Post on 27-Jun-2015
Edisi Keempat
Fakultas KedokteranUniversitas Islam Sultan Agung
MODUL 7SISTEM IMUN DAN KULIT
BUKU PEGANGAN TUTOR
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan AgungAlamat: JL. Raya Kaligawe Km. 4 Semarang 50112
PO Box 1054/SMTelepon. (024) 6583584
Facsimile: (024) 6594366
Modul 7 : Sistem Imun dan KulitBuku Modul
Copyright @ by Faculty of Medicine, Islamic Sultan Agung University.
Printed in SemarangFrist printed: 2005
Second printed : 2007Third printed : 2008
Designed by: Iwang yusufCover Designed by: Iwang Yusuf
Published by Faculty of Medicine, Islamic Sultan Agung UniversityAll right reserved
This publication is protected by Copyright law and permission should be obtained from publisher prior to any prohibited reproduction, storage in a retrieval system, or transmission in any form by any means, electronic, mechanical, photocopying, and recording or
likewise
TIM MODUL
Iwang Yusuf
2
Department of Medical Biology
MasfiyahDepartment of Microbiology
Pasid Harlisa
Department of Dermatology
HestiDepartment of Dermatology
KONTRIBUTOR
Core Disiplin:
1. Medical Biology devision of Immunobiology
2. Biochemistry
3
3. Microbiology
4. Dermatology
Suplementary disiplin:
a. Anatomy & Histology
b. Parasitology
c. Pathology of Anatomy
d. Clinical Pathology
e. Farmocology
f. Nutrient
g. Internal Medicine
h. Surgery
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Assalamu’alaikum Wr. Wb,
4
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah, Rob seluruh
alam yang telah memberikan karunia kepada kami hingga kami
dapat menyelesaikan modul sistem imun dan kulit ini.
Modul Kulit dan Imun ini terdiri dari 5 lembar belajar
mahasiswa yang masing-masing memiliki area kompetensi,
kompetensi inti, komponen kompetensi, dan sasaran pembelajaran
sebagaimana yang diatur dalam STANDAR KOMPETENSI DOKTER
yang ditetapkan oleh Kolegium Kedokteran Indonesia ( KKI ). Tiap
unit belajar berisi Lembar Belajar Mahasiswa (LBM) dengan
beberapa kegiatan belajar mencakup materi tentang imunologi dan
penyakit kulit. Kegiatan belajar didalamnya berupa diskusi, kuliah,
praktikum dan laboratorium ketrampilan yang meliputi Anamnesis,
pemeriksa klinik, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan dari
triger yang berupa materi tentang Rhematoid Arthritis (RA),
Sistemik Lupus Erythematosus (SLE), HIV AIDS, infeksi jamur pada
kulit dan kelainan pada kelenjar sebacea.
Meskipun sistim imum dan Kulit yang dikenalkan lewat modul
ini hanya berkisar pada 5 lembar belajar mahasiswa di atas, namun
bukan berarti bahwa cakupan masalah berhenti sampai di sini.
Konsultasi, membaca artikel dan jurnal penelitian merupakan
sumber informasi lain yang harus dicari oleh mahasiswa.
Pada saat menggunakan buku ini, mulailah dengan
membaca area kompetensi, kompetensi inti, komponen kompetensi,
dan sasaran pembelajaran masing-masing lembar belajar
mahasiswa, sehingga dapat dipahami cakupan minimal pengajaran
lewat modul ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan modul ini. Oleh karena itu, saran-saran baik dari tutor
maupun dari mahasiswa akan kami terima dengan terbuka.
Semoga modul ini dapat bermanfaat, dan membantu siapa
saja yang membutuhkannya.
Jazakumullhahi khoiro jaza’
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
5
Tim Penyusun Modul
GAMBARAN UMUM MODUL
Modul Sistem Imun dan Kulit dilaksanakan pada semester 2,
tahun ke 1, dengan waktu 5 minggu. Pencapaian belajar mahasiswa
dijabarkan dengan penetapan area kompetensi, kompetensi inti,
komponen kompetensi, dan sasaran pembelajaran sebagaimana
6
yang diatur dalam Standar Kompetensi Dokter yang dikeluarkan
oleh Kolegium Kedokteran Indonesia (KKI) .
Modul ini terdiri dari 5 unit dan masing-masing unit berisi Lembar
Belajar Mahasiswa (LBM) dengan beberapa sasaran pembelajaran
dan skenario. Pada modul ini mahasiswa akan belajar tentang
dasar-dasar imunologi dan imunopatologi yang akan mendasari
pengetahuan mahasiswa didalam memahami dasar-dasar
patogenesis penyakit infeksi, degeneratif pada semua organ atau
sistema serta memberi pengetahuan tentang dasar penegakan
diagnosis dan manajemen penyakit kulit.
Yang dipelajari oleh mahasiswa meliputi pengetahuan dasar
kedokteran, pathofisiologi, proses penegakkan diagnosis dan
pengelolaannya. Untuk itu diperlukan pembelajaran keterampilan
tentang anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan
keterampilan prosedural yang diperlukan. Mahasiswa juga akan
mempelajari sikap profesionalisme yang terkait dengan topik diatas.
Modul ini akan dipelajari dengan mengunakan strategi Problem
Based-Learning, dengan metode diskusi tutorial menggunakan
seven jump, kuliah, praktikum laboratorium, dan belajar
keterampilan klinik di laboratorium ketrampilan.
Hubungan dengan modul sebelumnya
1. Telah memahami prinsip-prinsip komunikasi dokter-pasien dan
keluarga yang diberikan pada modul komunoikasi efektif
( modul 2 )
2. Telah memahami konsep Homeostasis, reseptor dan ligan pada
modul Biopsykososial (modul 3)
3. Telah memahami komponen darah yang nantinya berperan
dalam sistim imun pada modul Hematopoetin (modul 6)
Hubungan dengan modul sesudahnya
Diperkuat modul hormonal & metabolisme (8) modul sistim
imun dan kulit ini mempunyai konstribusi mendasari beberapa
materi pada modul Gerak dan muskuloskeletal (9), Sistim
7
Kardivaskuler (10), Sistim pernafasan (11), Sistim pencernaan (12),
Enterohepatik (13), Penyakit Tropis (14), Saraf dan reseptor sensorik
(15), Sistem urogenetalia (17), Reproduksi (18), Tumbuh Kembang,
geriatri dan degeneratif (20), Penglihatan (22), Pendengaran,
penciuman dan tenggorok (23), dan modul electif obat tradisonal
serta modul Kegawatdaruratan (26).
DAFTAR ISI
Kata
pengatar…………………………………….......................................
....
5
Gambaran umum 7
8
modul...............................................................................
Hubungan dengan modul
sebelumnya.......................................................
7
Hubungan dengan modul
sesudahnya……………………………….......
8
Daftar
Isi……………………………………………………………...............
9
Learning
Objective..................................................................................
........
10
Pemetaan Pencapaian Learning
Objective..................................................
13
Topik.........................................................................................
........................
16
Topik Tree……………………………………………………………............
17
Materi “masalah”……………………………………………………............
18
Kegiatan
pembelajaran………………………………………………...........
19
Assessment…………………………………………............................
..........
24
Sumber
Belajar…………………………………………………….................
27
Penjabaran Pembelajaran
LBM.....................................................................
28
LBM 1 : Hipersensitifitas (Dermatitis
atopik)............................................
28
LBM 2 : Autoimun
(SLE)...............................................................................
44
LBM 3 : Imunodefisiensi/imunokompromise (HIV-
AIDS)....................
77
LBM 4 : Infeksi jamur
( Tinea ).....................................................................
87
LBM 5 : Penyakit Kelenjar Sebacea 100
9
( Acne )................................................
Jadwal ......................................................................................
........................
112
LEARNING OBJECTIVEMODUL SISTEM IMUN DAN KULIT
Area 2 : Keterampilan klinis
Setelah mengikuti modul ini Mahasiswa mampu :
1. Mengidentifikasi, memilih dan menentukan prosedur klinis dan
pemeriksaan laboratorium yang sesuai dengan masalah dan
kebutuhan pasien
2. Melakukan prosedur klinis dan laboratorium sesuai kebutuhan
pasien dan kewenangannya
3. Menentukan pemeriksaan penunjang untuk tujuan penapisan
penyakit pada sistem imun dan Kulit
4. Melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai dengan masalah
pasien
5. Memilih dan melakukan keterampilan terapetik, serta
tindakan prevensi sesuai dengan kewenangannya
Area 3 : Landasan ilmiah kedokteran
Setelah mengikuti modul ini Mahasiswa mampu :
10
1. Menjelaskan prinsip-prinsip ilmu kedokteran dasar terkait
dengan terjadinya masalah kesehatan
2. Menjelaskan mekanisme patogenesis, patologis dan
patofisiologi suatu masalah dalam Sistem imun dan Kulit.
3. Menjelaskan masalah kesehatan pada Sistem imun dan Kulit
dari tingkat seluler maupun molekuler hingga tubuh manusia
melalui pemahaman mekanisme normal dalam tubuh
4. Menjelaskan mekanisme fisiologis Sistem imun dan Kulit
manusia dalam mempertahankan homeostasis
5. Menjelaskan faktor-faktor yang mendasari kelainan pada
tubuh manusia terkait dengan Sistem imun dan Kulit
( neoplasma, infeksi dan inflamasi, degenerasi, trauma,
herediter, dan kongenital)
6. Menjelaskan prinsip-prinsip pengambilan keputusan dalam
mengelola masalah kesehatan
7. Menjelaskan farmakodinamik dan farmakokinetik obat yang
berkaitan dengan masalah kesehatan
8. Menjelaskan berbagai pilihan yang mungkin dilakukan dalam
penanganan pasien kasus Sistim imun dan Kulit.
9. Menjelaskan pertimbangan pemilihan intervensi berdasarkan
farmakologi, fisiologi, gizi, ataupun perubahan tingkah laku
10. Mengembangkan strategi untuk menghentikan sumber
penyakit, poin-poin patogenesis dan patofisiologis, akibat
yang ditimbulkan, serta resiko spesifik secara efektif
11. Menjelaskan secara rasional/ ilmiah dalam menentukan
penanganan penyakit baik secara klinikal epidemiologis,
farmakologis, fisiologis, diet, olah raga, atau perubahan
perilaku
12. Menjelaskan alasan hasil diagnosis dengan mengacu
pada evidence- based medicine.
Area 4 : Pengelolaan masalah kesehatan
Setelah mengikuti modul ini Mahasiswa mampu :
11
1. Menjelaskan perubahan proses patofisiologi setelah
pengobatan dalam kasus Sistim imun dan Kulit.
2. Mengidentifikasi berbagai pilihan cara pengelolaan yang
sesuai penyakit pasien Sistim imun dan Kulit.
3. Menjelaskan prinsip-prinsip pengambilan keputusan dalam
mengelola kasus Sistim imun dan Kulit.
4. Mengidentifikasi peran keluarga pasien, pekerjaan, dan
lingkungan sosial sebagai faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya penyakit serta sebagai faktor yang mungkin
berpengaruh terhadap pertimbangan terapi
5. Mengidentifikasi peran keluarga pasien, pekerjaan, dan
lingkungan sosial sebagai faktor risiko terjadinya penyakit dan
sebagai faktor yang mungkin berpengaruh terhadap
pencegahan penyakit
Area 8 : Islam dan disiplin ilmu
Setelah mengikuti modul ini Mahasiswa mampu :
1. Menggali dan menerapkan nilai-nilai Islam dalam mencari,
menguasai mengkaji dan mengembangkan dan menerapkan
ilmu kedokteran.
2. Melakukan pemeriksaan dan prosedur pelayanan sesuai
dengan masalah pasien dengan senantiasa berlandaskan
pada nilai-nilai dasar Islam dan etika kedokteran Islam.
3. Mampu membaca dan menghafal Al-qur’an dan hadist terkait
dengan topik yang dipelajari
12
PEMETAAN PENCAPAIAN LEARNING
OBJECTIVE
Learning Objective LBMI II III IV V
Area 2 : Ketrampilan Klinis :
Mampu mengidentifikasi, memilih dan menentukan prosedur klinis dan pemeriksaan laboratorium yang sesuai dengan masalah dan kebutuhan pasien
√ √ √ √ √
Mampu melakukan pemeriksaan fisik kelainan Kulit
√ √ √
Mampu melakukan prosedur klinis pemeriksaan Hipersensitifitas
√
Mampu menjelaskan prosedur Laboratorium pemeriksaan ELISA
√
Mampu menjelaskan susunan sel-sel kulit √Mampu menjelaskan prosedur Laboratorium dan hasil pemeriksaan sel-sel radang
√
Mampu menjelaskan prosedur Laboratorium dan hasil pemeriksaan sel-sel degeneratif
√
Menetukan pemeriksaan penunjang untuk jamur dan parasit
√ √
Mampu melakukan ketrampilan terapetik incisi dan drainase
√ √
Mampu menjelaskan prosedur eksterpasi dan nackel ekstraksi
√
Mampu memilih dan melakukan ketrampilan terapetik injeksi Intrakutan dan Subkutan serta mampu melakukan wound care/dressing
√
Mampu memilih dan melakukan ketrampilan terapetik meracik obat dan menulis resep
√
Area 3 : Landasan ilmiah kedokteran
13
Mampu menjelaskan Komponan imun non spesifik, imun spesifik, antigen
√ √ √
Mampu menjelaskan zat mediator dan imunomodulator
√
Mampu menjelaskan mekanisme respons imun
√
Mampu menjelaskan susunan makros dan mikroskopis dari lapisan kulit
√
Mampu menjelaskan mekanisme Hipersensitifitas, Autoimun dan Imunodefisiensi/imunokompromise
√ √ √
Mampu menjelaskan masalah kesehatan sistim imun melalui masalah Rhematoid arthritis, Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan HIV-AIDS
√ √ √
Mampu menjelaskan manifestasi hipersensitifitas pada Kulit
√
Mampu menjelaskan mekanisme infeksi dan degeneratif pada kulit dan kelenjar ekrin serta kelenjar sebacea
√ √
Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mendasari kelainan kulit pada infeksi jamur, investasi parasitik dan noplasma kulit.
√ √ √ √ √
Mampu menjelaskan prinsip-prinsip pengambilan keputusan dalam mengelola masalah kesehatan sistim imun dan Kulit
√ √ √ √ √
Mampu menjelaskan farmakodinamik dan farmakokinetik obat yang berkaitan dengan masalah kesehatan Sistim imun dan Kulit
√ √
Mampu menjelaskan berbagai pilihan yang mungkin dilakukan dalam penanganan pasien kasus Sistim imun dan Kulit.
√ √ √ √ √
Mampu menjelaskan pertimbangan pemilihan intervensi gizi pada masalah Sistim Imun.
√
Mampu mengembangkan strategi untuk menghentikan sumber penyakit, poin-poin patogenesis dan patofisiologis, akibat yang ditimbulkan, serta resiko spesifik secara efektif
√ √ √ √ √
Mampu menjelaskan secara rasional / ilmiah dalam menentukan penanganan penyakit baik secara klinikal epidemiologis, farmakologis, fisiologis, diet, olah raga, atau perubahan perilaku
√ √ √ √ √
Menjelaskan alasan hasil diagnosis dengan mengacu pada evidence- based medicine.
√ √ √ √ √
Area 4 : Pengelolaan Masalah kesehatan
14
Mampu menjelaskan perubahan proses patofisiologi setelah pengobatan dalam kasus Sistim imun dan Kulit.
√ √ √ √ √
Mampu mengidentifikasi berbagai pilihan cara pengelolaan yang sesuai penyakit pasien Sistim imun dan Kulit.
√ √ √ √ √
Mampu menjelaskan prinsip-prinsip pengambilan keputusan dalam mengelola kasus Sistim imun dan Kulit.
√ √ √ √ √
Mampu mengidentifikasi peran keluarga pasien, pekerjaan, dan lingkungan sosial sebagai faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit serta sebagai faktor yang mungkin berpengaruh terhadap pertimbangan terapi
√ √ √ √ √
Mampu mengidentifikasi peran keluarga pasien, pekerjaan, dan lingkungan sosial sebagai faktor risiko terjadinya penyakit dan sebagai faktor yang mungkin berpengaruh terhadap pencegahan penyakit
√ √ √ √ √
Area 8 : Islam dan disiplin ilmu
Menggali dan menerapkan nilai-nilai Islam dalam mencari, menguasai mengkaji dan mengembangkan dan menerapkan ilmu kedokteran.
√ √ √ √ √
Melakukan pemeriksaan dan prosedur pelayanan sesuai dengan masalah pasien dengan senantiasa berlandaskan pada nilai-nilai dasar Islam dan etika kedokteran Islam.
√ √ √
Mampu membaca dan menghafal Al-qur’an dan hadist terkait dengan topik yang dipelajari.
√ √ √ √ √
15
TOPIK
1. Sistim Imun
1.1. Fisiologis
Komponen Imun Non Spesifik
Komponen Imun Spesifik
Respons Imun
Antigen
1.2. Patologis
Hipersensitifitas
Autoimun
Imunodefisiensi/imunokompromise
1.3. Imunodiagnosis
Hipersensitifiti Test
ELISA
1.4. Imunoterapi
Antihistamin
Antiinflamasi
Imunostimulan
2. Penyakit Kulit
Anatomi dan Histologi Kulit
Makros dan mikroskopis Susunan Kulit
16
Patologis
Infeksi jamur pada Kulit
Infeksi bakteri pada kulit
Investasi parasit pada Kulit
Kelainan pada kelenjar ekrin dan sebacea (Acne
vulgaris dan Milliaria)
TOPIC TREE
17
Modul 7; Sistim Imun & Kulit
Imunologi
FisiologisPatologis
Imunodiagnosis
ImunoterapiImunnonspesifik
Imunspesifik
Antigen
Respons ImunHipersensitifitas
Autoimun
Imunodefisiensi/Imunokompromis
e
Dermatitis Atopi
SLE
HIV-AIDS Hipersensitifitas-Test
ELISA
AntiHistamin
AntiInflamasiImunostimulan
Dermatologi
Fisiologis Patologis
MATERI “MASALAH”
1. Hipersensitivitas
2. Autoimmne disorder
3. Imunodefisiensi
4. Infeksi kulit
5. Kelainan adneksa kulit
18
Makros Jar. Kulit
Mikros Jar. KulitInfeksi Kulit
Jamur Parasit
Kelainan Kelj. Ekrin & Sebacea
Bakteri
KEGIATAN PEMBELAJARAN
Pada modul ini akan dilakukan kegiatan belajar sebagai berikut:
a. Tutorial
Tutorial akan dilakukan 2 kali dalam seminggu. Setiap kegiatan
tutorial berlangsung selama 100 menit. Jika waktu yang
disediakan tersebut belum mencukupi, kelompok dapat
melanjutkan kegiatan diskusi tanpa tutor di open space area
yang disediakan. Keseluruhan kegiatan tutorial tersebut
dilaksanakan dengan menggunakan seven jump steps. Seven
jump steps itu adalah:
1. Jelaskan terminologi yang belum anda ketahui
2. jelaskan masalah yang harus anda selesaikan
3. analisis masalah tersebut dengan brainstorming agar
kelompok memperoleh penjelasan yang beragam mengenai
fenomena yang didiskusikan.
4. cobalah untuk menyusun penjelasan yang sistematis
mengenai fenomena/ masalah yang diberikan kepada
anda.
5. susunlah persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan
dalam diskusi tersebut menjadi tujuan pembelajaran
kelompok (learning issue/learning objectives)
6. Lakukan belajar mandiri untuk mencari informasi yang anda
butuhkan guna menjawab learning issues yang telah anda
tetapkan.
19
7. Jabarkan temuan informasi yang telah dikumpulkan oleh
anggota kelompok, sintesakan dan diskusikan temuan
tersebut agar tersusun penjelasan yang komprehensif
untuk menjelaskan dan menyelesaikan masalah.
Aturan main tutorial:
Pada tutorial 1, langkah yang dilakukan adalah 1-5. Mahasiswa
diminta untuk menjelaskan istilah yang belum dimengerti pada
skenario “masalah”, mencari masalah yang sebenarnya dari
skenario, menganalisis masalah tersebut dengan mengaktifkan
prior knowledge yang telah dimiliki mahasiswa, kemudian dari
masalah yang telah dianalisis lalu dibuat peta konsep (concept
mapping) yang menggambarkan hubungan sistematis dari
masalah yang dihadapi, jika terdapat masalah yang belum
terselesaikan atau jelas dalam diskusi maka susunlah masalah
tersebut menjadi tujuan pembelajaran kelompok (learning issue)
dengan arahan pertanyaan sebagai berikut: apa yang kita
butuhkan?, apa yang kita sudah tahu? Apa yang kita harapkan
untuk tahu?
Langkah ke 6, mahasiswa belajar mandiri (self study) dalam
mencari informasi
Pada tutorial 2, mahasiswa mendiskusikan temuan-temuan
informasi yang ada dengan mensintesakan agar tersusun
penjelasan secara menyeluruh dalam menyelesaikan masalah
tersebut.
b. Kuliah Pakar
Ada beberapa aturan cara kuliah dan format pengajaran pada
problem based learning. Problem based learning menstimulasi
mahasiswa untuk mengembangkan perilaku aktif pencarian
pengetahuan. Kuliah mungkin tidak secara tiba-tiba berhubungan
dengan belajar aktif ini, Namun demikian keduanya dapat
memenuhi tujuan spesifik pada PBL. Adapun tujuan kuliah pada
modul ini adalah:
20
a. Menjelaskan gambaran secara umum isi modul, mengenai
relevansi dan kontribusi dari berbagai disiplin ilmu yang
berbeda terhadap tema modul.
b. Mengklarifikasi materi yang sukar. Kuliah akan lebih
maksimum efeknya terhadap pencapaian hasil ketika pertama
kali mahasiswa mencoba untuk mengerti materi lewat diskusi
atau belajar mandiri.
c. Mencegah atau mengkoreksi adanya misconception pada
waktu mahasiswa berdiskusi atau belajar mandiri.
d. Menstimulasi mahasiswa untuk belajar lebih dalam tentang
materi tersebut.
Agar penggunaan media kuliah dapat lebih efektif disarankan
agar mahasiswa menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak
dapat dijawab atau kurang jelas jawabannya pada saat diskusi
kelompok agar lebih interaktif.
Adapun materi kuliah yang akan dilaksanakan sebagai berikut:
a. Minggu 1
a.1. Overview Respon Imunn (Biologi)
a.2.Overview Dermatitis, Management dermatitis
atopik(Dermatologi)
a.3. Overview Aplikasi Klinis Reaksi Hipersensitivitas
a.4. Pemeriksaan Penunjang DKA (Dermatologi)
a.5. Konsep Konsumsi Halalan Toyiban Kaitannya dengan
Reaksi Hipersensitifitas (gizi)
b. Minggu 2
b.1. Overview Zat-zat Mediator dan Imunomodulator
(Biokimia)
b.2. Manifestasi SLE pada Kulit dan
b.3. Penyakit Bula Autoimun (Dermatologi)
b.4. Overview penyakit autoimun (Penyakit Dalam)
b.5.Manfaat Sholat (tahajud) dalam Proses Homeostatis
Modulasi Respons Imun
c. Minggu 3
21
c.1. Overview Farmakologi Obat-obat Imunostimulan , Anti
Inflamasi , Anti Histamin (farmakologi)
c.2. Gizi dan Mikronutrien pada Sistem Imun (Gizi)
c.3. Penanggulangan Epidemic dan Dampak Social HIV/AID
(Ilmu Kesehatan Masyarakat)
c.4. Overview Penyakit Imunodefisiensi (Penyakit dalam)
c.5. Islamic Lifestyle dalam Mencegah HIV-AIDS
d. Minggu 4
d.1. Aspek mikrobiologi bakteri gram positif pembentuk
nanah (Stafilokokus, Streptokokus), Sifat, morfologi,
eksotoksin, endotoksin, patogenesitas (mikrobiologi)
d.2. Overview Penyakit Infeksi Kulit (pioderma primer)
d.3. Aspek mikrobiologi jamur (sifat, morfologi,
patogenesitas mikosis superfisial (Dermatophyta dan non
Dermathophyta)dan Candida)
d.4. Overview Penyakit Kulit Eritropapuloskuamosa dan
Psoriasis vulgaris (Dermatologi)
d.5. Farmakologi obat anti jamur Golongan azole,
griseofulvin, dan alilamin
d.6. Konsep Thaharoh dalam Mencegah Penularan Penyakit
Kulit
e. Minggu 5
e.1. Milaria dan Hidradenitis Supurativa (Dermatologi)
e.2. Kelainan Kuku dan Rambut (Dermatologi)
e.3. Struktur Appendik Kulit (Dermatologi)
e.4. Adab menghadapi penderita penyakit menular
c. Praktikum
Tujuan utama praktikum pada PBL adalah mendukung proses
belajar lewat ilustrasi dan aplikasi praktek terhadap apa yang
mahasiswa pelajari dari diskusi, belajar mandiri, dan kuliah.
Alasan lain adalah agar mahasiswa terstimulasi belajarnya lewat
penemuan sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar.
22
Adapun Praktikum yang akan dilaksanakan adalah:
a. Minggu 1
a.1. Organ limfoid sekunder (Histologi)
a.2. -
b. Minggu 2
b.1. Patologi anatomi reaksi inflamasi (PA)
b.2. Identifikasi sel imun (Biologi)
c. Minggu 3
c.1. Imunohistokimia (PA)
c.2. Imunodiagnosis (PK)
d. Minggu 4
d.1. Pemeriksaan KOH (Mikrobiologi)
d.2. Scabies dan pediculosis (Parasitologi)
e. Minggu 5
e.1. Menulis resep dan meracik obat kulit (Farmakologi)
e.2. –
d. Latihan keterampilan medik di Skills Laboratory
Tujuannya adalah menyiapkan mahasiswa dalam ketrampilan
yang mendukung pembelajaran pada sistem reproduksi dengan
menggunakan simulasi pasien dan manekin sebagai media ajar
guna kelangsungan proses pembelajaran di klinik . Mahasiswa
diharapkan mampu menguasai tekhnik secara lege artis,
sistematis dan terintegrasi. Adapun ketrampilan yang harus
dikuasai adalah:
a. Minggu 1
a.1. Prick test dan pacth test (THT)
a.2. -
b. Minggu 2
b.1. UKK Primer Sekunder
b.2. UKK Dermatitis
c. Minggu 3
23
c.1. Injeksi sub cutan, injeksi intra muskuler, injeksi intra vena c.2. -
d. Minggu 4
d.1. Insisi dan drainase
d.2. -
e. Minggu 5
e.1. Naegle ekstraksi
e.2.-
ASSESSMENT
Assessment knowledge :
Assessment tutorial : bobot (20 % dari total nilai akhir
knowledge)
Difungsikan untuk menilai performance mahasiswa dalam kegiatan
tutorial SGD maupun kegiatan praktikum. Beberapa hal yang dinilai
dalam penilaian harian ini adalah : kehadiran, keaktifan, dan
kesiapan materi. Bagi mahasiswa yang berhalangan hadir karena
sakit dengan menyampaikan surat ijin atau mengikuti kegiatan
kemahasiswaan , wajib meminta tugas kepada tim modul sebagai
pengganti kegiatan tutorial atau kegiatan praktikum yang
ditinggalkan tersebut.
Assessment kegiatan praktikum 10 % dari total nilai akhir
knowledge. Difungsikan untuk menilai kehadiran, keaktifan
mahasiswa, kerjasama kelompok, serta pengetahuan siswa pada
setiap kegiatan praktikum.
Assessment tengah modul dilakukan pada pertengahan
pelaksanaan modul (bobot 20 % dari total nilai akhir knowledge).
24
Ujian tengah modul bertujuan untuk mengetahui ketercapaian
sasaran pembelajaran LBM yang telah dilalui, yang berhubungan
dengan pengetahuan (knowledge). Oleh karena itu ujian dilakukan
dalam bentuk tertulis.
1. Siswa dapat mengikutinujian susulan tengah modul jika
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Mengikuti 80 % dari keseluruhan SGD
b. Mengikuti 100 % dari keseluruhan praktikum
c. Mengikuti 100 % dari keseluruhan skill lab
d. Mengikuti 75 % dari keseluruhan kuliah
Siswa yang meninggalkan ujian tengah modul, dapat
mengikuti ujian susulan tengah modul jika memenuhi
persyaratan untuk mengikuti ujian
Tata cara permohonan ujian susulan dilaksanakan
sebagaimana yang berlaku yakni siswa mengajukan
permohonan kepada dekan dilampiri alasan
ketidakhadirannya pada ujian tersebut, selanjutnya surat
permohonan ujian susulan dikeluarkan oleh MEU untuk
disampaikan kepada tim modul terkait
Jika mahasiswa tidak mengikuti ujian tengah modul maka nilai
tengah modul dinyatakan nol
2. Apabila mahasiswa berhalangan hadir pada kegiatan SGD,
praktikum, dan Skill lab, maka mahasiswa harus :
a. Memberikan surat ijin ketidakhadiran pada kegiatan
tersebut
b. Mengganti kegiatan SGD dengan tugas dari tim modul,
untuk penggantian tersebut mahasiswa harus
berkoordinasi dengan tim modul
c. Mengganti kegiatan praktikum pada hari lain, untuk
penggantian tersebut mahasiswa harus berkoordinasi
dengan bagian
25
d. Mengganti kegiatan skill lab pada hari lain, untuk
penggantian tersebut mahasiswa berkoordinasi dengan tim
modul
e. Selain tugas pengganti SGD dan mahasiswa mengikuti
kegiatan pengganti praktikum dan skill lab maka
mahasiswa dinyatakan telah mengikuti kegiatan 100 %
Assessment akhir modul dilakukan pada akhir modul (bobot 50%
dari total nilai akhir knowledge)
Diselenggarakan menyesuaikan dengan jadual yang telah disusun
MEU. Bentuk ujian berupa ujian tulis dengan tujuan pembelajaran
yang harus dikuasai oleh siswa. Tujuan assesmen akhir modul
adalah untuk mengetahui ketercapaian seluruh sasaran
pembelajaran, baik knowledge, skill, maupun attitute yang dipelajari
dalam modul tersebut. Ketentuan yang berlaku bagi ujian tengah
berlaku pula bagi ujian akhir modul
Assessment Skill
Nilai skill diambil dari :
Kegiatan skill lab harian : 25 % dari total nilai akhir skill
Kegiatan OSCE : 75 % dari total nilai akhir skill
Kegiatan OSCE didasarkan pada kelulusan tiap station. Jika tidak
lulus pada station tertentu , mahasiswa diwajibkan mengulang dan
nilai skill belum dapat dikeluarkan sebelum mahasiswa lulus skill
tersebut. Pelaksanaan ujian ulang OSCE diatur oleh MEU dan Tim
Modul, dengan biaya yang akan ditentukan selanjutnya. Perhitungan
nilai akhir modul adalah :
(Nilai total kognitif X SKS kognitif) + (Nilai total skill X SKS skill)
SKS Modul
Standar kelulusan ditetapkan dengan Judgment Boderline
26
Sumber Belajar
1. Essesnsial Immunology, Ivan Roitt’s.et al.,
2. Imunologi III, Bellanti.,et al
3. Imunologi Dasar, Karnen Barata Wijaya
4. Molecular dan Cellular Immunology, Abul K. Abbas.,et al.
5. Medical Immunology, Daniel P. Stites.,et al.
6. Djuanda S, Sularsito S Adi, ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai
Penerbit FKUI, 2007
7. Siregar, RS. Saripati Penyakit Kulit. Atlas berwarna. Penerbit buku
Kedokteran, EGC. 2005
8. Wolff Klaus, Johnson RA, Suurmond Dick. Disorders of sebaceous
and apocrine glands. Dalam Fitzpatrick : Color atlas and synopsis
of clinical dermatology fifth edition, McGraw-Hill, 2005
9. Strauss John, Plewig G, Kerr Rebecca Er. Disorders of epidermal
appendages and related disorders. Dalam Fitzpatrick:
Dermatology in general medicine, sixth edition, McGraw-Hill 2005
10. Moschella SL, Hurley HJ, eds. Dermatology, thirdth ed.
Philadelphia: W. B. Saunders, 1992.
11. Color Atlas and Synopsis Of Clinical Dermatology . Thomas B
Fitzpatrick MD et all edisi 4.
27
12. Dermatomikosis superfisialis pedoman untuk dokter dan
mahasiswa kedokteran. Unandar Budimulja dkk. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001
13. Penyakit Jamur Kulit. Dr. R.S Siregar Lab I. Penyakit Kulit dan
Kelamin FK UNSRI / RSU Palembang. 1995
14. Dermatology in general medicine. Fitzpatrick et all edisi 5/6
PENJABARAN PEMBELAJARAN LBM
LEMBAR BELAJAR MAHASISWA 1
(LBM 1)
b. Judul:
Gatal di kulit
c. Sasaran Belajar:
1. Melakukan pemeriksaan prict test , patch test, test alergi
2. Menjelaskan histologi organ limfoid primer (timus dan
sumsum tulang)
3. Menjelaskan fisiologi organ limfoid primer (timus dan sumsum
tulang)
4. Menjelaskan histologi organ limfoid sekunder yang meliputi
kulit, sistem mukosa saluran napas, gut associated limphoid
tissue, peyer`s patch, Waldeye`s ring, kelenjar getah bening,
lien
5. Menjelaskan fisiologi organ limfoid sekunder yang meliputi
kulit, sistem mukosa saluran napas, gut associated limphoid
tissue, peyer`s patch, Waldeye`s ring, kelenjar getah bening,
lien
6. Menjelaskan Innate Immunity (Imunitas bawaan)
28
7. Menjelaskan pemrosesan dan presentasi antigen
8. Menjelaskan perkembangan limfosit B dan T
9. Menjelaskan immunitas seluler
10. Menjelaskan immunitas humoral
11. Menjelaskan respon imun pada tubuh manusia
12. Menjelaskan macam- macam reaksi
hipersensitivitas
13. Menjelaskan imunopatogenesis macam- macam
reaksi hipersensitivitas
14. Menjelaskan etiologi dermatitis atopik
15. Menjelaskan patofisiologi dermatitis atopik
16. Menjelaskan gejala dan tanda dermatitis atopik
17. Menjelaskan pemeriksaan lab dasar dan penunjang
terkait masalah dermatitis atopik
18. Menjelaskan diferential diagnosis dermatitis atopik
19. Menjelaskan alasan hasil penegakan diagnosis terhadap
dermatitis atopik
20. Menjelaskan jenis-jenis dan strategi penanganan
dermatitis atopik serta alasan pemilihan penanganan tersebut
21. Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
dermatitis atopik
22. Menjelaskan jenis-jenis dan strategi penanganan
dermatitis atopik serta alasan pemilihan penanganan tersebut
23. Menjelaskan prinsip dasar keputusan pengelolaan
pasien dermatitis atopik
24. Menjelaskan penyakit-penyakit kulit akibat reaksi imune
(Eczematous dermatitis, allergic skin disease)
25. Menjelaskan konsep konsumsi halalan toyiban kaitannya
dengan reaksi hipersensitivitas
29
SKENARIO
Kata Kunci: Gatal, bengkak, warna kulit memerah, makan ikan laut, obat CTM, Prick Test Masalah:Hipersensitivitas
30
Gatal di Kulit
Seorang Laki-laki usia 30 tahun datang ke tempat praktek dokter praktek umum yang buka pada sore hari, karena tidak kuat menahan rasa gatal pada ke dua punggung kaki yang dirasakan sejak siang hari. Gatal pada punggung kaki disertai bengkak dan warna kulit sekitarnya memerah, terasa panas dan perih akibat luka garukan, gatal timbul pada ke dua punggung kaki secara bersamaan. Hasil anamnesis diketahui bahwa penderita pada saat makan siang, makan di warung dengan lauk pauk ikan laut. Penderita sudah minum obat CTM membaik sebentar tetapi kemudian muncul kembali. Buang air kecil tidak ada kelainan, buang air besar tidak ada kelainan, pernafasan dan jantung tidak ada kelainan. Ibu penderita dulu juga sering menderita gatal-gatal dan bentol-bentol apabila makan udang. Oleh dokter diusulkan pemeriksaan penunjang prick test.
d. Konsep map
e. Materi
Pahami materi yang diberikan oleh tim modul sebagai dasar
untuk menjawab pertanyaan minimal dibawah ini (yang
bertujuan mencapai kompetensi sasaran belajar)
ANTIGEN adalah suatu substansi yang menjadi target suatu
respons imun yang dapat dikenali dan diikat oleh antibody (Ig)
maupun reseptor sel T (TCR). Bagian antigen yang berikatan
langsung dengan Fab dari Antibodi dan TCR disebut Antigenik
Deterniman atau EPITOP. Ada 2 macam EPITOP, yaitu linier
31
Antigen/Immunoge
n
Hipersensitivitas
Respons Imun
Imun non Spesifik
Imun spesifik
UKK
Struktur Ant&Histo Kulit
Gatal
Sistim Saraf
Antihistamin
Macam2 Penyakit Hipersensitifitas
epitop dan komformational epitop; Komformational epitop
adalah 1 epitop yang tersusun atas konfigurasi beberapa linier
epitop dan apabila mengalami denaturasi akan berubah menjadi
linier beberapa linier epitop.
(Sumber : Abbas et al.,2000)
Antigen yang dapat menginduksi suatu respons imun disebut
IMUNOGEN sedangkan antigen yang tidak dapat menginduksi
respons imun disebut HAPTEN.
MACAM ANTIGEN :
Menurut asalnya; Antigen eksogen yaitu yang berasal dari
mikroba dan bahan-bahan kimia. Antigen Endogen yaitu Human
Leukocyte Antigen (HLA) atau Major Histocompatibility Complexs
(MHC) yaitu antigen permukaan yang ada pada sel-sel dan
Tumor Antigen. HLA/MHC ada 2 macam Yaitu HLA/MHC Klas I
yang diekspesikan oleh seluruh sel yang mempunyai inti sel; dan
HLA/MHC klas II yang diekspresikan oleh sel imunokompeten.
Sedangkan Tumor antigen adalah antigen yang berasal dari sel
tubuh yang mengalami perubahan sehingga antigennya berubah
dari Self Antigen menjadi Non Self Antigen. Menurut Susunan
Kimia; adalah Macromolekul seperti protein, karbohidrat,
phospholipids dan Asam Nukleat. Metabolit lainnya seperti
Glikogen, lipid, aotocoid dan hormon. (Abbas et al., 2000; Stites
et al.,1997).
Gatal atau itch atau pruritus adalah suatu sensasi yang
merangsang kita untuk menggaruk daerah tersebut dan
merupakan suatu simtom dominan pada kelainan kulit.
32
(Pirouzi,2002). Sensasi gatal dapat timbul apabila terjadi
rangsangan baik makanik maupun kimiawi terhadap reseptor
gatal. Reseptor gatal adalah akhiran saraf yang tidak bermyelin
dan tidak spesifik dari serabut saraf yang ditemukan pada
daerah dekat antara dermal dan epidermal junction yang
ditemukan sejak tahun 1950 (bernhard,1991). Bahan atau
mediator kimia serta rangsangan fisik dapat menyebabkan gatal
dan ditemukan merangsang ujung saraf bebas yang terdapat
pada dermo-epidermal juncta (Sheley and Arthur,1957). Pola
gatal dari orang satu ke orang lain sangatlah berbeda, bahkan
sensasi gatal pada seseorang juga tidak sama walaupun di
bero rangsang gatal yang sama ( Bernhard,1992). Rangsangan
gatal kemudian disalurkan atau dipancarkan ke cornu dorsalis
medulla spinalis pada sisi yang berlawanan, menyilang garis
tengah kemudian naik ke traktus contra-lateral spinothalamic
kemudian ke thalamus dan berakhir pada cornu sensorik otak
pada cortex cerebri. Rangsangan gatal ditransmisikan oleh
serabut C tidak bermyelin ( Unmyelinated nociceptor C fiber ).
Walaupun rangsangan gatal melewati jalur yang sama seperti
jalur nyeri, tapi ada perbedaan jarak antara rangsangan gatal
yang unik pada titik gatal tadi dengan rangsangan nyeri.
Stimulasi listrik menyokong teori ini (Tuckett,1982 dalam
Bernhard,1992). Rangsangan nyeri menimbulkan reflek tarik diri
(withdrawal reflex), rangsangan gatal merangsang untuk
menggaruk. Penelitian terakhir dengan menggunakan “
functional positron emission tomography” menunjukkan induksi
gatal di kaki dengan “histamin iontophoresis” terjadi kenaikan
fokus dalam aktivitas metabolisme di area contra-lateral gyrus
cinguli anterior (area Brodman 24) (Greaves,2000).
33
Proses Inflamasi adalah suatu reaksi tubuh mikrosirkuler yang
bersifat lokal terhadap benda atau zat-zat yang membahayakan
tubuh dengan tujuan perbaikan. Warna kemerahan ( rubor )
terjadi lebih dahulu oleh karena pada proses inflamasi awal
terjadi vasodilatasi kapiler yang meningkatkan aliran darah
setempat sehingga terjadi peningkatan suhu ( calor ),
kemudian terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah
yang berakibat eksudasi plasma (cairan darah) kejaringan
sekitarnya dan terjadi pembengkakan ( tumor ). Bila massa
tersebut menekan saraf maka akan timbul rasa nyeri ( dolor )
yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi
( fungsiolaesa ).
Hypersensitivity reactions are the result of normally beneficial
immune responses acting inappropriately, and sometimes cause
inflammatory reactions and tissue damage (Roitt, et al. 1998).
Reaksi alergi atau hipersensitivitas timbul apabila individu
terpapar oleh suatu alergen.
Alergen adalah Antigen (benda Asing) atau suatu substansi yang
tak dikenal oleh sistim imun spesifik yang dapat menimbulkan
respon imun alergi. Hal ini dapat terjadi apabila individu tersebut
secara genetik mempunyai kemampuan untuk memproduksi
antibodi dari kelas IgE dalam jumlah yang cukup setelah
34
terpapar oleh alergen dalam jumlah yang sedikit (stites,1997;
Roitt,1998).
Coombs and Gell membedakan reaksi hipersensitivitas menjadi
4 tipe ;
- Hipersensitivitas tipe I atau disebut juga Immediate
Hipersensitivity atau Anaphylactic reaction terjadi apabila
alergen direspon atau diikat oleh antibodi dari kelas IgE dimana
IgE ini mempunyai aktivitas biologi mampu mengaktivkan sel
mast sehingga sel mast mengalami degranulasi melepaskan
mediator-mediator inflamasi terutama adalah Histamin
sehingga terjadi reaksi inflamasi dan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan.
- Hipersensitivitas tipe II yang disebut juga dengan ADCC
Reaction ( Antibody Dependent Cell Cytotoxic ), pada
reaksi ini yang berperan dalam mengikat alergen adalah
Antibodi dari kelas IgG atau IgM dimana aktivitas biologi dari
kedua antibodi tersebut adalah dapat mengaktivkan sel Killer
untuk melakukan aktivitas fagosit atau juga dapat
mengaktivkan reaksi komplement untuk melakukan aktivitas
sitolisis.
- Hipersensitivitas tipe III disebut juga dengan immune
complexes reaction merupakan reaksi hipersensitivitas yang
terjadi akibat penumpukan antibodi pada jaringan dimana
terdapat alergen sehingga terjadi reaksi komplek imun yang
dapat mengaktifkan reaksi complement dan dapat merusak
jaringan tersebut.
- Hipersensitivitas tipe IV atau disebut juga Delayed Type
Hipersensitivity (DTH) berbeda dengan tiga tipe hipersensitivity
sebelumnya dimana pada tipe IV ini mediator yang berperan
bukan respon imun humoral (Antibodi) tetapi respon imun
seluler. Pada tipe IV ini alergen diikat oleh reseptor sel T (TCR)
kemudian sel limfosit T yang teraktivasi melepas mediator
humoral yang berupa Cytokine yang dapat mengaktivkan sel
35
pagosit seperti makrofag untuk melepas mediator inflamasi dan
melakukan aktivitas fagositosis. (Abbas et al.,2000;Stites et
al.,1997;Roitt’s,1997; Roitt et al.,1998)
Roitt et al.,1998
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I terdapat manifestasi bentuk
Wheal and Flare yang merupakan “ Late Phase Reaction “ dari
yang tampak setelah 2 – 4 jam setelah terpapar oleh alergen
dan berangsur angsur menghilang setelah 24 jam. Hal tersebut
dapat terjadi oleh karena pada degranulasi dari sel mast terjadi
pelepasan mediator-mediator inflamasi diantaranya adalah
Cytokine Tumor Necrosis Factor (TNF) yang dapat dapat
menginduksi sel endothel untuk mengekspresikan “leukocyte
adhesion molecules”, seperti E-Selectin, Intercelluler Adhesion
Molecule-1 (ICAM-1) yang dapat menyebabkan bermigrasinya sel
PMN dari intravaskuler ke jaringan sehingga dapat
menyebabkan oedema lokal (Wheal) serta adanya vasodilatasi
karena pengaruh dari Histamin menyebabkan warna kemerahan
(Flare). (Stites et al.1997)
36
(sumber : Roitt,1998)
(sumber : Roitt,1998)
Pada Hipersensitifitas tipe II terjadi aktivasi sel pagosit.
Sel pagosit adalah sel yang mempunyai kemampuan untuk
melakukan pinositosit (engulfment) suatu antigen. Yang
termasuk sel pagosit ini adalah sel denditrik yang ada di lapisan
kulit dan organ limfoid, monosit yang ada dicairan darah dan
makrofag yang terdapat pada jaringan.
37
Proses pagositosit sebagaimana yang diterangkan dalam
gambar dibawah.
Pada Hipersensitifitas tipe III terjadi aktivasi complement.
Komplement adalah protein yang dihasilkan di hepar yang
berperan dalam peristiwa sitolisis, inflamasi dan opsonisasi.
Aktifasi complement ada 2 jalur yaitu jalur klasik dan jalur
alternative. Jalur klasik dimulai dari aktifasi komponen
komplemet C1 oleh Antgen-antibodi komplek ( Ag-Ab Complex).
Sedangkan aktifasi jalur alternative dimulai dari komponen
complement C3 oleh properdin dan factor D.
38
(sumber : Abbas et al.,2000)
Pada Hipersensitifitas tipe IV terjadi reaksi antara Alergen
(antigen) dengan sel T/ limfosit T kemudian mengaktifkan
aktifitas cytotoxic dan pagositosis
Sistim imun ada 2 macam yaitu SISTIM IMUN NON SPESIFIK DAN
SISTIM IMUN SPESIFIK.
Perbedaan utama dari kedua sistim imun tersebut adalah
kemampuannya untuk mengenali Antigen dan kemampuan
untuk membentuk memoriterhadap antigen tersebut.
39
Sistim Imun Non Spesifik adalah :
Innate (natural) immunity refers to any inborn resistance that is
present the first time a pathogen is encountered; it does not
require prior exposure and is not modified significantly by
repeated exposures to the pathogen over the life of an
individual.
Mekanisme Imun Non Spesifik :
External barriers against infection
Phagocytic cells kill microorganisms
Humoral or Soluble mediator mechanism provide a second
defensive strategy. (Abbas et al.,2000;Stites et
al.,1997;Roitt’s,1997; Roitt et al.,1998)
Sistim Imun Spesifik adalah : Sistim imun yang mempunyai ciri
atau sifat sebagaimana berikut :
Mempunyai SPECIFICITY; yaitu kemampuan untuk
mengenal dan membedakan antigen/imunogen
Mampu membedakan SELF AND NONSELF; yaitu
kekmampuan untuk membedakan protein atau molekul
milik sendiri atau benda asing.
Mampu membentuk MEMORY; yaitu kemampuan untuk
mengenali pemaparan antigen yang pertama kali
sehingga pada pemaparan berikutnya sistim imun ini
sudah siap mengeliminasi antigen
(Abbas et al.,2000;Stites et al.,1997;Roitt’s,1997; Roitt et
al.,1998)
Deferensiasi sel T
Sel T (limfosit T) adalah limfosit yang proses maturasinya terjadi
di kelenjar thymus, setelah disensitisasi oleh antigen sel T ber
deferensiasi menjadi sel T h (T Helper/CD4+), sel T sitotoksik
(CTL/CD8+) dan Sel T regulator (Treg).
40
(sumber : Abbas et al.,2000)
Deferensiasi Sel B
Immunoglobulin (antibody) adalah protein fraksi globulin yang
disekresi oleh sel plasma yang merupakan deferensiasi dari sel B
(limfosit B) yang telah tersensitisasi oleh antigen. Struktur
41
immunoglobulin terdiri dari 2 rantai ringan (L chain) dan 2 rantai
berat (H chain) masing rantai mempunyai variabel region dan
constant region. Immunoglobulin mempunyai 2 Fab dan 1 Fc.
Imunoglobulin ada 5 kelas yaitu IgM, IgG, IgA, IgE dan IgD.
Deferensiasi sel B menjadi sel Plasma dan sekresi Imunoglobulin
Struktur Imunoglobulin
f. Pertanyaan minimal yang dikuasai
1. Apakah pengertian dari benda asing atau Antigen ? dan
jelaskan macam-macam antigen.
2. Apa yang disesbut Gatal dan Bagaimana sensasi gatal dapat
timbul ?
3. Apakah reaksi inflamasi itu?
42
4. Ada berapa macam sistim imun?
5. Apakah reaksi hipersensitifitas itu dan bagaimanakah
terjadinya?
6. Macam-macam reaksi hipersentifitas ?
7. Macam-macam pemeriksaan penunjang untuk reaksi
hipersenstifitias?
Daftar pustaka
- Arthur C. Guyton,1976. Fisiologi Kedokteran Edisi 5 Bagian
2,EGC,Jakarta,Hal 143
- Daniel P. Stites,Abba I. Terr, Tristram G. Parslow.,1997.Medical
Immunology 9th edition,Appleton&Lange,USA,pp : 187
- Ivan Roitt,Jonathan Brostoff,David Male.,1998. Immunology 4th
edition.Mosby,Barcelona,pp : 22.1 – 25.12
- Abul K. Abbas,Andrew H. Lichtman,Jordan S.
Pober.,2000.Cellular and Molecular Immunology 4th
edition.,Saunders,USA,pp : 424-44
- Ganong,1979 Fisiologi Kedokteran Hal : 93
- Junquiera, 1991 Histologi Umum Hal :191
- Andokoprawiro Atmojo,1978 Patologi Umum Hal 15
- CD Imunologi dasar
43
LEMBAR BELAJAR MAHASISWA 2
(LBM 2)
a. Judul:
Autoimmune dissorder
b. Sasaran Belajar
1. Menjelaskan sifat dan macam antigen (imunogen)
2. Menjelaskan proses injuri jaringan pada reaksi inflamasi
3. Mampu mengidentifikasi sel-sel imun yang berperan pada
proses injury jaringan
4. Menjelaskan konsep self tolerance
5. Menjelaskan mekanisme kehilangan self tolerance
6. Menjelaskan mekanisme autoimun
7. Menjelaskan Major Hystocompatibelity Complex
(MHC) atau Human Leukocyte Antigen (HLA)
8. Menjelaskan penyakit-penyakit autoimun
44
9. Menjelaskan etiologi penyakit-penyakit autoimun
10. Menjelaskan gejala dan tanda penyakit-penyakit
autoimun
11. Menjelaskan pemeriksaan lab dasar dan
penunjang terkait masalah penyakit-penyakit
autoimun
12. Menjelaskan alasan hasil penegakan diagnosis
terhadap penyakit-penyakit autoimun
13. Menjelaskan Faktor-faktor yang berpengaruh
pada penyakit-penyakit autoimun
14. Menjelaskan jenis-jenis dan strategi penanganan
penyakit-penyakit autoimun serta alasan pemilihan
penanganan tersebut
15. Menjelaskan prinsip dasar keputusan pengelolaan
pasien autoimun
16. Menjelaskan penyakit penyakit bula autoimun
17. Melakukan identifikasi UKK primer maupun sekunder
18. Melakukan identifikas UKK dermatitis
19. Menjelaskan manfaat sholat (tahajud) dalam proses
homeostatis modulasi respons imun
SKENARIO
45
Seorang wanita usia 35 tahun datang ke Klinik dokter praktek umum. Penderita mengeluh sejak pulang dari berlibur dipantai kute Bali 3 hari yang lalu timbul bercak merah di wajah yang tidak mau hilang disertai bengkak dan sakit pada beberapa sendi di jari-jari tangan. Pada anamnesa diketahui sejak setengah tahun yang lalu penderita sering merasa kelelahan, sendi-sendi sering terasa sakit terutama ketika bangun tidur. Penderita sudah 6 tahun menikah tetapi belum dikaruniani anak. Penderita pernah keguguran 1 X, siklus menstruasi tidak teratur. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan bercak merah dikedua bagian pipi dan hidung yang menyerupai gambaran kupu-kupu, tidak sakit, dan tidak terasa gatal. Pada sendi jari-jari tangan tampak bengkak , merah , kaku dan sakit ketika digerakkan. Penderita pernah dirawat karena sakit pinggang dan kencing warna merah. Pada pemeriksaan laboratorium didapat penurunan jumlah sel darah putih dan trombosit. Juga ditemukan rheumatoid faktor (+) dan gambaran erosi kartilago sendi jari tangan dan penebalan membran sinovial pada foto rontgen
Kata Kunci:Kelelahan, bercak merah menyerupai gambaran kupu-kupu diwajah, bengkak dan sakit pada beberapa sendi di jari-jari tangan, belum dikaruniai anak, kencing warna merah, penurunan jumlah sel darah putih dan trombosit, rhematoid faktor (+).
Masalah:Autoimmune Disorder
c. Konsep map
46
HLA Jaringan
Respons Imun
Loss Of Self Toleran
AutoImun Disorders
Organ/JaringanSistemik
Antigen Related
SuperAntigen Related
Genetic Hormon Related
d. Materi
Pahami materi yang diberikan oleh tim modul sebagai dasar untuk
menjawab pertanyaan minimal dibawah ini (yang bertujuan
mencapai kompetensi sasaran belajar)
AUTOIMUN
Imunogenetik
Mekanisme imun dipandang dari sudut evolusi merupakan suatu
seri adaptasi genetik oleh spesies yang berkembang karena
pengaruh perubahan lingkungan yang dipaksakan kepadanya.
Pengendalian genetik dapat diamati pada tingkat seluler seperti
proliferasi dan diferensiasi aneka macam sel dalam berespon
terhadap antigen. Kerja gen juga dapat dipelajari pada tingkat
molekuler dalam kaitannya dengan struktur yang tidak terbatas dari
aneka macam imunoglobulin yang dikode secara langsung
dalam DNA.
Genetika Regulasi Imun
Sistem imun adalah jaring-jaring sel yang kompleks yang
berinteraksi dengan sentuhan langsung maupun melalui mediator-
mediator yang larut. Tujuan jaring-jaring ini adalah memberikan
imunitas yang efektif pada organisme dan mencegah kejadian-
kejadian internal yang membahayakan. Ada sejumlah besar gen
( bersama sama disebut respon imun atau IR genes) yang memberi
kode komponen-komponen pengatur jaring-jaring tersebut.
Diperkirakan bahwa gen yang mengatur respon imun terletak pada
segmen genetik yang memberi kode pada antigen
histokompatibilitas. Gen-gen IR yang terikat histokompatibilitas
memainkan peran penting, tetapi mereka juga hanya merupakan
47
sebagian dari seluruh sistem. Sistem multigen mengendalikan tidak
hanya kemampuan untuk berespon terhadap antigen tetapi juga
mengatur tingkat dan lamanya proses.
Kompleks Histokompatibilitas Mayor ( Major
Histokompatibility Complex = MHC )
Kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC) merupakan suatu daerah
kromosom yang terdiri dari satu seri gen yang memberi kode untuk
ekspresi permukaan sel antigen-antigen transplantasi. Antigen-
antigen transplantasi ini umumnya adalah glikoprotein yang berada
pada permukaan kebanyakan sel berinti. MHC pada mamalia juga
merupakan suatu daerah tempat terdapatnya gena-gena respon
imun (IR) yang terikat histokompatibilitas, karena itu MHC tidak
hanya mengendalikan sintesis antigen-antigen tranplantasi dan
penolakan cangkok, tetapi juga mempengaruhi respon imun
terhadap tantangan infeksi dan kerentanan terhadap perkembangan
penyakit yang ditengahi imunologik. Kedua sistem MHC yang telah
dikarakterisasi secara luas adalah sistem H-2 pada mencit dan
sistem HLA ( Human LeucocyteAntigen) pada manusia.
Antigen dan Imunogenisitas
Imunigenisitas dapat didefinisikan sebagai sifat suatu zat
(imunogen) yang memberikan zat tersebut kemampuan
membangkitkan respon imun spesifik. Kemampuan ini terdiri dari
pembentukan antibodi, pengembangan imunitas seluler (cell
mediated) atau kedua-duanya. Sebaliknya antigenisitas adalah sifat
zat (antigen) yang memungkinkan zat tersebut bereaksi dengan
produk-produk dari respon imun spesifik, misalnya antibodi atau
limfosit-T yang tersensitasi spesifik. Zat yang imunogenik selalu
antigenik, tetapi antigen tidak selalu imunogenik. Sebagai contoh
48
zat tertentu dengan berat molekul rendah, yang disebut hapten,
misal pinisilin tidak imunogenik kecuali jika terikat pada molekul
pembawa (carrier) yang lebih besar. Jadi hapten berfungsi sebagai
antigen tetapi tidak sebagai imunogen.
Bagian-bagian dari struktur tiga dimensi tiap-tiap imunogen
mengandung kelompok-kelompok permukaan, misalnya asam
amino dalam suatu protein globular atau sisi rantai-rantai sakarida
yang menonjol pada polisakarida. Struktur ini dinamakan
determinan antigenik atau epitop dan menyajikan daerah aktif
molekul yang terpapar, dengan mana antibodi dapat menyatu.
Kebanyakan benda-benda yang kompleks seperti sel darah merah,
jaringan, dan bakteri , mengandung banyak determinan antigenik.
Karena ukurannya yang kecil, determinan antigenik suatu individu
dapat tidak imunogenik, dan dengan demikian dianggap sebagai
hapten. Dengan demikian respon imun pada imunogen yang
kompleks memerankan respon imun kolektif terhadap sejumlah
determinan antigenik.
Definisi-definisi Spesifisitas Antigenik
Pada umumnya antigen-antigen dapat diklasifikasikan menjadi dua
jenis utama : antigen eksogen dan antigen endogen.
Tabel 1. Klasifikasi Antigen
Sumber Jenis Contoh Arti klinis
Eksogen Beberapa Mikroorganisme, tepungsari, obat-obatan, polutan
Kerentanan terhadap infeksi, penyakit yang ditengahi imunologik (asma)
Endogen
Xenogeneic (Heterolog)
Xenoantigen(Heteroantigen)
Antigen Forssman, antigen-antigen jaringan tertentu yang bereaksi silang dengan antigen
Patogenesis penyakit tertentu misalnya glomerulonefritis, demam rematik
49
eksogen (misalnya jaringan ginjal, jantung dengan Streptococcus ß haemoliticus)
Autolog Autoantigen
Idiotip
Antigen-antigen spesifik organ ( misal antigen thiroid).Antigen-antigen spesifik imunoglobulin
Penyakit-penyakit autoimun misalnya : Thiroiditis Hashimoto.Bertukar kelas imunoglobulin
Allogeneik (Homolog)
Aloantigen (Isoantigen)
Golongan darah, antigen histokompatibilitas (HL-A)
Penyakit hemolitik neonatus, reaksi transfusi, imunitas, transplantasi
Antigen-antigen Eksogen
Antigen-antigen eksogen adalah antigen-antigen yang disajikan dari
luar kepada hospes dalam bentuk mikroorganisme, tepung sari,
obat-obat, atau polutan. Antigen ini bertanggung jawab terhadap
suatu spektrum penyakit pada manusia, mulai dari penyakit-
penyakit infeksi sampai kepada penyakit yang ditengahi imunologik
misalnya asma bronkiale.
Antigen-antigen Endogen
Antigen endogen adalah antigen yang terdapat dalam individu dan
meliputi antigen-antigen berikut : antigen senogeneik (heterolog),
antigen autolog dan antigen idiotipik atau antigen alogeneik
(homolog).
Antigen senogeneik (xenogeneic) adalah antigen yang terdapat
dalam aneka macam spesies yang secara filogenetik tidak ada
hubungannya. Antigen-antigen ini juga dikenal sebagai antigen
heterogeneik ,dan penting pada kedokteran klinik, karena antigen-
antigen ini menimbulkan respon antibodi yang berkaitan atau
berguna dalam diagnosis penyakit. Sebagai contoh, reaksi silang
antara antigen-antigen Streptococcus beta haemoliticus grup A dan
jaringan jantung manusia. Diduga kerusakan jaringan merupakan
akibat reaksi silang antara antibodi dengan antigen-antigen
50
heterolog ini. Contoh terbaik dari proses ini adalah antigen
Forssman, yang terdapat dalam jaringan dari kebanyakan spesies
dan berkaitan erat dengan antigen-antigen lain yang ada di jaringan
manusia, seperti antigen golongan darah A. Karena antigen
Forssman sendiri tidak terdapat pada jaringan manusia, maka
mungkin sekali bahwa aneka macam jaringan lain atau sel-sel yang
mengandung antigen ini dapat mensensitasi manusia.
Komponen-komponen tubuh yang autolog adalah unsur pokok
hospes dan dikenal sebagai komponen-komponen self. Pada
keadaan normal mereka nonimunogenik. Diduga bahwa perubahan
dalam komponen- komponen tubuh dapat menyebabkan mereka
menjadi imunogenik, sehingga hospes menyusun serangan
imunologik melawan jaringannya sendiri. Pada beberapa kejadian,
jaringan manusia mengandung antigen-antigen yang biasanya
dapat dikenali oleh sistem imun hospes, mereka terhindar dari
tindakan antibodi-antibodi oleh sel-sel imun tubuh mereka sendiri
karena ada rintangan-rintangan, seperti membrana basalis. Pada
keadaan tertentu dimana terdapat penghilangan rintangan
sedemikian rupa akan menghasilkan respon imun akut sekunder,
merangsang hospes untuk menyusun serangan pada jaringannya
sendiri. Pada tiap kasus, keadaan akhir ditunjuk sebagai
autoimunitas.
Penyakit yang Secara Imunologi Melibatkan Antigen-antigen
Autolog
Pada sebagian kecil populasi terjadi suatu penyakit yang dikenal
sebagai penyakit autoimun. Dalam hal ini, tanda-tanda pokok
adalah injuri jaringan yang disebabkan oleh reaksi imunologik
hospes yang nyata dengan jaringannya sendiri. Pada kebanyakan
individu, dalam hospes ada ``pengenalan self `` dan toleransi
terhadap semua komponen-komponen tubuh, namun demikian pada
penyakit autoimun, ada suatu keadaan penyimpangan yang disebut
51
Erlich sebagai `` horror autotoxicus `` , dimana proses
penghancuran diri terjadi oleh sistem imun orang itu sendiri.
Pemisahan yang jelas harus dibuat antara respons autoimun dan
penyakit autoimun. Istilah "respons autoimun" merujuk pada
ditemukannya autoantibodi yang diarahkan pada antigen ``self ``
atau reaktivitas limfosit tersensitisasi terhadap antigen ``self ``.
Respons autoimun dapat atau tidak dapat menimbulkan penyakit
autoimun. Meskipun diduga bahwa penyakit autoimun akibat dari
cedera jaringan oleh respons autoimun, belum diketahui apakah
fenomena autoimun adalah penyebabnya, akibat, atau suatu
penemuan yang bersamaan dalam penyakit autoimun. Meskipun
percobaan binatang yang luas telah dilakukan, respons autoimun
sebagai penyebab penyakit manusia masih merupakan suatu
hipotesis. Sering terjadi fenomena autoimun berkaitan dengan
penyakit infeksi. Hemaglutinin dingin sering terlihat sesudah infeksi
dengan Mycoplasma pneumoniae dan kadang-kadang dikaitkan
dengan hemolisis. Sekarang belum ada bukti bahwa respons
autoimun ini menyebabkan terjadinya penyakit autoimun yang kekal
dan terus-menerus. Penggunaan yang tidak menguntungkan istilah
"penyakit autoimun", yang menyatakan suatu serangan pertama
dari hospes melawan dirinya, timbul sebelum pengetahuan tentang
mekanisme imunologi injuri jaringan dikemukakan. Istilah penyakit
"kolagen", penyakit "kolagenvaskuler" dan penyakit "jaringan ikat"
merupakan masalah peristilahan tambahan yang mengganggu.
Istilah-istilah ini memusatkan perhatian yang tidak semestinya pada
jaringan ikat, yang hanya merupakan satu dari beberapa jaringan
yang terlibat. Autoimunitas dapat dipandang sebagai manifestasi
tersier dari respons imun yang diarahkan pada antigen yang
pemrosesannya tidak tepat dan menimbulkan penghancuran
jaringan hospes. Pandangan ini berbeda dari pengertian klasik
serangan pertama hospes terhadap jaringannya sendiri.
52
Teori-Teori Patogenesis Penyakit Autoimun
Tiga hipotesis telah diusulkan untuk menerangkan mekanisme dan
manifestasi penyakit autoimun .
Hipotesis pertama, teori klon terlarang (forbidden-clone theory),
menyatakan adanya suatu klon dari limfosit mutan yang timbul
melalui mutasi somatik . Sel mutan yang membawa antigen
permukaan yang dikenal sebagai asing (mutan positif secara
antigenik) biasanya akan dihancurkan. Bagaimanapun, menurut
teori ini, sel mutan yang tidak membawa antigen permukaan
(mutan negatif secara antigenik) tidak akan dihancurkan. Dengan
berproliferasinya sel mutan yang defisien antigen ini (klon
terlarang), sel-sel ini akan mampu bereaksi dengan jaringan sasaran
karena ketidaksamaan genetik. Fenomena ini sama dengan reaksi
hospes melawan cangkok karena limfosit yang tidak cocok secara
genetik.
Hipotesis kedua, teori antigen terasing (sequestered antigen
theory), didasarkan pada fenomena pengaruh toleransi pada janin.
Menurut teori ini, selama pertumbuhan embrio, jaringan yang
dipaparkan pada sistem limforetikuler dikenal sebagai ``self ``.
Mereka yang secara anatomi terpisah atau terasing dari sistem
limforetikuler tidak dikenali sebagai ``self``. Antigen ini terdapat
pada jaringan seperti mata, sistem syaraf pusat, thiroid, dan testis.
Pada kehidupan kemudian, pemaparan melalui trauma atau infeksi,
dari antigen jaringan terasing ini terhadap sistem limforetikuler
menyebabkan terjadinya penyakit autoimun. Kedua pengertian ini
didasarkan pada dasar pikiran (premise) hiperaktivitas respon imun,
yang melalui pembentukan autoantibodi atau limfosit tersensitisasi
(hipersensitivitas lambat) akan menimbulkan produksi suatu
penyakit autoimun.
Hipotesis ketiga, pengertian tentang defisiensi imunologik,
didasarkan pada hipoaktif atau defisien sistem imunoiogik. Hipotesis
ini mendapat dukungan dari pengamatan secara klinis adanya
hubungan antara sindroma defisiensi imunoiogik dan kenaikan
53
insidensi abnormalitas autoimun. Hubungan ini telah diperhitungkan
sebagian besar dari data yang diperoleh pada percobaan binatang.
Injuri akan terjadi melalui munculnya limfosit mutan atau sebagai
akibat tetap adanya antigen mikroba. Dari pengamatan ini, telah
disimpulkan bahwa bukan individu normal yang mengembangkan
penyakit autoimun, kenyataannya paling tidak individu tersebut
mempunyai defisiensi imun yang mendasari yang tidak kentara
yang memberi kecenderungan pada keadaan autoimun. Akhirnya,
suatu pengertian yang meminta penjelasan perkembangan keadaan
autoimun harus memperhitungan pengendalian genetik dari sistem
imun. Gambaran keluarga dan distribusi jenis kelamin (misalnya
lebih banyak terjadi pada wanita) mengkarakterisasi kebanyakan
penyakit autoimun. Penemuan adanya hubungan antara antigen
histokompatibilitas tertentu dengan aneka macam penyakit
memberi kesan bahwa gena respons imun (IR) pada manusia
mungkin terletak dekat sekali dengan lokus HLA pada kromosom ke-
6. Hubungan yang paling utama adalah risiko yang relatif tinggi
terjadinya spondilitisankilosis atau sindroma Reiter pada individu
HLA-B27-positif, yang mempunyai kerentanan yang diwariskan
terhadap berkembangnya spondilitis atau sindrom Reiter dari aneka
macam rangsangan antigenik. Bukti akhir-akhir ini pada percobaan
binatang dan manusia memberi kesan pengaturan imun yang
terganggu didasarkan pada ketidakseimbangan asz3yang
ditentukan secara genetik pada subpopulasi sel-T (yaitu sel-T4
helper/induser dan T8 sitotoksik/supresor) sebagai determinan
penting pada perkembangan penyakit autoimun serta penyakit
alergi.
Klasifikasi
Penyakit autoimun dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu
penyakit autoimun sistemik (non organ spesific) dan penyakit
autoimun spesifik organ (organ spesific). Penyakit autoimun
sistemik(non organ spesific) adalah penyakit autoimun dimana
54
pengaruh utamanya melibatkan lebih dari satu organ sedangkan
penyakit autoimun organ spesifik adalah penyakit autoimun dimana
pengaruh utamanya melibatkan satu organ.
Gambar 1. Spektrum dari penyakit autoimun
55
Gambar 2. Dua tipe penyakit autoimun
Penyakit Autoimun Sistemik (Non Organ Spesific)
Lupus Eritematosis Sistemik (Systemic Lupus Erythematosus
= SLE)
Gambar 3. SLE dan berbagai manifestasi klinis yang dapat terjadi
Banyak terdapat pada wanita, SLE adalah suatu penyakit
generalisata yang mengekspresikan dirinya sebagai vaskulitis yang
melibatkan beberapa sistem organ. Sel sasaran primernya adalah
sistem hematopoetik, kulit, sendi dan ginjal. Organ-organ ini
dilibatkan dalam aneka macam cara oleh banyak sekali antibodi .
Antibodi terhadap sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit
masing-masing menyebabkan anemia hemolitik, leukopenia dan
trombositopenia. Perpanjangan waktu protrombin dan sebagian
waktu tromboplastin kadang-kadang terjadi karena "antikoagulan
lupus", pada beberapa kasus, antibodi terhadap faktor koagulasi
dapat ditemukan. Antibodi terhadap bahan-bahan nukleus atau
antigen lain yang tidak diketahui dapat bergabung dan
menimbulkan injuri jaringan vaskuler membrana glomeruli ginjal,
atau permukaan sinovial sendi . Pembentukan antibodi yang luas
digambarkan oleh hipergamaglobulinemia, yaitu, gamopati
poliklonal khas untuk beberapa penyakit autoimun. Kecuali pada
56
kerusakan sel darah merah, autoantibodi sendiri rupa-rupanya tidak
mencetuskan cedera jaringan secara langsung. Cedera diduga
terjadi terutama karena pengendapan kompleks antigen antibodi
(reaksi Tipe III). Seperti pada beberapa penyakit vaskuler, jaringan
tertentu lebih mudah terserang injuri daripada yang lain. Jaringan ini
meliputi pembuluh darah kecil, glomerulus, sendi, limpa, dan
valvula jantung.
Gambar 4. Penderita SLE dengan lesi kulit dan alopesia
Tabel 2. Manifestasi Umum SLE
Mekanisme Manifestasi
Antibodi terhadap sel darah merah Coombs + anemia hemolitik
Antibodi terhadap sel darah putih Leukopenia
Antibodi terhadap trombosit trombositopenia
Antibodi terhadap faktor pembekuan Waktu pcmbekuan diperpanjang
Pcmbcntukan antibodi ekstcnsif Hipergamaglobulinemia
kompleks anugen-antibodi: vasa darah Vaskulitis
Kompleks antigen-antibodi: glomeruli Nefritis
Kompleks antigen antiibodi: membrana
sinovia
Artritis
57
Gambar 5. Foto mikroskopis penderita SLE yang menunjukkan pengendapan
imunofluoresens tidak teratur yang khas dari globulin Ig G
sepanjang membrana basalis gromerulus
Patogenesis
Predisposisi genetik disebut "diatesis lupus", telah dilibatkan atas
dasar bertambahnya insidensi pada kembar dan adanya penyakit
autoimun pada keluarga penderita dengan lupus eritematosus.
Sebagai tambahan ,tampaknya ada kenaikan insidensi pada
penderita yang positif HLA-DR2 atau positif DR3. Sindroma seperti
lupus sementara telah terjadi setelah penggunaan yang lama obat-
obat seperti hidralazin dan prokainamida. Pada individu yang rentan
secara genctik, faktor-faktor eksogen tertentu seperti sinar
ultraviolet, obal-obatan tertentu dan aneka macam agen infeksi
dapat berperan sebagai antigen atau menghasilkan antigen yang
memicu respons imunologik penghancur diri.
Tabel 3. Antigen HLA dan Penyakit Manusia
Penyakit Antigen
Spondilitis ankilosis B 27
Sindroma Reiter B27
Artritis Reaktif Infeksi Yersinia, Salmonella,
Shigella
B27
Artritis Reumatoid Dw4, DRw4
Lupus eritematosus sistemik A1,B8, DR3
Diabetes Melitus (tergantung insulin) B8, B15, DW3
Penyakit Grave B8
Penyakit Addison B8, Dw 3
Penyakit celiak Dw3, B8
Epatitis akut kronis B8
Anemia pernisiosa B7
Psoriasis B13, B17, B27, B37, Cw 6, D11, DR7
Phemfigus B13
58
Sklerosis Multipel A3, B7, B18, D2
Miastenia Gravis B8
Uveitis anterior akut B27
Glomerulonefritis kronik A2
Penyakit Hodgkin B5
Leukemia mielogenus kronik A3
Leukimia limfositik akut A2, B12
Limfosarkoma B12
Sindroma Sjogren primer Dw3
Bukti yang diperoleh dari binatang percobaan juga memberi kesan
etiologi genetik, Pada strain mencit New Zealand hitam sejenis,
dapat terjadi sindroma seperti lupus yang terdiri dari sel-sel LE dan
lesi glomerulus. Disamping predisposisi genetik, penemuan partikel
seperti virus pada mencit ini memberi kemungkinan etiologi infeksi
yang menyebabkan keadaan autoimun. Ada bukti akhir-akhir ini
bahwa sel-T supresor atau zat supresor respons imun solubel (a
soluble immune respon suppressor = SIRS) mungkin defisien pada
tikus NZB ( New Zealand Black Strain). Meskipun fungsi yang tepat
dari sel-T supresor pada manusia belum diketahui, mereka
tampaknya memainkan peran penting pada pengaturan imunologik
dan pada pencegahan produksi autoantibodi. Mungkin kemudian
menyusul, bahwa defisiensi fungsi sel supresor memungkinkan sel-B
keluar dari mekanisme pengaturan normal dan terus menghasilkan
autoantibodi. Gambaran subpartikel mixovirus pada hasil biopsi
ginjal dari kasus lupus eritematosus sistematik pada manusia
menguatkan kemungkinan virus ini sebagai penyebab pada
manusiatetapi arti dari penemuan ini belum diketahui.
Uji Imunologik
Sel lupus eritematosus (sel LE) adalah leukosit polimorfonuklear
yang telah mengingesti bahan-bahan nukleus yang bergabung
dengan antibodi antinuklear. Uji untuk adanya sel-sel ini dapat
digunakan untuk membuktikan diagnosis SLE. Darah perifer atau
sumsum tulang diinkubasi pada suhu 370 C dan kemudian dicari sel
LE. Karena nonspesifisitasnya, uji ini sekarang jarang dilakukan.
59
Yang lebih sering dicari dalam diagnosis SLE adalah antibodi yang
melawan protein atau bahan-bahan nukleus lain. Beberapa antibodi
ditemukan dengan fluoresensi (fluorescent antinucleur antibody)
yang ditemukan dengan teknik presipitasi Amonium Sulfas .
Antibodi antinuklear (ANA) mempunyai kemampuan bergabung
dengan antigen dan mengikat komplemen. Bila penyakitnya sangat
aktif, terutama bila ginjal terlibat, ada pengurangan komplemen
dalam sirkulasi (misalnya C3) dalam sera individu ini, yang
mempunyai arti penting baik diagnostik maupun terapeutik karena
kadarnya menjadi normal bila terapi berhasil.
Uji untuk ANA sekarang sedang digunakan untuk menyaring SLE.
Karena ANA dan sel LE juga terjadi pada penderita yang menerima
obat-obatan, adanya riwayat minum obat supaya diperhatikan
dengan seksama. Kadar komplemen dapat memberi pegangan yang
berguna dalam diagnosis maupun pengelolaan penyakit, terutama
dengan keterlibatan ginjal. Antibodi anti-DNA dan pengikatan DNA
merupakan uji tambahan yang mempunyai spesifisitas yang tinggi
untuk SLE dan digunakan secara seri untuk menilai aktivitas
penyakit. Di antara antibodi-antibodi ini ada antibodi terhadap
antigen nukleus yang diekstraksi (extractable nuclear antigen =
ENA),seperti antigen ribonukleoprotein (RNP), antigen Sm, antigen
Ro, dan antigen La. Adalah menarik bahwa mikroskopik
imunofluoresen dari kulit menunjukkan pengendapan imunoglobulin
pada perbatasan dermoepidermal pada lebih dari 90 persen
spesimen dari kulit yang terlibat, dan lebih dari 50 persen dari kulit
yang tidak terlibat pada penderita SLE. Berbeda halnya, pada lupus
diskoid, pengendapan hanya terhadap pada kulit yang terlibat.
Pengobatan SLE berbeda-beda. Pada beberapa penderita obat-obat
anti inflamatoris nonsteroid dapat memberikan cukup pengendalian
aktivitas penyakit, dan dalam beberapa kasus diperlukan obat- obat
sitotoksik.
60
Artritis reumatoid (Rheumatoid Arthritis =RA)
Gambar 6. Reumatoid arthritis
Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit lain autoimun yang
dapat melibatkan beberapa sistem organ dengan menghasilkan
vaskulitis. Tempat injuri yang paling sering adalah permukaan
sinovial dan sendi . Lesi yang lebih luas dapat terjadi, terutama
artritis reumatoid sistemik.
Patogenesis dan etiologi
Etiologi RA belum diketahui. Beberapa etiologi telah dirumuskan,
termasuk gangguan metabolik dan agen infeksius (bakteri dan
mikoplasma). Bukti tidak langsung telah diajukan untuk virus-virus
pada membran sinovial penderita RA. Namun demikian, tidak ada
bukti langsung bahwa virus-virus ini memainkan peran pada
patogenesis RA. Artritis ringan diketahui menyertai beberapa infeksi
virus. Misalnya, setelah terjadi infeksi rubela secara alami atau
imunisasi rubela, kurang lebih sepertiga dari orang dewasa timbul
pengaruh seperti artritis reumatoid sementara.
61
Gambar 7. Foto tangan penderita dengan artritis reumatoid lanjut. Perhatikan
deformitas pada sendi metakarpal-falangeal dengan atrofi pada otot
hipotenar dan deviasi ulner
Genetik
Keluarga dari penderita yang terkena RA menunjukkan kenaikan
insidensi penyakit jaringan ikat (misalnya SLE). Lagi pula, pada
anak-anak dengan defisiensi imun (misalnya agamaglobulinemia),
mempunyai kenaikan insidensi terhadap penyakit jaringan ikat
(misalnya artritis reumatoid). Tambahan lagi, ada suatu kenaikan
insidensi HLA-DR-4 pada penderita AR. Karena itu, mungkin ada
faktor genetik yang mendasari yang menentukan kerentanan
penderita terhadap RA, tetapi faktor-faktor ini kompleks dan saat ini
belurn dimengerti.
Penemuan Imunologik
Faktor reumatoid (RF) merupakan globulin IgM yang mempunyai
kemampuan bereaksi dengan globulin IgG in vitro. Ada aneka
macam antiglobulin lain dari IgG, IgE dan IgA. Rangsangan untuk
produksi RF belum diketahui. Faktor ini ditemukan dalam serum dan
cairan sinovial dari kebanyakan penderita-penderita dewasa dengan
artritis reumatoid tetapi jarang ditemukan pada RA juvenil.
Meskipun RF secara diagnostik berguna, tetapi tidak spesifik karena
juga ditemukan pada hospes penyakit lain termasuk penyakit
jaringan ikat. Uji untuk RF dilakukan dengan menggunakan aneka
macam bahan pembawa (carrier) sebagai pengantar gamaglobulin
(lateks, bentonit dan eritrosit). Karena kompleks faktor reumatoid-
62
gama-globulin-komplemen telah ditemukan dalam cairan sinovial,
FR telah dilibatkan sebagai faktor penyebab dari penyakit radang
sendi kronik AR. Tidak seperti kasuss SLE, kadar komplemen serum
yang rendah jarang dijumpai pada serum penderita dengan RA.
Karena kompleks terutama berada dalam sendi, kadar komplemen
yang rendah telah ditemukan dalam cairan sendi penderita dengan
AR. Sintesis RF telah juga ditunjukkan dalam sinovial sendi yang
terkena.
Uji Imunologik.
Pada orang dcwasa, uji utama yang membedakan AR adalah uji RF
serum. Pada bentuk demam akut atau sistemik RA juvenil,
pencetusan penyakit sering menyerupai pencetusan proses
penyakit infeski akut dengan demam tinggi, ruam, leukositosis dan
laju endap darah yang cepat. Pada anak-anak, diagnosis pasti dari
RA mungkin harus menunggu timbulnya manifestasi sendi.
Pengobatan RA diarahkan terutama pada hilangnya rasa sakit dan
radang. Obat- obat yang sering digunakan termasuk salisilat dan
agen nonsteroid lain. Kebanyakan penderita mendapat manfaat
oleh obat-obat ini dan fisioterapi. Penderita dengan RA yang
progresif mungkin memerlukan obat-obat preparat emas,
antimalaria, D-penisilamin, steroid dan bahkan obat-obat sitotoksik.
Agen ini mempunyai pengaruh "meringankan" dalam arti mereka
mungkin menghentikan progresifitas RA.
Spondilitis Ankilosis (SA)/ Ancylosing Spondylitis (AS)
Spondilitis ankilosis (SA) merupakan penyakit reumatik sistemik
yang dikarakterisasi oleh radang sendi sakroiliaka dan sendi
apofisial spinal (sinovial). Akibatnya, nyeri pinggang merupakan
keluhan-keluhan yang sering diajukan meskipun penyakit dapat
mulai pada sendi perifer, bahkan dapat dimulai dengan iridosiklitis
akut. AS menyerang 10 kali lebih banyak laki-laki daripada wanita
63
dan mulai kebanyakan antara 20 dan 40 tahun. Meskipun etiologi
yang pasti dari AS ini belum jelas, bukti adanya pengaruh faktor
genetik tampak makin bcrtambah. AS diduga sejak lama
mempunyai latar belakang genetik, pertama karena kelompok
keluarga yang menyolok ditemukan antara penderita dan kedua
karena angka persamaan yang tinggi pada kembar monozigot.
Baru-baru ini, terungkapnya frekuensi yang luar biasa tinggi dari
antigen HLA-B27 yang diwariskan mencapai lebih dari 96 persen
dari penderita , dan 50 persen dari keluarga bila dibandingkan
dengan kontrol yang hanya 9 persen, memberikan bukti yang besar
adanya hubungan genetik pada penyakit ini. Hubungan yang sering
antara AS dan penyakit yang seakan-akan tidak berkaitan seperti
colitis ulserativa, enteritis regional, sindroma Reiter dan psoriasis
sampai sekarang belum dapat dijelaskan. Diperkirakan bahwa risiko
berkembangnya SA adalah 40 kali lebih besar pada penderita
dengan colitis ulserativa yang membawa antigen B27 daripada
mereka yang tanpa antigen. Tepatnya bagaimana hubungan
genetik belum diketahui. Namun demikian, laporan akhir-akhir ini
memberikan bukti adanya pembentukan antibodi dan pengendapan
kompleks imun di AS. Akibatnya, patogenesis AS dapat disusun
dalam cara berikut. Faktor pendorong yang berubah-ubah, seperti
colitis ulserativa, dapat mempercepat perkembangan spondilitis
pada individu yang mempunyai kecenderungan secara genetik yang
mempunyai penanda B27. Penyakit ini kemudian dapat diabadikan
oleh serangan pengrusak diri respon imun melawan ``self yang
diubah``.
Obat-obat utama dalam penanganan termasuk indometasin dan
fenilbutason. Masing- masing obat ini menekan dengan cepat
radang sendi dan keluhan-keluhannya, penderita dianjurkan
melakukan langkah-langkah pendukung selama hidupnya seperti
latihan bersikap dan latihan terapeutis. Bagaimanapun, obat-obat ini
tidak mencegah progresivitas AS. Untuk penderita dengan kifos-
64
koliasis yang jarang, osteotomi vertebra yang terjepit dapat
memperbaiki keadaan penderita.
Sindroma Sjögren (Ss)
Gambar 8. Serostomia dan keratokonjungtivitis sikka
Sindroma Sjögren (SS), pada bentuk primernya terdiri dari
keratokonjungtivitas sikka (mata kering) dan serostomia (mulut
kering). Namun demikian, SS lebih sering terjadi akibat AR atau
salah satu dari penyakit jaringan ikat seperti SLE, skleroderma atau
polimiositis. Salah satu tanda-tanda yang paling khas dari SS
adalah reaktivitas imunologik yang menyolok yang ditemukan
dalam serum. Sel LE, ANA, RF, dan hipergamaglobulinemia sering
terdapat antibodi terhadap RNA, duktus salivarius, kelenjar lakrimal
otot polos, mitokondia dan kelenjar tiroid dapat juga ditemukan.
Tambahan lagi, antibodi terhadap antigen yang disebut SS-A dan
SS-B ditemukan, dengan presentase yang tinggi pada pcnderita-
penderita SS. Pada penderita SS ada kenaikan frekuensi asidosis
tubulus renalis. Limfoma dapat juga bcrkembang pada pendcrita ini,
terutama pada penderita dengan bentuk primer dari SS.
Antibodi antiduktus salivarius, yang ditunjukkan dengan
imunofluoresensi indirek dari kelenjar ludah dan kelenjar lakrimal
manusia, terjadi lebih sering pada pendcrita dengan SS dan AR
daripada pada penderita dengan SS primer. Antibodi ini nampaknya
memblok (bereaksi dengan dan menutupi) diterminan pada sel-sel
permukaan duktus, , diserang oleh limfosit tersen- sitisasi. Akhir-
akhir ini hubungan HLA-DW3 dengan sindroma Sjögren primer telah
diternukan. Diagnosis diperkuat dengan technitium pertechnetate
65
scintiscanning kelenjar ludah, yang lebih sensitif dari sialografi, dan
biopsi bibir. Pengobatannya termasuk tindakan penyokong seperti
penggunaan air mata buatan dan steroid atau obat imunosupresif
untuk menanggulangi manifestasi sistemik yang serius seperti
vaskulitis.
Angitis Nekrotikans (AN) / Necrotizing Angitis (NA)
Angitis nekrotikans meliputi sekelompok gejala-gejala yang
dikarakterisasi oleh radang segmental dari arteri. Poliarteritis
nodosa (PN) mempunyai kecenderungan terdapat laki-laki dan
melibatkan baik arteri kecil ataupun sedang. Sedangkan
hipersensitivitas angiitis hanya melibatkan vasa-vasa kecil. Secara
klinik sukar membedakan antara PN dari hipersensitivitas angitis
kecuali bila keterlibatan kulit jelas memberikan dugaan yang
mengarah pada hipersensitivitas angiitis, yang sering disebabkan
oleh obat-obatan, terutama sulfonamida dan penisilin. Gambaran
toksik penderila dengan tiap penyakit menggambarkan keterlibatan
berbagai macam organ yang tersebar luas sebagai akibat oklusi
vaskuler difus. Pengobatannya termasuk steroid (dosis tinggi) dan
kadang-kadang ditambah obat-obat imunosupresif. Prognosis lebih
baik pada hipersensitivitas angiitis, penderita yang bertahan hidup
sebaiknya menghindari obat-obat yang terlibat.
Purpura Henoch-Schonlein mengenai vasa-vasa kecil kulit, sendi dan
traktus gastrointestinal. Purpura, perdarahan gastrointestinal dan
glomerulonefritis lokal sering menyertai artritis. Baru-baru ini,biopsi
lesi purpura menunjukkan adanya endapan granuler yang
cemerlang dari IgA, C3 dan fibrin-fibrinogen dalam kapiler dan
jaringan ikat dermis
Penemuan-pencmuan yang mungkin berguna untuk diagnostik,
terutama pada kasus atipik. Pada granulomatosis Wegener,
vaskulitis terjadi pada traktus respiratorius bagian atas, paru-paru,
ginjal, pada penyakit Kawazaki, terutama terjadi pada arteri
66
coronaria, sedangkan pada penyakit takayasu (tanpa nadi), ini
terjadi pada aorta dan cabang-cabang utamanya, dan pada arteritis
sel raksasa, ini terjadi pada arteri temporalis dan arteri cranialis
yang lain.
Patogenesis dan Etiologi.
Adanya kompleks imun antigen hepatitis B (HbsAg) pada jaringan
yang terkena, termasuk ginjal, baru- baru ini telah ditunjukkan pada
30 sampai 40 persen penderita dengan PN. Sebaliknya etiologi dari
keadaan ini tetap belum diketahui. bagaimanapun, tanda
imunopatologik dari keadaan ini adalah vaskulitis, serupa dengan
injuri jenis kompleks imun. Penemuan penentuan laboratorium
termasuk leukositosis dan kadang-kadang eosinofilia. Dengan
keterlibatan ginjal, dalam sedimen urin dapat ditemukan
heterogenesitas elemen-elemen seluler. Biopsi adalah satu-satunya
cara untuk memperkuat diagnosis dan harus diperoleh dari area
yang terkena.
Polimiositis (Dermatomiositis)
Polimiositis merupakan penyakit autoimun sistemik lain yang secara
patologik dikarakterisasi oleh degenerasi dan inflamasi otot skelet.
Secara klinis, penyakit ini ditandai oleh kelemahan otot bahu dan
otot-otot lingkaran pelvis. Dermatomiositis adalah bentuk
polimiositis, yang melibatkan kulit.
Patogenesis dan etiologi.
Etiologi dari keadaan ini tidak jelas, meskipun bukti untuk cara injuri
imun otot yang ditengahi sel terus bertambah. Yang menarik adalah
insidensi keseluruhan penyakit malignan yang terjadi sampai lebih
dari 20 persen kasus, biasanya pada penderita dengan
dermatomiositis. Insidensi ini dikaitkan dengan umur hospes
( menjadi makin tinggi dengan makin bertambahnya umur). Karena
67
itu, pada setiap orang dcwasa tua dengan penyakit ini,
pemeriksaan yang teliti untuk neoplasma harus dilakukan,
terutama bila mulainya akut. Penemuan laboratorium termasuk
kenaikan enzim otot dalam serum (transaminase, aldolase, kreatinin
fosfokinase) dan gambaran elektromiografi yang abnormal.
Diagnosis dapat diperkuat dengan biopsi otot. Pengobatan adalah
penggunaan imunosupresan, misalnya steroid.
Sklerosis Sistemik Progresif Skleroderma
(Progressive Systemik Sclerosis Skleroderma)
PSS adalah penyakit kronik yang etiologinya belum diketahui,
dikarakterisasi oleh penebalan fibrosa dari kulit (skleroderma) dan
beberapa organ dalam (traktus gastrointestinal,jantung, ginjal dan
paru-paru). Dua pertiga dari penderita adalah wanita. Kenaikan
kadar imunoglobulin, ANA (terutama gambaran yang berbintik dan
nukleolar) dan ikatan DNA pada anak dengan PSS dan skleroderma
lokal (morphea dan hemiatrofi) merupakan bukti untuk patogenesis
yang ditengahi antigen. Pemeriksaan in vitro dari fibroblast kulit
skleroderma menunjukkan kenaikan sintesis kolagen, memberi
kesan bahwa cacat dasar pada PSS adalah salah satu dari gangguan
pengaturan atau aktivasi dari fibroblast. Saat ini, belum ada terapi
yang berhasil, meskipun D-penisilamin memberikan beberapa
harapan, terutama untuk penyakit kulit PSS.
Penyakit Jaringan Ikat Campuran
(Mixed Connective Tissue Disease = MCTD)
Pemberian nama ini disediakan untuk penderita-penderita dengan
tanda-tanda klinik gabungan dari RA, SLE, PSS dan polimiositis.
Penderita menunjukkan adanya artritis, tangan bengkak secara
difus, fenomen Raynaud, motilitas esofagus terganggu, miositis,
68
limfadenopati, dan hipergamaglobulinemia. Khas, penderita
mempunyai ANA positif dengan gambaran yang berbintik. Diagnosis
diperkuat oleh adanya titer yang tinggi dari antibodi terhadap
antigen nuklear yang dapat diekstraksi (extractable nuelear antigen
= ENA) terutama antigen RNP. Antibodi serum MCTD tidak bereaksi
dengan antigen bila sebelumnya dicampur dengan ribonuklease.
Tidak seperti pada kasus SLE, pada MCTD kadar komplemen serum
normal. Beberapa penderita (mudah berespons) terhadap
kortikosteroid. Prognosis tampaknya baik, tetapi pengamatan
jangka lama menunjukkan bahwa beberapa penderita berkembang
menjadi penyakit jaringan ikat klasik, seperti PSS.
PENYAK1T ORGAN SPESIFIK
Anemia Hemolitik Autoimun (AHA)
AHA adalah kelompok anemia heterogen yang dikaraktcrisasi oleh
proses hemolitik yang bcrkaitan dengan antibodi spesifik sel darah
yang mengaglutinasi sel darah merah (aglutinin), yang lain melisis
mereka (hemolisin) bila bersama-sama dengan komplemen. Karena
antibodi ini diarahkan melawan sel darah merah penderita sendiri,
mereka disebut autoantibodi. AHA dikIasifikasikan menurut sifat-
sifat fisik dari antibodi . AHA yang paling sering ditemukan adalah
kelompok aglutinin panas, terdiri dari jenis idiopatik dan jenis
sekunder. Pada pendcrita ini, antibodi adalah kelas IgG dan
menunjukkan kemampuan mengikat komplemen terbatas. Pada
jenis idiopatik yang merupakan lebih dari separo kasus AHA,
etiologinya tetap belum jelas. Namun demikian pada pengamatan
jangka lama pada beberapa dari penderita ini timbul limfoma. Pada
jenis sekunder anemia terjadi berkaitan dengan salah satu dari
beberapa pcnyakit atau sesudah penggunaan obat. Pada kelompok
aglutinin dingin, antibodi kelas IgM mempunyai kemampuan untuk
mengikat komplemen dan bereaksi pada suhu dingin (4°C),
69
terutama yang melawan golongan darah I. Autoantibodi anti-I
terdapat pada penyakit seperti pneumonia atipik (Mycoplasma
pneumoniae), mononukleosis infeksiosa, dan penyakit aglutinin
dingin. Autohemolisin dingin (jenis Donath- landsteiner) ditemukan
pada kelompok ketiga dari AHA yang berkaitan dengan
hemoglobulinuria dengan paroksismal dan infeksi yang bcrubah-
ubah (variabel), termasuk virus. Penyakit ini pertama digambarkan
pada penderita dengan sifilis tersier. Antibodi adalah IgG dan
semuanya mengikat komplemen. Karena mudah sekali mengikat
komplemen, kebanyakan sel darah merah dilisis sebelum mereka
mencapai sel-sel fagositik, menyebabkan hemolisis intravaskuler
yang cepat dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria khas untuk
penyakit ini.
Etiologi
Etiologi AHA belum diketahui. Telah disimpulkan bahwa agen
eksogen (obat dan virus) dapat rnengubah susunan antigenik dari
membran sel darah merah, yang menyebabkan eritrosit rentan
terhadap hemolisis. Pada penderita yang mengalami AHA dapat
ditentukan secara genetik kerentanannya terhadap perkembangan
autoantibodi yang pada beberapa kasus dapat dikaitkan dengan
abnormalitas imunologik, misalnya sebagai kegagalan membentuk
imunoglobulin yang diwariskan atau didapat.
Diagnosis
Kriteria diagnostik utama yang digunakan dalam membedakan AHA
dari bentuk-bentuk lain anemia adalah adanya sferositosis pada
preparat apus darah perifer dan raksi antiglobulin yang positif (uji
Coombs) untuk autoantibodi. Reaksi aglutinasi tergantung suhu
akan membantu mengenali autoantibodi jenis spesifik .
Terapi
70
Pada jenis aglutinin panas, steroid adalah obat-obat yang berguna,
tetapi agen imunosupresi lain seperti azatioprin, dapat digunakan
jika penderita gagal berespons dengan steroid. Splenektomi dapat
juga berguna pada beberapa penderita yang tidak berespons
dengan steroid. Pada kelompok aglutinin dingin, tidak ada
pengobatan spesifikyang diperlukan karena merupakan jenis pasca
infeksi, agen sitotoksik bcrguna pada jenis idiopatik. Pada
hemoglobinuria dingin paroksismal, terapi obat tidak berhasil
meskipun transfusi dengan darah yang scbelumnya dipanasi sampai
37°C sering menguntungkan.
Kelenjar Tiroid
Penyakit kelenjar yang melibatkan faktor autoimun telah ditemukan
yaitu tiroiditis dan penyakit Grave. Tiroiditas merupakan suatu
keadaan dimana terjadi tingkat penghancuran kelenjar yang
berbeda-beda dengan infiltrasi inflamatoris. Penderita dapat dalam
manifestasi penyakit akut, subakut atau kronik, yang ditegaskan
oleh derajat dan lama inflamasi. Sifat-sifat imunologik tiroiditis
dijelaskan melalui penelitian dengan membuat penyakit pada kelinci
dengan menyuntikkan jaringan tiroid yang diemulsikan dalam
ajuvan Freund lengkap. Meskipun mulanya diduga ditengahi oleh
antibodi, sekarang dirasakan bahwa mekanisme primer injuri
imunologik dapat melibatkan mekanisme lain, misalnya injuri
seluler. Tiroiditis akut dapat supuratif atau nonsupuratif. Ada bukti
bahwa bentuk non- supuratif dapat mempunyai dasar imunologik. Ia
tampak dengan gejala demam, sakit tenggorokan, kelenjar tiroid
membesar dan lunak. Gejala-gejala hipertiroidisme dapat ada, dan
kadar tiroksin serum dapat naik.
Gejala- gejalanya sama dengan gejala infeksi, dan dapat terjadi
kenaikan jumlah Ieukosit dan laju endap darah yang cepat.
71
Kemungkinan adanya tiroiditis harus betul-betul dipertimbangkan.
Pada penderita yang datang dengan hipertiroidisme, Ratio wanita
terhadap laki-laki adalah enam banding satu.
Gambaran klinis yang kurang berat terjadi pada tiroiditis subakut.
Pada keadaan ini, terjadi pelunakan nodulus kelenjar tiroid atau
struma lokal yang dapat diragukan dengan Karsinoma. Meskipun
pada suatu saat dianggap jarang ditemukan, tetapi sekarang
tiroiditis subakut lebih sering dikenal. Kekhasannya, penderita
adalah eutiroid dan tidak ditemukan kelainan fungsi tiroid. Pada
tiroiditis limfositik kronik (tiroiditis Hashimoto), penderita
berkembang melalui fase akut dan subakut . la dapat tetap eutiroid
atau dapat berkernbang menjadi berbagai tingkat hipotiroidisme.
Kehabisan kelenjar dapat total, yang mengakibatkan mixedema.
Pada bentuk klasik, ditemukan kelenjar yang membesar difus dan
tidak lunak. Pada kasus dengan mixedema, pemeriksaan fisik dapat
menunjukkan suatu struma atau suatu kelenjar tiroid keras, kecil
dengan penemuan fungsi tiroid yang tertekan.
Gambar 9. Tiroiditis Hashimoto
Sebagai akibat dari penemuan imunologik yang lebih baru, penyakit
Grave sekarang dipandang sebagai penyakit multisistem dimana
ada 3 golongan yang berbeda secara klinis: (1) hipertiroidisme
karena struma difus (2) oftalmopati infiltratif (eksoftalmus), dan (3)
dermopati infiltratif (mixedema pretibial lokal). Tiga komponen ini
mungkin terdapat secara individual atau dalam kombinasi satu
72
dengan yang lain. Manifestasi oftalmopati infiltratif dan dermopati
infiltratif lebih seing terjadi pada penderita dewasa karena pada
orang dewasa ditemukan insidensi yang lebih tinggi. Hubungan
antara penyakit Grave dan penyakit Hashimoto makin lebih sering
dikenal. Kedua penyakit ini sering ada bersama-sama dan tentu saja
dapat menggambarkan manifestasi yang berbeda dari spektrum
biasa. Antibodi dalam sirkulasi serta respons limfoproliferatif in vitro
terhadap berbagai macam unsur pokok tiroid biasanya ditemukan
dalam keduanya, Lagi pula, perubahan-perubahan patologik dari
penyakit Hashimoto sering ditemukan pada kelenjar tiroid dari
penderita dengan penyakit Grave. Di samping antibodi dalam
sirkulasi, yang dapat menggambarkan fenomena autoimun, antibodi
telah dibicarakan pada dua penyakit ini yang tampaknya mengatur
aktivitas seluler dan dapat secara nyata membantu hipertiroidisme.
Bantuan ini termasuk stimulator tiroid berdaya kerja lama (long
acting thyroid stimulator = LATS), aktivitas pelindung LATS (LATS
protcctor activity = LPA) dan imunoglobulin yang merangsang tiroid
(thyroid-stimulating imunoglohulin - TSI). Saat ini belurn jelas
apakah aktivitas ini menggambarkan tiga antibodi yang berbeda
atau apakah mereka semua dapat merupakan manifestasi yang
berbcda dari antibodi yang lama spesifisitasnya, hanya berbeda
pada cara yang digunakan untuk deteksi. Antibodi ini dideteksi
dengan cara bioassay. LATS dengan kemampuan in vivonya untuk
memperbesar pelepasan hormon tiroid dan LPA dengan
kemampuannya mencegah neutralisasi LATS dengan inaktivator
yang biasanya ada pada ekstrak tiroid manusia. TSl tampaknya
mewakili autoantibodi yang diarahkan pada reseptor tirotropin, yang
mampu mengikat reseptor dan merangsang produksi AMP siklik dan
produksi hormon tiroid yang berlebih-lebihan. Penderita dapat juga
mempunyai antibodi yang diarahkan melawan tiroglobulin dan
antigen mikrosom.
Patogenesis
73
Tiroglobulin biasanya dipindahkan dari ruang koloidal ke dalam sel
asinar dengan cara proses pinositosis. Dalam sel asinar, protease
melepaskan tiroksin dari kompleks protein makromolekuler. Secara
normal tiroglobulin tidak masuk sirkulasi dalam jumlah yang berarti.
Tiroksin yang dilepaskan masuk ke dalam struktur kapiler yang
mengelilingi sel asinar dan diangkut ke jaringan perifer. Jika
kompleks makromolekuler belum dibersihkan oleh protease atau
dilepaskan utuh, ia mungkin masuk ke dalam sirkulasi dan
merangsang terjadinya respons imun dengan akibat cedera
"autoimun" terhadap tiroid . Hal ini dapat tcrjadi sesudah trauma
atau infeksi. Baru-baru ini, faktor genetik telah dilibatkan dalam
patogenesis tiroiditas kronik baik pada manusia maupun pada
binatang percobaan. Dengan penggambaran LATS, LPA, dan TSI
baru-baru ini, diduga bahwa antibodi tambahan dapat memainkan
peran dalam patogenesis penyakit Grave dan tiroiditis limfositik
kronik.
Uji Imunologik
Ada beberapa uji imunologik yang berguna untuk deteksi antibodi
terhadap jaringan tiroid. Antibodi antitiroglobulin dapat dideteksi
dengan teknik presipitasi, aglutinasi lateks, uji sel darah merah
warna coklat (tanned red cell = TRC) dan radioimunoassay. Antibodi
mikrosomal dideteksi dcngan fiksasi komplemen, uji sitotoksisitas,
imunofluoresensi dari sel epitel tiroid yang tidak terikat,
radioimmunoassay dan uji hemaglutinasi. Antigen mikrosomal
dikaitkan dengan baik sekali dengan lipoprotein ekstrak tiroid dan
dilekatkan pada bagian membran retikulum endoplasmik yang
halus. Antigen kedua koloid asinar, suatu protein yang berbeda dari
tiroglobulin juga dideteksi dengan imunofluoresensi. Pewarnaan
untuk antibodi ini paling cemerlang pada tiroiditis Hashimoto,
meskipun tidak spesifik pada penyakii ini dan dapat sering
ditemukan pada serum penderita dengan tirotoksikosis dan kanker
tiroid. Antibodi permukaan sel spesifik tiroid telah terdeteksi
74
dengan imunofluoresensi pada suspensi sel tiroid manusia. Arti dari
antibodi ini belum diketahui. Stimulator tiroid berdaya kerja lama
(long acting thiroid Stimulatorr = LATS) telah dideteksi pads sekitar
50 persen penderita penyakit Grave. Imunoglobulin yang
merangsang tiroid (thyroid-slimulating immunoglobulin = TSI) dalam
sirkulasi telah dideteksi dalam 90 persen penderita-penderita
penyakit Grave dan 15 persen pada penderita tiroiditis Hashimoto.
Meskipun hipertiroidisme dapat mengkarakterisasi fase tertentu
tiroiditis, tujuan keseluruhan dari proses penghancur diri dari
penyakit Hashimoto tampaknya diarahkan dengan keras pada
terjadinya inflamasi kronik dengan infiltrasi limfosit, penghancuran
kelenjar ,dan akhirnya pengurangan fungsi tiroid dan hipotiroidisme.
Sebab dari eksoftalmus pada penyakit Grave belum diketahui.
Namun demikian penelitian baru-baru ini yang menunjukkan adanya
tiroglobulin dalam otot orbita penderita penyakit grave dapat
memperkuat dasar dari injuri imun seluler pada patogenesis
penyakit ini. Aneka macam bentuk tiroiditis dapat dibedakan
dcngan meneliti berbagai macam fungsi tiroid dan antibodi . Pada
bentuk akut, gambaran yang paling sering adalah bertambahnya T4
total bersamaan dengan berkurangnya pengambilan jodium-131.
Antibodi antitiroid biasanya tidak dideteksi pada tiroiditis akut. Pada
tiroiditis subakut, kadar tiroksin sering normal, tetapi dapat
dideteksi bertambahnya senyawa jodium nontiroksin dalam
sirkulasi. Penyerapan jodium-131 seringkali normal. Antibodi
antitiroid biasanya tidak ada pada tiroiditis subakut. Pada bentuk
kronik, fungsi tiroid dapat normal atau berkurang, tergantung pada
tingkat keterlibatan tiroid. Antibodi antitiroid biasanya terdeteksi.
Pada penyakit Grave, T4 total naik, penyerapan 113I radioaktif
meningkat, dan antibodi antitiroid, terutama LATS dan TSI ada.
75
Gambar 10. Foto mikroskopis kelenjar tiroid yang menunjukkan perubahan
tiroiditis kronis (tiroiditis Hashimoto). Perhatikan penghancuran
susunan normal kelenjar dengan infiltrasi sel-sel mononuklear berat
Pankreas
Antibodi terhadap insulin dalam sirkulasi telah ditemukan dalam
serum penderita diabetes, yang dapat membantu alergi insulin (IgE)
atau kekebalan insulin (IgG, IgA atau IgM) . Namun demikian,
antibodi ini tidak ditemukan secara teratur pada penderita yang
tidak diobati. Akhir-akhir ini, kekebalan insulin telah dilaporkan pada
penderita yang tidak diobati dan tampak dikaitkan dengan dua jenis
antibodi: (1) antibodi yang diarahkan terhadap reseptor molekul
insulin, dan (2) antibodi yang diarahkan terhadap reseptor insulin.
Pada kedua keadaan ini, interaksi insulin dengan reseptornya
tampak dirintangi. Antibodi insulin yang dihasilkan pada binatang
telah memberikan dasar untuk uji yang berguna untuk
radioimunoassay kadar insulin. Baru-baru ini, autoantibodi tiroid
dan gastrik telah ditemukan dalam serum penderita diabetes tanpa
ada penyakit tiroid secara klinis atau anemia pernisiosa.
Autoantibodi ini lebih sering dideteksi pada jenis tergantung insulin
(Juvenile-onset) dan lebih sering dideteksi pada wanita. Penemuan
ini mungkin merupakan salah satu segi heterogenesitas dari
penvakit endokrin ini.
76
Kelenjar Adrenal
Penemuan antibodi terhadap jaringan adrenal pada penderita
penyakit Addison telah dilaporkan. Antibodi ini telah dideteksi
dengan imunofluoresensi atau fiksasi komplemen. Arti penting
penemuan tersebut pada saat ini belum jelas.
Kelenjar Paratiroid
Hipoparatiroidisme idiotipik terjadi dengan frekuensi lebih besar
pada anak-anak daripada dewasa dan lebih sering pada wanita
daripada laki-laki. Penyakit terkait yang dapat menyertai
hipoparatiroidisme, termasuk penyakit Addison idiopatik, alopesia
totalis, anemia pernisiosa dan moniliasis. Antibodi terhadap tiroid,
kelenjar adrenal dan jaringan gastrik telah dideteksi. Bukti dengan
alasan yang meyakinkan telah diperoleh untuk cara pemindahan
autosomal resesif dari cacat yang mendasari macam-macam
penyakit yang terkait ini bila ada kelompok yang terdiri dari dua
atau lebih. Perlu diperhatikan bahwa ada juga hubungan
hipoparatiroidisme dengan kegagalan perkembangan sistem imun
tergantung timus pada sindroma DiGeorge.
e. Pertanyaan minimal yang dikuasai
1. Bagaimanakah mekanisme Autoimun?
2. Bagaimanakah konsep self Tolerance ?
3. Bagaimanakah mekanisme kehilangan self tolerance?
4. Apakah yang dimaksud Major Hystocompatibelity Complex
(MHC) atau Human Leukocyte Antigen (HLA) ?
5. Sebutkan penyakit-penyakit yang berdasarkan mekanisme
autoimun !
6. Jelaskan patogenesis penyakit-penyakit yang berdasarkan
mekanisme autoimun !
77
7. Jelaskan gejala dan tanda kelainan-kelainan yang berdasarkan
mekanisme autoimun !
8. Jelaskan pemeriksaan penunjang untuk kelainan-kelainan
yang berdasarkan mekanisme autoimun!
f. Daftar pustaka
- Daniel P. Stites,Abba I. Terr, Tristram G. Parslow.,1997.Medical
Immunology 9th edition,Appleton&Lange,USA,pp : 827-862
- Ivan Roitt,Jonathan Brostoff,David Male.,1998. Immunology 6th
edition.Mosby,Barcelona,pp : 401-412
- Joseph A Bellanti, MD. Immunologi III,58-86, 203-212, 223-234,
442-483
- Abul K. Abbas,Andrew H. Lichtman,Jordan S.
Pober.,2000.Cellular and Molecular Immunology 4th
edition.,Saunders,USA,pp : 41-63.
- Julius M Cruse, Robert E lewis. Immunology. Hostech SA, Spain,
177-205
- CD Imunologi dasar
78
LEMBAR BELAJAR MAHASISWA 3
(LBM 3)
a. Judul:
Imunodefisiensi dan imunokompremaise
b. Sasaran Belajar
1. Melakukan injeksi sub cutan (test alergi), injeksi intra
muskuler, dan injeksi intra vena
2. Menjelaskan mekanisme imunodefisiensi
3. Menjelaskan pengaturan imun (Imunopotensiasi,
Toleransi, Imunosupresi dan imunokompromise)
4. Menjelaskan farmakologi obat-obat imunostimulan, anti
inflamasi dan anti histamin
5. Menjelaskan zat-zat mediator dan imunomodulator respons
imun
6. Menjelaskan penyakit-penyakit imunodefisiensi primer
dan sekunder
7. Menjelaskan imunopatogenesis penyakit
imunodefisiensi primer dan sekunder
8. Menjelaskan gejala dan tanda HIV + / AIDS sebagai
penyebab terpenting dari imunodefisiensi sekunder
9. Menjelaskan pemeriksaan lab dasar dan penunjang
terkait masalah penyakit imunodefisiensi primer dan
sekunder
10. Menjelaskan alasan hasil penegakan diagnosis
terhadap penyakit imunodefisiensi primer dan
sekunder
11. Menjelaskan jenis-jenis dan strategi penanganan
penyakit imunodefisiensi primer dan sekunder serta alasan
pemilihan penanganan tersebut
12. Menjelaskan prinsip dasar keputusan pengelolaan
pasien imunodefisiensi primer dan sekunder
13. Menjelaskan penanganan TBC with HIV
79
14. Menjelaskan Islamic Lifestyle dapat mencegah HIV-AIDS
15. Menjelaskan penanggulangan epidemic dan dampak
social HIV/AIDS
16. Menjelaskan pemeriksaan immunohistokimia
17. Menjelaskan teknik Immunodiagnostik
SKENARIO
Kata Kunci:Badan lemah, nyeri perut yang hilang timbul, diare, napsu makan menurun, dan penurunan badan yang dratis, bekas-bekas luka sayat berupa sikatrik dan keloid, HIV +, bercak-bercak kemerahan
Masalah:Imunodefisiensi dan imunokompromise
80
Seorang wanita usia 30 tahun dirawat di bangsal ruang isolasi bagian Penyakit Dalam RS Pemerintah, dengan keluhan badan lemah, batuk-batuk, nyeri perut yang hilang timbul, diare, napsu makan menurun, serta penurunan berat badan yang drastis. Pada anamnesis diketahui berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK). Sudah 5 tahun ini penderita hidup dengan pacarnya yang diketahui sebagai pengguna narkoba injeksi (injection drug user). Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya bercak-bercak kemerahan di sekujur tubuh, bercak-bercak tersebut muncul sejak 4 bulan yang lalu dan semakin bertambah banyak. Kadang bercak-bercak tersebut terasa sakit. Ditemukan pula pembesaran kelenjar limfe multiple. Pada pemeriksaan lab ditemukan penurunan lekosit. Pada pemeriksaan radiologi tampak gambaran putih pada lapang paru yang diduga sebagai gambaran pneumonia. Penderita diambil sampel saliva, urin, darah, swab vagina guna pemeriksaan gula darah dan skrening p24 antigen test serta pemeriksaan Elisa
c. Konsep Maping
f. Materi
Pahami materi yang diberikan oleh tim modul sebagai dasar
untuk menjawab pertanyaan minimal dibawah ini (yang
bertujuan mencapai kompetensi sasaran belajar)
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu suatu kumpulan
gejala penyakit yang timbul akibat lemah atau hilangnya system
imun disebabkan oleh infeksi virus HIV.
HIV kependekan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu
suatu virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia.
Dimana target utama dari virus ini adalah sel T helper. HIV dapat
dihentikan oleh system pertahan tubuh non spesifik. HIV tidak dapat
masuk kedalam tubuh melalui kulit yang intak/utuh. HIV hanya
dapat ditularkan melalui pertukaran cairan tubuh secara langsung,
misal hubungan sexual, transfusi darah, melalui jarum suntik yang
terkontaminasi, ibu hamil ke janin yang sedang dikandung dan saat
menyusui. HIV yang ditularkan melalui hubungan sexual, masuk ke
81
HIV+ / AIDS Imunodefisiensi
NAPZA
SEX Bebas
Infeksi
KeganasanImun
Spesifik
Imun Non Spesifik
Imunokompromise
dalam tubuh melalui membrane mukosa vagina, mulut dan rectum.
Makrofag dan sel dendritik pada permukaan mukosa akan mengikat
virus dan akan membawa virus ke limfonodi yang banyak
mengandung sel T helper (CD4+ Tcells)
Kemudian HIV akan menyerang sel T CD4+, dan melakukan
replikasi sehingga terjadi viremia. Dan memperluas penyebaran
virus ke jaringan-jaringan limfonodi yang lain. Respon immune yang
dicetuskan oleh virus menimbulkan perlindungan tetapi infeksi
kronik tetap berjalan terus. Produksi sitokin dan sel2 imun yang
meregulasi system immune justru akan menyebabkan replikasi HIV.
Penggantian sel T CD4+ berlangsung cepat seiring dengan
jumlah sel T CD4+ yang dihancurkan oleh HIV. Pada suatu saat
limfonodi dan sumsum tulang yang memproduksi sel-sel imun akan
lelah sehingga produksi sel-sel immune akan berkurang atau tidak
ada sama sekali. Hal ini akan menyebabkan menurunnya atau
hilangnya system kekebalan tubuh kita.
HIV berkembang biak (bereplikasi) melalui suatu siklus:
82
1. HIV akan melakat pada permukaan sel T CD4+, untuk masuk
ke dalam sel memerlukan pengikat yaitu co-reseptor CXCR4
dan CCR5.
2. HIV yang sudah tidak berkapsul masuk ke dalam sel dan
membalikan transkrip genom RNA mjd DNA, mengacaukan
replikasi RNA satu frequent untuk tiap2 siklus replikasi
3. DNA virus dapat berintegrasi dengan DNA host dan menjadi
bagian dari genome seluler. Pada tingkat ini infeksi bersifat
irreversible dan itu berarti untuk mengobati atau
mengeluarkan (membunuh) virus di dalam tubuh seseorang
yang terinfeksi viru ini menjadi tidak mungkin.
Virus menggunakan mesin seluler ntuk mensintesis protein virus.
Beberapa diantaranya adalah asam amino rantai panjang dimana
untuk memotong rantai ini diperlukan enzim protease virus
spesifik sebelum partikel virus menjadi aktif.
83
Pada saat pertamakali seseorang terinfeksi HIV, dibutuhkan
waktu 1-6 bulan untuk pembentukan antibody yang cukup
jumlahnya sehingga dapat dideteksi melalui pemeriksaan
laboratorium. Untuk menjadi AIDS tiap-tiap individu memerlukan
waktu yang bervariasi demikian pula perjalanan penyakitnya.
Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan spectrum yang berkisar
dari sindroma akut yang berkaitan dengan infeksi primer lalu
keadaan asimptomatik yang berkepanjangan sampai penyakit
lanjut.
SINDROMA HIV AKUT
Biasanya terjadi 3- 6 minggu setelah infeksi primer. Gejala biasanya
menetap 1-2 minggu dan secara bertahap mereda seiring dengan
pembentukan respon imun terhadap HIV.
Gejala Umum:
1. Demam
2. Faringitis
3. Limfadenopati
4. nyeri kepala/ nyeri retro orbita
5. atralgia / mialgia
6. Letargi / malese
7. Anoreksia dan penurunan berat badan yang drastis, lebih dari
10 kg dalam waktu 1 bulan
8. Diare berkepanjangan lebih dari 3 bulan.
Gejala neuropati :
1. Meningitis
2. Encephalitis
3. Neuropati perifer
4. Mielopati
Gejala Dermatologis :
84
1. Ruam makulopapuler eritematosa yang lebih dikenal sebagai
sarcoma Kaposi
2. Ulkus mukokutis
STADIUM ASIMTOMATIK – LATENSI KLINIS
Jangka waktu dari infeksi awal sampai pembentukan penyakit klinis
sangat bervariasi dari satu orang ke orang lain, waktu median
adalah sekitar 10 tahun. Waktu median ini sangat bervariasi sesuai
cara infeksi. Infeksi transuterin biasanya mengalami perjalanan
penyakit yang lebih progresif.
Selama periode asimtomatik ini replikasi virus aktif terus
berlangsung. Penurunan progresif jumlah sel T CD4+ selama
periode asimtomatik ini menimbulkan status imunosupresi yang
cukup parah ( jumlah sel T CD4+ < 200 per mikroliter ) yang
menempatkanpasien pada resiko tinggi terjangkit penyakit
oportunistik yang tampak secara klinis. Pada pasien-pasien tertentu,
walaupun asimtomatik, mengalami limfadenopati generalisata.
STADIUM SIMTOMATIK DINI
Pada suatu titik selama penurunan jumlah sel T CD4+ dibawah 500
per mikroliter, pasien mulai memperlihatkan gejala dan tanda
penyakit klinis. Karakteristik klinis penyakit simtomatik dini :
1. Limfadenopati generalisata : pembesaran kelenjar limfe >
1cm di dua atau lebih tempat ekstrainguinal
2. Trush : infeksi pada mukosa mulut akibat Candida
3. Oral hairy leukoplakia : berupa lesi putih filamentosa biasanya
terdapat pada batas lateral lidah. Disebabkan oleh virus
Epstein-Barr.
4. Ulkus aftosa : penyebab tidak diketahui, biasanya terletak di
orofaring posterior dan sangat nyeri sehingga menyebabkan
gangguan prose menelan.
5. Reaktivasi herpes zoster/ shingles. Dijumpai 10 – 20 % pasien
infeksi HIV setelah 5 tahun terinfeksi HIV.
85
6. Trombositopenia, gejala klinis yang sering muncul adalah
perdarahan gusi, petekie di ekstremitas dan mudah memar.
Gejala klinis lain yang sering dijumpai adalah moluskum
kontagiosum, karsinoma sel basal kulit, kondiloma kuminata, nyeri
kepala dan serangan berulangan herpes oral dan genital.
Virus AIDS ditemukan dalam cairan tubuh manusia, dan yang
paling banyak ditemukan pada drah, cairan sperma, dan cairan
vagina. Pada cairan tubuh lain juga bisa ditemukan, seperti
misalnya cairan ASI tetapi jumlahnya sangat sedikit. Sejumlah 75-
85% penularan terjadi melalui hubungan seks (5-10% diantaranya
melalui hubungan homoseksual). 3-5% melalui transfusi darah yang
tercemar. Infeksi HIV sebagian besar (>80%) diderita oleh kelompok
usia produktif, 15-49 tahun, terutama laki-laki. Tetapi proporsi
penderita wanita cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak,
90% terjadi dari ibu yang mengidap HIV. Sekitar 25-35% bayi yang
dilahirkan oleh ibu pengidap HIV akan menjadi pengidap HIV melalui
infeksi yang terjadi dalam kandungan selama proses persalinan dan
melalui pemberian ASI. Dengan pengobatan antiretroviral pada ibu
hamil trimester akhir risiko penularan dapat dikurangi menjadi 8%.
Pada dasarnya pencegahan suatu penyakit lebih murah dari pada
pengobatan penyakit tersebut. Proses pencegahan tersebut tidak
dapat dipisahkan dari kondisi lingkungan dan sejarah penyakit.
Dalam proses pencegahan, dilakukan deteksi dan intervensi pada
penyebab dan factor resiko dari penyakit tersebut. Arti pencegahan
sendiri adalah mengadakan inhibisi terhadap perkembangan suatu
penyakit.
Tingkat pencegahan penyakit terdiri dari :
Pencegahan primer (tingkat pencegahan dilakukan pada fase
sejarah alami suatu penyakit), terdiri dari 2 kategori, yang
pertama yaitu peningkatan kesehatan (health promotion) missal
perbaikan gizi, perbaikan kondisi rumah, pendidikan kesehatan);
yang kedua pencegahan spesifik missal immunisasi, penjernihan
air minum,pencegahan kecelakaan,pengaruh diet dan olahraga
86
dan dalam pelaksanaan dipengaruhi sikap individu dan
lingkungan
Pencegahan sekunder (tingkat pencegahan ini dilakukan
pada fase preklinik dan klinik) ; terdiri 2 macam yaitu penemuan
deteksi secara dini dan pengobatan secara dini
Pencegahan Tersier (pencegahan dilakukan pada fase
penyakit yang sudah lanjut atau fase kecacatan) ;terdiri dari
membatasi kecacatan dan rehabilitasi.
Dari uraian diatas maka jelas bahwa perilaku dan pola
kehidupan manusia itu sendiri mempunyai pengaruh penting
terhadap masalah kesehatan yang timbul termasuk kasus diatas
yaitu penderita AIDS.
Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara
mencegah penularan virus AIDS. Karena penularan AIDS terbanyak
adalah melalui hubungan seksual. Pencegahan lain adalah melalui
pencegahan kontak darah, misalnya pencegahan penggunaan jarum
suntik yang diulang, pengidap virus tidak boleh menjadi donor
darah.
Secara ringkas, pencegahan dapat dilakukan dengan formula A-B-C.
A adalah Abstinensia, artinya tidak melakukan hubungan seks
sebelum menikah. B adalah be faithful, artinya jika sudah menikah
hanya berhubungan seks dengan pasangannya saja. C adalah
Condom, artinya jika memang cara A dan B tidak bisa dipatuhi maka
harus menggunakan alat pencegahan dengan menggunakan
kondom
g. Pertanyaan minimal yang dikuasai
1. Bagaimanakah mekanisme imunodefisiensi ?
2. Bagaimana pengaturan imun (Imunopotensiasi, Toleransi,
Imunosupresi) ?
3. Jelaskan tentang imunodefisiensi primer dan sekunder
4. Jelaskan patogenesis patogenesis HIV+ / AIDS !
5. Jelaskan tentang HIV+ / AIDS !
87
6. Jelaskan gejala dan tanda HIV +/ AIDS !
7. Jelaskan pemeriksaaan penunjang HIV+ / AIDS !
h. Daftar pustaka
- Daniel P. Stites,Abba I. Terr, Tristram G.
Parslow.,1997.Medical Immunology 9th
edition,Appleton&Lange,USA,pp : 187
- Ivan Roitt,Jonathan Brostoff,David Male.,1998. Immunology
4th edition.Mosby,Barcelona,pp : 22.1 – 25.12
- Abul K. Abbas,Andrew H. Lichtman,Jordan S.
Pober.,2000.Cellular and Molecular Immunology 4th
edition.,Saunders,USA,pp : 424-44
- CD Imunologi dasar
88
LEMBAR BELAJAR MAHASISWA 4
(LBM 4)
a. Judul:
Bercak merah, gatal, dan bernanah
b. Sasaran Belajar :
1. Memahami aspek mikrobiologi dari jamur dermatofita dan
non dermatofita
2. Memahami aspek mikrobiologi dari bakteri gram (+)
pembentuk nanah ( Staphylococcus dan Streptococcus)
3. Memahami reaksi jaringan terhadap masuknya jamur dan
bakteri gram positif
4. Menjelaskan definisi dari impetigenisata
5. Memahami dan menjelaskan apa yang disebut pyoderma
primer.
6. Menjelaskan macam-macam pyoderma primer
7. Menjelaskan penatalaksanaan pyoderma primer
8. Melakukan terapi incisi dan drainase pada pyoderma
9. Menjelaskan etiologi bercak merah yang gatal dengan
tepi aktif dan central healing
10. Menjelaskan klasifikasi mikosis superfisialis
11. Menjelaskan penyakit- penyakit yang termasuk
dalam mikosis superfisialis
12. Menjelaskan predisposisi terjadinya mikosis
superfisial
13. Menjelaskan etiologi, gejala dan ujud kelainan
kulit yang terdapat pada mikosis superfisialis
14. Menjelaskan terapi anti jamur masing-masing
penyakit yang termasuk dalam mikosis superfisialis
baik dewasa maupun anak, efek samping terapi dan
interaksi obat.
89
15. Bisa menentukan diagnosis banding berdasarkan
ujud kelainan kulit dan predileksi lesi
16. Bisa melakukan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis
mikosis superfisial
17. Menjelaskan aspek farmakologi terapi jamur
18. Bisa melakukan penulisan resep obat-obat anti jamur
19. Menjelaskan konsep taharoh dalam mencegah
penularan penyakit kulit
90
SKENARIO
Kata Kunci:Eritematousa, tepi aktif, central healing, pustul, impetigenisata
Masalah:Bercak merah gatal dan bernanah
91
Bercak Merah Gatal dan Bernanah
Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang ke RISA dengan keluhan sejak 14 hari yang lalu bagian lipat paha timbul bercak merah bersisik yang tepinya meninggi dan terasa gatal. Gatal akan semakin mengganggu bila berkeringat. 4 Hari yang lalu bercak merah bertambah lebar dan bertambah banyak jumlahnya. Bercak merah timbul pada punggung dan perut. Bercak merah pada bagian perut karena digaruk timbul luka dan bernanah. Dari pemeriksaan didapatkan adanya lesi berbentuk polisiklis yang eritematousa, tepi aktif terdapat papula dan bagian tengahnya terdapat central healing dengan ujud kelainan kulit berupa hiperpigmentasi, skuama, pada perut ada pustul, krusta, ekskoriasi, tidak ada lesi satelit, tidak ada makula eritema dengan skuama halus . Dokter menyatakan bahwa ada dua kelainan. Yang bernanah merupakan suatu kelainan kulit yang mengalami proses impetigenisata.. Untuk meyakinkan diagnosisnya doter menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan sample dari dua lokasi yang berbeda yaitu dari lipat paha dan dari perut pada lesi yang bernanah.
Konsep map
Materi
Pahami materi yang diberikan oleh tim modul sebagai dasar
untuk menjawab pertanyaan minimal dibawah ini (yang
bertujuan mencapai kompetensi sasaran belajar)
BERCAK MERAH GATAL DAN BERNANAH
Bercak merah merupakan perubahan warna kulit menjadi merah.
Bila disertai adanya infiltrat maka akan membentuk papul, nodul,
plakat. Banyak penyakit kulit diawali dengan timbulnya bercak
merah. Pada tiap-tiap penyakit selain adanya bercak merah juga
92
Bercak Merah Gatal
Central healing
Jamur
Tepi aktif
Tinea
Impetigenisataa
Skuama
Pyoderma sekunder
Kandidosis kutis
Lesi satelit
P. Versikolor
Lesi kecil skuama halus
Bakteri Gram (+):Staphylococcus, Streptococcus
disertai dengan tanda-tanda yang spesifik sehingga dapat
dibedakan antara penyakit satu dengan yang lain.
Bila didapatkan bercak merah maka perhatikan bentuk, ukuran,
tepi, skuama, gejala dan tanda lain yang menyertainya.
Bercak merah yang gatal dimana bagian tepinya aktif dan bagian
tengahnya tenang (central healing) disebabkan oleh jamur golongan
dermatofita yang disebut dengan tinea. Namun demikian jamur
golongan dermatofita walaupun spesiesnya sama bila menyerang
kepala, telapak kaki, kuku akan memberi gambaran yang tidak khas
yaitu tidak terdapatnya central healing dan tepi yang aktif. Bila
bercak merah disertai adanya lesi-lesi kecil yang mengelilinginya
(lesi satelit) maka disebabkan oleh Candida albican. Bila bercak
merah terdapat pada daerah tertutup diselimuti skuama halus
kemungkinan adalah Pthyriasis versikolor (panu) (PV). PV selain
memberikan warna yang merah dapat juga memberikan gambaran
warna putih dan coklat dengan skuama halus diatasnya.
PENATALAKSANAAN UMUM
Dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang untuk membedakan masing-masing penyakit
Apabila terbentuk pus kemungkinan terjadinya infeksi sekunder
(proses impetigenisata) sehingga terjadi pyoderma sekunder.
DERMATOMIKOSIS
Dermatomikosis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur.
Berdasarkan bentuk klinis dibagi menjadi :
1. Mikosis Superfisialis
2. Mikosis Intermediate
3. Mikosis Profunda
MIKOSIS SUPERFISIALIS
93
Mikosis superfisialis : Penyakit jamur kulit yang mengenai lapisan
luar kulit, kuku dan rambut.
Dibagi menjadi 2:
Dermatofitosis
Non dermatofitosis
DERMATOFITOSIS
Dermatofitosis merupakan penyakit pada jaringan yang
mengandung zat tanduk misalnya pada epidermis kulit, rambut dan
kuku yang disebabkan oleh jamur golongan dermatofita. Kedalaman
pada pada kulit bisa mencapai stratum basale. Sinonim: Tinea,
ringworm, kurap, teigne, herpes sirsinata.
Etiologi:
Jamur golongan dermatofita yang terbagi dalam 3 genus:
Mikrosporon, Tricophyton, dan Epidermophyton. Jamur golongan
dermatofita bersifat keratofilik dan memiliki enzim keratinase yang
membantu jamur mencerna keratin.
Klasifikasi:
Klasifikasi yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan
lokasi:
- Tinea Kapitis
- Tinea Barbae
- Tinea Kruris
- Tinea Pedis et Manum
- Tinea Unguium
- Tinea Korporis
- Tinea Fasialis
- Tinea Imbrikata
- Tinea Sirsinata
- Pada akhir-akhir ini dikenal nama Tinea inkognito yang berarti
dermatofitosis dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena
telah diobati dengan steroid topikal kuat.
94
Gejala klinis:
Secara umum penderita merasa gatal sedangkan ujud kelainan
pada kulit yang tidak berambut mempunyai morfologi khas. Lesi
berupa plakat eritematousa berbatas tegas dengan tepi sedikit
meninggi ( tepi aktif) yang terbentuk dari vesikel kecil kecil , papul
disertai adanya skuama. Bagian tengahnya cenderung lebih tenang
(central healing)
Namun demikian pada lokasi-lokasi tertentu mempunyai gambaran
yang khas.
Diagnosis:
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik dibantu juga dengan
peeriksaan penunjang berupa:
1. Pemeriksaan preparat langsung dengan larutan KOH 10-
40%
2. Pembiakan
3. Reaksi imunologis
4. Biopsi atau gambaran histopatlogi
5. Pemeriksaan lampu Wood
Tinea Kapitis
Dermatofitosis yang menyerang rambut dan kulit kepala.
Etiologi:
- Jamur endotrix: Spesies Tricophyton ( T.tonsuran, Tviolaceum)
Infeksi jamur terjadi didalam batang rambut tanpa merusak
kutikula
- Jamur ektotrik : Spesies Microsporum (M. auduinii dan M. canis)
Infeksi jamur dimulai dari luar batang rambut sehingga
merusak kutikula rambut.
Dibagi menjadi 2: Yaitu yang menimbulkan reaksi peradangan dan
tidak
1. Raksi Peradangan hebat
95
Kerion.
Bentuk peradangan hebat ditandai dengan adanya
pembengkakan, nodul ayng eritematousa disertai pustul. Bila
pustul pecah pus akan keluar dari lubang lubang bekas pustul .
Gambaran ini menyerupai sarang lebah. Rambut pada lokasi ini
putus-putus dan mudah dicabut. Bila sembuh meninggalkan
jaringan parut yang mengakibatkan alopesia ireversibel
Favus
Dimulai adanya titik dibawah kulit berwarna merah kuning
berkembang menjadi krusta yang berwarna kuning berbentuk
cawan (skutula) melekat pada kulit. Krusta biasanya ditembus
oleh satu atau dua rambut bila krusta diangkat terlihat dasar
yang cekung. Dapat tecium bau tikus (mousy odor)
2. Tidak ada peradangan
Black dot ring worm
Rambut putus tepat pada permukaan kulit kepala (pada muara
folikel rambut)yang tertinggal ujung rambut yang mengandung
spora. Ujung rambut tampak sebagai titik-titik hitam sehingga
tampak gambaran sebagai black dot.
Gray pacth ring worm
Dimulai papul eritem kecil melebar kesekitarnya membentuk
bercak berwarna pucat dan bersisik. Rambut menjadi abu-abu
rapuh dan mudah patah diatas kulit kepala.
Tinea Barbae
Dermatofitosis pada jenggot dan kumis.
96
Etiologi : T.verrucosum, T.mentagrophytes
Tanda klinis:
Folikel rambut didapatkan adanya pustul, papul sering
eksudasi dan krusta. Rambut kumis dan jenggot mudah dicabut
dan rontok.
Tinea Kruris dan Tinea korporis
T.kruris : Dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar
anus, bokong dan kadang sampai perut bagian bawah.
T.korporis : Dermatofitosis pada daerah badan, tungkai dan
lengan.
T.kruris dan T.korporis dapat digolongkan menjadi t. glabrosa
oleh karena kelainan terdapat pada kulit yang tidak berambut.
Walaupun secara klinis terdapat murni T kruris atau korporis
namun bisa ditemukan tinea kruris et korporis.
Etiologi: Bisa dari ketiga genus dermatofita.
Gejala dan tanda :
Keluhan yang sering dialami pasien adalah gatal.
Ujud kelainan kulit yang tipikal didapatkan lesi dengan batas
tegas tepi meninggi terdiri dari eritematosa, papulovesikel
skuama (tepi aktif) bagian tengah menyembuh bisa berupa
hiperpigmentasi, skuama. Pada t. kruris bisa terjadi secara
unilateral maupun simetris. Daerah skrotum jarang menunjukkan
gambaran klinis. Berbeda dengan kandidiasis yang sering
menunjukkan keterlibatan klinis pada skrotum. Pada t korporis
bila terjadi pada daerah wajah tidak berambut para klinisi
menyebutnya sebagai tinea fasialis. Sedangkan bentuk t.korporis
lain yang khas adalah t.imbrikata yaitu dermatofitosis dengan
susunan skuama yang kosentris dan disebabkan Tricophyton
consentricum.
97
Tinea Pedis et manus
Dermatofitosis pada kaki dan tangan.
Ada 3 bentuk.
1. Tinea pedis /manum interdigitalis
Sering terjadi pada antara jari IV dan V. Didapatkan fisura,
skuama halus dan tipis. Oleh karena daerah ini lembab bisa
ditemukan adanya maserasi. Kelainan ini dapat meluas pada
sela jari yang lain.
2. Tinea pedis/ manum hiperkeratosis (moccasin foot)
Pada seluruh telapak kaki dan tangan, tepi sampai punggung
kaki dan tangan. Ditemukan adanya penebalan (hiperkeratosis)
skuam. Bila hiperkeratosis hebat bisa ditemukan adanya fisura.
Eritema biasanya ringan.
3. Tinea pedis / manum sub akut.
Dijumpai vesikel, vesiko pustul, bula mula dari sela jari, meluas
ke telapak kaki,dan punggung kaki. Vesikel berisi cairan yang
kental bila pecah meninggalkan skuama yang melingkar
disebut koleret.
Tinea Unguium
Kelainan kuku yang disebabkan jamur dermatofitosis.
Ada 3 bentuk:
1. Sub ungual proksimal
Mulai dari pangkal kuku. Bagian distal kukuk biasanya masih
utuh.
2. Sub ungual distal
Mulai dari bawah kuku bagian diatal atau
distolateral.Permukaan kuku suram , rapuh dan terbentuk
hiperkeratosis sub ungual. Bawah kuk terdapat detritus yang
mengandung elemen jamur.
3. Leukonikia trikofita.
98
Berupa warna putih pada permukaan kuku yang dapat
dikerok. T. unguium merupakan dermatofitosis yang paling
sulit diobati.
NON DERMATOFITOSIS
Pitiriasis Versikolor.
Etiologi : Malassezia furfur flora normal kulit.
Lokasi : Atas dada meluas lengan atas, leher, perut,
tungkai atas bawah, Aksila inguinal kulit wajah dan kepala.
Gejala dan tanda klinis:
Timbul keluhan timbul bercak berwarna putih sampai
kecoklatan yang kadang gatal bila berkeringat. Bisa pula tanpa
keluhan gatal sama sekali. Ujud kelainan kulit yang dijumpai adanya
makula hipopigmentasi berbatas tegas tertutup skuama halus pada
orang dengan kulit berwarna sedangkan pada orang kulit pucat
biasanya berupa makula hiperpigmentasi sampai eritematousa
dengan skuama halus. Untuk menunjukkan adanya suamasi secara
sederhana dapat dilakukan dengan garukan maka akan tampak
jelas antara lesi dan kulit yang normal (finger nail sign). Terjadinya
hipopigmentasi disebabkan enzim oksidase pada M.furfur akan
mengoksidasi asam lemak pada kulit sehingga terbentuk asam
dekarboksilat yang menghambat tirosinase pada melanosit
epidermal. Selain itu jamur juga mempunyai sifat sitotoksik pada
melanosit. Sedangkan lesi hiperpigmenasi yang terjadi sampai saat
ini belum dapat dijelaskan.
Ada 2 bentuk klinis:
1. Bentuk makular: Makula yang lebar dengan skuama halus
2. Bentuk folokuler: Makula kecil –kecil disekitar folikel rambut.
TERAPI MIKOSIS SUPERFISIALIS
1. Terapi topikal
- Lesi radang akut atau yang mengalami eksudasi di kompres
- Obat –obat topikal dengan kandungan tolsiklat, haloprogin,
tolnaftat, golongan azol: mikonazol, ketokonazol, bifonazol,
99
tiokonazol, clotrimazol dalam bentuk krim, salep, solusio,
shampo, sabun, bedak
- Lesi yang hiperkeratosis dapat diberikan bahan-bahan
keratolitik berupa asam salisilat 3-6%
2. Terapi sistemik
- Griseovulvin harus diminum bersama dengan orange juice
karena untuk melarutkan tablet harus dalam pH asam.
- Azol : ketokonazol, itrakonazol, flukonazol
- Alilamin: Terbinafin
Dosis dan lama pemberian tergantung pada anak atau dewasa
serta jenis penyakit jamur.
PENCEGAHAN
1. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan
maserasi , jika faktor lingkungan tidak diperbaiki penyembuhan
akan lambat.
2. Alas kaki harus pas dan tidak ketat
3. Pasien dengan hiperhidrosis memakai kaos dari bahan katun
yang menyerap keringat
4. Pakaian , handuk agar sering diganti dan dicuci.
PROGNOSIS
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh bentuk klinik dan
penyebab penyakitnya disamping faktor yang memperberat dan
memperingan penyakit.
e. Pertanyaan Minimal
1. Apakah yang dimaksud dengan dermatomikosis?
2. Klasifikasi dermatomikosis.
3. Apakah yang dimaksud dengan mikosis superfisial?
4. Klasifikasi mikosis superfisial
5. Apa yang dimaksud dengan dermatofitosis dan sebutkan
jamur yang termasuk penyebab dermatofitosis.
100
6. Jelaskan predisposisi penderita mikosis superfisial
7. Jelaskan mengenai Tinea kapitis, Tinea pedis, Tinea Ungueum
8. Jelaskan mengenai Tinea korporis, Tinea kruris
9. Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis
10. Jelaskan mengenai Pthyriasis Versicolor?
11. Jelaskan etiologi kandidosis kutis
12. Bagaimanakah ujud kelainan kandidosis kutis
13. Dimana predileksi kandidosis kutis
14. Jelaskan Terapi pada masing-masing mikosis
superfisialis dosis dan lamanya pada anak dan dewasa, serta
efek samping.
f. Daftar Pustaka
- Color Atlas and Synopsis Of Clinical Dermatology . Thomas B
Fitzpatrick MD et all edisi 4.
- Dermatomikosis superfisialis pedoman untuk dokter dan
mahasiswa kedokteran. Unandar Budimulja dkk. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001
- Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin . Prof Dr.dr. Adhi Djuanda dkk.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia . Edisi 4 2005.
- Penyakit Jamur Kulit. Dr. R.S Siregar Lab I. Penyakit Kulit dan
Kelamin FK UNSRI / RSU Palembang. 1995
- Dermatology in general medicine. Fitzpatrick et all edisi 5/6
101
LEMBAR BELAJAR MAHASISWA 5
(LBM 5)
a. Judul:
Kelainan Adneksa Kulit
b. Sasaran Belajar:
1. Menjelaskan macam-macam adneksa kulit
2. Menjelaskan macam-macam kelainan adneksa kulit
3. Menjelaskan faktor-faktor yang mendasari kelainan
kelenjar kulit
4. menjelaskan mekanisme patogenesis dan
patofisiologi kelainan kelenjar sebasea
5. Menjelaskan gejala klinis macam-macam kelainan
kulit
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang untuk tujuan
penapisan pada kelainan adneksa kulit
7. Menjelaskan berbagai pilihan cara pengelolaan
kelainan adneksa kulit
8. Menjelaskan terapi kelainan adneksa kulit
9. Menentukan keterampilan terapeutik berkaitan
dengan kelainan adneksa kulit
10. Menentukan tindakan preventif untuk mencegah
terjadinya kelainan adneksa kulit
11. Adab menghadapi penderita penyakit menular
102
SKENARIO
Kata Kunci: Kelainan adneksa kulit, kelainan kelenjar sebasea, kelainan kelenjar sudoriferaMasalah:Kulit wajah berminyak dan pori-pori besar, terdapat papula eritem, pustula dan komedo. Terdapat sebukan sel radang kronis di sekitar folikel sebasea dengan massa sebum di dalam folikel sebasea.
103
Kelainan Adneksa Kulit
Remaja putri 15 tahun dengan keluhan timbul bintil-bintil dan benjolan bernanah di wajah dan punggung dan sudah diderita + 3 bulan terakhir. Pada bintil-bintil berisi masa putih seperti nasi, sedang pada benjolan yang bernanah terasa nyeri dan kemerahan. Penderita juga mengeluh wajahnya sangat berminyak dan pori-porinya tampak lebar. Pemeriksaan status dermatologi tampak eritem, papula, pustula dan komedo. Melihat UKK dan predileksinya dokter menduga merupakan salah satu kelainan adneksa kulit sehingga didiagnosis banding dengan beberapa kelainan di kelenjar sebasea (seperti : akne, rosasea) dan kelainan di kelenjar sudorifera (seperti : hidradenitis supurativa dan miliaria). Ternyata pemeriksaan histopatologi anatomi dari spesimen biopsi lesi menunjukkan adanya sebukan sel radang kronis di sekitar folikel sebasea dengan massa sebum di dalam folikel sebasea.
c. Konsep map
104
KERINGATAPOKRIN :Hidradenitissupurativa
EKRIN :Miliaria
SEBASEAINFLAMASI :
Akne, rosasea dermatitis perioral
KONGENITAL
NEOPLASMA
KUKU
INFEKSI
TRAUMA
KULIT
EPIDERMIS
DERMIS
SUB KUTIS
Adneksa KELENJAR
AnatomiFisiologisHistologis
RAMBUT
ALOPESIA :AreataAndrogenik
EFLUVIUM TELOGEN
TRIKOTILOMANIA
d. Materi
Pahami materi yang diberikan oleh tim modul sebagai dasar
untuk menjawab pertanyaan minimal dibawah ini (yang
bertujuan mencapai kompetensi sasaran belajar)
MACAM-MACAM KELAINAN KELENJAR SUDORIFERA
A. Kelenjar apokrin
a. Bromhidrosis
Adalah suatu keadaan dimana bau yang hebat menusuk
hidung keluar dari kulit. Terdapat dua jenis, bromhidrosis
apokrin (akibat penguraian keringat apokrin oleh bakteri
Gram negatif) dan bromhidrosis ekrin (akibat degradasi
mikrobiologik pada stratum korneum yang melunak
karena produksi keringat ekrin yang berlebihan
b. Kromhidrosis
Adalah kelainan yang ditandai adanya sekresi keringat
apokrin yang berwarna, ada dua bentuk klinis : fasial dan
aksiler. Terjadinya diduga disebabkan oleh meningkatnya
jumlah ekskresi keringat apokrin diikuti oleh oksidasi
yang meningkat pada lipofuchsin (pigmen bentuk
granuler yang normal terdapat pada kelenjar apokrin)
c. Hidradenitis supurativa
Hidradenitis supurativa
Definisi : merupakan penyakit kronis supuratif dan
sikatrikal pada kulit lokasi kelenjar apokrin, terutama di
aksila dan anogenital.
Etiopatogenesis : pada awalnya terjadi sumbatan
keratin pada duktus apokrin distal diduga karena
gesekan (trauma ketika mencukur rambut atau pakaian
yang ketat) atau iritasi bahan kimia (anti persipiran
deodoran), selanjutnya terjadi pelebaran duktus, diikuti
105
masuknya bakteri ( yang tersering stapilokokus,
streptokokus dan e. Coli) yang kemudian terjebak di
bawah tempat yang tersumbat. Bakteri tumbuh dan
berkembang dengan lingkungan nutrisi dalam duktus
apokrin. Selanjutnya terjadi peradangan yang menyolok
pada kelenjar apokrin yang tersumbat.
Manifestasi klinik : Awalnya terjadi bisul eritem yang
nyeri tanpa puncak pustuler, pada daerah apokrin.
Biasanya soliter, jika multiple jarang lebih dari tiga.
Dalam beberapa hari menjadi abses yang membesar
dan tanpa terapi akan pecah mengeluarkan cairan
purulen atau seropurulen, pada penyembuhan terjadi
fibrosis. Secara keseluruhan terdapat tiga stadium :
Stadium I
Terjadinya abses soliter, atau bila multipel biasanya
terpisah, tanpa ada jaringan parut atau sinus.
Stadium II
Terjadinya abses yang rekuren dengan sinus-sinus
dan sikatrik, dapat tunggal atau multipel tapi lesi
masih terpisah.
Stadium III
Terjadinya absesyang difus dengan sinus-sinus
multipel dan saling berhubungan.
B. Kelenjar ekrin
a. Hiperhidrosis(kortikal/
emosional,volar,aksilar,hipotalamus, medularis, spinal,
kompensatorik)
Hiperhidrosis adalah suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan sekresi keringat ekrin, dibagi dua jenis
neural dan non neural berdasarkan mekanisme kerja dan
respon yang ditimbulkan.
106
b. Anhidrosis
Suatu keadaan hilangnya sebagian aktifitas kelenjar
keringat. Jarang terjadi secara menyeluruh sehingga lebih
tepat disebut sebagai hipohidrosis. Biasanya kondisi
anhidrosis pada satu tempat diikuti terjadinya
hiperhidrosis kompensatoris pada kelenjar keringat lain
yang berfungsi sempurna. Penyebabnya dibagi 3, yaitu:
neuropati, perubahan tingkat kelenjar non neural perifer
dan idiopatik.
c. Miliaria
Suatu keadaan dimana pori-pori keringat tertutup
sehingga timbul retensi keringat di kulit. Terbentuknya
sumbat parakeratotik di duktus diduga akibat lesi pada
sel epidermis pembentuk duktus. Lesi terjadi akibat
maserasi yang ditimbulkan air yang berasal dari
keringat yang berlebihan (lingkungan tropis dengan
suhu dan kelembaban udara yang tinggi). Tingkat
obstruksi dalam duktus ekrin menentukan tipe miliaria
yang ditimbulkan, ada 3 macam:
Miliaria kristalina
Sumbatan superfisial pada stratum korneum.
Vesikel yang terbentuk menyerupai kristal jernih.
Asimtomatik dan vesikel sifatnya mudah pecah.
Miliaria rubra
Sumbatan terjadi pada epidermis yang lebih
dalam. Disertai gejala eritem dan pruritus akibat
vasodilatasi perifer dan stimulasi reseptor gatal
oleh ensim sel epidermis yang rusak. Lesi
ditemukan ekstra folikuler
Miliaria profunda
107
Sumbatan terjadi pada taut dermoepidermal.
Berupa papul putih dengan diameter 1-3 mm,
predileksi di tubuh/ektremitas. Dapat
menimbulkan komplikasi hiperhidrosis fasial
kompensatorik
d. Dishidrosis
Adalah erupsi vesikuler, rekuren non inflamasi pada
telapak tangan atau kaki. Sinonim pomfolik.
MACAM-MACAM KELAINAN KELENJAR SEBASEA
1. Akne
Akne adalah peradangan menahun folikel pilosebasea yang
ditandai adanya komedo, papul, pustula, nodul dan kista.
Klasifikasi menurut Plewig dan Kligman:
A. Akne vulgaris
Pada akne vulgaris terjadi perubahan jumlah dan
konsistensi lemak kelenjar akibat multifaktorial
Varietasnya : Akne tropikalis
Akne fulminan
Pioderma fasiale
Akne Mekanika
Akne venenata akibat kontaktan eksternal
Pada akne venenata terjadi penutupan folikel sebasea
oleh massa eksternal.
Varietasnya : akne kosmetika
Pomade akne
Akne klor
Akne akibat kerja
Akne deterjen
B. Akne komedonal akibat agen fisik Pada akne fisis saluran
folikel sebasea menyempit akibat radiasi sinar ultraviolet,
sinar matahari atau sinar radioaktif
Varietasnya : Solar comedones
108
Akne radiasi
2. Rosasea
Definisi : Merupakan penyakit kronis pada sentral wajah akibat
kelainan kelenjar pilosebasea pada daerah wajah berupa akne
yang meradang disertai peningkatan reaktivitas kapiler
sehingga terjadi flushing dan teleangiektasis.
Etiopatogenesis
Diduga ada beberapa faktor:
a. Makanan
b. Psikis
c. Obat
d. Infeksi
e. Musim
f. Imunologis
Klinis: adanya eritem dan teleangiektasis yang persisten dan
tidak nyeri, papul, edema, pustul dengan predileksi pada
sentral wajah yaitu hidung, pipi, dagu, kening dan alis, lesi
umumnya simetris. Komedo biasanya tidak ditemukan jika
ada mungkin kombinasi dengan kelainan akne (akne solaris,
akne kosmetika)
Diagnosis banding : akne vulgaris, dermatitis seboreik,
dermatitis perioral, lupus eritematosus
3. Dermatitis perioral (M 2400)
Definisi : Kelainan kulit ditandai erupsi papuler, eksemateus
dan berskuama dengan predileksi lipat nasolabial dan bibir
atas dengan perjalanan penyakit berfluktuasi.
Etiopatogenesis: Belum diketahui pasti. Faktor hormonal dan
penggunaan steroid topikal fluorinated diduga sebagai
penyebab.
Perjalanan penyakit: berfluktuasi dengan ruam akut rekuren
berupa eritem dan papul. Ruam mereda meninggalkan bekas
109
berupa bercak eritem dengan skuama. Siklus bervariasi dari
beberapa hari sampai beberapa bulan.
Diagnosis banding : akne vulgaris, rosasea, dermatitis
seboreik, dermatitis kontak.
MACAM-MACAM KELAINAN RAMBUT
a. Alopesia areata
Adalah jenis kerontokan rambut yang rekuren tanpa
meninggalkan jaringan parut. Dapat terjadi di daerah
berambut manapun.
Patofisiologinya belum diketahui dengan pasti, namun
hipotesis yang dapat diterima adalah suatu keadaan
autoimun yang diperantarai sel T dan cenderung
mempunyai predisposisi genetik.
Klinis biasanya asimptomatik, namun beberapa pasien
mengeluh sensasi gatal atau terbakar pada daerah yang
terkena. Lesi pertama kali terlokalisir kemudian menjadi
multipel. Daerah yang terkena bisa kulit kepala, jenggot,
alis mata dan ekstremitas.
Pemeriksaan fisik adanya bercak alopesia halus warna
normal atau eritematosus pada daerah yang terkena.
Ditemukan rambut seperti tanda seru (rambut yang
menipis di dekat ujung proksimal).
Terapi dengan steroid intra lesi, steroid topikal potensi
kuat, imunoterapi topikal (dibutilester asam squarik dan
dinitriklorobensen).
b. Alopesia androgenik
Alopesia yang timbul pada pria/wanita pada awal umur
tigapuluhan, rambut rontok secara bertahap mulai dari
verteks dan frontal. Garis rambut anterior menjadi
mundur dan dahi menjadi lebar, puncak kepala menjadi
lebar. Hamilton membagi menjadi 8 tipe untuk pria dan 6
tipe untuk wanita.
110
c. Efluvium telogen
Adalah kerontokan rambut yang terlalu cepat dan terlalu
banyak pada folikel rambut normal. Biasanya karena
rangsangan yang mempercepat fase anagen dan fase
telogen. Dapat mengenai 50% jumlah rambut
keseluruhan. Berdasarkan etiologinya dibedakan menjadi
efluviun telogen pasca partum, efluvium telogen
pascanatal, effluvium telogen psikis, effluvium telogen
pascafebris akut.
d. Trikotilomania
Suatu keadaan dimana terjadi gangguan kontrol impuls
ditandai kebiasaan menarik rambut berulang-ulang
sehingga menyebabkan terjadinya alopesia. Jadi
merupakan gangguan obsesif kompulsif biasanya
bersamaan dengan kelainan psikiatri lain (depresi,
cemas)
Klinis dijumpai alopesia tanpa jaringan parut, rambut
patah dengan panjang yang tidak sama. Pada stadium
lanjut dapat ditemukan fibrosis dan alopesia permanen.
Mengenai daerah kepala, alis mata, bulu mata, rambut
pubis, biasanya lebih dari satu tempat terkena. Dapat
diikuti dengan trikopagi (memakan rambut tersebut)
sehingga dapat terjadi trikobezoar (obstruksi rambut
pada traktus gastrointestinal).
Terapi biasanya sulit jika diserta gangguan psikiatri berat.
Pemberian Selektif Serotonin Reuptake Inhibitor
klomipramine dikatakan efektif. Dapat juga dilakukan
terapi perubahan perilaku untuk merubah kebiasaan atau
dengan hipnoterapi.
KELAINAN KUKU
111
Paronikia :
Inflamasi jaringan sekitar lipatan kuku. Penyebab tersering
karena infeksi (jamur kuku - onikomikosis, bakteri).
Klinis ditamdai adanya bengkak, kemerahan dan nyeri pada
pangkal kuku. Dapat terjadi pemisahan lipatan kuku dari
lempeng kuku oleh material purulen. Jika penyebabnya
onikomikosis terjadi perubahan warna lempeng kuku menjadi
rapuh, warna kuning kecoklatan dan subungual hiperkeratosis.
Terapi tergantung pada penyebabnya yang penting menjaga
kuku agar tetap kering. Dapat diberikan preparat anti jamur atau
anti bakteri.
e. Pertanyaan minimal:
1. Macam-macam adneksa kulit
2. Macam-macam kelenjar sudorifera, distribusi dan perbedaan
fungsi masing-masing
3. Macam-macam kelainan kelenjar sudorifera
4. Definisi, etiopatogenesis dan gambaran klinis dan
penatalaksanaan miliaria
5. Definisi, etiopatogenesis dan gambaran klinis dan
penatalaksanaan hidradenitis supurativa
6. Macam-macam kelainan kelenjar sebasea
7. Klasifikasi akne
8. Definisi, etiopatogenesis dan gambaran klinis diferensial
diagnosis dan penatalaksanaan akne vulgaris
9. Definisi, etiopatogenesis dan gambaran klinis, diferensial
diagnosis dan penatalaksanaan rosasea
10. Definisi, etiopatogenesis dan gambaran klinis, diferensial
diagnosis dan penatalaksanaan dermatitis perioral
11. Macam-macam kelainan rambut (Alopesia areata, alopesia
androgenik, trikotilomania, effluvium telogen)
12. Apa yang dimaksud dengan paronikia?
112
f. Daftar Pustaka
- Djuanda S, Sularsito S Adi, ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
Balai Penerbit FKUI, 2007
- Siregar, RS. Saripati Penyakit Kulit. Atlas berwarna.
Penerbit buku Kedokteran, EGC. 2005
- Wolff Klaus, Johnson RA, Suurmond Dick. Disorders of
sebaceous and apocrine glands. Dalam Fitzpatrick : Color
atlas and synopsis of clinical dermatology fifth edition,
McGraw-Hill, 2005, Hal.8 - 11.
- Strauss John, Plewig G, Kerr Rebecca Er. Disorders of
epidermal appendages and related disorders. Dalam
Fitzpatrick: Dermatology in general medicine, sixth edition,
McGraw-Hill 2005, Hal. 633 – 713
- Moschella SL, Hurley HJ, eds. Dermatology, thirdth ed.
Philadelphia: W. B. Saunders, 1992.
113
114