atau
barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli.
b. Jual Beli Yang Disebutkan Sifat-Sifatnya Dalam Perjanjian
Yaitu jual beli salam (pesanan) yaitu penyerahan sebagian
uang sebagai pembayaran pembelian yang barangnya akan diterima
kemudian. Menurut kebiasaan salam ini adalah jual beli yang tidak
kontan (tunai) dengan maksud penyerahan barang-barangnya
ditangguhkan hingga masa tertentu.
35 M. Ali Hasan, op.cit., hlm 128-134
29
Dalam salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat
tambahan seperti berikut:
1) Jelas sifatnya
2) Jelas jenisnya
3) Batas waktu penyerahan diketahui
4) Jelas harganya dan alat pembayaran apa yang akan
digunakannya.36
c. Jual Beli Benda Yang Tidak Ada
Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah
jual beli yang dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak tentu
atau masih gelap, sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh
dari curian atau titipan dll yang akibatnya dapat menimbulkan
kecurigaan salah satu pihak.37
3. Ditinjau Dari Segi Subyeknya (Pelaku Akad)
a. Akad Jual Beli Dengan Lisan
Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang
dilakukan dengan mengucapkan ijab qobul secara lisan. Bagi orang
yang bisu diganti dengan isyarat karena isyarat merupakan pembawaan
alami dalam menampakkan kehendaknya.38
36 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, op.cit. ,hlm. 49 37 Ibid., hlm. 77 38 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 123
30
b. Akad Jual Beli Dengan Perantara
Akad jual beli yang dilakukan dengan melalui utusan,
perantara, tulisan atau surat menyurat sama halnya dengan ijab qobul
dengan ucapan. Jual beli ini dilakukan antara penjual dan pembeli yang
tidak berhadapan dalam satu majlis. Dan jual beli ini diperbolehkan
syara’. 39
c. Jual Beli Dengan Perbuatan
Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal
dengan istilah mu’athah yaitu mengambil dan memberikan barang
tanpa ijab qobul. Seperti seseorang mengambil rokok yang sudah
bertuliskan lebel harganya. Jual beli demikian dilakukan tanpa shigat
ijab qobul antara penjual dan pembeli, menurut sebagian Syafi’iyah
tentu hal ini dilarang sebab ijab qobul sebagai rukun jual beli, tetapi
menurut Mazhab Hanafiah membolehkan karena ijab qobul tidak
hanya berbentuk perkataan tetapi dapat berbentuk perbuatan pula yaitu
saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang).40
4. Jual Beli Berdasarkan Pertukarannya
a. Jual Beli Salam
Yaitu jual beli dengan pesanan, yakni jual beli dngan cara
menyerahkan uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
39 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Prsada, 2008, hlm. 77 40 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, op.cit. ,hlm. 78
31
b. Jual Beli Barter
Jual Beli Barter adalah dengan cara menukar barang dengan
barang, seperti menukar baju dengan sepatu.
c. Jual Beli Mutlaqah
Jual beli Mutlaqah adalah jual beli barang dengan sesuatu
yang telah disepakati sebagai alat pertukaran sperti uang.
d. Jual Beli Alat Penukaran Dengan Alat Penukaran
Adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat
pertukaran dengan alat pertukaran lainnya, seperti uang perak ditukar
dengan uang emas dan alin-lain.41
D. Cacat Tersembunyi
Yang dimaksud “cacat” adalah kerusakan yang dapat mengurangi
nilai atau sesuatu yang sangat berharga pada barang itu.42 Sedangkan
perkataan “tersembunyi” dalam hal ini diartikan cacat atau kerusakan yang
tidak mudah dilihat oleh seorang pembeli yang normal, bukannya seorang
pembeli yang terlampau teliti, sebab adalah mungkin juga bahwa orang yang
terlalu teliti akan menemukan cacat tersebut.43
Pada prinsipnya, semua yang menyebabkan berkurangnya harga
harus pula menjadi sebab dikembalikannya dikembalikannya barang, ini
pendapat yang dipegangi fuqaha amshar44. Dengan ditemukannya cacat
41 Rahmat Syafi’i, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 101 42 Sudarsono, op.cit., hlm. 412 43 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet. Ke-10, 1995, hlm. 20 44 Abdul Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 815
32
tersembunyi pada obyek jual beli terkadang memicu perselisihan antara
penjual dan pembeli. Rasulullah SAW brsabda:
ىف انه خيدع : ى اهللا عليه وسلمذكر رجل لرسو ل اهللا صل: عن ابن عمر قا ل )متفق عليه(وع فقال إذا بايعت فقل ال خال بة البي
Artinya: Dari Ibnu Ummar, ia berkata: ada seseorang menyampaikan pada Rasulullah bahwa ia telah tertipu dalam jual beli, kemudian Rasulullah bersabda: “siapa yang berjual beli denganmu maka katakanlah “ tidak ada penipuan”. (H.R. Ahmad, Bukhari dan Muslim)45
Islam sendiri mengatur untuk menjaga jangan sampai terjadi
perselisihan antara penjual dan pembeli, maka syari’at Islam memberikan hak
khiyar, yaitu hak memilih untuk melangsungkan atau tidak jual beli tersebut
karena ada suatu hal bagi kedua belah pihak. Hak-hak tersebut dapat
berbentuk:
1. Khiyar Majlis
Yaitu kedua belah pihak yang melakukan akad mempunyai hak
pilih untuk meneruskan atau membatalkan jual beli selama masih berada
dalam satu majlis.46 Khiyar majlis diperbolehkan dalam semua bentuk jual
beli.
45 Al-Hafidz bin Hajar al- Asqalani, op,cit., hlm. 179. 46 Sudarsono, op.cit., hlm. 408
33
Rasulullah SAW juga bersabda:
اذا : ى اهللا عليه وسلم قالعن ابن عمر رضى اهللا عنهما عن رسول اهللا صلمتفق عليه واللفظ .... (تبايع الرجالن فكل واحد منهما با اخليارمامل يتفرقا
47 )ملسلم
Artinya: Ibnu Umar menceritakan, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: “jika dua orang berjual beli, maka masing-masing berhak khiyar, selama belum berpisah…”. (H.R. Muslim)
Ketetapan Allah tentang disyariatkannya khiyar majlis dalam jual
beli mengandung hikmah dan maslahat yang dalam bagi kedua belah pihak
yang melakukan transaksi selain itu bertujuan agar keridhaan kedua pihak
dapat dicapai dengan sempurna.
Menurut ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali bahwa masing-
masing pihak berhak mempunyai khiyar selama masih berada dalam satu
majlis, sekalipun sudah terjadi ijab qobul. Berbeda dengan Mazhab Hanafi
dan Malik, bahwa suatu akad telah dipandang sempurna apabila telah
terjadi ijab qobul menurut mereka ijab qobul itu terjadi setelah ada
kesepakatan.48
Pada prinsipnya khiyar majlis berakhir dengan adanya dua hal:
a. Keduanya memilih akan terusnya akad
b. Di antara keduanya terpisah dari tempat jual beli.49
47 Imam Abi Husain Muslim bin Al Khajjaj, Shahih Muslim, Indonesia: Maktabah
Dahlan, t.th., hlm. 1163 48 M. Ali Hasan, op.cit., hlm. 139 49 Sudarsono, op.cit., hlm. 410
34
2. Khiyar Syarat
Yaitu salah satu pihak yang melakukan akad membeli sesuatu
dengan syarat dibolehkan melakukan khiyar dalam waktu tertentu atau
lebih.50
Khiyar syarat ini dapat digunakan dalam segala macam jual beli.
Akan tetapi tidak berlaku bagi barang-barang yang sejenis riba. Khiyar
syarat batal dengan ucapan dan tindakan pembeli terhadap barang yang
dibelinya dengan cara mewakafkan, menghibbahkan atau membayar harga
tersebut Karena tindakannya tersebut menunjukkan keridhaannya atas
akad jual beli.51
Masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam
terhitung dari waktu akad. Rasulullah SAW bersabda:
ال تصروا اإل : ىب هرية رضي اهللا عنه عن النيب صلى اهللا عليه وسلم قالعن ابعد ان حيلبها إن شاء امسكها وإن رين النظبل والغنم فمن ابتعها بعد فهو خبري
52)متفق عليه وملسلم فهو باخليار ثالثة ايام. (شاء ردها وصاعا من متر
Artinya: Dari Abi Hurairah memberitakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “ janganlah kamu menahan air susu unta dan kambing agar terlihat gemuk oleh pembeli, maka siapa yang membeli binatang seperti itu, akhirnya ternyata binatang itu kurus, maka pembeli berhak memilih yang terbaik dari dua macam, yaitu: apakah ia memiliki binatang itu terus atau mengembalikannya kepada penjual dengan menambahkan korma satu sukat pada penjualnya. (Muttafaqun ‘Alaihi) Imam Muslim menmbahkan “ia berhak memilih hanya dalam masa tiga hari”.
50 Ibid. 51 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 160 52 Al-Hafidz Bin Hajar al-Asqalani, op.cit., hlm. 166.
35
3. Khiyar ‘Aib
Khiyar ‘aibi (cacat) yaitu hak memilih dimana pembeli boleh
mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang yang dibeli itu
terdapat cacat yang mengurangi nilai atau sesuatu yang berharga pada
barang itu.53
‘Aib diartikan sebagai sesuatu yang dapat mengurangi nilai
ekonomis barang (obyek) transaksi.54
Jika akad telah dilakukan dan pembeli telah mengetahui adanya
cacat pada barang tersebut, maka akadnya sah dan tidak ada lagi khiyar
setelahnya.55 Alasannya ia telah rela dengan barang tersebut beserta
kondisinya. Namun jika pembeli belum mengetahui cacat barang tersebut
dan mengetahuinya setelah akad, maka akad tetap dinyatakan benar dan
pihak pembeli berhak melakukan khiyar antara mengembalikan barang
atau meminta ganti rugi sesuai dengan adanya cacat.
Dimyauddin Djuwaini mengatakan bahwa khiyar ‘aib bisa
dijalankan dengan syarat sebagai berikut:
a. Cacat sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum terjadi
serah terima, jika ‘aib muncul setelah serah terima maka tidak ada
khiyar.
b. Aib tetap melekat pada obyek setelah diterima oleh pembeli.
53 Sudarsono, op.cit., hlm. 412 54 Dimyauddin Djuwaini, Penganbtar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.
Ke-1, 2008, hlm. 98. 55 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 161
36
c. Pembeli tidak mengetahui adanya ‘aib atas obyek transaksi, baik
ketika melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika pembeli
mengetahui sebelumnya, maka tidak ada khiyar karena itu berarti telah
meridhoinya.
d. Tidak ada persyaratan bara’ah (cuci tangan) dari ‘aib dalam kontrak
jual beli, jika dipersyaratkan, maka hak khiyar gugur.
e. ‘Aib masih tetap sebelum terjadinya pembatalan akad. 56
Para ulama’ memprioritaskan khiyar’aib bagi pihak pembeli.
Karena kebanyakan uang yang dipakai sebagai alat pembeyaran bersifat
resmi sehingga jarang terjadi adanya kecacatan (kepalsuan).57
Pembeli diperpolehkan memilih antara mengembalikan yang
telah dibeli dan mengambil harganya, atau tetap menahan barang tersebut
tanpa memperoleh ganti apapun. Jika kedua belah pihak sepakat bahwa
pembeli tetap memegangi barang sedang penjual memberikan gain rugi
cacatnya kebanyakan fuqaha’ amshar membolehkannya.58
Hukum kerusakan barang baik yang rusak seluruhnya atau
sebagian, sebelum akad dan sesudah akad terdapat beberapa ketentuan
yaitu:
a. Barang rusak sebelum diterima pembeli
1) Barang rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, jual beli
batal.
56 Dimayauddin Djuwaini, op.cit., hlm.99. 57 Zainuddin al_Malibari, op.cit., hlm. 800. 58 Abdul Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 815.
37
2) Barang rusak oleh pembeli, akad tidak batal dan pembeli harus
membayar.
3) Barang rusak oleh orang lain, jual beli tidaklah batal, tetapi
pembeli harus khiyar antara membeli dan membatalkan.
b. Jika barang rusak semuanya setelah diterima pembelis
1) Barang rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, pembeli
atau orang lain, jual beli tidaklah batal sebab barang telah keluar
dari tanggungan penjual. Akan tetapi jika yang merusak orang lain,
maka tanggungjawabnya diserahkan kepada perusaknya.
2) Jika barang rusak oleh penjual maka ada dua sikap:
a) Jika pembeli telah memegangnya baik dengan seizin penjual
atau tidak, tetapi telah membayar harga, penjual bertanggung
jawab.
b) Jika penjual tidak mengizinkan untuk memegangnya dan harga
belum diserahkan maka akad batal.
c. Barang rusak sebagian sebelum diterima pembeli
Ulama’ Hanafiah berpendapat:
1) Jika rusak sebagian diakibatkan sendirinya, pembeli berhak khiyar
(memilih) boleh membeli atau tidak.
2) Jika rusak oleh penjual, pembeli berhak khiyar.
3) Jika rusak oleh pembeli, jual beli tidaklah batal.59
59 Rahmat Syafi’I, op.cit., hlm. 89.
38
d. Barang rusak sebagian setelah dipegang pembeli
1) Tanggung jawab bagi pembeli, baik rusak oleh sendirinya ataupun
orang lain.
2) Jika disebabkan oleh pembeli, dilihat dari dua segi. Jika dipegang
atas seizin penjual, hukumnya sama seperti barang yang dirusak
oleh orang lain. Jika dipegang bukan atas seizinnya, jual beli batal
atas barang yang dirusaknya.60
Dalam kaitan hal ini Sayyid Sabiq menjelaskan mengenai barang
yang rusak sebelum serah terima ada enam alternatif yaitu61:
a. Jika kerusakan mencakup semua atau sebagian barang sebelum terjadi
serah terima yang disebabkan perbuatan pembeli, maka jual beli tidak
batal, akad berlaku seperti semula.
b. Apabila kerusakan barang diakibatkan perbuatan pihak lain (selain
pembeli dan penjual), maka pembeli boleh menentukan pilihan, antara
menerima atau membatalkan akad.
c. Jual beli akan batal apabila kerusakan barang sebelum terjadi serah
terima akibat perbuatan penjual atau rusak dengan sendirinya.
d. Apabila kerusakan barang sebagian lantaran perbuatan penjual,
pembeli tidak wajib membayar atas kerusakan barang tersebut,
sedangkan untuk lainnya ia boleh menentukan pilihan antara
mengambilnya dengan potongan harga.
60 Ibid., hlm. 90.
61 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 155.
39
e. Apabila barangnya rusak dengan sendirinya, maka pembeli tetap wajib
membayar harga barang. Sedangkan penjual boleh menentukan
pilihan antara membatalkan akad dengan mengambil sisa barang dan
membayar semuanya.
f. Apabila kerusakan barang terjadi akibat bencana dari Tuhan sehingga
berkurang kadar dan harga barang tersebut pembeli boleh menentukan
pilihan antara membatalkan atau dengan mengambil sisa dengan
pengurangan pembayaran.
Sedangkan barang yang rusak setelah serah terima, Sayyid Sabiq
menjelaskan bahwa barang yang rusak setelah serah terima maka menjadi
tanggung jawab pembeli, dan ia wajib membayar harga barang, apabila
tidak ada alternatif lain dari pihak penjual. Dan jika ada alternatif lain dari
pihak penjual, maka pihak pembeli mengganti harga barang atau
mengganti barang yang serupa.62
Cacat yang terdapat pada kayu Jati adalah suatu kelainan yang
terjadi atau terdapat pada kayu Jati yang dapat mempengaruhi mutu kayu
tersebut. Adapun macam-macam cacat yang terdapat pada kayu jati
adalah:
a. Retakan cekung
Retakan cekung bisa timbul memanjang dalam kayu. Semua itu
bias disebabkan oleh angin kencang ynag menerpa selagi pohon
tumbuh atau benturan yang terjadi sewaktu pohon ditebang, serat-serat
62 Ibid.
40
dari gelang-gelang tahun yang berdampingan di mana terdapat sel-sel
yang bervariasi, menjadi robek.
b. Celah-celah
Cealah-celah dibagian dalam disebabkan oleh cara pengeringan
yang jelek. Ada kalanya kayu gergajian akan mengering tanpa
menunjukkan perubahan lebar asal. Kemudian bila bagian dalampun
mengering ia akan menyusut dan retakan-retakan bisa timbul di bagian
dalam.
c. Pecah-pecah di bagian permukaan
Pecah-pecah pada permukaan kayu disebabkan karena
permukaan kayu gergajian mengering lebih cepat daripada bagian
dalamnya. Permukaan kayu tersebut menyusut sedangkan bagian
dalam tetap berada pada keadaan normal. Serat-serat kayu dipaksa
merenggang oleh regangan yang tidak merata di permukaan.
d. Doreng
Adalah kelainan warna genetis kayu, berasal dari perubahan
zat-zat kimiawi dan lain-lain yang biasanya berwarna hitam kusam dan
pada umumnya mengikuti lingkaran tahun atau pertumbuhan.
e. Kuku macan
Adalah cacat pada vernir jati berupa titik-titik hitam
menyerupai mata kayu, pada umumnya berkelompok yang terdiri dari
tiga sampai lima titik dan berasal dari cacat buncak-buncak pada kayu
bundar jati
41
f. Alur hitam
Adalah cacat pada permukaan vernir jati, berbentuk alur dan
berwarna hitam, disebabkan oleh endapan yang berwarna gelap pada
pori kayu.
g. Alur minyak
Adalah cacat pada pada permukaan vernir jati berbentuk alur
dan berwarna coklat kehitaman mengikuti arah lingkaran tahun.63
63 Hasil Wawancara dengan Bapak H. Nuri, Selaku Penjual Kayu Jati Gelondong,
Wawancara Dilakukan tgl. 02 Oktober 2009
42
BAB III
PRAKTEK JUAL BELI KAYU JATI DI DESA SROBYONG
KECAMATAN MLONGGO KABUPATEN JEPARA
A. Lokasi Penelitian
1. Kondisi Geografis Dan Demografis Desa Srobyong
Desa Srobyong adalah termasuk salah satu di antara Desa-Desa yang
berada di wilayah Kecamatan Mlonggo yang letaknya kurang lebih 5 kilo meter
dari Ibukota Kabupaten Jepara.
Adapun batas-batas Desa Srobyong yaitu:
a. Sebelah utara dibatasi Desa Karanggondang
b. Sebelah slatan dibatasi dengan Desa Jambu
c. Sebelah barat dibatasi dengan Desa Sekuro
d. Sebelah timur dibatasi dengan Desa Sekuro
luas tanah Desa srobyong adalah 637.356 ha. Kondisi tanahnya sangat
subur untuk becocok tanam, berternak, dan termasuk daerah dataran rendah yang
mempunyai dua musim yaitu kemarau dan penghujan, sehingga cocok untuk
tanaman pasi maupun tanaman lainnya. Adapaun luas persawahannya adalah
131.200 ha.
Desa srobyong termasuk Desa yang padat penduduk. Jumlah penduduk
Desa srobyong yakni mencapai 79.993 jiwa. Hal ini dapat terinci dalam tabel
berikut:
43
TABEL I
PENDUDUK DESA SROBYONG
MENURUT KELOMPOK UMUR TAHUN 20091
No Kelompok Umur
Laki-laki Perempuan Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-39 40-49 50-59 60 ke atas
438 435 432 370 363 349 324 371 373 611
438 458 424 360 352 325 314 361 312 583
876 893 856 730 715 674 638 732 685 1194
Dengan keterangan tersebut di atas, penduduk Desa Srobyong dapat
penulis kelompokkan menjadi 4 (empat) golongan:
a. golongan anak berumur 0-14 tahun berjumlah 2625
b. golongan anak muda berumur 15-19 tahun berjumlah 730
c. golongan dewasa berumur 20-39 tahun berjumlah 2027
d. golongan tua berumur 40-60 tahun ke atas berjumlah 2611
Dalam Dokumen Rencana Pembangunan dijelaskan bahwa masalah
tenaga kerja merupakan persoalan yang paling sering dibicarakan dan masih
dicarikan jalan keluarnya oleh banyak Negara berkembang. Tingginya
pertumbuhan penduduk dan terbatasnya lapangan pekerjaan serta semakin
banyaknya prasarana produksi yang menggunakan teknologi modern
menyebabkan semakin terdesaknya tenaga kerja manusia. Sedangkan Desa
Srobyong ditinjau dari segi mata pencaharian adalah terdiri dari berbagai macam
1 Data Buku Monografi Desa Srobyong, Agustus 2009.
44
pekerjaan. Berikut penulis akan kemukakan data tentang mata pencaharian
penduduk usia sepuluh tahun ke atas di Desa Srobyong yang terinci dalam tabel di
bawah ini:
TABEL II
DATA MATA PENCAHARIAN
PENDUDUK DESA SROBYONG2
No Mata Pencaharian Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Petani Sendiri Buruh Tani Nelayan Pengusaha Seni Ukir/ Mebel Buruh Industri Buruh Bangunan Pedagang Pengangkutan Pegawai Negeri Sipil/ ABRI Pensiunan Lain-lain
394 381 118 260 497 351 283 268 97 63 25
Tabel tersebut di atas memperlihatkan komposisi mata pencaharian
penduduk Desa Srobyong pada tahun 2009. Lapangan pekerjaan seni ukir atau
mebel sudah banyak digeluti oleh masyarakat Desa Srobyong.
2. Kondisi Sosial Masyarakat Lokasi Penelitian
a. Kondisi Ekonomi
Penduduk Desa Srobyong berdasarkan hasil registrasi penduduk
tahun 2009 berjumlah 7992 jiwa dengan kepadatan 6.196 jiwa/km. Mayoritas
masyarakatnya beragama Islam dan memiliki beraneka ragam pekerjaan,
2 Data Buku Monografi Desa Srobyong, Agustus 2009.
45
terutama dibidang pembuatan seni ukir atau mebel yang sudah banyak digeluti
oleh masyarakat Desa Srobyong.
Sebagian besar masyarakat Desa Srobyong khususnya kaum laki-
laki berprofesi sebagai buruh industri mebel. Rata-rata para pekerja ini
membuat pesanan seni ukir atau mebel dan mendapatkan upah ataupun
pendapatan secara tunai sebesar Rp.200.000/minggu. Biasanya pemesannya
adalah para pengusaha lokal maupun pengusaha luar negeri.
Sebagian besar kaum wanita Desa Srobyong memiliki pendapatan
tunai tambahan dengan berprofesi sebagai buruh tani, pedagang, guru dan
buruh industri mebel dibagian pengamplasan. Dengan demikian bahwa kaum
wanita tidak hanya melakukan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga akan tetapi
juga melekukan pekerjaan di luar rumah dan ada juga yang melakukan
pekerjaan sampai ke luar Desa bahkan ke luar negeri.
b. Kondisi Keagamaan
Dalam bidang agama masyarakat Desa Srobyong adalah
masyarakat yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Hal itu
dapat dilihat pada catatan buku monografi Desa Srobyong yang merupakan
data jumlah penduduk pemeluk agama, yaitu sebagai berikut:
TABEL III JUMLAH PENDUDUK MENURUT AGAMANYA
DI DESA SROBYONG3 No. Agama Jumlah 1 2 3 4 5
Islam Katholik Kristen Protestan Budha Hindu
7237 5 140 16 -
3 Data Buku Monografi Desa Srobyong, Agustus 2009.
46
Selanjutnya untuk menmpung kegiatan bagi penganut agama dan
kepercayaan di Desa Srobyong tersedia 26 sarana tempat peribadatan.
Rinciannya dapat dilihat pada tabel berikut:
TABEL IV
BANYAKNYA TEMPAT IBADAH
DI DESA SROBYONG 20094
No. Nama Tempat Ibadah Jumlah
1 2 3 4 5
Masjid Mushala Gereja Wihara Pura
4 20 1 1 -
Jumlah 26
c. Kondisi Pendidikan
Penduduk Desa Srobyong ditinjau dari segi pendidikannya terdiri
dari beberapa tingkat, sebagaimana dalam tbel berikut:
TABEL VI
DATA PENDIDIKAN PENDUDUK
DESA SROBYONG TAHUN 20095
No. Jenis Pendidikan Jumlah 1 2 3 4 5 6 7
Tidak Sekolah Belum Tamat Tidak Tamat SD Tamatan SD Tamatan SLTP Tamatan SLTA Tamatan Akademi
- 697 323 2392 2340 698 566
4 Data Buku Monografi Desa Srobyong, Agustus 2009. 5 Data Buku Monografi Desa Srobyong, Agustus 2009.
47
Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Desa
Srobyong apabila ditinjau dari pendidikannya, maka terlihat bahwa yang
tamat SD lebih banyak yaitu 2392 dibandingkan dengan yang lainnya.
d. Kondisi Budaya
Desa Srobyong termasuk Desa di daerah pelosok dan mayoritas
mata pencahariannya adalah wiraswasta dalam bidang seni ukir atau mebel,
petani, dan tukang. Desa Srobyong memiliki jarak tempuh yang relative jauh
dari pusat pemerintahan. Namun, kondisi ini ditunjang dengan sarana dan
prasarana kegiatan masyarakat peDesaan pada umumnya dan memiliki
kehidupan social budaya yang sangat kental. Hal ini yang membedakan antara
kondisi social masyarakat Desa dengan masyarakat kota pada umumnya, yang
terkenal dengan individualistik dan hedonis yang merupakan corak kehidupan
masyarakat kota.6
Di Desa Srobyong, nilai-nilai budaya, tata dan pembinaan
hubungan antar masyarakat yang terjalin di lingkungan masyarakatnya masih
merupakan warisan nilai budaya nenek moyang. Di samping itu, masih
kuatnya tepo seliro (tenggang rasa) dengan sesame manusia terlebih dengan
tetangga di sekitarnya serta lebih mengutamakan asas persaudaraan di atas
kepentingan pribadi yang menjadi bukti nyata keberlangsungan nilai-nilai
social asli masyarakat Jawa.7
6 Hasil wawancara dengan bapak H. Renoto, selaku Tokoh Masyarakat desa Srobyong, wawancara
dilakuikan tanggal 28 September 2009. 7 Hasil wawancara dengan bapak Sukardi, selaku Tokoh masyarakat desa Srobyong, wawancara
dilakukan tanggal 28 September 2009.
48
Keberhasilan dalam melestarikan dan menerapkan nilai-nilai social
budaya tersebut karena adanya usaha-usaha masyarakat untuk tetap menjaga
persatuan dan persaudaraan melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang
secara langsung maupun tidak langsung mengharuskan masyarakat yang
terlibat untuk terus saling berhubungan dan berinteraksi dalam bentuk
persaudaraan. Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan itu dapat dibedakan secara
kelompok umur dan tujuannya antara lain sebagai berikut:
1) Perkumpulan secara kelompok arisan bapak-bapak yang diadakan setiap
RT. Dalam perkumpulan ini sering dibahas tentang segala yang
bersangkutan dengan kehidupan dan kebutuhan masyarakat di tingkat RT
untuk kemudian dicari solusi secara bersama-sama.
2) Perkumpulan ibu-ibu PKK secara rutin, kelompok ibu-ibu yang terdiri dari
arisan RT dan perkumpulan arisan dasawisma. Perkumpulan dan arisan
ibu-ibu dilaksanakan ditingkat RT memiliki fungsi dan manfaat seperti
pada perkumpulan arisan bapak-bapak. Perkumplan arisan dasawisma dan
ibu-ibu PKK memiliki fungsi untuk meningkatkan kemampuan dan peran
serta yang positif bagi ibu-ibu dalam keluarga. Sedangkan arisan
dasawisma merupakan arisan kelompok yang lebih cenderung berorientasi
pada nilai ekonomi meskipun di dalamnya terdapat nilai-nilai social dan
budayanya juga.
3) Perkumpulan remaja yang ada di setiap RT/RW dan kelurahan.
Perkumpulan remaja (Karang Taruna) merupakan pertemuan remaja yang
dibentuk dan diadakan bagi kalangan remaja dengan tujuan antara lain:
49
a) untuk menjaga persatuan dan memupuk rasa persaudaraan antar
remaja.
b) Sebagai sarana pelatihan berorganisasi dan bermasyarakat bagi remaja.
c) Sebagai saran pelatihan remaja untuk mengeluarkan pendapat serta
terbiasa memecahkan masalah dengan jalan musyawarah.
d) Sebagai saran transformasi segala informasi-informasi dari pemerintah
yang perlu diketahui oleh para remaja di Desa Srobyong Kecamatan
Mlonggo Kabupaten Jepara.
e) Sebagai sarana untuk mengmbangkan bakat dan minat para remaja
yang nantinya akan bermanfaat bagi remaja pada usiaselanjutnya
sebagai penerus keberlangsungan kehidupan bermasyarakat di Desa
Srobyong.8
Sedangkan kegiatan-kegiatan ritual yang masih membudaya di
tengah-tengah masyarakat antara lain:
1) Upacara perkawinan..
2) Upacara anak dalam kandungan.
3) Upacara kelahiran
4) Upacara Khitanan.
5) Upacara penguburan jenazah.
Adat kebiasaan di atas merupakan nilai-nilai yang berasal dari
leluhur yang telah diimplementasikan dalam tata nilai dan laku perbuatan
sekelompok masyarakat tertentu. Akan tetapi dengan perkembangan zaman,
8 Wawancara dengan bapak Abdul Jalil, selaku Kepala desa Srobyong, wawancara dilakukan
tanggal 29 September 2009.
50
nilai tradisi-tradisi yang berkembang kadang-kadang diisi dengan kegiatan
yang meiliki nilai-nilai keagamaan.9
B. Pelaksanaan Jual Beli Kayu Jati Gelondong di Desa Srobyong Kecamatan
Mlonggo Kabupaten Jepara
1. Sekilas Tentang Kayu Jati
Desa Srobyong kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara merupakan
salah satu daerah yang terkenal dengan karya seni ukir ataupun hasil kerajinan
mebelnya yang khususnya adalah kerajinan mebel outdoor yang berupa aneka
ragam kursi dan meja kebun. Karena itu, tidak aneh kalau banyak orang yang
bersal dari daerah luar Jawa Tengah misalnya Cilacap, Bandung, Bogor,
Sukabumi, dan bahkan dari luar negeri yang sengaja datang ke Desa Srobyong
Kecamatan Mlonggo hanya sekedar untuk membeli kerajinan mebel itu. Produk
kerajinan mebel Desa Srobyong mayoritas terbuat dari bahan dasar kayu Jati.
Jati merupakan jenis pohon kayu yang bermutu tinggi. Pohon besar,
berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai 30-45 m. Berdaun lebar yang luruh di
musim kemarau. Jati dikenal duinia dengan nama teak (dalam bahasa Inggris).
Pohon jati yang dianggap baik adalah pohon yang bergaris lingkar besar,
berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu Jati terbaik biasanya berasal dari
pohon yang berumur lebih dari 80 tahun.
Kayu Jati merupakan produk alami yang menmpakkan berbagai
variasi dalam segi kualitas maupun sifatnya.10 Kayu Jati merupakan bahan mentah
9 Hasil wawancara dengan bapak H. Renoto, selaku Tokoh masyarakat desa Srobyong, wawancara
dilakukan tanggal 28 September 2009.
51
yang mudah diproses untuk dijadikan barang seperti kursi, meja, almari, pintu,
dan lain-lain.
Adapun bagian-bagian kayu Jati adalah:11
a) Kulit luar
Adalah lapisan luar yang sudah mati, berfungsi sebagai pelingdung
kayu terhadap serangan dari luar, misalnya iklim, serangga, dan jamur.
b) Kulit dalam
Bersifat hidup dan tipis, berfungsi sebagai jalan zat yang
mengandung gizi dari akar ke daun.
c) Campium
Merupakan jaringan yang tipis dan bening, terletak antara kulit
dalam dan kayu gubal ke arah melingkar dari pohon, yang berfungsi ke arah
luar membentuk kulit baru yang rusak dan ke arah dalam membentuk kayu
gubal baru.
d) Kayu gubal
Adalah bagian kayu muda terdiri dari sel-sel yang masih hidup,
terletak di sebelah dalam kampium, fungsinya adalah sebagai penyalur cairan
dan tempat penimbunan zat-zat yang mengandung gizi.
e) Kayu teras
Bagian kayu teras, terdiri dari sel-sel yang dibentuk melalui
perubahan sel hidup pada lingkaran kayu gubal yang paling dalam. Dibanding
dengan kayu gubal, kayu teras lebih awet karena sel-selnya sudah tua,
10 Haroen, Teknologi Kerja Kayu, Bandung: Erlangga. 1986, hlm. 1. 11 Koesmartadi. Ilmu Bahan Bangunan, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hlm. 19.
52
sehingga dinding sel tebal dan kuat, warna kayu teras lebih gelap
dibandingkan dengan kayu gubal.
f) Hati
Adalah bagian kayu yang terletak di pusat, sifatnya rapuh dan lunak.
g) Renggat (lingkaran tahun)
Menunjukkan perkembangan kayu dari musim kemarau ke musim
hujan dan sebaliknya. Renggat juga dapat dimanfaatkan untuk mengetahui
umur dari suatu pohon.
h) Jari-jari
Terdapat dari luar ke dalam berpusat pada sumbu batang, berfungsi
menyampaikan zat bergizi dari kulit dalam ke bagian dalam dari pohon.
Pada umumnya terdapat hubungan langsung antara kekerasan dan
berat kayu. Kayu yang keras termasuk kayu berat, sebaliknya kayu yang ringan
termasuk kayu lunak. Kayu jati merupakan jenis kayu keras, hal ini dapat
diketahui dengan ciri-ciri pohonnya berdaun lebar, sulit dipotong dan hasil
potongan mengkilap. Semakin berat kayu jati, semakin kuat pula kayunya
demikian sebaliknya.kayu Jati merupakan kayu yang bertekstur kasar karena
ukuran sel-sel kayunya yang banyak dan arah serat kayunya kasar.12 Hal ini dapat
tergambar jelas melalui tabel di bawah ini:
12 Hasi wawancara dengan bapak H. Nuri, selaku penjual kayu Jati Gelondong, wawancara
dilakukan tanggal 02 Oktober 2009.
53
TABEL VII
SPESIFIKASI KAYU JATI
Jenis Kayu Warna Kayu Berat Kayu Tekstur
Kayu
Tinggi
Maksimal
Tempat
Tumbuh
Jati Coklat muda,
kekuning-
kuningan
atau merah
coklat
0.75-0.90 Kasar Mencapai
45 m
Jawa,
Sulaesi
Selatan,
NTB,
Maluku,
Lampung
dan Madura
2. Pelaksanaan Jual Beli Kayu Jati
Dea Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara sangat terkenal
dengan hasil kerajinan mebel khususnya kerajinan meja dan kursi kebun
(outdoor) dan dikenal tidak hanya di dalam negeri saja tetapi sudah sampai ke
manca negara.
Sebab terkenal karya seni ukir dan mebel ini adalah karena kualitas
dan model-modelnya yang mampu bersaing dengan klarya seni ukir daerah lain
bahkan negara lain. Barang mebel tersebut tidak diragukan mempunyai kekuatan
dalam jangka waktu yang sangat lama dan dengan kondisi yang terjamin
mutunya.
Produk kerajinan mebel Desa Srobyong mayoritas terbuat dari bahan
dasar kayu, sehingga banyak pula para penjual kayu Jatigelondong di sana. Dari
54
segi kualitasnya, barang-barang mebel tersebut tidak diragukan lagi bahwa
mempunyai kekuatan dalam jangka waktu yang lama dengan kondisi yang sangat
bagus dan selalu terjaimin mutunya. Oleh karena itulah sampai saat ini produk
mebel yang berbahan dasar kayu Jati masih banyak dicari dan dibituhkan orang.13
Jika sebatang kayu Jati gelondong tiba di tempat penggergajian, maka
kayu Jati tersebut akan digergaji dan dijadikan papan-papan berbagai macam
ukuran. Proses penggergajian kayu ini dinamakan konversi kayu.14
Cara penggergajian kayu Jati gelondong merupakan hal yang sangat
penting. Kayu berhargapun bisa menjadi sia-sia apabila penggergajiannya
dilakukan sembarangan. Terdapat dua macam konversi kayu:
a. Penggergajian terus-menerus (penggergajian memanjang)
Penggergajian memanjang merupakan metode penggergajian
yang paling sederhana, karena papan-papan digergaji dengan berdasarkan
ketebalan yang diinginkan. Apabila kayu digergaji dengan cara demikian,
pola-pola jaringan serat yang indah bisa hilang karena papan-papan akan
cenderung lentik.
b. Penggergajian cara perempatan
Apabila kayu Jati gelondong digergaji dengan permpatan,
sebagian papan-papan akan digergaji ke arah jari-jari kayu. Bila digergaji
seperti ini, penyusutan tidak akan begitu besar dibanding bila kayu digergaji
secara memanjang. Kecenderungan papan-papan akan melentikpun banyak
13 Hasil wawancara dengan bapak Mashudi, selaku pengrajin Industri Mebel. Wawancara
dilakukan tanggal 03 Oktober 2009. 14 Hasil wawancara dengan bapak H, Nuri, selaku penjual kayu Jati gelondong, wawancara dilakukan tanggal 02 Oktober 2009.
55
berkurang pada kayu yang digergaji secara perempatan.15 Jika sebatang pohon
digergaji secara memanjang, kayunya akan terbelah tangensial terhadap
gelang-gelang tahun. Muka papan yang berada paling jauh dari hati kayu akan
lebih banyak menyusut daripada muka yang paling dekat kepada hati kayu,
dengan memberi kemungkinan berubahnya kayu.apabila sebatang pohon
digergaji secara perempatan ia akan terbelah menurut sudut-sudut yang tepat
atau hamper tepat dengan gelang-gelang tahun. Penyusutan di kedua muka
papan akan cenderung sama, dengan demikian lentikan-lentikandapat
diabaikan. Sebagian besar penyusutan akan terjadi pada tepi-tepi papan dan
membuat papan atau kayu gergajian lainnya mengerut.
Pada kayu yang digergaji secara tangensial maupun radial,
penyusutan memanjang pada umunya sangatlah kecil dan karenanya tidak
begitu perlu untuk diperhitungkan. Jika jaringan serat kayu tidak beraturan,
tepi-tepi papan cenderung akan melentik ke arah yang berlawanan, dan
membuat papan sedikit melengkung.16
Pada umunya penggergajian kayu jati yang dilakukan di Desa
Srobyong ini adalah dengan metode penggergajian memanjang, karena pada
umunya order yang didapat para pengusaha dan pengrajin mebel adalah kursi dan
meja kebun, di mana lebih membutuhkan papan-papan yang lebar dan panjang.
Sehingga dengan metode penggergajian memanjang akan lebih mudah untuk
15 Wawancara dengan bapak Karmen, selaku pengrajin kayu Jati gelondongl, wawancara
dilakukan tanggal 02 Oktober 2009. 16 Wawancara dengan bapak Karmen, selaku pengrajin kayu Jati gelondongl, wawancara
dilakukan tanggal 02 Oktober 2009.
56
mengatur, memotong, dan akan lebih maksimal dalam pememanfaatannya
menjadi komponen-komponen.17
Praktek jual beli kayu Jati gelondong yang terjadi di Desa Srobyong
Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara merupakan transaksi jual beli di mana
para pembeli kadang-kadang menemukan adanya cacat tersembunyi di dalam
kayu Jati gelondong yang telah dibelinya tersebut. Transaksi ini bermula ketika
para pembeli yang diperbolehkan meneliti dan memilih sendiri kayu Jati yang
akan dibelinya. Akan tetapi bukanlah hal yang mudah bagi para pembeli untuk
mengerti cacat yang tersembunyi di dalam kayu Jati tersebut. Setelah menentukan
kayu Jati gelondng yang akan dibeli kemudian para pembeli menggergaji kayu
Jati tersebut menjadi papan. Ketika itulah cacat pada kayu Jati gelondong dapat
diketahui. Sehingga dalam hal ini para pembeli mersa dirugikan. Sehubungan
dengan itu, transaksi jual beli seperti ini sudah menjadi tradisi Desa Srobyong
Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara.
17 Hasi wawancara dengan bapak Sartono, selaku pembeli kayu Jati dan pengrajin industri mebel,
wawancara dilakukan tanggal 03 Oktober 2009.
57
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
JUAL BELI KAYU JATI
DI DESA SROBYONG KECAMATAN MLONGGO
KABUPATEN JEPARA
A. Analisis Praktek Jual Beli Kayu Jati Gelondong di Desa Srobyong
Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara
Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara sangat
terkenal dengan seni kerajinan mebel khususnya produk mebel kursi dan
meja kebun (outdoor), dengan banyaknya para pengrajin mebel di Desa
Srobyong ini tentunya banyak pula para pedagang kayu jati gelondong di
sana. Pada prakteknya jual beli kayu jati gelondong yang terjadi di Desa
Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara merupakan transaksi
jual beli di mana para pembeli menemukan adanya cacat tersembunyi di
dalam kayu jati gelondong yang telah dibelinya tersebut.
Dengan ditemukannya cacat dalam kayu jati gelondong tersebut
penjual tidak peduli akan hal itu dan pembeli tidak mempunyai hak untuk
mengembalikan kayu yang cacat tersebut dan juga tidak mendapatkan
ganti rugi.
Sebelum menganalisis praktek jual beli kayu jati gelondong di
Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara, maka penulis
hendak mengetengahkan sekilas tentang ketentuan jual beli.
58
Rukun jual beli adalah segala sesuatu yang harus ada untuk
mewujudkan hukum jual beli, yaitu berupa adanya penjual dan pembeli itu
sendiri, shighat dari kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli dan
adanya barang yang menjadi obyek jual beli (ma’qud ‘alaih).
Pembahasan mengenai shighat dari kedua belah pihak baik
penjual maupun pembeli telah diuraikan pada bab sebelumnya. Yaitu
Kedua pelaku akad saling berhubungan dalam satu tempat tanpa terpisah
yang dapat merusak, orang yang mengucapkannya telah akil baligh dan
berakal, Ijab dan qobul harus tertuju pada suatu obyek yang merupakan
obyek akad, waktunya tidak dibatasi, sebab jual beli berwaktu seperti
sebulan, setahun dan lain-lain adalah tidak sah dan adanya kemufakatan
walaupun lafadz keduanya berlainan. Dalam praktek jual beli kayu jati
gelondong akad (shighat) yang dipakai merupakan akad yang lazim
dilafazkan masyarakat secara umum dan tidak ada masalah mengenai hal
itu.
Adapun mengenai adanya orang yang melakukan akad (aqidain)
yaitu penjual dan pembeli pada praktek jual beli kayu jati gelondong di
Desa Srobyong Kec. Mlonggo Kab. Jepara ini tidak ada masalah pula
karena pelaku akad yakni penjual dan pembeli tetap ada.
Rukun yang harus terpenuhi lagi yaitu mengenai barang yang
dijadikan obyek jual beli. Barang yang dijadikan obyek jual beli haruslah
memenuhi beberapa syarat yang menurut jumhur ulma’ harus memenuhi:
1. Bersih barangnya (suci, halal dan baik)
59
2. Dapat dimanfaatkan
3. Milik orang yang melakukan akad
4. Mampu diserahkan oleh pelaku akad
5. Barang yang diakadkan ada di tangan dan
6. Mengetahui 1
Bersih barangnya dalam kaitannya dengan jual beli kayu jati
gelondong tidak ada masalah, karena barang yang diperjualbelikan adalah
berupa kayu sehingga tidak tergolong benda-benda yang najis ataupun
benda-benda yang diharamkan seperti khamr, bangkai dan lain-lain.
Dengan demikian dari segi syarat terhadap barang yang diperjualbelikan
haruslah bersih telah terpenuhi dan tidak ada masalah.
Sedangkan kaitannya dengan syarat terhadap barang yang
diperjualbelikan harus dapat dimanfaatkan dalam hal ini bahwa kayu jati
adalah merupakan barang yang dapat dimanfaatkan karena dengan kayu
jati manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dalam membuat
perabotan-prabotan rumah misalnya kursi, meja, almari dan lain-lain di
mana barang-barang tersebut merupakan salah satu kebutuhan yang harus
terpenuhi.
Mengenai syarat yang harus terpenuhi lagi yaitu barang yang
dijadikan obyek jual beli adalah milik orang yang melakukan akad, dalam
hal ini tidak ada masalah karena kayu jati ini memang benar-benar milik
penjual kayu jati tersebut. Hak terhadap sesuatu itu menunjukkan
1 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Nur Hasanuddin, “Fiqh Sunnah”, Jilid 4, Jakarta: Pena
Pundi Aksara, Cet. Ke-1, 2006, hlm. 123.
60
kepemilikan. Dengan demikian mengenai kepemilikan tidak ada masalah.
Adapun kaitannya dengan syarat mampu menyerahkan, maksudnya
keadaan barang haruslah dapat diserahterimakan, dalam hal ini tidak ada
masalah lagi karena dalam jual beli kayu jati ini kayunya dapat diserahkan
langsung kepada pembeli dan barang tersebut juga ada di tangan. Maka
tidak sah jual beli terhadap barang tidak dapat diserahterimakan.
Syarat obyek jual beli yang harus terpenuhi lagi adalah dapat
diketahui maksudnya adalah cukup dengan mengetahui nilai harga dan
satuannya.2 Akan tetapi ada pula ulama yang mensyaratkan harus mengerti
baik kualitasnya maupun kuantitasnya secara detail.3
Pada praktek jual beli kayu jati gelondong ini nilai harganya
sudah diketahui secara jelas begitu juga dengan satuannya. Para
pembelinyapun bukanlah orang yang asal beli kayu tetapi mereka adalah
orang-orang yang memang sudah berkompeten di bidang perkayuan.
Berhubung kayunya berbentuk gelondongan memang agak sedikit sulit
untuk memahami kualitas kayu tersebut.
Pada proses jual beli kayu jati gelondong di Desa Srobyong
Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara yang meliputi unsur penjual dan
pembeli, barang yang diperjualbelikan serta akad (ijab qabul) pada
dasarnya telah terpenuhi rukun dan syarat jual beli dalam Islam.
2 Ibid., hlm. 131. 3 M. Ali Hasan, Berbagi Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003, hlm. 125.
61
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Jual Beli Kayu Jati
Gelondong di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara
Telah diterangkan oleh Fuqaha bahwa rukun dan syarat sahnya
jual beli meliputi: sighat, ‘aqid (orang yang melakukan akad yaitu penjual
dan pembeli), kemudian adanya ma’qud ‘alaih (barang yang dijadikan
obyek jual beli itu sendiri) 4 di mana telah diuraikan secara detail pada bab
sebelumnya.
Sebelum menganalisis hukum jual beli kayu jati gelondong di
Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara, maka penulis
hendak mengetengahkan sekilas tentang jual beli yang dilarang dan tidak
sah serta jual beli yang dilarang tetapi sah:
1. Jual beli yang dilarang dan tidak sah
a. Barang yang dihukumkan najis oleh agama seperti anjing, babi,
khamr, bangkai dan berhala. Rasulullah SAW. bersabda:
وعن جابر بن عبد اهللا رضى اهللا عنهما أنه مسع رسول اهللا صلى اهللا إن اهللا حرم بيع اخلمر وامليتة : وهو مبكة, عام الفتح :عليه وسلم يقول
5)متفق عليه... (صنام واألواخلرتير
Artinya: “Jabir bin Abdillah menceritakan, bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda pada tahun futuh (pembukaan) di Makkah: sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan berhala…” (Muttafaqqun ‘alaih)
4 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Prsada, 2008, hlm. 70. 5 Al Hafidz bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Indonesia: Darul Ahya Al-Kitab Al-
Arabiyah,, hlm. 158.
62
b. Jual beli sesuatu yang tidak ada. Para ulama fiqh sepakat
menyatakan jual beli yang seperti ini tidak sah atau bathil.
Misalnya, memperjualbelikan buah-buahan yang putiknyapun
belum muncul di pohonnya.6
c. Jual beli anak binatang yang masih dalam perut induknya (hablul
habalah), jual seperti ini dilarang karena barangnya belum nampak
dan belum ada.
d. Jual beli dengan menyelam. Orang-orang jahiliyah dahulu
melakukan jual beli dengan cara menyelam, apapun yang
ditemukan pada saat menyelam itulah yang diakadkan. Mereka
biasanya melakukan akad terhadap pembeli dengan menentukan
bayaran tertentu sekalipun pada saat menyelam tidak mendapatkan
apapun. Juga penjual terkadang menyerahkan barang yang
ditemukan penyelam melebihi jumlah harga barang tersebut
walaupun mencapai beberapa kali lipat dari harga yang ia harus
terima dari penyelam. Model jual beli seperti ini disebut juga
dengan jual beli dharbatul ghawash (kekuatan menyelam).7
e. Jual beli dengan mukhadharah yaitu menjual buah-buahan yang
belum pantas untuk dipanen dan belum kelihatan mutunya, seperti
menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-
kecil dan yang lainnya. Hal ini dilarang karena barang tersebut
masih samar, dalam artian mungkin saja buah tersebut jatuh tertiup
6 Rahmat Syafi’i, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 97. 7 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Nur Hasanuddin, Terj. “Fiqh Sunnah”, Jilid 4, Jakarta: Pena
Pundi Aksara, Cet. Ke-1, 2006, hlm. 141.
63
angin kencang atau yang lainnya, sebelum diambil oleh si
pembelinya.8
f. Jual beli mulasamah yaitu jual beli secara sentuh menyentuh,
misalkan seseorang menyentuh sehelai kain dengan tangannya di
waktu malam atau siang hari, maka orang yang menyentuh berarti
telah membeli kain tersebut. Hal ini dilarang karena mengandung
tipuan dan kemungkinan akan menimbulkan kerugian bagi salah
satu pihak.9
g. Jual beli hashah (batu kecil) yaitu larangan jual beli dengan cara
melempar batu. Orang jahiliyah melakukan akad jual beli tanah
yang tidak jelas luasnya. Mereka melakukannya dengan
melemparkan batu kecil. Akhir lemparan batu yang jatuh maka
itulah tanah yang dijual atau dengan cara jual beli barang yang
tidak dapat ditentukan mereka melakukannya dengan cara
melempar batu kecil, barang yang terkena lemparan batu tersebut,
itulah barang yang dijual.10
h. Jual beli mudzabanah yaitu menjual buah-buahan yang masih di
pohonnya dengan kurma atau anggur ataupun jenis buah-buahan
lain yang kering yang dapat ditakar. Larangan diharamkan jual beli
yang seperti ini karena prinsip persamaannya belum jelas atau
8 Ibid. 9 Ibid. 10 Ibid.
64
masih belum diketahui. Padahal prinsip persamaan dalam jual beli
merupakan syarat utama bagi sahnya jual beli.11
i. Jual beli muawamah yaitu jual beli beberapa tahun, misalnya
seseorang mengatakan “aku akan menjual buah dari kebun ini
selam empat tahun dengan harga sekian”. Hal ini dikatakan haram
dan tidak sah transaksinya karena sama saja dengan menjual
barang yang tidak ada dan penyerahannya di luar kemampuan.12
2. Jual beli yang dilarang tetapi sah
a. Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk pasar, untuk
membeli benda-bendanya dengan harga yang murah, sebelum
mereka tahu harga pasaran, kemudian ia jual dengan harga yang
setinggi-tingginya. Perbuatan ini sering terjadi di pasar-pasar yang
berlokasi di daerah perbatasan antara kota dan kampung akan tetapi
apabila orang kampung telah mengetahui harga pasaran jual beli ini
tidak apa-apa.13
b. Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain, seperti
seseorang berkata, “tolaklah harga tawarannya itu, nanti aku yang
membeli dengan harga yang mahal”. Hal ini dilarang karena akan
menyakitkan hati orang lain.
c. Menjual induk tanpa anaknya yang masih kecil. Hal ini dilarang
sampai anaknya besar.
11 Mansyur Ali Nafis, Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasul, Bahrun Abu Bakar, Terj.
“Mahkota Pokok-pokok Hadis Rasul”, Bandung: Sinar Baru Algensindo Offset, 1993, hlm. 625. 12 Ibid. 13 Rahmat Syafi’I, op.cit., hlm. 100.
65
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi, ditinjau dari segi
hukumnya, ditinjau dari segi obyeknya, ditinjau dari segi subyeknya
(pelaku akad) dan ditinjau dari segi pertukarannya.
Ditinjau dari segi hukumnya jual beli ada dua macam, yaitu jual
beli yang sah menurut hukum (shahih) dan jual beli yang batal menurut
hukum (bathil). Ditinjau dari segi obyeknya jual beli dapat di bagi menjadi
tiga bagian yaitu jual beli yang kelihatan barangnya, jual beli yang sifat-
sifatnya disebutkan dalam perjanjian dan jual beli yang barangnya tidak
ada. Ditinjau dari segi subyeknya (pelaku akad) jual beli terbagi tiga
bagian, yaitu dengan lisan, dengan perantara dan dengan perbuatan.
Sedangkan jual beli ditinjau dari segi pertukarannya dapat dibagi menjadi
empat bagian yaitu jual beli dengan salam, jual beli dengan barter, jual
beli dengan mutlaqah dan jual beli alat pertukaran dengan alat pertukaran
yang lain.
Apabila memperhatikan landasan dari jual beli, maka jual beli
dibenarkan oleh al-Quran, as-Sunnah, ijma dan qiyas. Jual beli itu
dihalalkan dan dibenarkan agama asal memenuhi syarat dan rukun yang
diperlukan, demikian disepakati para ahli ijma’ (ulama’ mujtahidin) dan
tidak ada khilaf mengenai hal itu. Memang dengan tegas di dalam al-
Quran menerangkan bahwa jual beli itu halal, sedang riba itu diharamkan.
Sejalan dengan itu dalam jual beli ada persyaratan-persyaratan
yang harus dipenuhi, di antaranya syarat yang menyangkut barang yang
dijadikan obyek jual beli harus diketahui hitungan, takaran, timbangan,
66
mutu dan kualitasnya. Dalam hal ini ulama fiqih menyatakan bahwa suatu
jual beli baru dianggap sah apabila terpenuhi dua hal:
a. Jual beli itu terhindar dari cacat seperti barang yang diperjualbelikan
tidak jelas baik jenis, kualitas maupun kuantitasnya. Begitu juga jual
beli dengan harga yang tidak jelas, jual beli mengandung unsur
paksaan dan penipuan yang mengakibatkan jual beli rusak.
b. Apabila barang yang diperjualbelikan itu benda bergerak, maka barang
itu langsung dikuasai pembeli dan harga dikuasai penjual. Sedangkan
barang yang tidak bergerak dapat dikuasai pembeli setelah surat-
menyuratnya diselesaikan sesuai dengan kebisaan setempat.14
Mengenai cacat yang terdapat dalam barang yang
diperjualbelikan (obyek) maka dalam Islam sendiripun mengatur tentang
adanya hak khiyar ‘aib. Khiyar ‘aib adalah adanya hak pilih dari kedua
belah pihak yang melakukan akad, apabila terdapat suatu cacat pada benda
yang diperjualbelikan dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya pada saat
akad berlangsung.15 Rasulullah SAW bersabda:
املسلم ":صلى اهللا عليه وسلم يقولمسعت رسول اهللا : عن عقبة بن عامر قالرواه ابن " ( لهال بينهباع من أخيه بيعا فيه عيب إال حيل ملسلم و خواملسلمأ
16 )ماجه
Artinya: Dari ‘Uqbah bin Amir ia berkata: aku pernah mendengar Nabi SAW. Bersabda: “ orang Islam itu adalah saudara bagi orang Islam yang lain, tidak halal bagi seorang muslim menjual
14 M. Ali Hasan, op.cit., hlm. 125. 15 M. Ali Hasan, op.cit., hlm. 140.
16 Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid Al Qazwini Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Libanon: Darul Fikr, t.t., Juz 2, hlm. 755.
67
sesuatu kepada saudaranya yang di dalamnya ada cacat kecuali ia harus menerangkan cacat itu kepadanya”. (H.R. Ibnu Majah).
Cacat diartikan sebagai sesuatu yang dapat mengurangi nilai
ekonomis obyek transaksi. Dalam setiap transaksi pembeli memiliki
kebebasan untuk meneruskan atau membatalkan akad.
Seorang muslim yang benar, tidak boleh menyembunyikan ‘aib
yang ada pada barang yang dijualnya. Pihak pembelipun harus cermat
memilih barang yang akan dibelinya. Sebab pada zaman sekarang ini pada
umumnya para penjual barang di toko-toko membuat catatan bahwa
barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau ditukar lagi.
Dalam kaitan hal ini Sayyid Sabiq menjelaskan mengenai barang
yang rusak sebelum serah terima ada enam alternatif yaitu17:
a. Jika kerusakan mencakup semua atau sebagian barang sebelum terjadi
serah terima yang disebabkan perbuatan pembeli, maka jual beli tidak
batal, akad berlaku seperti semula.
b. Apabila kerusakan barang diakibatkan perbuatan pihak lain (selain
pembeli dan penjual), maka pembeli boleh menentukan pilihan, antara
menerima atau membatalkan akad.
c. Jual beli akan batal apabila kerusakan barang sebelum terjadi serah
terima akibat perbuatan penjual atau rusak dengan sendirinya.
d. Apabila kerusakan barang sebagian lantaran perbuatan penjual,
pembeli tidak wajib membayar atas kerusakan barang tersebut,
17 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 155.
68
sedangkan untuk lainnya ia boleh menentukan pilihan antara
mengambilnya dengan potongan harga.
e. Apabila barangnya rusak dengan sendirinya, maka pembeli tetap wajib
membayar harga barang. Sedangkan penjual boleh menentukan
pilihan antara membatalkan akad dengan mengambil sisa barang dan
membayar semuanya.
f. Apabila kerusakan barang terjadi akibat bencana dari Tuhan sehingga
berkurang kadar dan harga barang tersebut pembeli boleh menentukan
pilihan antara membatalkan atau dengan mengambil sisa dengan
pengurangan pembayaran.
Sedangkan barang yang rusak setelah serah terima, Sayyid Sabiq
menjelaskan bahwa barang yang rusak setelah serah terima maka menjadi
tanggung jawab pembeli, dan ia wajib membayar harga barang, apabila
tidak ada alternatif lain dari pihak penjual. Dan jika ada alternatif lain dari
pihak penjual, maka pihak pembeli mengganti harga barang atau
mengganti barang yang serupa.
Pada prinsipnya semua yang menyebabkan berkurangnya harga
harus pula menjadi sebab dikembalikannya barang. Ini pendapat yang
dipegangi fuqaha amshar. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa setiap
barang merupakan tanggungan penjual sampai barang tersebut di pegang
pembeli.18
18 Rahmat Syafi’I, op.cit., hlm. 89.
69
Aturan pokok mazhab imam Maliki menyatakan bahwa segala
sesuatu yang bisa mempengaruhi harga merupakan cacat.19 Cacat yang
mempunyai akibat hukum disyaratkan terjadi sebelum jual beli
berdasarkan kesepakatan atau selama dalam masa tanggungan (al-‘uhdah)
bagi fuqaha yang mengakui masa tanggungan itu.
Ibnu Rusyd juga mengatakan bahwa pembeli dibolehkan
memilih antara mengembalikan barang yang telah dibeli dan mengambil
harganya atau tetap menahan barang tersebut tanpa memperoleh ganti rugi
apapun. Jika kedua belah pihak sepakat bahwa pembeli tetap memegangi
barangnya, sedangkan penjual memberikan ganti rugi cacatnya, maka
kebanyakan fuqaha amshar membolehkannya. Kecuali Ibnu Suraij dari
kalangan pengikut Syafi’i yang mengatakan bahwa kedua belah pihak
tidak boleh melakukan demikian sebab hal itu termasuk khiyar dalam harta
benda maka pembeli tidak ada pengguguran harta tersebut dengan suatu
imbalan.20
Al-Qadhi Abdul Wahab berkata bahwa pendapat ini salah,
karena yang demikian itu hak pembeli, konsekuensinya ia berhak
menuntutnya. Yakni ia boleh mengembalikan dan mengambil kembali
harganya dan ia juga boleh membiarkannya dengan mendapat imbalan dari
cacat tersebut.
Menurut fuqaha amshar jika barang yang dijual itu mengalami
perubahan, sedang pembeli tidak mengetahui adanya cacat tersebut kecuali 19 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Ghazali Sa’id, Terj. “Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid”, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hlm. 810 20 Ibid., hlm. 815
70
sesudah terjadinya perubahan maka hukumnya tergantung pada kadar
perubahannya. Jika perubahan tersebut karena mati, rusak, atau
kemerdekaan fuqaha amshar menganggapnya sebagai habis dan pembeli
boleh meminta kembali harga cacat itu dari penjual.21
Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa pembeli tidak
menanggung melainkan sesudah menerimanya.22
Dimyauddin Djuwaini mengatakan bahwa khiyar ‘aib bisa
dijalankan dengan syarat sebagai berikut:
a. Cacat sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum terjadi
serah terima, jika ‘aib muncul setelah serah terima maka tidak ada
khiyar.
b. Aib tetap melekat pada obyek setelah diterima oleh pembeli.
c. Pembeli tidak mengetahui adanya ‘aib atas obyek transaksi, baik
ketika melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika pembeli
mengetahui sebelumnya, maka tidak ada khiyar karena itu berarti telah
meridhoinya.
d. Tidak ada persyaratan bara’ah (cuci tangan) dari ‘aib dalam kontrak
jual beli, jika dipersyaratkan, maka hak khiyar gugur.
e. ‘Aib masih tetap sebelum terjadinya pembatalan akad. 23
Praktek jual beli kayu jati gelondong yang terjadi di Desa
Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara merupakan transaksi
21 Ibid., hlm. 818. 22 Ibid., hlm. 829.
23 Dimayauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2008, hlm. 99.
71
jual beli di mana para pembeli kadang-kadang menemukan adanya cacat
tersembunyi di dalam kayu jati gelondong yang telah dibelinya tersebut.
Cacat itu baru dapat diketahui setelah adnya peggergajian pada kayu jati
gelondong menjadi bentuk papan-papan.
Cacat pada kayu adalah suatu kelainan yang terdapat pada kayu
yang mempengaruhi mutu kayu tersebut. Cacat yang terdapat pada kayu
jati di antaranya adalah cacat doreng, kuku macan, alur hitam, alur minyak
dan lain-lain yang telah diuraikan lebih detail pada bab sebelumnya.
Menurut hemat penulis cacat-cacat tersebut bukanlah merupakan
cacat yang terdapat pada kayu jati akan tetapi merupakan cacat yang
terdapat pada papan-papan kayu jati setelah digergaji. Sehingga dapat
dikatakan bahwa praktek jual beli kayu jati gelondong bukanlah jual beli
yang terdapat cacat padanya.
Dari berbagai pendapat yang sudah dikemukakan di atas
menurut hemat penulis praktek jual beli kayu jati gelondong yang terjadi
di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara ini para pembeli
tidak mempunyai hak khiyar di dalamnya.
Hal iti sejalan dengan pendapat Sayyid Sabiq yang menjelaskan
bahwa barang yang rusak setelah serah terima maka menjadi tanggung
jawab pembeli24 dan pendapat imam Syafi’i dan Malik dalam kitab
bidayatul mujtahid mengatakan bahwa pembeli tidak menanggung
24 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 155.
72
melainkan sesudah menerimanya25 dan juga karena memang adat
kelaziman yang terjadi di Desa Srobyong tersebut para pembeli tidak
mengembalikan kayu tersebut.
Apabila ada kelaziman telah diterima di tengah-tengah
masyarakat, dan kelaziman itu tidak pula bertentangan dengan ketentuan
syariat Islam, maka kelaziman tersebut adalah merupakan hukum, hal ini
sejalan dengan kaidah hukum Islam yang dinamakan ‘uruf.26
احلجج الشرعية ىف ما ال نص فيهحدى العادة إ
Artinya: “Adat kebiasaan adalah salah satu dari hujjah agama terhadap sesuatu yang tidak ada nash”27
Dari argumen-argumen yang telah di kemukakan di atas, maka
penulis dapat menyimpulkan bahwa khusus mengenai kegiatan jual beli
kayu jati gelondong yang terjadi di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo
Kabupaten Jepara mengindikasikan jual beli tersebut diperbolehkan. Di
mana rukun dan syarat jual beli telah terpenuhi. Dan para pembeli kayu
jati gelondongpun pada umumnya adalah orang-orang yang memang
berkompeten di bidang perkayuan, sehingga mereka dapat mengetahui
secara cepat kadar kualitas pada kayu jati gelondong tersebut dan hal ini
diperbolehkan.
25 Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 829. 26 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, 1994, hlm. 44. 27 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1987, hlm. 466.
73
أن املبيع إذا كان معينا غري خمتلط بغري املبيع كفت معاينته عن معرفة واحلاصل 28 ذرع وزن وال ال حتقيقا مبعىن أنه ال يشترط معرفة القدر بكيل وقدره
Artinya: “kesimpulannya jika barang yang dijual tersebut tertentu dan
tidak bercampur dengan barang dagangan yang lainnya maka cukup penentuannya dengan mengetahui kadarnya secara cepat dalam arti bahwa tidak disyaratkan mengetahui ukurannya baik dengan timbangan maupun dengan meteran”.
Dengan dalil-dalil dan argumen-argumen tersebut di atas, maka
menurut hemat penulis praktek jual beli kayu jati gelondong di Desa
Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara termasuk jual beli yang
sah dan diperbolehkan.
28 Sulaiman Bujairini, Bujairini Alal Khotib, Terj. Muhammad Syarbini Al Khotib,
“Bujairimi Alal Iqna’ fi Khalli al-fadhi Abi Suja”, Juz 3, Libanon: Darul Fikr, hlm. 8.
74
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan praktek jual beli kau jati gelondong di Desa
Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara telah sampailah pada
muara akhir kesimpulan yaitu:
1. Praktek jual beli kayu jati gelondong yang terjadi di Desa Srobyong
Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara merupakan transaksi jual beli di
mana para pembeli kadang-kadang menemukan adanya cacat
tersembunyi di dalam kayu jati gelondong yang telah dibelinya tersebut.
Dalam transaksi jual beli tersebut pembeli diperbolehkan meneliti dan
memilih sendiri kayu yang akan dibelinya, akan tetapi bukanlah hal
yang mudah bagi para pembeli untuk mengerti cacat yang tersembunyi
di dalam kayu yang dipilih itu, sehingga dalam hal ini para pembeli
merasa dirugikan.
2. Praktek jual beli kayu jati gelondong di Desa Srobyong Kecamatan
Mlonggo Kabupaten Jepara menunjukkan bahwa tidak adanya
pertentangan dengan hukum Islam karena jual beli kayu jati gelondong
ini secara umum sudah memenuhi rukun dan syarat jual beli yang telah
digariskan dalam fiqih dan sesuai dengan konsep jual beli. Karena pada
dasarnya ruang lingkup muamalah jual beli menggunakan prinsip an-
taradhin (saling ridha atau suka sama suka). Penjual dan pembeli sama-
sama tidak mengetahui adanya cacat pada kayu Jati gelondong. Para
75
pembeli kayu jati gelondong di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo
Kabupaten Jepara ketika membelah kayu jati gelondongan menjadi
papan kemudian menemukan cacat pada papan tersebut pembeli tidak
mempunyai hak khiyar ‘aibi karena cacat tersebut bukanlah cacat yang
terdapat pada kayu jati gelondongnya akan tetapi merupakan cacat pada
papan-papan kayu dan hal ini memang sudah menjadi adat kebiasaan
masyarakat Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara para
pembeli tidak mengembalikan kayu tersebut.
B. Saran-saran
1. Bagi para pembeli hendaklah lebih teliti lagi dalam membeli kayu jati
gelondong karena dengan ketelitian dan kecermatan penemuan cacat
pada barang khususnya kayu jati gelondong bisa diminimalisir.
2. Harapan penulis mengenai praktek jual beli kayu jati gelondong yang
terjadi di Desa Srobyong Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara
hendaknya lebih berupaya meningkatkan pengetahuan mengenai kayu
jati gelondong supaya penemuan cacat dapat di cegah sehingga tidak
terjadi penyesalan pada salah satu pihak agar terwujud perdagangan
yang ditegakkan di atas asas ‘adamul gharar dan dilakukan atas dasar
saling rela di antara mereka dan selanjutnya tercipta sebuah
perdagangan atau jual beli yang mabrur.
76
C. Penutup
Puji syukur alhamdulilalhirabbil ‘alamin penulis panjatkan atas
kehadirat Allah SWT sebagai ungkapan rasa syukur atas segala rahmat, taufiq
dan hidayahnya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, setelah
melalui rentang waktu yang tidak sebentar dengan berbagai macam liku-liku
yang ada. Skripsi ini penulis susun dengan segenap kemampuan ilmiah yang
penulis miliki secara obyektif walaupun tidak terlepas dari hal-hal yang
bersifat subyektif.
Penulis menyadari bahwa karya skripsi ini masih banyak kekeliruan di
sana sini, oleh karena itu kritik dan saran konstruktif sangat kami harapkan
demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata dengan hanya memohon ridho kepada Allah SWT, penulis
berharap semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid Mahammad, Al-Faqih, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Terj. Ghazali Said, “Bidayatul Mujtahid”, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Abi Husain Bin Al Khajjaj, Imam, Shahih Muslim, Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.
Abi Husain Muslim bin Al Khajjaj, Imam, Shohih Muslim, Indonesia: Maktabah Dahlan.
Ahmad, Idris, Fiqh Menurut Mazhab Syafi’i, Jakarta: Widjaya, Cet. Ke-1, 1969.
Al Malibari, Zainuddin, Fathul Mu’in, Terj. Moch. Anwar, “Fathul Mu’in”, Bandung: Sinar Baru Algensindo, Cet. Ke -1, 1994.
Al Malibari, Zainuddin, Fathul Mu’in, tt.p., t.p., t.t.
Al-Fauzan, Saleh, Mulakhosul Fiqhiyah, Terj. Abdul Hayyi Al-Kahani, “Fiqh Sehari-Hari”, Jakarta: Gema Insani Pers, Cet. Ke-2, 2005.
Ali Hasan, M., Berbagi Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Ali Nafis, Mansyur, Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasul, Bahrun Abu Bakar, Terj. “Mahkota Pokok-pokok Hadis Rasul”, Bandung: Sinar Baru Algensindo Offset, 1993.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. Ke-12, 2002.
Bin Yazid Al Qazwini Ibnu Majah, Abi Abdillah Muhammad, Sunan Ibnu Majah, Libanon: Darul Fikr, t.t., Juz 2.
Bujairini, Sulaiman, Bujairini Alal Khotib, Terj. Muhammad Syarbini Al Khotib, “Bujairimi Alal Iqna’ fi Khalli al-fadhi Abi Suja”, Juz 3, Libanon: Darul Fikr.
Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta: Pena Pundi Aksara, Cet. Ke-3, 2008.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka, 2004.
Djuwaini, Dimayauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2008.
Ghofur Ansori, Abdul, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2006.
Hajar Al-‘Asqalani, Al-Hafidz bin, Bulughul Maram, Indonesia: Darul Ahya Al-Kitab Al-Arabiyah.
Ibrahim, Johnny, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2006.
J. Moleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1989.
K. Lubis, Suhrawardi, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-2, 2000.
Koesmartadi, Ilmu Bahan Bangunan, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Koto, Alaidin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Maslamah, Jual Beli Barang Seni Ukir Study Persepsi Ulama Desa Langon Kecamatan Tahunan Terhadap Jual Beli Seni Ukir yang Belum Dibuat dan Diketahui Sifat Wujudnya, (Tidak Dipublikasikan, Skripsi IAIN Walisongo, 2009).
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku, Falsafah Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1987.
Muhammad Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Perss, 1993.
Novianto, “Cacat Mata Kayu”, http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARISASi & LINGKUNGAN KEHUTANAN/SNI/v-jati.htm, (07 September 2009).
Pasaribu, Chairuman, dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1994.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Ghazali Sa’id, Terj. “Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid”, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Nur Hasanuddin, Terj. “Fiqh Sunnah”, Jilid 4, Jakarta: Pena Pundi Aksara, Cet. Ke-1, 2006.
Sawidi, Studi Analisis Pendapat Imam Nawawi tentang Syarat Manfaat Benda yang Diperjualbelikan, (Tidak Dipublikasikan, Skripsi IAIN Walisongo, 2003).
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1999.
Subekti, R., Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet. Ke-10, 1995.
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. Ke-1, 1992.
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. Ke-2, 2001.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Prsada, 2008.
Sulistiyono, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Asas Kebebasan Berkontrak dalam Jual Beli (Study Analisis Terhadap pasal 1493 KUH Perdata), (Tidak Dipublikasikan, Skripsi IAIN Walisongo).
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, Cet. Ke- 7.
Syafi’i, Rahmat, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Taqiyudin, Imam, Kifayatul Akhyar, Semarang: Usaha Keluarga, tt.
Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, Abdul, Bidayatul Mujtahid, Terj. Ghazali Said, “Bidayatul Mujtahid”, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang membuat daftar riwayat hidup ini:
1. Nama lengkap : Ulil Hidayah
2. Nim : 052311010
3. Tempat, Tanggal Lahir : Jepara, 04 Januari 1988
4. Jenis Kelamin : Perempuan
5. Agama : Islam
6. Alamat : Desa. Srobyong, RT. 02 RW.
V Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara
7. Nama Orang Tua : Sukardi
8. Riwayat Pendidikan :
MI Darul Huda Karang Gondang Lulus Tahun 1999
MTs Al-Hikmah Pati Lulus Tahun 2002
MAK NU Banat Kudus Lulus Tahun 2005
IAIN Walisongo Semarang Lulus Tahun 2009
BIODATA DIRI
Nama lengkap : Ulil Hidayah
Nim : 052311010
Tempat, Tanggal Lahir : Jepara, 04 Januari 1988
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Desa. Srobyong, RT. 02 RW. V
Kecamatan Mlonggo Kabupaten
Jepara
Nama Orang Tua
Ayah :Sukardi
Ibu : Siti Khumayah
Pekerjaan Orang Tua
Ayah : Wiraswasta
Ibu : Wiraswasta
Alamat : Desa. Srobyong, RT. 02 RW. V
Kecamatan Mlonggo Kabupaten
Jepara