Post on 04-Jan-2016
MAKALAH BOOK REPORT
“Al Farabi Sang Perintis Logika Islam”
Ditulis oleh :
Hendri Fandianto (1000298)
JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013
MAKALAH BOOK REPORT
“Al Farabi Sang Perintis Logika Islam”
Ditulis oleh :
Hendri Fandianto (10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemilihan buku ini sebagai bahan belajar untuk mempelajari
pemikiran para ilmuan muslim di masa lalu. Ada banyak teladan yang bisa
kita ambil dari para ilmuan muslim masa lalu. Kejayaan Islam di masa lalu
harus kita telusuri salah satunya dengan mempelajari pemikiran para ilmuan
Islam di masa lalu. Sejarah adalah fakta, dan fakta adalah sejarah. Sejarah
telah membuktikan betapa dunia Islam telah melahirkan banyak golongan
sarjana dan ilmuwan yang cukup hebat dalam berbagai bidang keilmuwan.
Pada masa lalu dan memang sudah ajaran Islam, bahwa jika seseorang
menemukan alat atau apapun yang belum ada manusia yang menciptakannya,
maka wajiblah baginya untuk menyebarkan hasil temuannya itu.
Menyebarkannya kepada umat manusia agar mereka semakin dapat
mempermudah pekerjaannya dan menjadikan mereka semakin bersyukur
kepada Allah.
Buku yang telah dikaji merupakan buku yang menjelaskan secara
gamblang tentang pemikiran-pemikiran alfarabi, riwayat, dan karya-karyanya
di bidang ilmu pengetahuan. Banyak hal yang bisa kita contoh dari Al Farabi,
keimanannya kepada Allah menjadi dasar dari setiap pemikiran yang dia
tuangkan ke dalam karya-karyanya di bidang ilmu pengetahuan. Sebagai
seorang filsuf Alfarabi tidak hanya mengkaji satu ilmu, melainkan hampir
keseluruhan ilmu pengetahuan dia kaji secara detil di zamannya. Karya-
karyanya banyak di kaji dan dipelajari oleh ilmuan non-Islam dan karya-
karya filsafatnya menjadi sebuah pengantar khusus di sebuah universitas
yahudi. Ketekunannya dalam menggali ilmu pengetahuan di segala disiplin
ilmu memberikan pemahaman kepada kita bahwa sebuah ilmu dan ide
tidaklah muncul dari ruang hampa melainkan melalui sebuah proses yang
panjang baik secara intelektual maupun secara emosional. Proses intelektual
yang diamasud adalah ilmu dan gagasan kita merupakan proses berpikir yang
panjang dan tidak instan didapatkan begitu saja, sedangkan emosional yang
dimaksud adalah kebersihan hati dan pikiran saat memperoleh ataupun
menggali sebuah ilmu.
B. Identitas Buku
Judul Buku : Al-Farabi Sang Perintis Logika Islam
Korektor : Koes Priyadi Hs
Tata Letak : Dian Nissa Riskasari
Desain Sampu : Motih Zamalludin
Penerbit : PT. Dian Rakyat
Cetakan Pertama, Juni 2012
Biodata Penulis :
- Nama : M.Subkhi Ibrahim
- Tempat Lahir : Serang
- Tanggal Lahir : 1 Januari 1978
- Pendidikan Terakhir : Magister Ilmu Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat
- Pekerjaan : Ketua Prodi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina
C. Fokus Buku
- Membahas pemikiran Al farabi
- Pentingnya sebuah filsafat dalam merumuskan ilmu pengetahuan
- Hikmah yang dapat kita ambil dari seorang Al farabi
BAB II
PEMBAHASAN
Al-Farabi merupakan salah satu ilmuwan Islam, beliau juga dikenal
sebagai: fisikawan, kimiawan, filsuf, ahli ilmu logika, ilmu jiwa, metafisika,
politik, musik, dll. Al-Farabi lahir di Farab, tahun 257 H / 870 M dan wafat di
Haleb (Aleppo) pada tahun 339 H / 950 M. Nama lengkapnya Abu Nasr
Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzlag Al-Farabi. Filsuf muslim
terkemuka pada zamannya yang sukar dicari padanannya.
Dimasa kecil, ia yang dikenal rajin belajar dan memiliki otak yang cerdas,
belajar agama, bahasa Arab, bahasa Turki, dan bahasa Parsi di kota kelahirannya,
Farab. Setelah besar al-Farabi pindah ke Baghdad dan tinggal selama 20 tahun. Di
Baghdad ia memperdalam filsafat, logika, matematika, etika, ilmu politik, musik,
dll. Dari Baghdad Al-Farabi kemudian pindah ke Harran (Iran). Disana ia
mempelajari filsafat Yunani kepada beberapa ahli diantaranya Yuhana bin Hailan.
Dari Harran kemudian pindah lagi ke Baghdad.
Selama di Baghdad waktunya dihabiskan untuk mengajar dan menulis.
Hasil karyanya diantaranya buku tentang ilmu logika, fisika, ilmu jiwa,
metafisika, kimia, ilmu politik, musik, dll. Tapi kebanyakan karya–karyanya yang
ditulis dalam bahasa Arab telah hilang dari peredaran. Sekarang yang masih
tersisa diperkirakan hanya sekitar 30 buah.
Ketika pergolakan politik di Baghdad memuncak pada tahun 330 H/941
M, al–Farabi merantau ke Haleb (Aleppo), disana ia mendapat perlakuan istimewa
dari sultan Dinasti Hamdani yang berkuasa ketika itu, yakni Saifuddawlah.
Karena perlakuan baiknya maka al-Farabi tetap tinggal di sana sampai akhir
hayatnya.
Jasa Al-Farabi bagi perkembangan ilmu filsafat pada umumnya dan
filsafat Islam pada khususnya sangat besar. Menurut berbagai sumber, ia
menguasai 70 jenis bahasa dunia, karena itulah al – Farabi dikenal menguasai
banyak cabang keilmuan.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, keahliannya yang paling menonjol ialah
dalam ilmu logika. Kepiawaiannya dibidang ini jauh melebihi gurunya,
Aristoteles. Menurut al–Ahwani, pengarang al–Falsafah al– Islamiyyah, besar
kemungkinan gelar “Guru Kedua” (al-Mu’allim as–Sani) yang disandang al-
Farabi diberikan orang karena kemashurannya dalam bidang ilmu mantik. Dialah
orang yang pertama memasukkan ilmu logika kedalam kebudayaan Arab,
sebagaimana Aristoteles yang dijuluki “Guru Pertama” karena dialah yang
pertama kali menemukan ilmu logika dengan melatakkan dasar – dasarnya.
Dibidang filsafat, Al-Farabi tergolong ke dalam kelompok filusuf
kemanusiaan. Ia lebih mementingkan soal–soal kemanusiaan seperti akhlak
(etika), kehidupan intelektual, politik, dan seni.
Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat
Aristoteles dan Neo–Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak
aliran Syiah Imamiah. Dalam soal ilmu mantik dan filsafat fisika, umpamanya ; ia
mengikuti pemikiran–pemikiran Aristoteles, sedangkan dalam lapangan
metafisika al–Farabi mengikuti jejak Plotinus (205 – 270), seorang tokoh utama
Neoplatonisme.
Al-Farabi berkeyakinan penuh bahwa antara agama dan filsafat tidak
terdapat pertentangan karena sama – sama membawa kepada kebenaran. Namun
demikian, ia tetap berhati – hati atau bahkan khawatir kalau – kalau filsafat itu
membuat iman seorang menjadi rusak, dan oleh karena itu ia berpendapat
seyogianya disamping dirumuskan dengan bahasa yang samar – samar, filsafat
juga hendaknya jangan sampai bocor ke tangan orang awam.
Di antara pemikiran filsafat Al-Farabi yang terkenal adalah penjelasannya
tentang emanasi (al-faid), yaitu teori yang mengajarkan tentang proses urut –
urutan kejadian suatu wujud yang mungkin (alam makhluk) dari Zat yang wajib al
wujud (Tuhan). Menurut nya, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa
benda. Segala sesuatu, menurut al-Farabi, keluar (memancar) dari Tuhan karena
Tuhan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik – baiknya.
Ilmu-Nya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahui-Nya.
Bagaimana cara emanasi itu terjadi? Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan
itu benar – benar Esa. Karena itu, yang keluar dari pada – Nya juga tentu harus
satu wujud saja. Kalau yang keluar dari zat Tuhan itu terbilang, maka berarti zat
Tuhan juga terbilang. Menurut Al-Farabi dasar adanya emanasi ialah karena
dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal – yang timbul dari Tuhan –
terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan.
BAB III
ANALISIS
Pembusukan peradaban terjadi ketika sebuah pradaban kehilangan titik
keseimbangannya. Titik keseimbangan peradaban itu berada di tengah, antara dua
kutub ekstrem, yaitu materi dan spirit. Dua kutub kestrem tersebut mencerminkan
kodrat manusia, yaitu kutub tubuh dan jiwa. Karena itu, ketika perdaban hanya
berpihak pada salah satu kutub itu, maka terjadi reduksi terhadap kemanusiaan.
Efek lanjutnya akan lahir praktek-praktek dehumanisasi.
Abad modern yang lahir dari Rahim budaya Eropa menekankan dimensi
lahir, kulit luar manusia. Penekanan tersebut menciptakan sahara eksistensi
manusia modern dimana manusia modern mengalami dahaga eksistensi. Kehausan
eksistensi tersebut dikarenakan manusia modern kehilanagn perspektif tentang
dirinya yang utuh, holistic yang berjiwa sekaligus berjasad. Pemuasan pada satu
sisi saja, jasad, mengakibatkan jiwa merana, ringkih, dan sakit. Manusia modern
yang rapuh itu hanya dapat diobati dengan mengembalikkan kesadaran manusia
tentang dirinya sebagai totalitas. Dalam konteks ini, filsafat mengambil peran
penting. Filsafat memang tidak menghasilkan roti, tetapi filsafat bekerja masuk,
bak siluman, ke ruang paling dalam di sudut-sudut diri manusia, menyuntikkan
kesadaran tentang hakikat diri, dari mana berasal dan kemana akan menuju.
Dalam wilaah ang klebih luas, filsafat merupakan pilar peradaban, produk
nalar yang menjadi alas kebudayaan. Meskipun demikian, filsafat kadang tidak
diperhitungkan eksistensinya, karena bersama agama, filsafat menghasilkan diri
sebagai software dari bangun besar peradaban.
Kaum muslim mewarisi harta kaum intelektual Yunani berupa khazanah
filsafat yang kemudian dibaca, dinterpretasi, dan direkomendasi secara cerdas dan
kreatif samapai memuncak pada suatu sintesis agung dengan doktrin Islam secara
sempurna. Sintesis dan hikmah.
Al-farabi adalah salah satu pemikir yang melakukan sintesis tersebut. Ia
adalah salah satu mata rantai yang menhubungkan filsafat Yunani dengan filsafat
Islam.
Karya-karya Al-farabi meliputi banyak subjek, mulai dari karya-karya
filsafat, seperti metafisika, sampai musik. Interpretasinya terhadap gagasan-
gagasan Aristoteles membuat ia dikenal sebagai salah satu komentator Aristoteles
yang paling otoratif. Tak salah jika Al-farabi dijuluki sebagai gur kedua.
Walaupin begitu, filsafat Al-farabi lebih berciri neoplatonisme.
Pengaruh neoplatonisme terlihat dalam pandangan Al-farabi tentang
metafisika. Neoplatonisme, yang berporos pada ide emanasi, berguna untuk
menjelaskan bagaimana “yang banyak” berasal dari “yang tunggal”. Dalam
metafisika, Al-farabi sukses memecahkan persoalan mahiya dan wujud; wajib al-
wujud dan mumkin al-wujud. Pijakan pandangan ketuhanan Al-farabi sendiri
didasarkan pada elaborasi cerdasnya tentang wajib al-wujud (eksis dengan
sendirinya, tidak bergantung pada orang lain) dan mumkin al-wujud (yang eksis
karena yang lain, memiliki ketergantungan pada eksistensi yang lain). Sedangkan
untuk menjelaskan bagaimana dari wajib al-wujud yang esa sampai muncul wujud
yang plural, Al-farabi memakai kerangka berpikir emanasi.
Sedangkan, pandangan psikologi Al-farabi bersejajaran dengan ide
Aristoteles yang memandang manusia sebagai hewan yang berpikir. Menurut Al-
farabi jiwa manusia memiliki sejumlah daya, salah satunya adalah daya berpikir.
Inilah aspek esensial manusia yang membedakannya dengan hewan. Pandangan
inilah yang menjadi salah satu argument Al-farabi tentang kenabian. Al-farabi
mengkategorikan jiwa dari sudut abadi atau tidaknya. Menurutnya, ada jiwa yang
abadi dan jiwa yang punah. Jiwa abadi adalah jiwa yang mengetahui kebenaran
dan mempraktekannya, sedangkan jiwa yang punah adalah jiwa yang bodoh, yang
terikat pada materi. Jiwa yang ini akan hancur bersamaan dengan hancurnya
tubuh. Ada jenis jiwa lain, yaitu jika jiwa yang mengetahui kebenaran namun
tidak mempraktekannya. Jiwa ini kekal, namun kekal dalam kesengsaraan.
Al-farabi adalah tokoh pertama yang memperkenalkan penggunaan logika
dalam tradisi intelektual muslim. Al-farabi melihat logika dalam tradisi intelektual
muslim. Al-farabi melihat logika sebagai ilmu tentang peraturan (pedoman) yang
dapat menegakkan pikiran dan menunjukkan kepada kebenaran. Bagi Al-farabi,
logika adalah “alat”, bukan jalan untuk mencapai kebenaran. Logika merupakan
tata bahasa universal yang mengandung aturan berpikir yang wajib diikuti agar
dapat berpikir lurus dalam bahasa apa pun.
Logika menjadi alat para filosof dalam seni berpikir demonstratifnya. Seni
berpikir demonstratif merupakan pembahasan dari kebenaran tunggal, yang
dibahasakan juga dengan deni berpikir nondemonstratif dalam agama. Jadi,
kebenaran filsafat dan agama tidak bertentangan, hanya cara penyajiannya saja
yang berbeda.
Selain fokus pada kajian logika, Al-farabi pun melakukan proyek filosofis
yang mensejajarkannya dengan Aristoteles, yakni membuat klasifikasi ilmu.
Al-farabi menyusun sebuah argumen untuk mempersembahkan sebuah
pertanggung jawaban rasioanal tentang kenabian. Bagi Al-farabi, kenabian
merupakan peristiwa alamiah. Seseorang menjadi nabi karena memang memiliki
kapasitas-kapasitas tertentu yang tidakdimiliki orang lain pada umumnya, dalam
hal ini tingkat akal dan kemampuan.
Al-farabi sebagai pendiri filsafat politik islam, menselaraskan ide raja-
filososf Plato dengan ide kenabian. Bagi Al-farabi, negara atau kota utama adalah
kota dimana kebenaran mendominasi kehidupan masyarakatnya. Kota ini bersifat
organic. Artinya, setiap bagian dalam kota dan warganya laksana tubuh manusia
dimana puncak kontrolnya adalah oleh akal. Akal merupakan cermin kebenaran.
BAB IV
PENUTUP
Al-Farabi menunjukkan kehidupan spiritual dalam usianya yang masih
sangat muda dan mempraktekkan kehidupan sufi. Ia juga ahli musik terbesar
dalam sejarah Islam dan komponis beberapa irama musik, yang masih dapat
didengarkan dalam perbendaharaan lagu sufi musik India. Orde Maulawiyah dari
Anatolia masih terus memainkan komposisinya sampai sekarang. Al Farabi telah
mengarang ilmu musik dalam lima bagian. Buku-buku ini masih berupa naskah
dalam bahasa Arab, akan tetapi sebagiannya telah diterbitkan dalam bahasa
Perancis oleh D’Erlenger. Teorinya tentang harmoni belum dipelajari secara
mendalam. Pengetahuan estetika al-Farabi bergandengan dengan kemampuan
logikanya.
Ia meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Karya al-Farabi dapat
dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan mengenai subyek lain.
Tentang logika al-Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal
pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama,
baik ditinjau dari sudut waktu atau temporal maupun dari sudut logika. Dikatakan
”lebih dahulu“ dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi berkeyakinan bahwa
masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak
zaman Mesir kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Nabi Musa.
Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus
dipahami dan dinyatakan pada mulanya lewat cara-cara yang rasional serbelum
kebenaran itu diambil oleh para nabi. Karya al-Farabi tentang logika menyangkut
bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles Organon, baik dalam bentuk
komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah
dan sebagian besar naskah-naskah ini belum ditemukan. Sedang karya dalam
kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika,
matematika, dan politik. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh al-
Farabi sangat berafiliasi dengan sistem pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan
Aristoteles.
Menurut Al-Farabi, Tuhan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan
wujud yang sebaik-baiknya. Al-Farabi mengungkapkan bahwa Tuhan itu Esa
karena itu yang keluar dari-Nya juga harus satu wujud. Sedangkan mengenai
kenabian ia mengungkapkan bahwa kenabian adalah sesuatu yang diperoleh nabi
yang tidak melalui upaya mereka. Jiwa para nabi telah siap menerima ajaran-
ajaran Tuhan.
Sementara itu, menurut Al-Farabi, manusia memiliki potensi untuk
menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau universal-
universal. Potensi ini akan menjadi aktual jika ia disinari oleh ‘intelek aktif’.
Pencerahan oleh ‘intelek aktif’ memungkinkan transformasi serempak intelek
potensial dan obyek potensial ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi menganalogkan
hubungan antara akal potensial dengan ‘akal aktif’ seperti mata dengan matahari.
Menurutnya, mata hanyalah kemampuan potensial untuk melihat selama dalam
kegelapan, tapi dia menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya
obyek-obyek indrawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang
menjadi sumber cahaya itu sendiri. Terkait filsafat kenegaraan, Al-Farabi
membagi negara ke dalam lima bentuk
Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara Filsafat
Aristoteles dan Neo-Platonisme dengan pikiran ke-Islam-an. Misalnya dalam soal
mantik dan falsafah fisika beliau mengikuti Aristoteles, dalam soal etika dan
politik beliau mengikuti Plato, dan dalam soal metafisika beliau mengikuti
Plotinus. Selain itu, Al-Farabi adalah seorang filosof sinkretisme (pemanduan)
yang percaya akan kesatuan filsafat.
Al-Farabi memberikan perhatiannya yang khusus terhadap mantik. Dalam
lapangan mantik beliau banyak meninggalkan karangan-karangan beliau, tetapi
karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita kecuali buku yang berjudul
“Syarh kitab al-Ibarah li Aristo” (Penjelasan terhadap buku al-Ibarah dari
Aristoteres), dan beberapa karangan singkat dalam buku “Tahsil as-Sa’adah” serta
“Ihsha-ul ‘Ulum”. Nampaknya dalam lapangan logika Al-Farabi banyak
mengikuti Aristoteles.
Usaha pemanduan sebenarnya sudah lama dimulai sebelum munculnya Al-
Farabi dan telah mendapat pengaruh luas dalam lapangan falsafah, terutama sejak
adanya aliran Neo-Platonisme. Namun usaha Al-Farabi lebih luas lagi, karena
beliau bukan saja mempertemukan aneka aliran falsafah yang bermacam-macam,
tetapi beliau juga berkeyakinan bahawa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya
satu, meskipun berbed-beda corak dan jenisnya. Pendirian ini nampak jelas pada
karangan-karangannya, terutama dalam bukunya yang berjudul : “Al-Jami’u
Baina Ra’yai al-Hakimain” (Penggabungan pikiran kedua filosof, Plato dan
Aristoteles).
Al-Farabi sangat menyayangkan terjadinya filsafat, meskipun tujuannya
sama, yaitu mencapai Kebenaran yang Esa, sebagaimana halnya dengan aliran-
aliran politik yang bermacam-macam coraknya, tetapi tujuannya adalah sama.
Pemahamannya yang menonjol nampak jelas pada usahanya untuk
mempertemukan pikiran-pikiran Plato dengan pikiran-pikiran Aristoteles di satu
pihak, dan mempertemukan hasil-hasil pemikiran falsafah dengan wahyu di lain
pihak, dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batini).
Sebelum Al-Farabi muncul, persoalan-persoalan filsafat yang penting telah
dibahas dan dicarikan pemecahannya, terutama oleh filosof-filosof Yunani,
meskipun kadang-kadang pemecahan-pemecahan tersebut saling berlawanan.
Sudah tentu Al-Farabi tidak dapat menjauhkan diri dari pembahasan-pembahasan
itu. Di antara persoalan-persoalan tersebut ialah soal “Esa dan Berbilang” dan
hubungannya antara satu sama lain.
Persoalan ini dibahas oleh filsafat Yunani atas landasan filsafat fisika
semata-mata, akan tetapi dalam aliran Neo-Platonisme dan filsafat islam,
persoalan-persoalan tersebut dipindahkan kepada landasan-landasan agama.
Meskipun di antara kedua aliran tersebut terakhir ini caranya tidak berbeza,
namun tujuannya sudah jauh berbeza.
Tujuan aliran Neo-Platonisme dan filsafat islam ialah membentuk
susunan alam yang dapat mempertemukan hasil-hasil pemikiran dengan
ketentuan-ketentuan agama. Dalam susunan semacam ini soal Esa dan Berbilang
menjadi dasar utama bagi bangunan falsafah keseluruhannya.
Secara garis besar pemikiran al-Farabi dapat dibagi dalam beberapa tema,
yaitu: logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, musik dan beberapa tulisan
yang berisi sanggahan terhadap pandangan filosof tertentu. Namun disini hanya
akan dikupas dua pemikiran besar yakni metafisika dan politik (system
pemerintahan) yang dibahas khusus dalam bukunya yang berjudul Madinah al-
Fadhilah.
Dalam risalahnya yang terkenal dengan klasifikasi ilmu pengetahuan
berjudul Ihsha’ al-Ulum, Al-Farabi memandang kosmologi sebagai cabang
metafisika. Ia juga berpendapat bahwa kosmologi mungkin diturunkan dari
prinsip-prinsip sains partikular. Al-Farabi juga berpandangan bahwa penguasaan
matematika tidak dapat dikesampingkan dalam upaya memiliki pengetahuan yang
tepat mengenai pengetahuan-pengetahuan spiritual. Kemampuan al-Farabi di
bidang matematika inipun mendapatkan posisi terkemuka di kalangan filosof
Islam.
Emanasi ialah teori tentang ke luarnya sesuatu wujud yang mumkin
(alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti; Tuhan). Teori
emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”.
Menurut Al-Farabi, Tuhan adalah akal fikiran yang bukan berupa benda.
Bagaimana hubungannya dengan alam yang berupa benda ini? Apakah alam ke
luar daripadanya dalam proses waktu, ataukah alam itu qadim seperti qadimnya
Tuhan juga? Persoalan emanasi telah dibahas oleh aliran Neo-Platonisme yang
menggunakan kata-kata simbolis (kiasan), sehingga tidak boleh mendapatkan
hakikat yang sebenarnya.
Akan tetapi Al-Farabi telah dapat menguraikannya secara ilmiah, di mana
beliau mengatakan bahawa segala sesuatu ke luar dari Tuhan, karena Tuhan
mengetahui Zat-Nya dan mengetahui bahawa Ia menjadi dasar susunan wujud
yang sebaik-baiknya. Jadi ilmu-Nya menjadi sebab bagi wujud semua yang
diketahui-Nya. Bagi Tuhan cukup dengan mengetahui Zat-Nya yang menjadi
sebab adanya alam, agar alam ini terwujud. Oleh yang demikian, maka ke luarnya
alam (makhluk) dari Tuhan terjadi tanpa gerak atau alat, karena emanasi adalah
pekerjaan akal semata-mata. Akan tetapi wujud alam (makhluk) tersebut tidak
memberi kesempurnaan bagi Tuhan, karena Tuhan tidak membutuhkannya. Alam
tersebut tidak merupakan tujuan bagi Tuhan dan wujud-Nya pun bukanlah karena
lainnya.
Sebagaimana al-Kindi, al-Farabi juga berkeyakinan bahwa antara agama
dan filsafat tidak ada pertentangan. Berbeda dengan al-Kindi, jika terdapat
perbedaan antara akal dan wahyu maka al-Farabi memilih hasil akal sedangkan al-
Kindi memilih wahyu. Menurut pendapatnya kebenaran yang dibawa wahyu dan
kebenaran hasil spekulasi filsafat hakikatnya satu, sungguhpun bentuknya
berbeda. Al-Farabi merupakan filosof Islam pertama yang mengusahakan
keharmonisan antara agama dan filsafat. Dasar yang dipakainya untuk itu dua.
Pertama, pengadaan keharmonisan antara filsafat Aristoteles dan Plato sehingga
ia sesuai dengan dasar-dasar Islam dan kedua, pemberian tafsir rasional terhadap
ajaran-ajaran Islam. Sikap ini tentu untuk mendukung apresiasi terhadap
pemikiran Yunani.
Al-Farabi berkeyakinan bahwa Aristoteles secara kategoris telah menolak
keberadaan ide-ide Plato, tetapi ketika Aristoteles tiba pada masalah teologi dan
gagasan tentang “sebab pertama” alam semesta, dia menemukan dirinya
berhadapan dengan masalah sulit menyangkut bentuk-bentuk Ilahiyah, yang
eksistensinya, tak syak lagi mesti diperanggapkan dalam Akal Tertinggi Wujud
Pertama. Eksplorasi dari sikap ini nampak dari wacana tentang ketauhidan.
Tentang Tuhan misalnya al-Kindi sebelumnya sudah membicarakan tentang
Tuhan sebagai sebab pertama, akan tetapi ia tidak menerangkan bagaimana alam
ini dijadikan. Al-Farabi menjelaskan hal ini dengan teori emanasi.
Dalam Fushus al-Hikmah al-Farabi membedakan antara zat (esensi) dan
wujud (eksistensi). Zat menanyakan apanya sesuatu, wujud adanya sesuatu.
Terdapat dua macam zat; pertama yang wajib ada. Aristoteles membagi obyek
metafisika kepada dua yaitu; Yang Ada sebagai yang Ada dan Yang Ilahi.
Pengaruh Aristoteles kepada al-Farabi kelihatan. Pembahasan mengenai yang ada,
yang ada dalam keadaannya yang wajar, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan
semacam ini berusaha untuk memahami yang ada itu dalam bentuk semurni-
murninya. Dalam hal ini yang penting ialah bukannya apakah yang ada itu dapat
terkena oleh perubahan atau tidak, bersifat jasmani atau tidak melainkan apakah
barang sesuatu itu memang sungguh-sungguh ada. Jika kita ikuti cara berpikir
demikian berarti kita akan sampai pada pendapat bahwa hanya Tuhanlah yang
sungguh-sungguh ada, dalam arti kata yang semutlak-mutlaknya, artinya yang
tidak tergantung pada hal-hal lain. Segala sesuatu yang lainnya mempunyai nilai
nisbi. Dasar piramida falsafah yang diletakkan dengan kukuh oleh al-Farabi ini
segera dilanjutkan pembangunannya oleh para penerusnya, dan karya-karya Guru
Kedua ini mempersiapkan kondisi dunia pemikiran Islam untuk mengalami sekali
lagi serbuan Hellenisme yang semakin dahsyat.
Al-Farabi seperti Aristoteles membedakan antara materi (zat) dan bentuk
(shurah). Materi sendiri berupa kemungkinan. Sebagai contoh ia mengemukakan:
Kayu sebagai materi mengandung banyak kemungkinan, mungkin menjadi kursi,
lemari dan sebagainya. Kemungkinan itu baru terlaksana jika sudah menjadi
kenyataan kalau diberi bentuk, misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan
sebagainya. Dengan cara berpikir demikian, al-Farabi mengecam pandangan para
ahli tafsir pada zamannya. Ciri rasionalismenya jelas terlihat dari jalan pikirannya
yang mengatakan, bahwa suatu kesimpulan yang diambil di atas dasar-dasar yang
kokoh adalah lebih berhak untuk hidup daripada kepercayaan taklid seluruh umat
Islam yang sama sekali tidak didasari oleh dalil-dalil. Jadi argumentasi itu penting
sekali dari pada hanya mengandalkan emosi keagamaan semata-mata seperti yang
banyak terjadi di kalangan umat Islam.
Al Farabi merupakan seorang Sufi sehingga beliau juga berkecimpung
dengan pemikiran tasawuf. Ciri yang paling khas dari tasawuf Al-Farabi ialah
bahawa ia didasarkan atas pikiran (ratio), bukan didasarkan atas kerohanian
semata-mata yang berpangkal pada pemberantasan kesenangan-kesenangan
lahiriah dari badan untuk dapat membersihkan jiwa dan mencapai kesempurnaan
tertinggi. Dengan perkataan lain, tasawuf-nya bersifat teori yang ditegakkan atas
pembahasan dan renungan.
Menurut Al-Farabi, kesucian jiwa tidak hanya diperoleh melalui badan
dan perbuatan-perbuatan badaniah semata-mata, melainkan yang pertamanya
adalah melalui pikiran dan pemikiran. Memang ada beberapa jenis keutamaan
yang bersifat perbuatan badan, tetapi bila dibandingkan dengan keutamaan-
keutamaan pikiran dan bersifat teori maka tidak ada apa-apa erti, dan kalau
keutamaan jenis pertama merupakan kebaikan, maka keutamaan jenis kedua
merupakan raja kebaikan.
Akal manusia dalam menempuh jalan pertumbuhannya melalui
beberapa fase yang bertingkat-tingkat. Mula-mula akal tersebut adalah akal
potensi (aql bil-quwwat), dan apabila ia telah banyak memperoleh objek-objek
ilmunya dan kebenaran-kebenaran umum (absolut), maka ia menjadi akal nyata
(aql bil fi’li). Kadang-kadang akal boleh meluaskan daerah cakupnya, sehingga
dapat mengetahui kebanyakan hal-hal yang universil, dan di sini ia mencapai
tingkat tertinggi bagi manusia, iaitu tingkat “akal mustafad” atau tingkat
“limpahan dan ilham”. Pada segi ini tasawuf Al-Farabi erat hubungannya dengan
ilmu fisikologi dan teori epistimologi.
Bahkan erat juga hubungannya dengan teori-teori astronomi dan
metafisika, karena Al-Farabi mengkhayalkan suatu susunan astronomi yang berisi
pengakuan akan adanya kekuatan rohani atau akal yang tidak ada pada benda (aql
mufariq) dan yang mengawasi geraknya serta berbagai-bagai urusannya.
Kekuatan rohani yang terakhir, iaitu akal ke sepuluh, diserahi urusan langit yang
terdekat dan kehidupan di bumi. Dengan perkataan lain, akal tersebut merupakan
penghubung antara alam bawah dengan alam atas.
Pertama, tasawuf Al-Farabi didasarkan pertamanya atas pembahasan
dan pemikiran, karena dengan ilmu semata-mata kita boleh mencapai kebahagiaan
sedangkan amal (perbuatan) lahiriah menduduki tempat yang kedua dan fungsinya
pun terbatas sekali.
Kedua, pertemuan yang dikatakan oleh Al-Farabi hanya sekadar
meninggi ke alam langit dan pertalian antara manusia dengan Akal Faal, tanpa
menjadi pelarutan satu pada lainnya. Berbeza dengan itu, maka orang-orang
tasawuf menetapkan kesatuan yang tidak terputus (tidak terpisah) antara manusia
dengan Tuhan dan menetapkan bertempatnya Ketuhanan pada manusia.
Akhirnya dapatlah dikatakan bahawa berbagai-bagai faktor telah
membentuk tasawuf Al-Farabi, tetapi bangunan ilmiahnya banyak berhutang budi
kepada summum bonum dari Aristoteles dan teori ekstasis dari Plato. Semua ini
telah disusun oleh Al-Farabi, dan daripadanya keluarlah teori yang bercorak Islam
dan dapat mempunyai pengaruh terhadap orang-orang yang datang sesudahnya,
seperti pada Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, as-Suhrawardi.
Pembicaraan tentang Al-Farabi sudah cukup banyak, meskipun belum
mencakupi seluruh aspek pemikirannya. Beliau adalah pembangunan falsafah
dalam erti yang sebenarnya dan beliau telah meninggalkan suatu bangunan
falsafah yang teratur-rapi bagian-bagiannya, dan oleh kerananya maka Ibnu
Khillikan menamakannya “Filosof Islam Yang Paling Besar”.
Menurut Dr. Ibrahim Madkour, falsafah Al-Farabi adalah falsafah yang
bercorak spirituil-idealist, sebab menurut Al-Farabi, di mana-mana ada roh.
Tuhannya adalah Roh dari segala roh. Akal yang dikonsepsikannya, iaitu ‘Uqul
mufariqah (akal yang terlepas dari benda) merupakan makhluk rohani murni,
sedang kepala-negeri-utamanya, menguasai badannya. Roh itu pula yang
menggerakkan benda-benda langit dan mengatur alam di bawah bulan. Dari segi
yang lain, kerohanian tersebut merupakan pemujaan dan kerinduan terhadap akal-
pikiran.
Zat yang pertama bagi Al-Farabi merupakan raja objek-pikiran (maqul
al-Ma’qulat) dan rajanya pikiran. Zat-zat yang lain tidak lain adalah perluasan
dan salah satu manifestasinya, objek-pikiran tersebut, kita tidak akan sampai
kepada alam rohani dan tidak akan mencapai kebahagiaan tertinggi kecuali
dengan pikiran, ilmu, dan renungan.
Meskipun Al-Farabi telah banyak mengambil dari Plato, Aristoteles
dan Plotinus, namun ia memegangi keperibadiannya, sehingga pikiran-pikirannya
tersebut merupakan falsafah Islam yang berdiri sendiri sendiri, yang bukan
falsafah stoa, atau Peripatetik atau Neo-Platinisme. Memang boleh dikatakan
adanya pengaruh aliran-aliran tersebut, namun pokok bahannya adalah dari Islam
sendiri.