Post on 28-May-2015
i
LAMPIRAN I PERATURAN GUBERNUR ACEHNOMOR : 26 Tahun 2010 TANGGAL : 1 Mei 2010
RINGKASAN PERUBAHAN RPJM ACEH 2007-2012
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) merupakan satu tahapan
rencana pembangunan yang harus disusun oleh semua tingkatan pemerintahan,
baik pemerintah pusat maupan pemerintah daerah, sebagaimana yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (UNDANG-UNDANG SPPN). Pemerintah Aceh
dalam hal ini sudah mempunyai RPJM Aceh priode 2007 - 2012 yang ditetapkan
dengan Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 21 tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam 2007 - 2012.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang SPPN, RPJM
Aceh ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan
setelah kepala daerah dilantik, dan seterusnya merupakan suatu dokumen yang
menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Kerja Tahunan Pemerintah Daerah
dalam bentuk dokumen Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA), sebagai landasan
penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA).
Berdasarkan Undang-Undang SPPN, ditegaskan bahwa RPJMA disusun
dengan maksud untuk menjabarkan Visi dan Misi Gubernur kepala daerah jangka
waktu lima tahun. Dalam RPJMA harus tergambar rencana pembangunan yang
terukur baik anggaran maupun target capaian yang diinginkan dalam rangka
melakukan perubahan dari suatu kondisi kepada kondisi yang lebih baik.
RPJM Aceh Tahun 2007 - 2012 yang sudah ditetapkan dengan Peraturan
Gubernur Aceh pada tanggal 7 Mei 2007 sudah dilaksanakan selama priode 2007,
2008, 2009 dan 2010. Namun demikian dalam pelaksanaannya ada sebagian
program/kegiatan yang dilaksanakan tidak tercantum dalam RPJM Aceh tersebut,
maka untuk mengadopsi program/kegiatan tersebut perlu dilakukan evaluasi dan
perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 3 huruf b Peraturan
ii
Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 - 2014.
Tujuan review dan perubahan RPJM Aceh Tahun 2007 - 2012 adalah
untuk menilai tingkat capaian target dan capaian program kegiatan yang telah dan
akan dilaksanakan serta penyesuaian target nasional. Selanjutnya hasil evaluasi
dan perubahan RPJM Aceh ini dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Aceh
(RKPA) sebagai pedoman penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Aceh (RAPBA).
Selama kurun waktu tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 sudah
dilaksanakan berbagai program/kegiatan pembangunan di Aceh dari berbagai
sumber dana baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), APBA
maupun donor serta swasta. Akan tetapi belum semua program/kegiatan yang
direncanakan sudah dilaksanakan sesuai periode waktu dan sumber dana yang
direncanakan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang mempengaruhi rencana
tersebut, seperti keterbatasan dana yang tersedia, adanya bencana alam yang
terjadi diluar perkiraan sebelumnya serta adanya kebutuhan mendesak yang tidak
dapat ditunda-tunda.
Review dan perubahan RPJM Aceh 2007 - 2012 dilakukan dengan membagi
kelompok program/kegiatan dalam empat kuadran (kelompok). Hasil review dan
perubahan yang dilakukan terhadap RPJM Aceh Priode 2007 - 2012 sebagai
berikut:
1. Kuadran I ; berisi program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM Aceh
2007 – 2012 dan sudah tuntas dilaksanakan (6 persen).
2. Kuadran II ; berisi program/kegiatan yang ada dalam RPJM Aceh 2007 –
2012, tetapi belum mencapai target (26 persen).
3. Kuadran III; berisi program/kegiatan yang ada dalam RPJM Aceh 2007-2012,
tetapi bukan prioritas sehingga tidak dilaksanakan (28 persen).
4. Kuadran IV ; berisi program/kegiatan yang tidak ada dalam RPJM Aceh
2007–2012, tetapi dilaksanakan pada tahun 2007-2010 dan
masih perlu dituntaskan pada tahun 2011-2012 (40 persen).
iii
Hasil evaluasi RPJM Aceh terdiri dari Buku I (berupa narasi) dan Buku II
(berupa rincian program/kegiatan), menggambarkan bahwa realisasi capaian
target yang ingin dicapai masih belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Hal ini
disebabkan karena ada beberapa kegiatan yang mendesak yang harus
dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi daerah. Program/Kegiatan yang
tertera dalam Buku II RPJM Aceh hasil perubahan merupakan capaian target yang
akan dilaksanakan kedepan, dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran
setiap tahunnya.
Hasil perubahan RPJM Aceh tahun 2007-2012 menjadi pedoman bagi
Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota dalam menyusun program/kegiatan
tahunan.
iv
DAFTAR ISI
RINGKASAN PERUBAHAN RPJM ACEH 2007-2012 .............................................. iDAFTAR ISI ......................................................................................................... ivDAFTAR TABEL...................................................................................................... viiiDAFTAR GAMBAR.................................................................................................. xiBAB I PENDAHULUAN.................................................................................. I-1 1.1 Latar Belakang ................................................................................ I - 1
1.2 Maksud dan Tujuan ......................................................................... I - 21.3 Landasan Hukum ............................................................................ I - 31.4 Hubungan RPJM dan Review RPJM Dengan Dokumen
Perencanaan Lainnya........................................................................ I - 51.5 Sistematika Penulisan ....................................................................... I - 6
BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH.............................................. II-12.1 Geografis .......................................................................................... II-12.2 Perekonomian................................................................................... II-2
2.2.1 Kondisi Ekonomi Makro........................................................... II-22.2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi.............................................. II-22.2.1.2 Tingkat Inflasi .......................................................... II-32.2.1.3 Tingkat Pengangguran Terbuka................................. II-42.2.1.4 Tingkat Kemiskinan .................................................. II-6
2.2.2 Sektor-Sektor Produksi ........................................................... II-72.2.2.1 Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura .............. II-8
2.2.2.2 Perkebunan.............................................................. II-102.2.2.3 Peternakan .............................................................. II-132.2.2.4 Kelautan dan Perikanan ........................................... II-152.2.2.5 Kehutanan ............................................................... II-172.2.2.6 Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM.......... II-182.2.2.7 Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk........................ II-222.2.2.8 Ketahanan Pangan ................................................... II-252.2.2.9 Penyuluhan.............................................................. II-292.2.2.10 Perkembangan dan Prospek Investasi........................ II-30
2.2.3 Keuangan Aceh ...................................................................... II-312.2.3.1 Pendapatan Asli Aceh (PAA) ...................................... II-322.2.3.2 Dana Perimbangan ................................................... II-332.2.3.3 Dana Otonomi Khusus .............................................. II-332.2.3.4 Tabungan Pemerintah Aceh ...................................... II-342.2.3.5 Sumber Pendapatan Aceh Lainnya............................. II-342.2.3.6 Pengelolaan Keuangan dan kekayaan Aceh ................ II-35
2.3 Agama, Sosial dan Budaya ............................................................... II-362.3.1 Agama .................................................................................. II-362.3.2 Sosial Budaya ........................................................................ II-392.3.3 Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak .................. II-402.3.4 Pemuda dan Olah Raga .......................................................... II-40
2.3.5 Pariwisata .............................................................................. II-43
v
2.4 Pendidikan ..................................................................................... II-482.4.1 Pemerataan dan Perluasan Akses ............................................ II-492.4.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing.............................................. II-522.4.3 Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik....................... II-542.4.4 Pendidikan Berbasis Nilai Islami .............................................. II-55
2.5 Kesehatan ........................................................................................ II-562.5.1 Status Kesehatan.................................................................... II-572.5.2 Pelayanan Kesehatan.............................................................. II-612.5.3 Kondisi Kesehatan Lingkungan ................................................ II-642.5.4 Pembiayaan Kesehatan ........................................................... II-662.5.5 Fasilitas Kesehatan ................................................................ II-672.5.6 Sumber Daya Tenaga Kesehatan ............................................. II-67
2.6 Sarana dan Prasarana ....................................................................... II-682.6.1 Sumber Daya Air .................................................................... II-682.6.2 Bina Marga dan Cipta Karya .................................................... II-752.6.3 Perhubungan ........................................................................ II-78
2.6.3.1 Transportasi Darat .............................................. II-792.6.3.2 Angkutan Jalan Rel (Prasarana Kereta Api Aceh) ........ II-822.6.3.3 Transportasi Laut ..................................................... II-832.6.3.4 Transportasi Udara................................................... II-882.6.3.5 Pos dan Telekomunikasi ........................................... II-902.6.3.6 Komunikasi, Informasi dan Telematika ...................... II-92
2.6.4 Lingkungan Hidup ................................................................. II-942.6.5 Pertanahan.……………………….................................................. II-962.6.6 Energi dan Sumber Daya Mineral ............................................ II-962.6.7 Kebencanaan......................................................................... II-102
2.7 Pemerintahan Umum ....................................................................... II-1112.7.1 Pemerintahan Aceh .............................................................. II-1112.7.2 Pemerintahan Mukim ............................................................ II-1172.7.3 Pemerintahan Gampong ...................................................... II-1182.7.4 Pelayanan Kependudukan dan Catatan Sipil .......................... II-1202.7.5 Perizinan .............................................................................. II-1232.7.6 Keimigrasian ........................................................................ II-1242.7.7 Ketertiban Umum ................................................................ II-124
2.8 Rencana Aksi Kesinambungan Rekonstruksi Aceh ............................... II-1252.9 Badan Reintegrasi Aceh .................................................................... II-126
BAB III VISI DAN MISI .................................................................................. III-13.1 Visi ............................................................................................... III-13.2 Misi ................................................................................................. III-1
vi
BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN ACEH..................................................... IV-14.1 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan
Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan.............................................. IV-14.2 Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber
Daya Energi Pendukung Investasi...................................................... IV-34.2.1 Sumber Daya Air ................................................................... IV-34.2.2 Bina Marga dan Cipta Karya................................................... IV-44.2.3 Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika.............. IV-54.2.4 Lingkungan Hidup ................................................................. IV-74.2.5 Pertanahan........................................................................... IV-84.2.6 Energi dan Sumber Daya Mineral ........................................... IV-8
4.3 Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan Belajar ............................................................................................. IV-104.3.1 Pemerataan dan Perluasan Akses .......................................... IV-104.3.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing............................................ IV-114.3.3 Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Publik ..................... IV-114.3.4 Penerapan Sistem Pendidikan Bernuansa Islami ..................... IV-11
4.4 Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan ................... IV-124.5 Pembangunan Syari’at Islam, Sosial dan Budaya ................................ IV-13
4.5.1 Syari’at Islam ....................................................................... IV-134.5.2 Sosial Budaya....................................................................... IV-14
4.6 Penciptaan Pemerintah Yang Baik dan Bersih Serta Penyehatan Birokrasi Pemerintahan .................................................. IV-15
4.7 Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana.................................. IV-16
BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH............................................ V-15.1 Arah Kebijakan Pengelolaan Pendapatan............................................ V-25.2 Arah Kebijakan Pengelolaan Belanja .................................................. V-65.3 Arah Kebijakan Umum Anggaran ...................................................... V-7
BAB VI ARAH KEBIJAKAN UMUM .................................................................. VI-16.1 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan
Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan.............................................. VI-16.2 Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber
Daya Energi Pendukung Investasi...................................................... VI-36.2.1 Sumber Daya Air .................................................................. VI-46.2.2 Bina Marga dan Cipta Karya .................................................. VI-56.2.3 Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika ............. VI-66.2.4 Lingkungan Hidup ................................................................ VI-76.2.5 Pertanahan .......................................................................... VI-76.2.6 Energi dan Sumber Daya Mineral........................................... VI-8
6.3 Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan Belajar ............................................................................................. VI-96.3.1 Pemerataan dan Perluasan Akses .......................................... VI-96.3.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing............................................ VI-10
vii
6.3.3 Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Publik..................... VI-106.3.4 Penerapan Sistem Pendidikan Bernuansa Islami..................... VI-11
6.4 Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan ................... VI-116.5 Pembanguan Syari’at Islam, Sosial dan Budaya .................................. VI-126.6 Penciptaan Pemerintah Yang Baik dan Bersih Serta
Penyehatan Birokrasi Pemerintahan................................................... VI-146.7 Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana.................................. VI-15
BAB VII PROGRAM PEMBANGUNAN ACEH.......................................................... VII-17.1 Midterm Review Pelaksanaan RPJM 2007-2012 ................................. VII-17.2 Revisi dan Penyesuaian RPJM 2007-2012........................................... VII-47.3 Hasil Revisi Program dan Kegiatan..................................................... VII-4
BAB VIII PENUTUP ........................................................................................... VIII-18.1 Program Transisi .............................................................................. VIII-18.2 Kaidah Pelaksanaan.......................................................................... VIII-1
LAMPIRAN-LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
1. Tabel II.1 : Laju Pertumbuhan Ekonomi Aceh Tahun 2008 dan 2009 Menurut Lapangan Usaha...................................................... II-3
2. Tabel. II.2 : Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka di Aceh Selama Periode 2006 – 2010.............................................................. II-5
3. Tabel. II.3 : Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Aceh Selama Periode2007-2009............................................................................. II-7
4. Tabel II.4 : Perkembangan Produktivitas Tanaman Pangan Menurut Komoditi di Aceh Tahun 2007-2009 ........................................ II-10
5. Tabel II.5 : Luas Areal Tanaman Perkebunan Rakyat dan Besar Menurut Komoditi di Aceh Tahun 2007-2009 ........................................ II-11
6. Tabel II.6 : Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat dan Besar Menurut Komoditi di Aceh Tahun 2007–2009* ...................................... II-12
7. Tabel II.7 : Perkembangan Populasi Ternak Menurut Jenis di Aceh Tahun 2008-2009............................................................................. II-14
8. Tabel II.8 : Perkembangan Produksi Telur Menurut Jenisd di Aceh tahun 2008-2009............................................................................. II-15
9. Tabel II.9 : Produksi Perikanan di Aceh Tahun 2007-2009 ......................... II-16
10.Tabel II.10 : Perkembangan Industri Di Aceh Tahun 2007-2009................... II-19
11.Tabel II.11 : Perkembangan Koperasi di Aceh Tahun 2004-2009.................. II-22
12.Tabel II.12 : Kesempatan kerja Menurut Sektor Usaha Tahun 2009 ............. II-23
13.Tabel II.13 : Produksi beberapa komoditi pangan penting tahun 2007-2008 . II-26
14.Tabel II.14 : Kondisi Sebaran Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) per Kabupaten/Kota..................................................................... II-29
15.Tabel II.15 : Jumlah BPP dan Koptan per Kabupaten/Kota Tahun 2009 ........ II-30
16.Tabel II.16 : Jumlah Realisasi Sumber Penerimaan Daerah lainnya 2008-2009............................................................................. II-34
ix
17.Tabel II.17 : Jumlah Penduduk Aceh Menurut Kelompok Umur di Provinsi Aceh Tahun 2008 .................................................................. II-41
18.Tabel II.18 : Jumlah Objek Wisata Menurut Jenis di Aceh ........................... II-444
19.Tabel II.19 : Jumlah Kunjungan Wisatawan Tahun 2005-2009..................... II-45
20.Tabel II.20 : Perkembangan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni Penduduk Usia Sekolah di Aceh 2007 – 2009. II-49
21.Tabel II.21 : Proyeksi Angka Partisipasi Murni ............................................. II-50
22.Tabel II.22 : Jumlah Sekolah di Aceh Tahun 2008/2009 .............................. II-50
23.Tabel II.23 : Jumlah Guru Menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2008/2009.... II-53
24.Tabel. II.24 : 10 (sepuluh) Jenis Penyakit Terbanyak Berbasis Puskesmas dan Rumah Sakit.......................................................................... II-58
25.Tabel: II.25 : Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar di Aceh 2007- 2008 ..................................................................................... II-62
26.Tabel. II.26 : Peningkatan Cakupan Imunisasi ............................................. II-63
27.Tabel II.27 : Sumber Pembiayaan Kesehatan.............................................. II-66
28.TabelL II.28 : Pengembangan Pengelolaan Wilayah Sungai (Ws) di Aceh ....... II-69
29.TabelL II.29 : Pengembangan Daerah Irigasi (DI) di Aceh............................. II-72
30.TabelL II.30 : Pengembangan Waduk di Wilayah Aceh .................................. II-74
31.Tabel II.31 : Kerusakan Lingkungan di Pemerintah Aceh ............................. II-95
32.Tabel II.32 : Kapasitas Terpasang dan Daya Mampu Pembangkit Wilayah Aceh Tahun 2008 .................................................................. II-97
33.Tabel II.33 : Komposisi Beban Puncak pada Tahun 2008 ............................. II-99
34.Tabel II.34 : Bencana Gunung Api Aceh ..................................................... II-105
35.Tabel II.35 : Rincian Jejang Pendidikan PNS Pada Pemerintah Aceh ............. II-112
36.Tabel II.36 : Jumlah PNS pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Aceh ..................................................................................... II-114
x
37.Tabel 5.1 : Proyeksi dan Prospek Pendapatan Daerah Aceh Tahun 2007-2012............................................................................. V-10
38.Tabel 7.1 : Review Pelaksanaan Kegiatan/Anggaran Pembangunan periode tahun 2007 - 2010 menurut kriteria Kuadran ............... VII-2
39.Tabel 7.2 : Review perubahan RPJM 2007-2012 berdasarkan 7 (tujuh) Prioritas Pembangunan .......................................................... VII-4
xi
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar II.1 : Peta Kejadian Bencana Geologis di Aceh ................................ II-104
2. Gambar II.2 : Peta Kejadian Bencana Hidro-meteorologis di Aceh................. II-107
3. Gambar VII.1 : Skema Kuadran dan Kriteria Review Program RPJM Aceh 2007-2012 ........................................................................... VII-2
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 I-1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) merupakan satu tahapan
rencana pembangunan yang harus disusun oleh semua tingkatan pemerintahan,
baik pemerintah pusat maupan pemerintah daerah, sebagaimana yang
diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional. Pemerintah Aceh dalam hal ini sudah
mempunyai RPJM Aceh periode 2007-2012 yang ditetapkan dengan Peraturan
Gubernur Aceh Nomor 21 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Aceh 2007-2012.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Pemerintah Daerah disusun dengan maksud untuk
menjabarkan Visi dan Misi Gubernur sebagai kepala daerah dalam jangka waktu
lima tahun, kemudian RPJM tersebut harus menggambarkan rencana
pembangunan yang terukur baik anggaran maupun target capaian yang diinginkan
dalam rangka melakukan perubahan dari suatu kondisi kepada kondisi yang lebih
baik.
Sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 sudah dilaksanakan berbagai
program/kegiatan pembangunan di Aceh dari berbagai sumber dana baik APBN,
APBA maupun Donor dan swasta, namun program dan kegiatan yang
direncanakan belum semuanya dapat dilaksanakan sesuai dengan RPJM. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya faktor yang mempengaruhi rencana tersebut seperti
keterbatasan dana yang tersedia, terjadinya bencana alam serta adanya kegiatan
mendesak lainnya yang harus segera dilaksanakan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2010-2014, pasal 2
ayat 3.b yang disebutkan bahwa RPJMN berfungsi sebagai bahan penyusunan dan
perbaikan RPJM Daerah dengan memperhatikan tugas Pemerintah di Daerah
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 I-2
dalam mencapai sasaran Nasional yang termuat dalam RPJM Nasional, dari hal
tersebut maka RPJM Aceh sudah selayaknya dilakukan evaluasi dan penyesuaian
dengan tetap berorientasi pada VISI dan MISI Pemerintah Aceh yang sudah
ditetapkan.
Evaluasi dan penyesuaian RPJM Aceh 2007-2012 dibagi dalam empat
kwadran (kelompok) yaitu: kwadran pertama berisi semua program/kegiatan
prioritas yang ada dalam RPJM dilaksanakan dengan sempurna dan mencapai
target, kwadran kedua berisi program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM
dilaksanakan tapi belum mencapai target, kwadran ketiga berisi program/kegiatan
prioritas tidak ada dalam RPJM tapi dilaksanakan dan kwadran keempat berisi
program/kegiatan yang tidak prioritas dalam RPJM tapi dilaksanakan.
Hasil evaluasi dan penyesuaian yang dilakukan terhadap RPJM Aceh Periode
2007-2012 sebagai berikut:
1. Kwadran Pertama yang berisi program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM
Aceh 2007 - 2012 dan dilaksanakan dengan sempurna sebesar 6 persen;
2. Kwadran Kedua yang berisi program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM
Aceh 2007 - 2012 dilaksanakan tapi belum mencapai target sebesar 26 persen;
3. Kwadran Ketiga yang berisi program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM
Aceh 2007-2012 tapi tidak dilaksanakan sebesar 28 persen;
4. Kwadran Keempat yang berisi program/kegiatan yang tidak ada dalam RPJM
Aceh 2007 - 2012 tapi dilaksanakan sebesar 40 persen.
Hasil Evaluasi dan penyesuaian tersebut menggambarkan bahwa realisasi
capaian target yang ingin dicapai masih jauh dari yang diharapkan, maka untuk
mengejar target yang sudah direncanakan perlu dilakukan penyesuaian
program/kegiatan baik yang sudah dilaksanakan maupun yang belum
dilaksanakan dalam periode dua tahun lagi.
1.2 Maksud dan Tujuan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (3) Undang-undang Nomor 25 tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, RPJM Daerah
ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 I-3
kepala daerah dilantik, yang kemudian menjadi suatu dokumen sebagai acuan
untuk penyusunan Rencana Kerja Tahunan Pemerintah Daerah dalam bentuk
dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan sebagai landasan
penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).
RPJM Aceh Tahun 2007 - 2012 yang telah ditetapkan dengan Peraturan
Gubernur Aceh Nomor 21 tahun 2007 sudah dilaksanakan selama priode 2007,
2008, 2009 dan 2010, namun banyak program/kegiatan yang dilaksanakan tidak
ada dalam RPJM Aceh tersebut, maka perlu dilakukan evaluasi dan penyesuaian
sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 5 tahun 2010 pasal 2 ayat 3 point b.
Tujuan evaluasi dan penyesuaian RPJM Aceh priode 2007-2012 adalah untuk
menilai tingkat capaian target dan program kegiatan yang telah dan akan
dilaksanakan serta penyesuaian target nasional (RPJMN 2010-2014). Selanjutnya
hasil evaluasi dan penyesuaian RPJM Aceh ini akan menjadi acuan untuk
penyusunan Rencana Kerja Tahunan Pemerintah Aceh dalam bentuk dokumen
Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) sebagai landasan penyusunan Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA).
1.3 Landasan Hukum
Beberapa peraturan dan perundang-undangan yang mendasari evaluasi dan
penyesuaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh periode
2007-2012 adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom
Provinsi Aceh dan Perubahan Provinsi Sumatera Utara;
2. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh;
3. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2000 tentang Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang;
4. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 I-4
6. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang–undang Nomor 8 Tahun 2005
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3
Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 32 tentang
Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang;
7. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah;
8. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional;
9. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan dan Kepulauan Nias Provinsi
Sumatera Utara menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4550);
10. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;
11. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional;
12. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonom;
13. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2004-2009;
14. Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengakhiran Masa Tugas
Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias dan Provinsi
Sumatera Utara dan Kesinambungan Rehabilitasi dan Rekontruksi di Wilayah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera
Utara;
15. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014;
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 I-5
16. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 050/2020/SJ tentang Petunjuk
Penyusunan Dokumen RPJP dan RPJM Daerah;
17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah;
18. Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Propinsi
NAD;
19. Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Propinsi
NAD sebagai salah satu Landasan Hukum;
20. Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh
(Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor 01,
Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11);
21. Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian
Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana
Otonomi Khusus (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008
Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor
12).
1.4 Hubungan RPJM dan Review RPJM dengan Dokumen Perencanaan Lainnya
Sebagaimana kita ketahui bahwa perencanaan adalah suatu proses untuk
menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan dengan
memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Untuk mencapai proses tersebut,
maka keterkaitan suatu dokumen perencanaan dengan dokumen perencanaan
lainnya sangat erat dan menentukan. Dalam hal ini hubungan hasil evaluasi dan
penyesuaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh ini dengan
Kebijakan Pembangunan Nasional maupun Rencana Pembangunan
Kabupaten/Kota diharapkan tetap sinergis saling berkaitan suatu sama lain sesuai
dengan kewenangan masing-masing.
Hasil Penyesuaian RPJM Aceh ini menjadi pedoman dalam rangka
penyesuian dokumen-dokumen lainnya seperti:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 I-6
1. Rencana pembangunan lima tahunan Satuan Kerja Perangkat Aceh yang
selanjutnya disebut Rencana Strategis (Renstra) SKPA;
2. Rencana Pembangunan Tahunan Aceh, yang selanjutnya disebut Rencana
Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) adalah dokumen perencanaan daerah untuk
periode 1 (satu) tahun.
3. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Aceh, yang
selanjutnya disebut Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Aceh (Renja-SKPA)
adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1
(satu) tahun.
Dengan demikian diharapkan akan terciptanya sinkronisasi program
pembangunan antar sektor dan wilayah baik bersifat jangka panjang, menengah,
maupun jangka pendek, sehingga terwujudnya pembangunan yang terpadu dan
berkelanjutan.
1.5. Sistimatika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN Terdiri dari latar belakang; maksud dan tujuan; landasan hukum;
hubungan RPJM dengan dokumen perencanaan lainnya; danSistematika Penulisan.
BAB II : GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAHDalam bab ini diuraikan kondisi akhir tahun 2009 Terdiri dari kondisi geografis; Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan; Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi; Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan Belajar; Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan; Pembangunan Syari’at Islam, Sosial dan Budaya; Penciptaan Pemerintah yang Baik dan Bersih serta Penyehatan Birokrasi Pemerintahan; Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana.
BAB III : VISI DAN MISI Tetap tidak berubah
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 I-7
BAB IV : STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAHStrategis disesuaikan dengan kondisi akhir 2009 Terdiri dari Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan; Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi;Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan Belajar;Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan;Pembangunan Syari’at Islam, Sosial dan Budaya; Penciptaan Pemerintah yang Baik dan Bersih serta Penyehatan BirokrasiPemerintahan; Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana.
BAB V : ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Disesuaikan dengan kondisi akhir 2009
BAB VI : ARAH KEBIJAKAN UMUMDisesuaikan dengan kondisi 2009Terdiri dari Bidang Pemerintahan, Politik, dan Hukum; Ekonomi; Infrastruktur; Pendidikan; Kesehatan; Agama, Sosial dan Budaya.
BAB VII : PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH Disesuaikan dengan hasil pembahasan PokjaTabel Program Pembangunan Daerah 2007-2012
BAB VIII : P E N U T U P
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-1
BAB II
GAMBARAN UMUM KONDISI ACEH
2.1 Geografis
Aceh terletak di ujung Barat laut Pulau Sumatera (2o-6o Lintang Utara dan
95o-98o Bujur Timur) dengan Ibukota Banda Aceh, memiliki luas wilayah 5.675.841
ha (12,26 persen dari luas pulau Sumatera), dan sekaligus terletak pada posisi
strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan Nasional dan Internasional
yang menghubungkan belahan dunia timur dan barat.
Aceh memiliki 119 pulau, 35 gunung, 73 sungai besar, 2 buah danau dan
sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan hutan sebesar 3.862.249,26 ha
yang terdiri dari hutan yang dilindungi dan hutan produksi. Hutan yang dilindungi
terdiri dari hutan suaka alam 115.122,15 ha, hutan pelestarian alam 647.344,82,
hutan lindung 2.481.442,86, dan taman buru 84.962,53 ha, selanjutnya hutan
produksi terdiri dari hutan produksi terbatas 13.331,54, hutan produksi
122.781,15 ha, dan hutan produksi konversi 37.284,20 ha. Aceh mempunyai
beragam kekayaan sumberdaya alam antara lain minyak dan gas bumi, pertanian,
industri, perkebunan (kelapa sawit, karet, kelapa, cengkeh, kakao, kopi,
tembakau), perikanan darat dan laut, pertambangan umum (logam, batu bara,
emas, dan mineral lainnya).
Pemerintah Aceh terdiri dari 18 Kabupaten dan 5 Kota, 276 Kecamatan, 731
Mukim dan 6.424 gampong atau desa. Secara topografi Aceh terdiri dari 47,58
persen wilayah yang bergunung, 24,63 persen merupakan daerah datar, 10
persen merupakan daerah berbukit, 10,55 persen merupakan wilayah berombak
dan selebihnya wilayah bergelombang. Keterangan tersebut menurut klasilifikasi
slope (kelerengan), yaitu < 2 persen datar, 2-8 persen berombak, 8-15 persen
bergelombang, 15-25 persen berbukit dan >25 persen bergunung.
Karakteristik lahan di Aceh pada Tahun 2008 sebagian besar didominasi
oleh hutan, dengan luas 3.549.813 Ha atau 58,15 persen. Penggunaan lahan
terluas kedua adalah perkebunan besar dan kecil mencapai 827.030 Ha atau 13,65
persen dari luas total wilayah Aceh. Luas lahan pertanian sawah dan pertanian
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-2
tanah kering semusim mencapai 449,514 Ha atau 7.59 persen dan selebihnya
lahan pertambangan, industri, perkampungan perairan darat, tanah terbuka dan
lahan suaka alam lainnya dibawah 5.99 persen.
2.2 Perekonomian
2.2.1 Kondisi Ekonomi Makro
2.2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi
Jika diukur dari kenaikan PDRB, perekonomian Aceh secara keseluruhan
(termasuk migas) selama dua tahun terakhir (2008-2009) secara berturut-turut
mengalami pertumbuhan negatif yaitu sebesar -5,27 persen dan -5,58 persen.
Akan tetapi tanpa migas perekonomian Aceh selama periode tersebut justru
mengalami perkembangan yang menggembirakan yaitu mengalami pertumbuhan
positif secara berturut-turut sebesar 1,88 persen dan 3,92 persen.
Penyebab utama pertumbuhan negatif (kontraksi) perekonomian Aceh
secara keseluruhan (termasuk migas) selama beberapa tahun terakhir adalah
disebabkan oleh semakin menurunnya kontribusi minyak dan gas bumi terhadap
PDRB. Akibat masih dominannya kontribusi minyak dan gas bumi terhadap PDRB
Aceh menyebabkan perubahannya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan.
Jika tanpa memperhitungkan nilai kontribusi minyak dan gas bumi, selama
periode 2008-2009 semua sektor usaha mengalami pertumbuhan positif.
Pertumbuhan tertinggi terjadi di sektor listrik dan air bersih yang diikuti oleh
sektor keuangan, industri pengolahan, perdagangan hotel dan restoran, jasa-jasa,
pengangkutan dan komunikasi, pertanian, bangunan, serta pertambangan dan
penggalian.
Pertumbuhan ekonomi Aceh tahun 2008 dan 2009 menurut lapangan usaha
(sektor-sektor) secara lebih terinci dapat dilihat pada Tabel II.1 dibawah ini:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-3
Tabel II.1Laju Pertumbuhan Ekonomi Aceh
Tahun 2008 dan 2009 Menurut Lapangan Usaha
Sumber : BPS Aceh, 2010Catatan : *) angka sementara **) angka sangat sementara
Mencermati perkembangan partumbuhan ekonomi Aceh yang semakin
meningkat selama beberapa tahun terakhir khususnya pertumbuhan ekonomi
tanpa migas, bahwa pertumbuhan tersebut masih jauh dibawah pertumbuhan
ekonomi nasional yang tumbuh sekitar 4,5 persen pada tahun 2009.
2.2.1.2 Tingkat Inflasi
Jika diamati perkembangan harga-harga barang di dua kota utama Aceh
(Banda Aceh dan Lhokseumawe), tingkat inflasi yang terjadi di Aceh pada tahun
2009 tercatat sangat rendah selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2009
tingkat inflasi yang terjadi di Kota Banda Aceh adalah sebesar 3,5 persen jauh
LAPANGAN USAHAPertumbuhan (persen)
2008 2009**
(1) (2) (3)
1. Pertanian 0,81 3,09
2. Pertambangan dan Penggalian -27,31 -49,24
- Tanpa Gas -1,01 1,38
3. Industri Pengolahan -7,73 -6,06
- Tanpa Gas 3,57 5,03
4. Listrik dan Air Bersih 12,73 27,07
5. Bangunan -0,85 3,16
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 4,59 3,28
7. Pengangkutan dan Komunikasi 1,38 4,68
8. Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 5,16 9,61
9. Jasa – Jasa 1,21 4,68
PDRB -5,27 -5,58
PDRB TanpaMigas 1,88 3,92
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-4
lebih rendah dibandingkan tahun 2008 yang sebesar 10,27 persen. Sedangkan
tingkat inflasi di Kota Lhokseumawe pada tahun 2009 sebesar 3,96 persen juga
jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat inflasi yang terjadi pada tahun
2008 yaitu sebesar 13,78 persen.
Tingkat suku bunga yang relatif rendah selama tahun 2009 ternyata tidak
memberi pengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi di Aceh dalam kurun waktu
yang sama. Rendahnya inflasi yang terjadi selama tahun 2009 jika dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya cenderung terutama dipengaruhi oleh kebijakan
pemerintah yang tidak menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Tarif
Dasar Listrik (TDR) selama tahun 2009.
Disamping itu, berkurangnya secara drastis aktifitas rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh selama tahun 2009, dari sisi demand telah menyebabkan
turunnya permintaan terhadap barang dan jasa kebutuhan kegiatan
pembangunan. Sedangkan dari sisi supply, perbaikan infrastruktur, unit-unit
produksi dan system distribusi barang telah menciptakan pasar yang lebih
sempurna, dan fenomena tersebut juga memberi andil cukup besar terhadap
rendahnya tingkat inflasi selama tahun 2009.
Rendahnya tingkat inflasi di Aceh pada tahun 2009 jika dibandingkan
dengan tingkat inflasi yang terjadi pada beberapa tahun sebelumnya, maka
kondisi tersebut minimal perlu dipertahankan agar pembangunan ekonomi terus
dapat ditingkatkan.
2.2.1.3 Tingkat Pengangguran Terbuka
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) merupakan salah satu indikator yang
dapat menggambarkan kondisi umum perekonomian suatu wilayah, dan sekaligus
memberikan gambaran aktivitas masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. TPT
diukur berdasarkan persentase jumlah angkatan kerja yang tidak bekerja yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kondisi sosial, budaya, dan
ekonomi lingkungan, serta kondisi internal angkatan kerja itu sendiri.
Jumlah angkatan kerja di Aceh pada tahun 2009 mencapai 1,897 juta orang
mengalami penambahan sekitar 104 ribu orang dari kondisi 2008 yang hanya
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-5
sebanyak 1,793 juta orang. Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja pada tahun
2009 adalah sebanyak 1,732 juta orang atau bertambah sekitar 110 ribu orang
dari tahun 2008 yang hanya sebanyak 1,622 juta orang. Peningkatan jumlah
orang yang bekerja lebih besar dari peningkatan jumlah angkatan kerja yang
terjadi pada tahun 2009 telah menyebabkan menurunnya TPT di Aceh. Kondisi
yang yang sama, juga terjadi selama beberapa tahun sebelumnya, akibat semakin
bertambahnya kesempatan kerja dan semakin luasnya lapangan usaha yang
tercipta.
Semakin kondusifnya keamanan daerah dan semakin baiknya kondisi
berbagai sarana dan prasarana daerah, serta semakin terbukanya akses daerah
terhadap dunia luar telah mendorong masyarakat untuk lebih berpartisipasi dalam
akselerasi pembangunan Aceh. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya
tumbuh unit-unit usaha kecil dan menengah baik oleh pelaku-pelaku ekonomi lokal
maupun tumbuh melalui kemitraan dengan pengusaha-pengusaha luar daerah dan
asing.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Aceh pada tahun 2009 (kondisi
bulan Agustus) adalah sebesar 8,71 persen yaitu mengalami penurunan sebesar
0,85 persen dari TPT tahun 2008 (pada bulan yang sama) yang mencapai 9,56
persen. Pada tahun 2010 (kondisi Februari), TPT di Aceh semakin menurun yaitu
8,60 persen yang berarti mengalami penurunan sebesar 0,11 persen selama satu
semester.
Perkembangan TPT di Aceh selama 5 tahun terakhir adalah seperti
diperlihatkan pada Tabel II.2 dibawah ini:
Tabel. II.2Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka
di Aceh Selama Periode 2006 - 2010
TAHUN Tingkat Pengangguran(%)
2006 10,43
2007 9,84
2008 9,562009 8,71
2010*) 8,60Sumber : BPS Aceh, 10 Februari 2010*) kondisi Februari 2010
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-6
Walaupun TPT di Aceh terus mengalami penurun selama lima tahun
terakhir, namun kondisi tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan TPT
nasional yang pada tahun 2009 sebesar 8,14 persen. Kondisi tersebut perlu
menjadi perhatian dan memerlukan beberapa kebijakan agar TPT di Aceh mampu
ditekan minimal setara dengan nasional.
2.2.1.4 Tingkat Kemiskinan
Kondisi damai yang masih terpelihara dengan baik saat ini merupakan
suatu modal yang sangat besar bagi Aceh dalam melaksanakan berbagai program
pembangunan, terutama yang berdampak langsung terhadap pemberdayaan
ekonomi masyarakat dan diharapkan dapat berimbas terhadap menurunnya
jumlah penduduk miskin.
Tingkat kemiskinan di Aceh selama periode 2007-2009 terus mengalami
penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 tingkat kemiskinan di Aceh
adalah sebesar 26,65 persen yang pada tahun-tahun selanjutnya terus menurun
menjadi 23,53 persen di 2008 dan 21,80 persen pada tahun 2009.
Sebagaimana halnya dengan kondisi penyebaran penduduk miskin secara
nasional, bahwa penduduk miskin di Aceh juga lebih banyak berdomisili di daerah
perdesaan dibandingkan dengan yang bermukim di perkotaan. Berdasarkan data
statistik tahun 2009, bahwa dari total jumlah penduduk miskin yang mencapai
892.900 jiwa yang berdomisili di pedesaan adalah sebanyak 710.700 jiwa,
sedangkan yang berdomisili di perkotaan sebesar 182.200 jiwa. Secara
persentase, bahwa 24,34 persen penduduk desa adalah tergolong miskin,
sedangkan penduduk kota hanya 15,45 persen yang tergolong miskin. Tingginya
persentase pendudk miskin di pedesaan cenderung disebabkan oleh beberapa
faktor diantaranya adalah masih rendahnya rata-rata tingkat pendidikan (skill),
minimnya infrastruktur, serta terbatasnya akses terhadap arus informasi
pembangunan dan teknologi.
Perkembangan penduduk miskin di Aceh selama periode 2007-2009 dapat
dilihat pada Tabel II.3 dibawah ini:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-7
Tabel. II.3
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Aceh Selama Periode 2007-2009
Tahun Jumlah Penduduk Miskin(ribu orang)
Persentase Penduduk Miskin(%)
2007 1.083,6 26,65
2008 956,7 23,53
2009 892,9 21,80Sumber : BPS Aceh tahun 2009
2.2.2 Sektor-Sektor Produksi
Secara umum, sektor pertanian dalam arti luas masih menjadi penyumbang
utama terhadap PDRB Aceh dimana pada tahun 2009 kontribusinya adalah
sebesar 33,69 persen. Dengan demikian sektor pertanian menjadi penyokong
utama perekonomian Aceh, disamping juga masih sebagai mata pencaharian
utama masyarakat. Akan tetapi dalam pengembangannya, sektor ini masih banyak
menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan, antara lain adalah:
a. Masih tingginya konflik kepentingan dalam pemanfaatan lahan yang
ditunjukkan dengan tingginya konversi lahan pertanian sehingga hal ini dapat
mengancam tingkat produksi pertanian;
b. Masih kurang memadainya infrastruktur pertanian, terutama jaringan irigasi,
jalan usaha tani, saluran tambak, pelabuhan perikanan, dan balai
pembibitan/perbenihan, sehingga produktivitas sektor pertanian tergolong
masih rendah;
c. Pengembangan komoditi belum fokus pada komodi unggulan yang memiliki
prospek pasar serta nilai tambah yang tinggi
d. Skala usaha pertanian rakyat tergolong masih sangat kecil, terutama jika
dibandingkan dengan potensi ketersediaan lahan yang ada
e. Masih lemahnya aplikasi teknologi dalam proses produksi dan pengolahan
hasil akibat belum optimalnya mekanisasi dan penyuluhan pertanian.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-8
f. Lemahnya akses petani terhadap sumber informasi terutama yang berkaitan
dengan teknologi, pasar, dan permodalan/perbankan; dan
g. Masih lemahnya kelembagaan petani dan kemitraan usaha.
2.2.2.1 Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
Produksi komoditi pangan Aceh dalam beberapa tahun terakhir secara
keseluruhan menunjukkan perkembangan yang positif. Tahun 2009 (berdasarkan
angka sementara), produksi padi mengalami peningkatan sebesar 10,23 persen
yaitu dari 1.402.287 juta ton pada tahun 2008 meningkat menjadi 1.545.769 ton
pada tahun 2009. Produksi tersebut terdiri dari padi sawah (1.528.737 ton) dan
padi ladang (17.032 ton). Sedangkan komoditi pangan yang mengalami
peningkatan produksi paling signifikan adalah jagung dan kedelai, dimana pada
tahun 2009 peningkatannya mencapai di atas 20 persen. Produksi jagung
mengalami peningkatan sebesar 22,16 persen yaitu sebesar 112.894 ton pada
tahun 2008 meningkat menjadi 137.910 ton pada tahun 2009. Produksi kedelai
bahkan mengalami peningkatan yang luar biasa yaitu sebesar 44,55 persen, dari
43.885 ton pada tahun 2008 meningkat menjadi 63.436 ton pada tahun 2009.
Komoditi pangan yang mengalami pertumbuhan produksi negatif adalah
kacang tanah dan kacang hijau. Produksi kacang tanah pada tahun 2009 hanya
mencapai 5.899 ton atau menurun sebesar 423 ton (-6,69 persen) jika dibanding
dengan tahun 2008 yang produksinya mencapai 6.322 ton. Sedangkan kacang
hijau yang terjadi penurunan sebesar 439 ton (-24,70 persen) jika dibandingkan
dengan produksi tahun 2008 yaitu sebesar 1.439 ton menurun menjadi 1.338 ton
pada tahun 2009
Dinilai dari sisi produktivitas, pada tahun 2009 hampir semua komoditi
tanaman pangan mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya
kecuali pada komoditi kacang tanah dan kacang hijau. Peningkatan produktivitas
salah satunya mencerminkan sejauhmana penerapan teknologi pertanian yang
diaplikasikan oleh petani untuk meningkatkan hasil produksinya per satuan luas,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-9
seperti penggunaan benih unggul, aplikasi teknologi pendukung lainnya (seperti
pupuk dan pengendalian OPT), dan dukungan infrastruktur seperti irigasi teknis.
Peningkatan produktivitas pertanian pangan dan hortikultura harus tetap
menjadi prioritas ke depan, mengingat produktivitas yang tinggi akan berdampak
pada peningkatan kesejahteraan petani ke arah yang lebih baik. Laju
perkembangan produktivitas komoditi pangan di Aceh untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel II.4.
Permasalahan yang sangat substansial dalam pengembangan komoditi
pangan dan hortikultura adalah permasalahan ketersediaan bibit/benih unggul dan
pemasaran. Penggunaan varietas unggul sering menjadi kendala dimana petani
masih sangat tergantung dari bantuan pemerintah akibat belum tersedianya unit
produksi bibit/benih unggul yang representatife dan mudah diakses oleh
masyarakat. Selama ini sebagian besar kebutuhan bibit/benih unggul masih
didatangkan dari luar daerah dengan harga yang mahal sehingga penggunaan
bibit/benih unggul oleh petani masih sangat minim dan cendrung bergantung dari
bantuan pemerintah.
Sedangkan persoalan utama pemasaran adalah masih rendahnya harga jual
komoditi ditingkat petani, terutama disaat panen raya. Pada saat musim panen
raya petani cenderung menjual dengan harga murah akibat belum
berkembangnya industri pengolahan dan masih lemahnya system mata rantai
perdagangan (supplay chain). Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka
sangat diperlukan dukungan ketersediaan unit pengolahan hasil dengan kapasitas
yang cukup dan modern, serta terbentuknya sistem perdagangan komoditi yang
tangguh dan berkeadilan. Dengan demikian nantinya diharapkan petani lebih
termotivasi untuk berusaha di sektor pangan dan hortikultura dengan prinsip
agribisnis, dan daerah dapat memperoleh nilai tambah yang lebih besar.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-10
TABEL II.4Perkembangan Produktivitas Tanaman Pangan
Menurut Komoditi di AcehTahun 2007 - 2009
No KomoditiProduktivitas (Kwt/Ha) Perkembangan
2007 - 2009(%)2007 2008 2009*)
1 Padi 42,51 42,51 43,32 0,63
2 Jagung 34,03 33,04 34,67 0,62
3 Kedelai 12.99 13,34 14,08 2,93
4 Kacang Tanah 12,11 12,12 12,59 1,30
5 Kacang Hijau 11,04 10,44 10,49 -1,69
6 Ubi Kayu 124,02 124,16 127,47 0,92
7 Ubi Jalar 98,49 99,41 100,68 0,73Sumber: Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Aceh, Februari 2009 (data diolah).Keterangan: *) 2009 merupakan Angka Sementara.
2.2.2.2 Perkebunan
Sektor perkebunan telah memberikan sumbangan yang cukup berarti
terhadap perekonomian daerah termasuk sumber pendapatan masyarakat.
Sedangkan dari sisi aspek sosial, usaha perkebunan telah mampu memberikan
lapangan pekerjaan yang cukup luas bagi masyarakat dimana secara langsung
ikut mengurangi pengangguran. Disamping itu usaha perkebunan juga ikut
mendukung kelestarian sumberdaya alam seperti pelestarian sumberdaya air dan
penyediaan oksigen bagi kehidupan dalam konteks mendukung visi Aceh Green.
Luas areal perkebunan sampai dengan tahun 2009 di Aceh mencapai
900.080 Ha, mengalami peningkatan sebesar 10,67 persen dari tahun 2008,
dimana hal ini cenderung disebabkan karena semakin kondusifnya keamanan di
Aceh. Peningkatan luas areal tertinggi terjadi pada komoditi kemiri yang
mengalami kenaikan sebesar 57,94 persen, kemudian diikuti oleh nilam sebesar
32,48 persen. Kelapa Sawit masih mendominasi luas areal perkebunan di Aceh,
yakni 313.813 Ha atau 34,86 persen, yang diikuti oleh Karet 132.694 Ha (14,74
persen) dan Kopi 121.938 Ha (13,54 persen) serta Kelapa Dalam 101.150 Ha
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-11
(11,30 persen). Lebih jelas mengenai luas areal berbagai komoditi unggulan
perkebunan di Aceh tahun 2007-2009 disajikan dalam Tabel II.5.
TABEL II.5Luas Areal Tanaman Perkebunan Rakyat dan Besar
Menurut Komoditi di Aceh Tahun 2007 – 2009
NO KOMODITILUAS AREAL PERTUMBUHAN
2007 2008 2009 2008 2009
1 KARET 111.872 114.661 132.694 2,49 15,73
2 KELAPA SAWIT 269.885 287.104 313.813 6,38 9,30
3 KELAPA DALAM 108.421 101.996 101.750 -5,93 -0,24
4 KOPI 112.138 111.880 121.938 -0,23 8,99
5 CENGKEH 22.165 22.187 22.117 0,10 -0,32
6 PALA 17.773 18.230 20.256 2,57 11,11
7 PINANG 35.320 35.984 37.895 1,88 5,31
8 KAKAO 50.101 74.547 78.805 48,79 5,71
9 LADA 1020 974 1022 -4,51 4,93
10 KEMIRI 24.306 13.725 21.677 -43,53 57,94
11 NILAM 3144 3205 4246 1,94 32,48
12 TEMBAKAU 836 829 943 -0,84 13,75
13 KELAPA HYBRIDA 3.867 3.760 2.209 -2,77 -41,25
14 GAMBIR 233 214 200 -8,15 -6,54
15 KUNYIT 807 772 446 -4,34 -42,23
16 JAHE 1.214 433 609 -64,33 40,65
17 TEBU 6.233 6.407 6.706 2,79 4,67
18 ANEKA TANAMAN 35.056 16.417 32.754 -53,17 99,51
JUMLAH 804.391 813.325 900.080 1,11 10,67
Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tahun 2009 (data diolah)
Total produksi berbagai komoditi perkebunan pada tahun 2009 tidak
mengalami peningkatan signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2008.
Pertumbuhan produksi tertinggi terjadi pada komoditi nilam yaitu 291,03 persen
yang diikuti oleh kakao 225,51 persen dan tebu 103,34 persen, sedangkan
terendah terjadi pada komoditi cengkeh sebesar -61,11 persen. Produksi kelapa
sawit masih merupakan yang tertinggi diantara komoditi perkebunan lainnya
yaitu sebesar 311.045 ton TBS atau (46,73 persen), dan produksi minyak sawit
sebesar 286.452 ton serta inti sawit sebesar 129.412 ton. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat dalam Tabel II.6.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-12
TABEL II.6Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat dan Besar
Menurut Komoditi di Aceh Tahun 2007–2009*
NO. KOMODITIPRODUKSI PERTUMBUHAN
2007 2008 2009 2008 2009
1 KARET 63.144 68.611 70.634 8,66 2,95
2 KELAPA SAWIT 752.049 799.904 311.045 6,36 -61,11
3 KELAPA DALAM 64.387 52.325 56.875 -18,73 8,70
4 KOPI 48.080 47.811 50.190 -0,56 4,98
5 CENGKEH 2.114 1.949 714 -7,81 -63,37
6 PALA 5.706 4.495 5.458 -21,22 21,42
7 PINANG 19.158 14.982 22.396 -21,80 49,49
8 KAKAO 19.303 27.295 88.847 41,40 225,51
9 LADA 252 182 274 -27,78 50,55
10 KEMIRI 18.082 11.304 14.756 -37,48 30,54
11 NILAM 118 156 610 32,20 291,03
12 TEMBAKAU 230 215 316 -6,52 46,98
13 KELAPA HYBRIDA 1.216 2.107 1.133 73,27 -46,23
14 GAMBIR 67 66 78 -1,49 18,18
15 KUNYIT 2.117 2.001 768 -5,48 -61,62
16 JAHE 4.064 2.257 2.589 -44,46 14,71
17 TEBU 16.318 16.423 33.394 0,64 103,34
18 ANEKA TANAMAN 9.628 5.449 5.489 -43,40 0,73
JUMLAH 1.026.033 1.057.532 665.566 3,07 -37,06Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tahun 2009 (data diolah)
Pengembangan komoditi perkebunan di Aceh selama ini masih menghadapi
beberapa permasalahan substansial yang hampir sama dengan permasalahan di
sektor pertanian pangan dan hortikultura, yaitu permasalahan ketersediaan bibit
unggul dan penanganan pasca panen. Sebagian besar bibit unggul masih harus
didatangkan dari daerah lain dan sulit diakses oleh petani, serta harga yang
relative mahal. Akibatnya petani cenderung menggunakan bibit yang bukan
klon/varietas anjuran sehingga berimbas pada rendahnya produktivitas
perkebunan rakyat terutama jika dibandingkan dengan perkebunan besar.
Permasalahan pasca panen terutama berkaitan dengan masih rendahnya
harga komoditi di tingkat petani sehingga hasil kebun tidak dimanfaatkan secara
optimal. Rendahnya harga komoditi perkebunan ditingkat petani disebabkan oleh
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-13
beberapa hal diantaranya yang terpenting adalah akibat rendahnya kualitas
pengolahan hasil panen, lemahnya sistim kelembagaan petani, dan minimnya
ketersediaan unit pengolahan hasil perkebunan.
2.2.2.3. Peternakan
Pembangunan sektor peternakan di Aceh mempunyai peranan strategis
dalam upaya pemantapan ketahanan pangan hewani dan pemberdayaan ekonomi
masyarakat. Pembangunan peternakan merupakan bagian integral dari
pembangunan pertanian dalam arti luas dan di ditujukan kepada upaya
peningkatan produksi peternakan yang sekaligus untuk meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan petani ternak, memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, serta
menciptakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat.
Disamping itu usaha peternakan juga berperan dalam mendorong pengembangan
agroindustri dan agribisnis.
Sejalan dengan program Nasional Pencapaian Swasembada Daging Sapi
(PSDS) pada tahun 2014, pemerintah Aceh terus berusaha untuk menambah
jumlah populasi ternak baik dengan mendatangkan ternak dari luar Aceh
maupun melalui inseminasi buatan yang secara efektif mampu mengatasi
masalah fertilasi ternak. Di samping itu, pola pengembangannya juga difokuskan
pada pengembangan kawasan-kawasan peternakan terpadu baik untuk kawasan
peternakan sapi maupun kawasan peternakan ayam petelur.
Selama periode 2008-2009 total populasi ternak terus mengalami
pertumbuhan. Pada tahun 2008 total populasi ternak berjumlah 14.840.889 ekor,
mengalami peningkatan sebesar 3,97 persen pada tahun 2009 dengan total
populasi sebesar 15.430.451 ekor. Populasi ternak yang mengalami peningkatan
terbesar adalah domba dengan peningkatan sebesar 17,61 persen atau dengan
jumlah populasi sebesar 184.747 ekor jika dibandingkan dengan tahun 2008
dengan jumlah populasi sebesar 157.081 ekor, kemudian disusul oleh ayam
pedaging dengan peningkatan sebesar 10 persen atau dengan jumlah populasi
sebesar 1.480.939 ekor jika dibandingkan dengan tahun 2008 dengan jumlah
populasi sebesar 1.346.308 ekor. Sedangkan terendah terdapat pada kambing
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-14
dengan penumbuhan sebesar 0,93 persen, ayam buras sebesar 2,99 persen, itik
dan puyuh masing-masing hanya tumbuh sebesar 3 persen. Lebih jelasnya
mengenai perkembangan populasi ternak dapat dillihat pada Tabel II.7.
Tabel II.7Perkembangan Populasi Ternak Menurut Jenis
Di Aceh Tahun 2008 - 2009
No Jenis TernakPopulasi Ternak (ekor) Pertumbuhan
(%)2008 2009 2009
1 Sapi Perah 32 35 9,372 Sapi Potong 641.093 688.118 7,333 Kerbau 280,662 299.763 6,804 Kuda 3.243 3.357 3,515 Kambing 697.426 703.593 0,936 Domba 157.081 184.757 17,617 Babi 333 321 -3,608 Ayam Buras 8.904.869 9.172.015 2,999 Ayam Ras
Petelur181.887 190.799 4,89
10 Ayam Pedaging
1.346.308 1.480.939 10,0011 Itik 2.596.927 2.674.835 3,0012 Puyuh 31.028 31.959 3,00
Total 14.840.889 15.430.451 3,97Sumber: Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Tahun 2010 (data diolah).
Jumlah produksi telur menurut jenis di Aceh tahun 2008 - 2009 mengalami
kenaikan sebesar 8,50 persen. Telur ayam buras mengalami kenaikan tertinggi
sebesar 11,36 persen sedangkan pada jenis telur ayam ras juga terjadi
peningkatan yaitu sebesar 11,27 persen dan itik sebesar 2,88 persen. Gambaran
mengenai perkembangan Produksi telur Aceh tahun 2008 - 2009 dapat dilihat
pada Tabel II.8 berikut:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-15
Tabel II.8Perkembangan Produksi Telur Menurut Jenis
di Aceh tahun 2008 - 2009
No JenisProduksi (Kg)
Pertumbuhan (%)
2008 2009 2009
1 Ayam Buras 7.384.695 8.223.564 11,36
2 Ayam Ras Petelur 885.606 985.450 11,27
3 Itik 9.580.128 9.856.250 2,88
Total 17.850.429 19065264 8,50Sumber: Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Tahun 2010 (data diolah).
Rendahnya produksi telur dalam daerah, disebabkan karena tingginya biaya
produksi akibat pakan ternak yang masih harus didatangkan dari luar Aceh
sehingga harga jual telur menjadi mahal jika dibandingkan dengan harga telur
pasokan yang masuk dari luar daerah Aceh. Keadaan ini menyebabkan daya
saing peternak dalam daerah menjadi rendah, sehingga motivasi masyarakat
untuk berusaha dibidang ini menjadi menurun.
Melihat pertumbuhan penduduk Aceh yang terus bertambah dan kondisi
sosial ekonomi yang cenderung semakin membaik, maka diperkirakan dalam
kurun waktu lima tahun mendatang permintaan terhadap daging dan telur tidak
akan seimbang dengan ketersediaan dalam daerah, untuk itu perlu dilakukan
kajian yang strategis dalam menyeimbangkan supply dan demand pangan
daging dan telur dimasa yang akan datang.
2.2.2.4 Kelautan dan Perikanan
Aceh yang terletak di ujung Utara/Barat Pulau Sumatera memiliki peranan
yang sangat strategis dalam pengembangan sektor kelautan dan perikanan
nasional mengingat letaknya di antara dua perairan, yaitu Selat Malaka di bagian
Utara/Timur dan Samudera Indonesia di bagian Barat/Selatan. Panjang garis
pantai Aceh sekitar 1.660 km dengan luas perairan laut sekitar 295.370 km2 yang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-16
terdiri dari perairan teritorial dan perairan kepulauan seluas 56.563 km2 dan
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 238.807 km2.
Produksi perikanan di Aceh selama tiga tahun terakhir mengalami
pertumbuhan baik pada jenis perikanan tangkap maupun perikanan budidaya.
Pada tahun 2008 total produksi perikanan Aceh adalah sebesar 167.907,5 ton
dan mengalami peningkatan sebesar 1,52 persen terhadap produksi tahun 2007
yang hanya mencapai sebesar 165.396,6 ton. Pada tahun 2009 total produksi
perikanan mencapai 172.962,6 ton atau mengalami pertumbuhan sebesar 3,01
persen.
Perikanan dan kelautan merupakan sektor yang mengalami kehancuran
sangat fatal pada saat bencana tsunami. Namun pertumbuhan produksi
perikanan yang terjadi selama tiga tahun terakhir walaupun tidak terlalu
signifikan menandakan mulai pulihnya kembali sektor ini dari kehancuran. Untuk
lebih rincinya produksi perikanan Aceh tahun 2007-2009 dapat dilihat dalam
Tabel II.9.
Tabel II.9Produksi Perikanan di Aceh
Tahun 2007 - 2009
No KlasifikasiJumlah Produksi (ton)
2007 2008 2009*1. Perikanan
Tangkap 129.730,9 130.271,4 134.179,5
2. Perikanan Budidaya 35.665,7 37.636,1 38.765,1
Total 165.396,6 167.907,5 172.962,6Pertumbuhan (%) 5,20 1,52 3,01
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Tahun 2008 (data diolah)Ket : *) Angka sementara
Secara keseluruhan pertumbuhan rata-rata produksi perikanan selama
2007-2009 adalah sebesar 3,24 persen dengan perincian pertumbuhan tahunan
produksi perikanan tangkap sebesar 3,41 persen dan perikanan budidaya
sebesar 4,25 persen. Produksi perikanan tangkap umumnya didominasi oleh
kelompok ikan pelagis seperti tuna, tongkol, kembung, cakalang, selar, tenggiri
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-17
dan layang. Kelompok udang dan bandeng memberi sumbangan terbesar dari
subsektor budidaya perikanan.
Jumlah prasarana yang tersedia di sektor Kelautan dan Perikanan masih
sangat minim bila dibandingkan dengan potensi perikanan Aceh. Kondisi ini
mencerminkan bahwa pengembangan sektor perikanan di Aceh ini belum
didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai.
Untuk itu kedepan perlu pengembangan sarana dan prasarana kelautan dan
perikanan seperti pelabuhan perikanan, pengembangan balai benih ikan,
pengembangan sarana tangkap serta motorisasi armada perikanan dalam upaya
meningkatkan daya jelajah dan produktivitas nelayan.
2.2.2.5 Kehutanan
Kawasan Hutan Aceh yang ditetapkan berdasarkan Penunjukan Kawasan
Hutan dan Perairan sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan No. 170/Kpts-
II/2000 tanggal 29 Juni 2000 adalah seluas ± 3.335.613 Ha (daratan), dengan
kawasan perairannya seluruhnya adalah seluas 3.549.813 ha. Luas kawasan hutan
ini meliputi 62,74 persen dari luas daratan Aceh. Kawasan hutan ini terdiri dari
kawasan Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan kawasan Hutan Produksi.
Kondisi kawasan hutan di Aceh umumnya belum mantap. Dari sepanjang
5.056 Km batas luar kawasan hutan, yang baru terealisir tata batasnya sepanjang
3.523,60 Km (69 persen). Sedangkan batas fungsi pada umumnya belum
terealisir. Kenyataan ini menyebabkan lemahnya kepastian hukum dalam
pengelolaan sumber daya hutan dan dalam menghadapi permasalahan okupasi
kawasan hutan.
Berdasarkan data yang ada saat ini (Baplan, 2002), menunjukkan bahwa
indikasi kawasan hutan yang perlu direhabilitasi adalah seluas 2.125.300 ha
(mencapai 37 persen luas daratan Aceh) baik yang berada di dalam kawasan
maupun di luar kawasan. Kondisi tersebut mengharuskan adanya komitmen
semua pihak untuk mendukung pemulihan kawasan hutan melalui kegiatan
rehabilitasi hutan secara nasional. Hal ini sejalan dengan prioritas kebijakan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-18
pembangunan nasional di bidang sumberdaya alam yaitu melindungi dan
merehabilitasi SDA agar kualitas dan daya dukungnya tetap terjaga, sekaligus
menjamin tersedianya ruang yang memadai bagi kehidupan masyarakat.
Dengan berlakunya UUPA Nomor 11 tahun 2006, Pemerintah Aceh memiliki
kewenangan dalam pengambilan kebijakan, pengaturan dan penyelenggaraan
kegiatan yang berdampak antar kabupaten/kota. Mendasari Undang-undang
tersebut dan memperhatikan kondisi geografis yang ada, maka pengelolaan hutan
di Aceh dibagi atas 5 (lima) Daerah Aliran Sungai (DAS), dan dalam
implementasinya akan dibentuk 4 Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD).
Kawasan lindung pada kawasan hutan seluas 2.697.133 Ha (80,86 persen)
yang terdiri dari hutan konservasi 852.633 Ha dan hutan lindung seluas 1.844.500
Ha, sedangkan kawasan budidaya hutan atau hutan produksi seluas 638.580 Ha
terdiri dari hutan produksi terbatas 37.300 Ha dan hutan produksi tetap
601.280 Ha.
2.2.2.6 Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM
Populasi industri Aceh didominasi oleh industri kecil menengah. Jumlah
usaha industri kecil menengah terus mengalami perkembangan dan pada 2009
telah mencapai sebesar 35.660 unit meningkat tajam hingga 67,64 persen dari
tahun 2008 yang populasinya berjumlah 21.275 unit. Peningkatan yang
signifikan tersebut disebabkan oleh tumbuh dan berkembangnya industri kecil
menengah. Sedangkan populasi industri besar sampai tahun 2009 mengalami
stagnansi atau dengan kata lain tidak mengalami peningkatan populasi.
Perkembangan industri dari tahun 2007 sampai dengan 2009 dapat dilihat pada
Tabel II.10. Akan tetapi laju perkembangan populasi industri tidak diikuti oleh
laju peningkatan investasi yang signifikan. Tahun 2009 nilai total investasi
industri bernilai 147.1 Triliyun tidak berbeda jauh dengan nilai investasi industri
tahun 2008 yang berjumlah 146.9 Triliyun. Penurunan aktivitas produksi dari
beberapa industri besar yang ada di Aceh akibat kurangnya pasokan bahan baku
dan diharapkan persoalan ini segera dapat diatasi.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-19
Tabel II.10Perkembangan Industri Di Aceh
Tahun 2007 - 2009
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM, 2009.
Kinerja ekspor Aceh secara umum cenderung mengalami peningkatan.
Setelah mengalami kejatuhan pada tahun 2001, nilai ekspor Aceh mengalami
perkembangan yang positif walaupun peningkatannya sedikit fluktuatif. Tahun
2007 nilai ekspor mengalami penurunan hanya mencapai USD 1.854,23 Juta, tapi
kemudian tahun 2008 meningkat kembali menjadi USD 2.234,13 juta. Nilai
ekspor non migas juga mengalami perkembangan yang menggembirakan, walau
pun belum signifikan pengaruhnya terhadap total nilai ekpor.
Sedangkan ekspor non migas termasuk komoditi pertanian terus
mengalami perkembangan yang menggembirakan. Setelah sempat meningkat 5
kali lipat pada tahun 2007, ekspor non migas meningkat tajam sampai 80% pada
tahun 2008, meski dalam tahun tersebut terjadi krisis finansial global. Ekspor
beberapa komoditi mengalami peningkatan dimana komodi yang mengalami
peningkatan tertinggi adalah komoditi pupuk. Disamping itu sejak kondisi
keamanan pasca konflik semakin kondusif nilai ekspor komoditi perkebunan
serperti kopi dan coklat terus meningkat. Tahun 2009 nilai ekspor kopi mencapai
USD 22,66 juta. Namun demikian bila dibandingkan dengan nilai ekspor
keseluruhan, nilai ekspor non-migas terutama komoditi pertanian masih sangat
rendah.
Sama halnya dengan ekspor, kondisi impor Aceh juga mengalami
peningkatan. Tahun 2007 dan tahun 2008 nilai impor meningkat tajam dari USD
30,65 juta menjadi 384,24 pada tahun 2008. Peningkatan nilai impor tersebut
terutama disebabkan oleh meningkatnya impor barang-barang konsumsi rumah
tangga, bahan makanan dan barang produk industri lainnya. Sedangkan impor
No Kelompok Industri 2007 2008 2009
1. Industri Kecil Menengah 20.231 unit 21.267 unit 35.652 unit
2. Industri Besar 8 unit 8 unit 8 unit
JUMLAH 20.239 unit 21.275 unit 35.660 unit
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-20
barang modal masih sangat kecil, dan gejala ini tidak sehat dalam mendorong
pengembangan industri daerah.
Seiring dengan nilai ekspor dan impor yang sama-sama menunjukkan
trend meningkat, surplus neraca perdagangan luar negeri Aceh juga mengalami
peningkatan. Tahun 2007 neraca perdagangan Aceh surplus sebesar USD
1.823,59 juta dan tahun 2008 meningkat menjadi USD 1.849,89 juta.
Secara keseluruhan negara tujuan ekspor utama Aceh masih didominasi
oleh negara-negara Asia Timur seperti China, Jepang, Korea serta negara-negara
ASEAN seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Begitu juga dengan impor,
87,25 persen berasal dari negara Asia Timur dan ASEAN. Sisanya 12,75 persen
berasal dari negara-negara Eropa Barat seperti Ingris, Switzerland dan Jerman
serta dari Amirika Serikat.
Sektor Koperasi dan UKM merupakan bagian yang cukup penting dan
strategis terhadap pembangunan ekonomi Aceh. Peran strategis tersebut terkait
dengan jumlah, sebaran dan potensi yang dimiliki bahkan perannya dapat
menciptakan lapangan kerja yang cukup memadai serta menjadi faktor utama
pendorong sektor riil.
Kondisi tahun 2008 skala usaha di Aceh didominasi oleh usaha mikro,
dengan jumlah pelaku usaha sebesar 307 ribu orang atau 83 persen. Kemudian
diikuti oleh usaha kecil dengan pelaku usaha sebanyak 60 ribu orang atau 16
persen. Kemudian diikuti oleh usaha menengah dengan jumlah pelaku usaha 1.6
ribu orang atau 0.44 persen. Sebagian besar pelaku UKM memiliki usaha di sektor
perdagangan. Tahun 2008 UKM yang berada di sektor perdagangan berjumlah
212.5 ribu tenaga kerja atau lebih dari 57 persen. Hal ini karena usaha di sektor
ini relatif lebih mudah dan tidak membutuhkan modal besar.
Pada tahun 2009 perkembangan Koperasi mengalami peningkatan menjadi
6.614 unit (0,67 persen) baik ditinjau dari indikator kelembagaan maupun dari
indikator usaha. Jumlah Koperasi pada tahun 2008 jumlah Koperasi tercatat
sebanyak 6.570 unit yang tersebar di seluruh Provinsi. Peningkatan tersebut juga
diikuti oleh jumlah Koperasi yang tidak aktif sebesar 35,37 persen atau sebanyak
2.324 unit.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-21
Jumlah anggota Koperasi tahun 2009 sebanyak 519.314 orang atau
meningkat dari tahun 2008 sebanyak 1.199 orang seiring bertambahnya jumlah
unit Koperasi. Disisi lain Koperasi sebagai badan usaha juga memberikan
konstribusi terhadap penyerapan tenaga kerja baik secara langsung maupun tidak
langsung. Dari sisi jumlah dana yang terhimpun baik simpanan anggota maupun
modal yang disetor dalam bentuk lainnya mengalami peningkatan yang signifikan.
Jumlah Simpanan Anggota mencapai Rp. 1.176,192 milyar dan Modal
luar/pinjaman sebesar Rp 295,007 Milyar. Modal Koperasi bersumber dari APBD,
APBN, Perbankan dan Lembaga Keuangan lainnya. Saat ini Koperasi mampu
menyerap tenaga kerja sebanyak 8.841 orang. Berdasarkan peringkat dari
Kementerian Koperasi dan UKM kondisi koperasi di Aceh masih sangat
memprihantinkan. Dari jumlah 6.614 unit koperasi hanya 2.990 unit yang aktif,
dan dari yang aktif tersebut hanya 24 unit yang berperingkat baik. Oleh karena itu
perlu usaha keras pemerintah dan masyarakat untuk menjadikan koperasi menjadi
sokoguru ekonomi bangsa. Adapun perkembangan koperasi, jumlah simpanan,
volume usaha dapat dilihat dalam tabel II.11 berikut:
Tabel II.11Perkembangan Koperasi di Aceh
Tahun 2004 -2009
No Uraian Tahun
Ket2004 2005 2006 2007 2008 2009*
1 Jumlah Koperasi (Unit)
4.872 5.011 5.533 5.800 6.570 6.614
2Jumlah Anggota (Orang) 415.827 441.494 460.537 485.254 494.564 519.314
3Jumlah Karyawan (Orang) 5.028 5.791 5.010 5.036 5.499 6.698
4Jumlah Manajer (Orang) 937 1.407 1.649 1.570 1.580 2.143
5Jumlah Simpanan (Rp Juta) 211,940 149,949 201,605 252,980 283.019 1.176.192
6Modal Pinjaman (Rp Juta) 225,119 190,122 263,224 368,874 349.380 295.007
7Volume Usaha (Rp Juta ) 234,308 280,698 780,107 823,975 1.054.440 604.589
8Sisa Hasil Usaha (Rp Juta )
21,403 24,197 56,960 163,159 383.343 45.530
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM, 2009Keterangan: *) Sampai dengan Juni 2009
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-22
2.2.2.7 Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk
Perkembangan tingkat penganguran di Aceh selama periode 2006-2009
menunjukkan tren yang terus menurun, dimana pada tahun 2006 Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) di Aceh adalah sebesar 10,43 persen, tahun 2007
turun menjadi 9,84 persen, tahun 2008 turun lagi menjadi 9,56 persen, dan pada
tahun 2009 kembali menjadi 8,71 persen. Bila diamati perkembangan jumlah
angkatan kerja di Aceh yang setiap tahun terus bertambah, dimana pada tahun
2006 adalah sebanyak 1.813.000 orang dan pada tahun 2009 menjadi 1.898.000
orang atau mengalami kenaikan sebesar 4,67 persen. Sebaliknya jumlah
pengangguran di Aceh justru mengalami penurunan yang signifikan yaitu 189.000
orang pada tahun 2006 dan menjadi 165.000 orang pada tahun 2009, atau
mengalami penurunan sebesar 12,70 persen atau rata-rata turun 4.2 persen per
tahun.
Lebih besarnya persentase penurunan jumlah orang yang menganggur jika
dibandingkan dengan persentase kenaikan jumlah angkatan kerja mengakibatkan
TPT terus dapat ditekan setiap tahunnya. Hal ini diperkirakan sebagai dampak dari
semakin luasnya lapangan kerja yang tercipta dan semakin meningkatnya peluang
kesempatan berusaha bagi masyarakat. Sektor pertanian masih menjadi andalan
penyerapan tenaga kerja. Disamping itu dengan semakin membaiknya iklim usaha
di masyarakat sehingga tumbuh suburnya usaha-usaha rakyat di sektor informal
yang ikut menyumbang untuk penyerapan tenaga kerja.
Kesempatan kerja dan berusaha pada tahun 2009, masih di dominasi oleh
sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan yaitu sebesar
48,89 persen diikuti oleh sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan
sebesar 19,13 persen, sedangkan yang terendah sektor industri pengolahan yaitu
sebesar 4,66 persen. Berdasarkan jenis kelamin masih didominasi oleh kaum pria
yaitu sebesar 63,48 persen, dari uraian tersebut, menggambarkan bahwa serapan
tenaga kerja berdasarkan sektor lapangan usaha tersebut, terindikasi pada sektor
pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan masih merupakan lapangan
usaha utama bagi masyarakat yang ingin mengembangkan usahanya dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-23
membuka peluang berusahan dalam upaya meningkatkan taraf hidupnya. Untuk
lebih jelas dapat dilihat dalam tabel II.12
Tabel II.12Kesempatan kerja Menurut Sektor Usaha
Tahun 2009
NO. SEKTOR USAHA LAKI-LAKI PEREMPUAN (L+P)
1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan
514.096 332.999 847.095
2. Industri Pengolahan 36.882 43.890 80.772
3. Perdangan Besar, Enceran, Rumah Makan dan Hotel
157.642 106.811 264.453
4. Jasa Kemasyarakatan 193.294 138.214 331.508
5. Lainnya (Pertambangan dan Penggalian, Listrik, Gas dan Air, Bangunan, Angkutan, Pergudangan danKomunikasi, Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah dan Jasa Perusahaan)
202.345 6.388 208.733
JUMLAH 1.104.259 628.302 1.732.561
Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk, 2009
Angkatan kerja Aceh pada tahun 2009 mencapai 1,9 juta orang. Angkatan
kerja tersebut didonominasi oleh angkatan kerja muda yang berumur antara 20-39
tahun. Sampai 20 tahun kedepan angkatan kerja ini masih berada dalam umur
produktif. Ini merupakan aset Aceh mengejar pertumbuhan ekonominya. Akan
tetapi sayang produktifitasnya masih rendah. Rendahnya produktivitas ini dan
relatif tingginya UMR masih menjadi masalah yang harus segera diatasi.
Penetapan UMR Aceh Rp 1 juta per bulan lebih tinggi dari nasional berdampak
terhadap tingkat daya saing Aceh dalam menarik investasi di sektor formal.
Produktivitas tenaga kerja yang rendah juga sangat mempengaruhi daya saing
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-24
daerah. Produktivitas pekerja Aceh memang masih sangat rendah. Kemajuan yang
diharapkan nampaknya belum membuahkan hasil yang memadai.
Walupun angka pengangguran terus mengalami penurunan, namun
prosentasenya masih cukup tinggi yang berada di atas rata-rata nasional yang
berada pada level 7.8 persen. Hal ini disebabkan salah satunya oleh daya serap
pekerja formal yang masih sangat rendah. Rendahnya daya serap pekerja formal
terkait dengan berbagai permasalahan dan hambatan dalam berinvestasi yang
mewarnai kondisi pasar kerja. Untuk itu, tantangan yang dihadapi dalam beberapa
tahun mendatang adalah upaya mendorong perpindahan pekerja dari pekerjaan
yang memiliki produktivitas rendah ke pekerjaan yang memiliki produktivitas
tinggi. Sehingga dalam pembangunan jangka panjang Aceh, hal ini dapat teratasi
dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisah dengan pengurangan angka
kemiskinan.
Dalam upaya pengembangan kawasan dan percepatan pertumbuhan
kawasan tertinggal di Aceh, sejak tahun 1976 telah dilakukan pembukaan
permukiman baru, pada tahun 2009 jumlah lokasi 160 lokasi transmigrasi dan
jumlah penempatan 41.358 KK atau 169.188 jiwa. Sejak periode tahun 2007
hingga 2009 telah dilakukan penempatan pada 18 lokasi untuk 1.928 KK, dengan
rincian pada tahun 2007 sebanyak 1.119 KK, pada tahun 2008 dan 400 KK pada
tahun 2009. Selanjutnya untuk rencana penempatan terhadap pengembangan
kawasan, pembukaan lokasi permukiman transmigrasi untuk tahun 2010 sebanyak
4 lokasi dan 145 KK. Selanjutnya untuk tahun 2011 sebanyak 13 lokasi untuk 1600
KK dan tahun 2012 direncanakan sebanyak 6 lokasi untuk 880 KK.
Berdasarkan Undang-Undang Kependudukan Nomor 1992, pembangunan
kependudukan diarahkan pada pengendalian kualitas penduduk, pengerahan
mobilitas dan pengembangan penduduk sebagai Sumber Daya Manusia (SDM)
agar menjadi kekuatan pembangunan. Pembangunan kependudukan harus
dilaksanakan merata yang dilakukan secara bersama, menyeluruh, terpadu,
terarah, bertahap dan berkelanjutan. Sehubungan dengan itu pemerintah pusat
telah memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengambil
langkah yang lebih realistis dalam melaksanakan program kependudukan sesuai
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-25
dengan aspirasi masyarakat, sehingga pemerintah daerah dapat merencanakan,
melaksanakan, mengendalikan dan memonitor terhadap pembangunan
kependudukan di Aceh. Namun dalam pelaksanaan pengembangan kawasan
tertinggal untuk pembangunan permukiman penduduk telah mengalami
pergeseran dan perubahan kebijakan penyelenggaraannya dan mengakibatkan
ruang lingkup perencanaan berubah seiring dengan perkembangan.
2.2.2.8 Ketahanan Pangan
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi kehidupan manusia baik untuk
kebutuhan biologis tubuh maupun kebutuhan aktivitas manusia sehari-hari oleh
karena itu pemenuhan pangan bagi masyarakat adalah mutlak harus dipenuhi. Hal
ini jelas diamanatkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, bahwa
pemerintah bersama masyarakat mempunyai kewajiban untuk mengwujudkan
ketahanan pangan.
Berdasarkan data-data tentang produksi bahan pangan, walaupun
mengalami fluktuasi pertumbuhan baik kelompok serealea, kacang-kacangan,
umbi-umbian, daging, sayur-sayuran dan buah-buahan, namun produksi pangan
Aceh mengalami surplus sehingga mampu memasok sebagian produksi ke daerah
lain setiap tahunnya. Kondisi surplus tersebut diasumsikan karena jumlah produksi
pangan melebihi kebutuhan pangan penduduk dan kebutuhan lainnya seperti
industri makanan.
Berdasarkan hasil pemantauan selama ini bahwa, kebutuhan komoditi
pangan pokok di Aceh merupakan hasil produksi lokal, kecuali untuk beberapa
komoditi seperti gula, minyak makan, terigu, sebagian buah-buahan, telur, susu,
kedelai dan lain-lain merupakan hasil pasokan dari daerah lainnya. Hal ini
mencerminkan bahwa industri pengolahan bahan makanan di Aceh belum
berkembang dengan baik.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-26
Lebih jelasnya produksi beberapa komoditi pangan di Aceh dapat dilihat pada
tabel II.13 berikut:
Tabel II.13
Produksi beberapa komoditi pangan penting tahun 2007-2008
No Komoditas Pangan Produksi (ton) Pertumbuhan
(%)Tahun 2007 Tahun 2008I. Pangan Nabati1 Beras 878.346 870.055 (0,94)2 Jagung 121.388 112.894 (7,0)3 Kedele 18.945 43.885 131,644 Kacang Tanah 7.917 6.322 (20,15)5 Ubi Kayu 41.873 38.402 (8,29)6 Ubi Jalar 14.974 13.173 (12,03)II. Pangan Hewani1 Daging rumaninsia 10.515 11.227 6,762 Daging unggas 16.677 16.951 1,703 Telur 23.114 23.830 3,104 Ikan 154.265 157.020 1,78
Sumber : Data Distan/Disnak/Diskan diolah BKP2 Aceh
Dari aspek kerawanan pangan, kondisi masyarakat miskin indentik dengan
kelompok masyarakat yang mengalami rawan pangan, karena mempunyai
keterbatasan dalam mengakses pangan untuk kebutuhan sehari-hari. Tingkat
kemiskinan di Aceh tergolong masih sangat tinggi yaitu 21,8 persen pada tahun
2009 jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional yang hanya 14,2
persen, sehingga kerawanan pangan masih menjadi kendala dalam sistem
ketahanan pangan daerah
Menurut analisis parameter kerawanan pangan, telah disusun peta
kerawanan pangan (Food Insecurity Atlas/FIA) atas survey Tahun 2009 bahwa di
Aceh terdapat Kabupaten-Kabupaten rawan pangan dengan kategori 2 dan 3.
Untuk katagori prioritas 2 terdapat 3 kabupaten yaitu: Kabupaten Nagan Raya,
Gayo Lues dan Aceh Singkil, sedangkan katagori prioritas 3 sebanyak 2 kabupaten
yaitu : Aceh Jaya dan Aceh Utara.
Perkembangan harga pangan pokok dan strategis merupakan salah satu
indikator yang dapat digunakan untuk mengamati situasi pasokan pangan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-27
Ketersediaan pangan yang cukup dan distribusi yang lancar sangat menentukan
terhadap perilaku pasar.
Pada tahun 2009, harga beras pada tingkat konsumen adalah Rp.5.300,-
hingga Rp. 7.800,- per kg, terjadi ketidak stabilan harga yang sangat signifikan,
sementara harga gula pasir relatif stabil, dengan kisaran harga untuk gula pasir
dalam negeri berkisar Rp. 9.900 hingga 10.400,-. Sedangkan harga rata-rata
tepung terigu stabil berkisar Rp.7.200,- hingga Rp.9.000,- per kg, sedangkan
minyak goreng stabil berkisar Rp. 9.800,- hingga Rp. 11.500,- per kg. Di samping
itu harga telur ayam ras tidak stabil dengan kisaran harga Rp. 16.500,- hingga
Rp. 26.8000, per kg.
Secara umum harga ikan stabil namun terjadi gejolak yang relatif kecil
terutama pada saat peralihan musim, sedangkan cabe sangat berfluktuasi
sepanjang tahun dengan kisaran harga Rp. 8.500,- hingga Rp. Rp.42.000,- per kg.
Sementara itu komoditas bawang merah juga mengalami fluktuasi harga yang
cukup tinggi, dengan harga kisaran Rp. 10.000 hingga Rp. 22.000,- per kg.
Penganekaragaman konsumsi pangan merupakan upaya untuk
memantapkan atau membudayakan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi
seimbang dan aman dalam jumlah dan komposisi yang cukup guna memenuhi
kebutuhan gizi untuk mendukung hidup sehat, aktif dan produktif. Indikator untuk
mengukur tingkat keanekaragaman dan keseimbangan konsumsi pangan
masyarakat adalah dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 95 dan
diharapkan dapat dicapai pada tahun 2015.
Berdasarkan data Susenas tahun 2008 konsumsi beras di Aceh yaitu 114,13
kg/kapita/tahun, telah terjadi penurunan konsumsi 16,15 kg/kap/tahun
dibandingkan tahun 2004 sebesar 131,32 kg/kap/thn, namun penurunan tersebut
belum mencapai target yang ditetapkan dalam WNPG tahun 2004 yaitu sebesar
91,25 kg/kap/tahun
Tingkat konsumsi pangan rata-rata orang Indonesia diukur dari konsumsi
energi pada tahun 2008 sebesar 2.038 kkal/kap/hari sudah melebihi anjuran
WNPG (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi) VIII tahun 2004 sebesar 2.000
kkal/kap/hari. Begitu pula dengan rata-rata konsumsi protein sebesar 57.49
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-28
gram/kapita/hari, telah melebihi angka anjuran sebesar 52 gram/kapita/hari.
Meskipun demikian, pencapaian tersebut belum diiringi dengan pemenuhan
kualitas konsumsi pangan penduduk yang ditandai dengan skor keragaman
konsumsi pangan sebesar 81,9 pada tahun 2008 untuk Aceh baru tercapai 73,4
dari target skor Pola Pangan Harapan (PPH) senilai 95. Untuk Aceh konsumsi
protein baru tercapai 30,1 gr protein/kapita/hari, belum sesuai dengan anjuran.
Analisis terhadap data SUSENAS tahun 2008 juga menunjukkan bahwa pola
konsumsi pangan penduduk Indonesia hingga tahun 2008 masih terdapat
ketimpangan, karena (1) masih tingginya konsumsi padi-padian; (2) masih
kurangnya konsumsi pangan hewani; dan (3) masih rendahnya konsumsi umbi-
umbian, sayur dan buah, serta kacang-kacangan, dan pangan hewani. Data
tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan konsumsi pada padi-padian
terutama beras sebagai pangan pokok masih sangat tinggi, sedangkan
pemanfaatan sumber–sumber pangan lokal seperti umbi, jagung, dan sagu masih
rendah.
Sesuai dengan hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun
2004, bahwa sasaran angka kecukupan konsumsi total energi adalah sebesar
2.000 Kkal/kap/hari yang akan dicapai pada tahun 2020 untuk Indonesia.
2.2.2.9 Penyuluhan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dalam pasal 1 disebutkan bahwa penyuluhan
merupakan proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar
mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam
mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya lainnya
sebagai upaya untuk meningkatkan produktifitas, efisiensi usaha, pendapatan dan
kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Penyuluh adalah ujung tombak dalam mencerdaskan dan memberdayakan
petani yang merupakan pelaku utama pembangunan pertanian.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-29
Saat ini jumlah penyuluh di Aceh adalah sebanyak 3.204 orang yang terdiri dari
PNS 1.246 orang dan penyuluh THL-TB sebanyak 1958 orang. THL- TB adalah
Tenaga Harian Lepas Tugas Bantu Penyuluh Pertanian yang direkrut oleh
Kementrian Pertanian dan ditempat di wilayah binaan masing-masing. Sebaran
penyuluh di 23 kabupaten/Kota secara rinci dapat dilihat pada tabel II.14 di bawah
ini:
Tabel II.14Kondisi Sebaran Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) per Kabupaten/Kota
No. KABUPATEN/KOTA Ket.
PNS THL-TB Jumlah1 2 3 4 5 6
1 PROVINSI 55 - 55 2 Banda Aceh 9 62 71 3 Aceh Besar 115 190 305 4 Pidie 60 213 273 5 Pidie Jaya 18 109 127 6 Bireuen 149 138 287 7 Aceh Tengah 68 127 195 8 Aceh Utara 147 129 276 9 Kota Lhok Seumawe 12 14 26
10 Aceh Timur 106 140 246 11 Langsa 23 22 45 12 Aceh Tamiang 30 70 100 13 Aceh Tenggara 56 113 169 14 Gayo Lues 13 88 101 15 Aceh Jaya 28 42 70 16 Aceh Barat 68 83 151 17 Nagan Raya 60 57 117 18 Simelue 16 5 21 19 Abdya 45 62 107 20 Aceh Selatan 56 158 214 21 Aceh Singkil 40 56 96 22 Subulussalam 13 - 13 23 Sabang 13 3 16 24 Bener Meriah 46 77 123
Total 1,246 1,958 3,204
Penyuluh (Org)
Kondisi penyuluh pertanian setelah otonomi daerah sangat memprihatikan,
banyak tenaga penyuluh senior dan ahli telah beralih status dari fungsional ke
struktural disamping memasuki masa pensiun, hal ini mengakibatkan kekurangan
tenaga penyuluh lapangan baik secara kuantitas maupun kualitas dan berakibat
tidak optimalnya proses pendampingan dan pembinaan di kelompok-kelompok tani
atau Gapoktan.
Pada tahun 2009 kelembagaan penyuluhan di Aceh adalah berjumlah 246
Balai Penyuluh Pertanian (BPP) dari 276 BPP yang dibutuhkan (89,13 persen) atau
masih dibutuhkan sebanyak 30 BPP lagi. Sedangkan kelembagaan petani
berjumlah 10.561 Kelompok tani, yang tersebar di 23 Kabupaten/Kota. Secara
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-30
rinci jumlah BPP dan Kelompok Tani per masing-masing kabupaten/kota dapat
dilihat pada tabel II.15 berikut ini:
Tabel II.15Jumlah BPP dan Koptan per Kabupaten/Kota Tahun 2009
No. KABUPATEN/KOTAKecamatan Desa BPP Koptan
1 2 3 4 5 61 Banda Aceh 9 110 2 90 2 Aceh Besar 23 604 8 603 3 Pidie 23 727 25 1,062 4 Pidie Jaya 8 222 8 611 5 Bireuen 17 609 18 783 6 Aceh Tengah 14 270 10 166 7 Aceh Utara 27 854 29 852 8 Kota Lhok Seumawe 4 74 2 54 9 Aceh Timur 24 512 24 998
10 Langsa 5 51 3 98 11 Aceh Tamiang 12 214 11 424 12 Aceh Tenggara 16 386 16 962 13 Gayo Lues 11 136 11 557 14 Aceh Jaya 6 172 6 227 15 Aceh Barat 12 321 13 494 16 Nagan Raya 8 222 9 746 17 Simelue 8 137 8 125 18 Abdya 9 133 3 209 19 Aceh Selatan 16 248 16 418 20 Aceh Singkil 10 116 10 189 21 Subulussalam 5 74 6 175 22 Sabang 2 36 2 49 23 Bener Meriah 7 232 6 669
Total 276 6,460 246 10,561
Jumlah Jumlah Kelembagaan
Fasilitas penyuluh pertanian terutama kenderaan roda 2 (dua) dan mobil
Penyuluhan Keliling (Luh-ling Unit) sangat minim dan fasilitas ini sangat
dibutuhkan guna meningkatkan mobilitas penyuluh untuk menjangkau wialayah
yang cukup luas dan jauh, namun selama otonomi pertambahan kenderaan
operasional penyuluh sangat kecil. Tahun 2009 jumlah tenaga penyuluh PNS di
Aceh sebanyak 1.246 orang dan hanya sebanyak 1.191 orang berada di lapangan.
Dari total Penyuluh di lapangan, baru 354 orang yang memiliki kenderaan
operasional.
2.2.2.10 Perkembangan dan Prospek Investasi
Pembangunan ekonomi suatu daerah disamping dari sumber dana
Pemerintah juga membutuhkan berbagai sumber lainnya seperti investasi dari
swasta baik PMA (Penanaman Modal Asing) maupun PMDN (Penanaman Modal
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-31
Dalam Negeri). Dari data yang tersedia jumlah perusahaan PMA dan PMDN di
Aceh hingga akhir tahun 2009 adalah 269 perusahaan yang terdiri dari 121
perusahaan PMA dan 168 perusahaan PMDN.
Dari 121 perusahaan PMA, sebanyak 36 perusahaan yang tidak aktif/macet,
11 perusahaan yang telah berproduksi serta 74 perusahaan dalam tahap
pembangunan/persiapan. Sedangkan perusahaan PMDN sebanyak 168
perusahaan terdiri dari 105 perusahaan yang tidak aktif/macet, 47 perusahaan
telah berproduksi serta 16 perusahaan yang masih tahap pembangunan/
persiapan. Sementara itu, realisasi investasi sampai dengan akhir tahun 2009
untuk PMA sebesar US$ 143.318.795.166 dan PMDN Rp. 6.280.047.045.730.
2.2.3 Keuangan Aceh
Berdasarkan Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan Undang-undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Sumber Keuangan Aceh menjadi lebih
luas. Sumber-sumber keuangan tersebut adalah Pendapatan Asli Aceh (PAA),
Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus.
Selama beberapa tahun terakhir Aceh telah menerima arus masuk
pendapatan yang belum pernah terjadi sebelunya. Tingkat sumber daya keuangan
Aceh diperkirakan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Pendapatan
terebut teruma karena adanya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang
Pemerintah Aceh yang mulai diimplementasikan sejak tahun 2008. Melalui
Undang-Undang tersebut Aceh mendapat hak berupa dana tambahan bagi hasil
Migas dan dana otonomi khusus. Akan tetapi hak tersebut terbatas pada masa
waktu 20 tahun. Penerimaan Aceh dari dana otonomi khusus yang dimulai sejak
tahun 2008 terus meningkat. Pada tahun 2008 kemampuan fiskal Aceh meningkat
sangat signifikan dengan nilai mencapai Rp 5.167.853.549.264. kemudian pada
tahun 2009 meningkat lagi menjadi Rp 6.786.212.000.000. Ini merupakan
kekuatan fiskal Aceh yang harus dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-32
mengejar pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Aceh.
2.2.3.1 Pendapatan Asli Aceh (PAA)
Pendapatan Asli Aceh (PAA) terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah,
keuntungan perusahaan daerah, zakat dan berbagai sumber PAD lainnya. Secara
komposisi pajak daerah merupakan sumber pemasukan utama terhadap PAA.
Pajak daerah yang menjadi kewenangan provinsi terdiri atas Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan
Bakar Kenderaan Bermotor (PBBKB), Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan, Pajak Kendaraan di Atas Air, serta Bea Balik Nama Kendaraan di Atas
Air. Penerimaan pajak daerah hingga tahun 2009 masih didominasi oleh jenis PKB,
BBNKB, dan PBBKB.
Realisasi penerimaan pajak daerah dua tahun terakhir cenderung tidak
mengalami peningkatan. Tahun 2008 dan Tahun 2009 pemasukan PPA dari pajak
daerah persis sama yaitu berjumlah Rp 476.975.000.000,-
Selain pajak daerah, retribusi dan zakat juga merupakan bagian dari PAA
yang memiliki prospek cukup baik untuk memperkuat kemampuan keuangan
daerah pada masa yang akan datang. Walaupun retribusi selama 5 tahun terakhir
realisasi penerimaannya belum mampu mengimbangi realisasi penerimaan pajak
daerah, namun perkembangannya setiap tahun juga terus mengalami
peningkatan. Tahun 2008 Restribusi Darah mencapai Rp 12.705.574.475 dan
tahun 2009 meningkat menjadi Rp 13.264.165.424 atau meningkat 4.39. Hal ini
ditandai mulai membaiknya kondisi ekonomi dan membaiknya penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Zakat sebagai salah satu sumber PAA belum dikelola
dengan baik. Hal ini disebabkan belum adanya Qanun yang mengatur lebih lanjut
tentang zakat sebagai sumber PAA seperti yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Penerimaan zakat juga terus
mengalami peningkatan. Tahun 2008 penerimaan dari zakat hanya mencapai
Rp 1.836.000.000, meningkat tajam pada tahun 2009 menjadi Rp 3.000.000.000.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-33
Peluang penerimaan dari zakat akan terus dapat ditingkatkan apabila Baitul Mal
yang berwenang mengelola zakat mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Secara kesuluruhan PPA dua tahun terakhir sedikit mengalami peningkatan.
Adapun jumlahnya secara berturu-turut adalah Rp. 795.709.401.264 dan
Rp 795.872.000.000,-.
2.2.3.2 Dana Perimbangan
Dana perimbangan bersumber dari APBN, dimaksudkan untuk memberikan
kepastian pendanaan daerah berdasarkan pasal 10 ayat (1) Undang-undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah. Dana perimbangan tersebut terdiri atas :
a. Dana Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak;
b. Dana Alokasi Umum (DAU), dan;
c. Dana Alokasi Khusus (DAK).
Akibat adanya sumber pumasukan dari Tambahan Bagihasil Migas sesuai
dengan UU PA maka Penerimaan dari sumber Dana Perimbangan mengalami
peningkatan yang sangat signifikan pada tahun 2009 yang mencapai Rp
2.262.058.000.000,-. meningakat 191.88 persen. Tahun sebelumnya hanya
berjumlah Rp 775.001.250.000,-.
2.2.3.3 Dana Otonomi Khusus
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA),
berdasarkan pasal 183 ayat 2, Pemerintah Aceh mendapatkan dana otonomi
khusus selama 20 tahun dengan rincian untuk tahun pertama yaitu mulai tahun
2008 sampai tahun kelima belas besarnya setara dengan 2 persen (dua persen)
dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional dan untuk tahun keenam belas
sampai dengan tahun kedua puluh setara dengan 1 persen (satu persen) dari
plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional.
Dana otonomi khusus yang diterima oleh pemerintah Aceh pada tahun 2008
sebesar Rp. 3.590.142.898.000 dan tahun 2009 meningkat menjadi
Rp 3.728.282.000.000. Pendapatan dari sumber Otonomi Khusus ini diperkirakan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-34
akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang
diperkirakan terus membaik dan memberi dampak terhadap pendapatan nasional.
2.2.3.4 Tabungan Pemerintah Aceh
Tabungan Pemerintah Aceh adalah kemampuan daerah menyisihkan
sebagian pendapatan untuk mendanai pelayanan publik meliputi pelayanan
prasarana dan sarana serta fasilitas publik. Tabungan pemerintah ini berasal dari
seluruh pendapatan daerah dikurangi dengan belanja rutin/aparatur yang harus
dilakukan oleh pemerintah Aceh.
2.2.3.5 Sumber Pendapatan Aceh Lainnya
Sumber pendapatan daerah lainnya berasal dari pemerintah (sumber-sumber
yang sah dan tidak mengikat), di antaranya terdiri atas bantuan dana
penyeimbang murni, bantuan dana penyeimbang kebijakan (ad.hoc) dan bantuan
dana penyeimbang formasi pegawai. Berdasarkan struktur APBA tahun 2010, jenis
penerimaan daerah lainnya disesuaikan dengan jenis pendapatan hibah, dana
darurat, dana bagi hasil pajak dari provinsi dan pemerintah daerah lainnya, dana
penyesuaian dan otonomi khusus serta bantuan keuangan dari provinsi atau
pemerintah daerah lainnya. Realisasi sumber Pendapatan lainnya yang sah sejak
tahun 2008 sampai dengan 2009 dapat dilihat pada Tabel II.16.
Tabel II.16Jumlah Realisasi Sumber Penerimaan Daerah
lainnya 2008-2009
NO TAHUN REALISASI (Rp)
1 2008 3.597.142.898.000
2 2009 3.728.282.000.000
Sumber: Dinas Pengelolaan Kekayaan Aceh 2010
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-35
2.2.3.6 Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh
Sesuai dengan yang tercantum dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun
2006, bahwa penyelenggaraan urusan Pemerintahan Aceh diikuti dengan
pemberian sumber pendanaan dan pengelolaan keuangan harus tertib, taat asas,
proporsional, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dengan memperhatikan
asas keadilan, kepatutan, kewajaran, dan memberi manfaat yang besar bagi
masyarakat. Mengacu pada hal tersebut, maka setiap tahunnya ruang lingkup
pengelolaan keuangan Aceh meliputi:
1. Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi Aceh serta
melakukan pinjaman;
2. Kewajiban Aceh untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan Aceh,
melaksanakan pembangunan Aceh dan membayar tagihan pihak ketiga;
3. Pengelolaan pendapatan Aceh;
4. Pengelolaan belanja Aceh;
5. Pengelolaan pembiayaan Aceh yang meliputi aspek kekayaan Aceh yang
dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,
barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah, kekayaan pihak lain yang
dikuasai oleh pemerintah Aceh dalam rangka penyelenggaraan tugas
pemerintahan Aceh dan/atau kepentingan umum.
Ruang lingkup pengelolaan keuangan dilakukan agar pelaksanaan program
dan kegiatan yang telah direncanakan dapat dicapai sesuai dengan target capaian
tahunan. Pengelolaan keuangan Aceh dilaksanakan dalam suatu sistem yang
terintegrasi dan diwujudkan dalam APBA dengan mengacu kepada penyusunan
anggaran berbasis kinerja berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang
berlaku. APBA tersebut lazimnya ditetapkan setiap tahun melalui Qanun Aceh.
Arah dan kebijakan keuangan Aceh tahun 2007 - 2012 yang ditempuh dalam
meningkatkan Pendapatan Aceh adalah:
1. Menghimpun penerimaan dari semua sumber pendapatan daerah secara
optimal sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku;
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-36
2. Mengupayakan peningkatan Pendapatan Asli Aceh dari masing-masing bagian
pendapatan Aceh sehingga kebutuhan pembiayaan Pemerintah Aceh dapat
dipenuhi secara tepat dan cukup; dan
3. Memberdayakan segenap potensi yang dimiliki untuk dapat meningkatkan
pendapatan Aceh.
2.3 Agama, Sosial dan Budaya
2.3.1. Agama
Pelaksanaan Syari`at Islam secara kaffah di Aceh mengacu pada Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah (Al-Hadits) yang penjabarannya lebih lanjut didasarkan
pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang secara teknis akan diatur dengan
Qanun Aceh. Masyarakat Aceh sejak awal kemerdekaan sudah memperjuangkan
agar Syari`at Islam secara formal dan resmi menjadi sumber nilai dan sumber
penuntun perilaku dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tataran kehidupan
pribadi, kehidupan bermasyarakat, maupun dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Dalam pepatah Aceh disebutkan bahwa hubungan syari`at dengan
adat adalah seperti hubungan benda dengan sifatnya: hukom ngoen adat lage zat
ngoen sifeut. Artinya hukum syari`at dengan adat di Aceh menyatu sedemikian
rupa, merasuk dan menyusup ke dalam semua segi dan sendi kehidupan.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh
memiliki hak untuk melaksanakan Syari`at Islam secara lebih luas, di dalam
berbagai bidang kehidupan dan pemerintahan. Pemerintah Aceh memiliki hak
menyusun dan menerapkan hukum materil di bidang perdata kekeluargaan,
perdata keharta-bendaan, pidana serta hukum acara perdata dan pidana
berdasarkan Syari`at Islam dengan cara menuangkannya ke dalam Qanun Aceh.
Begitu juga dengan pemberian sanksi (hukuman) untuk pelanggaran pidana di
dalam Qanun Aceh ini juga dapat mengikuti ketentuan yang ada dalam Syari`at
Islam secara penuh, tidak dibatasi oleh peraturan perundangan yang ada.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-37
Selanjutnya sebagai upaya pemantapan pelaksanaan Syariat Islam,
Pemerintah Aceh membentuk Mahkamah Syar`iyah yang berwenang menangani
perkara perdata dan pidana berdasarkan Syari`at Islam, yang telah dituangkan ke
dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam. Dalam
pelaksanaan penuntutannya tetap dilakukan oleh kejaksaan, sedangkan
penyidikan dilakukan oleh Wilayatul Hisbah (WH) yang merupakan bagian dari
Polisi Pamong Praja dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bawah koordinasi
Kepolisian Republik Indonesia.
Sebagian hukum yang berlaku di Aceh adalah hukum berdasar Syari`at
Islam, namun dalam pelaksanaannya lembaga dan aparatur pusat belum
maksimal dalam memahami qanun-qanun Aceh. Oleh karena itu Pemerintah Aceh
perlu memberikan dukungan berupa sosialisasi, pelatihan dan pemahaman kepada
aparat hukum yang berada di bawah instansi vertikal di Aceh sehingga
pelaksanaan tugas penerapan Syariat Islam dapat berjalan dengan baik dan
sempurna. Di samping itu, Pemerintah Aceh perlu melakukan koordinasi dan
konsultasi yang lebih intensif mengenai pembiayaan lembaga dan aparat
pemerintah yang melaksanakan tugas khusus (otonomi khusus) yang pada saat ini
masih belum memadai.
Penyediaan tenaga pelaksana penegakan hukum sebagai perangkat provinsi,
yaitu WH sebagai Polisi Pamong Praja dan PPNS, belum terintegrasi antara satu
dengan lainnya ke dalam sistem yang ada secara memadai. untuk itu, Pemerintah
Aceh perlu menetapkan model yang dianggap sesuai dengan kondisi Aceh yang
menjalankan Syari`at Islam secara kaffah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dalam upaya mempercepat implementasi Syariat Islam dan adat Aceh hingga
ke tingkat pemerintahan paling rendah (gampong), Pemerintah Aceh saat ini
sedang berupaya menata kembali pemerintahan gampong dan mukim sesuai
dengan tuntunan dan aturan adat, antara lain dengan mengembalikan pimpinan
gampong kepada Keuchik dan Teungku Imeum bersama Tuha Peuet, serta
membentuk kembali Lembaga Mukim dengan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003
tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tetapi
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-38
upaya ini belum maksimal karena belum semua unsur perangkat pemerintahan
gampong dan mukim diatur dengan peraturan yang setara. Sebagai contoh,
keberadaan Keuchik telah diatur dengan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003
tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Sedangkan keberadaan Teungku Imeum Meunasah diserahkan pengaturannya
kepada Qanun Kabupaten/Kota.
Pelatihan dan pengenalan kembali fungsi dan peran teungku Imuem perlu
menjadi prioritas dalam penerapan syariat Islam. Dengan pelatihan tersebut
diharapkan teungku Imeum dapat mengenali semua tugasnya dengan baik,
seperti; menjadi pengawas atas wali anak yatim, melindungi harta anak yatim,
serta mengelola zakat dan harta agama yang ada di gampong dengan tertib dan
memanfaatkannya secara tepat. Di samping itu, teungku Imeum hendaknya dapat
meningkatkan kualitas pelayanan peribadatan dan kemasyarakatan, misalnya;
menghidupkan meunasah dengan shalat berjamaah dan pengajian, membimbing
dan mengawasi kegiatan warga masyarakat agar sesuai dengan syariat Islam,
serta menyelesaikan sengketa dalam keluarga dan masyarakat berdasarkan
syari`at yang telah menyatu dengan adat.
Persoalan lain yang dihadapi saat ini adalah kurangnya pemahaman dan
pengamalan ajaran agama di kalangan masyarakat khususnya di daerah
perbatasan. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah adalah
dengan penempatan da’i di daerah perbatasan.
Pelayanan kehidupan beragama juga dinilai belum memadai. Hal ini terlihat
dari belum optimalnya pemanfaatan tempat peribadatan, kurangnya tenaga
pelayanan baik dalam kualitas maupun kuantitas, serta belum optimalnya
pengelolaan dana sosial keagamaan dan harta agama. Selain itu, kesadaran
masyarakat terhadap pembayaran dan pendistribusian zakat masih sangat rendah,
padahal zakat merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Aceh (PAA), sesuai
dengan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 Pasal 180. Demikian juga harta
agama dalam bentuk wakaf belum dimanfaatkan secara optimal bahkan ada yang
tidak terurus dan terlindungi dengan baik, sehingga perlu disusun dan ditetapkan
sebuah sistem dan mekanisme pengelolaan yang tepat.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-39
Baitul Mal sebagai badan pengelola harta agama perlu dibenahi dan
dioptimalkan fungsinya sehingga harta agama dan zakat dapat dikelola secara
lebih baik, diharapkan dapat membantu pembiayaan pembangunan khususnya
dalam pengentasan kemiskinan.
2.3.2 Sosial Budaya
Budaya Aceh sangat terikat dengan nilai-nilai agama Islam, namun demikian
ada beberapa bagian dalam kalangan masyarakat yang masih terpengaruh oleh
kebiasaan sebelum datangnya Agama Islam, misalnya adat istiadat seperti kenduri
tolak bala, kenduri laot, kenduri blang, kenduri glee dan lain-lain. Pemerintah Aceh
dalam rangka menggali kembali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan
adat dan budaya Aceh sesuai dengan kebijakan pemerintah tentang pelaksanaan
Syariat Islam telah membentuk Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang tertuang dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2004.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menunjukkan bahwa pasca konflik
dan gempa bumi di susul gelombang tsunami mengakibatkan menurunnya tingkat
kesejahteraan sosial masyarakat Aceh. Permasalahan kesejahteraan sosial sesuai
data terakhir menunjukkan jumlah fakir miskin ±495.668 KK, anak terlantar
±83.114 jiwa, anak jalanan 590 jiwa, anak nakal 1.832 jiwa, anak korban tindak
kekerasan 5.909 jiwa, lanjut usia terlantar 13.649 jiwa, penyandang cacat 27.710
jiwa, wanita rawan sosial ekonomi 42.767 jiwa, korban penyalahgunaan napza
1.487 jiwa, gelandangan pengemis 1.884 jiwa, eks. penyakit kronis 4.289 jiwa,
komunitas adat terpencil 1.315 KK, eks narapidana 1.156 jiwa, korban bencana
19.379 KK, tuna susila 320 jiwa, anak yatim piatu 67.632 jiwa, keluarga berumah
tidak layak huni 236.461 KK, masyarakat yang tinggal daerah rawan bencana
23.848 KK, keluarga pahlawan nasional perintis kemerdekaan 3.987 jiwa.
Disamping itu, terdapat juga permasalahan korban konflik serta menurunnya
kemampuan organisasi sosial masyarakat dalam melaksanakan usaha-usaha
kesejahteraan sosial di dalam masyarakat.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-40
2.3.3 Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Sejak awal kerajaan Aceh, perempuan sudah memegang peranan dalam
bidang ekonomi, politik dan perjuangan kemerdekaan. Dengan kata lain
perempuan Aceh sudah berperan dalam rumah tangga, politik, dan kebijakan
publik. Akan tetapi saat ini peranan perempuan semakin kecil terutama dalam
bidang politik dan kebijakan publik. Disamping itu kurang sekali kesempatan yang
diberikan kepada perempuan untuk berperan sebagai pemimpin di pedesaan,
kecamatan dan di tingkat kabupaten/kota. Hanya sedikit perempuan yang
berkiprah dalam bidang pemerintahan. Bagaimanapun perempuan punya potensi
dalam berbagai bidang, seperti politik dan ekonomi. Namun demikian banyak
perempuan yang berkiprah dalam bidang pendidikan karena sebagai pendidik
relatif tidak banyak masalah yang dihadapi dibandingkan dalam bidang politik.
Saat ini masih banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak
dalam rumah tangga. Demikian pula halnya dengan eksploitasi terhadap
perempuan dan anak. Walaupun persoalan ini masih sedikit terjadi di Aceh, tetapi
jika tidak ada kepedulian dari semua pihak maka eksploitasi terhadap perempuan
dan anak akan semakin meningkat. Persoalan gender dengan memberikan
kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai aspek
kehidupan bermasyarakat dan bernegara perlu mendapat perhatian.
2.3.4 Pemuda dan Olah Raga
Pemuda merupakan komponen bangsa yang sering dijadikan indikator
keberhasilan ataupun kemunduran suatu bangsa karena pemuda merupakan
pelopor perubahan (tranformation agent) dalam pembangunan suatu bangsa.
Dalam struktur demografi Aceh, kelompok usia muda merupakan bagian terbesar
dari total penduduk. Data statistik 2008 menunjukkan populasi penduduk usia
muda kelompok umur 15-44 tahun mencapai angka 2.175,7 juta jiwa (50,67
persen). Kenyataan ini menunjukan bahwa penduduk Aceh tergolong kelompok
penduduk ekspansif karena sebagian besar penduduknya berada dalam kelompok
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-41
usia muda. Jumlah penduduk Aceh menurut kelompok umur dapat dilihat pada
tabel II.17 berikut:
Tabel II.17Jumlah Penduduk Aceh Menurut Kelompok Umur
Di Provinsi Aceh Tahun 2008
No Kelompok Umur Jumlah1234567891011121314
0 – 45 – 9
10 – 1415 – 1920 – 2425 – 2930 – 3435 – 3940 – 4445 – 4950 – 5455 – 5960 – 6465 +
453,4427,3448,8462,1442,7381,9337,4293,0258,6216,1163,2129,4100,7179,3
T o t a l 4.293,9
Sumber : Aceh Dalam Angka, 2009
Berdasarkan tabel II.17 Jumlah kelompok umur (15-19 Tahun) adalah jumlah
terbesar dari komposisi penduduk Aceh. Itu berarti dalam kurun waktu beberapa
tahun kedepan akan terjadi bonus demografi, dimana akan terdapat lebih banyak
kelompok penduduk usia muda (produktif) di banding usia tidak produktif.
Peningkatan jumlah penduduk usia muda, apabila tidak diikuti dengan
pembinaan yang baik, akan menimbulkan berbagai kerawanan sosial, seperti :
pengangguran, dekadensi moral, pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba dan
zat-zat adiktif lainnya, serta perbuatan yang mengarah pada tindak kriminal.
Kondisi seperti ini menjadi lebih parah lagi karena tidak tersedianya lapangan
kerja yang dapat menampung mereka. Untuk itu perlu adanya usaha yang konkrit
dalam rangka memberdayakan pemuda agar memiliki keunggulan dan daya saing
Aceh serta mampu memberikan kontribusi yang nyata terhadap masyarakat,
bangsa dan negara.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-42
Program pembinaan kepemudaan saat ini belum terkoordinir secara optimal,
baik pada tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Rendahnya
partisipasi masyarakat, dunia usaha, dan organisasi-organisasi kepemudaan dalam
peningkatan SDM dan produktivitas pemuda menyebabkan fokus pembinaan
pemuda belum mengarah pada peningkatan keterampilan hidup (life skill) yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kelangsungan hidup
(livelyhood). Pembinaan-pembinaan yang selama ini dilakukan baik oleh lembaga
pemerintah maupun non pemerintah masih bersifat parsial (satu aspek saja) dan
belum menyeluruh (holistic).
Pemerintah daerah telah berupaya melakukan pembinaan dan pemberdayaan
terhadap organisasi-organisasi kepemudaan di Aceh dalam bentuk dukungan
pendanaan yang bersifat stimulan, sebagai upaya meningkatkan kemandirian
organisasi guna mengaktualisasikan berbagai program pembinaan bagi generasi
muda. Beberapa kegiatan kepemudaan yang telah dan akan terus dilakukan
diantaranya; pertukaran pemuda antar daerah dan antar negara, pemilihan dan
keikutsertaan dalam kegiatan Paskibraka Daerah dan Nasional setiap tanggal 17
Agustus, keikutsertaan pemuda Aceh dalam Kapal Pemuda Nusantara, serta
pembinaan dialog pemuda tingkat provinsi yang dimaksudkan untuk
menumbuhkan semangat kebersamaan, keterbukaan, toleransi, dan
kesetiakawanan sosial yang tinggi.
Meskipun mengalami berbagai hambatan dan keterbatasan, beberapa cabang
olahraga di Aceh berhasil mengukir prestasi dalam kancah kompetisi nasional.
Pada cabang Bola Basket, klub bola basket PIM Aceh berhasil menjadi juara
KOBATAMA BRITAMA 2005/2006, begitu juga pada cabang bola kaki, 2 tim
sepakbola Aceh berhasil masuk dalam jajaran elit persepakbolaan Indonesia
dengan lolosnya Persiraja Banda Aceh dan PSSB Bireuen ke dalam divisi utama
Ligina Djarum Super 2007.
Prestasi pemuda di bidang olah raga saat ini belum begitu membanggakan.
Hanya beberapa cabang olahraga saja yang mampu menghasilkan prestasi
gemilang di tingkat nasional, yaitu; cabang angkat berat, anggar, dan pencak silat.
Pada PON 2004 di Palembang, Aceh hanya berhasil menduduki peringkat 21 dari
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-43
32 provinsi. Begitu juga pada Pekan Olahraga Pelajar Nasional (POPNAS), Aceh
hanya berada pada peringkat 21 dengan perolehan 6 medali emas, 2 perak, dan 1
perunggu.
Mencermati kondisi tersebut, Pemerintah Aceh menyusun rencana strategis
pembinaan prestasi olah raga sepak bola, Pemerintah Aceh menggagas dan
mengambil alternatif pembinaan prestasi sepakbola dengan kegiatan pembinaan
dan pelatihan atlet sepak bola usia 16 tahun ke Paraguay dengan jumlah atlet
sebanyak 30 orang. Tujuan yang diharapkan adalah : (1) Menggali dan
menyiapkan atlet Sepakbola Kabupaten/Kota untuk dibina sejak dini, (2)
Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya cabang olahraga
Sepak Bola melalui IPTEK dan IMTAQ, (3) melahirkan atlet yang berkualitas dan
profesional masa depan.
Pembinaan bakat dan pembibitan olah raga juga menjadi prioritas dan terus
dilakukan, baik melalui event kompetisi maupun peningkatan SDM olahraga dan
diklat, seperti pembinaan diklat olahraga SMA Tunas Bangsa, peningkatan SDM
Olahraga, pembinaan olahraga santri, kegiatan pemasyarakatan olahraga dan
kesegaran jasmani seperti senam massal, gerak jalan, lomba lari serta kompetisi
berbagai cabang olah raga. Aceh sendiri memiliki cabang-cabang olahraga
tradisional yang berpotensi untuk dibina dan dikembangkan menjadi olahraga
prestasi.
Kegiatan-kegiatan pembinaan olah raga di Aceh harus dilaksanakan secara
intensif untuk menumbuhkan kesadaran dan kecintaan terhadap olahraga,
sehingga menjadi medium pembentukan pribadi yang sehat jasmani dan rohani,
disiplin, dan memiliki jati diri yang kuat.
2.3.5 Pariwisata
Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan. Objek dan daya tarik wisata dibagi kedalam 3 kelompok yaitu
Objek dan daya tarik wisata alam, objek dan daya tarik wisata budaya dan objek
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-44
dan daya tarik wisata minat khusus. Aceh memiliki ketiga objek dan daya tarik
wisata tersebut dan tersebar di setiap Kabupaten dan Kota.
Ketiga jenis objek dan daya tarik wisata tersebut terdiri dari ciptaan Allah
SWT berupa keadaan alam, flora dan fauna, hutan, tumbuh-tumbuhan binatang
langka dan lain-lain. Sedangkan objek dan daya tarik wisata budaya berupa karya
manusia terdiri dari museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni
budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata pertualangan, taman rekreasi dan tempat
hiburan. Sedangkan Objek wisata yang menjadi sasaran minat khusus seperti
berburu, mendaki gunung, gua, industri dan kerajinan, tempat perbelanjaan,
sungai air deras, tempat-tempat ibadah, tempat ziarah. Secara lebih jelas dapat
dilihat pada tabel II.18.
Tabel II.18Jumlah Objek Wisata Menurut Jenis di Aceh
No Kab/Kota Jlh ObjekJenis Objek
KetAlam Budaya Minat Khusus
1234567891011121314151617181920212223
Banda AcehAceh BesarPidieBireuenAceh UtaraLhokseumaweAceh TengahBener MeriahLangsaAceh TimurAceh TamiangAceh Barat DayaAceh SelatanAceh SingkilAceh BaratSimeulueNagan RayaAceh JayaAceh TenggaraSubulussalamGayo LuesPidie JayaSabang
4273453533157128113711331083244192514197384622
4222025983325519915742226131412124261217
224614719228341623212160102337335
165114551001200138262030510
TOTAL 808 426 268 99Sumber : Data Base Kebudayaan dan Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh (2009)
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-45
Potensi pariwisata Aceh secara umum sangat menarik, memiliki potensi
wisata bahari yang sangat banyak karena dikelilingi oleh laut beserta puluhan
pulau-pulau kecil. Lokasi Suaka alam/objek wisata alam ada di lokasi 23
Kabupaten dan Kota.
Fasilitas pendukung pariwisata Pemerintah Aceh sebagai berikut 20 hotel
bintang, 25 hotel dan homestay dengan total 1.910 kamar dengan kapasitas 3.820
tempat tidur, 414 rumah makan/restoran dengan total meja 2.861 dengan
kapasitas sekitar 14.227 kursi dan 75 Biro Perjalanan wisata (BPW).
Akibat konflik berkepanjangan dan kehancuran kawasan wisata pantai
akibat bencana tsunami, telah berdampak buruk pada sektor kepariwisataan
Aceh. Jumlah wisatawan asing dan lokal yang berkunjung ke daerah ini semakin
menurun, sehingga secara langsung mempengaruhi usaha bidang jasa perhotelan,
rumah makan dan usaha jasa lainnya. Akan tetapi setelah berakhirnya konplik
dengan ditandatangani Perjanjian Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005, maka
minat wisatawan Mancanegara dan Nusantara datang ke Aceh dari tahun ke tahun
semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat pada tabel II.19.
Tabel II.19Jumlah Kunjungan Wisatawan Tahun 2005 - 2009
No Klasifikasi KunjunganTahun
2005 2006 2007 2008 2009
1. Wisatawan Mancanegara 4.414 11.524 13.835 17.282 18.589
2. Wisatawan Nusantara 296.801 395.691 595.546 710.081 712.630
Sumber : Data Base Kebudayaan dan Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh (2009)
Untuk masa yang akan datang diharapkan sektor pariwisata menjadi sektor
unggulan dalam rangka penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat ekonomi
lemah. Dibangunnya monumen dan Musium Tsunami oleh Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral merupakan andil
yang sangat besar dalam meningkatkan kunjungan wisata baik dalam maupun
luar negeri, demikian juga dilakukan pembinaan kepada masyarakat disekitar
objek wisata, penyediaan sarana dan prasarana kepariwisataan, membuka
peluang sebesar-besarnya kepada investor untuk dapat menanam modalnya di
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-46
Aceh dengan mempermudah layanan dan meringakan beban pajak bagi investor
yang berminat.
Dalam rangka meningkatkan kunjungan wisatawan baik mancanegara
maupun nusantara yang berkunjung ke Aceh. Dukungan yang sangat besar dari
Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yodoyono, pada saat peresmian Bandara
Internasional SIM di Banda Aceh adalah pemberian kewenangan untuk
pelaksanaan “Visa On Arrival (VOA)” atau “Visa Kunjungan Saat Kedatangan
(VKSK)” bagi Warga Negara Asing (WNA) yang masuk melalui pintu Aceh seperti
layaknya Bandara Internasional lainnya di Indonesia.
Pemberlakuan VOA di Bandara SIM merupakan sebuah langkah maju dan
perlu mendapat dukungan semua pihak, sekaligus menjadi salah satu komponen
penting (bukan satu-satunya) dalam rangka memajukan dan mempromosikan
potensi pariwisata Aceh kepada wisatawan dalam dan luar negeri.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa banyak wisatawan
asing yang berminat untuk berkunjung ke Aceh, khususnya untuk menikmati
pesona alam dan keindahan budaya Aceh serta berbagai peninggalan Tsunami.
Namun demikian, kebijakan VOA yang diberlakukan di Aceh nantinya akan
mempermudah dan memperlancar minat wisatawan luar negeri untuk berkunjung
ke Aceh melalui Bandara Internasional SIM.
Seiring dengan semakin berkembangnya sektor kepariwisataan secara
global yang didukung oleh kemajuan sistem informasi, teknologi dan komunikasi
(ITC) yang ditandai dengan peningkatan arus kunjungan wisatawan internasional,
secara tidak langsung telah mempengaruhi berbagai tuntutan penyediaan
komponen atau produk-produk pariwisata yang dibutuhkan oleh wisatawan.
Penyediaan berbagai produk pariwisata tersebut (supply side) dianggap penting
untuk memenuhi kebutuhan wisatawan pada saat berkunjung di sebuah kawasan
wisata yang mencakup ketersediaan daya tarik wisata (wisata
alam/budaya/sejarah), informasi wisata (leaflet, booklet, brosur), aksesibilitas
wisata (sistem transportasi), fasilitas wisata (akomodasi, money changer) dan
industri wisata (agen perjalanan, makanan dan minuman, tour operator,
pramuwisata dan souvenir wisata). Berbagai inisiatif kedepan yang sifatnya
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-47
membangun akan dilakukan oleh Pemerintah Aceh berkerjasama dengan para
stakeholder lainnya dalam rangka mendukung keberhasilan pemberlakuan VOA di
Aceh.
Pariwisata Aceh untuk saat ini dan kedepan diarahkan pada perwujudan
pengembangan pariwisata pada 4 (empat) hal, yaitu sebagai berikut :
1. Syari’at Islam sebagai potensi wisata. Wisata yang berlandaskan Islami bukan
berarti membatasi kegiatan wisatawan non muslim. Namun perlu adanya
toleransi dalam penyediaan kegiatan-kegiatan wisata yang dapat
mengakomodasi kegiatan wisatanya, dalam hal ini harus diterapkan konsep
bahwa syari’at Islam sebagai usaha untuk menjadikan industri pariwisata yang
ada agar sesuai dengan pokok-pokok ajaran Islam.
2. Penyiapan masyarakat dalam pengembangan pariwisata. Bahwa sebagian
masyarakat Aceh masih belum dapat menerima kegiatan-kegiatan
kepariwisataan, mengingat citra pariwisata yang terbayangkan banyak yang
melanggar aturan dalam syari’at Islam. Disisi lain, sektor pariwisata dalam
syariat Islam bukan merupakan sesuatu yang dilarang, selama masih mengikuti
pokok-pokok ajaran agama. Untuk itu akan dilakukan adanya penyiapan
penguatan masyarakat dalam proses pengembangan pariwisata dalam bentuk
sosialisasi dan menumbuhkan pemahaman masyarakat akan kegiatan
pariwisata.
3. Pengembangan pintu masuk utama. Mengenai pengembangan pintu masuk
utama dalam pengembagan wisata di Aceh harus dilakukan kesamaan persepsi
dan mainshaet yaitu berupa Pola pikir terhadap Pulau Sabang dan Bandara
Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) di Blang Bintang, Aceh Besar,
menjadi fokus utama yang harus dikembangkan. Sabang mempunyai
pelabuhan yang akan ditingkatkan menjadi pelabuhan internasional sebagai
salah satu pintu masuk utama bagi pengembangan kepariwisataan di Aceh.
Kalau Sabang menjadi andalan pintu masuk utama jalur laut, maka Bandara
Sultan Iskandar Muda akan memegang peranan penting sebagai pntu utama
Aceh dari jalur udara.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-48
4. Pengembangan Pariwisata yang berwawasan lingkungan. Pengembangan
pariwisata di Aceh harus diarahkan untuk selalu menjaga kebersihan dan
kelestarian lingkungan hidup. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang
mengajarkan bahwa kebersihan itu adalah sebagian dari Iman, wisata
berwawasan lingkungan juga sesuai dengan konsep wisata yang berkelanjutan,
dimana salah satunya adalah menjaga dan melestarikan lingkungan.
2.4 Pendidikan
Pendidikan merupakan urusan strategis yang masih menjadi kewenangan
negara, namun karena keistimewaan dan kekhususan daerah, Pemerintah Aceh
memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan
karakteristik, potensi, dan kebutuhan masyarakat Aceh, yaitu pendidikan yang
Islami sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Qanun Aceh Nomor 23 Tahun
2002 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, yang kemudian direvisi menjadi Qanun
No.5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
Dalam hubungannya dengan keistimewaan Aceh di bidang pendidikan, maka
sejak Tahun 1990 melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 420/435/1990
tanggal 31 Agustus 1990 telah dibentuk Majelis Pendidikan Daerah (MPD), sebuah
badan normatif berbasis masyarakat yang berfungsi memberikan pendapat, saran
dan pertimbangan kepada pemerintah daerah mengenai kebijakan dan
pelaksanaan pendidikan di Aceh, pada Tahun 2006 telah disusun Qanun Nomor 03
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Pendidikan Daerah (MPD)
Provinsi Aceh.
Reformasi pendidikan di tingkat nasional sebenarnya telah dimulai pada saat
Pemerintah RI melakukan reformasi tata pemerintahan dari sistem sentralistik ke
sistem desentralistik. Pengalihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi
dan efektifitas manajemen pendidikan guna meningkatkan kinerja pendidikan
secara menyeluruh, sehingga pemerintah daerah mempunyai kewenangan:
(1) mengawasi dan menilai penyelenggaraan pendidikan pada semua jalur,
jenjang dan jenis pendidikan baik negeri maupun swasta, (2) memberikan
pendapat dan pertimbangan dalam menyusun rancangan anggaran pendidikan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-49
Aceh, (3) mengontrol mutu pendidikan dan (4) mengembangkan sistem
pendidikan berbasis nilai Islami.
Dalam rangka reformasi pendidikan, Pemerintah Aceh telah mengeluarkan
Peraturan Gubernur Aceh No. 26 Tahun 2007 tentang Renstra Pendidikan Aceh
Tahun 2007-2012 yang memberikan pemahaman menyangkut kondisi pendidikan,
arah kebijakan dan tujuan reformasi pendidikan, serta menguraikan berbagai
kebijakan dan strategi dalam mencapai target pembangunan pendidikan yang
telah ditetapkan.
2.4.1 Pemerataan dan Perluasan Akses
Implementasi sistem pendidikan selama konflik dan bencana tsunami cukup
berat sehingga APK/APM kelompok usia 7 - 12 Tahun di SD/MI menunjukkan
kecenderungan berfluktuasi, namun posisi rata-ratanya di atas 90 persen dapat
dipertahankan, bahkan pada kelompok usia 13 - 15 Tahun di SMP/MTs dan usia
16 - 18 Tahun di pendidikan menengah menunjukkan indikasi yang terus
membaik, secara rinci dapat dilihat pada tabel II.20.
Tabel II.20Perkembangan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi
Murni Penduduk Usia Sekolah di Aceh 2007 - 2009
2007 2008 2009
APK PAUD Formal (TK/RA) 16,00% 20.00% 23.00%
APM - SD/MI/Paket A 94.66% 95.06% 95.50%
APM - SMP/MTs/SMPLB/Paket B 86.52% 89.49% 92.59%
APK - SMP/MTs/SMPLB/Paket B 96.59% 97.16% 101.28%
APM - SMA/MA/SMK/SMALB/Paket C 65,92% 68.50% 70.26%
APK - SMA/MA/SMK/SMALB/Paket C 72,06% 73.60% 74.75%
APK - Perguruan Tinggi 19.00% 19.15% 19.40%
IndikatorTahun
Sumber: Dinas Pendidikan (2009)
Diproyeksikan pada Tahun 2012 APM untuk tingkat PAUD TK/RA mencapai
27 persen, tingkat SD/MI mencapai 96 persen, tingkat SMP/MTS mencapai 95
persen dan tingkat SMA/MA/SMK/MAK mencapai 70 persen.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-50
Tabel II.21Proyeksi Angka Partisipasi Murni
Level 2007 Target 2012
TK/RA (4 - 6 Tahun) 16,00% 27%
SD/MI (7 - 12 Tahun) 94,66% 96%
SMP/MTS (13 - 15 Tahun) 86,52% 95%
SMA/MA/SMK (16 - 18 Tahun) 65,92% 70%
Ketersediaan dan penyebaran lembaga pendidikan yang memadai dan
merata merupakan salah satu faktor penting dalam upaya peningkatan APK/APM.
Sampai akhir Tahun 2009, di seluruh Aceh terdapat 1.135 unit TK/RA, 3.838 unit
SD/MI/SDLB, 972 unit SMP/MTs/SMPLB, dan 644 unit SMA/MA/SMALB/SMK
(termasuk SMK Kecil dan Kelas Jauh). Pada jenjang SD/MI; 33,06 persen ruang
kelas sekolah rusak sedang/ringan dan 24,08 persen rusak berat, pada tingkat
SMP/MTs; 19,06 persen rusak sedang/ringan dan 17,19 persen rusak berat, dan
pada tingkat SMA/MA; 14,85 persen rusak sedang/ringan dan 10,69 persen rusak
berat. Secara rinci jumlah sekolah dapat dilihat pada tabel II.22.
Selain pendidikan dasar dan menengah, pemerintah Aceh juga menaruh
perhatian terhadap akses layanan pendidikan tinggi. Sampai akhir Tahun 2009, di
Aceh telah berdiri 76 perguruan tinggi, yang terdiri dari; 8 unit Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) dan 68 unit Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang tersebar diseluruh
wilayah Aceh.
Tabel II.22
Jumlah Sekolah di Aceh Tahun 2008/2009
No Kabupaten/Kota TK/RASD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK
SD MI SMP MTs SMA MA SMK
1 Simeulue 14 110 12 33 9 15 4 22 Aceh Singkil 41 95 5 26 13 19 8 23 Aceh Selatan 68 193 35 30 15 19 11 54 Aceh Tenggara 29 155 26 36 20 21 11 45 Aceh Timur 37 264 46 32 20 20 12 46 Aceh Tengah 88 175 24 34 14 14 9 2
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-51
7 Aceh Barat 28 143 34 22 18 17 6 38 Aceh Besar 129 204 51 50 22 33 17 29 Pidie 108 275 60 51 24 25 12 5
10 Bireuen 78 228 58 51 8 29 6 411 Aceh Utara 106 352 51 72 40 36 23 712 Aceh Barat Daya 24 108 16 15 4 11 1 413 Gayo Lues 15 91 10 17 4 10 2 114 Aceh Tamiang 77 160 21 45 22 17 12 615 Nagan Raya 22 125 20 22 4 14 3 216 Aceh Jaya 17 94 20 17 2 7 4 417 Bener Meriah 31 116 20 30 15 14 10 318 Pidie Jaya 65 89 24 15 11 7 7 119 Banda Aceh 77 81 12 27 9 26 7 720 Sabang 8 30 5 7 2 2 1 121 Langsa 27 61 8 13 7 9 6 822 Lhokseumawe 32 60 8 17 11 9 6 523 Subulussalam 14 70 3 11 5 7 3 0
Total 1135 3279 569 673 299 381 181 82Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, 2009
Selain pendidikan dasar dan menengah, pemerintah Aceh juga menaruh
perhatian terhadap akses layanan pendidikan tinggi. Sampai akhir Tahun 2009, di
Aceh telah berdiri 76 perguruan tinggi, yang terdiri dari; 8 unit Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) dan 68 unit Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang tersebar diseluruh
wilayah Aceh.
Ditinjau dari sudut pandang kesetaraan gender, saat ini tidak terlihat adanya
perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan
layanan pendidikan. Rasio siswa perempuan terhadap siswa laki-laki tingkat SD/MI
sebesar 100,3 persen, pada tingkat SMP/MTS sebesar 102,1 persen, dan pada
tingkat SMA/MA/SMK sebesar 104,0 persen. Sementara pada tingkat Pendidikan
Tinggi, Rasio perempuan terhadap laki-laki mencapai 134,4 persen. Hal ini
diperkirakan sebagai akibat dari banyaknya jumlah perguruan tinggi yang
membuka program studi Keperawatan dan Kebidanan di seluruh Aceh. Pada
Tahun 2012 diharapkan komposisi anak laki-laki akan meningkat mencapai
keseimbangan dengan anak perempuan pada semua jenjang pendidikan.
Kondisi Tahun 2006, jumlah penduduk buta aksara latin usia 15 Tahun ke
atas sebesar 161.209 orang atau 6,02 persen dari total penduduk usia 15 Tahun
ke atas dan sampai Tahun 2012 angka tersebut diproyeksikan berkurang menjadi
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-52
4,5 persen. Kelompok usia 15-24 Tahun merupakan sasaran prioritas
pemberantasan buta aksara, sedangkan usia di atas 25 Tahun merupakan sasaran
tambahan yang perlu ditangani melalui program keaksaraan fungsional.
Pemerintah Aceh tidak hanya melakukan program penghapusan buta aksara latin,
tetapi juga penghapusan buta aksara Al-Qur’an dengan indikator kemampuan
membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.
Permasalahan pendidikan tidak hanya menyangkut penyediaan layanan
pendidikan formal bagi peserta didik, tetapi juga pembekalan ilmu pengetahuan
(knowledge) dan ketrampilan (life skills) bagi setiap anggota masyarakat melalui
program Pendidikan Non Formal (PNF). Pemberantasan buta aksara (illiteracy)
perlu dilakukan secara serius sebagai upaya untuk mencerdaskan seluruh rakyat
dan mendukung pembelajaran sepanjang hidup (life long learning).
Ketersediaan fasilitas pendidikan terus bertambah dari tahun ke tahun,
namun penyebarannya masih belum merata hingga ke daerah-daerah terpencil,
terutama ditingkat SMP/MTs dan SMA/MA/SMK. Kendala lainnya yang dihadapi
adalah manajemen sekolah dan sumber daya guru belum maksikmal, penyebaran
guru yang belum merata antara satu daerah dengan daerah lainnya.
2.4.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing
Penyediaan layanan pendidikan yang berkualitas berkaitan erat dengan
ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan dalam jumlah dan kualitas yang
memadai. Penyebaran guru yang tidak merata, dan rendahnya kualifikasi dan
kompetensi profesional guru masih menjadi permasalahan klasik dalam dunia
pendidikan, sehingga pemerintah terus menerus berupaya melakukan penataan
penyebaran, serta melaksanakan pendidikan dan pelatihan dalam rangka
peningkatan SDM pendidik dan tenaga kependidikan.
Rasio siswa per guru pada Tahun 2008/2009 telah melampaui rasio nasional,
yaitu; pada tingkat SD/MI sebesar 1:13, pada tingkat SMP/MTs 1:9, dan tingkat
SMA/MA/SMK mencapai 1:10.
Persentase guru yang berkualifikasi S1/D4 pada tingkat SD/MI hanya 35,61
persen, sedangkan pada tingkat SMP/MTS sebesar 53,30 persen dan pada tingkat
SMA/MA/SMK mencapai 82,33 persen. Melihat kenyataan tersebut, perlu
diupayakan secepatnya peningkatan kualifikasi guru ke jenjang S1/D4 dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-53
pelatihan untuk meningkatkan kompetensi guru. Pada Tahun 2012 diproyeksikan
sebesar 70 persen guru SD/MI, 100 persen guru SMP/MTS dan SMA/MA/SMK telah
memiliki kualifikasi minimum S1/D4 atau yang sederajat.
Fasilitas pendukung dalam peningkatan mutu pembelajaran belum memadai,
seperti ketersediaan ruang perpustakaan, laboratorium, buku dan alat
praktek/peraga siswa, serta rendahnya partisipasi masyarakat atau dunia
usaha/industri juga menjadi penyebab lain rendahnya mutu pendidikan di Aceh.
Jumlah sekolah yang memiliki perpustakaan pada tingkat SD/MI sebesar 3 persen,
SMP/MTs sebesar 56,51 persen, SMA/MA sebesar 61,50 persen dan SMK/MAK
hanya 10 persen. Jumlah sekolah yang memiliki laboratorium IPA pada jenjang
SMP/MTs sebesar 60,41 persen, SMA/MA sebesar 71,22 persen, dan SMK/MAK
sebesar 66 persen. Sampai dengan akhir 2006 baru 11 persen sekolah menengah
(54 sekolah) yang telah dirintis untuk melaksanakan pembelajaran berbasis
Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT based learning).
Jumlah guru dan jenjang pendidikan tahun 2008 – 2009 yang tersebar di
kabupaten/kota secara rinci dapat dilihat pata tabel II.23.
Tabel II.23Jumlah Guru Menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2008/2009
No Kabupaten/Kota TK/RA SD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK
SD MI SMP MTs SMA MA SMK 1 Simeulue
36
936
80
1,428
45
407
82
40
2 Aceh Singkil
180
1,913
48
438
398
653
129
49
3 Aceh Selatan
279
1,985
272
652
1,002
705
294
129
4 Aceh Tenggara
147
1,317
216
2,205
308
713
697
209
5 Aceh Timur
238
2,499
360
1,093
962
863
156
100
6 Aceh Tengah
171
1,986
186
1,316
576
508
130
124
7 Aceh Barat
137
1,259
264
818
140
654
121
209
8 Aceh Besar
533
996
686
1,769
745
1,414
184
177
9 Pidie
228
1,994
472
1,041
689
1,195
302
270
10 Bireuen
297
1,770
336
2,764
252
1,258
156
209
11 Aceh Utara
595
3,610
312
1,209
1,392
1,384
467
236
12 Aceh Barat Daya
168
1,171
136
405
41
482
27
82
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-54
13 Gayo Lues
23
793
56
525
127
219
34
19
14 Aceh Tamiang
355
1,806
168
1,497
610
678
212
138
15 Nagan Raya
79
1,740
152
731
120
291
55
33
16 Aceh Jaya
26
780
136
506
103
244
34
52
17 Bener Meriah
90
1,106
160
852
394
275
218
123
18 Pidie Jaya
75
1,031
160
560
55
344
35
10
19 Banda Aceh
561
1,438
152
2,041
596
1,161
264
326
20 Sabang
25
277
81
392
64
106
34
46
21 Langsa
223
829
68
530
35
454
229
284
22 Lhokseumawe
199
738
116
448
726
527
159
344
23 Subulussalam
55
1,583
49
219
25
70
15
48
Total
4,720
33,557
4,666
23,439
9,405
14,605
4,034
3,257 Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, 2009
Pada Tahun 2012 diproyeksikan seluruh sekolah mulai tingkat SMP/MTs
sampai jenjang SMA/MA/SMK telah memiliki laboratorium dan perpustakaan, serta
sebahagian besar lembaga pendidikan menengah telah menerapkan pembelajaran
berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT).
Pada Tahun ajaran 2008/2009, nilai rata-rata Ujian Nasional (UN) yang
dicapai lulusan SMP/MTs adalah 7,06. Sedangkan SMA/MA/SMK adalah 6,75.
Pada Tahun pelajaran 2011/2012, angka lulusan diharapkan mencapai masing-
masing menjadi 99 persen pada tingkat SD/MI, 95,00 persen pada tingkat
SMP/MTs, serta 89,00 persen pada tingkat SMA/MA dan 85 persen SMK. Capaian
hasil UASBN SD/MI diupayakan mencapai 6,75, hasil UN SMP/MTs mencapai
rata-rata 7,31, hasil Unian Nasional (UN) SMA/MA mencapai 7,40, dan SMK
mencapai rata-rata 7,00.
2.4.3 Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik
Bervariasinya cara merespons pemaknaan Good Governance di kalangan
pelaksana pendidikan baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan satuan
pendidikan, menyebabkan upaya penguatan tata kelola, akuntabilitas dan
pencitraan publik belum berjalan dengan baik. Belum terlaksananya perencanaan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-55
yang mengacu pada Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), lemahnya dukungan
Sistem Informasi Management (SIM) untuk menunjang efektifitas perencanaan
serta kurangnya pengawasan dan evaluasi (internal dan eksternal) merupakan
kendala yang masih dijumpai di lapangan.
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat satuan
pendidikan secara bertahap telah mulai diterapkan, yang ditandai dengan
meningkatnya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan di sekolah, namun belum berfungsi secara optimal. Untuk itu
pembinaan dan pengembangan Gugus SD/MI dan Pendidikan Luar Biasa (PLB),
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), SMP dan Pendidikan Menengah akan
dilanjutkan bersama Pemerintah Kabupaten/Kota dengan menyediakan insentif
pembinaan gugus melalui APBA dan APBN dengan target lebih dari 600 gugus
pada Tahun 2011.
Dalam kurun waktu 2007 - 2012 akan ditempuh langkah-langkah penguatan
tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik melalui peningkatan kapasitas dan
kompetensi aparat perencanaan dan penganggaran serta pengelola pendidikan,
mengembangkan aplikasi SIM secara terintegrasi, memantapkan pelaksanaan MBS
dengan meningkatkan partisipasi masyarakat melalui peningkatan kapasitas
Majelis Pendidikan Daerah dan Komite Sekolah, meningkatkan pengawasan dan
evaluasi (internal dan eksternal) serta mempercepat penyelesaian tindak lanjut
temuan aparat pemeriksa.
2.4.4 Pendidikan Berbasis Nilai Islami
Pemerintah Aceh terus berupaya meningkatkan pendidikan berbasis nilai
Islami antara lain dengan melakukan pelatihan Fahmul Qur’an kepada guru-guru
yang nantinya bisa ditransfer kepada siswa di setiap jenjang sekolah. Khusus
untuk murid Sekolah Dasar telah dilaksanakan pengajian Al-Qur’an sebagai
kegiatan ekstrakurikuler dalam rangka meningkatkan kemampuan baca tulis Al-
Qur’an dan pemahaman isi kandungannya. Selain itu penambahan jam pelajaran
agama Islam pada tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK adalah merupakan upaya untuk
meningkatkan pemahaman nilai-nilai Islam di kalangan siswa.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-56
Dalam upaya penerapan pendidikan berbasis nilai Islami, pemerintah masih
menemui kendala-kendala yang cukup berarti, seperti; belum rampungnya
Kurikulum Plus (kurikulum nasional dan kurikulum lokal yang bernuansa Islami),
masih banyaknya sekolah-sekolah yang tidak memiliki sarana praktek ibadah
(mushalla), kurangnya buku-buku pendidikan agama Islam dan alat-alat
peraga/praktek, belum adanya Standar Operasional dan Prosedur (SOP)
penerapan sistem pendidikan Islami, serta lemahnya kemampuan guru dalam
mengintegrasikan muatan yang bernuansa Islami kedalam setiap mata pelajaran
yang diasuhnya. Di samping itu, pengakuan (akreditasi) dan peningkatan mutu
lembaga pendidikan dayah atau pesantren sebagai lembaga pendidikan formal
alternatif belum terlaksana secara maksimal.
Upaya penyediaan akses layanan pendidikan bagi masyarakat Aceh yang
telah menerapkan syariat Islam dalam berbagai aspek kehidupannya semakin luas
dengan diakuinya dayah atau pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan
formal sesuai dengan karakter dan kekhususan daerah. Upaya serius untuk
menyetarakan dayah dengan lembaga pendidikan formal lainnya dilakukan dengan
cara akreditasi dayah-dayah yang ada di seluruh Aceh yang pada saat ini
berjumlah sekitar 1.200 dayah. Sebanyak 412 dayah diantaranya telah
terakreditasi.
2.5. Kesehatan
Pembangunan Kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak
dasar rakyat untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 28 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
dan No 36 Tahun 2010 tentang Kesehatan. Pembangunan Kesehatan harus
dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya
manusia, yang antara lain diukur dengan Index Pembangunan Manusia (IPM).
Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan dibutuhkan perubahan cara pandang
(mindset) dari paradigma sakit ke paradigma sehat, sejalan dengan Visi Aceh
Mandiri untuk hidup sehat secara berkeadilan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-57
2.5.1 Status Kesehatan
Gambaran status kesehatan diuraikan berdasarkan pencapaian beberapa
indikator seperti; umur harapan hidup, Angka Kematian Bayi (AKB), Angka
Kematian Ibu (AKI), gizi balita dan ibu hamil, serta sebaran penyakit menular.
a) Umur Harapan Hidup (UHH)
Berdasarkan data BPS perkembangan Umur Harapan Hidup (UHH) di Aceh
tahun 2005 adalah 68 tahun, tahun 2006 adalah 68,3 tahun, tahun 2007 adalah
69,08 tahun. Sejalan dengan membaiknya pelayanan kesehatan diharapkan UHH
pada tahun 2012 menjadi 70 tahun.
b) Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan
indikator yang paling sensitif untuk menentukan derajat kesehatan suatu
bangsa/daerah. Pada Tahun 2006 AKI Aceh sebesar 237/100.000 kelahiran hidup
dan pada Tahun 2009 AKI menurun menjadi 179/100.000 kelahiran hidup. Pada
Tahun 2010 hingga 2015 target penurunan AKI secara bertahap akan diupayakan
hingga menjadi 125/100.000 kelahiran hidup sesuai dengan target MDGs 2015.
Sementara itu Angka Kematian Bayi (AKB) di Aceh pada Tahun 2006 sebesar
40/1000 kelahiran hidup. Pada Tahun 2009 AKB Aceh menunjukkan penurunan
menjadi 25/1000 kelahiran hidup (SDKI 2007). Pada Tahun 2010 secara bertahap
akan terus diupayakan penurunan AKB hingga menjadi 26/1.000 kelahiran hidup
pada Tahun 2012 dan terus menurun hingga 15/1000 kelahiran hidup pada Tahun
2015 untuk mendukung target MDGs 2015.
c) Angka Kesakitan
Angka kesakitan di Aceh adalah 22,3 persen, Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) dan diare masih menjadi penyakit utama yang dikeluhkan masyarakat.
Melihat kondisi lingkungan dan perilaku hidup sehat masyarakat yang masih
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-58
memerlukan perhatian maka target angka kesakitan pada Tahun 2012 akan
diturunkan menjadi 15 persen. Dari Sistim Pencatatan Pelaporan Terpadu
Puskesmas (SP2TP) menggambarkan 10 (sepuluh) jenis penyakit yang berasal dari
kunjungan puskesmas dan rumah sakit.
Tabel. II.2410 (sepuluh) Jenis Penyakit Terbanyak Berbasis
Puskesmas dan Rumah Sakit
Sumber : Pengumpulan data formulir SP2TP Puskesmas dan Laporan Rumah Sakit, 2009
Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat di Aceh adalah penyakit infeksi
menular yang berbasis lingkungan seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA),
diare, malaria, tipus abdominalis, tuberkulosis paru dan pneumonia, namun
demikian mulai terjadi peningkatan penyakit degeneratif dan keganasan yang
mempunyai resiko terhadap kesakitan dan kematian seperti penyakit jantung dan
pembuluh darah, diabetes mellitus dan kanker.
Terjadinya beban ganda ini (penyakit menular dan penyakit degenaratif)
disebabkan karena transisi epidemiologi dan perubahan piramida penduduk akan
memberi konsekuensi terhadap jumlah dan jenis pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan masyarakat di masa mendatang. Salah satu upaya kegiatan yang
dilakukan untuk mewaspadai kemungkinan terjadinya peningkatan kasus dan
munculnya penyakit baru telah dilakukan surveilans terpadu penyakit.
No Jenis Penyakit(Berbasis
Puskesmas)
Jumlah Kasus
1 ISPA 167.947
2 Diare 45.009
3 Malaria Klinis 3.918
4 Diare berdarah 3.900
5 Tersangka TBC Paru 3.552
6 TBC paru BTA(+) 1.494
7 Pneumonia 1.449
8 Tifus Perut Klinis 1051
9 Campak 967
10 Demam Berdarah Dengue 566
No Jenis Penyakit(Berbasis Rumah
Sakit)
Jumlah Kasus
1 ISPA 2.482
2 Diare & Gastroentritis 2.628
3 Demam Tifoid 1.486
4 Cedera 1.239
5 Hypertensi 998
6 TBC paru BTA(+) 995
7 DM 773
8 Stroke 771
9 Demam Berdarah Dengue 710
10 Pneumonia 605
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-59
Dari hasil kegiatan tersebut terindentifikasi beberapa jenis penyakit dan pola
penyebarannya di masyarakat. Jenis penyakit diare banyak menyerang golongan
anak terutama balita. tahun 2005 kasus penderita diare 73.892 kasus dengan
penderita balita 37.801 orang (51,22 persen), sedangkan pada Tahun 2006 terjadi
85.071 kasus dan balita yang kena diare 36.960 orang (43,45 persen), dan pada
Tahun 2008 kasus penderita diare turun menjadi 42.850 kasus (17,88 persen).
Penyakit malaria merupakan penyakit endemis beberapa daerah di Aceh,
pada tahun 2006 terjadi kasus malaria klinis 29.283 dan malaria positif 4.852
kasus. Pada tahun 2008 terjadi 36.012 kasus malaria klinis dan malaria positif
5.738 kasus. Angka kematian malaria tahun 2006 sebesar 0,01 persen, sehingga
pada tahun 2012 angka kematian malaria ditargetkan menjadi 0 persen.
Jumlah kasus Tuberkulosis (TB) Paru pada tahun 2005 sebanyak 4.143 kasus
(kasus baru 48,1 persen) sedangkan tahun 2006 ditemukan sebesar 4.209 kasus
(kasus baru 50,2 persen), menunjukkan terjadinya peningkatan kasus karena
penemuan kasus aktif (active case finding) di lapangan. Pengendalian penyakit TB
dengan strategy DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse chemoteraphy)
hingga Tahun 2008 telah dilakukan di seluruh kabupaten kota. Strategy ini telah
dapat menurunkan insiden kasus TB dari 130/100.000 penduduk menjadi
104/100.000 penduduk. Pada tahun 2012 ditargetkan semua kasus dapat
terdeteksi dan diobati (case detection rate 100 persen).
Jumlah kasus dan kematian Demam Berdarah Dengue (DBD) pada tahun
2005 dijumpai 629 kasus sedangkan pada tahun 2006 meningkat menjadi 777
kasus. Angka kematian DBD tahun 2005 sebesar 1,59 persen sedangkan pada
tahun 2006 menjadi 1,80 persen. Kasus DBD tertinggi di 3 kabupaten/kota, yaitu;
Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Aceh Besar. Di Kota Banda Aceh, kasus DBD
pada tahun 2007 mencapai 834 kasus, namun pada tahun 2008 menurun menjadi
593 kasus. Hal ini disebabkan program DBD Watch yang dilaksanakan Pemerintah
Kota Banda Aceh yang didukung oleh masyarakat. Sedangkan di Kota
Lhokseumawe dari hanya 255 kasus pada tahun 2007 meningkat menjadi 632
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-60
kasus pada tahun 2008, sementara di Kabupaten Aceh Besar terjadi peningkatan
dari 160 kasus tahun 2007 menjadi 391 kasus tahun 2008. Terjadinya peningkatan
kasus disebabkan karena kondisi lingkungan yang tidak memadai sebagai akibat
dari bencana alam. Dengan mempertimbangkan faktor lingkungan fisik dan
biologis, keterbukaan daerah (transportasi yang memadai) dan mobilitas
penduduk yang tinggi maka pada tahun 2012 ditargetkan semua fasilitas
pelayanan kesehatan mampu meminimalisir kasus kematian dan terlaksananya
kegiatan sistim kewaspadaan dini di masyarakat. Sehingga angka kesakitan dan
kematian bisa diturunkan.
Penyakit menular HIV/AIDS telah teridentifikasi pada tahun 2005 sebanyak 2
kasus AIDS sedangkan tahun 2006 dijumpai 7 kasus (4 kasus terdiagnosa AIDS
dan 3 kasus positif HIV). Kasus ini terus meningkat dari tahun ke tahun, 9 kasus
ditemukan pada tahun 2007 dan 10 kasus ditemukan pada tahun 2008, sehingga
total kasus HIV/AIDS yang teidentifikasi hingga tahun 2008 mencapai 29 kasus,
dengan 13 kasus kematian. Keadaan ini harus menjadi perhatian semua pihak dan
diharapkan pada tahun 2010 diseluruh kabupaten/kota sudah terbentuk Komisi
Penanggulangan HIV/AIDS, sehingga target penurunan HIV/AIDS pada tahun
2012 dapat tercapai.
Penyakit flu burung merupakan ancaman baru terhadap masalah kesehatan,
pada Tahun 2006 telah ditemukan kasus pada unggas di 10 kabupaten/kota,
sementara pada manusia belum dijumpai. Namun Aceh termasuk dalam katagori
daerah terancam, karena bertetangga dengan Provinsi Sumatera Utara yang telah
dijumpai kasus flu burung pada manusia. Untuk menghadapi ancaman tersebut
maka Pemerintah Aceh mempersiapkan Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin
menjadi rumah sakit umum rujukan provinsi dan mempersiapkan Rumah Sakit Cut
Meutia Lhokseumawe, RS Cut Nyak Dhien Meulaboh dan RS Datu Beru Takengon
menjadi rumah sakit rujukan wilayah. Disamping mempersiapkan pusat-pusat
rujukan juga tidak kalah pentingnya dilakukan sosialisasi dan penyuluhan tentang
antisipasi terhadap kemungkinan flu burung.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-61
Disamping penyakit menular, penyakit tidak menular seperti penyakit
hipertensi, diabetes, kanker masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
terutama di perkotaan yang kemungkinan disebabkan karena perilaku dan pola
hidup.
d) Gizi
Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) pada Balita tahun 2006 memperlihatkan
penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk. Pada tahun 2005 prevalensi gizi
buruk sebesar 4,02 persen dan prevalensi gizi kurang sebesar 34,6 persen. Pada
tahun 2006 terjadi penurunan yaitu prevalensi gizi buruk sebesar 3,2 persen,
sedangkan prevalensi gizi kurang sebesar 19,6 persen. Angka ini lebih rendah dari
angka nasional 25,8 persen (gizi kurang) dan 8,5 persen untuk prevalensi gizi
buruk. Upaya penurunan prevalensi masalah gizi ini terus dilakukan dan
ditargetkan pada tahun 2012 prevalensi gizi buruk dapat diturunkan menjadi < 1
persen (sudah menjadi bukan masalah kesehatan masyarakat) dan prevalensi gizi
kurang menjadi < 15 persen.
Selain asupan gizi yang kurang serta penyakit infeksi yang merupakan akibat
langsung dari kematian, masalah sosial ekonomi masyarakat yang rendah,
ketidaktersediaan pangan di tingkat keluarga dan pola asuh ditingkat keluarga
adalah merupakan faktor yang turut mempengaruhi kondisi status gizi
masyarakat.
2.5.2. Pelayanan Kesehatan
a) Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Pasca tsunami tahun 2005 fasilitas pelayanan kesehatan sebagian besar
mengalami kerusakan sehingga pelayanan kesehatan banyak ditangani oleh
berbagai klinik dan pos-pos kesehatan yang didirikan oleh NGO dan lembaga
lainnya. Berdasarkan profil kesehatan tahun 2009 Jumlah fasilitas kesehatan dasar
yang dapat diakses oleh masyarakat semakin baik, terlihat dari peningkatan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-62
jumlah Puskesmas Rawat Inap, dari 89 unit pada tahun 2007 menjadi 118 unit
pada tahun 2008. Seiring dengan bertambahnya Puskesmas Rawat Inap, maka
jumlah Puskesmas Non rawat Inap, Puskesmas Pembantu dan Puskesmas keliling
semakin berkurang.
Tabel: II.25Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar di Aceh 2007-2008
Sarana/Tahun
Puskesmas Rawat Inap
Puskesmas Non Rawat
Inap
Puskesmas Pembantu
Puskesmas Keliling
2007 89 199 911 306
2008 118 174 903 292
Sumber: Profil Kesehatan Aceh, 2009
Selain itu, fasilitas layanan kesehatan yang terdekat dan langsung dapat
menjangkau masyarakat desa adalah Poskesdes/polindes dan Posyandu. Jumlah
Poskesdes/Polindes dan Posyandu pada Tahun 2008 masing-masing mencapai
2.269 unit dan 7.150 unit. Dari jumlah ini terlihat bahwa fasilitas
Poskesdes/Polindes masih sangat rendah, yaitu 35,16 persen dari jumlah desa
(6.424 desa).
b) Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
Cakupan pelayanan Ante Natal Care (ANC) pada tahun 2005 cakupan
Kunjungan pertama ibu hamil (K1) sebesar 83,12 persen dan Kunjungan keempat
kalinya ibu hamil memberi indikasi untuk mutu pelayanan adalah sebesar 71,92
persen. Sementara pada tahun 2006 cakupan K1 86,23 persen dan K4 76,15
persen. Walaupun terjadi peningkatan cakupan, namun kenaikan ini belum
memberikan gambaran yang menggembirakan karena target nasional untuk ANC
yaitu 90 persen.
Untuk pencapaian target Tahun 2012 maka upaya peningkatan pelayanan
kesehatan ibu hamil menjadi prioritas utama, yaitu semua kelompok sasaran ibu
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-63
hamil akses ke fasilitas kesehatan (100 persen) dan kunjungan keempat kalinya
kepada tenaga kesehatan (K4) meningkat.
Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan juga terlihat
meningkat. Tahun 2005 sebesar 64,7 persen dan terjadi peningkatan sebesar
75,6 persen pada tahun 2006, namun hal ini masih dibawah target nasional
sebesar 80 persen. Sedangkan target pada tahun 2012 diharapkan akan tercapai
sebesar 85 persen.
c) Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif
Pemberian ASI Eksklusif yang direkomendasikan adalah ASI saja sampai bayi
berusia 6 bulan. Di Aceh angka cakupan pemberian ASI eksklusif masih jauh dari
target yang diharapkan. Persentase pemberian ASI eksklusif pada tahun 2005
sebesar 6 persen dari ibu yang melahirkan, pada tahun 2006 sebesar 7,5 persen,
pada tahun 2008 sebesar 10,39 persen dan pada tahun 2012 program pemberian
ASI eksklusif dapat ditingkatkan menjadi 60 persen melalui kegiatan promosi
kesehatan.
d) Pelayanan Imunisasi Bayi dan Balita
Pelaksanaan imunisasi pada bayi dan balita merupakan program utama
dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Setiap Tahunnya
menunjukkan peningkatan yang signifikan. Cakupan Imunisasi BCG, DPT- 1, DPT-
3, Polio-4, Campak, HB-3 dari tahun ke tahun terlihat pada tabel II.26.
Tabel. II.26Peningkatan Cakupan Imunisasi
1. BCG 90% 60% 80.1% 92.8%
2. DPT-1 90% 68% 80.9% 93.2%
3. DPT-3 80% 65% 74.1% 84.2%
4. Polio-4 80% 64% 71.0% 83.4%
5. Campak 80% 64% 71.7% 83.9%
20062005Jenis Imunisasi Target 2004
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-64
Peningkatan cakupan ini disebabkan karena ketersediaan logistik imunisasi di
setiap level pelayanan. Situasi wilayah yang kondusif memungkinkan semua
petugas kesehatan mampu menjangkau kelompok sasaran. Selain itu
penyelenggaraan PIN yang telah berlangsung secara terus menerus memberi
kontribusi terhadap peningkatan cakupan. Pada tahun 2012 diharapkan target
Universal Child Immunization (UCI) dapat dicapai (90 persen).
2.5.3 Kondisi Kesehatan lingkungan
Menilai keadaan lingkungan sehat ada 4 (empat) indikator yaitu (1)
persentase keluarga yang memiliki persediaan air minum sehat, (2) keluarga yang
memiliki jamban sehat, (3) persentase keluarga yang mengelola sampah dan
(4) keluarga yang mengelola air limbahnya dengan baik. Keadaan ini masih jauh
dari yang diharapkan karena situasi lingkungan yang kurang sehat dan perilaku
hidup sehat yang masih perlu mendapat perhatian serta kerusakan lingkungan
akibat bencana yang demikian parah sehingga indikator keberhasilan program ini
belum mencapai target.
Sampai tahun 2012 pembenahan kondisi ini telah diawali dengan
penyuluhan, pergerakan masyarakat serta peningkatan sarana dan prasarana
yang memadai, dengan demikian diharapkan akan terbentuk desa sehat mandiri
sekaligus sebagai cikal bakal kabupaten/kota sehat.
a) Air Bersih
Ketersediaan sarana dan prasarana dasar permukiman berupa air bersih
secara merata dan berkelanjutan turut menentukan tingkat kesejahteraan
masyarakat. tahun 2006 jumlah keluarga yang memiliki akses air bersih masih
sangat minim. Pada tahun 2008 persediaan air bersih dikeluarga 64,00 persen,
Sumber air bersih tertinggi yang digunakan setiap keluarga berasal dari sumur
terlindung 43,03 persen persen, sumur tidak terlindung 24.2 persen, Air ledeng
(pipa) hanya 11,01 persen, sumur pompa 1,67 persen, Air sungai 6 persen, Air
kemasan 5 persen, mata air terlindung 4 persen dan air hujan 1 persen.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-65
Penyediaan air minum berbasis masyarakat yang berpedoman pada Kebijakan
Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis
Masyarakat (AMPL-BM) telah berkembang pesat didukung pendanaan baik
pemerintah maupun pihak lain, seperti lembaga donor, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), swasta (investasi langsung maupun Corporate Sosial
Responsibility) dan Masyarakat. Peningkatan kualitas perencanaan dilakukan
melalui fasilitasi pemerintah Aceh dalam mengimplementasikan Kebijakan Nasional
AMPL-BM.
Terkait dengan pengelolaan air bersih dan jaringannya, terdapat beberapa
instansi pemerintah yang terkait, yakni Perusahaan Daerah Air Minum, Dinas Bina
Marga dan Cipta Karya dan Dinas Kesehatan. PDAM mengelola distribusi air, disain
teknis pembangunan sarana dan prasarana PDAM tersebut berada di bawah
kewenangan Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, sedangkan Dinas Kesehatan
hanya memiliki kewenangan menilai parameter kesehatan dari air yang
didistribusikan. Pada tahun 2012 target air bersih diharapkan mencapai 80 persen.
b) Rumah Sehat
Pada tahun 2005 telah dilakukan pemeriksaan rumah dibeberapa
kabupaten/kota menunjukkan kondisi 42,20 persen dinyatakan sehat dari 401.780
rumah yang dilakukan pemeriksaan. Tahun 2008 jumlah rumah sehat mencapai
58,25 persen. Dari data tersebut maka program sosialisasi terhadap masyarakat
untuk membangun rumah yang sehat terus dilakukan sehingga vektor penyebab
penyakit dari lingkungan sekitar rumah dapat diperkecil. Pada tahun 2012 target
yang diharapkan sebesar 75 persen.
c) Keluarga dengan kepemilikan sarana sanitasi dasar
Pada tahun 2008 ketersediaan jamban keluarga 64,46 persen, ketersediaan
tempat sampah 14,38 persen dan tempat pengelolaan air limbah keluarga 26,35
persen. Dari data tersebut terlihat bahwa masih ada 35,64 persen keluarga yang
tidak memiliki jamban keluarga, 85,72 persen belum memiliki tempat sampah, dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-66
74,65 persen belum memiliki tempat pengolahan air limbah. Pada Tahun 2012
ditargetkan 80 persen keluarga telah memiliki jamban keluarga, tempat sampah,
dan sarana pengolahan air limbah.
2.5.4. Pembiayaan Kesehatan
Secara umum, sumber pembiayaan kesehatan Aceh dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok, yakni: 1) pembiayaan pemerintah; 2) pembiayaan
bersumber dari lembaga pemberi bantuan/donor; dan 3) pembiayaan rumah
tangga dan sektor swasta. Kontribusi masyarakat dalam pembiayaan kesehatan
masih sangat kecil, hasil Susenas tahun 2005 memperlihatkan bahwa kontribusi
per kapita masyarakat Aceh untuk pembiayaan kesehatan selama ini hanya
Rp. 44.847 per kapita/tahun atau sekitar US$ 5 per kapita/Tahun.
Pasca bencana tsunami pembiayaan kesehatan mengalami peningkatan yang
signifikan dengan adanya sumber dana baru yang berasal dari dana bantuan luar
negeri dan APBN yang dikelola oleh BRR.
Tabel II.27Sumber Pembiayaan Kesehatan
No Sumber DanaTahun 2006 (Rp.1000)
Tahun 2007 (Rp.1000)
Ket
1 APBA 35.381.267 43.046.438,
2 APBN(Dekon) 96.810.932 68.545.480,
3 APBN TP 38.661.000 89.100.000,RSU
Provinsi,kab/kota
4 DAK 117.600.000 157.898.000,
5 ADB-DHS 10.352.937 29.259.058,
6 ADB-CWSH 41.014.000 1.246.040,
7 BRR Prov. 133.377.510 113.302.925,
T O T A L 473.197.646 502.397.941,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-67
Pemerintah memprioritaskan tujuan investasi di sektor kesehatan dalam
jangka pendek yakni menghindari economic loss akibat penyakit dan kematian,
dan tujuan investasi jangka panjang yakni human capital investment untuk
pencapaian Millenium Development Goals pada tahun 2015. Pemerintah Aceh
pada tahun 2010 menyelenggarakan pembiayaan kesehatan bagi masyarakat Aceh
melalui program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA).
2.5.5 Fasilitas Kesehatan
Profil kesehatan tahun 2009 menunjukkan jumlah Rumah Sakit Umum di
Aceh sebanyak 49 unit, Puskesmas sebanyak 292 unit dengan pembagian
puskesmas rawat inap 118 unit dan puskesmas non rawat inap 174 unit. Secara
rasio pembangunan puskesmas di Aceh telah mencukupi dimana seluruh
kecamatan telah memiliki puskesmas dengan rasio setiap 100.000 penduduk.
Selain fasilitas kesehatan tersebut diatas di Aceh telah tersedia Pos Kesehatan
Desa (Poskesdes/Polindes) sejumlah 2.269 (35,16 persen), Pos Pelayanan
Terpadu (Posyandu) sebanyak 7.150 unit, dan Puskesmas Pembantu (Pustu)
sebanyak 852 unit. Pada tahun 2012 diharapkan pembangunan
Poskesdes/Polindes mencapai 50 persen.
2.5.6. Sumber Daya Tenaga Kesehatan
Permasalahan tenaga kesehatan di Aceh menyangkut jumlah, kualifikasi
yang kurang memadai dan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata.
Berdasarkan profil kesehatan 2009, terlihat bahwa rasio tenaga kesehatan
terhadap 100,000 penduduk masih dibawah sasaran, kecuali rasio bidan, yang
sudah memadai terhadap rasio penduduk. Sedangkan rasio dokter umum, dokter
gigi, perawat, ahli gizi, dan ahli sanitasi, masih di bawah target rasio. Keberadaan
dan distribusi doker spesialis juga merupakan persoalan yang cukup besar di Aceh.
Sebagian besar tenaga spesialis terkonsentrasi di rumah sakit perkotaan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-68
Pada tahun 2009 tenaga kesehatan di Aceh berjumlah 31.216 personil,
yang terdiri dari: tenaga medis (3,88 persen), tenaga perawat dan bidan (34,25
persen), tenaga farmasi (1,96 persen), tenaga gizi (1,14 persen), tenaga teknisi
medis (1,82 persen), tenaga sanitasi (2,59 persen), tenaga kesmas (2,42 persen),
tenaga kesehatan (48,06 persen), Dokter Spesialis (0,66 persen), Dokter Umum
(2,67 persen) dan Dokter Gigi (0,55 persen). Rasio dokter spesialis per 1:34.050
penduduk, dokter umum 1:6.330 penduduk, Bidan puskesmas 1:3.093 penduduk,
Perawat 1:1.408 Penduduk dan Bidan di desa 1:1,6 desa. Masalah terbesar adalah
penyediaan dokter spesialis dasar (Kebidanan, anak, penyakit dalam dan bedah)
ditambah spesialis penunjang, Anestesi dan Radiologi yang penyebarannya belum
merata.
Pada tahun 2012 ditargetkan 50 persen kebutuhan tenaga dapat terpenuhi
melalui pendidikan dan pelatihan berbasis kompentensi, kontrak tenaga medis dan
para medis, pendidikan formal serta rekrutmen. Disamping itu perlunya
pengembangan institusi pendidikan kesehatan termasuk penyempurnaan
kurikulum pendidikan.
2.6 Sarana dan Prasarana
2.6.1 Sumber Daya Air
a) Pengelolaan Wilayah Sungai
Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam
satu atau lebih daerah aliran sungai dan atau pulau-pulau kecil yang luasnya
kurang atau sama dengan 2.000 km2.. Dalam pembagian kewenangan
pengelolaan wilayah sungai, sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 11 A/PRT/M/2006 telah menetapkan beberapa kategori berdasarkan letak
geografis dan posisi strategis wilayah sungai lintas negara, wilayah sungai lintas
provinsi, wilayah sungai strategis nasional, dikelola oleh pemerintah pusat.
Wilayah sungai lintas kabupaten/kota, dikelola oleh pemerintah provinsi. Wilayah
sungai dalam satu kabupaten/kota dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota.
Sesuai dengan Permen PU dimaksud, Aceh memiliki 11 (sebelas) wilayah
sungai, seperti pada tabel II.28.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-69
Aceh memiliki 408 (empat ratus delapan) daerah aliran sungai (DAS) dengan
kondisi topografis daratan Aceh yang di bagian tengahnya membentang
pengunungan bukit barisan, menyebabkan panjang sungai yang ada rata-rata
relatif pendek sehingga ketika terjadi hujan lebat sering menyebabkan banjir
dengan kecepatan aliran yang tinggi. Hal ini menyebabkan tingginya angkutan
sedimen yang selanjutnya diendapkan di muara sungai membentuk delta dan
menyebabkan penutupan muara.
Pada beberapa muara sungai, endapan sedimen yang terjadi telah
menyebabkan hambatan aliran banjir dan mengganggu lalu lintas kapal/perahu
nelayan. Sungai-sungai yang muaranya sudah bermasalah antara lain: Krueng
Aceh di Aceh Besar, Krueng Baro di Pidie dan Krueng Ulim di Kabupaten Pidie
Jaya, Krueng Peudada di Kabupaten Bireuen, Krueng Idi di Kabupaten Aceh Timur,
Krueng Tamiang di Kabupaten Aceh Tamiang, dan Krueng Meureubo di Kabupaten
Aceh Barat, Krueng Seunagan di Kabupaten Nagan Raya, dan Krueng Singkil di
Kabupaten Aceh Singkil.
Konservasi PendayagunaanPeng.Daya Rusak
A.1. WS Meureudu - Baro Strategis Nasional XX XX XX
2. WS Jambo Aye Strategis Nasional XX XX XX
3. WS Woyla -Seunagan Strategis Nasional XX XX XX
4. WS Tripa - Bateue Strategis Nasional XX XX XX
5. WS Alas - Singkil Lintas Provinsi NAD-Sumut XX XX XX
B.1. WS Krueng Aceh Lintas Kab./Kota XX XX XX
2. WS Pase - Peusangan Lintas Kab./Kota XX XX XX
3. WS Tamiang - Langsa Lintas Kab./Kota XX XX XX
4. WS Teunom - Lambesoi Lintas Kab./Kota XX XX XX
5. WS Krueng Baru - Kluet Lintas Kab./Kota XX XX XX
C.6. WS Pulau Simeulue Dalam Kabupaten Simeulue XX XX XX
TabelL II.28Pengembangan Pengelolaan Wilayah Sungai (Ws) Di Aceh
WILAYAH SUNGAI (WS) LINGKUP WS
Pengelolaan Sumber Daya AirDI PROVINSI NAD
Pengelola: Pemkab Simeulue
Sumber: RTRWN & Permen PU No.11A/PRT/M/2006.Catatan: XX= langkah/kegiatan yang direncanakan/ditetapkan.
(Penetapan dalam RTRWN)Pengelola: Pemeritah Pusat
(Penetapan dalam RTRW Aceh)Pengelola: Pemerintah Aceh
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-70
Untuk mengatasi permasalahan muara dilakukan dengan pengerukan dan
pembangunan Jetty, dan hal ini telah dilakukan pada muara sungai Krueng Aceh
dalam penanganan banjir kanal di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar,
serta di Krueng Idi Kabupaten Aceh Timur.
Untuk penanganan wilayah sungai Lawe Alas Kabupaten Aceh Singkil yang
merupakan sungai terpanjang di Aceh termasuk kategori sungai lintas provinsi
dikelola oleh Pemerintah Pusat. Wilayah sungai Mereudu-Baro, Jambo Aye, Woyla-
Seunagan dan Tripa-Batee, termasuk wilayah sungai strategis nasional yang juga
dikelola Pemerintah Pusat. Selanjutnya wilayah sungai Krueng Aceh, Pase-
Peusangan, Tamiang-Langsa, Teunom-Lambesoi, dan Krueng Baru-Kluet termasuk
wilayah sungai lintas kabupaten/kota yang dikelola Pemerintah Provinsi. Wilayah
sungai lain yang tidak termasuk ketiga kategori di atas, pengelolaannya menjadi
tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota.
Permasalahan sungai yang sangat krusial adalah banjir, erosi tebing,
sedimentasi dan pendangkalan muara. Dari sungai-sungai yang bermasalah di
Aceh, sampai saat ini telah dibangun prasarana banjir dan pengendalian sungai
sepanjang 109.304 km.
Berdasarkan potensi sumber daya air, wilayah sungai di Aceh
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) wilayah yaitu : 1). wilayah sungai Krueng Aceh
hingga Tiro termasuk wilayah kering dengan curah hujan kurang dari 1.500 mm
pertahun; 2). wilayah sungai Mereudu dan sepanjang pantai timur termasuk
wilayah sedang dengan curah hujan 1.500-3.000 mm pertahun; dan 3). wilayah
pantai barat termasuk wilayah basah dengan curah hujan 3.000-4.500 mm
pertahun.
b) Pengembangan Daerah Irigasi
Potensi lahan pertanian yang tersedia seluas 849.275 ha terdiri dari sawah
beririgasi, sawah tadah hujan, dan daerah rawa. Luas total areal sawah yang
sudah beririgasi adalah 349.774 ha yang terdiri dari: 99.676 ha yang sudah
berigasi teknis, 132.092 ha beririgasi semi teknis, dan 118.006 ha irigasi desa,
Luas sawah tadah hujan adalah 54.746 ha. Sedangkan luas daerah rawa yang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-71
berpotensi untuk dijadikan sawah adalah 444.755 ha, yang terdiri dari; rawa lebak
seluas 366.055 ha dan rawa pantai seluas 78.700 ha.
Salah satu bentuk pemanfaatan sumber daya air yang paling signifikan bagi
pengembangan wilayah Aceh adalah pengembangan irigasi atau pengairan, yang
mendukung pengembangan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Dengan
lahirnya Undang–Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,
wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
pengelolaan daerah irigasi dibagi berdasarkan luasan daerah irigasi. Wewenang
dan tanggungjawab pemerintah pusat pada wilayah irigasi yang luasnya lebih
besar dari 3.000 ha, pemerintah provinsi pada luas 1.000 sampai dengan 3.000 ha
dan pemerintah kabupaten untuk luas lebih kecil dari 1.000 ha.
Secara garis besar untuk pengembangan Daerah Irigasi (DI) yang
ditetapkan di atas mencakup:
1. Pemantapan: dalam arti dominan bersifat mempertahankan dan memelihara
agar kualitas dan kuantitas yang terkandung di dalamnya tetap efektif
memberikan pelayanan;
2. pengembangan: dalam arti dominan bersifat pengembangan atau perluasan
dari yang sudah ada, revitalisasi yang sudah ada namun mengalami penurunan
kualitas dan/atau kuantitas pelayanan, dan/atau pengembangan baru.
Daerah Irigasi (DI) yang ditetapkan sesuai Keputusan Menteri PU
No.390/KPTS/M/2007 adalah DI pada tingkat kewenangan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Aceh sejumlah 56 DI, yang 12 DI di antaranya merupakan
kewenangan Pemerintah Pusat dan 44 DI kewenangan Pemerintah Aceh, seperti
pada tabel II.29.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-72
Luas Baku (Ha) Kewenangan Lokasi: Kab./Kota Keterangan
1. DI Jambo Aye Langkahan 19.360,00
Pemerintan Pusat Aceh Utara, Aceh Timur Peningkatan
2. DI Kr.Jreue/Keuliling 8.077,00
Pemerintan Pusat Aceh Besar Pemantapan
3. DI Kr.Aceh/Leubok 7.884,00
Pemerintan Pusat Aceh Besar Pemantapan
4. DI Pante Lhong 6.562,00
Pemerintan Pusat Bireuen Peningkatan
5. DI Paya Nie 3.121,00
Pemerintan Pusat Bireuen Peningkatan
6. DI Alue Ubay 4.144,00
Pemerintan Pusat Aceh Utara Peningkatan
7. DI Krueng Pase 8.791,00
Pemerintan Pusat Aceh Utara Peningkatan
8. DI Datar Diana 3.200,00
Pemerintan Pusat Bener Meriah Peningkatan
9. DI Jeuram 12.446,00
Pemerintan Pusat Nagan Raya Pengembangan
10. DI Susoh 5.793,00
Pemerintan Pusat Aceh Barat Daya Peningkatan
11. DI Kutacane Lama 5.425,00
Pemerintan Pusat Aceh Tenggara Peningkatan
12. DI Baro Raya 19.118,00
Pemerintan Pusat Pidie Peningkatan
13. DI Samalanga 2.144,00
Pemerintah Aceh Bireuen, Pidie Jaya Peningkatan
14. DI Paya Ketengga/Alue Merbo 2.200,00
Pemerintah Aceh Langsa, Aceh Timur Peningkatan
15. DI Krueng Pandrah 1.203,00
Pemerintah Aceh Bireuen Peningkatan
16. DI Krueng Peudada 1.071,00
Pemerintah Aceh Bireuen Peningkatan
17. DI Krueng Nalan 1.750,00
Pemerintah Aceh Bireuen Peningkatan
18. DI Cubo/Trienggadeng 1.909,00
Pemerintah Aceh Pidie Jaya Peningkatan
19. DI Krueng Rajui 1.100,00
Pemerintah Aceh Pidie Peningkatan
20. DI Meureudu 1.729,00
Pemerintah Aceh Pidie Jaya Peningkatan
21. DI Jamuan 1.000,00
Pemerintah Aceh Aceh Utara Peningkatan
22. DI Krueng Tuan 2.226,00
Pemerintah Aceh Aceh Utara Peningkatan
23. DI Alue Tumeureu 2.500,00
Pemerintah Aceh Aceh Timur Peningkatan
24. DI Jambo Reuhat 2.625,00
Pemerintah Aceh Aceh Timur Peningkatan
25. DI Uteun Dama 1.300,00
Pemerintah Aceh Aceh Timur Peningkatan
26. DI Peunaron 1.550,00
Pemerintah Aceh Aceh Timur Peningkatan
27. DI Tanggulon 2.000,00
Pemerintah Aceh Aceh Tamiang Peningkatan
28. DI Paya Prang 2.600,00
Pemerintah Aceh Aceh Tamiang Peningkatan
29. DI Kermal 1.200,00
Pemerintah Aceh Aceh Tamiang Peningkatan
30. DI Bebesan Jamur Barat 2.000,00
Pemerintah Aceh Aceh Tengah Peningkatan
31. DI Pante Kuyun 1.557,00
Pemerintah Aceh Aceh Jaya Peningkatan
32. DI Ceurace 2.000,00
Pemerintah Aceh Aceh Jaya Pengembangan
33. DI Babah Nipah 2.000,00
Pemerintah Aceh Aceh Jaya Pengembangan
34. DI Patek 2.650,00
Pemerintah Aceh Aceh Jaya Pengembangan
35. DI Tanoh Anoi 2.500,00
Pemerintah Aceh Aceh Jaya Pengembangan
36. DI Lambesoi 2.000,00
Pemerintah Aceh Aceh Jaya Pengembangan
37. DI Sefuluh 1.000,00
Pemerintah Aceh Simeulue Pengembangan
38. DI Lafakha 1.085,00
Pemerintah Aceh Simeulue Pengembangan
39. DI Suak Lamatan 1.000,00
Pemerintah Aceh Simeulue Pengembangan
40. DI Alue Limeng 2.980,00
Pemerintah Aceh Aceh Barat Daya Pengembangan
41. DI Babah Rote 1.550,00
Pemerintah Aceh Aceh Barat Daya Pengembangan
42. DI Manggeng 1.604,00
Pemerintah Aceh Aceh Barat Daya Pengembangan
43. DI Gunung Pudung 2.250,00
Pemerintah Aceh Aceh Selatan Pengembangan
44. DI Paya Dapur 2.390,00
Pemerintah Aceh Aceh Selatan Pengembangan
45. DI Jambo Dalem 1.000,00
Pemerintah Aceh Aceh Selatan Pengembangan
46. DI Ujung Tanoh 1.000,00
Pemerintah Aceh Aceh Selatan Pengembangan
47. DI Trumon 2.000,00
Pemerintah Aceh Aceh Selatan Pengembangan
48. DI Beutong 1.100,00
Pemerintah Aceh Aceh Selatan Pengembangan
49. DI Kutacane Lama Atas 1.144,00
Pemerintah Aceh Aceh Tenggara Peningkatan
50. DI Lawe Bulan 1.050,00
Pemerintah Aceh Aceh Tenggara Peningkatan51. DI Lawe Kinga/Maha Singkil 1.595,00
Pemerintah Aceh Aceh Tenggara Peningkatan
52. DI Terumtung Pedi 1.500,00
Pemerintah Aceh Aceh Tenggara Peningkatan
53. DI Siluk-luk 1.710,00
Pemerintah Aceh Aceh Tenggara Peningkatan
54. DI Kuta Tinggi 1.200,00
Pemerintah Aceh Aceh Tenggara Peningkatan
55. DI Weih Sejuk 2.175,00
Pemerintah Aceh Gayo Lues Pengembangan
56. DI Weih Tillis 2.500,00
Pemerintah Aceh Gayo Lues Pengembangan
DI (Daerah Irigasi)
Sumber: KepMen PU No.390/KPTS/M/2007.
TABEL II.29Pengembangan Daerah Irigasi (Di) Di Aceh
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-73
c) Pengembangan Waduk dan Bendungan
Dengan kondisi topografi yang berupa pegunungan dan bukit-bukit, Aceh
mempunyai beberapa lokasi yang sangat berpotensi untuk di bangun waduk dan
embung. Sampai tahun 2010 telah dibangun 5 buah embung dan 1 buah waduk.
Salah satu lokasi yang sangat prospektif untuk dibangun waduk adalah di daerah
hulu DAS Jambo Aye di Kabupaten Aceh Utara. Berdasarkan hasil studi kelayakan
yang dilakukan oleh konsultan Rendel Williamson Hydro, Randel Parkman serta
Kennedy & Donkin, pada lokasi tersebut mempunyai kapasitas tampungan waduk
sebesar 4.170.000.000 m3 yang dapat digunakan untuk keperluan irigasi, air
minum, perkotaan dan pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas terpasang
160 Mega Watt. Disamping itu terdapat juga potensi–potensi waduk yang penting
seperti Rukoh di Kabupaten Pidie dengan kapasitas tampungan 142.473.000 m3
yang dapat mengatasi masalah kekurangan air di Daerah Irigasi Baro Raya seluas
19.280 ha, dan Waduk Keumuning di Langsa untuk mengatasi banjir dan air
minum.
Pemanfaatan waduk tersebut sebagian besar memang untuk mendukung
prasarana irigasi, namun ada sejumlah waduk dengan pemanfaatan lainnya yaitu
sumber air baku untuk air bersih dan pembangkit tenaga listrik. Tabel di bawah ini
merupakan daftar waduk di wilayah Aceh yang akan ditingkatkan dan
dikembangkan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-74
d) Pengamanan Pantai
Aceh mempunyai garis pantai sepanjang 2.422 km yang terdiri dari: garis
pantai Aceh daratan sepanjang 1.660 km, Aceh kepulauan sepanjang 762 km
terdiri Pulau Sabang sepanjang 62 km, dan Pulau Simeulue sepanjang 700 km.
Dari total panjang garis pantai tersebut yang rawan mengalami kerusakan akibat
abrasi sekitar 400 km.
Sejak tahun 2005 sampai dengan 2009 telah dibangun prasarana
pengaman pantai sepanjang 30,797 km dan tanggul pengaman air pasang yang
membatasi daerah tambak dan permukiman sepanjang 24,625 km.
Sumber Air Kabupaten/Kota(DI/Daerah Irigasi) (Kecamatan)
1. Waduk Keuliling Alue Keuliling Aceh Besar Irigasi 1.631,2 Ha(DI Kr. Jreue/Keuliling) (Kec.Kuta Cot Glie)
2. Embung Lambadeuk Alue Lambadeuk Aceh Besar Air Bersih & t.a(DI Krueng Aceh) (Kec.Peukan Bada) Irigasi t.a
3. Waduk Leubok Krueng Leubok Aceh Besar Irigasi 515 Ha(DI Kr. Aceh/Leubok) (Kec.Montasik)
4. Waduk Rajui Krueng Rajui Pidie Irigasi 1.000 Ha(DI Krueng Rajui) (Kec.Padang Tiji)
5. Waduk Rukoh Krueng Rukoh Pidie Irigasi (Suplesi 6.920 Ha(DI Baro Raya) (Kec. Seruway) DI Baro Raya)
6. Waduk Tiro Krueng Tiro Pidie Irigasi 6.330 Ha(DI Baro Raya) (Kec. Tiro Truseb)
7. Bendung Karet Krueng Peusangan Bireuen Irigasi t.aKrueng Peusangan
8. Bendungan Jambo Aye Kr.Jambo Aye & Kr.Rubek Aceh Utara Irigasi 10.000 Ha
(DI Jambo Aye/Langkahan) (Kec. Langkahan) Listrik 160 MW9. Waduk Langsa Krueng Langsa Aceh Timur t.a
10. Waduk Rimo Lae Pengecilan Aceh Singkil Irigasi 750 Ha(Kec. Rimo) Air Bersih 2.071 KK
11. Waduk Sianjo-anjo Sungai Sianjo-anjo Aceh Singkil Irigasi 850 Ha
(Kec.Simpang Kanan) Air Bersih 865 KK12. Waduk Paya Seunara Ekosistem Rawa Sabang Air Bersih t.a
(Kec. Suka Karya)
Catatan: t.a = tidak/belum ada data.Sumber: Dep PU Ditjen SDA Satker Balai WSS-I Keg.Pengembangan Air Baku NAD.
Waduk/BendunganNo. Pemanfaatan Besaran
Tabel II.30
Pengembangan Waduk Di Wilayah Aceh
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-75
2.6.2 Bina Marga dan Cipta Karya
Sistem jaringan jalan yang tersedia di Aceh sepanjang 18.943,08 km. yang
terdiri dari jalan nasional sepanjang 1.782,78 km, jalan Provinsi sepanjang
1.701,82 km dan jalan kabupaten sepanjang 10.426,56 km. Kondisinya sampai
saat ini adalah, kondisi mantap jalan nasional adalah 86,18 persen dengan
panjang 1.345,24 km dalam kondisi baik, 191,24 km kondisi sedang, 239,30
kondisi rusak berat, dan 7 km belum tembus. Untuk kondisi mantap jalan provinsi
sebesar 65,90 persen dengan panjang 637 kondisi mantap, 484,13 kondisi
sedang, 560,30 kondisi rusak berat, dan 20 km belum tembus.
Sementara kondisi perkerasan sampai dengan saat ini jalan nasional dengan
pengerasan aspal sebesar 91,75 persen, pengerasan kerikil 3,81 persen dan jalan
tanah 4,47 persen. Sedangan jalan provinsi sampai dengan saat ini dengan
pengerasan aspal sebesar 49,91 persen, pengerasan kerikil 35,95 persen dan jalan
tanah 14,14 persen.
Penyebaran jaringan jalan di Aceh terdiri dari lintas Timur, lintas Tengah,
lintas Barat, feeder road, jalan perkotaan, dan jalan di kepulauan. Sampai dengan
saat ini kemampuan Pemerintah untuk meningkatkan jenis konstruksi jalan relatif
sangat kecil, dibawah 10 persen dari total panjang jalan. Penanganan jalan
banyak bertumpu pada perbaikan-perbaikan untuk mempertahankan kondisi jalan.
Jumlah jembatan pada lintasan jalan nasional sebanyak 794 buah dengan
total panjang 20.393 m. Dari jumlah tersebut sebanyak 660 buah atau sepanjang
16.497 m (80,90 persen) telah dibangun baru (diganti), sedangkan 134 buah lagi
yang setara dengan 3.895,90 m atau 19,10 persen belum diganti masih
merupakan jembatan lama.
Pada ruas jalan provinsi terdapat 638 buah jembatan dengan total panjang
14.137,00 m. Diantaranya 399 buah telah dibangun baru sepanjang 5.971,70 m
atau 42,24 persen. Sedangkan sisanya 239 buah atau 8.165,30 m atau 57,76
persen masih menunggu penggantian. Penggantian diperlukan terutama karena
lebar jembatan yang belum mencukupi, serta kondisinya sendiri sudah tidak
mantap lagi.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-76
Untuk menghadapi tingkat pertumbuhan kendaraan yang cukup tinggi dan
mendukung aktivitas sosial ekonomi masyarakat diharapkan kedepan dilakukan
pembangunan jalan high way dua jalur lintas Timur dengan lebar daerah
penguasaan jalan (Road Of Way/ROW) minimal 100 meter.
Pembangunan perkotaan pada umumnya berkembang pesat dan berfungsi
sebagai pusat aktivitas masyarakat yang dilengkapi dengan berbagai prasarana
dan sarana, baik pelayanan primer maupun sekunder. Kondisi itu menyebabkan
meningkatnya hasrat perpindahan penduduk dari desa ke kota. Perpindahan itu
menyebabkan pertambahan penduduk melebihi daya tampung kota serta melebihi
kemampuan pemerintah untuk menyediakan prasarana dan sarana perkotaan.
Kemudian tumbuhlah kawasan-kawasan kumuh dan tidak sesuai lagi dengan
aturan lingkungan permukiman yang sehat.
Kondisi tersebut diatas dapat dilihat dari segi penataan bangunan,
penempatan jalan dan fasilitas umum lainnya cenderung memanfaatkan tanah
kosong tanpa mempertimbangkan aksesibilitas dan manfaatnya, sehingga kondisi
sanitasi yang tidak memenuhi syarat dengan utilitas yang buruk dan
mencerminkan tata kehidupan yang kurang sehat dan tidak nyaman.
Pada kawasan perkotaan masih ditemui genangan air akibat hujan seluas ±
410 ha dengan frekuensi 2 sampai dengan 4 kali setahun, untuk itu diperlukan
jaringan drainase yang baik agar genangan segera dapat dialirkan ke badan air
terdekat. Ditambah lagi akibat gempa dan tsunami terjadi penurunan permukaan
tanah, sehingga semakin luasnya daerah genangan pada beberapa kawasan.
Data pembangunan prasarana air bersih telah ada di 23 kabupaten/kota
dengan kapasitas terpasang saat ini 4.451,5 lt/dt yang terdiri dari prasarana dan
sarana air bersih perkotaan kapasitas 2.582 lt/dt dengan jumlah unit terbangun 55
unit. Prasarana dan sarana air bersih ibu kota kecamatan (IKK) kapasitas 849 lt/dt
dengan jumlah unit terbangun 92 unit IKK dan prasarana dan sarana air bersih
perdesaan kapasitas 1020,5 lt/dt dengan jumlah unit terbangun 310 unit.
Prasarana dan sarana air bersih yang beroperasi 2.553,3 lt/dt, terdiri atas air
bersih perkotaan 1.947 lt/dt, air bersih ibukota kecamatan (IKK) 478 lt/dt dan air
bersih perdesaan 128,3 lt/dt. Prasarana dan sarana air bersih yang tidak
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-77
beroperasi (dalam kondisi rusak) 583 lt/dt terdiri atas air bersih perkotaan 355
lt/dt, air bersih ibukota kecamatan (IKK) 156 lt/dt dan air bersih pedesaan 67
lt/dt. Instalasi air bersih perkotaan yang belum beroperasi 150 lt/dt. Sementatra
itu prasarana dan sarana air bersih dalam tahap pembangunan 170 lt/dt terdiri
dari air bersih perkotaan 120 lt/dt dan air bersih ibukota kecamatan (IKK) 50 lt/dt,
disamping itu, 1000,2 lt/dt tidak diketahui operasionalnya yang terdiri dari air
bersih perkotaan 10 lt/dt, air bersih ibukota kecamatan (IKK) 165 lt/dt dan
pedesaan 852 lt/dt.
Dengan kapasitas yang terpasang dan seluruh unit terbangun berfungsi,
diharapkan mampu melayani 2.124.249 jiwa atau 52,5 persen dari jumlah
penduduk, dimana daerah perkotaan mampu terlayani 79,6 persen, daerah
kecamatan mampu terlayani 51,6 persen dan pedesaan mampu terlayani 70,6
persen sesuai denngan cakupan daerah pelayanan. Namun target tersebut tidak
akan tercapai, hal ini disebabkan tingginya tingkat kebocoran /kehilangan air fisik
mencapai lebih dari 60 persen dari jumlah produksi, manajemen pengelolaan
sistem penyediaan air minum di Provinsi Aceh masih buruk dan rendahnya sumber
daya manusia yang ada saat ini. Khususnya tingkat pelayanan air bersih di
perkotaan baru mencapai 27,4 persen. Sedangkan target MDGs sampai tahun
2015 mencapai 80 persen penduduk perkotaan dan 60 persen penduduk
pedesaan.
Jumlah pengelola air minum di Aceh masih sangat terbatas, belum semua
kabupaen/kota memiliki perusahaan air minum. Tahun 2009 jumlah PDAM di Aceh
baru 14 buah, jumlah ini masih sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan
masyarakat baik di pedesaan atau perkotaan dengan kapasitas terpasang saat ini
adalah 4,451,5 lt/dtk.
Untuk menangani limbah rumah tangga khususnya limbah manusia, telah
dibangun Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di 6 kabupaten/kota, namun
yang beroperasi hanya di 3 kabupaten/kota, yaitu Kota Banda Aceh,
Lhokseumawe dan Kabupaten Bireuen. Persentase pelayanan masih sangat
rendah dan diharapkan pada tahun 2015, IPLT telah tersedia di 15
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-78
kabupaten/kota lainnya sehingga dapat melayani 60 persen limbah penduduk di
perkotaan.
Penanganan persampahan masih dalam batas kawasan komersil, tempat
fasilitas umum di perkotaan dengan tingkat pelayanan masih 25 persen. Melalui
Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, Pemerintah Aceh telah menyalurkan bantuan
peralatan berupa Tempat Pembuangan Sementara (TPS), container, armroll truck,
truck sampah, transfer dipo, gerobak sampah dan bulldozer. Pada tahun 2015,
diharapkan semua kabupaten/kota telah menyediakan Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) sampah, sehingga 60 persen sampah di perkotaan dapat teratasi.
Penyediaan perumahan kepada korban konflik masih juga menjadi perhatian
karena dari total 26.751 unit rumah terbakar, telah dibangun kembali melalui dana
reintegrasi Aceh, sedangkan rumah penduduk miskin baru tertangani sebanyak
15.670 unit dari jumlah kebutuhan 236.461 unit di seluruh Aceh.
Pada kawasan terisolir dan perbatasan masih ditemui adanya desa-desa
tertinggal yang belum bebas dari keterisolasian, keterbelakangan baik secara
ekonomi, pendidikan, kesehatan lingkungan maupun sosial budaya. Untuk itu
Pemerintah Aceh akan mengusahakan pelaksanaannya melalui pembangunan,
perbaikan, pemugaran, peremajaan serta pengelolaan dan pemeliharaan
prasarana dan sarana secara terpadu dan berkelanjutan.
Bidang tata ruang ditujukan untuk menata kembali struktur ruang, pola
ruang yang didasarkan pada rencana tata ruang nasional sebagai dasar
pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Implementasi
pembangunan Aceh kedepan menerapkan prinsip Aceh Green yang berorientasi
pada ekonomi lingkungan yang mengutamakan keseimbangan antar aspek dan
pertimbangan ekonomi, sosial dan lingkungan dengan pembangunan antar dan
intra generasi.
2.6.3 Perhubungan
Transportasi, pos dan telekomunikasi, informasi dan Telematika merupakan
urat nadi perekonomian Aceh, dan keberadaannya sangat diharapkan oleh
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-79
masyarakat. Guna mendukung perekonomian yang lebih baik, membuka
keterisolasian dan keterbelakangan daerah diperlukan pembangunan dan
peningkatan transportasi dan telekomunikasi.
Dalam perencanaan pembangunan sarana dan prasarana tranportasi, pos
dan telekomunikasi, kita tidak hanya melihat berdasarkan keinginan dari suatu
daerah tetapi juga harus dilihat dari segi kebutuhan dan pemanfaatannya serta
pengembangan lebih lanjut. Prasarana yang diinginkan berdasarkan sistem
transportasi wilayah dan keterpaduan berbagai Moda yang ada, baik intermoda
maupun antarmoda sehingga pola pergerakan penumpang dan barang menjadi
efektif dan efisien.
2.6.3.1 Transportasi Darat
a) Angkutan Jalan Raya
Jaringan jalan di Aceh meliputi lintas pantai Utara-Timur, lintas pantai Barat-
Selatan, lintas tengah dan feeder road yang menghubungkan seluruh daerah
pedalaman Aceh. Akibat terjadinya gempa bumi dan gelombang tsunami 26
Desember 2004 sebagian besar jalan lintas Barat–Selatan, mulai dari perbatasan
Banda Aceh menuju Aceh Besar, Aceh Jaya dan Aceh Barat mengalami rusak atau
terkelupas termasuk hancurnya jembatan serta fasilitas keselamatan lalu lintas
jalan.
Diharapkan semua sarana dan prasarana termasuk fasilitas keselamatan
angkutan jalan raya baik di jalan kabupaten, jalan provinsi maupun jalan nasional
dalam kondisi mantap, sehingga dapat memberikan kondisi yang aman, nyaman,
efektif dan efisien kepada masyarakat pengguna jalan. Demikian juga dengan
ketersediaan terminal AKAP/AKDP yang representatif dan jumlah bus angkutan
yang memadai. Pembangunan jalan beserta fasilitas pendukung seperti
pembangunan fasilitas keselamatan untuk jalan-jalan Nasional berupa rambu,
marka, traffic light, delineator, guardrail, juga pembangunan beberapa terminal,
keselamatan dan sarana pendukung lainnya dapat didanai melalui APBA, APBN
atau sumber lainnya.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-80
b) Angkutan Perairan Daratan
Angkutan perairan daratan saat ini kondisinya sudah memadai, banyak
daerah-daerah yang dihubungkan aliran sungai dan tidak terjangkau oleh
angkutan jalan raya namun dengan tersedianya angkutan sungai sudah dapat
terpenuhi sarana i dan Simpang Kanan di Kabupaten Aceh Singkil serta aliran
sungai Krueng Meureuangkutan seperti sungai Tamiang di Kabupaten Aceh
Tamiang, aliran sungai Simpang Kirbo dan Suak Seumaseh di Kabupaten Aceh
Barat.
Sarana dan prasarana angkutan perairan darat perlu menjadi perhatian
pemerintah, hal ini dikarenakan fasilitas yang tersedia hanya alat angkut milik
masyarakat yang kurang memenuhi standar keselamatan. Demkian juga halnya
dengan angkutan danau terutama Danau Laut Tawar di Aceh Tengah, fasilitas
yang tersedia belum memadai.
c) Angkutan Penyeberangan
Kondisi prasarana angkutan penyeberangan yang telah dibangun
sebagian telah hancur akibat gempa dan tsunami serta penurunan permukaan
tanah yang mengakibatkan permukaan dermaga ikut turun sehingga tinggi muka
air tidak sesuai lagi dengan kapal yang beroperasi.
Gambaran umum terhadap kondisi eksisting untuk beberapa infrastruktur
pelabuhan penyeberangan di Aceh sebagai berikut :
1. Pelabuhan Ulee Lheue–Banda Aceh dibangun pada tahun 2000, kapasitas
dermaga 2.000 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 5 m LWS, pasca gempa dan
tsunami mengalami kerusakan berat (hancur total) baik fasilitas sisi darat
maupun fasilitas sisi laut. Pemerintah Australia melalui UNDP telah membantu
memfungsikan kembali pelabuhan penyeberangan tersebut untuk melayani
penyeberangan rute Banda Aceh-Balohan dan Banda Aceh-Pulau Aceh.
2. Pelabuhan Penyeberangan Balohan-Sabang dibangun pada tahun 2001,
kapasitas dermaga 1.500 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 4 m LWS, pasca
gempa dan tsunami mengalami kerusakan pada beberapa fasilitas sisi laut
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-81
(Breasting Dolphin rusak berat, dermaga ponton kapal cepat rusak ringan)
dan sisi darat (terminal rusak ringan, gangway rusak berat, talud rusak berat,
pagar rusak berat, lapangan parkir dan jalan rusak ringan). Pembangunan
kembali kerusakan tersebut telah diperbaiki melalui dana BRR Aceh-Nias dan
juga melalui APBN dan APBA.
3. Pelabuhan Penyeberangan Lamteng, Pulau Aceh Kabupaten Aceh Besar yang
dibangun pada tahun 2002, kapasitas dermaga 600 GRT, kedalaman kolam
pelabuhan 4 - 5 m LWS, pasca gempa dan tsunami hanya mengalami
kerusakan ringan pada talud, saat ini Pelabuhan tersebut telah berfungsi
kembali melayani rute penyeberangan Pulau Aceh - Banda Aceh dan Pulau
Aceh - Balohan (Sabang).
4. Pelabuhan Penyeberangan Meulaboh - Aceh Barat dibangun pada tahun 1981,
kapasitas dermaga 500 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 4 m LWS, pasca
gempa dan tsunami mengalami kerusakan berat (hancur total) baik pada
fasilitas sisi darat maupun fasilitas sisi laut. Sampai dengan saat ini belum
dibangun kembali.
5. Pelabuhan Penyeberangan Labuhan Haji - Aceh Selatan dibangun pada tahun
1992, kapasitas dermaga 1.500 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 6 m LWS,
pasca gempa dan tsunami masih bisa berfungsi meskipun mengalami
kerusakan ringan pada fasilitas darat (gedung terminal rusak ringan, talud
causeway rusak ringan, pos tiket rusak berat, pagar rusak total, lapangan
parkir dan jalan lingkungan pelabuhan rusak berat) yang digunakan untuk
penyeberangan Labuhan Haji - Sinabang Kabupaten Simeulue, pada saat ini
telah beroperasi kembali secara normal.
6. Pelabuhan Penyeberangan Sinabang dibangun pada tahun 1982, kapasitas
dermaga 500 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 6 m LWS, pasca gempa dan
tsunami tidak bisa berfungsi secara normal, banyak fasilitas yang mengalami
kerusakan pada fasilitas darat (gedung terminal rusak total, lapangan parkir
rusak berat, talud rusak berat, pagar rusak ringan, jalan pelabuhan rusak
berat), catwalk & breasting dolphin rusak berat (sisi laut), sehingga diperlukan
review design dan telah dilakukan feasibility study untuk relokasi ke lokasi
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-82
baru di lokasi Teluk Kolok sekitar ± 6 km dari kota Sinabang saat ini dalam
tahap pelaksanaan.
7. Pelabuhan Penyeberangan Singkil dibangun pada tahun 2002, kapasitas
dermaga 600 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 5 m LWS, pasca gempa dan
tsunami tidak bisa berfungsi secara normal. yang mengalami kerusakan pada
fasilitas darat (Gedung terminal rusak berat, parkir rusak berat, Talud
causeway-pagar rusak total, jalan rusak berat), catwalk-blok beton-breasting
dan mooring dolphin rusak berat (sisi laut). Pasca gempa 28 Maret 2005 tidak
layak untuk digunakan lagi sehingga perlu direlokasi ke tempat lain, sehingga
diperlukan review design dan telah dilakukan feasibility study untuk relokasi
ke lokasi baru di Pulau Sarok sekitar ± 200 m dari lokasi lama, namun sampai
saat ini belum dibangun.
8. Pulau Banyak - Aceh Singkil pelabuhan penyeberangan yang dibangun pada
tahun 2002, kapasitas dermaga 600 GRT, kedalaman kolam pelabuhan 5 m
LWS, akibat gempa dan tsunami mengalami kerusakan terutama pada fasilitas
darat (Gedung terminal rusak ringan, Talud causeway rusak berat, pos tiket
rusak berat, jalan lingkungan pelabuhan rusak ringan). Pelabuhan yang
melayani penyeberangan rute Pulau Banyak - Singkil dan Pulau Banyak -
Sinabang (Simeulue) saat ini telah beroperasi kembali secara normal.
2.6.3.2 Angkutan Jalan Rel (Prasarana Kereta Api Aceh)
Angkutan dengan menggunakan sarana kereta api pernah beroperasi di
Aceh menyusuri pantai Timur - Utara dari Banda Aceh ke Sumatera Utara,
operasional ini terhenti sejak 1974. Pemerintah Aceh saat ini telah berupaya untuk
menghidupkan kembali prasarana kereta api Aceh dengan membangun jalan rel
mulai Banda Aceh sampai menyambung dengan Sumatra Utara. Standarisasi rel
yang digunakan kelas I dengan lebar spoor 1.435 mm dengan kecepatan rencana
120 Km/ jam dan radius lengkung minimum 800 m, tekanan gandar maksimum 18
ton. Panjang total keseluruhan dari Banda Aceh - Medan 586 km (484 km berada
di Pemerintah Aceh).
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-83
Dalam perencanaan ini ditetapkan adanya keterpaduan antarmoda rel
dengan angkutan laut, jalan rel yang di bangun akan menghubungkan pelabuhan
Kuala Langsa dan pelabuhan Krueng Geukeuh. Untuk lintasan baru yang dibangun
bila membutuhkan lahan maka tanggung jawab pembiayaan pembebasan lahan
adalah 25% masing-masing ditanggung oleh pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota yang dilintasi serta sisanya oleh pemerintah pusat.
Survey/studi kelayakan telah dilakukan oleh konsultan SNCF dari Perancis,
hasil studi tersebut sudah ditindaklanjuti dengan detail engenering design (DED).
Sesuai dengan rencana, pembangunan fisik dimulai secara bertahap mulai tahun
2007. Sampai dengan tahun 2008 rel kereta api baru terbangun sepanjang + 22
km mulai dari Simpang Krueng Mane hingga Cunda, tahun 2009 pelaksanaan
pembangunan lebih dititikberatkan pada fasilitas pendukung dan pelengkap
lainnya, diharapkan pada akhir tahun 2010 dapat dioperasionalkan.
2.6.3.3 Transportasi Laut
Aceh sebagian besar wilayahnya berbatasan dengan perairan maka
transportasi laut memegang peranan penting dalam rangka peningkatan
perekonomian. Pada saat ini Aceh memiliki 10 Pelabuhan Laut/ Samudera baik
dengan status diusahakan maupun tidak diusahakan, terdapat 4 (empat)
Pelabuhan Laut yang diusahakan/dikelola oleh PT. Pelindo-I yaitu: di pantai Timur
terdapat, Pelabuhan Malahayati - Aceh Besar, Pelabuhan Krueng Geukueh -
Lhokseumawe dan Pelabuhan Kuala Langsa - Langsa dan di pantai barat
Pelabuhan Umum Meulaboh - Aceh Barat.
Pelabuhan Laut yang tidak diusahakan/dikelola oleh administrasi pelayaran
(adpel), kantor pelayaran (kanpel), Departemen perhubungan (Dephub) adalah
Pelabuhan Calang, Pelabuhan Susoh, Pelabuhan Tapaktuan, Pelabuhan Sinabang
dan Pelabuhan Singkil. Sedangkan pelabuhan bebas Sabang di kelola oleh
Pemerintah Aceh.
Gambaran umum terhadap kondisi eksisting beberapa infrastruktur
pelabuhan laut sebagai berikut:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-84
1. Pelabuhan Sabang yang dibangun kembali pada tahun 1991, kapasitas sandar
10.000 DWT, dermaga (180 x 25) m, kedalaman kolam pelabuhan melebihi
15 m LWS, pasca gempa dan tsunami masih bisa berfungsi secara normal,
namun masih ada beberapa fasilitas yang mengalami kerusakan seperti pagar
dan gudang. Diharapkan untuk masa yang akan datang Pelabuhan Sabang
menjadi Hub Internasional untuk Indonesia wilayah barat. Saat ini dengan
menggunakan dana APBN melalui BPKS sedang diperluas dermaga dengan
menutup bagian kolam antar trestle sehingga bisa lebih memudahkan
operasional bongkar muat kontainer.
2. Pelabuhan Malahayati - Aceh Besar dibangun kembali pada tahun 1976,
kapasitas sandar 5.000 DWT, dermaga (100 x 15) m, kedalaman kolam 6 m
LWS, pasca gempa dan tsunami masih bisa berfungsi meskipun tidak normal,
terdapat fasilitas yang mengalami kerusakan berat yaitu gedung terminal,
gudang tertutup, kantor operasional, pagar hancur total dan lapangan
penumpukan. Pembanguan kembali fasilitas yang rusak telah dilakukan oleh
pemerintah pusat dan Pemerintah Belanda berupa trestle pelabuhan tersebut
sepanjang (140 x 25) m dan fasilitas lainnya.
3. Pelabuhan Calang - Aceh Jaya dibangun kembali pada tahun 1977,
kedalaman kolam pelabuhan di teluk Calang cukup memungkinkan dibangun
suatu pelabuhan laut yang besar dan mampu disandari oleh kapal dengan
bobot mati diatas 10.000 DWT. Pelabuhan Calang direncanakan menjadi
pelabuhan besar yang representatif untuk pantai Barat - Selatan Aceh. DED
untuk pelabuhan ini telah selesai dibuat dengan bantuan dana dari UNDP.
Target sampai dengan desember 2010 adalah selesainya pembuatan dermaga
untuk sandar kapal penumpang ro-ro, sedangkan untuk pembuatan dermaga
kapal barang akan dikerjakan pada tahun 2011.
4. Pelabuhan Meulaboh memiliki dermaga beton 50 M X 8 M, kedalaman kolam
pelabuhan 2 - 4 m LWS, dan hanya dapat disandari oleh kapal sampai 2.000
DWT. Pasca Tsunami kedalaman kolam semakin dangkal dan beberapa tiang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-85
penyangga dermaga yang patah, sehingga belum bisa disandari oleh kapal
karena kolam pelabuhan yang terlalu dangkal. Kapal besar yang akan masuk
ke pelabuhan terpaksa lego jangkar di lepas pantai Meulaboh jauh dari
dermaga pelabuhan laut yang ada sekarang. Saat ini palang merah singapura
telah selesai membangun sebuah pelabuhan laut di lokasi baru dengan
panjang 92 M x 25 M, dan sudah dioperasionalkan. Namun demikian masih
banyak fasilitas penunjang operasional lainnya yang belum tersedia seperti
instalasi listrik, air bersih, gedung operasional, gudang, lapangan penumpukan
dan lain-lain.
5. Pelabuhan Susoh - Aceh Barat Daya dibangun tahun 2004 termasuk
pelabuhan laut dengan status tidak diusahakan, memiliki dermaga finger
beton 35 m x 10 m, kedalaman kolam pelabuhan 4-6 m LWS. Pasca tsunami
kondisi dermaga masih baik, hanya talud dan gedung kantor pelabuhan dan
gudang mengalami rusak ringan. Pelabuhan ini merupakan satu-satunya pintu
masuk jalur laut yang ada di Kabupaten Aceh Barat Daya.
6. Pelabuhan Sinabang-Simeulue dibangun tahun 1997, dermaga beton
(70 x 8) m, kedalaman kolam 6 - 8 m LWS, mampu disandari oleh kapal 5.000
DWT. Pasca gempa dan tsunami sarana dan prasarana pelabuhan mengalami
rusak berat seperti trestel kapal cepat (dermaga lama) hancur/runtuh. Melalui
BRR Aceh-Nias telah dilakukan perbaikan, namun pada saat gempa bumi pada
bulan April 2010 kembali terjadi kerusakan pada sisi darat sehingga pelabuhan
tidak bisa berfungsi secara normal dan masih perlu dilakukan perbaikan.
7. Pelabuhan Tapaktuan dibangun tahun 1992 termasuk pelabuhan dengan
status tidak diusahakan, memiliki dermaga beton (50 x 8) m, kedalaman
kolam pelabuhan 6-7 m LWS. Dermaganya mampu disandari oleh kapal
dengan bobot mati 3.000 DWT. Pasca tsunami pelabuhan Tapaktuan
mengalami rusak ringan sehingga perlu dilakukan rehabilitasi untuk
mengembalikan kepada fungsi normal dalam melayani transportasi laut di
daerah ini dan masih banyak fasilitas penunjang yang perlu dibenahi.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-86
Operasional pelabuhan masih bisa berjalan meskipun tidak begitu normal.
Telah dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pelabuhan ini dengan
membangun dermaga tambahan dan beberapa fasilitas penunjang operasional
lainnya seperti gudang, kantor operasional, lapangan penumpukan dan lain-
lain dan telah dapat difungsikan untuk melayani kapal dengan bobot mati
sampai 5.000 DWT.
8. Pelabuhan Singkil - Aceh Singkil dibangun tahun 1995, dermaga beton
(50 x 8) m, kedalaman kolam 4 - 6 m LWS, mampu disandari oleh kapal 4.000
DWT. Kerusakan yang terjadi akibat gempa dan tsunami tanggal 26 Desember
2004 tergolong tidak terlalu berat, namun musibah gempa tanggal 28 Maret
2005 sebesar 8,2 SR mengakibatkan kerusakan yang cukup signifikan, kondisi
permukaan tanah umumnya di Singkil mengalami penurunan 1 - 1,5 m,
sehingga pelabuhan terendam dengan air seperti jalan masuk, kantor
operasional dan gudang tertutup. Untuk itu diperlukan penanganan segera
terhadap fasilitas yang rusak agar berfungsi kembali. Perbaikan jalan masuk
menuju pelabuhan sepanjang ±700 m telah dilakukan melalui dana BRR.
Untuk rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas sisi laut dan sisi darat pelabuhan
laut, akan dilakukan dengan mengacu kepada hasil study berupa Review
Desain pelabuhan ini yang telah selesai dilaksanakan pada tahun 2006.
9. Pelabuhan Krueng Geukueh-Lhokseumawe dibangun tahun 1986 termasuk
pelabuhan dengan status diusahakan, memiliki dermaga beton (268 x 25) m,
kedalaman kolam pelabuhan 10 m LWS dan mampu disandari oleh kapal
dengan bobot mati 20.000 DWT. Pasca tsunami pelabuhan Lhokseumawe
mengalami rusak ringan dan telah dilakukan rehabilitasi dan masih ada
fasilitas penunjang yang perlu dibenahi. Pelabuhan ini menjadi pintu masuk
untuk pantai timur Aceh.
10. Pelabuhan Kuala Langsa-Kota Langsa dibangun tahun 1987 termasuk
pelabuhan dengan status diusahakan oleh PT. Pelindo I, memiliki dermaga
beton (75 x 15) m, kedalaman kolam pelabuhan 7 m LWS mampu disandari
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-87
oleh kapal dengan bobot mati 6.000 DWT. Pasca tsunami pelabuhan Kuala
Langsa relatif tidak mengalami kerusakan yang berarti sehingga
operasionalnya masih bisa berjalan secara normal. Namun masih banyak
fasilitas penunjang yang perlu dibenahi. Pelabuhan ini dipersiapkan untuk
menjadi pelabuhan dengan skala regional dan menjadi salah satu pintu masuk
untuk pantai Timur Aceh.
Selain pelabuhan laut baik yang diusahakan dan tidak diusahakan, di Aceh
juga terdapat beberapa Pelabuhan Rakyat (Pelra) yang umumnya mengalami
kerusakan baik ringan maupun berat dan hancur total seperti Pelra Kuala Bakti
yang perlu dilakukan review design, sedangkan yang rusak ringan dan rusak berat
perlu dilakukan rehabilitasi segera supaya bisa kembali berfungsi secara normal
untuk melayani transportasi masyarakat khususnya pasca musibah gempa dan
tsunami. Diantara pelabuhan rakyat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pelabuhan Rakyat Pulau Banyak-Aceh Singkil
2. Pelabuhan Rakyat Kuala Idi-Aceh Timur
3. Pelabuhan Rakyat Kuala Tari-Pidie
4. Pelabuhan Rakyat Kuala Bakti-Simeulue
5. Pelabuhan Rakyat Sibigo-Simeulue
6. Pelabuhan Rakyat Sibadeh-Aceh Selatan
Untuk kelancaran transportasi laut diharapkan semua sarana dan prasarana
telah dibangun/dikembangkan untuk semua pelabuhan baik pelabuhan laut
maupun pelabuhan rakyat (pelra). Terbangunnya fasilitas untuk sisi darat seperti
gedung terminal, kantor operasional, peralatan bongkar muat, dan sebagainya.
Demikian juga untuk fasilitas sisi laut seperti dermaga, trestle, fasilitas navigasi
(fasilitas keselamatan pelayaran seperti rambu suar dll) juga harus sudah
memadai sesuai dengan hirarki dan master plan yang sedang dibuat saat ini.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-88
2.6.3.4 Transportasi Udara
Fasilitas pelayanan transportasi udara tersebar di beberapa lokasi di wilayah
Aceh baik bandara umum (komersil dan perintis) maupun bandara khusus sebagai
berikut:
a. Bandara umum/perintis, yaitu bandara yang melayani penerbangan
umum/perintis, seperti Bandara Sultan Iskandar Muda - Banda Aceh (bandara
komersil), Bandara Malikussaleh - Lhokseumawe (statusnya juga masih sebagai
bandara khusus yang dikelola oleh PT. Arun LNG meskipun saat ini juga sudah
mulai digunakan untuk komersil/umum/perintis), Bandara Lasikin - Sinabang,
Bandara Cut Nyak Dhien - Meulaboh, Bandara Maimun Saleh - Sabang,
Bandara T. Cut Ali - Tapaktuan, Bandara Kuala Batu - Blang Pidie, Bandara
Alas Leuser - Kutacane.
b. Bandar Udara Khusus yakni di Lhoksukon Bandara Point “A“ dengan kapasitas
CN 235 yang dikelola oleh Exxon Mobile Oil.
Gambaran umum terhadap kondisi eksisting beberapa infrastruktur bandara
adalah sebagai berikut:
1. Bandara Sultan Iskandar Muda - Banda Aceh mulai beroperasi pada tahun
1952, jarak dari pusat kota Banda Aceh ± 16 km, runway (2.500 x 45) m, saat
ini mampu didarati oleh pesawat berbadan lebar jenis B-737 dan A-330.
Bandara ini melayani penerbangan nasional dan internasional juga berfungsi
sebagai pangkalan TNI-AU (Lanud) Iskandar Muda. Kondisi saat ini bandara
SIM melayani sekitar 16 kali fligt (landing dan take off) setiap hari oleh
maskapai penerbangan nasional dan internasional.
2. Bandara Maimun Saleh – Kota Sabang, jarak dari pusat kota Sabang ± 7 km,
runway (1.850 x 30) m, saat ini mampu didarati oleh pesawat dengan jenis
F-28. Bandara ini menjadi entry point transportasi udara untuk Pulau Weh
(Sabang). Melayani penerbangan perintis dan logistik Pangkalan TNI-AU
(Lanud) Maimun Saleh serta operasional logistik pasca tsunami. Bandara ini
dipersiapkan menjadi bandara internasional terbatas.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-89
3. Bandara Cut Nyak Dhien – Kabupaten Nagan Raya runway (1.400 x 30) m,
saat ini mampu di darati oleh pesawat dengan jenis Cassa 212 dan F-27.
Bandara ini menjadi entry point transportasi udara untuk wilayah pantai Barat
Aceh, melayani penerbangan perintis dan logistik TNI AU serta operasional
bantuan logistik pasca tsunami. Pada saat ini telah selesai dilakukan rehabilitasi
dan rekonstruksi bandara dan sudah dioperasionalkan.
4. Bandara Kuala Batee - Kabupaten Abdya, jarak dari pusat kota Blang Pidie ±
15 km, runway (800 x 23) m, saat ini mampu didarati oleh pesawat dengan
jenis Cassa 212. Saat ini bandara ini sudah melayani kembali penerbangan
perintis rute Banda Aceh - Blang Pidie - Tapaktuan - Medan (PP).
5. Bandara T. Cut Ali - Tapaktuan, beroperasi pada tahun 1976, jarak dari pusat
kota Tapaktuan ± 21 km, runway (750 x 23) m, saat ini mampu didarati oleh
pesawat dengan jenis Cassa 212 / Dash-7. Saat ini selain melayani
penerbangan perintis rute Banda Aceh - Blang Pidie - Tapaktuan - Medan (PP),
juga telah melayani penerbangan komersial yang dilakukan oleh maskapai
penerbangan Wings Air.
6. Bandara Lasikin - Sinabang, beroperasi pada tahun 1978, jarak dari pusat kota
Sinabang ± 11 km, runway (900 x 23) m, saat ini mampu didarati oleh
pesawat dengan jenis Cassa 212/Dash-7 dan jenis F-28 Pada saat ini telah
diselesaikan rehabilitasi dan rekonstruksi termasuk pengembangan runway
menjadi (1.200 x 23) m dan telah beroperasi secara lebih maksimal dengan
tetap malayani penerbangan perintis dengan rute Sinabang – Medan –
Meulaboh B. Aceh.
7. Bandara Malikussaleh - Lhokseumawe, beroperasi pada tahun 1985, jarak dari
pusat kota Lhokseumawe ± 35 km, runway (1.850 x 30) m, saat ini mampu
didarati oleh pesawat dengan jenis F-28 dan B-737 seri 200 (terbatas). sampai
saat ini tetap melayani penerbangan khusus PT. Arun LNG dan komersil
dengan rute Medan - Lhokseumawe.
8. Bandara Rembele - Takengon, jarak dari pusat kota Takengon ± 20 km,
runway (1.200 x 30) m, mampu didarati oleh pesawat dengan jenis F-27,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-90
Cassa 212 dan Dash 7. Sampai saat ini tetap melayani penerbangan perintis
dengan rute Medan - Takengon - Banda Aceh.
9. Bandara Syekh Hamzah Fansyuri - Singkil, jarak dari pusat kota Singkil ± 22
km, runway yang direncanakan (800 x 23) m diperuntukkan untuk
penerbangan perintis dengan jenis pesawat Cassa 212. Bandara baru ini
diharapkan bisa menjadi pintu masuk transportasi udara untuk wilayah
Kabupaten Aceh Singkil dalam rangka pengembangan wilayah yang memiliki
potensi SDA yang cukup banyak seperti hasil hutan, perkebunan sawit, dan
lain-lain.
10.Bandara Alas Leuser - Kutacane, jarak dari Kutacane ± 20 km, memiliki
runway (1.200 x 30) m yang dibangun dengan bantuan dana Uni Eropa dan
APBA Pemerintah Aceh untuk fasilitas sisi darat lainnya, memiliki kapasitas CN -
212 dan Fokker 50, saat ini melayani penerbangan perintis dengan rute Banda
Aceh - Kutacane - Medan.
2.6.3.5 Pos dan Telekomunikasi
Bidang Pos dan Telekomunikasi merupakan salah satu Bidang yang bernaung
dibawah Dinas Perhubungan Komunikasi, Informasi dan Telematika Aceh dengan
tugas utama melaksanakan pengawasan dan pengendalian serta evaluasi kegiatan
usaha jasa pos dan jasa telekomunikasi serta pembinaan terhadap organisasi yang
bergerak dibidang komunikasi radio.
Pelayanan Pos di Aceh telah menjangkau ke seluruh kabupaten/kota sampai
dengan ke pelosok desa, hal ini ditunjang oleh sebanyak 102 unit kantor pos
didukung oleh 31 unit pelayanan pos bergerak keliling kota, 66 unit pelayanan pos
bergerak keliling desa dan 93 unit pelayanan pos non kantor lainnya serta
didukung oleh usaha jasa swasta yang bergerak dibidang perposan yakni usaha
jasa titipan yang berjumlah 49 unit baik yang bersifat lokal, nasional dan
internasional dan tersebar di seluruh Kabupaten/Kota.
Demikian pula halnya dengan jasa telekomunikasi, kondisi saat ini
masyarakat disuguhkan oleh berbagai kemudahan pelayanan di bidang
telekomunikasi dengan kehadiran berbagai operator telekomunikasi yang semakin
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-91
banyak dengan tarif yang bersaing dan mampu memberi kemudahan dalam
berkomunikasi. Sampai akhir tahun 2009 Operator Telekomunikasi yang sudah
mempunyai izin beroperasi di Aceh sejumlah 6 (enam) perusahaan yaitu PT.
Telkomsel, PT. Excecomindo Pratama, Kandatel Aceh, PT. Gallery Smart Telecom
BNA, PT. Indosat dan PT. Huchison Cp. Telkom BNA.
Untuk pelayanan dibidang telekomunikasi baik fixed telepon maupun selular
telepon telah menjangkau keseluruh Kabupaten/Kota dalam wilayah Aceh.
Kapasitas terpakai untuk fixed telepon telah mencapai 88.766 SST (Satuan
Sambungan Telepon), persentase keberhasilan panggil sebesar 75,64 persen serta
didukung oleh 881 unit warung telekomunikasi. Sedangkan untuk telepon selular
terjadi persaingan yang sehat antar sesama operator telepon selular dalam
pengembangan area layanan, hal ini ditandai dengan menjamurnya pembangunan
Tower Base Transceiver Stasion di Aceh. Pada akhir tahun 2010 akan terbangun
tower pada 13 titik yang tersebar pada 4 Kabupaten/Kota, yaitu Kota Sabang,
Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Aceh Jaya. Tower
Telekomunikasi yang akan dibangun sejumlah 56 titik dan tersebar di seluruh
Aceh dengan ketinggian 80 m, 90 m dan 100 m dan dapat difungsikan sebagai
Tower Bersama.
Meskipun demikian, masih banyak daerah-daerah pedesaan yang belum
menikmati fasilitas telekomunikasi, hal ini merupakan tanggung jawab dari
pemerintah pusat dengan program USO (Universal Service Obligation) dan tidak
tertutup kemungkinan pemerintah daerah berpeluang untuk memperluas
pelayanan dibidang telekomunikasi dengan cara kerja sama operasi (KSO) dengan
operator yang telah ada atau membangun jaringan telekomunikasi tersendiri yang
diusahakan oleh suatu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
Disamping itu terdapat organisasi pengguna frekuensi radio yang menjadi
binaan Dinas Perhubungan Aceh yaitu RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia)
yang sampai dengan saat ini telah beranggotakan sebanyak 1.036 orang dan
ORARI (Organisasi Radio Amatir Indonesia) sebanyak 652 orang. Penggunaan
frekuensi radio oleh organisasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
dalam menanggulangi keadaan darurat dan bencana alam. Setiap anggota
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-92
organisasi berkewajiban memberikan prioritas pengiriman dan penyampaian
informasinya kepada Dinas Perhubungan Aceh sehingga diharapkan para
pengambil keputusan dapat mengetahui adanya musibah dan dapat mengambil
tindakan yang diperlukan dengan cepat dan akurat.
Pelayanan penggunaan frekuensi radio merupakan pelayanan publik tidak
seluruhnya dikelola secara sentral, regulasinya ditetapkan secara nasional namun
pengelolaannya dapat diatur secara bertingkat sesuai ruang lingkup jangkauan
pelayanannya diharapkan dapat meningkatkan sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Hal ini harus didukung oleh regulasi yang tegas, sumber daya manusia
yang handal serta sarana dan prasarana yang memadai sebagaimana yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh khususnya dibidang komunikasi dan informasi.
2.6.3.6 Komunikasi, Informasi dan Telematika
Pembangunan bidang Komunikasi, Informasi dan Telematika meliputi
pembangunan dan pengembangan Sistim Informasi Manajemen Daerah (SIMDA),
penyediaan infrastruktur, penyediaan dan pengelolaan data serta melakukan
pembinaan terhadap sumber daya aparatur di bidang teknologi komunikasi dan
informasi.
Berdasarkan kebijakan, program dan kegiatan yang dilaksanakan, indikator
kinerja yang telah dihasilkan dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Adanya Pengembangan dan Pembinaan terhadap penyiaran daerah untuk
menertibkan siaran Media Radio dan Televisi yang berkualitas;
2. Membangun fasilitas-fasilitas Media Center untuk mendukung penyebaran
informasi secara cepat dan akurat terhadap seluruh masayarkat;
3. Pembangunan dan pengembangan infrastruktur jaringan komunikasi data
dan informasi yang telah tersedia berupa Bandwidth untuk kebutuhan
Dinas/Badan/Lembaga Daerah dengan kapasitas 20 Mbps yang terdiri dari 15
Mbps untuk download dan 5 Mbps Upload;
4. Untuk Jaringan 23 Kabupaten/kota bandwith yang disediakan sebesar 3 Mbps
Simetris termasuk di dalamnya untuk bandwith transforder SCPS 7.936 Kbps
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-93
dan BVP 7963 Kbps. Semua SKPA dan 23 kabupaten memiliki server masing-
masing dan saling terkoneksi;
5. Dalam kaitan ini juga sudah dilakukan pengembangan Infrastruktur
Telematika berupa jaringan interkoneksi Pemerintah Aceh telah dikembangkan
pada perangkat kerja di Pemerintah Aceh, yaitu pada 17 (tujuh belas) Dinas,
19 (Sembilan belas) Badan) dan 1 (satu) Lembaga;
6. Di samping itu Pemerintah Aceh merencanakan akan membangun
Telekomunikasi Aceh (TELCO) menggunakan Teknologi BWA, dimana
pembangunannya akan dilakukan secara bertahap selama 5 tahun dan
diharapkan selesai pada tahun 2015;
7. Untuk mendukung penerapan sistem informasi manajemen pemerintah daerah
telah dibangun sejumlah infrastruktur (perangkat keras) dan aplikasi sistem
informasi (perangkat lunak) pengolah data untuk Dinas/Badan/Lembaga
Daerah, namun belum terpenuhi seluruhnya dan terhadap aplikasi yang telah
selesai dibangun;
8. Database yang telah selesai dibangun meliputi database kepegawaian, sarana
dan prasarana umum pemerintahan, korban konflik, korban tsunami,
pertambangan dan energi, kesehatan, pendidikan, anak yatim, perikanan,
pimpinan pemerintahan, diklat aparatur, koperasi dan UKM, pariwisata dan
database sms Center Gubernur;
9. Pembangunan dan Pengembangan portal pemerintah daerah adalah
penyediaan situs www.bappeda.provaceh.go.id sebagai media penyebaran
informasi Pemerintah Provinsi Aceh melalui internet dan kegiatan ini telah
diselenggarakan kembali mulai pasca tsunami;
10. Untuk ketersediaan data di dalam database dan portal www.nad.go.id telah
dilaksanakan kegiatan pengumpulan data, verifikasi data, updating dan
backup data.
11. Gambaran umum kondisi eksisting terkait dengan sumber daya aparatur
adalah sebagai berikut:
- PNS Tenaga Teknis di bidang ICT Pemerintah Aceh dengan latar belakang
pendidikan Teknologi Komputer, khususnya pada Dinas Perhubungan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-94
Komunikasi Informasi & Telematika (Dishubkomintel) yang mempunyai
fungsi tugas serta kewenangan menjalankan Telematika Pemerintah Aceh
sebanyak 16 orang dengan berbagai bidang keahlian (programmer,
operator jaringan, design grafis, master web, pengelola sistim informasi)
belum termasuk PNS Tenaga teknis Komputer yang berada pada SKPA lain;
- Menjalin hubungan dengan out resourching (UNSYIAH, KPLI, Yayasan Air
Putih & Komunitas IT lainnya);
- Melakukan pengiriman PNS Tenaga Teknis Komputer untuk mengikuti
pendidikan dan pelatihan di Luar Daerah dalam bidang teknologi Informasi
& komunikasi;
12. Pembinaan dan pengembangan sumber daya aparatur bidang teknologi
komunikasi dan informasi telah dilaksanakan Bimbingan Teknis, Workshop dan
sosialisasi serta proses alih teknologi informasi lainnya yang dilaksanakan
pada saat pengembangan sistem infromasi kepada egawai negeri sipil baik di
lingkungan Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.
Diharapkan pada masa yang akan datang dapat terlaksananya penerapan
e-Government, tersedianya database pada masing-masing Dinas/Badan/Lembaga
Daerah, tersedianya sumberdaya aparatur yang handal dibidang teknologi
komunikasi dan informasi serta tersedianya infrastruktur telematika daerah.
2.6.4 Lingkungan Hidup
Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang tidak terkendali
dapat menimbulkan kecendrungan pemanfaatan sumberdaya alam yang
berlebihan (over exploitation), sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan dan
penurunan kualitas daya dukung lingkungan. Keluhan masyarakat yang menuntut
perbaikan kualitas lingkungan ditujukan kepada Pemerintah Daerah sehingga
program kegiatan pengelolaan lingkungan melalui koordinasi pemantauan,
pengawasan dan upaya pemulihan kualitas dan fungsi lingkungan mutlak
diperlukan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-95
Kondisi lingkungan semakin terpuruk akibat eksploitasi sumber daya alam
hutan secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi atau
pemulihan fungsi hutan secara proporsional, begitu juga akibat kegiatan
penambangan galian C yang tidak terkendali menyebabkan kerusakan daerah
aliran sungai yang berdampak hancurnya infrastruktur pendukung ekonomi.
Secara rinci dapat dilihat pada tabel II.31.
Tabel II.31
Kerusakan Lingkungan di Pemerintah Aceh
No. Ekosistem Luas Dampak
1. Terumbu Karang 97.250 Ha2. Manggrove 25.000 Ha3. Padang Lamun 600 Ha4. Muara Sungai 7,5 Km5. Sumber air 1000 sumur6. Hutan 48.925 Ha7. Restorasi pantai 300 Km8. Kehilangan lahan 53.735 titikSumber : CGI (2005)
Kegiatan pemantauan, pengawasan dan upaya pemulihan perlu dilakukan
pengkajian/penelitian lebih lanjut terhadap dampak dari kerusakan yang
diakibatkan oleh limbah tsunami, pencemaran udara yang terjadi akibat aktivitas
rehabilitasi dan rekonstruksi (debu, polusi kendaraan). Selanjutnya permasalahan
krusial yang sering muncul dalam pengelolaan lingkungan hidup antara lain:
perubahan iklim, perambahan kawasan hutan, iIllegal logging, illegal mining,
kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS), pencemaran air dan udara, serta kerusakan
kawasan pesisir.
Alih fungsi lahan berupa perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian ke
pemukiman, dari lahan konservasi ke kawasan budidaya ditemukan di beberapa
Kabupaten/Kota seperti di Aceh Besar, Aceh Utara, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Barat,
Nagan Raya, Aceh Selatan, Subulussalam, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Gayo
Lues, Aceh Timur, dan Tamiang membuat lingkungan menjadi rentan terhadap
ancaman banjir, erosi dan tanah longsor.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-96
Pada saat ini, terdapat 1.626.800 ha lahan kritis dimana 788.600 ha berada
di dalam kawasan hutan (14.7 persen dari total wilayah hutan) dan 738.200 ha
berada di luar kawasan hutan (13.7 persen total wilayah hutan). Menurut
peruntukan lahan seluas 232.902,35 ha (4,24 persen) lahan diklasifikasikan
sebagai lahan kritis. Lahan kritis tersebut terdiri dari padang rumput/ilalang seluas
223.985 ha (3,91 persen), tanah terbuka (tandus, rusak, pembukaan lahan) seluas
18.574,35 ha dan lahan pertambangan 443 ha (0,01 persen). Lahan kritis tersebut
berpotensi mengakibatkan erosi dan sedimentasi di sekitar DAS.
2.6.5 Pertanahan
Tanah merupakan salah satu asset masyarakat yang sangat berharga dan
perlu mendapatkan jaminan hukum melalui sertifikasi, Pemerintah Aceh sesuai
dengan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 mengamanatkan Badan
Pertanahan Nasional menjadi Badan Otonomi Daerah. Hal ini sangat diharapkan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan pengsertifikatan lahan sebagai salah satu
modal usaha bagi masyarakat. Sampai saat ini sertifikasi yang sudah diserahkan
kepada masyarakat diperkirakan sebanyak 68.855 sertifikat baik melalui
APBA/APBN dan BRR.
Selain itu inventarisasi lahan dan registrasi penguasaan kepemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T), penataan pulau-pulau kecil terluar
diperbatasan. Di masa yang akan datang Badan Pertanahan menjadi Badan
Otonomi di daerah baik provinsi maupun kabupaten.
2.6.6 Energi dan Sumber Daya Mineral
Pelayanan listrik Aceh dilakukan oleh PT. PLN, Pemerintah Aceh hanya
memfokuskan melakukan usaha pelayanan pada daerah-daerah terpencil yang
belum terjangkau oleh PT PLN. Kondisi ketenagalistrikan di Aceh dapat
digambarkan sebagai berikut :
1. Kebutuhan energi listrik untuk Aceh saat ini di suplai dari beberapa sistem
dengan porsi, yaitu:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-97
a. Sistem Transmisi 150 kV Sumut-Aceh sebesar 70,12 persen
b. PLTD Isolated sebesar 26,62 persen
c. Sistem Distribusi 20 kV dari wilayah Sumut sebesar 3,26 persen.
d. PLTMH Isolated sebesar 0,75 persen.
Kondisi kelistrikan yang tersambung dalam sistem 150 kV Sumut-Aceh masih
mengalami defisit. Untuk mengatasi defisit tersebut sering harus dilakukan
penurunan tegangan (brown out) dan dalam kondisi tertentu terpaksa
dilakukan pemadaman bergilir.
Daerah isolated yang masih mengalami defisit adalah daerah Aceh Tengah,
dan Aceh Singkil. Untuk mengatasi defisit pada kedua daerah tersebut
dilakukan dengan memanfaatkan suplai 20 kV dari Gardu Induk yang
terdekat.
2. Kapasitas terpasang, pembangkit di Aceh saat ini sebesar 146,5 MW dengan
daya mampu rata-rata 98 MW. Sebagian dari pembangkit tersebut merupakan
isolated murni dan sebagian lagi tersambung ke sistem transmisi 150 kV
melalui jaringan distribusi 20 kV. Pembangkit tersebut sebagian besar (99
persen) adalah jenis PLTD dengan menggunakan bahan bakar minyak (BBM).
Gambaran daya mampu dan daya terpasang pembangkit tertera pada tabel
II.32.
Tabel II.32Kapasitas Terpasang dan Daya Mampu Pembangkit
Wilayah Aceh Tahun 2008
NO. SYSTEM JENISDAYA
TERPASANG (MW)
DAYA MAMPU
(MW)I. GRID 150 Kv * 28.7 21.9
1 Sistem Sumut-Aceh PLTD 15.1 14.02 Sistem Sigli PLTD 13.6 7.9
II. SISTEM ISOLATED 114.2 73.31 Sistem Sabang PLTD 8.1 4.22 Sistem Takengon PLTD 12.8 8.33 Sistem Meulaboh PLTD 34.1 21.6
- Sewa Genset/rental PLTD 6.8 4.84 Sistem Sinabang PLTD 5.4 3.8
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-98
5 Sistem Blang Pidie PLTD 13.7 7.46 Sistem Tapaktuan PLTD 7.0 5.37 Sistem Kutacane PLTD 9.1 6.2
- PLTM Seupakat PLTM 1.9 1.68 Sistem Blangkejeren PLTD 5.4 3.79 Sistem Subulussalam PLTD 9.9 6.4
III.ISOLATED TERSEBAR 3.6 2.8(Pulau Aceh, Pusong, Pulau Balai, Kuala Baru, Haloban)
PLTD 3.6 2.8
TOTAL 146.5 98.0
Sumber : PLN (Persero) Wilayah Aceh
3. Sistem distribusi saat ini, telah mampu mendistribusikan energi listrik sampai
pelosok Aceh dengan rasio elektrifikasi sampai Desember 2008 sebesar 87,21
persen. Kualitas tegangan jaringan distribusi untuk beberapa lokasi masih di
bawah standar, hal ini disebabkan jaringan tegangan menengah (JTM) yang
terpasang mencapai 165 km dari Pusat Pembangkit/Gardu Induk, sehingga
tegangan pada sisi SUTM mencapai 16,5 kV dan pada sisi pelanggan
mencapai 170 volt.
4. Gardu Induk yang telah beroperasi sebanyak 7 (tujuh) unit berada di
sepanjang pantai timur yang disuplai dari system Transmisi 150/20 kV Sumut-
Aceh. Beban puncak total PLN wilayah Aceh pada tahun 2008 sebesar 255
MW dengan produksi sebesar 1.365 GWh. 70 persen dari produksi tersebut
diterima dari system intekoneksi 150 KVa Sumut-Aceh, komposisi beban
puncak digambarkan pada tabel II.33.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-99
Tabel II.33
Komposisi Beban Puncak pada Tahun 2008
NO. Sistem InterkoneksiProduksi DAYA
TERPASANG (MW)
Faktor Beban (%)[GWh] [%]
I. GRID 150 Kv 1017.5 74.5 178.8 66.08
1 Sistem Sumut-Aceh 553.3 40.5 104.7 60.3
2 Sistem Banda Aceh 359.6 26.3 55.4 74.1
3 Sistem Sigli 104.6 7.7 18.7 63.9
II.SISTEM ISOLATED
1 Sistem Sabang 17.6 1.3 2.9 69.4
2 Sistem Takengon 48.3 3.5 14.1 39.1
3 Sistem Meulaboh 104.5 7.6 23.0 51.8
4 Sistem Blang Pidie 36.2 2.6 7.0 59.0
5 Sistem Tapaktuan 26.7 2.0 4.8 63.4
6 Sistem Sinabang 15.2 1.1 2.7 64.8
7 Sistem Kutacane 40.2 2.9 8.6 53.3
4 Sistem Blangkejeren 12.3 0.9 3.0 47.0
5 Sistem Subulussalam 44.4 3.2 9.2 55.0
III.ISOLATED TERSEBAR 3 0.2 0.9 29.2
TOTAL 1365.9 100 255
Sumber : PLN (Persero) Wilayah Aceh
5. Penyaluran energi listrik dalam wilayah Aceh juga mengalami susut distribusi,
kehilangan energi listrik pada saat penyaluran dari pembangkit ke pelanggan
yang diakibatkan oleh berbagai faktor. Faktor penyebab susut distribusi
tersebut antara lain:
a. Faktor teknis adalah kehilangan energi listrik yang diakibatkan oleh kondisi
peralatan yang digunakan.
b. Faktor non teknis, diakibatkan dari kesalahan admisnistrasi dan pemakaian
listrik secara illegal.
6. SAIDI/SAIFI merupakan tolak ukur keandalan penyaluran energi listrik yang
meliputi lama dan jumlah pemadaman rata-rata yang dirasakan oleh
pengguna listrik dalam periode tertentu. Untuk tahun 2005, besarnya SAIDI
mencapai 2.203,77 menit/pelanggan, sedangkan SAIFI 45 kali/pelanggan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-100
7. Pelayanan listrik pada daerah terpencil yang belum terjangkau oleh PT.PLN
dalam jangka pendek telah dilakukan beberapa upaya antara lain pemasangan
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro
Hidro (PLTMH). Jumlah PLTS yang telah disebar pada 11 Kabupaten/Kota
sampai akhir tahun 2004 berjumlah 880 buah (50-120 WP), namun kondisinya
lebih dari 80 % telah mengalami kerusakan. PLTMH yang telah dibangun
dibeberapa Kabupaten seperti Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Aceh
Utara dan Aceh Timur hampir seluruhnya telah mengalami kerusakan
sehingga tidak dapat berfungsi lagi. Hal ini disebabkan oleh keadaan konflik
sehingga lokasi di pedalaman tidak mungkin dijangkau untuk pemantauan.
Penggunaan energi untuk pembangkitan tenaga listrik saat ini masih
bertumpu pada Bahan Bakar Minyak, kecuali sebagian kecil saja yang
memanfaatkan energi alternatif. Usaha pemanfatan sumber energi Non BBM
dalam skala besar seperti Power Plant Nagan Raya 2 x 100 MW sedang dalam
proses tender, PLTA Peusangan 2 x 43 MW dilanjutkan kembali pembangunannya
setelah beberapa tahun terhenti. PLTP Jaboi 1 x 50 MW, PLTP Seulawah Agam 1 x
180 MW dan PLTU Krueng Raya 1 x 100 MW sedang dalam tahap pembuatan
Feasibility Study.
Sampai saat ini kegaiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain
Inventarisasi Lokasi Pengembangan Energi, Survey Pendahuluan Geothermal
Seulawah Agam, Penyusunan Rancangan Qanun Kelistrikan, Pembangunan PLTMH
untuk Pengembangan Listrik Pedesaan.
Usaha pertambangan umum di Pemerintah Aceh dimulai pada tahun 1985
oleh PT. Rao Kencana sebagai pemegang Kuasa Pertambangan (KP) bahan galian
timah hitam Lokop Aceh Timur. Di susul PT. Samana Citra Agung sebagai
pemegang KP untuk bahan galian pasir besi di Lamapanah/Leungah Kecamatan
Seulimum Kabupaten Aceh Besar. Kemudian secara berturut-turut tampil investor
lainnya, yaitu PT. Ara Tutut sebagai pemegang KP bahan galian emas dan PT.
Bintang Purna Manggala sebagai pemegang KP Batubara yang keduanya berlokasi
di kabupaten Aceh Barat, sedangkan PT. Pulau Peunasi Mineral merupakan
pemegang KP bahan galian emas di Pulau Nasi Kabupaten Aceh Besar.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-101
Perizinan dalam bentuk Kontrak Karya (KK) mulai beroperasi di Aceh pada
tahun 1995 yang dipelopori oleh PT. Miwah Tambang Emas. Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) ada dua perusahaan yang
beroperasi di Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1996/1997, yaitu PT.
Meulaboho Energitama dan PT. Aceh Resources and Mineral Coorporation.
Tahun 2005 perkembangan usaha pertambangan Mineral dan Batubara di
Aceh mengalami peningkatan yang cukup berarti, data rekapitulasi jumlah usaha
pertambangan menunjukkan bahwa jumlah Kuasa Pertambangan (KP) sebanyak
25 terdiri atas 11 Pertambangan Batubara, 8 Pertambangan Emas, 2
Pertambangan Timah Hitam, 2 Pertambangan Bijih Besi, 1 Pertambangan Pasir
Besi dan 1 Kontrak Karya Pertambangan Emas dan Mineral pengikutnya.
Khusus untuk pertambangan Pasir Besi yang telah memasuki tahap
Eksploitasi dan Kontrak Karya Pertambangan Emas Eksplorasi, merupakan usaha
pertambangan yang selama ini dikelola oleh Pemerintah Pusat karena proses
perizinannya dilakukan sebelum masa Otonomi Daerah.
Sumber penerimaan daerah bukan pajak yang berasal dari usaha
pertambangan umum adalah berupa iuran tetap (Land Rent/Dead Rent), Iuran
Eksploitasi/Produksi (Royalty) dan Iuran Eksplorasi. Iuran Tetap adalah iuran yang
dibayarkan kepada negara sebagai imbalan atas kesempatan penyelidikan umum,
Eksplorasi atau Eksploitasi pada suatu wilayah kuasa pertambangan. Iuran
Eksploitasi adalah Iuran Produksi yang dibayarkan kepada negara atas hasil yang
diperoleh dari usaha pertambangan Eksploitasi sesuatu atau lebih bahan galian.
Besarnya bagi hasil penerimaan pertambangan umum berdasarkan Undang-
Undang Nomor 25 tahun 1999 adalah sebagai berikut: Iuran Tetap/Landrent:
Pusat 20 persen, Provinsi 16 persen dan Kabupaten/Kota 64 persen. Iuran
Produksi/Royalty : Pusat 20 persen, Provinsi 16 persen, Kabupaten/Kota penghasil
32 persen dan Pemerataan Kabupaten/Kota 32 persen. Mekanisme pembayaran
iuran-iuran tersebut selama ini yaitu disetorkan langsung oleh perusahaan yang
bersangkutan 100 persen ke Kas Negara, dan kemudian Pemerintah
mendistribusikannya kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai proporsinya.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-102
Program/kegiatan dalam bidang pertambangan adalah Pengawasan
terhadap Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan serta pendataan
sumur bor tanpa izin, Survei Cadangan Migas dalam 4 Blok, Pengawasan Usaha
Pertambangan, Pembangunan Pabrik Bahan Galian Posphat di Aceh Tamiang,
Pertemuan Pengusaha Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
Bantuan Peralatan bagi usaha Pertambangan Rakyat, , Pemboran Air Bawah
Tanah, Pemeliharaan Sumur Bor, Survey Pendahuluan Cadangan Batu Bara, Kab.
Aceh Barat, Intensifikasi Pengelolaan Penerimaan Migas Pemerintah Aceh,
Penyusunan Rancangan Qanun Pertambangan Umum.
Jumlah sumur bor yang telah dibangun sebanyak 84 unit, kondisi saat ini
rusak sebanyak 6 unit disebabkan oleh tsunami dan 1 unit akibat teknis
operasional. Untuk masa yang akan datang perlu diaktifkan kembali usaha
pertambangan yang telah terhenti dan mempercepat eksplorasi potensi tambang
bagi perusahaan yang telah memegang izin dan kepada perusahaan yang tidak
melakukan aktifitas eksplorasi akan diambil tindakan. Pendataan kembali hasil
produksi di bidang pertambangan, pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan
pertambangan umum dan rakyat akan ditingkatkan. Selanjutnya direncanakan
pembangunan sumur bor dan sumur pantau pada daerah-daerah yang kritis air,
pengawasan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan ditingkatkan,
sosialisasi peraturan pemboran air bawah tanah, survei potensi tambang,
pembinaan dan bantuan teknis serta peralatan bagi usaha pertambangan rakyat
dan penyelesaian beberapa Qanun yang terkait dengan pertambangan.
2.6.7 Kebencanaan
Terjadinya bencana di Aceh tidak terlepas dari masih belum cukup baiknya
pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Pencemaran dan kerusakan
lingkungan seperti pengrusakan hutan, pencemaran air, udara, tanah dan
terjadinya penggalian tambang merupakan indikasi penurunan kualitas
lingkungan di beberapa Kabupaten/Kota seperti Aceh Besar, Lhokseumawe, Pidie,
Pidie Jaya, Aceh Utara, Bener Meriah dan Aceh Tamiang. Turunnya kualitas
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-103
lingkungan dapat merupakan salah satu potensi ancaman yang harus
diperhitungkan sedini mungkin.
Potensi bencana di Aceh diprediksikan tidak akan berkurang secara
signifikan. Pada dasarnya semua jenis bencana, baik yang disebabkan oleh alam
dan non alam selalu berpotensi mengancam kehidupan,korban jiwa, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis bagi masyarakat.
Mengingat kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis Aceh maka
diperlukan suatu upaya menyeluruh dalam rangka penanggulangan bencana, baik
ketika bencana itu terjadi, sudah terjadi, maupun bencana yang berpotensi di
masa yang akan datang. Hal tersebut merupakan bentuk tanggung jawab
pemerintah Aceh dalam melindungi segenap warga dengan tujuan untuk
memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan, termasuk
perlindungan atas korban bencana.
1. Geologis
Aceh berada di jalur penunjaman dari pertemuan lempeng Asia dan
Australia, serta berada di bagian ujung patahan besar Sumatera yang membelah
pulau Sumatra dari Aceh sampai Selat Sunda; menyebabkan Aceh memiliki catatan
bencana geologis yang cukup panjang. Kejadian bencana geologis di Aceh dapat
dilihat di Gambar II.1.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-104
Gambar II.1 Peta Kejadian Bencana Geologis di Aceh
(Sumber data: Badan Penanggulangan Bencana Aceh)
Sumber : Badan Penanggulangan Bencana Aceh
Kejadian tsunami di Aceh pernah terjadi pada tahun 1797, 1891, 1907 dan
2004. Kejadian tsunami 26 Desember 2004 mengakibatkan 126.915 jiwa
meninggal, 37.063 jiwa hilang, kira-kira 100.000 jiwa menderita luka berat dan
luka ringan disertai 517.000 unit rumah hilang.
Kabupaten/Kota yang pernah mengalami kejadian tsunami adalah Banda
Aceh, Aceh Jaya, Aceh Besar, Aceh Barat, Sabang, Nagan Raya, Aceh Barat Daya,
Simeulue, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, dan Aceh Timur
ancaman ini akan tetap terjadi di Kabupaten/Kota yang sama.
Gempa bumi yang terjadi selama kurun waktu 2005-2009 di Aceh sebanyak
27 kali. Kejadian diprediksi akan berulang karena Aceh berada diatas tumbukan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-105
lempeng dan patahan. Dampak yang ditimbulkan selama kurun waktu tersebut
yaitu korban jiwa sebanyak 62 orang, kerusakan harta benda diperkirakan
mencapai 25 – 50 Miliar rupiah, kerusakan sarana dan prasarana 20 – 40 persen,
sedangkan cakupan wilayah yang terkena gempa sekitar 60 – 80 persen, dan 5
persen berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat (terganggunya
mata pencaharian). Kabupaten/Kota yang diperkirakan akan terkena dampak
adalah: Kota Banda Aceh, Kab. Aceh Jaya, Kab. Aceh Barat, Kab. Nagan Raya,
Kab. Simeleu, Kab. Aceh Barat Daya, Kab. Singkil, Kab. Aceh Selatan, Kota
Subulussalam, Kota Sabang, Kab. Aceh Besar, Kab. Pidie, Kab. Aceh Tengah, Kab.
Gayo Luwes dan Kabupaten Aceh Tenggara.
Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal
dengan istilah “erupsi”. Hampir semua kegiatan gunung api berkaitan dengan zona
penunjaman lempeng dan kegempaan aktif.
Di Aceh terdapat 3 gunung api tipe A, yaitu gunung Peut Sagoe di
Kabupaten Pidie, Gunung Bur Ni Telong di Kabupaten Bener Meriah dan gunung
Seulawah Agam di Kabupaten Aceh Besar. Sejarah letusan gunung api di Aceh
yang pernah terjadi dapat di lihat di Tabel II.34.
Tabel II.34Bencana Gunung Api Aceh
No Nama Gunung Kejadian dan Korban1 Gunung Peut Sagoe Tahun 1919, 1920, 1978, 1998 tidak
ada catatan korban jiwa.2 Gunung Bur Ni Telong Tahun 1837, 1839, 1856, 1919, dan
1924, dan tidak ada catatan korban jiwa
3 Gunung Seulawah Agam Tahun 1600, 1839 dan 1975, dan tidak ada catatan korban jiwa
Sumber: Pusat Vulkanologi & Mitigasi Bencana, Badan Geologi
Tanah longsor yang terjadi selama kurun waktu 2007-2009 di Aceh
sebanyak 26 kali. Dampak kerusakan harta benda yang ditimbulkan diperkirakan
mencapai 50 – 100 Miliar rupiah, kerusakan sarana dan prasarana 20 – 40 persen,
sedangkan cakupan wilayah yang terkena longsor sangat luas 20 – 40 persen,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-106
serta berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat (terganggunya
mata pencarian) sebesar 5 – 10 persen.
Kabupaten/Kota yang diprediksi masih akan mengalami kejadian ini adalah:
Kota Sabang, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Selatan,
Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Timur,
Kabupaten Gayo Luwes, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Singkil dan
Kabupaten Simeleu.
Sedangkan Kabupaten/Kota yang melaporkan kejadian tanah longsor dalam
3 (tiga) tahun terakhir adalah Sabang, Subulussalam, Bireuen, Nagan Raya, Aceh
Barat, Aceh Selatan, Pidie, Aceh Utara, Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah,
Aceh Barat Daya, dan Aceh Timur. Kejadian ini mengakibatkan 300 unit rumah
rusak, 165 Ha Kebun/Sawah rusak, 6.2 Ha hutan rusak, dan 55.25 km jaringan
jalan/bendungan.
2. Hidro-meteorologis
Aceh memiliki tingkat kompleksitas hidro-meteorologis yang cukup tinggi.
Dimensi alam menyebabkan Aceh mengalami hampir semua jenis bencana hidro-
meteorologis seperti puting beliung, banjir, abrasi dan sedimentasi, badai siklon
tropis serta kekeringan.
a. Puting Beliung
Kejadian puting beliung sering ditemui di wilayah Aceh, hingga saat ini masih
sulit diprediksi lokasi dan waktu kejadian bencana puting beliung. Puting
beliung terjadi di Aceh hampir merata di berbagai daerah. Data kejadian 3
tahun terakhir (dari tahun 2006-2009) terjadi 30 kali bencana puting beliung
di 14 Kabupaten Kota. Kabupaten Aceh Utara mencatat kejadian tertinggi
dibandingkan Kabupaten Kota lainnya.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-107
Untuk melihat kabupaten/kota di Aceh yang rawan bencana geologis dapat
dilihat di Gambar II.2.
Gambar II.2. Peta Kejadian Bencana Hidro-meteorologis di Aceh
Sumber : Badan Penanggulangan Bencana Aceh
b. Banjir
Banjir hampir merata terjadi di berbagai wilayah Aceh, data kejadian 3 tahun
banjir (dari tahun 2006-2009) terjadi 106 kali bencana banjir di 22 dari 23
Kabupaten Kota. Elemen berisiko yang rentan ketika terjadi banjir adalah
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-108
lahan pertanian, peternakan, perdagangan dan jasa di 22 kabupaten/kota di
Aceh, kecuali Kabupaten Simeulu.
Kabupaten Aceh Utara tercatat kejadian tertinggi dibandingkan
Kabupaten/Kota lainnya. Kabupaten kota lain yang terkena bencana banjir
adalah Lhokseumawe, Tamiang, Aceh Besar, Bireuen dan Nagan Raya,
Sabang, Aceh Barat Daya, Aceh Barat, Subulussalam, Singkil, Gayo Lues, Aceh
Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan
Langsa.
c. Abrasi, Erosi dan Sedimentasi.
Abrasi pada 10 tahun terakhir terjadi di pantai barat Aceh yang meliputi
Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh Singkil,
dan Aceh Besar. Di pesisir utara dan timur Aceh bencana abrasi terjadi di
Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, Aceh Utara, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Timur,
dan Langsa.
Kejadian erosi ini ditemui di Aceh Tenggara (Sungai Lawe Alas), Aceh Tengah
(Kawasan Danau Laut Tawar), Tamiang (Krueng Tamiang), Aceh Utara
(Krueng Pase), Bireuen (Krueng Peusangan), Aceh Besar (Krueng Aceh), Pidie
(Krueng Tiro, Krueng Baro), Pidie Jaya (Krueng Beuracan), Aceh Barat
(Krueng Meureubo), dan Nagan Raya (Krueng Tripa).
Akibat sedimentasi yang terjadi dapat mengganggu perekonomian
masyarakat, dangkalnya jalur pelayaran, rusaknya ekosistem terutama
terumbu karang dan transportasi. DAS yang mengalami dampak sedimentasi
besar pada sungai Krueng Aceh, Krueng Peusangan, Sungai Tamiang dan
sungai Krueng Meurebo. Sedimentasi juga terjadi di danau-danau yang ada di
Aceh.
d. Badai Siklon Tropis.
Aceh hingga saat ini mencatat bahwa belum ada jenis badai siklon yang
langsung melanda kawasan Aceh. Namun demikian, ekor dari badai-badai
yang biasanya tumbuh di kawasan Lautan Hindia sering memberi dampak
terutama di kawasan pesisir Barat dan Selatan Aceh.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-109
Potensi badai dapat terjadi di seluruh Kabupaten/Kota yang berada di pesisir
pantai, yaitu Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Kota
Lhokseumawe,Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa, Tamiang, Aceh Jaya,
Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, dan Aceh Singkil.
e. Kekeringan
Daerah yang sering kali mengalami kekeringan yaitu kabupaten Aceh Besar,
Pidie, Pidie Jaya, Bireun, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, dan
Tamiang. Meskipun hingga saat ini belum tercatat jumlah korban jiwa akibat
bencana kekeringan di Aceh, dampak kekeringan cukup berkontribusi
terhadap produktifitas pertanian.
3. Bencana Sosial dan Kesehatan
Kejadian bencana sosial yang menonjol di Aceh adalah konflik yang berlatar
belakang ideologi dan ekonomi, serta Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti penyakit
menular dan atau tidak menular yang dipicu oleh perilaku manusia itu sendiri. Perlu
keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam dalam pembangunan fasilitas
infrastruktur, transportasi umum, permukiman dengan melihat sejarah
kebencanaan, sehingga didapatkan efisiensi ekonomi dalam mengantisipasi
Millenium Development Goals (MDGs) 2015. Secara tidak langsung Aceh dapat
menjadi tempat pembelajaran tentang kebencanaan dan sebagai laboratorium
alam.
a. Konflik
Aceh mempunyai sejarah panjang tentang konflik antar kelompok dan atau
antar golongan masyarakat. Konflik yang pernah terjadi di Aceh Seperti Perang
Cumbok (1945-1946), Pemberontakkan DI/TII (1953-1962) dan juga yang
paling lama adalah Gerakan Aceh Merdeka (1976-2005). Dari ketiga konflik
yang ada di Aceh hampir semuanya dilatar belakangi oleh perbedaan
pandangan politik. Semua hal diatas merupakan suatu pembelajaran yang
dapat menjadi contoh bagi daerah atau Negara lain untuk penyelesaiaan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-110
masalah konflik. Diperlukan suatu kompetensi tentang modul-modul
penyelesaian konflik pada pendidikan formal maupun non-formal.
b. Kebakaran
Data yang dihimpun WALHI Aceh, kebakaran ladang dan atau hutan di Aceh
pada tahun 2008, tercatat 395 titik api, angka ini terbanyak kedua untuk
Provinsi di pulau Sumatera. Titik api tersebut terdapat di Kabupaten Aceh
Barat, Aceh Jaya, Singkil, dan Aceh Tengah. Kebakaran lahan gambut juga
sering terjadi, antara lain di perbatasan Kabupaten Aceh Barat – Aceh Jaya,
yakni di kawasan Desa Leuhan, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh.
Disamping kebakaran lahan atau hutan, Aceh juga mengalami frekuensi
kebakaran pemukiman yang cukup tinggi. Data semester pertama di tahun
2008 menunjukkan bahwa bencana kebakaran perumahan/pemukiman telah
menimbulkan luka ringan 5 jiwa luka berat 7 jiwa, mengungsi 1.228 jiwa dan
meninggal dunia 10 jiwa (Satkorlak Aceh, 2009) dengan wilayah kejadian
tersebar di 11 kabupaten/kota. Pengamatan sekilas kejadian kebakaran di
permukiman dan atau pasar pada umumnya disebabkan oleh hubungan
singkat arus listrik.
c. Wabah Penyakit.
Data Dinas Kesehatan Aceh menunjukkan Kota Banda Aceh menonjol dalam
penyakit DBD dan flu H1N1; Kabupaten Aceh Utara menonjol dalam Diare dan
HIV/AIDS, penyakit malaria paling banyak ditemukan di Kabupaten Aceh Besar,
lumpuh layu dan tetanus neonatorum banyak ditemukan di Kabupaten Pidie.
Kasus Diare banyak menyerang golongan umur anak-anak terutama balita, hal
ini dapat mempengaruhi perkembangan pertumbuhan dan status gizi anak.
Kasus Diare pada tahun 2007 berjumlah 100.789 orang dan Jumlah kasus
diare pada Balita 45.157 orang, Semua Kabupaten/Kota merupakan daerah
yang rawan diare pada balita terutama kasus yang sering terjadi di Pidie, Aceh
Utara, Bireun, Aceh Timur, Aceh tengah, Aceh Tamiang dan Kota
Lhokseumawe.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-111
Demam Berdarah Dengue (DBD) pada tahun 2007 jumlah kasus sebesar 1.724
kasus dan menyebar di 16 (enam belas) Kabupaten/Kota. Kabupaten/kota
yang rawan terhadap DBD adalah: Kota Banda Aceh, Aceh Besar, kota
Lhokseumawe, Kota Langsa, Aceh Barat, Aceh Tamiang dan Aceh Pidie, Biruen,
Aceh Utara.
d. Kegagalan Teknologi.
Kegagalan teknologi adalah semua kejadian yang diakibatkan oleh kesalahan
desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam penggunaan
teknologi dan/atau industri. Aceh mempunyai beberapa industry strategis
seperti pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM) dan kilang LNG Arun di Kabupaten
Aceh Utara, PT SAI di Aceh Besar yang mempergunakan teknologi tinggi dalam
proses produksi dan berpotensi mengalami kegagalan ataupun kecelakaan
yang berdampak bagi lingkungan sekitarnya. Disamping itu beberapa
penggunaan teknologi lain seperti transportasi, pengolahan kelapa sawit dan
karet mempunyai potensi ancaman yang sangat nyata bagi masyarakat Aceh.
Data 10 tahun terakhir tidak tercatat kejadian bencana akibat kegagalan
teknologi baik karena teknologi itu sendiri ataupun akibat sabotase.
2.7 Pemerintahan Umum
2.7.1 Pemerintahan Aceh
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA) memberikan implikasi yang
mendasar dan mengarah pada reformasi kelembagaan dan manajemen publik.
Untuk mendukung pelaksanaan Pemerintahan Aceh ke depan, maka perlu
ditunjang dengan tersedianya sumberdaya manusia aparatur yang profesional dan
proporsional agar mutu pelayanan dapat ditingkatkan. Dengan demikian kontrol
hirarkis dalam organisasi dialihkan ke tangan para aparatur yang berhadapan
langsung dengan pelayanan masyarakat. Dalam konteks pemberdayaan organisasi
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-112
lokal, hendaknya kontrol aturan dan kontrol administrasi dari tingkat pusat
dikurangi agar memiliki keleluasaan bekerja untuk mengendalikan pemerintahan
dan mengembangkan kemampuan organisasinya.
Pemerintah Provinsi Aceh mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk
melakukan pemberdayaan, pembangunan, monitoring evaluasi serta pelayanan
publik secara profesional. Untuk terlaksananya tata kelola pemerintahan yang baik
(good governance), Pemerintah Aceh akan menggunakan seluruh tenaga dan
kemampuan sumberdaya aparatur yang handal dan potensial dibidangnya sesuai
dengan kompetensi yang ada.
Ditinjau dari tingkat pendidikan formal jumlah Aparatur Daerah/Pegawai
Negeri Sipil didominasi sarjana (S1), jumlah ini relatif baik namun masih perlu
dianalisis berdasarkan kualifikasi, potensi teknis dan penempatan pada bidang
terkait, berikut rincian jumlah jenjang pendidikan formal aparatur/PNS Tahun
2009:
TABEL. II.35RINCIAN JEJANG PENDIDIKAN PNS
PADA PEMERINTAH ACEH
NO. PENDIDIKAN JUMLAH
1.2.3.4.5.6.7.8.9.10.
Doktor (S3)Pasca Sarjana (S2)Sarjana (S1)Sarjana (DIV) . Diploma (DIII)Diploma (DII)Diploma (DII)SLTA Sederajat .SLTPSD
4 orang630 orang
3.835 orang9 orang
1.086 orang17 orang15 orang
2.604 orang185 orang66 orang
Jumlah 8.451 orang
Sumber : Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Aceh (tahun 2009)
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-113
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh khususnya yang berkaitan dengan pasal 107, Pemerintah
Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri memiliki kawajiban untuk menyusun
rancangan peraturan pemerintah tentang kewenangan, mekanisme dan prosedur
pengangkatan dan pemberhentian sekretaris daerah provinsi dan sekretaris
kabupaten/kota serta pengaturan tentang pembinaan karir Aparatur
Daerah/Pegawai Negeri Sipil pada umumnya.
Pola pembinaan karir terhadap Aparatur Daerah/Pegawai Negeri Sipil
Pemerintah Aceh harus tetap mengacu kepada pola pembinaan dan
pengembangan karir Aparatur Daerah/Pegawai Negeri Sipil secara nasional yang
pada dasarnya merupakan wewenang dan tanggung jawab Presiden. Agar supaya
sasaran dan arah pembinaan karir Pegawai dilingkungan Pemerintah Aceh dapat
terwujud sebagaimana yang kita harapkan dan masih tetap dalam bingkai NKRI.
Berikut pada tabel II.35 disajikan jumlah dan komposisi Aparatur
Daerah/Pegawai Negeri Sipil pada Kabupaten/Kota sebanyak 75.468 orang (tahun
2009) dengan rincian masing-masing di bawah ini:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-114
TABEL. II.36JUMLAH PNS PADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA
DI PROVINSI ACEH
NO. KABUPATEN/KOTA JUMLAH
1.2.3.4.5.6.7.8.9.10.11.12.13.14.15.16.17.18.19.20.21.
Kota Banda AcehKota SabangKabupaten Aceh BesarKabupaten PidieKabupaten BireunKabupaten Aceh UtaraKota LhokseumaweKabupaten Aceh TengahKabupaten Bener MeriahKabupate Aceh TimurKabupaten AcehTamiangKabupaten Kota LangsaKabupaten Aceh TenggaraKabupaten Gayo Lues Kabupaten Aceh Singkil Kabupaten Aceh Selatan Kabupaten Aceh Barat DayaKabupaten Nagan RayaKabupaten Aceh BaratKabupaten Aceh JayaKabupaten Simelue
5.605 orang1.530 orang7.032 orang9.295 orang6.310 orang6.917 orang1.911 orang3.891 orang1.625 orang5.218 orang2.534 orang2.733 orang3.658 orang1.084 orang1.920 orang3.617 orang1.893 orang2.135 orang3.960 orang1.157 orang1.443 orang
Sumber : Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Aceh (tahun 2009)
Dari gambaran umum di atas bahwa ketersedian tenaga PNS pada
kabupaten/kota masih relatif belum memadai baik kualitas maupun kuantitas SDM,
terutama pada daerah kabupaten pemekaran. Permasalahan ini akan berdampak
pada proses percepatan pembangunan dan perbaikan pelayan publik pada level
Pemerintahan Kecamatan dan Pemerintahan Desa. Sebagai institusi yang langsung
berhadapan dengan masyarakat, kinerja pemerintahan desa masih relatif belum
memadai, dimana sebanyak 6.219 desa dan kelurahan yang ada di Provinsi Aceh
terdapat 874 kantor dalam keadaan baik dan 1257 rusak sedangkan kantor desa
yang belum ada sebanyak 4.115 unit.
Sedangkan pada tingkat kemukiman, jumlah mukim sebanyak 731 mukim,
kantor yang sudah dibangun dan dalam keadaan baik hanya berjumlah 21 unit
dan sisanya sebanyak 681 mukim belum tersedia kantor. Disisi lain, penempatan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-115
atau distribusi Aparatur Daerah/Pegawai Negeri Sipil belum juga merata disamping
sarana dan prasarana belum memadai terutama pada kabupaten pemekaran,
sehingga mengakibatkan kualitas pelayanan publik belum berjalan secara optimal.
Sejalan dengan dinamika pembangunan, dalam penyelenggaraan
Pemerintahan terdapat berbagai hambatan antara lain (1) hambatan politik,
ekonomi, dan lingkungan, (2) kelemahan institusi, (3) ketidakmampuan SDM di
bidang teknis dan administrasi, (4) kekurangan dalam bentuk teknis, (5)
kurangnya desentralisasi dan partisipasi, (6) pengaturan waktu (timing), (7) sistim
informasi yang kurang mendukung, (8) perbedaan agenda tujuan antara aktor
dan, (9) dukungan yang berkesinambungan.
Pelaksanaan pembangunan tidak terlepas dari perubahan dan
perkembangan kondisi ekologi administrasi publik, terutama tantangan yang perlu
mendapatkan perhatian dan penyesuaian-penyesuaian dalam penerapan strategi
pembangunan meliputi: Penerapan UU-PA; Globalisasi informasi; Netralitas
Pegawai Negeri; Sistem politik; Perdagangan bebas dan semangat reformasi
dengan segala implikasinya. Dalam hubungan ini kualitas perencanaan
pembangunan diharapkan dapat menjawab tantangan perubahan tersebut dengan
tetap berpijak pada strategi pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan
konsep pembangunan manusia (human development).
Pemerintahan Aceh bertugas menjalankan MoU Helsinky dan amanat
UU-PA/2006 diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab
kepada Penyelenggaraan pemerintah di Aceh secara proporsional. Artinya,
pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Disisi lain isu-isu dalam pemerintahan Aceh adalah
isu demokratisasi, good governance (bebas KKN), hak asasi, kelangsungan bumi
dan lingkungan. Atas berbagai tuntutan demikian, diperlukan suatu strategi
dengan formula kebijakan yang cerdas, berani dan terukur serta visioner dalam
kerangka kelangsungan dan keutuhan bangsa di masa-masa mendatang.
Terdapat tiga aspek utama yang mendukung keberhasilan Pemerintahan
Aceh, yaitu pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan. Ketiga hal tersebut
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-116
pada dasarnya berbeda baik konsep maupun aplikasinya. Pengawasan mengacu
pada tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain diluar eksekutif (yaitu
masyarakat dan DPRA/DPRK) untuk mengawasi kinerja pemerintahan.
Pengendalian adalah mekanisme yang dilakukan oleh eksekutif (Pemerintahan
Aceh) untuk menjamin dilaksanakannya sistem dan kebijakan manajemen
sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Pemeriksaan (audit) merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki
kompetensi profesional untuk memeriksa.
Kemampuan aparatur daerah dalam mejalankan otonomi akan menghadapi
berbagai tantangan, terutama dalam rangka meningkatkan PAD, melayani
investasi domestik maupun asing, menyusun perencanaan strategi pembangunan
dearah dan mengelola proses pelaksanaan pembangunan. Tantangan ini hanya
akan mampu dihadapi oleh pemerintahan Aceh (baik eksekutif maupun legislatif)
yang bervisi strategik dengan melibatkan peran serta masyarakat.
Permasalahan yang perlu mendapat perhatian dan prioritas kedepan adalah :
1. Penyelesaian peraturan-peraturan daerah/qanun sebagaimana yang
diamantkan oleh UUPA.
2. Belum terimplementasinya ketentuan (regulasi) secara optimal
3. Terbatasnya Alokasi Anggaran dari Pemerintah Pusat/Povinsi/ Kabupaten/Kota
ke Pemerintahan Kecamatan, Mukim dan Gampong
4. Masih kurangnya tenaga dan kemampuan sumberdaya aparatur yang handal
dibidangnya.
5. Penyebaran Aparatur Daerah/Pegawai Negeri Sipil belum merata antara satu
kabupaten dengan kabupaten lainnya.
Pada konteks pelayanan publik, perbaikan dan peningkatan
kelembagaan/instiusi perlu ditindaklanjuti seperti pelayanan satu atap (one top
service) dan peningkatan kelembagaan pada level pemerintahan kecamatan
hingga ke pemerintahan gampong yang langsung berhadapan dengan masyarakat
(front-line employees).
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-117
2.7.2 Pemerintahan Mukim
Pemerintahan mukim yang pernah berjaya sejak zaman kesultanan, zaman
penjajahan dan diawal kemerdekaan. Lembaga Mukim menjadi tidak berdaya
setelah Pemerintah memberlakukan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1974 tentang
Pemerintahan di Daerah dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, kedua Undang-undang tersebut menganut sistem
penyeragaman bentuk dan susunan Pemerintahan Daerah dan Desa secara
Nasional sehingga Mukim di Aceh tidak diakui lagi sebagai salah satu strata
Pemerintahan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan dengan segala daya
upaya akhirnya Pemerintahan Mukim di Aceh telah diakui kembali secara nasional.
Pengakuan tersebut tertuang langsung dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun
2001 tentang Otonomi khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Aceh dan dipertegas dengan undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh.
Bahwa dengan pemberlakuan Otonomi khusus di Provinsi Aceh, mukim
sudah dikukuhkan kembali menjadi lembaga pemerintahan dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Aceh. Mukim adalah kesatuan
masyarakat hukum di Aceh yang terdiri dari beberapa gampong yang mempunyai
batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung
dibawah Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain yang dipimpin oleh Imuem Mukim.
Oleh karena itu Mukim mempunyai kewenangan yang luas dalam rangka
menyelenggarakan Pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan dan pelaksanaan Syari’at Islam.
Pemerintah Aceh telah menetapkan kebijakan yang sangat strategis yaitu
menetapkan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003
tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dimana
Qanun tersebut harus di implementasikan dalam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-118
2.7.3 Pemerintahan Gampong
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tantang Pemerintahan
Daerah ditegaskan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang
diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pemerintah Aceh diberikan kewenangan secara luas dan leluasa untuk
menata sistem Pemerintahan Daerah sesuai dengan nilai-nilai luhur masyarakat
Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Implementasi ketentuan dalam Undang-undang tersebut,
sebelumnya telah ditetapkan Qanun (Perda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong. Oleh karena itu di Provinsi
Aceh istilah lain dari Desa adalah Gampong.
Gampong sebagai kesatuan masyarakat hukum memiliki hak dan kekuasaan
dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat terutama
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat memiliki peran dan posisi yang
strategis, karena :
1. Mempunyai susunan Pemerintahan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat
istimewa.
2. Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong merupakan sub sistem dari
penyelenggaraan Pemerintah Aceh dan juga sub sistem Pemerintahan
Nasional.
3. Gampong dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum politik, hukum
perdata maupun hukum adat, memiliki harta kekayaan, harta benda, dan
bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di Pengadilan.
4. Sebagai perwujudan Demokrasi, di Gampong dibentuk Tuha Peut atau sebutan
lain sabagi Lembaga yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
serta mengawasi jalannya Pemerintahan Gampong.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-119
5. Di Gampong dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan sesuai dengan
kebutuhan yang merupakan mitra kerja Pemerintahan Gampong.
6. Gampong memiliki sumber pembiayaan.
7. Geuchik mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/sengketa dari
pada warganya dan adat dan sengketa adat lainnya.
8. Gampong merupakan titik konsentrasi pelaksanaan Syari’at Islam.
Secara obyektif keberadaan Pemerintahan Mukim dan Gampong, Tuha Peut
dan Lembaga Kemasyarakatan Mukim dan Gampong dalam melaksanakan
kegiatannya untuk mewujudkan kemandirian serta kesejahteraan masyarakat
sebagaimana dimaksudkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004, Qanun Nomor 4
Tahun 2003 dan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 masih belum optimal.
Beberapa permasalahan yang dihadapi Pemerintahan Mukim dan Gampong
adalah sebagai berikut:
1. Belum optimalnya penyelenggaraan pemerintahan Mukim dan Gampong dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
2. Masih terbatasnya peran Tuha Peut dalam menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat serta mendorong peran aktif masyarakat.
3. Masih terbatasnya kemampuan Lembaga Kemasyarakatan Mukim dan
Gampong dalam menggalang partisipasi dan swadaya gotong royong
masyarakat.
4. Kurang berkembangnya usaha ekonomi masyarakat baik di Gampong maupun
di tingkat Kemukiman.
5. Sangat terbatasnya sarana dan prasarana perkantoran Pemerintahan Mukim
dan Gampong.
6. Keswadayaan dan kemandirian masyarakat belum dioptimalkan dalam
membangun, memanfaatkan, memelihara dan mengembangkan hasil-hasil
pembangunan.
7. Peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan belum lengkap.
8. Fasilitasi Pemerintah dan Pemerintah Daerah sering terlambat.
9. Kualitas aparatur Pemerintahan Mukim dan Gampong dan Tuha Peut sangat
terbatas.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-120
10.Sangat terbatasnya kesejahteraan aparat Pemerintahan Mukim dan Gampong
dan Tuha Peut.
11.Terjadinya inkonsistensi aturan dan kewenangan.
Bertolak dari berbagai permasalahan tersebut Pemerintah dan Pemerintah
Daerah sangat mendesak untuk melakukan berbagai kegiatan untuk lebih
memantapkan, menguatkan dan mengembangkan Pemerintahan Mukim dan
Pemerintahan Gampong dengan prioritas :
1. Pembangunan sarana dan prasarana Kantor Mukim, Geuchik dan Peralatan
Kerja dan mobiler.
2. Mengembangkan sumber pendapatan dan asset Imuem Mukim dan Gampong
serta menyusun keuangan secara efisien, efektif, transparan dan akuntable.
3. Mengembangkan dan menguatnya kemitraan bagi para penyelenggaraan
Pemerintahan Mukim dan Pemerintahan Gampong.
4. Mengembangkan Usaha Ekonomi Masyarakat melalui Program Pengembangan
Ekonomi Masyarakat Kemukiman (PEMK).
5. Mengembangkan sistem implementasi Administrasi Pemerintahan Mukim dan
Pemerintahan Gampong yang mudah, cepat dan murah.
6. Terjaminnya tingkat kesejahteraan para penyelenggara Pemerintahan Mukim
dan Pemerintahan Gampong (Tidak diberikan dalam bentuk insentif atau upah
jerih tapi harus dalam bentuk gaji Imum Mukim dan gaji Geuchik atau sebutan
lain).
7. Mengembangkan jiwa kegotong royongan, keswadayaan, solidaritas dan
persaudaraan masyarakat dalam memecahkan persoalan masyarakat yang
dihadapi.
Oleh karena itu kegiatan tersebut di atas penting dilaksanakan mengingat
Pemerintahan Mukim dan Pemerintahan Gampong merupakan garis terdepan
dalam pelayanan kepada masyarakat serta menjadi tonggak utama untuk
keberhasilan pelaksanaan semua Program pembangunan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-121
2.7.4 Pelayanan Kependudukan dan Catatan Sipil
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l UUPA, ditegaskan
bahwa pelayanan kependudukan dan catatan sipil merupakan salah satu urusan
wajib Pemerintah Aceh. Penempatan urusan pelayanan kependudukan dan catatan
sipil sebagai urusan wajib, mempunyai arti bahwa Pemerintah Aceh mempunyai
wewenang (sebagai hak sekaligus sebagai kewajiban) untuk menyelenggarakan
pelayanan dalam bidang kependudukan dan catatan sipil. Hak dan kewajiban
dimaksud termasuk hak dan kewajiban mengatur yang menjadi kewenangannya,
dan hak dan kewajiban mengurus (termasuk membiayai). Tentunya, hak dan
kewajiban dimaksud (mengatur dan mengurus), harus dalam kerangka atau
mempertimbangkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 14 ayat (3) UUPA
yang berbunyi “Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib
dilakukan dengan berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan
secara bertahap, dan ditetapkan oleh Pemerintah”.
Registrasi penduduk merupakan kegiatan utama dalam rangka memberikan
pelayanan kependudukan dan catatan sipil. Administrasi kependudukan memuat
tentang kegiatan pendaftaran dan pencatatan kejadian vital penduduk (kelahiran,
kematian, perpindahan, perkawinan, perceraian dan perubahan status lainnya).
Tujuan penyelenggaraan administrasi kependudukan adalah untuk
mendokumentasikan data-data yang berkaitan dengan pencatatan melalui suatu
sistem registrasi yang terpadu dan pelaporan data kependudukan agar terciptanya
tertib administrasi dan legalisasi sebagai dokumen bagi setiap penduduk. Akan
tetapi, dalam pengelolaan registrasi penduduk sampai saat ini dihadapkan pada
berbagai kendala yang menyebabkan penyelenggaraan belum berjalan
sebagaimana diharapkan. Akibatnya data dan informasi kependudukan yang
berbasis individu dan berskala mikro belum dapat dikembangkan untuk
dimanfaatkan bagi kepentingan penyusunan perencanaan dan kebijakan
pembangunan. Sementara tuntutan ketersediaan data mikro dan rutin makin
mendesak sebagai konsekuensi kebutuhan perencanaan dalam era otomomi
daerah kabupaten dan kota yang menjadi sentral pembangunan. Disisi lain, untuk
kepentingan individu atau masyarakat, pencatatan penduduk akan memberikan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-122
keabsahan dari kejadian vital tersebut sebagai dokumen resmi yang antara lain
diperlukan dalam urusan pelayanan publik.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2007-2012 di
bidang administrasi kependudukan diharapkan dapat sinergi dengan RPJM
Nasional 2004-2009. Sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya tertib
administrasi kependudukan, yang dimulai dengan terselenggara registrasi
penduduk. Dengan tertibnya administrasi kependudukan tersebut diharapkan
mampu menghasilkan data dan informasi perkembangan kependudukan pada
berbagai tingkat secara akurat, tepat, menyeluruh dan mudah diakses, sehingga
menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan program pembangunan.
Permasalahan yang masih dihadapi adalah: (a) masih lemahnya koordinasi
penyelenggaraan adminstrasi kependudukan antara Pemerintah Provinsi dengan
Pemerintah Kab/kota; (b) masih lemahnya pemberian bimbingan, supervisi dan
konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil; (c) lemahnya
pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan administrasi kependudukan; (d)
belum tertibnya pengelolaan dan penyajian data kependudukan; dan (e) lemahnya
koordinasi pengawasan atas penyelenggaraaan administrasi kependudukan. Di
samping itu koordinasi dengan instansi vertikal yang menangani pencatatan sipil
juga sangat lemah baik pada tingkat provinsi maupun kab/kota.
Untuk mencapai sasaran tersebut, maka perlu penguatan instansi
pelaksana administrasi kependudukan dan catatan sipil, dengan tujuan: (a)
menggembangkan sistem administrasi kependudukan yang terpadu dan efisien,
termasuk registrasi penduduk; (b) meningkatkan cakupan dan ketepatan
pelaporan pendaftaran penduduk dari tingkat terendah sampai ketingkat pusat
secara cepat, tepat dan lengkap; (c) mengembangkan organisasi atau unit kerja
pendaftaran penduduk diberbagai tingkatan mulai dari tingkat kecamatan sampai
tingkat provinsi; (d) peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang
arti penting registrasi dan administrasi kependudukan sebagai sumber data mikro
dan rutin untuk mendukung terselenggara pengelolaan sistem administrasi
kependudukan yang efektif dan efisien; (e) menyusun rancangan undang-undang
(Qanun) tentang registrasi penduduk.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-123
Dalam rangka pelaksanaan program kerja pengembangan sistem
administrasi kependudukan tersebut, termasuk registrasi penduduk, di Provinsi
Aceh, maka lebih dahulu perlu melakukan suatu penelitian untuk mengetahui
potensi dan permasalahan dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan,
terutama registrasi penduduk secara permanen dan online setiap saat dan dimulai
pada level pemerintahan yang terendah (gampong) hingga ke tingkat provinsi.
Pelaksanaan registrasi administrasi kependudukan tersebut dapat dilaksanakan
oleh pemerintahan desa dan harus didukung dengan peningkatan SDM dan
penyediaan fasilitas pendukung.
2.7.5 Perizinan
Penyediaan pelayanan pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang berkaitan dengan kebutuhan dasar, barang-barang publik (public
goods), berbagai perizinan, dan lain-lain belum sepenuhnya berkembang dengan
baik. Berbagai prosedur perizinan belum disusun sesuai dengan prinsip-prinsip
pelayanan yang mudah, murah dan cepat. Pelayanan perizinan juga belum
didasarkan pada standar pelayanan minimal.
Pulihnya kondisi keamanan menimbulkan gairah masyarakat untuk
berusaha kembali dalam berbagai aktifitas ekonomi. Jumlah izin usaha
perdagangan (SIUP) pada Tahun 2005 misalnya cukup tinggi, berjumlah 41.452
termasuk usaha skala besar, menengah dan kecil. Sementara pada Tahun 2001,
yang kondisi keamanannya belum pulih, jumlah SIUP hanya 2.678 buah untuk
semua jenis perdagangan.
Dalam rangka menghadapi berbagai urusan pemerintahan di bidang
perekonomian, perdagangan, investasi, pariwisata, dan lain-lain, sesuai dengan
kewenangan yang diberikan oleh Udang-Undang No. 11 Tahun 2006, perlu
ditinjau kembali berbagai prosedur dan sistem pelayanan perizinan. Pelayanan
perizinan secara cepat dan tepat oleh pemerintah dapat memberi dukungan
terhadap pembangunan ekonomi sesuai harapan masyarakat.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-124
2.7.6 Keimigrasian
Pelayanan publik pada keimigrasian harus dapat ditingkatkan, kondisi yang
ada selama ini masih menunjukkan pelayanan yang belum profesional. Oleh
karena itu perlu perbaikan manajemen dengan melakukan perubahan mekanisme,
penetapan prosesur yang jelas dan sistem pelayanan yang terpadu. Sejalan
dengan globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan pertumbuhan
ekonomi dunia, maka akan berimplikasi pada terjadinya lalulintas atau masuknya
warga negara asing (imigrasi), baik melalui investasi maupun kunjungan
wisatawan.
Penyediaan pelayanan publik di sektor keimigrasian diharapkan dapat terus
ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas sarana dan prasarana agar
terciptanya kualitas pelayanan yang cepat, tepat dan terjangkau. Secara simultan
fenomena ini harus mampu dilaksanakan oleh Pemerintahan Aceh seiring dengan
tingginya tingkat kemajuan ekonomi yang menyebabkan berubahnya tuntutan
kebutuhan masyarakat.
2.7.7 Ketertiban Umum
Pasca MoU Helsinky dan UU-PA, ketertiban umum di Pemerintah Aceh
relatif kondusif namun masih perlu terus ditingkatkan, terutama dalam pelayanan
dan penegakan hukum. Persoalan utama dalam pelayanan dan penegakan hukum
adalah masih kurang profesionalnya lembaga pelayanan dan penegakan hukum.
Lembaga kepolisian harus memiliki profesionalisme dalam mengintegrasikan aspek
struktural (institusi, organisasi, susunan dan kedudukan), aspek (filosofi, doktrin,
kewenangan, kompetensi, kemampuan, fungsi dan iptek), dan aspek kultural
(manajemen sumberdaya, manajemen operasional dan sistem pengamanan di
masyarakat). Sumberdaya manusia sebagai tulang punggung institusi polisi masih
memprihatinkan, kuantitas polisi belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh
PBB yaitu 1 (satu) personil polisi untuk 400 orang penduduk (1:40). Rasio jumlah
personil polisi dengan jumlah penduduk pada Tahun 2004 secara nasional adalah
1 berbanding 475.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-125
Dari segi kuantitas lebih baik, namun mengingat luasnya wilayah, jumlah
personil polisi di Aceh harus disesuaikan dengan luas wilayah daerah ini.
Peningkatan profesionalisme polisi secara keseluruhan memerlukan penguatan
kapasitas yang meliputi moral dan etika, budaya kerja, motivasi, pendidikan, dan
pelatihan, serta peralatan. Disamping itu, agar masyarakat mampu membina
sistem keamanan dan ketertiban di lingkungannya, polisi harus berperan sebagai
pembina dan penyelia dalam rangka mendukung terbentuknya mekanisme
community policing. Ketertiban umum merupakan tanggung jawab bersama, oleh
karena itu menjaga ketertiban harus dimulai dari diri setiap warga negara dan
masyarakat. Kewenangan pemerintah hanya sebatas menjalankan kebijakan
melalui berbagai regulasi. Setiap warga negara dan masyarakat wajib setia
menjaga ketertiban dan keamanan, serta berhak mendapat jaminan perlindungan
hukum, jaminan keamanan dan ketertiban.
2.8 Rencana Aksi Kesinambungan Rekonstruksi Aceh
Penyusunan Rencana Aksi Kesinambungan Rekonstruksi dan Percepatan
Pembangunan Aceh adalah untuk menyediakan pedoman bagi upaya
kesinambungan rekonstruksi dan percepatan pembangunan Aceh, untuk mengejar
ketertinggalan menuju kesejahteraan rakyat dan pembangunan berkelanjutan.
Rencana Aksi Kesinambungan Rekontruksi Provinsi Aceh 2010-2012
dengan Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2010 merupakan penajaman fokus
kepada penuntasan program, pengelolaan dan pemeliharaan aset hasil rehabilitasi
dan rekontruksi, fungsionalisasi hasil rehabilitasi dan rekontruksi serta penguatan
kapasitas pemerintah daerah, upaya penguatan institusi daerah ini diperlukan
dalam rangka memastikan terjadinya keselarasan dan kesinambungan
pembangunan di Provinsi Aceh pasca 2009 baik dalam memelihara dan merawat
seluruh kemajuan yang ada maupun melanjutkan dan mengembangkan program-
program percepatan pembangunan provinsi Aceh ke depan. Selanjutnya, untuk
mengatasi ketertinggalan Aceh akibat dihimpit konflik dan bencana tsunami maka
diperlukan suatu rencana aksi percepatan pembangunan Aceh ke depan yang
difokuskan kepada pengembangan infrastruktur stretegis, pengembangan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-126
ekonomi strategis, dan pengembangan sosial kemasyarakatan. Rencana Aksi
Kesinambungan Rekontruksi Provinsi Aceh 2010-2012.
2.9 Badan Reintegrasi Aceh
Sebagai tindaklanjut kesepakatan damai MoU-Helsinki, telah disusun
serangkaian kebijakan serta pelaksanaannya, yang secara keseluruhan terus
berproses sampai saat ini, melalui penerbitan Inpres 15/2005 tentang Pelaksanaan
Nota Kesepahaman Helsinki, dan diditegaskan melalui Direktif Menko Polhukam
No. Dir-67/Menko.Polhukam/12/2005 tentang Optimalisasi Inpres 15/2005.
Khususnya tentang Program Reintegrasi telah dilakukan berbagai langkah
tindaklanjut melalui BRA (Badan Reintegrasi-Damai Aceh), sesuai agenda
pelaksanaan program reintegrasi yang disepakati Pusat-Daerah untuk 3 (tiga)
Tahun mulai 2005 hingga 2007, dan dilanjutkan pada Tahun 2008-2011.
Berdasarkan rencana kerja dan pendanaan Program Reintegrasi yang disusun
bersama oleh Bappenas dan BRA pada September 2005, total kebutuhan
pendanaan untuk proses reintegrasi Aceh secara keseluruhan berjumlah Rp 1.500
miliar, untuk tiga Tahun (2005-2007), dan telah dikoreksi pada Tahun 2010
menjadi berjumlah Rp 2.100 miliar.
MoU-Helsinki yang memuat prinsip-prinsip dasar bagi terciptanya suasana
damai yang berkelanjutan, telah ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki.
Prinsip-prinsip dasar tersebut harus diimplementasikan oleh Pemerintah RI,
termasuk Pemda Aceh, dan GAM. Dalam MoU Helsinki terdapat minimal 19 butir
kewajiban RI dalam MoU tersebut yang harus segera ditindaklanjuti meliputi:
aspek politik, hukum, HAM, keamanan, sosial, dan aspek ekonomi.
Pemerintah Aceh membentuk Badan Reintegrasi-Damai Aceh berdasarkan
Keputusan Gubernur No. 330/438/2007 tanggal 26 Agustus 2008 tentang
Pembentukan Badan Reintegrasi-Damai Aceh. Dana reintegrasi bersumber dari
APBN dan APBD. Kebutuhan pendanaan dialokasikan secara bertahap dalam 3
Tahun anggaran:
1. Tahun 2005 dialokasikan Rp200 miliar, melalui APBN-P 2005;
2. Tahun 2006 dialokasikan Rp600 miliar melalui APBN 2006;
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 II-127
3. Tahun 2007 dialokasikan Rp250 miliar melalui APBN 2007.
Dengan adanya koreksi kebutuhan pendanaan reintegrasi damai Aceh yang
memerlukan tambahan dana sebesar Rp 600 miliar, yang disebabkan adanya
eskalasi satuan harga rumah yang perlu dibangun, maka pada Tahun 2008-2010,
dengan rincian:
1. Tahun 2008 dialokasikan Rp 250 miliar melalui APBN 2008;
2. Tahun 2009 dialokasikan Rp 200 miliar melalui APBN-P 2009;
3. Tahun 2010 dialokasikan Rp 200 miliar melalui APBN 2010.
Untuk memenuhi kebutuhan keseluruhan, maka pada Tahun 2011 akan
dialokasikan Rp 200 miliar melalui APBN 2011. Permasalahan-permasalahan yang
selama ini timbul adalah belum adanya kepastian dana yang tersedia bagi
kelanjutan program Reintegrasi Aceh, Penyaluran dana APBN tidak bersamaan,
perlakuan terhadap date line sama dengan APBN lainnya, kemudian belum adanya
suatu ketetapan atau aturan terhadap besarnya bantuan (kompensasi diyat), dan
sebagian besar penerima bantuan rumah di pedalaman, sehingga dana yang
tersedia kurang memadai.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 III-1
BAB III
VISI DAN MISI
3.1 Visi
Terwujudnya perubahan yang fundamental di Aceh dalam segala sektor
kehidupan masyarakat Aceh dan pemerintahan, yang menjunjung tinggi asas
transparansi dan akuntabilitas bagi terbentuknya suatu pemerintahan Aceh yang
bebas dari praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, sehingga pada tahun
2012 Aceh akan tumbuh menjadi negeri makmur yang berkeadilan dan adil dalam
kemakmuran.
3.2 Misi
a. Kepemimpinan Yang Aspiratif, Inovatif, dan Intuitif
1) Membangun suatu mekanisme kontrol yang ketat agar para pemimpin
formal dari level tertinggi sampai level yang terendah memperlihatkan
keteladanan yang baik, taat beragama, hidup sederhana, menegakkan
keadilan, taat pada hukum, tidak melakukan KKN dalam bentuk
apapun, sehingga memberi contoh keteladanan bagi masyarakat.
2) Pemimpin harus memiliki sikap inovatif dan intuitif yang tinggi dalam
menciptakan dan melaksanakan kebijakan agar selalu dalam koridor
kepentingan rakyat. Pemimpin dan pejabat negara adalah "Orang
Besar", namun kebesarannya bukan karena dia berpangkat tinggi,
kaya raya atau berketurunan bangsawan tetapi karena dia dengan
setia telah menjadi pelayan rakyatnya.
b. Aparatur Pemerintah Yang Bersih, Kompeten dan Berwibawa,
Bebas Dari Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan
1) Memperbaiki kesejahteraan PNS/pejabat negara sebagai prioritas
utama, melalui pendapatan dan gaji yang layak.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 III-2
2) Memberikan reward bagi PNS/pejabat negara yang berprestasi dan
punishment (sanksi/hukuman) bagi mereka yang melalaikan tugasnya.
3) Memperbaiki kembali system penerimaan PNS dimana akan dilakukan
secara lebih ketat sehingga diperoleh PNS yang berkualitas dan tidak
mengandung unsur KKN.
c. Penegakan Hukum
1) Pemerintah Aceh akan berusaha sekuat tenaga membantu agar
pengadilan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Walaupun bidang
kehakiman menjadi wewenang Pemerintah Indonesia, Pemerintah
Aceh akan berusaha agar pejabat dan PNS yang berdinas di Aceh
dalam bidang penegakan hukum akan mendapat fasilitas yang sama
dengan pejabat dan PNS yang berada di bawah Pemerintah Aceh.
2) Pemerintah Aceh dengan bekerjasama dengan aparat penegak hukum
akan membangun mekanisme agar rakyat pencari keadilan dapat dan
berani mengawasi proses hukum yang terjadi di dalam dan di luar
pengadilan dan mengawasi perilaku para hakim serta aparat penegak
hukum lainnya.
d. Pengembangan Sumberdaya Manusia
1) Pendidikan akan dijadikan sebagai media pemerataan kesempatan
untuk berkembang (mobilitas vertikal) bagi semua lapisan masyarakat,
terutama masyarakat lapisan bawah.
2) Kualitas dan mutu sekolah di seluruh Aceh akan ditingkatkan baik
kualitas fisik bangunannya maupun kualitas para pendidik terutama
administrasinya.
3) Pemerintah Aceh akan memberikan subsidi untuk universitas-
universitas atau perguruan tinggi di Aceh guna meningkatkan mutu
sumberdaya manusia dan fasilitas pendidikan (sarana penunjang).
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 III-3
4) Pemerintah Aceh akan mengusahakan pendidikan gratis minimal bagi
murid sekolah dasar (SD/MI) sampai dengan Sekolah Lanjutan Atas
(SLTA/MA) Sekolah akan dibersihkan dari pungutan yang membebani
orang tua siswa.
5) Pemerintah Aceh juga mengupayakan sesuai dengan kemampuan
ekonomi Pemerintah Aceh pembebasan biaya pendidikan bagi semua
anak yatim korban konflik dan korban tsunami sampai tamat
Perguruan Tinggi (S1).
6) Pemerintah Aceh akan mengusahakan (sesuai kemampuan
pemerintahan Aceh) pembebasan uang kuliah atau sekurang-
kurangnya akan dikembangkan sistem subsidi yang adil untuk semua
program studi S1 yang memenuhi kriteria dan kualifikasi tertentu.
7) Pemerintah Aceh akan meminta kepada institusi-institusi/lembaga
pendidikan pencetak tenaga pendidik untuk meningkatkan standar
mutu penerimaan calon tenaga pendidik dengan menaikkan rating
kualifikasi penerimaan mahasiswa baru. Institusi ini akan mendapat
perhatian khusus dari Pemerintah Aceh.
8) Institusi-institusi pendidikan agama seperti dayah akan mendapat
perhatian serius dari Pemerintah Aceh.
9) Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian khusus dalam bentuk
program-program beasiswa secara luas untuk mahasiswa cerdas dan
berprestasi untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2 dan S3 di
universitas-universitas terkemuka di luar negeri.
10) Dalam rangka pemerataan kesempatan pendidikan, Pemerintah Aceh
akan mengembangkan sistem subsidi/beasiswa kepada mereka yang
secara ekonomi tidak mampu namun memiliki keinginan dan
kemampuan kecerdasan untuk melanjutkan pendidikan.
11) Di daerah-daerah tertentu akan dikembangkan sekolah-sekolah
kejuruan (vocational).
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 III-4
12) Sekurang-kurangnya 30% APBA akan digunakan untuk pendidikan.
13) Pemerintah Aceh akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
kepada masyarakat.
14) Pemerintah Aceh bertekad akan memberantas penyakit-penyakit
menular klasik seperti Malaria, TBC, DBD, Lepra, dan sebagaimana.
15) Pemerintah Aceh akan memberikan pelayanan medis gratis bagi ibu
hamil dan anak.
16) Meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak dalam berbagai
bidang khususnya pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, politik,
adat istiadat dan agama.
e. Perekonomian
1) Membangun kembali infrastruktur perekonomian di seluruh Aceh
sehingga akhirnya seluruh teritorial Aceh dapat menjadi satu kesatuan
politik dan satu kesatuan ekonomi.
2) Pemerintah Aceh akan memperlakukan pelaku ekonomi sebagai
partner pembangunan.
3) Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian serius pada
pengembangan ekonomi kerakyatan untuk mencapai keadilan di
bidang ekonomi.
4) Pemerintah Aceh secara proaktif akan mengidentifikasi semua sumber
ekonomi yang berbiaya tinggi (high cost economy) untuk mengatasi
dan mencari jalan keluarnya.
5) Pemerintah Aceh akan mendorong bangkitnya kembali semangat
kewirausahaan rakyat Aceh seperti yang pernah kita saksikan pada
periode tahun 1940-an sampai dengan tahun 1980-an. Pengusaha
Aceh harus dapat bangkit kembali menjadi masyarakat ekonomi yang
handal.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 III-5
6) Perdagangan luar negeri, terutama dengan Malaysia, Singapura,
Thailand, India, dan lain-lain harus kembali digalakkan.
7) Produksi agrobisnis tradisional masyarakat harus memperoleh pasar
yang layak, yaitu dengan membuka pemasaran ke luar negeri.
8) Di setiap kabupaten akan dibangun kebun-kebun percobaan dan
percontohan (pilot project) agar rakyat dapat memperoleh penyuluhan
dan dapat memperoleh bibit unggul sesuai dengan kondisi alam di
tempat itu.
9) Para mantan gerilyawan GAM dan korban konflik akan diperhatikan
secara serius untuk memperoleh kehidupan ekonomi yang layak
melalui penyediaan modal dan lapangan kerja yang memadai.
10) Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
dan berkesadaran resiko bencana.
11) Keberhasilan transisi dari rehabilitasi dan rekonstruksi dampak
tsunami.
f. Politik
1) Pemerintah Aceh akan berusaha sekuat tenaga agar seluruh Rakyat
Aceh mendapat perlakuan yang adil, baik dalam bidang politik dan
hukum maupun dalam bidang ekonomi, dengan memperhatikan
potensi dan karakteristik masing-masing.
2) Kepala dan Wakil Kepala Pemerintahan di setiap level harus menjadi
satu kesatuan yang saling mengisi dengan pembagian tugas yang
jelas. Sementara Bupati/Walikota menjadi mandataris rakyat di
daerahnya masing-masing.
3) Semua lembaga politik, lembaga adat, dan lembaga keagamaan harus
menjalankan kegiatannya berdasarkan fungsi masing-masing dan tidak
boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan wewenang.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 III-6
4) Partai lokal harus menjadi sarana demokrasi yang menciptakan
kestabilan politik, kemandirian, dan kemakmuran bagi Rakyat Aceh.
g. Sumber Daya Alam
1) Penerimaan Pemerintah Aceh yang berasal dari bagi hasil kekayaan
alam akan digunakan secara adil, efisien, dan bertanggungjawab
untuk kesejahteraan dan kemakmuran seluruh Rakyat Aceh.
2) Pemerintah Aceh akan meninjau kembali Hak Pengelolaan Hutan
(HPH). Jika selama ini HPH hanya diberikan kepada pengusaha, maka
dimasa mendatang, Pemerintah Aceh akan menciptakan sistem
pengelolaan hutan yang dikelola sendiri oleh rakyat secara lestari,
berkesinambungan dan bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat
Aceh sendiri.
3) Pemerintah Aceh akan melarang dan membatasi penebangan hutan
yang dilakukan secara liar, kecuali untuk keperluan domestik rakyat
yang dilakukan secara terkontrol.
4) Pemerintah Aceh akan melakukan eksploitasi dan eksplorasi sumber
kekayaan alam lainnya, terutama pertambangan, dengan
mempertimbangkan secara serius kelestarian ekosistem.
h. Adat Istiadat, Kebudayaan, dan Olahraga
1) Pemerintah Aceh akan memberi perhatian lebih secara seksama dan
mendukung upaya-upaya untuk mengembangan adat istiadat dan
budaya Aceh, antara lain dengan mendorong rakyat untuk
menghidupkan kembali pendidikan tatacara sopan-santun ke-Acehan
dalam keluarga serta akan menyelenggarakan secara reguler festival
dan seni Aceh.
2) Pemerintah Aceh akan membangun sarana olahraga dan seni yang
merata di seluruh Aceh dan akan mendukung partisipasi Aceh dalam
event olahraga dan seni secara lokal, nasional, dan internasional.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-1
BAB IV
STRATEGI PEMBANGUNAN ACEH
Perumusan strategi pembangunan didasarkan pada kerangka analisis
terhadap faktor lingkungan strategis. Proses perumusan strategi perlu dilakukan
mengingat faktor strategis lingkungan akan menentukan keberhasilan
pelaksanaan visi dan misi yang ditetapkan. Keberadaan faktor-faktor lingkungan
strategis yang dimaksud terdiri dari faktor lingkungan internal strategis dan
faktor lingkungan eksternal strategis yang merupakan kerangka dasar,
mengingat pada faktor tersebut dapat ditemukan berbagai kekuatan,
kelemahan, peluang dan tantangan. Analisis faktor lingkungan internal strategis
dan faktor eksternal strategis mengisyaratkan bahwa implementasi strategi
yang tepat dapat mewujudkan peningkatan dan optimalisasi setiap program
dan kegiatan secara menyeluruh.
Visi dan misi Pemerintah Aceh diwujudkan melalui pelaksanaan 7 (tujuh)
prioritas pembangunan secara proporsional yaitu: 1) Pemberdayaan ekonomi
masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan penanggulangan kemiskinan, 2)
Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan sumber daya energi
pendukung investasi, 3). Peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan
kesempatan belajar, 4). Peningkatan mutu dan pemerataan pelayanan
kesehatan, 5). Pembangunan syariat islam sosial dan budaya, 6). Penciptaan
pemerintah yang baik dan bersih serta penyehatan birokrasi pemerintaan, 7).
Penanganan dan pengurangan resiko bencana.
4.1 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan
Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan
Pembangunan perekonomian Aceh tidak terlepas sebagai upaya
pemberdayaan ekonomi masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan
penanggulangan kemiskinan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Ketiga prioritas tersebut sangat ditentukan oleh tiga aspek
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-2
ekonomi makro yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan dan tingkat
pengangguran terbuka.
Pertumbuhan ekonomi Aceh saat ini telah menunjukkan perkembangan
yang positif, namun kondisi tersebut masih dibawah rata-rata nasional.
Demikian pula halnya dengan tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran
yang semakin menurun, hal tersebut masih berada diatas rata-rata nasional.
Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menurunkan tingkat
kemiskinan dan tingkat pengangguran hingga mencapai kondisi yang lebih baik,
maka strategi yang ditempuh adalah:
1. Peningkatan serta percepatan upaya revitalisasi pertanian dan perikanan
sehingga menjadi sektor ekonomi andalan yang berkelanjutan
2. Meningkatkan produksi sektor ril baik secara kuantitas maupun kualitas,
terutama fokus pada komoditi-komoditi unggulan yang berorientasi pasar
3. Mengembangkan dan meningkatkan kapasitas sarana dan prasarana
pendukung produksi serta pemasaran secara terintegrasi
4. Membangun serta mendorong pengembangan unit-unit penyedia sarana
produksi
5. Melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pendistribusian sarana
produksi bagi masyarakat
6. Mendorong tumbuhnya industri-industri pengolahan terutama yang
berbasis bahan baku lokal
7. Pemberdayaan UMKM, koperasi, serta memfasilitasi terjalinnya kemitraan
dengan kelompok usaha besar
8. Mendorong terjadinya peningkatan realisasi investasi swasta baik nasional
maupun asing
9. Mendorong terjadinya peningkatan aktivitas perdagangan dalam dan luar
negeri
10. Mendorong peningkatan kapasitas sektor finansial serta peningkatan fungsi
intermediasi perbankan
11. Peningkatkan kualitas sumber daya petani, nelayan, dan kompetensi tenaga
kerja
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-3
12. Pengembangan kawasan-kawasan potensial dan cepat tumbuh melalui
pembangunan pemukiman baru
13. Peningkatan ketahanan dan keamanan pangan serta perbaikan gizi
masyarakat
14. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di kawasan sekitar hutan,
serta pengembangan hutan tanaman rakyat
15. Pelestarian sumber daya hutan dan pengendalian Daerah Aliran Sungai
(DAS)
16. Mengupayakan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam rangka
kemandirian dan kesinambungan pembiayaan pembangunan
17. Meningkatkan kerjasama pembanguanan ekonomi baik secara kelembagaan
maupun kawasan
4.2 Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya
Energi Pendukung Investasi
Dalam rangka penyediaan infrastruktur dan sumber daya energy
pendukung investasi diperlukan strategi yang diselaraskan dengan prioritas
pembangunan Pemerintah Aceh sesuai dengan kondisi dan potensi daerah.
Sarana dan prasarana pendukung investasi yang belum memadai menyebabkan
masih adanya daerah terpencil dan terisolir. Pembangunan Bidang Sarana dan
Prasarana memegang peranan penting untuk menghilangkan disparitas antar
wilayah, maka diperlukan langkah-langkah atau strategi sebagai berikut:
4.2.1 Sumber Daya Air
Strategi Pembangunan Bidang Sumber Daya Air Tahun 2007–2012
adalah:
1. Menyusun pola terpadu pengembangan pengelolaan sumber daya air
sebagai kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau
dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan
sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-4
2. Menyusun pola pengelolaan aset irigasi untuk mengetahui kondisi kinerja
masing-masing jaringan irigasi dengan membentuk Dewan Sumber Daya
Air Aceh dan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA) di
masing-masing Wilayah Sungai.
3. Membangun waduk dan embung beserta sarana dan prasarana yang
berfungsi sebagai pengawaten air, sumber daya air, dan pengendali daya
rusak air, yang dibarengi dengan kegiatan konservasi DAS.
4. Membuat perangkat hukum yang berhubungan dengan sumber daya air di
Aceh.
5. Memelihara dan meningkatkan fungsi sarana dan prasarana konservasi
sumber daya air dan jaringan irigasi yang telah ada, melalui kegiatan
operasi dan pemeliharaan (OP) irigasi dan membangun laboratorium
konservasi pada DAS.
6. Mengoptimalkan fungsi dan peran Perkumpulan Petani Pemakai Air
(P3A)/Kejruen Blang, dengan membentuk Komisi Irigasi (Komir) Aceh.
7. Membangun dan meningkatkan irigasi teknis pada lahan-lahan potensial
serta membangun sarana dan prasarana pemanfaatan air tanah secara
terkendali.
8. Memelihara dan meningkatkan fungsi konstruksi sungai, muara, dan pantai
yang berfungsi sebagai pengendali daya rusak air.
9. Membangun konstruksi pengendali daya rusak air di sungai, muara, dan
pantai serta fasilitas sarana peringatan dini banjir kiriman sungai.
4.2.2 Bina Marga dan Cipta Karya
Strategi pembangunan bidang kebinamargaan dan keciptakaryaan
adalah:
1. Pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan jalan nasional lintas Timur,
lintas Barat, lintas tengah, pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan
jalan provinsi, jalan kabupaten/Kota, jalan menuju sentra produksi dan
jalan strategis lainnya.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-5
2. Mendukung pembangunan kawasan yang berpotensi dan cepat tumbuh
dengan menyediakan jaringan jalan dan jembatan yang memenuhi
kebutuhan pergerakan barang dan jasa di seluruh wilayah kawasan.
3. Membuka dan meningkatkan aksesibilitas daerah terpencil/terisolir,
perbatasan dan kepulauan untuk mengurangai kesenjangan antar daerah.
4. Meningkatkan penguasaan teknologi tepat guna di bidang prasarana jalan.
5. Meningkatkan daya dukung, kapasitas, dan geometrik jalan.
6. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dalam pemanfaatan
prasarana jalan.
7. Pembangunan jalan highway lintas Timur dari Banda Aceh ke perbatasan
Sumatra Utara dengan dimulai dengan penentuan alignment jalan
highway, studi Amdal, dan pembebasan tanah.
8. Menyediakan sarana dan prasarana dasar pemukiman, air bersih, sanitasi,
fasilitas umum bagi masyarakat, dengan berpedoman kepada tata ruang
serta tata bangunan yang mempertimbangkan resiko bencana sesuai
dengan aturan yang sudah ditetapkan termasuk pembangunan kawasan
perbatasan dan terisolir.
9. Menyediakan rumah sederhana bagi kaum dhuafa/korban kerusuhan/
bencana alam,
10. Menyiapkan/memberikan informasi pembangunan infrastruktur/
permukiman kepada pihak swasta dan masyarakat.
11. Mendorong peningkatan kemampuan SDM jasa konstruksi.
12. Meningkatkan dukungan terhadap pengembangan teknologi permukiman
yang berorientasi terhadap faktor alam.
4.2.3 Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika
Strategi Pembangunan Bidang Perhubungan, Komunikasi, Informasi, dan
Telematika Tahun 2007 - 2012 adalah :
1. Melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi prasarana dan sarana transportasi
darat dan penyeberangan, pelabuhan laut, pelabuhan rakyat, bandar
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-6
udara yang hancur akibat gempa tektonik dan gelombang tsunami
sehingga pelayanan terhadap masyarakat dapat pulih kembali.
2. Mengembangkan prasarana dan sarana transportasi darat dan
penyeberangan, pelabuhan laut, pelabuhan rakyat, bandar udara sehingga
memberikan akses transportasi yang lebih baik bagi masyarakat.
3. Melakukan penambahan armada ferry dan lintasan baru sebagai upaya
penyediaan sarana transportasi bagi masyarakat kepulauan.
4. Meningkatkan pelayanan dan menekan angka kecelakaan lalu lintas bagi
pengguna kendaraan di jalan raya.
5. Mempertahankan subsidi angkutan perintis penyeberangan sebagai upaya
membuka isolasi daerah dan memacu perkembangan perekonomian
wilayah.
6. Mengembangkan angkutan kereta api sebagai angkutan massal yang
cepat, murah, hemat energi, berwawasan lingkungan untuk meningkatkan
mobilitas barang dan penumpang.
7. Membangun pelabuhan baru dengan kapasitas >10.000 DWT di wilayah
pantai Barat-Selatan dan pantai Utara-Timur sehingga dapat menjadi
pusat penyebaran (hub) dan pintu masuk bagi kegiatan ekspor-impor bagi
masing-masing wilayah tersebut sekaligus menghilangkan ketergantungan
terhadap pelabuhan Belawan (SUMUT).
8. Mengembangkan pelabuhan Sabang sebagai International Hub dan pintu
masuk Indonesia wilayah barat di masa depan.
9. Mengembangkan Pelabuhan Malahayati untuk mendukung Kawasan
Ekonomi Terpadu (KAPET) Bandar Aceh Darussalam.
10. Membangun bandara baru dalam rangka menyediakan alternatif moda
transportasi yang cepat dan dapat membuka isolasi daerah serta
mengantisipasi terputusnya hubungan darat dan laut sebagai akibat
bencana seperti yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 dan gempa
tanggal 28 Maret 2005.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-7
11. Mengembangkan Bandara Sultan Iskandar Muda (Banda Aceh) sebagai
Bandara Internasional Hub dan Embarkasi Haji agar dapat didarati oleh
pesawat sejenis B747 serta pengembangan fasilitas pendukung lainnya.
12. Mengembangkan Bandara Maimun Saleh Sabang, Cut Nyak Dhien
Meulaboh, Lasikin Sinabang dan Rembele Takengon sebagai bandara
utama di Provinsi Aceh yang dapat didarati oleh pesawat sejenis F-28.
13. Meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur telematika daerah dalam
rangka integrasi data dan pelayanan informasi kepada publik.
14. Menyediakan koneksi dengan menggunakan teknologi Wireless 5,8 Ghz
dari dishubkomintel dengan seluruh SKPA
15. Menyediakan sarana dan prasarana jaringan di 23 kabupaten/kota masing-
masing berupa VSAT, 1 Noc dan 2 remote client, 3 BTS yang memiliki
Wireless Akses Point yang bisa di gunakan oleh masyarakat secara gratis,
8 unit personal komputer untuk telecenter bagi masyarakat, 8 unit telpon
analog berbasis Voip.
16. Penyediaan pusat informasi dan komunikasi Aceh dalam mewujudkan Aceh
Cyber Province melalui membangun Gedung Seuramo Aceh yang berfungsi
sebagai Media Center Aceh.
17. Penyediaan sistem telekomunikasi dengan dasar BWA (Broadband Wireless
Access) yang bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan sistem
tekhnologi informasi/ komunikasi oleh seluruh kalangan masyarakat di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
4.2.4 Lingkungan Hidup
Strategi pembangunan bidang lingkungan hidup tahun 2007 - 2012
adalah:
1. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup secara merata dengan melibatkan
partisipasi semua stake holders dan penegakan hukum dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-8
2. Melakukan penelitian dampak lingkungan penggunaan mercury, khususnya
di kawasan pertambangan emas Gunong Ujeun Kabupaten Aceh Jaya;
Sawang Kabupaten Aceh Selatan dan Geumpang Kabupaten Pidie, serta
Valuasi Ekonomi Danau Laut Tawar Kabupaten Aceh Tengah dan Aneuk
Laot di Kota Sabang.
3. Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang meliputi antara lain
pengendalian konflik satwa, penetapan tapal batas antara Kawasan
Ekosistem Leuser (KEL) dan diluar KEL.
4. Pengelolaan dan Rehabilitasi Terumbu Karang dan Mangrove 35 ha di
Kabupaten Aceh Besar dan Pidie Jaya.
5. Pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) seluas 5 - 10 ha masing-
masing di Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kota Lhokseumawe,
Kota Langsa, Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Barat.
6. Pengembangan desa model yang ramah lingkungan merupakan prioritas
untuk dijadikan pilot project pada masing-masing Kabupaten/Kota.
7. Konservasi sumberdaya air dan pengendalian kerusakan sungai Alas
Kabupaten Aceh Singkil.
4.2.5 Pertanahan
Strategi Pembangunan Bidang Lingkungan Hidup Tahun 2007 - 2012
adalah:
1. Menginventarisasi penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan
tanah (P4T) serta menyediakan sertifikat tanah bagi masyarakat ekonomi
lemah dan wilayah perbatasan.
2. Pecepatan pelimpahan Badan pertanahan menjadi Badan Otonomi di
Daerah.
4.2.6 Energi dan Sumber Daya Mineral
Strategi Pembangunan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun
2007 - 2012 adalah:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-9
1. Mengupayakan percepatan pembangunan pusat-pusat pembangkit yang
akan diinterkoneksikan ke sistem 150 kV Sumut-Aceh, dimana saat ini
sedang dalam pelaksanaan (committed) yaitu:
a. PLTU Batubara di Kabupaten Nagan Raya dengan total kapasitas 2 x
100 MW yang direncanakan beroperasi pada akhir tahun 2011 (tahap
konstruksi).
b. PLTP Seulawah di Kabupaten Aceh Besar dengan total kapasitas 2 x
20 MW yang akan beroperasi pada akhir tahun 2012.
c. PLTA Peusangan I dan II di Kabupaten Aceh Tengah dengan total
kapasitas 2 x 43 MW dibiayai dari Loan JBIC (Japan Bank International
Company) dan direncanakan beroperasi pada tahun 2011 dan 2013.
d. PLTA Lawe Mamas di Kabupaten Aceh Tenggara dengan total
kapasitas 3 x 30 MW yang direncanakan beroperasi pada tahun 2015.
2. Meningkatkan pengembangan pembangkit di system isolated yang
memiliki kapasitas terpasang sebesar 146,5 MW, dimana saat ini dengan
daya mampu sebesar 96 MW.
3. Pengembangan system transmisi 150 kV Tahun 2011 adalah Brastagi-
Kutacane, Bireun-Takengon, Sidikalang-Subulussalam. Pada Tahun 2012
adalah Sigli-Meulaboh, Meulaboh-Blangpidie, Blangpidie-Tapaktuan,
Incomer GI Jantho, Incomer GI Panton Labu, Incomer GI Cot Trueng.
Pada tahun 2013 dilakukan pembangunan Incomer GI Samalanga dan
pada tahun 2014 pengembangan transmisi Jantho-Krueng Raya dan
Kutacane-Blangkejeren.
4. Penambahan kapasitas trafo gardu induk (GI) dilakukan sejak tahun 2010
sampai dengan 2019 sebesar 420 MVA dan GI uprating adalah sebesar
350 MVA.
5. Menyediakan dan mendayagunakan sumberdaya alam tambang yang
berkelanjutan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup serta
menyediakan informasi geologi dan sumber daya mineral.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-10
4.3 Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan
Belajar
Permasalahan pendidikan tidak hanya menyangkut penyediaan layanan
pendidikan formal bagi peserta didik, tetapi juga pembekalan ilmu pengetahuan
(knowledge) dan ketrampilan (life skills) bagi setiap anggota masyarakat
melalui program Pendidikan Non Formal (PNF). Pemberantasan buta aksara
(illiteracy) perlu dilakukan secara serius sebagai upaya untuk mencerdaskan
seluruh rakyat dan mendukung pembelajaran sepanjang hidup (life long
learning).
Strategi pembangunan Pendidikan dan pemerataan kesempatan belajar di
Aceh akan dilakukan melalui:
4.3.1 Pemerataan dan Perluasan Akses
Strategi utama untuk meningkatkan pemerataan dan perluasan akses
adalah:
1. Mengurangi hambatan biaya pada tingkat pendidikan usia dini, pendidikan
dasar, menengah, dayah dan luar sekolah.
2. Meningkatkan efektivitas internal dan tingkat kelangsungan sekolah di
setiap jenjang pendidikan.
3. Meningkatkan partisipasi yang lebih besar dari masyarakat dan dunia
usaha.
4. Mengembangkan fasilitas pendidikan yang fokus dalam rangka menghapus
hambatan kesempatan belajar dan perluasan akses penyediaan pendidikan
dasar dan menengah di daerah-daerah terpencil, pemukiman terpencar dan
daerah kepulauan.
5. Meningkatkan pengembangan Perguruan Tinggi sesuai dengan prioritas
dan arah pengembangan daerah.
6. Pengembangan fasilitas dayah dalam menunjang pelayanan pendidikan
yang bermutu.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-11
4.3.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing
Strategi utama untuk meningkatkan mutu, relevansi, dan daya saing
adalah:
1. Meningkatkan kinerja pelayanan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan
2. Mengupayakan desentralisasi sekolah/manajemen kelembagaan, dan
manajemen perencanaan pengembangan guru.
3. Meningkatkan reformasi kurikulum dan bahan ajar sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan.
4. Meningkatkan monitoring kinerja sekolah/kelembagaan dan prestasi siswa.
5. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana penunjang pembelajaran yang
bermutu.
6. Mengembangkan pendidikan unggulan pada jenjang pendidikan dasar,
menengah dan dayah.
7. Mengoptimalkan pembinaan dan pengembangan kelembagaan, kurikulum,
manajemen, serta akreditasi dayah.
8. Mengoptimalkan penelitian dan pengembangan pendidikan.
4.3.3 Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Publik
Strategi utama untuk meningkatkan tata kelola, akuntabilitas, dan
pencitraan publik adalah :
1. Memperkuat sistem perencanaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi.
2. Meningkatkan sistem manajemen kelembagaan dan sekolah.
3. Meningkatkan tata kelola yang akuntabel dan transparan.
4. Meningkatkan koordinasi antar PT/PTS dan Akreditasi pendidikan.
4.3.4 Penerapan Sistem Pendidikan Bernuansa Islami
Strategi utama untuk mempercepat penerapan sistem pendidikan yang
bernuansa Islami adalah:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-12
1. Meningkatkan koordinasi dengan berbagai pihak terkait dalam rangka
penerapan syari’at Islam.
2. Meningkatkan sarana peribadatan, media pembelajaran dan penerapan
budaya yang menunjang pendidikan bernuansa Islami.
3. Meningkatkan kualitas guru dalam metode internalisasi nilai-nilai Islami.
4. Meningkatkan monitoring dan evaluasi pelaksanaan sistem pendidikan yang
bernuansa Islami secara berkala.
5. Mengupayakan penambahan jam pelajaran agama di sekolah dan pelatihan
tentang pemahaman Al-Qur’an.
4.4 Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan
Dalam rangka peningkatan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan
Aceh yang pada saat ini masih perlu ditingkatkan meliputi aspek status
kesehatan (umur harapan hidup, angka kematian ibu dan angka kematian bayi,
angka kesakitan, status gizi), pelayanan kesehatan, kondisi kesehatan
lingkungan, pembiayaan kesehatan, fasilitas kesehatan dan sumber daya
kesehatan maka perlu ditempuh Strategi sebagai berikut:
1. Meningkatkan pelayanan kesehatan minimal bagi masyarakat.
2. Meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan melalui
perencanaan yang tepat, penempatan tenaga kesehatan dan peningkatan
kapasitas yang sesuai untuk mendukung pembangunan sistem kesehatan
daerah.
3. Meningkatkan jangkauan, pemerataan, efisiensi dan mutu pelayanan
kesehatan.
4. Meningkatkan pencegahan dan pengendalian penyakit serta kesehatan
lingkungan termasuk penanggulangan bencana.
5. Memperkuat mekanisme rujukan dengan memanfaatkan rumah sakit
dengan pelayanan unggulan.
6. Meningkatkan pendidikan kesehatan masyarakat melalui promosi kesehatan
dan mengembangkan sistem informasi kesehatan berbasis data teknologi.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-13
7. Melakukan penelitian terhadap kebijakan dan masalah kesehatan.
8. Mengembangkan pola Badan Layanan Umum (BLU) di rumah sakit provinsi
dan kabupaten/kota.
9. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama lintas sektor, masyarakat,
termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat Lokal, Nasional dan Internasional
di setiap upaya pembangunan kesehatan melalui advokasi.
10. Meningkatkan fasilitas pendidikan kesehatan dan kedokteran.
11. Meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan dasar.
12. Meningkatkan Jaminan Kesehatan kepada Masyarakat Miskin diseluruh
Aceh (JKA) dalam bentuk pengobatan gratis.
13. Meningkatkan sarana dan prasarana pendukung lainnya.
4.5 Pembangunan Syariat Islam, Sosial dan Budaya
4.5.1 Syari’at Islam
Syari`at Islam di Aceh secara resmi telah menjadi sumber nilai dan
sumber penuntun perilaku dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tataran
kehidupan pribadi, kehidupan bermasyarakat, maupun dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Strategi pembangunan syari’at Islam adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan peran ulama dalam semua sektor kehidupan pemerintah dan
masyarakat.
2. Meningkatkan kerjasama dan koordinasi keagamaan baik dengan instansi
terkait maupun lembaga keagamaan tingkat Nasional dan Internasional.
3. Meningkatkan kualitas pendidikan agama di sekolah-sekolah dan perguruan
tinggi.
4. Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat
tentang pelaksanaan Syari’at Islam.
5. Meningkatkan pengawasan tentang pelaksanaan Syari’at Islam.
6. Meningkatkan pemberdayaan lembaga keagamaan dalam melakukan
sertifikasi, penatausahaan, pengelolaan dan pemberdayaan harta agama.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-14
4.5.2 Sosial Budaya
Budaya masyarakat Aceh memiliki karakteristik yang berbeda dengan
budaya daerah lain, masyarakat Aceh selalu mempertahankan jati diri dan
kepribadian yang mendasari nilai-nilai islami. Begitu juga kehidupan sosial erat
kaitannya dengan budaya dan adat istiadat yang bersendikan syari’at
sebagaimana ditamsilkan dalam syair ”hukom ngoen adat lage zat ngoen
sifeut”. Untuk itu strategi yang ditempuh sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas dan pelayanan kesejahteraan sosial di seluruh Aceh.
2. Meningkatkan dan mengembangkan potensi sumber daya sosial.
3. Mengembangkan dan membangun ekonomi masyarakat pedesaan dan
pengentasan kemiskinan.
4. Meningkatkan dan penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan
anak dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan.
5. Meningkatkan kualitas hidup dan perlindungan hukum terhadap perempuan
dan anak.
6. Meningkatkan peran dan hubungan antar lembaga pemuda serta
pengembangan sistem kaderisasi organisasi kepemudaan.
7. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pemuda dalam rangka
Menanggulangi dampak demoralitas pemuda.
8. Membudayakan olahraga di kalangan masyarakat.
9. Memotivasi penguatan institusi keolahragaan di daerah melalui
bantuan/subsidi.
10. Meningkatkan penguatan peran kelembagaan adat.
11. Memaksimalkan peran dan koordinasi antar lembaga adat dengan pihak-
pihak yang terkait.
12. Mengembangkan apresiasi budaya, kesenian, bahasa dan adat istiadat.
13. Melestarikan dan memelihara situs dan cagar budaya.
14. Meningkatkan jumlah wisatawan dalam dan luar negeri dengan
mengikutsertakan peran serta masyarakat, berlandaskan pada sosial
budaya ke-Acehan dan bernuansa Islami.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-15
15. Menumbuhkan kultur demokrasi yang sehat, kompetitif dialogis dan
rasional.
16. Melestarikan dan menghargai nilai-nilai kepahlawanan para pejuang.
17. Menggali dan membina kekayaan adat istiadat, seni, budaya dan bahasa.
18. Meningkatkan penguatan fungsi meunasah sebagai pusat pemberdayaan
masyarakat.
19. Meningkatkan penegakan hukum adat di tingkat gampong dan kemukiman.
4.6 Penciptaan Pemerintah Yang Baik dan Bersih Serta Penyehatan
Birokrasi Pemerintahan
Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih
sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat dalam menjalankan roda
pemerintahan mulai dari pemerintah gampong, mukim, kecamatan, kabupaten
dan provinsi perlu dilakukan strategi sebagai berikut:
1. Mewujudkan pemerintahan yang transparan, partisipatif dan akuntabel.
2. Membangun kelembagaan pemerintah daerah yang sesuai dengan
kebutuhan.
3. Meningkatkan sarana dan prasarana pendukung kinerja.
4. Memperjelas kewenangan antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota,
kecamatan dan gampong.
5. Memfasilitasi penyelesaian masalah tata ruang dan batas wilayah
administrasi bagi kabupaten/kota.
6. Menyelesaikan pemetaan, pemberian nama-nama, toponomi pulau kecil
dan terluar.
7. Menetapkan batas wilayah administrasi, titik kordinat, dan penguasaan
wilayah secara ekonomi dan sosial budaya.
8. Meningkatkan kapasitas Sumber Daya aparatur.
9. Melakukan revitalisasi baperjakat dalam penempatan dan penjenjangan
karir aparatur.
10. Memberikan penghargaan dan sanksi kepada aparatur secara adil.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-16
11. Menerapkan sistem birokrasi pemerintahan yang baik dan bersih.
12. Meningkatkan pemahaman berbangsa dan bernegara dalam rangka
memeliharan keutuhan NKRI.
13. Meningkatkan pengetahuan kader politik yang bebas, adil dan islami serta
memihak kepentingan masyarakat.
14. menjamin perbedaan berpendapat dan berpolitik
15. Meningkatkan etika dan pendidikan politik yang sehat melalui rasa saling
percaya dan menghargai (sportifitas) di dalam kelompok masyarakat.
16. Meningkatkan pemahaman terhadap hukum di Aceh dan Pengkajian
materi hukum sesuai dengan amanah UUPA.
17. Meningkatkan kapasitas dan sumber daya aparat penegak hukum serta
dukungan sarana dan prasarana.
18. Mengupayakan bantuan hukum dalam kasus prodeo dan Peningkatan
penyuluhan hukum kepada masyarakat.
19. Melakukan Inventarisasi kebijakan kabupaten/kota yang bertentangan
dengan kepentingan umum dan ketentuan perundang-undangan lebih
tinggi.
20. Meningkatkan kapasitas aparatur dan penyediaan fasilitas sarana,
prasarana Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
4.7 Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana
Secara substansial, penanggulangan bencana dilakukan sejak awal yaitu
dengan mengurangi ancaman, meningkatkan kapasitas dan mengurangi
kerentanan individu dan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan pemetaan
ancaman bencana, kerentanan dan kapasitas masyarakat dengan menganalisa
risiko secara komprehensif.
Strategi penanggulangan bencana secara umum dilakukan dengan
mengurangi resiko ancaman yang meliputi :
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 IV-17
1. Meningkatkan perlindungan daerah atau kawasan lindung dari eksploitasi
ekonomi yang bersifat destruktif, melalui regulasi dan penegakan hukum
serta perkuatan fungsi masyarakat sekitar kawasan untuk mengelolanya.
2. Meningkatkan pembangunan ekonomi masyarakat bagi pelaku usaha skala
mikro, kecil dan menengah sebagai bagian peningkatan kapasitas ekonomi
masyarakat.
3. Meningkatkan pembangunan, pemeliharaan dan pendayagunaan
infrastruktur secara optimal sebagai salah satu bagian dari pengurangan
ancaman bencana.
4. Mengupayakan penyediaan sarana dan prasarana dasar yang bersifat
antisipatif dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana termasuk
prosedur standar pelayanan.
5. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat melalui penyebarluasan
informasi, pelatihan ketrampilan dalam rangka penanganan pengurangan
resiko bencana.
6. Meningkatkan peran aktif semua komponen masyarakat (termasuk dunia
usaha dan instansi vertikal di daerah) sebagai satu kesatuan sistem
masyarakat Aceh sebagai subyek dan atau obyek dalam pengurangan
risiko bencana.
7. Meningkatkan pemahaman dan peran SKPA/SKPK dalam penyelenggaraan
pengurangan risiko bencana.
8. Memberikan perhatian khusus kepada wanita, anak dan lansia dalam hal
mewujudkan kesejajaran dan menumbuhkan kemitraan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-1
BAB V
ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN ACEH
Arah kebijakan keuangan Aceh yaitu mengelola pendapatan dan belanja
daerah sehingga mendukung berbagai kebijakan Pemerintah Daerah dalam
penyusunan program dan kegiatan secara efektif dan efisien sehingga tercapai
sasaran sesuai dengan tujuan yang direncanakan.
Pengelolaan keuangan Aceh dilaksanakan dalam suatu sistem yang
terintegrasi yang diwujudkan dalam APBA mengacu kepada penyusunan anggaran
berbasis kinerja yang setiap tahun ditetapkan dengan qanun. Adapun ruang
lingkup pengelolaan keuangan Aceh meliputi:
1. Hak untuk memungut pajak dan retribusi serta melakukan pinjaman;
2. Kewajiban untuk membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan,
melaksanakan pembangunan dan membayar tagihan pihak ketiga;
3. Pengelolaan pendapatan Aceh;
4. Pengelolaan belanja Aceh;
5. Pengelolaan pembiayaan daerah yang meliputi aspek kekayaan daerah yang
dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,
barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan
yang dipisahkan pada perusahaan daerah, kekayaan pihak lain yang dikuasai
oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan
daerah dan/atau kepentingan umum.
Dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintahan Aceh berdasarkan
UUPA, diikuti dengan pemberian sumber pendanaan kepada Pemerintah Aceh.
Oleh karena itu, keuangan daerah harus diarahkan pengelolaannya secara tertib,
taat azas sesuai peraturan perundang-undangan, efisien, efektif, transparan, dan
akuntabel dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan memberi manfaat
yang besar bagi masyarakat.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-2
5.1 Arah Kebijakan Pengelolaan Pendapatan
Dalam pengelolaan anggaran pendapatan daerah harus diperhatikan upaya
peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah secara terus menerus tanpa
harus menambah beban bagi masyarakat. Pendapatan daerah yang berasal dari
PAA dalam struktur APBA merupakan elemen yang cukup penting peranannya
dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pemberian pelayanan
kepada publik. Apabila dikaitkan dengan pembiayaan daerah secara keseluruhan,
maka pendapatan daerah yang berasal dari daerah sendiri (PAA) merupakan
alternatif utama dalam mendukung program kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan publik di samping pendapatan yang berasal dari
Pemerintah berdasarkan UUPA.
Kondisi Umum Anggaran Pendapatan Aceh tahun 2007-2012 disusun
dengan mempertimbangkan adanya berbagai perubahan ke arah semakin
membaiknya kondisi keamanan pasca kesepakatan damai antara RI-GAM di
Helsinki Finlandia yang ditindaklanjuti dengan pengesahan Undang-undang Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kondisi ini diikuti dengan mulai
normalnya kondisi sosial serta psikologis masyarakat pasca bencana alam dan
gelombang Tsunami yang berpengaruh kepada semakin membaiknya tatanan
kehidupan masyarakat.
Untuk membiayai berbagai program kegiatan Pemerintah Daerah, baik
urusan wajib maupun urusan pilihan dalam kerangka meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat sangat ditentukan oleh ketersediaan dana. Berdasarkan pasal
179 ayat (2) UUPA, Pendapatan Daerah terdiri atas PAA, Dana Perimbangan, Dana
Otonomi Khusus, dan lain-lain pendapatan yang sah.
Adapun jenis PAA terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, keuntungan perusahaan daerah,
zakat dan lain-lain Pendapatan Asli Aceh yang sah.
Dana perimbangan sebagaimana dimaksud di atas terdiri atas:
1. Dana bagi hasil pajak, yaitu bagian dari : (a) penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) sebesar 90 persen (sembilan puluh persen); (b) penerimaan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 80 persen
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-3
(delapan puluh persen); dan (c) penerimaan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 25
dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21)
sebesar 20 persen (dua puluh persen).
2. Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain,
yaitu: (a) bagian dari kehutanan sebesar 80 persen (delapan puluh persen);
(b) bagian dari perikanan sebesar 80 persen (delapan puluh persen); (c)
bagian dari pertambangan umum sebesar 80 persen (delapan puluh persen);
(d) bagian dari pertambangan panas bumi sebesar 80 persen (delapan puluh
persen);(e) bagian dari pertambangan minyak sebesar 15 persen (lima belas
persen); dan (f) bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30 persen (tiga
puluh persen).
3. Dana Alokasi Umum (DAU).
4. Dana Alokasi Khusus (DAK).
5. Dana Tambahan Bagi Hasil Migas dan Dana OTSUS tambahan 2 persen dari
DAU Nasional selama 15 Tahun dan dilanjutkan 1 persen dari DAU Nasional
selama 5 tahun.
Selain dana bagi hasil sebagaimana disebutkan di atas, Pemerintah Aceh
mendapat tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi yang merupakan
bagian dari penerimaan Pemerintah Aceh, yaitu bagian dari: 1). pertambangan
minyak sebesar 55 persen (lima puluh lima persen); dan 2) pertambangan gas
bumi sebesar 40 persen (empat puluh persen).
Pemerintah Aceh berwenang mengelola tambahan dana bagi hasil minyak
dan gas bumi sebagaimana dimaksud di atas. Dana tersebut merupakan
pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Dimana 30
persen (tiga puluh persen) dari pendapatan tersebut dialokasikan untuk
membiayai pendidikan dan 70 persen (tujuh puluh persen) dialokasikan untuk
membiayai program pembangunan yang disepakati bersama antara Pemerintah
Aceh dengan pemerintah kabupaten/kota. Program pembangunan yang sudah
disepakati tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh.
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola APBA/APBK
secara tertib, taat kepada peraturan perundang-undangan, efisien, efektif,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-4
transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan,
kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Pengelolaan APBA dan APBK
dilaksanakan melalui suatu sistem yang diwujudkan dalam APBA dan APBK,
mengacu kepada penyusunan anggaran yang berbasis kinerja yang setiap
tahunnya diatur dengan qanun.
Alokasi anggaran belanja untuk pelayanan publik dalam APBA/APBK
diupayakan lebih besar dari alokasi anggaran belanja untuk aparatur. Dalam
keadaan tertentu, Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota dapat
menyusun APBA/APBK yang berbeda dengan ketentuan di atas.
Anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan paling sedikit 20 persen (dua
puluh persen) dari APBA/APBK dan diperuntukkan bagi pendidikan Pada tingkat
sekolah dasar dan menengah. Pengelolaan dana pendidikan
dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota
dalam pertanggungjawaban APBA/APBK.
Pemerintah melaksanakan prinsip transparansi dalam pengelolaan
keuangan daerah. Pemerintah Aceh harus menerima auditor independen yang
ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan pemeriksaan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BPK menyerahkan
hasil pemeriksaan tersebut kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh.
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berwenang mengatur
tata cara pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana APBA dan APBK
dengan berpedoman Padaperaturan perundang-undangan. Pemerintah Aceh
menetapkan sistem akuntansi keuangan dengan berpedoman Pada standar
akuntansi pemerintahan.
Pemerintah Aceh berwenang menetapkan persyaratan untuk lembaga
keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank dalam penyaluran kredit di
Aceh sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya pemerintah Aceh dapat menetapkan tingkat suku bunga tertentu
setelah mendapatkan kesepakatan dengan lembaga keuangan bank dan lembaga
keuangan bukan bank terkait.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-5
Pemerintah Aceh dapat menanggung beban bunga akibat tingkat suku
bunga untuk program pembangunan tertentu yang telah disepakati dengan DPRA.
Bank asing dapat membuka cabang atau perwakilan di Aceh sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Setiap pelimpahan wewenang pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah di daerah disertai dengan dana. Kegiatan dekonsentrasi di daerah
dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah yang ditetapkan oleh Gubernur.
Gubernur Aceh memberitahukan rencana kerja dan anggaran pemerintah yang
berkaitan dengan tugas yang dilimpahkan dalam rangka dekonsentrasi kepada
DPRA.
Dalam hal tugas pembantuan dari Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota, mukim/gampong disertai dengan dana. Kegiatan
tugas pembantuan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah yang
ditetapkan oleh gubernur, bupati/walikota. Gubernur, bupati/ walikota
memberitahukan rencana kerja dan anggaran Pemerintah yang berkaitan dengan
tugas pembantuan kepada DPRA/DPRK. Semua barang yang diperoleh dari dana
tugas pembantuan menjadi barang milik negara. Barang milik negara dapat
dihibahkan kepada Pemerintah Daerah, pemerintah kabupaten/kota, dan
mukim/gampong.
Arah dan kebijakan keuangan daerah tahun 2007 - 2012 yang ditempuh
dalam meningkatkan Pendapatan Daerah adalah :
1. Menghimpun penerimaan dari semua sumber pendapatan daerah secara
optimal sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku;
2. Mengupayakan peningkatan PAA dari masing-masing bagian pendapatan
daerah sehingga kebutuhan pembiayaan Pemerintah Aceh dapat dipenuhi
secara tepat dan cukup; dan
3. Memberdayakan segenap potensi yang dimiliki untuk dapat meningkatkan
pendapatan daerah.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-6
Agar arah dan kebijakan pendapatan daerah tersebut dapat dicapai, maka
ditetapkan beberapa strategi yaitu:
1. Pemberdayaan segenap aparatur, dengan cara meningkatkan motivasi, disiplin
dan etos kerja guna dapat meningkatkan kinerja;
2. Meningkatkan koordinasi dengan segenap instansi/institusi dalam rangka
mengoptimalkan pendapatan daerah baik di daerah maupun pusat serta antar
provinsi;
3. Memperluas jangkauan pelayanan, dengan membuka tempat-tempat
pelayanan pajak daerah, retribusi daerah dan pendapatan lainnya di
kabupaten/kota sepanjang dapat meningkatkan penerimaan pendapatan
daerah;
4. Sosialisasi melalui pemanfaatan berbagai media komunikasi dalam rangka
intensifikasi pemungutan pajak daerah, retribusi daerah, dan penerimaan
lain-lain yang sah;
5. Melakukan pendekatan yang intensif dengan berbagai pihak, baik dalam
rangka peningkatan sumbangan pihak ketiga maupun penerimaan yang
bersumber dari bagi hasil dan Dana Alokasi Umum (DAU);
6. Mempecepat penetapan qanun yang mengatur tentang berbagai PAA yang
belum ada pengaturannya; dan
7. Reformasi pelayanan investasi sebagai bagian dari sistem perekonomian
nasional dalam rangka penciptaan perekonomian Aceh yang terbuka dan
tanpa hambatan.
5.2 Arah Kebijakan Pengelolaan Belanja
Belanja Aceh diarahkan kepada peningkatan proporsi belanja yang berpihak
untuk kepentingan publik, di samping tetap menjaga eksistensi penyelenggaraan
pemerintahan. Dalam penggunaannya, belanja daerah harus tetap
mengedepankan efisiensi dan efektivitas serta penghematan yang dilakukan
dengan cara penganggaran belanja yang mengacu pada penyusunan anggaran
berbasis kinerja sesuai dengan prioritas program kegiatan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-7
Dalam rangka peningkatan sumber daya manusia, Pemerintah Aceh
mengupayakan 20 persen dari total belanja setiap tahunnya untuk membiayai
pembangunan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang
Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selanjutnya
sebagaimana yang diamanatkan oleh UUPA bahwa kebijakan belanja khusus
pemanfaatan pendapatan yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus dan
Tambahan Dana Bagi Hasil Migas adalah sesuai yang diatur oleh Qanun Nomor 2
Tahun 2008.
Sebagaimana ketentuan yang telah diatur pada penjelasan pasal 17 ayat 3
dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan pasal
83 ayat 2 berikut penjelasannya dalam Undang-undang Nomor 33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
maka jumlah kumulatif defisit anggaran tidak diperkenankan melebihi 3 persen
dari Produk Domestik Regional Bruto tahun bersangkutan.
5.3 Arah Kebijakan Umum Anggaran
a) Pendapatan Daerah
Formulasi kebijakan dalam mendukung pengelolaan anggaran pendapatan
Aceh akan lebih difokuskan Pada upaya untuk mobilisasi pendapatan asli daerah
dan penerimaan daerah lainnya. Kebijakan pendapatan daerah Provinsi Aceh
tahun 2007-2012 diperkirakan akan mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 5 -
6 persen serta diperkirakan akan dapat meningkatkan penerimaan daerah.
Pertumbuhan komponen pajak daerah, retribusi daerah, penerimaan dari zakat,
bagian laba dari BUMD dan hasil Perusahaan Daerah akan menjadi faktor yang
penting dalam mendorong pertumbuhan PAA untuk masa yang akan datang. PAA
yang besar akan meningkatkan kemampuan membiayai kegiatan
pembangunan/investasi, sedangkan biaya rutin dibiayai oleh dana pemerintah
pusat.
Dana Perimbangan merupakan komponen dari Bagi Hasil Pajak sebagai
bagian yang penting dalam meningkatkan pendapatan daerah untuk periode 2007-
2012. Disamping dana perimbangan, pemerintah Aceh mendapat Dana Otonomi
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-8
Khusus sebagaimana diatur dalam UUPA. Dana Otonomi khusus ini ditujukan
untuk membiayai kegiatan pembangunan seperti pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, perbaikan
pendidikan, kehidupan sosial, dan kesehatan. Dana Otonomi Khusus ini berlaku
untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama
sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen)
plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai
dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu persen) plafon
Dana Alokasi Umum Nasional.
Ketentuan dimaksud berlaku untuk daerah Aceh sesuai dengan batas
wilayah Aceh. Program pembangunannya dituangkan dalam program
pembangunan provinsi dan kabupaten/kota di Aceh dengan memperhatikan
keseimbangan kemajuan pembangunan antar kabupaten/kota untuk dijadikan
dasar pemanfaatan dana otonomi khusus yang pengelolaannya diadministrasikan
Pada Pemerintah Provinsi Aceh. Penggunaan Dana Otonomi Khusus dilakukan
untuk setiap tahun anggaran yang diatur lebih lanjut dalam Qanun Aceh.
Selanjutnya untuk mengkoordinasikan tambahan Dana Bagi Hasil dan Dana
Otonomi Khusus, Gubernur dapat membentuk satuan unit kerja.
Terdapat beberapa hal yang cukup signifikan terkait dengan prospek
keuangan daerah ke depan antara lain adalah, Bahwa peranan pajak daerah dan
BUMD dalam memberikan sumbangan kepada PAA kedepan akan semakin
penting. Untuk itu, upaya ekstensifikasi melalui perluasan basis pajak tanpa harus
menambah beban kepada masyarakat dan intensifikasi melalui upaya yang terus
menerus dalam melakukan perbaikan kedalam dan senantiasa meningkatkan
kesadaran wajib pajak dan retribusi tetap dilanjutkan secara konsisten, termasuk
upaya meningkatkan efisiensi, baik di tubuh penyelenggara pemerintahan daerah
Provinsi Aceh maupun pada setiap perusahaan daerah.
Disamping upaya ekstensifikasi PAA sebagaimana yang telah disampaikan,
juga perlu prioritas pembangunan harus benar-benar fokus pada sektor-sektor
yang mampu menarik investasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi dalam
upaya memperluas basis PAA dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-9
Penerimaan PAA selama ini sangat didominasi oleh Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Pada tahun
2007, kedua jenis PAA ini diperkirakan akan mengalami kenaikan yang cukup
berarti, terutama dengan meningkatnya penambahan jumlah kenderaan baru
akibat meningkatnya kesejahteraan rakyat. Perubahan-perubahan yang terjadi
perlu dicermati secara tepat dalam menetapkan perkiraan yang lebih realistik
untuk tahun 2007 - 2012.
Di samping itu, pasca pengesahan UUPA dan suksesnya Pemilihan Kepala
Daerah secara langsung akan berdampak Pada berkembangnya perekonomian
daerah yang Padagilirannya dapat memperbesar jumlah basis dan kapasitas PAA.
Perkiraan PAA yang direncanakan tetap mengacu kepada ketentuan
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000, Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 65
Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tentang
Retribusi Daerah.
Retribusi daerah merupakan bagian yang cukup berarti dari penerimaan
PAA. Retribusi ini terkait dengan pengelolaan kepemilikan sumber daya alam yang
dikuasai oleh Pemerintah Daerah dan pungutan atas pelayanan publik. Pelayanan
publik yang baik dan luas berpengaruh secara positif terhadap peningkatan
retribusi daerah.
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah termasuk bagi hasil keuntungan
yang diperoleh dari Perusahaan Daerah, sumbangan pihak ketiga, penerimaan
atas pelayanan oleh Dinas atau Unit Kerja lainnya, jasa giro dan lain-lain, dapat
ditingkatkan melalui pembinaan dan sosialisasi yang intensif.
Penetapan zakat sebagai salah satu sumber PAA oleh Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2001 jo UUPA No. 11 Tahun 2006. Zakat, harta wakaf, dan
harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota. Zakat
yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan
terhutang dari wajib pajak. Oleh karena itu, potensi ini perlu ditangani secara
tepat dengan mempersiapkan Qanun dan manajemen yang baik untuk
mengelolanya.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-10
Secara teoritis, pendapatan daerah akan sangat dipengaruhi oleh kondisi
perekonomian Aceh yang akan terjadi sampai dengan tahun 2012, atau dengan
kata lain, bahwa suatu pendapatan daerah - termasuk Pendapatan Asli Aceh -
harus benar-benar mampu merespon perkembangan ekonomi yang diperkirakan
akan terjadi.
Basis PAA pada dasarnya ditentukan oleh besaran kegiatan ekonomi di
daerah. Besaran kegiatan ekonomi dapat diukur dengan perkembangaan PDRB.
Seterusnya perkembangan PDRB tergantung pada besaran investasi dan efisiensi
penggunaan modal yang dapat diukur dengan rasio tambahan modal terhadap
tambahan pendapatan (ICOR). Beberapa asumsi ekonomi makro yang
berpengaruh pada peningkatan PAA antara lain:
a. Pertumbuhan ekonomi Aceh diperkirakan berkisar antara 5 - 6% selama
periode 2007 - 2012.
b. Selama periode 2007-2012 proyeksi tingkat inflasi diperkirakan akan mencapai
sekitar 8 persen untuk setiap tahunnya, dan;
c. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) tahunan selama periode proyeksi
adalah sekitar antara 3,9 kemudian menurun menjadi 3,5 dalam tahun 2012.
Proyeksi pendapatan daerah sesuai dengan berbagai sumber pendapatan
yang telah dijelaskan dapat ditunjukkan PadaTabel 5.1.
Tabel V.1Proyeksi dan Prospek Pendapatan Daerah Aceh
Tahun 2007-2012(Jutaan rupiah)
NoJenis
Pendapatan2007 2008 2009 2010 2011 2012
1 PAA 537.500 625.500 714.700 806.208 897.310 989.909
2 Dana
Perimbangan3.319.647 3.443.123 3.624.648 3.846.620 4.126.316 4.642.948
3 Dana Otsus - 3.800.000 4.180.000 4.598.000 5.057.800 5.563.580
Jumlah 3.857.147 7.868.623 8.519.348 9.250.828 10.081.426 11.196.437
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-11
b) Belanja Aceh
Kebijakan belanja daerah sampai dengan tahun 2012 diperkirakan masih
didominasi oleh belanja langsung berkisar sekitar 75 - 80 persen. Sedangkan
untuk belanja tidak langsung berkisar 20 - 25 persen. Belanja daerah yang
diakomodasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) merupakan
rencana belanja tahunan untuk membiayai berbagai kegiatan pemerintah baik
yang bersifat rutin maupun pembangunan ditetapkan dengan qanun. Berdasarkan
pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah, belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota
yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan ditetapkan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban
daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan,
kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan
sistem jaminan sosial.
Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat diwujudkan melalui perluasan
lapangan kerja, pencapaian standar hidup minimal berdasarkan urusan wajib
pemerintah Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan
kegiatan, serta jenis belanja. Sedangkan klasifikasi belanja menurut organisasi
disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah. Adapun klasifikasi
belanja menurut fungsi terdiri dari:
a. Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan;
b. Klasifikasi untuk tujuan keselarasan serta keterpaduan dalam rangka
pengelolaan keuangan negara.
c. Klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan diklasifikasikan menurut
kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan
klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan
keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari: 1) pelayanan umum;
2) ketertiban dan keamanan; 3) ekonomi; 4) lingkungan hidup; 5) perumahan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-12
dan fasilitas umum; 6) kesehatan; 7) pariwisata dan budaya; 8) agama; 9)
pendidikan; serta 10) perlindungan sosial.
d. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Beberapa asumsi pokok yang akan mempengaruhi kebijakan belanja daerah
kedepan adalah:
a. Perkiraan penerimaan pendapatan daerah diharapkan dapat terpenuhi,
sehingga dapat memberikan dukungan terhadap pertumbuhan perekonomian
daerah dan mampu mencukupi kebutuhan pelayanan dasar serta
penyelenggaraan pemerintahan
b. Perkiraan kebutuhan belanja daerah dapat mendanai program-program
strategis daerah dalam mendukung dan menjaga target-target indikator yang
telah ditetapkan.
Dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang lebih berkualitas
dan berdaya guna bagi masyarakat maka prioritas belanja Aceh juga diarahkan
untuk membiayai penuntasan asset, fungsionalisasi asset dan percepatan
pembangunan Aceh.
c) Pembiayaan Daerah
Pembiayaan Daerah merupakan setiap penerimaan yang perlu dibayar
kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pembiayaan daerah tersebut meliputi semua transaksi keuangan untuk menutup
defisit atau untuk memanfaatkan surplus.
Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran
pembiayaan. Berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah yang merupakan pelaksanaan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Penerimaan
pembiayaan mencakup;
a. SiLPA tahun anggaran sebelumnya;
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-13
b. SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup sisa dana untuk mendanai
kegiatan lanjutan, uang pihak ketiga yang belum diselesaikan, pelampauan
target pendapatan daerah, penerimaan dan pengeluaran lainnya yang belum
diselesaikan melalui kas daerah sampai dengan akhir tahun anggaran
sebelumnya.
c. Pencairan dana cadangan;
d. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;
e. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan dapat berupa hasil penjualan
perusahaan milik daerah/BUMD dan penjualan aset milik pemerintah daerah
yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga, atau hasil divestasi penyertaan
modal pemerintah daerah;
f. Penerimaan pinjaman;
g. Termasuk dalam penerimaan pinjaman daerah adalah penerbitan obligasi
daerah yang akan direalisasikan PAA tahun anggaran berkenan;
h. Penerimaan kembali pemberian pinjaman;
Sedangkan pengeluaran pembiayaan mencakup:
a. Pembentukan dana cadangan;
b. Penyertaan modal pemerintah daerah;
c. Pembayaran pokok utang; dan
d. Pemberian pinjaman.
Pembiayaan netto merupakan selisih lebih penerimaan pembiayaan
terhadap pengeluaran pembiayaan. Jumlah pembiayaan netto harus dapat
menutup defisit anggaran.
Adapun kebijakan yang ditetapkan dalam menyertai Pembiayaan Daerah
yang dapat ditempuh adalah optimalisasi sumber penerimaan pembiayaan yang
paling mungkin dapat dilakukan secara cepat, yaitu dari Sisa Lebih Perhitungan
Anggaran Tahun Lalu. Selain itu juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pengeluaran pembiayaan yang timbul dari pernyertaan modal dan pembayaran
utang pokok yang jatuh tempo.
Asumsi dasar yang menyertai dalam penetapan kebijakan pembiayaan di
atas, adalah alternatif pembiayaan dari sisi penerimaan diharapkan mampu
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-14
memenuhi kebutuhan pembiayaan dari sisi pengeluaran. Alternatif penerimaan
pembiayaan yang bisa dikembangkan, seperti : pinjaman daerah, penerbitan surat
obligasi dan penjualan aset, baik yang akan dipergunakan untuk penyertaan modal
maupun pembayaran angsuran utang pokok yang akan jatuh tempo, ataupun
program pengeluaran pembiayaan lainnya yang timbul sebagai akibat dari
pengembangan alternatif penerimaan pembiayaan.
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memperoleh
pinjaman dari Pemerintah yang dananya bersumber dari luar negeri atau
bersumber selain dari pinjaman luar negeri dengan persetujuan Menteri Keuangan
setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota dapat memperoleh pinjaman dari dalam negeri yang
bukan berasal dari pemerintah dengan pertimbangan Menteri Dalam Negeri.
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat menerima hibah
dari luar negeri dengan kewajiban memberitahukan kepada Pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/ Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten/Kota (DPRK). Penerimaan hibah bersifat tidak mengikat secara politis
baik terhadap Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota;
tidak mempengaruhi kebijakan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota;
tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan; dan tidak bertentangan
dengan ideologi negara. Dalam hal hibah mensyaratkan adanya kewajiban yang
harus dipenuhi Pemerintah seperti hibah yang terkait dengan pinjaman dan yang
mensyaratkan adanya dana pendamping, harus dilakukan melalui Pemerintah dan
diberitahukan kepada DPRA/DPRK.
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat menerbitkan
obligasi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Aceh
dan pemerintah kabupaten/kota dapat menyediakan dana cadangan yang
disisihkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang
tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran.
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan
penyertaan modal/kerja sama pada/dengan Badan Usaha Milik Negara/Daerah
dan/atau badan usaha milik swasta atas dasar prinsip saling menguntungkan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-15
Penyertaan modal/kerja sama dapat ditambah, dikurangi, dijual kepada pihak lain,
dan/atau dapat dilakukan divestasi atau dialihkan kepada badan usaha milik
daerah. Penyertaan modal/kerja sama tersebut dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan anggaran yang timbul akibat penyertaan
modal/kerja sama dicantumkan dalam APBA/APBK.
Adapun kebijakan yang ditetapkan dalam menyertai Pembiayaan Daerah
adalah sebagai berikut :
a. Pendapatan Daerah tahun 2007 - 2012 diperkirakan akan mengalami
pertumbuhan rata-rata sekitar 25 persen, sedangkan kebutuhan Belanja
Daerah diperkirakan akan mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 30
persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perkiraan kebutuhan belanja
daerah lebih besar dari perkiraan pendapatan daerah, sehingga APBD tahun
2007 - 2012 diperkirakan akan mengalami defisit anggaran rata-rata sekitar
15 persen.
b. Optimalisasi sumber penerimaan pembiayaan yang paling mungkin dapat
dilakukan secara cepat, yaitu dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun
Lalu. Selain itu juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran
pembiayaan yang timbul dari pernyertaan modal dan pembayaran utang
pokok yang jatuh tempo.
Asumsi dasar yang menyertai dalam penetapan kebijakan pembiayaan
diatas, adalah :
a. Kumulatif defisit APBD tahun 2007 - 2012 diperkirakan rata-rata sekitar 38
persen dari proyeksi PDRB tahun 2006 - 2010.
b. Alternatif pembiayaan dari sisi penerimaan diharapkan mampu memenuhi
kebutuhan pembiayaan dari sisi pengeluaran.
Alternatif penerimaan pembiayaan yang bisa dikembangkan, seperti:
pinjaman daerah, penerbitan surat obligasi dan penjualan aset - baik yang akan
dipergunakan untuk penyertaan modal maupun pembayaran angsuran utang
pokok yang akan jatuh tempo, ataupun program pengeluaraan pembiayaan
lainnya yang timbul sebagai akibat dari pengembangan alternatif penerimaan
pembiayaan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 V-16
Khusus dalam pengelolaan pinjaman daerah, harus diperhatikan
kemampuan daerah dalam menyediakan sejumlah dana untuk menutup kewajiban
membayar. Berdasarkan perhitungan kasar dengan menerapkan metode kalkulasi
Debt Service Coverage Ratio (DSCR) menunjukkan bahwa, prospek kemampuan
daerah (APBA) Aceh selama periode 2007 - 2012 menunjukkan rata-rata DSCR
sebesar 46,22 atau rata-rata diatas batas rasio yang dipersyaratkan (2,5). Hal ini
mengindikasikan bahwa kemampuan APBA dalam menyediakan sejumlah dana
dalam periode waktu tertentu untuk menutup kewajiban membayar pinjaman
masih bisa dilakukan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-1
BAB VI
ARAH KEBIJAKAN UMUM
Berdasarkan UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah menggunakan asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Untuk itu pemerintah daerah
mempunyai peluang yang besar untuk melakukan perubahan-perubahan yang
bersifat fundamental dalam segala aspek kehidupan masyarakat yang di
implimentasikan melalui berbagai kebijakan umum pemerintah daerah.
Arah kebijakan umum pemerintah Provinsi Aceh selama jangka waktu 2007-
2012 adalah sebagai berikut:
6.1 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan Kerja
dan Penanggulangan Kemiskinan
Arah kebijakan umum pembangunan ekonomi Aceh pada dasarnya adalah
dalam rangka mewujudkan peningkatan aktivitas perekonomian daerah yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui upaya
peningkatan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 5 -6 persen, penurunan
tingkat kemiskinan menjadi sekitar 16 persen dan tingkat pengangguran mampu
ditekan menjadi 7,6 persen.
Adapun untuk mencapai hal sebagaimana tersebut diatas maka perlu
ditempuh beberapa kebijakan sebagai berikut:
1. Peningkatan pengelolaan potensi pertanian dan perikanan seoptimal mungkin
dengan prinsip-prinsip agribisnis sebagai tulang punggung ekonomi daerah
yang berkelanjutan
2. Pengembangan komoditi unggulan daerah melalui pola kluster dengan
memperkuat sistim mata rantai produksi (supply chain)
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-2
3. Pembangunan dan peningkatan kapasitas sarana dan prasarana pendukung
produksi termasuk prioritas fungsionalisasi aset, terutama di kawasan-
kawasan sentra produksi pertanian, perikanan, industri, dan perdagangan
4. Percepatan pemanfaatan mekanisasi di sektor industri kerajinan, pertanian
dan perikanan, termasuk motorisasi armada perikanan dalam upaya
meningkatkan daya jelajah dan produktivitas nelayan.
5. Pengembangan dan peningkatan kapasitas unit penyedia sarana produksi
serta peningkatan pengendalian dan pengawasan distribusi sarana produksi
sehingga mudah dapat diakses oleh masyarakat
6. Peningkatan produktivitas lahan budidaya pertanian dan perikanan melalui
upaya intensifikasi, diversifikasi, optimalisasi termasuk peningkatan Indeks
Penanaman (IP), dan rehabilitasi lahan-lahan yang terlantar
7. Mengupayakan tumbuhnya dan berkembangnya industri pengolahan hasil,
terutama yang berbasis bahan baku lokal di kawasan-kawasan sentra produksi
8. Peningkatan kompetensi tenaga kerja formal dan informal, serta pelaku UMKM
melalui pengembangan dan peningkatan kapasitas Balai Latihan Kerja serta
pelatihan-pelatihan kejuruan
9. Melakukan pembinaan dan pengawasan penggunaan dan penyaluran tenaga
kerja untuk kebutuhan lokal maupun luar negeri
10. Percepatan aplikasi teknologi di sektor pertanian dan perikanan melalui
penguatan kelembagaan dan sistem penyuluhan
11. Penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat dengan sasaran utama usaha-
usaha kelompok dan koperasi
12. Memfasilitasi peningkatan jalinan kemitraan usaha yang lebih luas antara
kelompok usaha besar dengan pelaku UMKM dan industri rumah tangga
13. Mengupayakan peningkatan fungsi intermediasi perbankan, terutama
penyaluran kredit bagi pelaku UMKM dan industri rumah tangga
14. Pencegahan penebangan dan perdagangan kayu illegal melalui penguatan dan
pembinaan satuan pengamanan hutan dalam rangka terciptanya hutan lestari
dan pengembangan ekonomi berkelanjutan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-3
15. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan
melalui pemanfaatan hasil hutan non kayu dan pengembangan hutan rakyat
16. Meningkatkan kemandirian pangan bagi masyarakat di kawasan-kawasan
yang teridentifikasi rawan pangan, serta peningkatan penganekaragaman
pangan berbasis sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal
17. Melakukan pengendalian dan pengawasan distribusi bahan pangan, serta
meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap konsumsi pangan beragam,
bergizi seimbang dan aman
18. Penyediaan fasilitas pemukiman baru pada kawasab-kawasan potensi dan
memberikan bantuan stimulasi untuk pengembangan usaha ekonomi bagi
penduduk yang dimukimkan berbasis potensi lokal.
19. Pengembangan sistem informasi dan promosi yang dapat menarik investasi
untuk menanamkan modalnya di daerah, baik PMA maupun PMDN.
20. Mengupayakan terjadinya peningkatan aktivitas perdagangan dalam daerah
hingga terjadinya pasar sempurna, termasuk melakukan pengawasan dan
pengendalian distribusi barang serta pengembangan dan peningkatan sarana
dan prasarana pemasaran
21. Melakukan upaya meningkatnya ekspor daerah baik peningkatan volume
maupun nilai, terutama komoditi-komoditi yang memiliki nilai tambah tinggi
bagi daerah
6.2 Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya
Energi Pendukung Investasi
Untuk tercapainya tujuan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi sesuai dengan strategi yang telah
ditetapkan, maka perlu adanya dukungan kebijakan pembangunan dalam
pelaksanaan program dan kegiatan yang dilaksanakan.
Arah Kebijakan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber
Daya Energi Pendukung Investasi tahun 2007 - 2012 sebagai berikut:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-4
6.2.1 Sumber Daya Air
Kebijakan pembangunan sumber daya air dilakukan dengan 9 (sembilan)
pendekatan pokok, yaitu:
1. Terkelolanya penyelenggaraan konservasi sumber daya air demi terjaganya
kelangsungan keberadaan daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber
daya air.
2. Terkelolanya penyelenggaraan pendayagunaan sumber daya air demi
terwujudnya pemanfaatan sumber daya air secara berkelanjutan dengan
mengutamakan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat secara adil.
3. Terkelolanya penyelenggaraan pengendalian daya rusak air demi terwujudnya
rasa aman masyarakat terhadap daya rusak air.
4. Terkelolanya sistem informasi sumber daya air demi terwujudnya jaringan
informasi sumber daya air yang tersebar dan dapat diakses oleh berbagai pihak
yang berkepentingan dalam bidang sumber daya air.
5. Terbangunnya jaringan irigasi baru Wilayah Pantai Barat-Selatan di 4 daerah
irigasi dan di 5 daerah rawa; Wilayah Pantai Utara-Timur di 4 daerah irigasi.
6. Terperbaikinya jaringan irigasi berdasarkan kewenangan nasional seluas
146.536 ha (15 DI), kewenangan provinsi seluas 69.354 ha (40 DI) dan
kewenangan Kabupaten/Kota seluas 127.706 ha (652 DI).
7. Tersedianya air baku untuk irigasi dengan membangun dan meningkatkan
fungsi waduk sebanyak 4 unit, embung sebanyak 3 unit dan situ sebanyak 9
unit.
8. Memfungsikan kembali DI yang rusak : DI Jambo Aye (19.360 ha) dan DI.
Pante Lhong (6.562 ha) serta optimalisasi daerah irigasi sebanyak 9 DI.
9. Terkendalinya banjir dan pengamanan pantai secara selektif terutama pada
areal produktif.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-5
6.2.2 Bina Marga dan Cipta Karya
Kebijakan pembangunan kebinamargaan dan keciptakaryaan dilakukan
dengan 10 (sepuluh) pendekatan pokok, yaitu:
1. Terbukanya aksesibilitas daerah terpencil/terisolir, perbatasan dan kepulauan
dengan menyediakan jaringan jalan dan jembatan untuk mendukung kawasan
yang berpotensi dan cepat tumbuh.
2. Terselenggaranya peningkatkan pelayanan prasarana jalan yang terintegrasi
dengan standar minimal MST 10 ton pada ruas jalan nasional dan provinsi
serta MST 8 ton pada ruas-ruas jalan strategis.
3. Terlaksananya rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana jalan sehingga tercapai
fungsional jalan nasional sepanjang 1.782,78 km dan jalan provinsi sepanjang
1.701,82 km dapat tercapai.
4. Terlaksananya pembangunan dan peningkatan ruas-ruas jalan nasional lintas
timur sepanjang 55 km, lintas barat sepanjang 30 km, lintas tengah sepanjang
11 km. Selanjutnya pembangunan dan peningkatanruas-ruas jalan provinsi
sepanjang 95 km, serta jalan strategis lainnya termasuk jalan desa sepanjang
10 km.
5. Terwujudnya pembangunan jalan yang menghubungkan Pantai Barat – Tengah
- Pantai Timur untuk menghilangkan disparitas antar wilayah.
6. Terlaksananya pembangunan dan rehabilitasi rumah korban bencana/dhuafa
sebanyak 500 unit serta penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman.
7. Terbangunnya prasarana air minum dan sanitasi baik di perkotaan maupun di
pedesan sebanyak 500 unit.
8. Terselenggaranya pembinaan tata bangunan dan pemberdayaan jasa
konstruksi;
9. Terpadunya tata ruang provinsi dengan tata ruang kabupaten/kota, dengan
titik berat pada penanganan kawasan-kawasan strategis/prioritas dan kawasan
lintas kabupaten.
10.Terbangunnya kawasan perbatasan dan terisolir dalam rangka peningkatan
ekonomi masyarakat.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-6
6.2.3 Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika
Kebijakan pembangunan perhubungan, komunikasi, informasi dan
telematika dilakukan dengan 10 (sepuluh) pendekatan pokok, yaitu :
1. Terlaksananya pembangunan, pengembangan sarana dan prasarana
transportasi, pos dan telekomunikasi di wilayah perbatasan dan terisolir serta
terehabilitasinya sarana dan prasarana transportasi, pos dan telekomunikasi
yang hancur akibat gempa tektonik dan tsunami,
2. Terlaksananya pengembangan sistem transportasi wilayah terpadu, harmonis
dan sinergi serta aparatur yang mandiri.
3. Terindentifikasi inventarisasi data dan penyebaran informasi pembangunan
dengan melakukan peningkatan kerjasama pemerintah daerah dengan
organisasi, lembaga pers dan media massa.
4. Terjalinnya hubungan kerjasama penyebarluasan informasi melalui TVRI dan
RRI serta melakukan pengawasan terhadap penyiaran media informasi swasta
5. Terbangunnya fasilitas e-Government Pemerintah Aceh guna meningkatkan
kualitas penyelenggaraan administrasi Pemerintahan Aceh yang berbasis
teknologi komunikasi dan informasi dalam rangka memberikan palayanan
informasi kepada publik secara transparan dan akuntabel.
6. Terselenggaranya pembinaan sumberdaya aparatur Pemerintah Aceh yang
memiliki pengetahuan dan keahlian dalam mengelola teknologi komunikasi dan
sistem informasi.
7. Terbangunnya sarana angkutan kereta api diwilayah pesisir timur Aceh yang
menghubungkan Aceh ke batas Sumatera Utara sepanjang 486 Km.
8. Terbangunnya pelabuhan baru di wilayah Pantai Barat-Selatan dan pantai
Utara -Timur dengan kapasitas 10.000 DTW.
9. Terlaksnanya pengembangan pelabuhan Malahayati untuk mendukung
Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) Bandar Aceh Darussalam.
10. Terlaksananya pembangunan dan pengembangan bandara untuk melayani
penerbangan Domestik dan Internasional serta meningkatkan pelayanan
trasportasi udar antar kabupaten/Kota.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-7
6.2.4 Lingkungan Hidup
Kebijakan pembangunan lingkungan hidup dilakukan dengan 6 (enam)
pendekatan pokok, yaitu:
1. Terkendalinya pencemaran lingkungan melalui pencegahan dan pengendalian
dampak dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup yang berkelanjutan.
2. Tersedianya peralatan dan sumber daya aparatur dalam pengendalian dampak
lingkungan dengan memanfaatkan media massa untuk pelayanan informasi
lingkungan hidup kepada masyarakat.
3. Melakukan optimalisasi bentuk dan kinerja institusi pengelolaan lingkungan
serta peningkatan koordinasi antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan
lingkungan hidup.
4. Terkendalinya pengelolaan Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) secara
berkelanjutan dalam menjaga keseimbangan pemanfaatan ruang yang serasi
antara kawasan lindung dan budidaya.
5. Terpeliharanya terumbu karang, manggrove dan konservasi daerah aliran
sungai dalam rangka memulihkan kembali daya dukung lingkungan dan
antisipasi ancaman terhadap abrasi pantai dan sungai.
6. Terbangunnya ruang terbuka hijau dan desa model yang ramah lingkungan di
setiap kabupaten/kota.
6.2.5 Pertanahan
Kebijakan pembangunan pertanahan dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan
pokok, yaitu:
1. Terselenggaranya peningkatan kualitas pelayanan dan administrasi
pertanahan serta penyediaan informasi pertanahan bagi keperluan
pembangunan dan investasi.
2. Terlaksananya penataan dan pengendalian penguasaan, penggunaan,
pemanfaatan dan pemilikan tanah serta pengembangan dan penguatan
lembaga pertanahan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-8
3. Menyelesaikan sengketa pertanahan, penyusunan neraca penggunaan tanah,
pemetaan/revisi penatagunaan tanah, konsolidasi tanah, identifikasi dan
penegasan tanah negara serta penertiban administrasi land reform.
6.2.6 Energi dan Sumber Daya Mineral
Kebijakan pembangunan energi dan sumber daya mineral dilakukan dengan
9 (sembilan) pendekatan pokok, yaitu:
1. Terealisasinya peningkatan peluang eksploitasi pertambangan skala besar,
menengah dan kecil serta membina, mengawasi dan menertibkan usaha
pertambangan yang berpotensi merusak lingkungan.
2. Terlaksananya peningkatkan keterampilan sumber daya aparatur dalam
pengelolaan dan pengawasan usaha pertambangan.
3. Terlaksananya peningkatan pemahaman masyarakat penambang dan dunia
usaha terhadap peraturan dan perundang-undangan di bidang pertambangan.
4. Terselenggaranya peningkatan pelayanan dan informasi pertambangan,
termasuk informasi kawasan-kawasan yang rentan terhadap bencana geologi.
5. Tersedianya data potensi sumber-sumber energi baru sebagai energi alternatif
dan potensi pertambangan.
6. Terbangunnya sarana dan prasarana sumber-sumber air bawah tanah yang
memenuhi standar kesehatan di kawasan krisis air.
7. Tersedianya perangkat hukum di bidang energi, mineral, batubara, panas
bumi dan air bawah tanah.
8. Terlaksananya pembangunan PLTMH baik skala besar maupun kecil terutama
untuk pedesaan/kawasan yang tidak terjangkau jaringan listrik PLN.
9. Terealisasinya penambahan pembangkit listrin non diesel dengan
memanfaatkan potensi energi primer pada sub-sistem isolated dengan
sasaran pengurangan biaya pokok penyediaan (BPP) yang berpengaruh
terhadap usaha menekan biaya operasional pada sektor pembangkitan dan harga
tarif (Rp/kWh) penjualan energi listrik. Pembangkit-pembangkit dimaksud adalah:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-9
a. PLTU batubara di Kabupaten Nagan Raya dengan total kapasitas 2 x 100
MW yang direncanakan beroperasi pada akhir tahun 2011 (tahap
konstruksi).
b. PLTP Seulawah di Kabupaten Aceh Besar dengan total kapasitas 2 x 20
MW yang akan beroperasi pada akhir tahun 2012. Pre-feasibility (FS)
telah dilakukan pada tahun 2008 dan saat ini dalam proses pelelangan
WKP oleh Pemerintah Aceh.
c. PLTA Peusangan I dan II di Kabupaten Aceh Tengah dengan total
kapasitas 2 x 43 MW dibiayai dari Loan JBIC (Japan Bank International
Company) dan direncanakan beroperasi pada tahun 2011 dan 2013.
Contract Loan Aggreement dengan pihak JBIC telah ditandatangani pada
29 Maret 2006.
d. PLTA Lawe Mamas di Kabupaten Aceh Tenggara dengan total kapasitas 3
x 30 MW yang direncanakan beroperasi pada tahun 2015. Saat ini masih
dalam Pre-FS dan MoU.
6.3 Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan
Belajar
Menindaklanjuti strategi Pembangunan dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan dan pemerataan kesempatan belajar baik pendidikan formal maupun
pendidikan non formal bagi peserta didik dan anggota masyarakat melalui
perbekalan ilmu pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (life skills).
Pemberantasan buta aksara (illiteracy) perlu dilakukan secara serius sebagai
upaya untuk mencerdaskan seluruh rakyat dan mendukung pembelajaran
sepanjang hidup (life long learning) maka kebijakan yang ditempuh sebagai
berikut:
6.3.1 Pemerataan dan Perluasan Akses
1. Tersedianya beasiswa dan bantuan biaya pendidikan usia dini, pendidikan
dasar, menengah, dayah dan luar sekolah.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-10
2. Terlaksananya efektivitas internal dan tingkat kelangsungan sekolah di setiap
jenjang pendidikan.
3. Terciptanya partisipasi yang lebih besar dari masyarakat dan dunia usaha.
4. Tersedianya fasilitas pendidikan yang fokus dalam rangka menghapus
hambatan kesempatan belajar dan perluasan akses penyediaan pendidikan
dasar dan menengah di daerah-daerah terpencil, pemukiman terpencar dan
daerah kepulauan.
5. Terciptanya pengembangan Perguruan Tinggi sesuai dengan prioritas dan arah
pengembangan daerah.
6. Tersedianya fasilitas dayah dalam menunjang pelayanan pendidikan yang
bermutu.
6.3.2 Mutu, Relevansi dan Daya Saing
1. Terciptanya kinerja pelayanan pendidikan pada semua jenjang pendidikan
2. Terwujudnya desentralisasi sekolah/manajemen kelembagaan, dan manajemen
perencanaan pengembangan guru.
3. Tersedianyan kurikulum dan bahan ajar sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan.
4. Terlaksananya monitoring kinerja sekolah/kelembagaan dan prestasi siswa.
5. Tersedianya sarana penunjang pembelajaran yang bermutu dan berkualitas.
6. Terwujudnya pendidikan unggulan pada jenjang pendidikan dasar, menengah
dan dayah.
7. Terlaksananya pembinaan dan pengembangan kelembagaan, kurikulum,
manajemen, serta akreditasi dayah.
8. Terlaksananya penelitian dan pengembangan pendidikan secara optimal.
6.3.3 Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Publik
1. Tersedianya sistem perencanaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi.
2. Tersedianya sistem manajemen kelembagaan dan sekolah.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-11
3. Terlaksananya tata kelola yang akuntabel dan transparan.
4. Terlaksananya koordinasi antar PT/PTS dan Akreditasi pendidikan.
6.3.4 Penerapan Sistem Pendidikan Bernuansa Islami
1. Terlaksananya koordinasi dengan berbagai pihak terkait dalam rangka
penerapan syari’at Islam.
2. Tersedianya sarana peribadatan, media pembelajaran dan penerapan budaya
yang menunjang pendidikan bernuansa Islami.
3. Terciptanya kualitas guru dalam metode internalisasi nilai-nilai Islami.
4. Terlaksananya monitoring dan evaluasi pelaksanaan sistem pendidikan yang
bernuansa Islami secara berkala.
5. Terlaksananya penambahan jam pelajaran agama di sekolah dan pelatihan
tentang pemahaman Al-Qur’an.
6.4 Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan
Menindaklanjuti strategi Pembangunan dalam rangka peningkatan mutu dan
pemerataan pelayanan kesehatan yang meliputi aspek status kesehatan (umur
harapan hidup, angka kematian ibu dan angka kematian bayi, angka kesakitan,
status gizi), pelayanan kesehatan, kondisi kesehatan lingkungan, pembiayaan
kesehatan, fasilitas kesehatan dan sumber daya kesehatan maka kebijakan umum
yang ditempuh sebagai berikut:
1. Terbangunnya sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar, rujukan dan
pelayanan kesehatan khusus.
2. Tersedianya tenaga kesehatan sesuai kebutuhan daerah dalam rangka
penyediaan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat.
3. Tersedianya fasilitas kesehatan kepada masyarakat yang mudah dijangkau .
4. Terlaksananya sosialisasi pencegahan dan pengendalian penyakit serta
terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat.
5. Terciptanya mekanisme rujukan yang baik antar institusi pelayanan
kesehatan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-12
6. Bertambahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan diseluruh lapisan
masyarakat.
7. Tersedianya arah dan kebijakan yang jelas dalam hal pelayanan kesehatan.
8. Terlaksananya penerapan pola BLU Rumah Sakit di Kabupaten/Kota.
9. Terlaksananya koordinasi lintas sektor, LSM lokal maupun luar negeri dalam
rangka pelayanan kesehatan.
10. Terbangunnya fasilitas pendidikan yang memadai dalam rangka peningkatan
pengetahuan tenaga medis.
11. Terwujudnya pelaksanaan program JKA dalam rangka pelayanan kesehatan
yang baik, berkualitas secara gratis kepada masyarakat miskin.
6.5 Pembangunan Syariat Islam, Sosial dan Budaya
Pelaksanaan Syari`at Islam di Aceh yang mennjadi sumber nilai dan sumber
penuntun perilaku dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tataran kehidupan
pribadi, kehidupan bermasyarakat, maupun dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Kebijakan umum yang ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan
syari’at Islam secara kaffah di Aceh sebagai berikut:
1. Terpadunya pelaksanaan kegiatan pelayanan keagamaan antara pemerintah,
ulama dan masyarakat secara optimal.
2. Terkoordinasinya kerja sama keagamaan baik dengan instansi terkait maupun
lembaga keagamaan tingkat Nasional dan Internasional.
3. Terlaksananya pendidikan agama di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
yang berkualitas.
4. Terjadinya peningkatan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat
tentang pelaksanaan syari’at Islam.
5. Terlaksananya pengawasan syari’at Islam secara kaffah dalam masyarakat.
6. Terlaksananya pemberdayaan lembaga keagamaan dalam melakukan
sertifikasi, penatausahaan, pengelolaan dan pemberdayaan harta agama.
7. Terlaksananya pelayanan kesejahteraan sosial yang berkualitas di seluruh
Aceh.
8. Terlaksananya peningkatan dan pengembangan potensi sumber daya sosial.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-13
9. Terbangun dan berkembangnya ekonomi masyarakat pedesaan dalam rangka
pengentasan kemiskinan.
10. Terlaksananya peningkatan dan penguatan kelembagaan pengarusutamaan
gender dan anak dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan.
11. Terlaksananya peningkatan kualitas hidup dan perlindungan hukum terhadap
perempuan dan anak.
12. Terlaksananya peningkatan terhadap peran dan hubungan antar lembaga
pemuda serta pengembangan sistem kaderisasi organisasi kepemudaan.
13. Terjadinya peningkatan pengetahuan dan keterampilan pemuda dalam rangka
menanggulangi dampak demoralitas pemuda.
14. Terciptanyan hidup yang sehat dalam masyarakat melalui kegiatan olahraga.
15. Termotivasinya penguatan institusi keolahragaan di daerah melalui
bantuan/subsidi.
16. Terjadinya peningkatan dan penguatan peran kelembagaan adat dalam
masyarakat.
17. Terjadinya peningkatan peran dan koordinasi antar lembaga adat dengan
pihak-pihak yang terkait secara maksimal
18. Terwujudnya pengembangan apresiasi budaya, kesenian, bahasa dan adat
istiadat.
19. Terwujudnya pelestarian dan pemeliharaan situs dan cagar budaya.
20. Terjadinya peningkatan jumlah wisatawan dalam dan luar negeri dengan
mengikutsertakan masyarakat.
21. Terwujudnya pertumbuhan kultur demokrasi yang sehat, kompetitif dialogis
dan rasional.
22. Terciptanya penghargaan terhadap nilai-nilai kepahlawanan para pejuang.
23. Terbinanya kekayaan adat istiadat, seni, budaya dan bahasa dalam kehidupan
masyarakat.
24. Terjadinya peningkatan penguatan fungsi meunasah sebagai pusat
pemberdayaan masyarakat.
25. Terlaksananya penegakan hukum adat di tingkat gampong dan kemukiman.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-14
6.6 Penciptaan Pemerintah Yang Baik dan Bersih Serta Penyehatan
Birokrasi Pemerintahan
Untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih sebagaimana yang
diharapkan oleh masyarakat mulai dari pemerintah gampong, mukim, kecamatan,
kabupaten dan provinsi dilakukan melalui kebijakan sebagai berikut:
1. Terwujudnya pemerintahan yang transparan, partisipatif dan akuntabel.
2. Terbangunnya kelembagaan pemerintah daerah yang sesuai dengan
kebutuhan.
3. Tersedianya sarana dan prasarana pendukung yang dibutuhkah dalam rangka
pencapaian target kinerja.
4. Terselenggaranya kewenangan antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota,
kecamatan dan gampong.
5. Terfasilitasi penyelesaian masalah tata ruang dan batas wilayah administrasi
bagi kabupaten/kota.
6. Terlaksananya pemetaan, pemberian nama-nama, toponomi pulau kecil dan
terluar.
7. Tertatanya batas wilayah administrasi, titik kordinat, dan penguasaan wilayah
secara ekonomi dan sosial budaya.
8. Tersedianya kapasitas sumber daya aparatur.
9. Terwujudnya revitalisasi baperjakat dalam penempatan dan penjenjangan
karir aparatur.
10. Terlaksananya penghargaan dan sanksi kepada aparatur secara adil.
11. Terlaksananya penerapan sistem birokrasi pemerintahan yang baik dan bersih.
12. Terlaksananya peningkatan pemahaman berbangsa dan bernegara dalam
rangka memeliharan keutuhan NKRI.
13. Terlaksananya peningkatan pengetahuan kader politik yang bebas, adil dan
islami serta memihak kepentingan masyarakat.
14. Terjaminnya perbedaan berpendapat dan berpolitik
15. Terselenggaranya peningkatan etika dan pendidikan politik yang sehat melalui
rasa saling percaya dan menghargai (sportifitas) di dalam kelompok
masyarakat.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-15
16. Terselenggaranya peningkatan pemahaman terhadap hukum di Aceh dan
Pengkajian materi hukum sesuai dengan amanah UUPA.
17. Terselenggaranya peningkatan kapasitas dan sumber daya aparat penegak
hukum serta dukungan sarana dan prasarana.
18. Terlaksananya pemberian bantuan hukum dalam kasus prodeo dan
Peningkatan penyuluhan hukum kepada masyarakat.
19. Terlaksananya inventarisasi kebijakan kabupaten/kota yang bertentangan
dengan kepentingan umum dan ketentuan perundang-undangan lebih tinggi.
20. Terlaksananya peningkatan kapasitas aparatur dan penyediaan fasilitas
sarana, prasarana Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
6.7 Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana
Pengurangan risiko bencana merupakan tanggungjawab pemerintah,
masyarakat dan lembaga - lembaga kemasyarakatan yang dilaksanakan secara
bersama - sama dengan prinsip kemitraan dan kesejajaran peran, maka
diperlukan kebijakan dalam penanganannya.
Arah Kebijakan Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana adalah
sebagai berikut:
1. Mengurangi ancaman bahaya melalui pendekatan ilmu pengetahuan dan
kearifan lokal dengan tetap memperhatikan perubahan - perubahan global
yang berdampak pada kondisi lokal.
2. Mengurangi kerentanan masyarakat di daerah ancaman bahaya dengan cara
memberikan pengetahuan yang memadahi tentang ancaman mendasarkan
pada analisis risiko.
3. Meningkatkan kapasitas masyarakat melalui pendidikan, pelatihan dan
pemberdayaan secara terus menerus khususnya di daerah ancaman.
4. Mengedepankan keterbukaan dengan pola kemitraan dalam penyelenggaraan
Pengurangan Risiko Bencana melalui keterbukaan tatakelola termasuk
penyediaan informasi yang berimbang bagi masyarakat.
5. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan pemerintah lokal dengan
mengoptimalkan potensi, sumber daya dan kearifan local melalui optimalisasi
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VI-16
peran birokrasi, tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat serta
pimpinan informal lain yang berkembang dalam masyarakat.
6. Mendorong dan meningkatkan peran dan partisipasi perempuan dalam
pengurangan risiko bencana baik dalam ranah domestic(rumah tangga)
maupun diluar rumah tangga melalui pengarus utamaan gender dalam semua
kegiatan yang melibatkan masyarakat.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VII-1
BAB VII
PROGRAM PEMBANGUNAN ACEH
7.1 Midterm Review Pelaksanaan RPJM 2007-2012
Program dan kegiatan yang tercantum di dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) 2007-2009 yang telah ditetapkan melalui Peraturan
Gubernur Nomor 21 tahun 2007 merupakan acuan yang harus dipedomani oleh
seluruh Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA). Walaupun demikian, seiring
dengan perkembangan situasi dan kondisi daerah yang sangat dinamis, masih
diperlukannya kelanjutan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami, adanya
anggaran tambahan yang bersumber dari Otsus Migas, dan perlunya penyesuaian
program RPJM Daerah akibat ditetapkannya PP No. 5 tahun 2010, maka program
dan kegiatan yang tercantum dalam RPJM 2007-2012 perlu untuk direview.
Hasil review RPJM 2007-2012 diharapkan tidak hanya dapat memberikan
gambaran tentang pencapaian kinerja Pemerintah Aceh, tetapi juga menjadi
pedoman penyusunan program dan kegiatan lanjutan pada Tahun 2011-2012.
Review RPJM dilaksanakan dengan mengikuti beberapa kriteria yang
digambarkan pada Gambar VII.1. Program dan kegiatan dikelompokkan ke dalam
4 (empat) kuadran yakni Kuadran I, II, III dan IV dengan kriteria sebagai berikut:
1. Kuadran I adalah program/kegiatan prioritas yang ada dalam RPJM Aceh
2007 - 2012 dan sudah tuntas dilaksanakan pada periode tahun 2007-2010.
2. Kuadran II merupakan program/kegiatan yang ada dalam RPJM Aceh 2007 -
2012, tetapi dalam pelaksanaannya belum mencapai target.
3. Kuadran III berisi program/kegiatan yang ada dalam RPJM Aceh 2007 - 2012,
tetapi bukan prioritas sehingga tidak dilaksanakan.
4. Sedangkan Kuadran IV adalah program/kegiatan yang tidak ada dalam RPJM
Aceh 2007 - 2012, tetapi dilaksanakan pada tahun 2007 - 2010 dan masih
perlu dituntaskan pada tahun 2011 - 2012.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VII-2
Gambar VII.1 Skema Kuadran dan Kriteria Review Program RPJM Aceh 2007-2012
Hasil dari review pelaksanaan program dan kegiatan RPJM 2007-2012,
khususnya untuk pelaksanaan program dan kegiatan RPJM 2007-2009 disajikan
pada Tabel VII.1 dan VII.2
Tabel VII.1Review Pelaksanaan Kegiatan/Anggaran Pembangunan periode tahun
2007 - 2010 menurut kriteria Kuadran
Jlh% thdp
total(Rp)
% thdp total
(Rp)% thdp
total(Rp)
% thdp RPJM
1. I 150 6.00 2,853,380,009,385 4.5 8,063,635,099,239 29.2 5,924,441,932,246 207.6
2. II 706 26.00 43,360,100,241,747 68.4 11,862,364,304,677 43.0 9,876,247,141,392 22.8
3. III 766 28.00 17,199,159,788,868 27.1 - - - -
4. IV 1,094 40.00 - - 7,658,531,849,774 27.8 6,343,876,464,718 -
2,716 100.0 63,412,640,040,000 100.0 27,584,531,253,690 100.0 22,144,565,538,355 34.92
PAGU INDIKATIF RPJM 2007-2012
ANGGARAN DEFINITIF 2007-2010
REALISASI 2007-2009 + ASUMSI REALISASI 2010
Grand Total
No.Kualifikasi Kuadaran
Indikasi Kegiatan
TARGET RPJM YANG TARGET RPJM YANG BELUM
SELESAI SEMPURNA SELESAI, PRIORITAS YANG
AKAN DILANJUTKA UNTUK
2011-2012
TIDAK ADA DI DALAM RPJM TARGET RPJM YANG TIDAK
TETAPI PRIORITAS/TELAH DAN DILAKSANAKAN, DIHAPUS
DILANJUTKAN UNTUK KARENA TIDAK PRIORITAS
DILAKSANAKAN
I II
IV III
6 %
40 % 28 %
26 %
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VII-3
Tabel VII.1 memberikan gambaran bahwa realiasi kegiatan/anggaran yang
termasuk ke dalam Kuadran I hanya mencapai 6 persen dari total 150 kegiatan
dalam RPJM 2007-2012. Hal ini mengindikasikan bahwa pada umumnya kegiatan
yang telah ditetapkan di dalam RPJM Aceh 2007-2012 belum sepenuhnya
dipedomani oleh para SKPA. Hal ini disebabkan antara lain terlambatnya
pengesahan DIPA APBA pada tahun berjalan, masih terkonsentrasinya program
dan kegiatan penuntasan rehabilitasi dan rekonstruksi dan beban pekerjaan yang
semakin berat akibat penambahan program yang bersumber dari dana
Otsus/Migas.
Kegiatan yang masih belum memenuhi target (Kuadran II) mencapai 26
persen akan dituntaskan pada tahun berikutnya. Kegiatan ini menjadi prioritas
untuk dipedomani oleh para SKPA untuk dilaksanakan sesuai dengan hasil revisi
RPJM Aceh 2007 - 2012.
Kegiatan yang tergolong ke dalam Kuadran III mencapai 28 persen adalah
kegiatan yang ada dalam RPJM 2007 - 2012 tetapi tidak menjadi prioritas lagi
untuk dilaksanakan oleh para SKPA.
Kegiatan yang tergolong ke dalam Kuadran IV mencapai 40 persen adalah
kegiatan yang tidak ada dalam RPJM 2007 - 2012 tetapi dianggap prioritas untuk
dilaksanakan oleh para SKPA. Kenyataan ini (Kuadran III dan IV) terjadi karena
adanya perubahan kondisi aktual di lapangan yang memerlukan penyesuaian. Di
samping itu, adanya perubahan kebijakan Nasional dengan ditetapkannya
Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2010 yang mengharuskan penyesuaian antara
RPJM Daerah dengan RPJM Nasional.
Dari evaluasi pelaksanaan pembangunan pada periode tahun 2007-2010,
dapat dilihat kualifikasi program/kegiatan ke dalam kuadran I, II, III, dan IV yang
masing-masing menunjukkan tingkat prioritas pelaksanaan pembangunan yang
digunakan untuk melakukan penyesuaian (revisi) RPJM 2007-2012. Adapun revisi
yang dilakukan adalah penyesuaian target, penghapusan program yang tidak
prioritas lagi untuk dilaksanakan, dan penambahan program baru yang telah
dilaksanakan tetapi belum ada pada RPJM 2007-2012.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VII-4
7.2 Revisi dan Penyesuaian RPJM 2007-2012
Revisi dan penyesuaian RPJM 2007-2012 dilakukan dengan cara melakukan
penyesuaian target, penghapusan program yang tidak prioritas lagi untuk
dilaksanakan, dan penambahan program prioritas baru yang sebelumnya telah
dilaksanakan pada periode 2007-2010 tetapi belum ada pada RPJM 2007-2012.
Hasil revisi dan penyesuaian RPJM 2007-2012 berdasarkan 7 (tujuh) Prioritas
Pembangunan menunjukkan bahwa pada awalnya total program yang telah
ditetapkan sebanyak 197 program, maka setelah direvisi total program tersebut
berubah menjadi 261 program. Perubahan jumlah program ini berkaitan dengan
penetapan PP No.5 tahun 2010 yang mengharuskan penyesuaian RPJM daerah
dengan RPJM Nasional. Seiring dengan perubahan total program tersebut, maka
total anggaran indikatif juga berubah menjadi Rp 59.903.248.000.000. Perubahan
program berdasarkan prioritas pembangunan dapat dilihat pada Tabel VII.2.
Tabel VII.2Review perubahan RPJM 2007-2012 berdasarkan 7 (tujuh)
Prioritas Pembangunan
1Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Perluasan Kesempatan Kerja dan Penanggulangan Kemiskinan
59 90 53% 19.585.817 12.902.007 -34%
2Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur dan Sumber Daya Energi Pendukung Investasi
41 46 12% 26.525.077 24.960.814 -6%
3Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pemerataan Kesempatan Belajar
11 19 73% 5.474.307 10.414.128 90%
4 Peningkatan Mutu dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan 13 19 46% 1.054.938 3.811.338 261%
5 Pembangunan Syariat Islam, Sosial dan Budaya 40 46 15% 2.649.253 2.255.337 -15%
6Penciptaan Pemerintahan yang Baik dan Bersih serta Penyehatan Birokrasi Pemerintahan
28 37 32% 1.534.944 1.224.684 -20%
7 Penanganan dan Pengurangan Resiko Bencana 5 7 40% 6.588.304 4.334.941 -34%
197 264 41% 63.412.640 59.903.248 -6%
Awal Direvisi Perubahan
Total
No Prioritas PembangunanJumlah Program
Indikatif Kebutuhan Anggaran (dalam juta rupiah)
Awal Direvisi Perubahan
7.3 Hasil Revisi Program dan Kegiatan
Hasil revisi program dan kegiatan Pembangunan Daerah (Matrik tahunan
dan lima tahunan) disajikan dalam Buku II. Hasil revisi RPJM Aceh 2007-2012
akan menjadi acuan bagi para SKPA dalam menyusun program dan kegiatan
prioritas pada Tahun 2011-2012.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VIII-1
BAB VIII
PENUTUP
8.1 Program Transisi
Apabila hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Aceh priode 2007 - 2012 ini sudah habis masa berlakunya dan
Gubernur Wakil Gubernur berikutnya belum terpilih, maka pada masa vakum ini
arah pembangunan daerah masih berpedoman pada penyesuaian dan evaluasi
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2007 - 2012. Rencana Jangka
Menengah transisi ini akan dipakai sampai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih
berikut sudah dilantik.
8.2 Kaidah Pelaksanaan
Hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Provinsi Aceh Tahun 2007-2012 ini tetap merupakan penjabaran dari visi, misi dan
program Gubernur dan Wakil Gubernur hasil Pilkada yang dilangsungkan secara
langsung Tahun 2006.
Hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Aceh Tahun 2007 - 2012 ini menjadi pedoman bagi Satuan Kerja Perangkat
Daerah Aceh (SKPA) dalam menyusun Rencana Strategis (RENSTRA) SKPA dan
merupakan pedoman bagi kabupaten/kota. Hasil Penyesuaian Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Aceh Tahun 2007 - 2012 ini selanjutnya menjadi
pedoman bagi menyusun Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA).
Untuk itu perlu ditetapkan kaidah-kaidah pelaksanaan sebagai berikut:
8.3 Satuan Kerja Perangkat Daerah Aceh (SKPA) berkewajiban menyusun Rencana
Strategis Dinas yang memuat Visi, Misi, Tujuan, Sasaran, Strategi, kebijakan
dan Program serta Kegiatan Pokok pembangunan sesuai dengan tugas dan
fungsinya. Renstra tersebut harus disusun berdasarkan dan berpedoman
kepada hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2007-2012 VIII-2
Menengah Aceh Tahun 2007 - 2012 yang nantinya akan menjadi Rencana
Kerja Pemerintah Aceh (RKPA).
8.4Penguatan peran para stakeholders/pelaku dalam pelaksanaan hasil penyesuaian
dan evalusi RPJM Aceh, Satuan Kerja Perangkat Daerah Aceh (SKPA),
Pemerintah kabupaten/kota maupun masyarakat termasuk dunia usaha juga
berkewajiban untuk melaksanakan program-program yang tertera dalam Hasil
penyesuaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2007 - 2012
dengan sebaik-baiknya.
8.5Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melakukan penyesuaian dan evaluasi
terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah kabupaten/kota
yang sudah pernah ditetapkan, dengan tetap berisi penjabaran Visi, Misi, dan
Program Kepala Daerah kabuapten/kota. Satuan Kerja Perangkat Daerah
Kabupaten/Kota harus juga melakukan penyesuaian Rencana Strategis
Dinasnya dengan berpedoman pada hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007 - 2012.
8.6Merupakan dasar evalusi dan laporan pelaksanaan atas kinerja lima tahunan dan
tahunan, dalam rangka meningkatkan efektifitas dalam pelaksanaan
pembangunan yang telah ditetapkan dalam hasil penyesuaian dan evaluasi
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2007 - 2012, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh berkewajiban untuk melaksanakan
pemantauan terhadap penjabaran hasil penyesuaian dan evaluasi Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2007 - 2012 ke dalam Rencana
Strategis Satuan Kerja Perangkat Aceh dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Kabupaten/Kota.