Post on 02-Jul-2015
BAB II
LANDASAN TEORI
1.1. Pelayanan Antenatal (ANC = Ante Natal Care)
Pelayanan Antenatal adalah pelayanan terhadap individu yang bersifat preventif care
untuk mencegah terjadinya masalah yang kurang baik bagi ibu maupun janin agar dapat
melalui persalinan dengan sehat dan aman, diperlukan kesiapan fisik dan mental ibu sehingga
ibu dalam keadaan status kesehatan yang optimal, karena dengan keadaan kesehatan ibu yang
optimal sangat berpengaruh bagi pertumbuhan janin yang dikandungnya (Departemen
Kesehatan RI, 2007).
Tujuan Pelayanan Antenatal adalah sebagai berikut :
1. Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh
kembang janin.
2. Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental dan sosial ibu.
3. Mengenali dan mengurangi secara dini adanya penyulit / komplikasi yang mungkin
terjadi selama hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan
pembedahan.
4. Mempersiapkan persalinan cukup bulan dan persalinan yang aman dengan trauma
seminimal mungkin.
5. Mempersiapkan ibu agar nifas berjalan normal dan mempersiapkan ibu agar dapat
memberikan ASI secara eksklusif.
6. Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran janin agar dapat
tumbuh kembang secara normal.
7. Mengurangi bayi lahir prematur, kelahiran mati dan kematian neonatal.
1.2. Kunjungan Antenatal Empat Kali (K4)Pedoman Pelayanan Antenatal, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Dasar , Departeman Kesehatan RI, 2007
Salah satu bentuk pelayanan kesehatan untuk ibu hamil dalam pengertian keseluruhan
adalah apa yang disebut dengan K4. Kunjungan antenatal empat kali (K4) adalah kontak ibu
hamil dengan tenaga professional yang keempat (atau lebih) untuk mendapatkan pelayanan
antenatal sesuai standar yang ditetapkan dengan syarat minimal satu kali kontak pada
trisemester pertama (K1), minimal satu kali kontak pada trisemester kedua (K2), minimal dua
kali kontak pada trisemester ketiga (K3 dan K4).
Pemeriksaan kehamilan dapat dilaksanakan dengan kunjungan ibu hamil. Kunjungan
ibu hamil adalah kontak antara ibu hamil dengan petugas kesehatan untuk mendapatkan
pelayanan antenatal sesuai dengan standar. Istilah kunjungan, tidak mengandung arti bahwa
selalu ibu hamil yang dikunjungi petugas kesehatan dirumahnya atau diposyandu (Pedoman
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu Dan Anak (PWS-KIA) Direktorat Bina
Kesehatan Keluarga, Depkes RI, 1993).
Kunjungan baru ibu hamil (K1) adalah kontak ibu hamil yang pertama kali dengan
petugas kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan dengan standar 7T. Hubungan
kunjungan baru ibu hamil (K1) sampai dengan kunjungan empat kali pemerksaan kehamilan
(K4) secara langsung adalah jika ibu memeriksakan kehamilannya yang pertama kali dan
kontak ibu yang keempat atau lebih dengan petugas kesehatan untuk mendapatkan
pemeriksaan kehamilan hubungannya adalah dapat memantau kemajuan kehamilan,
mengenali sejak dini adanya ketidak normalan atau komplikasi pada ibu dan janin.
Tujuan K1 Adalah untuk menfasilitasi hasil yang sehat dan positif bagi ibu maupun
bayinya dengan jalan menegakkan hubungan kepercayaan dengan ibu, mendeteksi
komplikasi - komplikasi yang dapat mengancam jiwa, mempersiapkan kelahiran dan
memberikan pendidikan. Asuhan itu penting untuk menjamin bahwa proses alamiah dari
kelahiran berjalan normal dan tetap demikian seterusnya (JHPIEGO,2001).
(http://.blogspot.com/pengetahuan-ibu-hamil-tentang-kontak.html, Diakses 2 Mei 2010,
Pukul 11.45 WIB)
Ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal empat kali (K4) yaitu ibu hamil
yang telah mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar paling sedikit empat kali, dengan
distribusi pemberian pelayanan yang dianjurkan adalah minimal satu kali pada trisemester
pertama, satu kali pada trisemester kedua dan dua kali pada trisemester ketiga umur
kehamilan.
Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota, Biro Hukum Dan Organisasi SetJen DepKes RI, 2008 Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu Dan Anak (PWS-KIA) Direktorat Bina Kesehatan Keluarga, DepKes RI, 1993
Kunjungan ibu hamil sesuai standar adalah pelayanan yang mencakup minimal :
a. Timbang badan dan ukur badan. Tujuannya, untuk mengetahui sesuai tidaknya berat
badan ibu. Pemeriksaan berat badan akan dilakukan setiap ibu berkunjung nantinya.
Idealnya, selama triwulan I berat badan ibu harus naik 0,5 sampai 0,75 kg setiap
bulan. Pada triwulan II, berat badan ibu harus naik 0,25 kg setiap minggu. Dan pada
triwulan III, berat badan ibu harus naik sekitar 0,5 kg setiap minggunya. Atau secara
umum berat badan ibu bertambah minimal 8 kg selama kehamilan.
b. Ukur tekanan darah. Tujuannya, untuk mendeteksi apakah tekanan darah normal atau
tidak. Pemeriksaan ini juga dilakukan pada setiap kunjungan. Tekanan darah yang
tinggi dapat membuat ibu mengalami keracunan kehamilan, baik ringan maupun berat
bahkan sampai kejang - kejang. Sementara tekanan darah yang rendah menyebabkan
pusing dan lemah.
c. Skrining status imunisasi Tetanus Toksoid (TT). Tujuannya, untuk melindungi ibu
dan bayi yang dilahirkan nanti dari Tetanus Neonatorum. Imunisasi ini diberikan
sebanyak lima kali - TT1 diberikan pada kunjungan antenatal pertama, TT2 diberikan
empat minggu setelah TT1, TT3 diberikan enam bulan setelah TT2, TT4 diberian satu
tahun setelah TT3, dan TT5 diberikan satu tahun setelah TT4.
d. Ukur tinggi fundus uteri. Tujuannya, untuk melihat pembesaran rahim. Dilakukan
dengan cara meraba perut dari luar. Termasuk juga untuk mengetahui presentasi bayi,
serta bagian janin yang berada di puncak (fundus) dan letak punggung bayi (untuk
selanjutnya menentukan denyut jantung janin). Dalam pemeriksaan fisik ini juga
dilakukan pengukuran tinggi puncak rahim untuk kemudian disesuaikan dengan umur
kehamilan. Jika didapatkan besar rahim tidak sesuai dengan perkiraan umur
kehamilan, pemeriksaan penunjang berikutnya dapat direncanakan.
e. Pemberian tablet besi (90 tablet) selama kehamilan. Pemberian tablet besi. Kebijakan
nasional yang diterapkan pada seluruh Pusat Kesehatan Masyarakat di Indonesia
adalah pemberian satu tablet besi sehari sesegera mungkin setelah rasa mual hilang
pada awal kehamilan. Tiap tablet mengandung FeSO4 320 mg (zat besi 60 mg) dan
asam folat 500 ug, minimal masing-masing 90 tablet. Tablet besi sebaiknya tidak
diminum bersama teh atau kopi, karena akan mengganggu penyerapannya.
f. Temu wicara / pemberian komunikasi interpersonal dan konseling. Mengingat tidak
dapat diramalkannya kondisi ibu dan janin saat proses persalinan berlangsung, khusus
untuk daerah Pusat Kesehatan Masyarakat yang jauh dari Rumah Sakit Kabupaten
Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota, Biro Hukum Dan Organisasi SetJen DepKes RI, 2008 Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu Dan Anak (PWS-KIA) Direktorat Bina Kesehatan Keluarga, Depkes RI, 1993
atau Propinsi serta ketiadaan fasilitas mobil ambulans, perlu dipikirkan persiapan-
persiapan berkenaan dengan rujukan. Terlebih untuk daerah-daerah yang terisolasi
oleh hutan, sungai, maupun laut. Oleh karenanya diperlukan komunikasi dengan
suami atau keluarga guna mempersiapkan rujukan jika nantinya diperlukan. Dengan
manajemen rujukan yang benar, cepat dan tepat, ibu dan janin / bayi yang dilahirkan
akan memperoleh penanganan yang benar. Sehingga daengan seirama akan membantu
menurunkan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi di Indonesia.
g. Test laboratorium sederhana (Hb, Protein urin) dan berdasarkan indikasi (HbsAg,
sifilis, HIV, malaria, TBC, PMS). Wanita, termasuk yang sedang hamil, merupakan
kelompok risiko tinggi terhadap Penyakit Menular Seksual (PMS). Penyakit Menular
Seksual (PMS) ini dapat menimbulkan kesakitan dan kematian, baik pada ibu maupun
janin yang dikandungnya. Jika dalam kunjungan pertama wanita hamil itu memiliki
risiko terhadap Penyakit Menular Seksual (PMS), maka perlu dilakukan penapisan.
Penapisan ini dapat berupa pemeriksaan cairan (sekret) vagina maupun pemeriksaan
darah. Dengan terdeteksinya Penyakit Menular Seksial (PMS) secara lebih dini, akan
dapat diobati secara tepat dengan memperhatikan faktor keamanan terhadap ibu dan
janin. Sehingga, kesakitan dan kematian pada ibu dan janin dapat dihindari
(http://www.balipost.com, Diakses 11 Mei 2010, Pukul 15.35 WIB).
1.3. Cakupan Kunjungan Antenatal Empat Kali (K4)
Cakupan kunjungan antenatal empat kali (K4) adalah cakupan ibu hamil yang telah
memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit empat kali di satu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu (Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan Di Kabupaten / Kota, Biro Hukum Dan Organisasi Sekretariat Jenderal
DepKes RI, 2008).
Agar tujuan tersebut tercapai, pemeriksaan kehamilan harus segera dilaksanakan
begitu terjadi kehamilan yaitu ketika haidnya terlambat sekurang-kurangnya satu bulan, dan
dilaksanakan terus secara berkala selama kehamilan. Ibu harus melaksanakan pemeriksaan
antenatal paling sedikit empat kali. Satu kali kunjungan pada trisemester I, satu kali
kunjungan pada trisemester II dan dua kali kunjungan pada trisemester III (Prawirohardjo S,
2002).
Kebanyakan ibu hamil harus menyadari bahwa sedang hamil sewaktu kehamilan
sudah berusia 1 sampai 2 bulan. Dan disaat mereka memeriksakan diri ke dokter biasanya
Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota, Biro Hukum Dan Organisasi SetJen DepKes RI, 2008 Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu Dan Anak (PWS-KIA) Direktorat Bina Kesehatan Keluarga, DepKes RI, 1993
kehamilannya sudah berusia 2 atau 3 bulan, tiga bulan pertama kehamilan adalah masa yang
sangat penting. Banyak hal-hal penting terjadi sebelum ibu hamil pergi ke dokter dan
mengetahui bahwa ibu sedang hamil.
Cakupan kunjungan ibu hamil di suatu pelayanan kesehatan dapat dilihat dengan
rumus di bawah ini :
Jumlah ibu hamil yang memperoleh pelayanan antenatal K4 di satu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu
Jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah dalam kurun waktu yang sama
Jumlah sasaran ibu hamil dihitung melalui estimasi dengan rumus : 1,10 x Crude
Birth Rate x jumlah penduduk (pada tahun yang sama). Angka CBR dan jumlah penduduk
Kabupaten / Kota didapat dari BPS masing – masing Kabupaten / Kota / Provinsi pada kurun
waktu tertentu dan 1,10 merupakan konstanta untuk menghitung ibu hamil.
Indikator ini mengukur kemampuan manajemen program KIA dalam melindungi ibu
hamil sehingga kesehatan janin terjamin melalui penyediaan pelayanan antenatal.
Sumber data yang diperlukan berasal dari Sistem Informasi Puskesmas (SIMPUS) dan
Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) dan termasuk pelayanan yang dilakukan oleh swasta,
kohort ibu serta Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) KIA.
1.4. Puskesmas
Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi fungsional yang langsung memberikan
pelayanan secara menyeluruh pada masyarakat dalam suatu wilayah kerja tertentu dalam
bentuk usaha - usaha kesehatan pokok (Azwar, 1980).
Menurut Departemen Kesehatan RI, 1991, Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi
kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang
membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh atau
terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.
1.4.1. Fungsi Puskesmas
Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota, Biro Hukum Dan Organisasi SetJen DepKes RI, 2008 Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu Dan Anak (PWS-KIA) Direktorat Bina Kesehatan Keluarga, DepKes RI, 1993
Cakupan kunjungan = antenatal empat kali(K4)
x 100%
Ada tiga fungsi puskesmas, yaitu :
1. Sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat di wilayahnya.
2. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka
meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat.
3. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada
masyarakat di wilayah kerjanya.
1.4.2. Kegiatan Pokok Puskesmas
Ada delapan belas kegiatan pokok puskesmas antara lain :
1 Upaya kesehatan ibu dan anak
a. Pemeliharaan kesehatan ibu hamil, melahirkan dan menyusui, serta bayi,
anak balita dan anak pra sekolah.
b. Memberikan nasehat tentang makanan guna mencegah gizi buruk karena
kekurangan protein, kalori serta bila ada pemberian makanan tambahan,
vitamin dan mineral.
c. Pemberian nasehat tentang perkembangan anak dan cara stimulasinya.
d. Imunisasi tetanus toksoid dua kali pada ibu hamil dan BCG, DPT tiga kali,
polio tiga kali, dan campak satu kali pada bayi.
e. Penyuluhan kesehatan meliputi berbagai aspek dalam mencapai tujuan
program KIA.
f. Pelayanan Keluarga Berencana kepada pasangan usia subur (PUS) dengan
perhatian khusus kepada mereka yang dalam keadaan bahaya karena
melahirkan anak dan golongan ibu resiko tinggi.
g. Pengobatan bagi ibu, bayi, balita dan anak pra sekolah dari macam –
macam penyakit ringan.
Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota, Biro Hukum Dan Organisasi SetJen DepKes RI, 2008 Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu Dan Anak (PWS-KIA) Direktorat Bina Kesehatan Keluarga, DepKes RI, 1993 Nasrul Effendy, 1998 Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2, EGC
h. Kunjungan rumah untuk mencari ibu dan anak yang memerlukan
pemeliharaan, memberikan penerangan dan pendidikan tentang kesehatan,
dan untuk mengadakan pemantauan pada mereka yang lalai mengunjungi
puskesmas dan meminta agar mereka datang ke puskesmas untuk
memeriksakan diri saat sakit dan hamil.
i. Pengawasan dan bimbingan kepada taman kanak – kanak dan para dukun
bayi.
2 Upaya Keluarga Berencana
a. Mengadakan konseling mengenai Keluarga Berencana untuk para ibu dan
calon ibu yang mengunjungi poli Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
b. Mengadakan pertemuan dan pelatihan Keluarga Berencana (KB) kepada
dukun yang kemudian akan bekerja sebagai penggerak calon peserta KB.
c. Mengadakan penyuluhan tentang KB baik di puskesmas maupun dengan
kunjungan rumah.
d. Memasang IUD, penggunaan pil, kondom, dan cara – cara lain dengan
memberikan sarananya.
e. Melakukan pemantauan kepada ibu maupun calon ibu yang menggunakan
sarana pencegahan kehamilan.
3 Upaya Peningkatan Gizi
a. Mengenali penderita – penderita kekurangan gizi dan memberikan
pengobatan.
b. Mempelajari keadaan gizi masyarakat dan mengembangkan program
perbaikan gizi.
c. Memberikan pendidikan gizi kepada masyarakat dan perorangan kepada
mereka yang membutuhkan, terutama dalam rangka program KIA.
d. Melaksanakan program perbaikan gizi keluarga, memberikan makanan
tambahan yang mengandung protein dan kalori kepada anak – anak
Nasrul Effendy, 1998. Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2, EGC
Nasrul Effendy, 1998. Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2, EGC
Nasrul Effendy, 1998. Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2, EGC
berumur di bawah 5 tahun dan kepada ibu yang menyusui, memberikan
vitamin A kepada anak – anak yang berumur dibawah 5 tahun.
4 Upaya kesehatan lingkungan
a. Penyehatan air bersih.
b. Penyehatan pembuangan kotoran.
c. Penyehatan lingkungan perumahan.
d. Penyehatan air buangan / limbah.
e. Pengawasan sanitasi tempat umum.
f. Penyehatan makanan dan minuman.
g. Pelaksanaan peraturan perundangan.
5 Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
a. Megumpulkan dan menganalisa data penyakit.
b. Melaporkan kasus penyakit menular.
c. Menyelidiki di lapangan untuk melihat benar atau tidaknya laporan yang
masuk, menemukan kasus – kasus baru dan mengetahui sumber
penularannya.
d. Tindakan pencegahan penularan penyakit.
e. Menyembuhkan penderita hingga tidak lagi menjadi sumber infeksi.
f. Pemberian imunisasi.
g. Pemberantasan vektor.
h. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat.
6 Upaya pengobatan termasuk pelayanan darurat karena kecelakaan
Nasrul Effendy,1998. Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2, EGC
a. Melaksanakan diagnosa sedini mungkin (mendapatkan riwayat penyakit,
mengadakan pemeriksaan fisik, mengadakan pemeriksaan laboratorium,
membuat diagnosa).
b. Melaksanakan tindakan pengobatan.
c. Melakukan upaya rujukan bila perlu (rujukan diagnostik, rujukan
pengobatan / rehabilitasi, rujukan lain).
7 Upaya penyuluhan kesehatan masyarakat
a. Kegiatan penyuluhan kesehatan dilakukan pada setiap kesempatan oleh
petugas, baik di klinik, rumah dan di kelompok – kelompok masyarakat.
b. Diadakannya petugas koordinator yang membantu para petugas puskesmas
dalam mengembangkan teknik dan materi penyuluhan di puskesmas.
8 Upaya kesehatan sekolah
a. Membina sarana keteladanan di sekolah, berupa sarana keteladanan gizi
meliputi kebersihan kantin, makanan dan kebersihan lingkungan sekolah.
b. Membina kebersihan perseorangan peserta didik.
c. Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berperan serta secara
aktif dalam pelayanan kesehatan melalui kegiatan dokter kecil.
d. Imunisasi peserta didik kelas I – VI.
e. Pengawasan terhadap keadaan air.
f. Pengobatan ringan pertolongan pertama.
g. Rujukan medis.
h. Pembinaan teknis dan pengawasan sekolah.
9 Upaya kesehatan olah raga
a. Pemeriksaaan kesehatan berkala.
b. Penentuan takaran latihan.
Nasrul Effendy. 1998. Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2, EGC
c. Pengobatan dengan latihan dan rehabilitasi.
d. Pengobatan akibat cedera latihan.
e. Pengawasan selama pemusatan latihan.
10 Upaya perawatan kesehatan masyarakat
a. Asuhan perawatan kepada individu di puskesmas maupun di rumah tangga
dengan berbagai tingkatan umur, kondisi kesehatan, tumbuh kembang dan
jenis kelamin.
b. Asuhan keperawatan yang diarahkan kepada keluarga sebagai unit terkecil
dari masyarakat.
c. Pelayanan perawatan kepada kelompok khusus diantaranya ibu hamil, anak
balita, usia lanjut, dll.
d. Pelayanan keperawatan pada tingkat masyarakat.
11 Upaya kesehatan kerja
a. Pemeriksaan kesehatan awal dan berkala untuk para pekerja.
b. Pemeriksaan kasus terhadap pekerja yang datang berobat ke puskesmas.
c. Peninjauan tempat kerja untuk menentukan bahaya akibat kerja.
d. Kegiatan peningkatan kesehatan tenaga kerja melalui peningkatan gizi
pekerja, lingkungan kerja, dan kegiatan peningkatan kesejahteraan
kegiatan pencegahan kecelakaan akibat kerja (penyuluhan kesehatan,
kegiatan ergonomi, monitoring bahaya akibat kerja, pemakaian Alat
Pelindung Diri (APD) ).
e. Pengobatan kasus penyakit akibat kerja.
f. Kegiatan pemulihan kesehatan bagi para pekerja yang sakit.
g. Kegiatan rujukan medik dan kesehatan terhadap pekerja yang sakit.
12 Upaya kesehatan gigi dan mulut
Nasrul Effendy, 1998. Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2, EGC
a. Pembinaan/pengembangan kemampuan peran serta masyarakat dalam
upaya pemeliharaan diri dalam wadah program UKGM.
b. Pelayanan asuhan pada kelompok rawan (anak sekolah, ibu hamil,
menyusui dan anak pra sekolah).
c. Pelayanan medik gigi dasar.
13 Upaya kesehatan jiwa
a. Penanganan pasien dengan gangguan jiwa.
b. Pengembangan upaya kesehatan jiwa di puskesmas dengan peran serta
masyarakat dan pelayanan melalui kesehatan jiwa.
14 Upaya kesehatan mata
a. Upaya kesehatan mata (anamnesa, pemeriksaan visus dan mata luar tes
buta warna, funduskopi, pemeriksaan laboratorium, pengobatan dan
pemberian kacamata).
b. Peningkatan kesehatan masyarakat dalam bentuk penyuluhan kesehatan,
menciptakan kemandirian masyarakat dalam pemeliharaan kesehatan mata.
c. Pengembangan kesehatan mata masyarakat.
15 Upaya laboratorium sederhana
a. Kegiatan di ruangan laboratorium.
b. Kegiatan terhadap spesimen yang akan dirujuk.
c. Kegiatan laboratorium di ruang klinik yang dilakukan oleh perawat atau
bidan.
d. Kegiatan laboratorium di luar gedung.
16 Upaya pencatatan dan pelaporan dalam rangka sistem informasi kesehatan
Nasrul Effendy, 1998 . Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2,. EGC
a. Pencatatan dan pelaporan mencakup : data umum dan demografi wilayah
kerja puskesmas, data ketenagaan di puskesmas, data sarana yang dimiliki
puskesmas, data kegiatan pokok puskesmas yang dilakukan baik di dalam
maupun di luar gedung puskesmas.
b. Laporan dilakukan secara periodik (bulanan, triwulan, enam bulanan, dan
tahunan).
17 Upaya kesehatan usia lanjut
a. Pengembangan kegiatan upaya pemeliharaan kesehatan usia lanjut dan
pencegahan penyakit dengan melakukan penyuluhan mengenai kesehatan
usia lanjut baik di dalam puskesmas maupun di luar puskesmas.
b. Kegiatan pelayanan pengobatan penyakit pada usia lanjut.
c. Kegiatan rujukan medik.
18 Upaya pembinaan pengobatan tradisional
a. Melestarikan bahan – bahan tanaman yang dapat digunakan untuk
pengobatan tradisional.
b. Melakukan pembinaan terhadap cara – cara pengobatan tradisional.
1.5. Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU
RI No. 20 tahun 2003).
Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal dan informal yang dapat
saling melengkapi dan memperkaya jenjang. Pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar,
Nasrul Effendy, 1998/ Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2. EGC
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Menurut Undang-Undang No. 20 pasal 17
tahun 2003, jalur pendidikan formal terdiri dari :
a. Pendidikan Dasar (SD, MI, SMP, MTs)
b. Pendidikan Menegah (SMA, MA, SMK,MAK)
c. Pendidikan Tinggi (Diploma, Sarjana, Magister, Spesialis dan Doktor).
Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi, misalnya hal-hal yang
menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.
Ketidaktahuan dapat disebabkan karena pendidikan yang rendah, seseorang dengan
tingkat pendidikan yang terlalu rendah akan sulit menerima pesan, mencerna dan informasi
yang disampaikan (Effendi, 1998).
Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seorang akan pola
hidup terutama dalam memotivasi untuk bersikap dan berperan serta dalam pembangunan
kesehatan (Notoatmojo, 1997).
Menurut Kuncoroningrat yang dikutip oleh Nursalam dan Siti Pariani (2001) semakin
tinggi pendidikan semakin mudah menerima informasi, sehingga semakin banyak pula
pengetahuan yang dimiliki begitu pula sebaliknya. Semakin rendah tingkat pendidikan maka
akan sulit mencerna pesan yang disampaikan. Tingkat pendidikan khususnya tingkat
pendidikan ibu mempengaruhi derajat kesehatan. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh
terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi
akan memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya
dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari (Depkes RI, 2004).
1.6. Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan kemampuan seseorang untuk mengingat fakta, simbol,
prosedur, tehnik, dan teori (Notoatmodjo, 1997). Menurut Taufik (2007), pengetahuan
merupakan penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera
yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan lain sebagainya).
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setiap orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek. Pada umumnya pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh
pendidikan yang pernah diterima, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka
semakin baik pula tingkat pengetahuannya (Nursalam, 2001).
Notoatmodjo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat,. Jakarta :Rineka Cipta Nursalam dan Siti Pariani. 2001, Pendekatan Praktis Metodelogi Riset Keperawatan CV. Sagung Seto : Jakarta Nasrul Effendy, 1998. Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2, EGC
Notoatmodjo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat,. Jakarta :Rineka Cipta Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Keperawtan Pedoman Skripsi,Tesis Dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Salemba Medika : Jakarta
Pengetahuan dapat mempengaruhi seseorang secara ilmiah dan mendasari dalam
mengambil keputusan rasional dan efektif dalam menerima perilaku baru yang akan
menghasilkan persepsi yang positif dan negatif.
Dengan banyak pengetahuan tentang pemeriksaan kehamilan ibu menjadi banyak tahu
tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan
seseorang antara lain : pendidikan, usia, ekonomi, pekerjaan (Nursalam, 2001).
Tingkat Pengetahuan Dalam Dominan Kognitif
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang
spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena
itu “tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang lebih rendah.
b. Memahami (Comprehension)
Diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (Application)
Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
suatu atau kondisi yang riil. Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum –
hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (Analysis)
Yaitu suatu kemampuan untuk menjabarkan materi suatu objek kedalam komponen –
komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu
sama lain.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk melakukan atau
menghubungkan bagian – bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata
lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi yang baru dari formula –
formula yang ada.
Notoatmodjo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat,. Jakarta :Rineka Cipta
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu
materi atau objek. Penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria – kriteria yang ada (Notoatmodjo, 2003).
Proses penyerapan ilmu pengetahuan menurut Soekidjo Notoatmodjo, 2003 bahwa
suatu pesan yang diterima oleh setiap individu melalui lima tahapan, yaitu :
a. Kesadaran (Awarnees)
Yaitu keadaan dimana seseorang sadar bahwa ada suatu peranan yang disampaikan,
bahwa ada suatu pesan yang disampaikan.
b. Merasa Tertarik (Interest)
Yaitu seseorang mulai tertarik akan misi pesan yang disampaikan.
c. Menimbang – nimbang (Evaluation)
Yaitu merupakan tahap dimana penerima pesan mulai mengadakan penilaian
keuntungan dan kerugian dari isi pesan yang disampaikan.
d. Mencoba (Trial)
Yaitu merupakan tahap dimana penerima pesan mencoba mempraktekkan isi pesan
yang didengar.
e. Adopsi ( Adoption)
Yaitu merupakan tahap dimana penerima pesan mempraktekkan dan melaksanakan isi
pesan dalam kehidupan sehari – hari.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang ingin dilakukan dalam subyek penelitian atau responden
(Notoatmodjo, 2003).
Menurut Arikunto (2006) pengetahuan seseorang dapat diketahui dan
diinterprestasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu :
a. Baik : Hasil presentase 76% - 100%
b. Cukup : Hasil presentase 56% - 75%
c. Kurang : Hasil presentase 40% - 55%
d. Buruk : Hasil persentase < 40%
Notoatmojo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Pengetahuan tentang kehamilan harus dimiliki ibu hamil untuk dapat menyiapkan fisik
atau mental agar sampai akhir kehamilannya sama sehatnya, bilamana ada kelainan fisik atau
psikologis bisa ditemukan secara dini dan diobati, serta melahirkan tanpa kesulitan dengan
bayi yang sehat. Berdasarkan sebuah konsep perilaku “K-A-P” (Knowledge, attitude, pracite)
menjelaskan bahwa perilaku seseorang (misalnya perilaku ibu hamil terhadap kunjungan
empat kali pemeriksaan kehamilan) sangat dipengaruhi oleh sikapnya yang mendukung
terhadap anjuran pemeriksaan kehamilannya. Sikap (attitude) dipengaruhi oleh pengetahuan
(knowledge) tentang sesuatu (misalnya pengetahuan manfaat pemeriksaan kehamilan bagi
ibu hamil) (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan tentang pemeriksan kehamilan yang masih kurang dapat dilihat dari
frekuensi kunjungan pemeriksaan selama kehamilan. Sedangkan frekuensi kunjungan
pemeriksaan kehamilan dapat ditinjau dari tingkat kepatuhan ibu hamil dalam melakukan
kunjungan pemeriksaan kehamilan di tempat pelayanan KIA.
Kepatuhan melakukan kunjungan pemeriksaan kehamilan merupakan salah satu
bentuk perilaku seorang ibu hamil. Menurut Lawrence Green, faktor – faktor yang
berhubungan dengan perilaku ada 3 yaitu: faktor predisposisi, faktor pendukung, dan faktor
pendorong. Yang termasuk faktor predisposisi diantaranya : pengetahuan, sikap,
kepercayaan, tradisi, dan nilai. Sedangkan yang termasuk faktor pendukung adalah
ketersediaan sarana-sarana kesehatan dan sumber daya, dan yang terakhir yang termasuk
faktor pendorong adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan (Notoatmodjo, 2003).
1.7. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap
suatu stimulasi atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian
reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu reaksi
yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2003).
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu
stimulus atau objek. Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen
pokok :
a. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
Notoatmojo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian ( Suatu Pendekatan dan Praktik ). Rieneka Cipta : Jakarta
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan :
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan (obyek).
b. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang
diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah
suatu indikasi sikap tingkat tiga.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko
merupakan sikap yang paling tinggi.
e. Praktik atau tindakan (practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk
mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung
atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan faktor
dukungan (support) praktik ini mempunyai beberapa tingkatan :
f. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.
Notoatmojo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Daniel J Mueellerr, op. cit, p.3.
g. Respon terpimpin (guide response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh
adalah merupakan indikator praktik tingkat kedua.
h. Mekanisme (mecanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau
sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.
i. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan
tersebut.
Sikap mempunyai ketahanan yang relatif dalam arti dapat bersifat permanen atau
kurang permanen dalam mereaksi suatu objek. Dengan demikian sikap bukanlah perilaku.
Antara sikap dan perilaku merupakan fenomena psikologis yang terpisah. Karena sikap
belum merupakan perilaku tetapi masih dalam bentuk apresiasi terhadap respon maka
terhadap sikap dianggap sebagai respon tertutup (covert respon) sebagaimana definisi yang
dikemukakan oleh Ralph Linton (1945) dalam Daniel J Mueller bahwa sikap dapat
didefinisikan sebagai respon tertutup yang menimbulkan nilai.
1.8. Sosial Ekonomi
Faktor yang berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang adalah tingkat
sosial ekonomi (FKM UI, 2007). Sosial ekonomi merupakan gambaran tingkat kehidupan
seseorang dalam masyarakat yang ditentukan dengan variabel pendapatan, pendidikan dan
pekerjaan, karena ini dapat mempengaruhi aspek kehidupan termasuk pemeliharaan
kesehatan (Notoatmodjo, 2003).
Notoatmojo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Keadaan sosial ekonomi yang rendah pada umumnya berkaitan erat dengan berbagai
masalah kesehatan yang dihadapi, hal ini disebabkan karena ketidakmampuan dan
ketidaktahuan dalam mengatasi berbagai masalah tersebut (Effendy Nasrul, 1998).
Menurut WHO (Notoatmodjo, 2003) faktor ekonomi juga berpengaruh
terhadap seseorang dalam upaya deteksi dini komplikasi kehamilan. Status
ekonomi keluarga juga berperan bagi seseorang dalam mengambil
keputusan bertindak termasuk tindakan yang berhubungan dengan
kesehatan.
Ekonomi menjadi faktor penentu dalam proses kehamilan yang sehat. Keluarga dengan
ekonomi yang cukup dapat memeriksakan kehamilannya secara rutin, merencanakan
persalinan di tenaga kesehatan dan melakukan persiapan lainnya dengan baik. Namun dengan
adanya perencanaan yang baik sejak awal, membuat tabungan bersalin, maka kehamilan dan
proses persalinan dapat berjalan dengan baik.
1.9. Perilaku
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai
bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja,
kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati
langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa
perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar.
Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan
kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau
Stimulus – Organisme – Respon.
Definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah reaksi yang dapat diamati
secara umum atau obyektif, merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan
respon yang bersifat sederhana atau kompleks.
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan
menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :
Notoatmojo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Effendy Nasrul. 1998. Dasar - Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
a. Perilaku tertutup (convert behavior)
Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung
atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada
perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang
menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.
Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang
dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2003) adalah suatu respon seseorang
(organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit,
sistim pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini,
perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok :
a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance).
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit.
b. Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan, atau sering
disebut perilaku pencairan pengobatan (health seeking behavior).
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita
penyakit dan atau kecelakaan.
c. Perilaku kesehatan lingkungan Notoatmojo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Notoatmojo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Adalah apabila seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial
budaya, dan sebagainya.
Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkap faktor penentu yang dapat
mempengaruhi perilaku khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain
:
1 Teori Lawrence Green (1980)
Green mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan.
Bahwa kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku
(behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior causes).
Faktor perilaku ditentukan atau dibentuk oleh :
a. Faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
b. Faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia
atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya
puskesmas, obat-obatan, alat-alat steril dan sebagainya.
c. Faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat.
2 Teori Snehandu B. Kar (1983)
Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan bertitik tolak bahwa perilaku
merupakan fungsi dari :
a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan
kesehatannya (behavior itention).
b. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support).
c. Adanya atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan
(accesebility of information).
d. Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan atau
keputusan (personal autonomy).
Notoatmojo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak (action situation).
3. Teori WHO (1984)
WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu adalah :
a. Pemikiran dan perasaan (thougts and feeling), yaitu dalam bentuk pengetahuan,
persepsi, sikap, kepercayaan dan penilaian seseorang terhadap objek (objek
kesehatan).
b. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.
c. Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang
menerima kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih
dahulu.
d. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering
diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat. Sikap membuat
seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap
tindakan-tindakan kesehatan tidak selalu terwujud didalam suatu tindakan tergantung
pada situasi saat itu, sikap akan diikuti oleh tindakan mengacu kepada pengalaman
orang lain, sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasar pada banyak
atau sedikitnya pengalaman seseorang.
e. Tokoh penting sebagai Panutan. Apabila seseorang itu penting untuknya, maka apa
yang ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh, antara lain guru, alim ulama,
kepala adat (suku), kepala desa, dan sebagainya
f. Sumber-sumber daya (resources), mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga dan
sebagainya.
Pengetahuan ibu akan mempengaruhi perilaku ibu dalam melakukan pemeriksaan
kehamilannya. Selain pengetahuan mengenai kehamilan ibu, perilaku juga dipengaruhi oleh
pengalaman, sosial ekonomi, fasilitas (sarana dan jarak pelayanan), budaya, paritas (jumlah
anak) dan sebagainya. Tetapi diantara faktor-faktor tersebut untuk terbentuknya perilaku
yang langgeng adalah perilaku yang disadari oleh pengetahuan dan kesadaran (Notoatmodjo,
2003).
Notoatmojo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
2.9.1. Perilaku dan Kepatuhan Melakukan Kunjungan Anteanal Care (ANC).
Menurut Sarafino yang dikutip oleh Sudariyah, 2004, mendefinisikan kapatuhan atau
ketaatan sebagai tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan atau perilaku yang disarankan
oleh petugas kesehatan.
Menurut Mulyono. B yang dikutip oleh Widiawati, 2007, kepatuhan merupakan
tindakan yang berkaitan dengan perilaku seseorang. Perilaku manusia hakekatnya merupakan
aktivitas dari manusia itu sendiri.
Sedangkan menurut Sudarwati yang dikutip oleh Widiawati, 2007, tingkat kepatuhan
adalah pengukuran pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan langkah-langkah yang telah
ditetapkan.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
kepatuhan merupakan ketaatan seseorang untuk melaksanakan kegiatan atau aktivitas seperti
yang disarankan oleh orang lain. Orang lain yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
bidan.
Penghitungan tingkat kepatuhan dapat sebagai kontrol bahwa pelaksana program telah
melaksanakan program sesuai standar. Dalam hal ini kepatuhan kunjungan dapat diartikan
ketaatan dan tindakan yang berkaitan dengan perilaku seseorang. Sedangkan kepatuhan
kunjungan Antenatal Care (ANC) dapat diartikan ketaatan dalam berkunjung ke tempat
pelayanan kesehatan oleh ibu hamil sesuai dengan saran petugas kesehatan dalam hal ini
bidan maupun dokter spesialis sesuai dengan standar Antenatal Care (ANC) yang ditetapkan.
Cara mengukur bahwa perilaku ibu tersebut merupakan perilaku yang sesuai dengan standar
minimal kunjungan yaitu, minimal satu kali kunjungan pada trimester I, minimal satu kali
kunjungan pada trimester II, dan minimal dua kali pada trimester III sesuai jadwal yang
ditetapkan oleh tenaga kesehatan (Depkes RI, 2002). Bila ibu tidak melakukan kunjungan
sesuai dengan standar tersebut dapat dikatakan bahwa ibu tersebut tidak patuh dalam
melakukan kunjungan antenatal
2.9.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Melakukan Antenatal Care
(ANC)
Notoatmojo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Sudariah. 2004. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang ANC Dengan Kepatuhan Kunjungan Pada Ibu Hamil Primigravida Di Puskesmas Galur I Kulonprogo Widiawati, S. 2007. Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Tanda Bahaya Kehamilan Dengan Kepatuhan Kunjungna Pada Ibu Hamil Primigravida Di BPS Sri Romdhati Gunung
Kepatuhan pasien terhadap saran dokter / bidan ditentukan oleh beberapa hal antara
lain:
a. Pengalaman
Pengalaman seseorang dalam keberhasilan atau ketidakberhasilan mengobati sendiri
terhadap penyakit yang dideritanya juga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan
mereka terhadap nasehat tenaga kesehatan. Seseorang yang merasa selalu berhasil mengobati
penyakit yang dideritanya tanpa bantuan orang lain, akan cenderung tidak patuh atau taat
terhadap tenaga kesehatan, karena ia merasa tidak butuh bantuan atau nasehat orang lain.
Sementara yang sering gagal dalam mengobati diri sendiri akan cenderung lebih patuh
terhadap saran dari tenaga kesehatan termasuk melakukan kunjungan Antenatal Care (ANC).
b. Lingkungan (teman atau keluarga)
Lingkungan dimana seseorang tinggal juga memilki pengaruh terhadap kepatuhan
seseorang terhadap saran / nasehat orang lain. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan
pergaulan / teman, dan lingkungan keluarga maupun masyarakat. Orang yang tinggal dalam
lingkungan yang menjunjung tinggi aspek kesehatan akan cenderung patuh terhadap saran-
saran untuk menuju hidup sehat. Sebaliknya mereka yang tinggal di lingkungan dengan pola
hidup kumuh / jorok, akan cenderung tidak patuh terhadap saran / nasehat orang lain atau
tenaga kesehatan untuk lebih memperhatikan masalah kesehatan.
c. Adanya efek samping obat
Walaupun bukan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi, seseorang yang
pernah mengalami efek samping dari obat yang diberikan oleh tenaga kesehatan, terutama
hingga mengganggu aktifitas kesehariannya, akan memiliki kecenderungan tidak begitu patuh
lagi terhadap saran tenaga kesehatan, untuk menggunakan obat yang sama. Sebaliknya, yang
belum pernah mengalami efek samping yang cukup merugikan terhadap obat yang diberikan
oleh tenaga kesehatan, akan memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap saran tenaga kesehatan.
d. Tingkat ekonomi
Meskipun faktor ekonomi bukan penentu utama ketidakpatuhan seseorang, terhadap
saran tenaga kesehatan, namun kemapuan seseorang untuk membeli obat dari kantong sendiri
sedikit banyak mempengaruhi kepatuhan seseorang terhadap tenaga kesehatan.
Biaya pembelian obat yang dirasa terlalu mahal untuk ukuran kemampuan
ekonominya, cenderung tidak dibeli meskipun itu disarankan oleh tenaga kesehatan.
Walaupun obat yang gratis tidak terlalu disukai karena dirasa kurang khasiatnya.
e. Interaksi dengan tenaga kesehatan
Hubungan yang telah lama dilakukan antara seseorang sebagai pasien, bidan atau
dokter sebagai tenaga kesehatan, akan memiliki pengaruh terhadap tingkat kepatuhan yang
diberikan kepada tenaga kesehatan. Pasien yang telah mengenal dengan baik terhadap tenaga
kesehatan tempat berobat, maka ia akan cenderung lebih patuh daripada terhadap mereka
yang belum begitu kenal.
Begitu pula penanganan oleh tenaga kesehatan terhadap pasiennya. Tenaga kesehatan
yang ramah, sopan, bijaksana, dan suka membesarkan hati pasien akan cenderung dipatuhi
saran - sarannya daripada mereka yang suka menakuti pasien, kurang ramah dan sebagainya.
f. Tingkat pengetahuan tentang kesehatan
Pandangan sesorang tentang kesehatan secara umum baik menyangkut pentingnya
memelihara kesehatan tubuh, pemahaman terhadap makna dan manfaat kesehatan bagi
kehidupan secara langsung secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh
terhadap tingkat kepatuhan seseorang terhadap saran atau nasehat dari tenaga kesehatan.
Orang yang memiliki persepsi negatif tentang kesehatan memiliki kecenderungan tingkat
kepatuhannya rendah. Sebaliknya orang yang memiliki persepsi yang positif terhadap
kesehatan akan cendrung lebih patuh terhadap apa yang disarankan oleh tenaga kesehatan,
termasuk kepatuhan kunjungan ketempat pelayanan kesehatan untuk Antenatal Care (ANC)
(http://www.Yanfar.go.id, diakses 20 Juli, Pukul 17.30 WIB).
2.9.3. Dampak Ketidak patuhan Melakukan Antenatal Care (ANC).
Tujuan utama asuhan antenatal adalah untuk memfasilitasi hasil yang sehat dan positif
bagi ibu maupun bayinya dengan cara membina hubungan saling percaya dengan ibu,
mendeteksi komplikasi yang dapat mengancam jiwa, mempersiapkan kelahiran dan
memberikan pendidikan. Sehingga bila ANC tidak dilakukan sebagaimana mestinya maka
akan mengakibatkan dampak:
a. Ibu hamil akan kurang mendapat informasi tentang cara perawatan kehamilan yang
benar.
b. Tidak terdeteksinya tanda bahaya kehamilan secara dini
c. Tidak terdeteksinya anemia kehamilan yang dapat menyebabkan perdarahan saat
persalinan.
d. Tidak terdeteksinya tanda penyulit persalinan sejak awal seperti kelainan bentuk
panggul atau kelainan pada tulang belakang, atau kehamilan ganda.
e. Tidak terdeteksinya penyakit penyerta dan komplikasi selama kehamilan seperti pre
eklampsia, penyakit kronis seperti penyakit jantung, paru dan penyakit karena genetik
seperti diabetes, hipertensi, atau cacat kongenital. Sehingga bila tidak ditangani atau
bila tidak dilakukan screening sejak awal, akan mengakibatkan komplikasi pada saat
hamil atau pada saat persalinan yang akan mengarah kepada kematian baik ibu
maupun janin.