BOOK Report

27
MAKALAH BOOK REPORT “Al Farabi Sang Perintis Logika Islam” Ditulis oleh : Hendri Fandianto (1000298) JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Transcript of BOOK Report

Page 1: BOOK Report

MAKALAH BOOK REPORT

“Al Farabi Sang Perintis Logika Islam”

Ditulis oleh :

Hendri Fandianto (1000298)

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2013

Page 2: BOOK Report
Page 3: BOOK Report

MAKALAH BOOK REPORT

“Al Farabi Sang Perintis Logika Islam”

Ditulis oleh :

Hendri Fandianto (10

Page 4: BOOK Report

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemilihan buku ini sebagai bahan belajar untuk mempelajari

pemikiran para ilmuan muslim di masa lalu. Ada banyak teladan yang bisa

kita ambil dari para ilmuan muslim masa lalu. Kejayaan Islam di masa lalu

harus kita telusuri salah satunya dengan mempelajari pemikiran para ilmuan

Islam di masa lalu. Sejarah adalah fakta, dan fakta adalah sejarah. Sejarah

telah membuktikan betapa dunia Islam telah melahirkan banyak golongan

sarjana dan ilmuwan yang cukup hebat dalam berbagai bidang keilmuwan.

Pada masa lalu dan memang sudah ajaran Islam, bahwa jika seseorang

menemukan alat atau apapun yang belum ada manusia yang menciptakannya,

maka wajiblah baginya untuk menyebarkan hasil temuannya itu.

Menyebarkannya kepada umat manusia agar mereka semakin dapat

mempermudah pekerjaannya dan menjadikan mereka semakin bersyukur

kepada Allah.

Buku yang telah dikaji merupakan buku yang menjelaskan secara

gamblang tentang pemikiran-pemikiran alfarabi, riwayat, dan karya-karyanya

di bidang ilmu pengetahuan. Banyak hal yang bisa kita contoh dari Al Farabi,

keimanannya kepada Allah menjadi dasar dari setiap pemikiran yang dia

tuangkan ke dalam karya-karyanya di bidang ilmu pengetahuan. Sebagai

seorang filsuf Alfarabi tidak hanya mengkaji satu ilmu, melainkan hampir

keseluruhan ilmu pengetahuan dia kaji secara detil di zamannya. Karya-

karyanya banyak di kaji dan dipelajari oleh ilmuan non-Islam dan karya-

karya filsafatnya menjadi sebuah pengantar khusus di sebuah universitas

yahudi. Ketekunannya dalam menggali ilmu pengetahuan di segala disiplin

ilmu memberikan pemahaman kepada kita bahwa sebuah ilmu dan ide

tidaklah muncul dari ruang hampa melainkan melalui sebuah proses yang

panjang baik secara intelektual maupun secara emosional. Proses intelektual

Page 5: BOOK Report

yang diamasud adalah ilmu dan gagasan kita merupakan proses berpikir yang

panjang dan tidak instan didapatkan begitu saja, sedangkan emosional yang

dimaksud adalah kebersihan hati dan pikiran saat memperoleh ataupun

menggali sebuah ilmu.

B. Identitas Buku

Judul Buku : Al-Farabi Sang Perintis Logika Islam

Korektor : Koes Priyadi Hs

Tata Letak : Dian Nissa Riskasari

Desain Sampu : Motih Zamalludin

Penerbit : PT. Dian Rakyat

Cetakan Pertama, Juni 2012

Biodata Penulis :

- Nama : M.Subkhi Ibrahim

- Tempat Lahir : Serang

- Tanggal Lahir : 1 Januari 1978

- Pendidikan Terakhir : Magister Ilmu Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat

- Pekerjaan : Ketua Prodi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina

C. Fokus Buku

- Membahas pemikiran Al farabi

- Pentingnya sebuah filsafat dalam merumuskan ilmu pengetahuan

- Hikmah yang dapat kita ambil dari seorang Al farabi

Page 6: BOOK Report

BAB II

PEMBAHASAN

Al-Farabi merupakan salah satu ilmuwan Islam, beliau juga dikenal

sebagai: fisikawan, kimiawan, filsuf, ahli ilmu logika, ilmu jiwa, metafisika,

politik, musik, dll. Al-Farabi lahir di Farab, tahun 257 H / 870 M dan wafat di

Haleb (Aleppo) pada tahun 339 H / 950 M. Nama lengkapnya Abu Nasr

Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzlag Al-Farabi. Filsuf muslim

terkemuka pada zamannya yang sukar dicari padanannya.

Dimasa kecil, ia yang dikenal rajin belajar dan memiliki otak yang cerdas,

belajar agama, bahasa Arab, bahasa Turki, dan bahasa Parsi di kota kelahirannya,

Farab. Setelah besar al-Farabi pindah ke Baghdad dan tinggal selama 20 tahun. Di

Baghdad ia memperdalam filsafat, logika, matematika, etika, ilmu politik, musik,

dll. Dari Baghdad Al-Farabi kemudian pindah ke Harran (Iran). Disana ia

mempelajari filsafat Yunani kepada beberapa ahli diantaranya Yuhana bin Hailan.

Dari Harran kemudian pindah lagi ke Baghdad.

Selama di Baghdad waktunya dihabiskan untuk mengajar dan menulis.

Hasil karyanya diantaranya buku tentang ilmu logika, fisika, ilmu jiwa,

metafisika, kimia, ilmu politik, musik, dll. Tapi kebanyakan karya–karyanya yang

ditulis dalam bahasa Arab telah hilang dari peredaran. Sekarang yang masih

tersisa diperkirakan hanya sekitar 30 buah.

Ketika pergolakan politik di Baghdad memuncak pada tahun 330 H/941

M, al–Farabi merantau ke Haleb (Aleppo), disana ia mendapat perlakuan istimewa

dari sultan Dinasti Hamdani yang berkuasa ketika itu, yakni Saifuddawlah.

Karena perlakuan baiknya maka al-Farabi tetap tinggal di sana sampai akhir

hayatnya.

Jasa Al-Farabi bagi perkembangan ilmu filsafat pada umumnya dan

filsafat Islam pada khususnya sangat besar. Menurut berbagai sumber, ia

menguasai 70 jenis bahasa dunia, karena itulah al – Farabi dikenal menguasai

banyak cabang keilmuan.

Page 7: BOOK Report

Dalam bidang ilmu pengetahuan, keahliannya yang paling menonjol ialah

dalam ilmu logika. Kepiawaiannya dibidang ini jauh melebihi gurunya,

Aristoteles. Menurut al–Ahwani, pengarang al–Falsafah al– Islamiyyah, besar

kemungkinan gelar “Guru Kedua” (al-Mu’allim as–Sani) yang disandang al-

Farabi diberikan orang karena kemashurannya dalam bidang ilmu mantik. Dialah

orang yang pertama memasukkan ilmu logika kedalam kebudayaan Arab,

sebagaimana Aristoteles yang dijuluki “Guru Pertama” karena dialah yang

pertama kali menemukan ilmu logika dengan melatakkan dasar – dasarnya.

Dibidang filsafat, Al-Farabi tergolong ke dalam kelompok filusuf

kemanusiaan. Ia lebih mementingkan soal–soal kemanusiaan seperti akhlak

(etika), kehidupan intelektual, politik, dan seni.

Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat

Aristoteles dan Neo–Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak

aliran Syiah Imamiah. Dalam soal ilmu mantik dan filsafat fisika, umpamanya ; ia

mengikuti pemikiran–pemikiran Aristoteles, sedangkan dalam lapangan

metafisika al–Farabi mengikuti jejak Plotinus (205 – 270), seorang tokoh utama

Neoplatonisme.

Al-Farabi berkeyakinan penuh bahwa antara agama dan filsafat tidak

terdapat pertentangan karena sama – sama membawa kepada kebenaran. Namun

demikian, ia tetap berhati – hati atau bahkan khawatir kalau – kalau filsafat itu

membuat iman seorang menjadi rusak, dan oleh karena itu ia berpendapat

seyogianya disamping dirumuskan dengan bahasa yang samar – samar, filsafat

juga hendaknya jangan sampai bocor ke tangan orang awam.

Di antara pemikiran filsafat Al-Farabi yang terkenal adalah penjelasannya

tentang emanasi (al-faid), yaitu teori yang mengajarkan tentang proses urut –

urutan kejadian suatu wujud yang mungkin (alam makhluk) dari Zat yang wajib al

wujud (Tuhan). Menurut nya, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa

benda. Segala sesuatu, menurut al-Farabi, keluar (memancar) dari Tuhan karena

Tuhan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik – baiknya.

Ilmu-Nya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahui-Nya.

Page 8: BOOK Report

Bagaimana cara emanasi itu terjadi? Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan

itu benar – benar Esa. Karena itu, yang keluar dari pada – Nya juga tentu harus

satu wujud saja. Kalau yang keluar dari zat Tuhan itu terbilang, maka berarti zat

Tuhan juga terbilang. Menurut Al-Farabi dasar adanya emanasi ialah karena

dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal – yang   timbul dari Tuhan –

terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan.

Page 9: BOOK Report

BAB III

ANALISIS

Pembusukan peradaban terjadi ketika sebuah pradaban kehilangan titik

keseimbangannya. Titik keseimbangan peradaban itu berada di tengah, antara dua

kutub ekstrem, yaitu materi dan spirit. Dua kutub kestrem tersebut mencerminkan

kodrat manusia, yaitu kutub tubuh dan jiwa. Karena itu, ketika perdaban hanya

berpihak pada salah satu kutub itu, maka terjadi reduksi terhadap kemanusiaan.

Efek lanjutnya akan lahir praktek-praktek dehumanisasi.

Abad modern yang lahir dari Rahim budaya Eropa menekankan dimensi

lahir, kulit luar manusia. Penekanan tersebut menciptakan sahara eksistensi

manusia modern dimana manusia modern mengalami dahaga eksistensi. Kehausan

eksistensi tersebut dikarenakan manusia modern kehilanagn perspektif tentang

dirinya yang utuh, holistic yang berjiwa sekaligus berjasad. Pemuasan pada satu

sisi saja, jasad, mengakibatkan jiwa merana, ringkih, dan sakit. Manusia modern

yang rapuh itu hanya dapat diobati dengan mengembalikkan kesadaran manusia

tentang dirinya sebagai totalitas. Dalam konteks ini, filsafat mengambil peran

penting. Filsafat memang tidak menghasilkan roti, tetapi filsafat bekerja masuk,

bak siluman, ke ruang paling dalam di sudut-sudut diri manusia, menyuntikkan

kesadaran tentang hakikat diri, dari mana berasal dan kemana akan menuju.

Dalam wilaah ang klebih luas, filsafat merupakan pilar peradaban, produk

nalar yang menjadi alas kebudayaan. Meskipun demikian, filsafat kadang tidak

diperhitungkan eksistensinya, karena bersama agama, filsafat menghasilkan diri

sebagai software dari bangun besar peradaban.

Kaum muslim mewarisi harta kaum intelektual Yunani berupa khazanah

filsafat yang kemudian dibaca, dinterpretasi, dan direkomendasi secara cerdas dan

kreatif samapai memuncak pada suatu sintesis agung dengan doktrin Islam secara

sempurna. Sintesis dan hikmah.

Al-farabi adalah salah satu pemikir yang melakukan sintesis tersebut. Ia

adalah salah satu mata rantai yang menhubungkan filsafat Yunani dengan filsafat

Islam.

Page 10: BOOK Report

Karya-karya Al-farabi meliputi banyak subjek, mulai dari karya-karya

filsafat, seperti metafisika, sampai musik. Interpretasinya terhadap gagasan-

gagasan Aristoteles membuat ia dikenal sebagai salah satu komentator Aristoteles

yang paling otoratif. Tak salah jika Al-farabi dijuluki sebagai gur kedua.

Walaupin begitu, filsafat Al-farabi lebih berciri neoplatonisme.

Pengaruh neoplatonisme terlihat dalam pandangan Al-farabi tentang

metafisika. Neoplatonisme, yang berporos pada ide emanasi, berguna untuk

menjelaskan bagaimana “yang banyak” berasal dari “yang tunggal”. Dalam

metafisika, Al-farabi sukses memecahkan persoalan mahiya dan wujud; wajib al-

wujud dan mumkin al-wujud. Pijakan pandangan ketuhanan Al-farabi sendiri

didasarkan pada elaborasi cerdasnya tentang wajib al-wujud (eksis dengan

sendirinya, tidak bergantung pada orang lain) dan mumkin al-wujud (yang eksis

karena yang lain, memiliki ketergantungan pada eksistensi yang lain). Sedangkan

untuk menjelaskan bagaimana dari wajib al-wujud yang esa sampai muncul wujud

yang plural, Al-farabi memakai kerangka berpikir emanasi.

Sedangkan, pandangan psikologi Al-farabi bersejajaran dengan ide

Aristoteles yang memandang manusia sebagai hewan yang berpikir. Menurut Al-

farabi jiwa manusia memiliki sejumlah daya, salah satunya adalah daya berpikir.

Inilah aspek esensial manusia yang membedakannya dengan hewan. Pandangan

inilah yang menjadi salah satu argument Al-farabi tentang kenabian. Al-farabi

mengkategorikan jiwa dari sudut abadi atau tidaknya. Menurutnya, ada jiwa yang

abadi dan jiwa yang punah. Jiwa abadi adalah jiwa yang mengetahui kebenaran

dan mempraktekannya, sedangkan jiwa yang punah adalah jiwa yang bodoh, yang

terikat pada materi. Jiwa yang ini akan hancur bersamaan dengan hancurnya

tubuh. Ada jenis jiwa lain, yaitu jika jiwa yang mengetahui kebenaran namun

tidak mempraktekannya. Jiwa ini kekal, namun kekal dalam kesengsaraan.

Al-farabi adalah tokoh pertama yang memperkenalkan penggunaan logika

dalam tradisi intelektual muslim. Al-farabi melihat logika dalam tradisi intelektual

muslim. Al-farabi melihat logika sebagai ilmu tentang peraturan (pedoman) yang

dapat menegakkan pikiran dan menunjukkan kepada kebenaran. Bagi Al-farabi,

logika adalah “alat”, bukan jalan untuk mencapai kebenaran. Logika merupakan

Page 11: BOOK Report

tata bahasa universal yang mengandung aturan berpikir yang wajib diikuti agar

dapat berpikir lurus dalam bahasa apa pun.

Logika menjadi alat para filosof dalam seni berpikir demonstratifnya. Seni

berpikir demonstratif merupakan pembahasan dari kebenaran tunggal, yang

dibahasakan juga dengan deni berpikir nondemonstratif dalam agama. Jadi,

kebenaran filsafat dan agama tidak bertentangan, hanya cara penyajiannya saja

yang berbeda.

Selain fokus pada kajian logika, Al-farabi pun melakukan proyek filosofis

yang mensejajarkannya dengan Aristoteles, yakni membuat klasifikasi ilmu.

Al-farabi menyusun sebuah argumen untuk mempersembahkan sebuah

pertanggung jawaban rasioanal tentang kenabian. Bagi Al-farabi, kenabian

merupakan peristiwa alamiah. Seseorang menjadi nabi karena memang memiliki

kapasitas-kapasitas tertentu yang tidakdimiliki orang lain pada umumnya, dalam

hal ini tingkat akal dan kemampuan.

Al-farabi sebagai pendiri filsafat politik islam, menselaraskan ide raja-

filososf Plato dengan ide kenabian. Bagi Al-farabi, negara atau kota utama adalah

kota dimana kebenaran mendominasi kehidupan masyarakatnya. Kota ini bersifat

organic. Artinya, setiap bagian dalam kota dan warganya laksana tubuh manusia

dimana puncak kontrolnya adalah oleh akal. Akal merupakan cermin kebenaran.

Page 12: BOOK Report

BAB IV

PENUTUP

Al-Farabi menunjukkan kehidupan spiritual dalam usianya yang masih

sangat muda dan mempraktekkan kehidupan sufi. Ia juga ahli musik terbesar

dalam sejarah Islam dan komponis beberapa irama musik, yang masih dapat

didengarkan dalam perbendaharaan lagu sufi musik India. Orde Maulawiyah dari

Anatolia masih terus memainkan komposisinya sampai sekarang. Al Farabi telah

mengarang ilmu musik dalam lima bagian. Buku-buku ini masih berupa naskah

dalam bahasa Arab, akan tetapi sebagiannya telah diterbitkan dalam bahasa

Perancis oleh D’Erlenger. Teorinya tentang harmoni belum dipelajari secara

mendalam. Pengetahuan estetika al-Farabi bergandengan dengan kemampuan

logikanya.

Ia meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Karya al-Farabi dapat

dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan mengenai subyek lain.

Tentang logika al-Farabi   mengatakan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal

pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama,

baik ditinjau dari sudut waktu atau temporal maupun dari sudut logika. Dikatakan

”lebih dahulu“ dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi berkeyakinan bahwa

masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak

zaman Mesir kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Nabi Musa.

Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus

dipahami dan dinyatakan pada mulanya lewat cara-cara yang rasional serbelum

kebenaran itu diambil oleh para nabi. Karya al-Farabi tentang logika menyangkut

bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles Organon, baik dalam bentuk

komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah

dan sebagian besar naskah-naskah ini belum ditemukan. Sedang karya dalam

kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika,

matematika, dan politik. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh al-

Farabi sangat berafiliasi dengan sistem pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan

Aristoteles.

Page 13: BOOK Report

Menurut Al-Farabi, Tuhan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan

wujud yang sebaik-baiknya. Al-Farabi mengungkapkan bahwa Tuhan itu Esa

karena itu yang keluar dari-Nya juga harus satu wujud. Sedangkan mengenai

kenabian ia mengungkapkan bahwa kenabian adalah sesuatu yang diperoleh nabi

yang tidak melalui upaya mereka. Jiwa para nabi telah siap menerima ajaran-

ajaran Tuhan.

Sementara itu, menurut Al-Farabi, manusia memiliki potensi untuk

menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau universal-

universal. Potensi ini akan menjadi aktual jika ia disinari oleh ‘intelek aktif’.

Pencerahan oleh ‘intelek aktif’ memungkinkan transformasi serempak intelek

potensial dan obyek potensial ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi menganalogkan

hubungan antara akal potensial dengan ‘akal aktif’ seperti mata dengan matahari.

Menurutnya, mata hanyalah kemampuan potensial untuk melihat selama dalam

kegelapan, tapi dia menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya

obyek-obyek indrawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang

menjadi sumber cahaya itu sendiri. Terkait filsafat kenegaraan, Al-Farabi

membagi negara ke dalam lima bentuk

Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara Filsafat

Aristoteles dan Neo-Platonisme dengan pikiran ke-Islam-an. Misalnya dalam soal

mantik dan falsafah fisika beliau mengikuti Aristoteles, dalam soal etika dan

politik beliau mengikuti Plato, dan dalam soal metafisika beliau mengikuti

Plotinus. Selain itu, Al-Farabi adalah seorang filosof sinkretisme (pemanduan)

yang percaya akan kesatuan filsafat.

Al-Farabi memberikan perhatiannya yang khusus terhadap mantik. Dalam

lapangan mantik beliau banyak meninggalkan karangan-karangan beliau, tetapi

karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita kecuali buku yang berjudul

“Syarh kitab al-Ibarah li Aristo” (Penjelasan terhadap buku al-Ibarah dari

Aristoteres), dan beberapa karangan singkat dalam buku “Tahsil as-Sa’adah” serta

“Ihsha-ul ‘Ulum”. Nampaknya dalam lapangan logika Al-Farabi banyak

mengikuti Aristoteles.

Page 14: BOOK Report

Usaha pemanduan sebenarnya sudah lama dimulai sebelum munculnya Al-

Farabi dan telah mendapat pengaruh luas dalam lapangan falsafah, terutama sejak

adanya aliran Neo-Platonisme. Namun usaha Al-Farabi lebih luas lagi, karena

beliau bukan saja mempertemukan aneka aliran falsafah yang bermacam-macam,

tetapi beliau juga berkeyakinan bahawa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya

satu, meskipun berbed-beda corak dan jenisnya. Pendirian ini nampak jelas pada

karangan-karangannya, terutama dalam bukunya yang berjudul : “Al-Jami’u

Baina Ra’yai al-Hakimain” (Penggabungan pikiran kedua filosof, Plato dan

Aristoteles).

Al-Farabi sangat menyayangkan terjadinya filsafat, meskipun tujuannya

sama, yaitu mencapai Kebenaran yang Esa, sebagaimana halnya dengan aliran-

aliran politik yang bermacam-macam coraknya, tetapi tujuannya adalah sama.

Pemahamannya yang menonjol nampak jelas pada usahanya untuk

mempertemukan pikiran-pikiran Plato dengan pikiran-pikiran Aristoteles di satu

pihak, dan mempertemukan hasil-hasil pemikiran falsafah dengan wahyu di lain

pihak, dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batini).

Sebelum Al-Farabi muncul, persoalan-persoalan filsafat yang penting telah

dibahas dan dicarikan pemecahannya, terutama oleh filosof-filosof Yunani,

meskipun kadang-kadang pemecahan-pemecahan tersebut saling berlawanan.

Sudah tentu Al-Farabi tidak dapat menjauhkan diri dari pembahasan-pembahasan

itu. Di antara persoalan-persoalan tersebut ialah soal “Esa dan Berbilang” dan

hubungannya antara satu sama lain.

Persoalan ini dibahas oleh filsafat Yunani atas landasan filsafat fisika

semata-mata, akan tetapi dalam aliran Neo-Platonisme dan filsafat islam,

persoalan-persoalan tersebut dipindahkan kepada landasan-landasan agama.

Meskipun di antara kedua aliran tersebut terakhir ini caranya tidak berbeza,

namun tujuannya sudah jauh berbeza.

Tujuan aliran Neo-Platonisme dan filsafat islam ialah membentuk

susunan alam yang dapat mempertemukan hasil-hasil pemikiran dengan

ketentuan-ketentuan agama. Dalam susunan semacam ini soal Esa dan Berbilang

menjadi dasar utama bagi bangunan falsafah keseluruhannya.

Page 15: BOOK Report

Secara garis besar pemikiran al-Farabi dapat dibagi dalam beberapa tema,

yaitu: logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, musik dan beberapa tulisan

yang berisi sanggahan terhadap pandangan filosof tertentu. Namun disini hanya

akan dikupas dua pemikiran besar yakni metafisika dan politik (system

pemerintahan) yang dibahas khusus dalam bukunya yang berjudul Madinah al-

Fadhilah.

Dalam risalahnya yang terkenal dengan klasifikasi ilmu pengetahuan

berjudul Ihsha’ al-Ulum, Al-Farabi memandang kosmologi sebagai cabang

metafisika. Ia juga berpendapat bahwa kosmologi mungkin diturunkan dari

prinsip-prinsip sains partikular. Al-Farabi juga berpandangan bahwa penguasaan

matematika tidak dapat dikesampingkan dalam upaya memiliki pengetahuan yang

tepat mengenai pengetahuan-pengetahuan spiritual. Kemampuan al-Farabi di

bidang matematika inipun mendapatkan posisi terkemuka di kalangan filosof

Islam.

Emanasi ialah teori tentang ke luarnya sesuatu wujud yang mumkin

(alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti; Tuhan). Teori

emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”.

Menurut Al-Farabi, Tuhan adalah akal fikiran yang bukan berupa benda.

Bagaimana hubungannya dengan alam yang berupa benda ini? Apakah alam ke

luar daripadanya dalam proses waktu, ataukah alam itu qadim seperti qadimnya

Tuhan juga? Persoalan emanasi telah dibahas oleh aliran Neo-Platonisme yang

menggunakan kata-kata simbolis (kiasan), sehingga tidak boleh mendapatkan

hakikat yang sebenarnya.

Akan tetapi Al-Farabi telah dapat menguraikannya secara ilmiah, di mana

beliau mengatakan bahawa segala sesuatu ke luar dari Tuhan, karena Tuhan

mengetahui Zat-Nya dan mengetahui bahawa Ia menjadi dasar susunan wujud

yang sebaik-baiknya. Jadi ilmu-Nya menjadi sebab bagi wujud semua yang

diketahui-Nya. Bagi Tuhan cukup dengan mengetahui Zat-Nya yang menjadi

sebab adanya alam, agar alam ini terwujud. Oleh yang demikian, maka ke luarnya

alam (makhluk) dari Tuhan terjadi tanpa gerak atau alat, karena emanasi adalah

pekerjaan akal semata-mata. Akan tetapi wujud alam (makhluk) tersebut tidak

Page 16: BOOK Report

memberi kesempurnaan bagi Tuhan, karena Tuhan tidak membutuhkannya. Alam

tersebut tidak merupakan tujuan bagi Tuhan dan wujud-Nya pun bukanlah karena

lainnya.

Sebagaimana al-Kindi, al-Farabi juga berkeyakinan bahwa antara agama

dan filsafat tidak ada pertentangan. Berbeda dengan al-Kindi, jika terdapat

perbedaan antara akal dan wahyu maka al-Farabi memilih hasil akal sedangkan al-

Kindi memilih wahyu. Menurut pendapatnya kebenaran yang dibawa wahyu dan

kebenaran hasil spekulasi filsafat hakikatnya satu, sungguhpun bentuknya

berbeda. Al-Farabi merupakan filosof Islam pertama yang mengusahakan

keharmonisan antara agama dan filsafat. Dasar yang dipakainya untuk itu dua.

Pertama, pengadaan keharmonisan antara filsafat Aristoteles dan Plato sehingga

ia sesuai dengan dasar-dasar Islam dan kedua, pemberian tafsir rasional terhadap

ajaran-ajaran Islam. Sikap ini tentu untuk mendukung apresiasi terhadap

pemikiran Yunani.

Al-Farabi berkeyakinan bahwa Aristoteles secara kategoris telah menolak

keberadaan ide-ide Plato, tetapi ketika Aristoteles tiba pada masalah teologi dan

gagasan tentang “sebab pertama” alam semesta, dia menemukan dirinya

berhadapan dengan masalah sulit menyangkut bentuk-bentuk Ilahiyah, yang

eksistensinya, tak syak lagi mesti diperanggapkan dalam Akal Tertinggi Wujud

Pertama. Eksplorasi dari sikap ini nampak dari wacana tentang ketauhidan.

Tentang Tuhan misalnya al-Kindi sebelumnya sudah membicarakan tentang

Tuhan sebagai sebab pertama, akan tetapi ia tidak menerangkan bagaimana alam

ini dijadikan. Al-Farabi menjelaskan hal ini dengan teori emanasi.

Dalam Fushus al-Hikmah al-Farabi membedakan antara zat (esensi) dan

wujud (eksistensi). Zat menanyakan apanya sesuatu, wujud adanya sesuatu.

Terdapat dua macam zat; pertama yang wajib ada. Aristoteles membagi obyek

metafisika kepada dua yaitu; Yang Ada sebagai yang Ada dan Yang Ilahi.

Pengaruh Aristoteles kepada al-Farabi kelihatan. Pembahasan mengenai yang ada,

yang ada dalam keadaannya yang wajar, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan

semacam ini berusaha untuk memahami yang ada itu dalam bentuk semurni-

murninya. Dalam hal ini yang penting ialah bukannya apakah yang ada itu dapat

Page 17: BOOK Report

terkena oleh perubahan atau tidak, bersifat jasmani atau tidak melainkan apakah

barang sesuatu itu memang sungguh-sungguh ada. Jika kita ikuti cara berpikir

demikian berarti kita akan sampai pada pendapat bahwa hanya Tuhanlah yang

sungguh-sungguh ada, dalam arti kata yang semutlak-mutlaknya, artinya yang

tidak tergantung pada hal-hal lain. Segala sesuatu yang lainnya mempunyai nilai

nisbi. Dasar piramida falsafah yang diletakkan dengan kukuh oleh al-Farabi ini

segera dilanjutkan pembangunannya oleh para penerusnya, dan karya-karya Guru

Kedua ini mempersiapkan kondisi dunia pemikiran Islam untuk mengalami sekali

lagi serbuan Hellenisme yang semakin dahsyat.

Al-Farabi seperti Aristoteles membedakan antara materi (zat) dan bentuk

(shurah). Materi sendiri berupa kemungkinan. Sebagai contoh ia mengemukakan:

Kayu sebagai materi mengandung banyak kemungkinan, mungkin menjadi kursi,

lemari dan sebagainya. Kemungkinan itu baru terlaksana jika sudah menjadi

kenyataan kalau diberi bentuk, misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan

sebagainya. Dengan cara berpikir demikian, al-Farabi mengecam pandangan para

ahli tafsir pada zamannya. Ciri rasionalismenya jelas terlihat dari jalan pikirannya

yang mengatakan, bahwa suatu kesimpulan yang diambil di atas dasar-dasar yang

kokoh adalah lebih berhak untuk hidup daripada kepercayaan taklid seluruh umat

Islam yang sama sekali tidak didasari oleh dalil-dalil. Jadi argumentasi itu penting

sekali dari pada hanya mengandalkan emosi keagamaan semata-mata seperti yang

banyak terjadi di kalangan umat Islam.

Al Farabi merupakan seorang Sufi sehingga beliau juga berkecimpung

dengan pemikiran tasawuf. Ciri yang paling khas dari tasawuf Al-Farabi ialah

bahawa ia didasarkan atas pikiran (ratio), bukan didasarkan atas kerohanian

semata-mata yang berpangkal pada pemberantasan kesenangan-kesenangan

lahiriah dari badan untuk dapat membersihkan jiwa dan mencapai kesempurnaan

tertinggi. Dengan perkataan lain, tasawuf-nya bersifat teori yang ditegakkan atas

pembahasan dan renungan.

Menurut Al-Farabi, kesucian jiwa tidak hanya diperoleh melalui badan

dan perbuatan-perbuatan badaniah semata-mata, melainkan yang pertamanya

adalah melalui pikiran dan pemikiran. Memang ada beberapa jenis keutamaan

Page 18: BOOK Report

yang bersifat perbuatan badan, tetapi bila dibandingkan dengan keutamaan-

keutamaan pikiran dan bersifat teori maka tidak ada apa-apa erti, dan kalau

keutamaan jenis pertama merupakan kebaikan, maka keutamaan jenis kedua

merupakan raja kebaikan.

Akal manusia dalam menempuh jalan pertumbuhannya melalui

beberapa fase yang bertingkat-tingkat. Mula-mula akal tersebut adalah akal

potensi (aql bil-quwwat), dan apabila ia telah banyak memperoleh objek-objek

ilmunya dan kebenaran-kebenaran umum (absolut), maka ia menjadi akal nyata

(aql bil fi’li). Kadang-kadang akal boleh meluaskan daerah cakupnya, sehingga

dapat mengetahui kebanyakan hal-hal yang universil, dan di sini ia mencapai

tingkat tertinggi bagi manusia, iaitu tingkat “akal mustafad” atau tingkat

“limpahan dan ilham”. Pada segi ini tasawuf Al-Farabi erat hubungannya dengan

ilmu fisikologi dan teori epistimologi.

Bahkan erat juga hubungannya dengan teori-teori astronomi dan

metafisika, karena Al-Farabi mengkhayalkan suatu susunan astronomi yang berisi

pengakuan akan adanya kekuatan rohani atau akal yang tidak ada pada benda (aql

mufariq) dan yang mengawasi geraknya serta berbagai-bagai urusannya.

Kekuatan rohani yang terakhir, iaitu akal ke sepuluh, diserahi urusan langit yang

terdekat dan kehidupan di bumi. Dengan perkataan lain, akal tersebut merupakan

penghubung antara alam bawah dengan alam atas.

Pertama, tasawuf Al-Farabi didasarkan pertamanya atas pembahasan

dan pemikiran, karena dengan ilmu semata-mata kita boleh mencapai kebahagiaan

sedangkan amal (perbuatan) lahiriah menduduki tempat yang kedua dan fungsinya

pun terbatas sekali.

Kedua, pertemuan yang dikatakan oleh Al-Farabi hanya sekadar

meninggi ke alam langit dan pertalian antara manusia dengan Akal Faal, tanpa

menjadi pelarutan satu pada lainnya. Berbeza dengan itu, maka orang-orang

tasawuf menetapkan kesatuan yang tidak terputus (tidak terpisah) antara manusia

dengan Tuhan dan menetapkan bertempatnya Ketuhanan pada manusia.

Akhirnya dapatlah dikatakan bahawa berbagai-bagai faktor telah

membentuk tasawuf Al-Farabi, tetapi bangunan ilmiahnya banyak berhutang budi

Page 19: BOOK Report

kepada summum bonum dari Aristoteles dan teori ekstasis dari Plato. Semua ini

telah disusun oleh Al-Farabi, dan daripadanya keluarlah teori yang bercorak Islam

dan dapat mempunyai pengaruh terhadap orang-orang yang datang sesudahnya,

seperti pada Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, as-Suhrawardi.

Pembicaraan tentang Al-Farabi sudah cukup banyak, meskipun belum

mencakupi seluruh aspek pemikirannya. Beliau adalah pembangunan falsafah

dalam erti yang sebenarnya dan beliau telah meninggalkan suatu bangunan

falsafah yang teratur-rapi bagian-bagiannya, dan oleh kerananya maka Ibnu

Khillikan menamakannya “Filosof Islam Yang Paling Besar”.

Menurut Dr. Ibrahim Madkour, falsafah Al-Farabi adalah falsafah yang

bercorak spirituil-idealist, sebab menurut Al-Farabi, di mana-mana ada roh.

Tuhannya adalah Roh dari segala roh. Akal yang dikonsepsikannya, iaitu ‘Uqul

mufariqah (akal yang terlepas dari benda) merupakan makhluk rohani murni,

sedang kepala-negeri-utamanya, menguasai badannya. Roh itu pula yang

menggerakkan benda-benda langit dan mengatur alam di bawah bulan. Dari segi

yang lain, kerohanian tersebut merupakan pemujaan dan kerinduan terhadap akal-

pikiran.

Zat yang pertama bagi Al-Farabi merupakan raja objek-pikiran (maqul

al-Ma’qulat) dan rajanya pikiran. Zat-zat yang lain tidak lain adalah perluasan

dan salah satu manifestasinya, objek-pikiran tersebut, kita tidak akan sampai

kepada alam rohani dan tidak akan mencapai kebahagiaan tertinggi kecuali

dengan pikiran, ilmu, dan renungan.

Meskipun Al-Farabi telah banyak mengambil dari Plato, Aristoteles

dan Plotinus, namun ia memegangi keperibadiannya, sehingga pikiran-pikirannya

tersebut merupakan falsafah Islam yang berdiri sendiri sendiri, yang bukan

falsafah stoa, atau Peripatetik atau Neo-Platinisme. Memang boleh dikatakan

adanya pengaruh aliran-aliran tersebut, namun pokok bahannya adalah dari Islam

sendiri.