Post on 10-Aug-2015
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1. Sumber Penerimaan Daerah
Menurut UU 33/2004, Pasal 5, sumber penerimaan daerah adalah:
1. Pendapatan Daerah, bersumber dari:
a. Pendapatan Asli Daerah;
b. Dana Perimbangan; dan
c. Lain-lain Pendapatan.
(2) Pembiayaan, bersumber dari:
a. sisa lebih perhitungan anggaran daerah;
b. penerimaan pinjaman daerah;
c. dana cadangan daerah; dan
d. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Selanjutnya pada pasal 6 diuraikan Pendapatan Asli Daerah sebagai
berikut:
a. pajak daerah;
b. retribusi daerah;
c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
d. lain-lain PAD yang sah.
Sementara itu pada pasal 10 dijelaskan bahwa Dana Perimbangan terdiri
atas:
a. Dana Bagi Hasil;
b. Dana Alokasi Umum; dan
c. Dana Alokasi Khusus
2.2. Pendapatan Asli Daerah Bukan Pajak
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa PAD terdiri dari pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain PAD yang sah. Menurut pasal 6 ayat 2 UU 33/2004, lain-lain PAD
yang sah meliputi:
a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
b. jasa giro;
c. pendapatan bunga;
d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
dan
e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
Dengan itu berarti bahwa Pendapatan Asli Daerah Bukan Pajak terdiri
dari:
- Retribusi daerah;
- Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan;
- Lain-lain PAD yang sah yang terdiri dari:
o hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
o jasa giro;
o pendapatan bunga;
o keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing; dan
o komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh
daerah.
Berikut diuraikan definisi dan jenis retribusi daerah.
2.3. Retribusi Daerah
2.3.1. Pengertian Retribusi
Retribusi berasal dari kata “retribution” yang berarti balas jasa
(pembayaran atas jasa yang diterima). Kata lain yang setara dengan
“retribution” adalah “charging” yang biasa dipakai di Inggris atau Amerika
Serikat untuk istilah retibusi. Dari arti katanya dapat dikatakan bahwa
istilah retribusi tidak hanya untuk jasa yang disediakan oleh Pemerintah.
Namun di Indonesia, retribusi diartikan sebagai harga atas jasa yang
diberikan oleh pemerintah terutama Pemerintah Daerah (Handra, 2000).
6
Retribusi dikenakan kepada individu/organisasi yang menerima
pelayanan Pemerintah Daerah. Berbeda dengan pajak, dimana tidak ada
pengkaitan langsung antara jasa yang diberikan oleh pemerintah dengan
pajak yang dipungut dari masyarakat. Retribusi adalah salah satu sumber
pembiayaan bagi pemerintah dalam menjalankan fungsi pelayanannya,
terutama jenis pelayanan yang jelas individu/badan yang
memanfaatkannya. Keterbatasan sumber pembiayaan dari pajak,
mengakibatkan pemerintah mau tidak mau harus meningkatkan peranan
retribusi dalam membiayai pelayanan. Lagi pula jika semua fungsi
pemerintah harus dibiayai oleh pajak, akan muncul ketidakadilan, dimana
masyarakat yang tidak menerima pelayanan juga harus membayar.
2.3.2. Prinsip Penetapan Retribusi
Di dunia usaha swasta, harga barang dan jasa biasanya ditetapkan untuk
memaksimumkan keuntungan. Meskipun, untuk jangka waktu tertentu
(jangka pendek), harga ditetapkan dalam rangka meningkatkan
penguasaan pasar (market share), namun ujung-ujungnya adalah dalam
rangka memaksimumkan profit. Lebih jauh lagi, penetapan harga tidak
akan mempertimbangkan apakah harga tersebut terjangkau bagi seluruh
lapisan masyarakat. Dan keberadaan pasar yang kompetitiflah yang akan
memaksa swasta untuk menurunkan dan menaikkan harganya.
Tidak demikian halnya dengan barang dan jasa yang disediakan
pemerintah. Kebijakan harga retribusi ditentukan oleh banyak hal. Profit
bukanlah tujuan utama. Ada banyak prinsip-prinsip lain yang juga harus
dipertimbangkan seperti ketimpangan pendapatan masyarakat, efisiensi
konsumsi, externality, merit goods, dll.
Berikut ini beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah
atau badan jasa publik lainnya dalam menetapkan retribusi. Namun perlu
diingat bahwa tidak semua prinsip-prinsip berikut perlu dipertimbangkan.
7
Berbeda jenis barang dan jasa berbeda pula prinsip yang perlu
dipertimbangkan. Demikian juga, kondisi sosial ekonomi masyarakat akan
sangat menentukan prinsip-prinsip yang perlu digunakan.
a. Kemampuan Keuangan.
Didalam menetapkan besarnya retribusi, kita perlu mempertimbangkan
bahwa retribusi tersebut harus bisa meningkatkan kemampuan keuangan
publik yang menyediakan barang dan jasa tersebut. Kemampuan
keuanganlah yang nantinya akan menjamin berlangsungnya aktifitas
produksinya.
Kita tahu bahwa retribusi bukanlah satu-satunya sumber keuangan
pelayanan umum. Subsidi dari pemerintah yang berasal dari pajak juga
bisa dijadikan alternatif penerimaan. Tetapi didalam mensubsidi badan
jasa publik haruslah memiliki maksud tertentu.
Davey (1983) memberikan empat alasan perlunya mensubsidi badan jasa
publik. “The first arises where a service is basically a public good (is
provided because of its collective benefit ). The second case occurs where
a service is partly a private and partly a public good (where it primarily
benefits the individual user), but its consumption needs to be encouraged
for some public saving or benefit, such as subsidy for the bus or rail fares
to encourage people to use public rather than private transport as a
means of reducing traffic congestion and road expenditure. Thirdly,
services which are wholly private goods may nevertheless be subsidised if
these are in popular demand and the authorities are reluctant to face the
public with their full cost, such as recreational facilities. Lastly, a private
good may be subsidised because it is regarded as a basic human need
and the lower income groups, at least, could not be expected to meet its
full cost”.
8
Namun perlu diingat bahwa, pada umumnya yang menyebabkan badan
jasa publik mengalami kesulitan keuangan (khususnya di negara
berkembang) adalah ketergantungan yang tinggi terhadap subsidi
pemerintah. Memang tidak terbantah bahwa badan jasa publik di negara
berkembang umumnya tidak efisien, namun di satu sisi pemerintah sering
tidak memiliki komitmen untuk mensubsidi kebijakan harga yang
notabenenya diatur oleh pemerintah.
b. Efisiensi
Harga yang ditetapkan perlu juga dipertimbangkan dalam rangka
mencapai efisiensi. Bila harga ditetapkan terlalu rendah maka masyarakat
akan mengkonsumsi secara berlebihan tanpa memikirkan bahwa itu akan
merugikan secara ekonomi. Dengan harga yang terlalu rendah badan jasa
publik juga tidak akan mampu membiayai pengembangan pelayanan
bahkan biaya pemeliharaan. Salah satu penyebab ketidak efisienan badan
jasa publik adalah biaya pemeliharaan yang kurang sehingga barang
modal tidak bisa berfungsi menurut umur ekonomisnya.
Lebih jauh lagi, harga yang ditetapkan perlu mempertimbangkan prinsip
efisiensi ekonomi. Maksudnya kebijakan harga barang dan jasa publik
tersebut jangan sampai mengakibatkan distorsi ekonomi. Contoh jika
harga listrik untuk sektor Industri terlalu mahal dalam rangka mensubsidi
harga listrik bagi masyarakat akan bisa menurunkan jumlah investasi yang
memerlukan listrik di suatu ekonomi.
c. Keadilan (Equity)
Devas (1992) mendefinisikan konsep keadilan sebagai berikut :
9
(i) Benefit equity. Individu harus membayar jasa yang diterima dari badan
publik setara dengan manfaat yang dia dapatkan.
(ii) Social equity. Masyarakat baik yang kaya maupun miskin haruslah
memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan dari
badan publik.
Dalam hubungan dengan konsep pertama, setiap individu atau konsumen
harus membayar jasa yang mereka terima sebesar ongkos penyediaan
jasa tersebut tanpa mempertimbangkan apakah mereka adalah
pemerintah, orang kaya, bisnismen, industri maju, dll. Sementara itu social
equity mengatakan bahwa harga harus ditetapkan agar mampu dicapai
oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari yang kaya sampai yang
termiskin.
d. Externality
Positif externality berarti bahwa jasa yang dikonsumsi seseorang tidak
hanya memberikan manfaat kepada orang tersebut tetapi juga bagi
seluruh masyarakat meskipun masyarakat tersebut tidak
menggunakannya. Sebaliknya negatif externality berarti bahwa orang
yang mengkonsumsi suatu barang atau jasa akan mengakibatkan orang
lain turut membayarnya.
Externality ini perlu dipertimbangkan dalam menetapkan harga barang
dan jasa publik didalam rangka memaksimumkan manfaatnya bagi
masyarakat. Contoh yang jelas adalah makin banyak orang yang meng-
imunisasikan dirinya makin sehat masyarakat secara keseluruhan. Selain
itu azas kemanfaatan juga mengatakan bahwa siapa saja yang
mendapatkan manfaat harus membayar. Jadi wajar kalau pemerintah
harus turut membayar jenis pelayanan ini dengan uang pajak sebagai
bentuk pembayaran dari masyarakat yang juga mendapatkan manfaat.
10
e. Kesederhanaan Administrasi
Suatu kebijakan harga yang mempertimbangkan semua prinsip-prinsip di
atas bisa menghasilkan tarif yang sulit dan mahal untuk diadministrasi.
Sebagai contoh kebijakan tarif yang membedakan harga bagi kelompok
kaya dan miskin akan menyulitkan secara administrasi, karena harus ada
proses identifikasi pelanggan. Persoalannya bagaimana kita bisa
membedakan antara yang kaya dan yang miskin. Apakah area tempat
tinggal bisa memastikan bahwa daerah tersebut adalah tempat tinggal
orang miskin dan area yang lain adalah tempat tinggal orang kaya?
Apakah jenis rumah bisa merefleksikan kekayaan orang?
f. Prinsip lainnya
Ada beberapa prinsip lainnya misalnya dalam rangka menstabilisasikan
harga, mempengaruhi tingkat konsumsi, kemauan politik, dll. Stabilisasi
harga dan popularitas politik sering dijadikan alat oleh pemerintah untuk
tidak menaikkan harga barang dan jasa publik. Dalam rangka
mempengaruhi tingkat konsumsi, pemerintah dapat menaikan tarif parkir
di pusat kota misalnya.
2.3.2. Retribusi Daerah di Indonesia
Di Indonesia, terdapat dua jenis retribusi
1. Retribusi atas jasa pelayanan
2. Retribusi atas jasa pengaturan (Perizinan)
Kedua hal ini jelas berbeda. Retribusi atas jasa pelayanan jelas
pembayaran atas pelayanan yang langsung dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat, misalnya retribusi air minum, retribusi berobat, retribusi
pasar, retribusi parkir, dll. Sementara itu retribusi atas jasa pengaturan,
11
tidak dinikmati langsung oleh si pembayar fungsi pelayanannya, bahkan si
pembayar akan merasakan penggunaan kekuasaan pemerintah, misalnya
adalah perizinan taksi, angkutan umum, izin bangunan, dll.
Selanjutnya menurut UU 34/2000 tentang pajak daerah dan
retribusi daerah, maka retribusi daerah dibagi atas 3 jenis:
1. Retribusi jasa umum
2. Retribusi jasa usaha
3. Retribusi perizinan tertentu
Retribusi jasa umum dan jasa usaha terkait erat dengan jenis pelayanan
yang diberikan oleh daerah. Apabila tidak ada pelayanan yang diberikan
maka tidak dapat dipungut retribusinya. Meskipun demikian pelayanan
yang diberikan oleh pemerintah, tidak seluruhnya dapat dikenakan
retribusi penuh, karena sifat-sifat pelayanan tersebut. Apabila kita
berpatokan kepada konsep barang publik (public goods), maka jenis
pelayanan yang murni bersifat barang publik seperti jalan raya, taman
kota, drainase, dll tidak dapat dikenakan retribusi. Namun bila jenis
pelayanan bersifat penyediaan barang komersial seperti jasa percetakan,
penggunaan aset daerah, dll dapat dikenakan retribusi penuh. Untuk jenis
pelayanan yang diantara keduanya dimana terdapat unsur publik
sekaligus unsur komersial seperti pelayanan kesehatan, pendidikan,
kebersihan, dll dapat dikenakan retribusi “cost recovery” untuk menutup
sebagian biaya penyediaan jasa. Mengkaji kemungkinan peningkatan
PAD Propinsi dari retribusi daerah memerlukan identifikasi jenis retribusi
yang dapat dipungut oleh Pemda Propinsi serta memerlukan kajian tingkat
retribusi yang dapat dikenakan.
2.4. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan
Seluruh investasi dan penyertaan modal pemerintah daerah di
Perusahaan daerah dan perusahaan terbuka disebut sebagai kekayaan
daerah yang dipisahkan. Pemerintah daerah dapat mengoptimalkan jenis
pendapatan dengan mengoptimalkan pengelolaannya.
12
Berkait dengan perusahaan daerah, hampir semua pemerintah
daerah di dunia ini memiliki perusahaan daerah, dengan berbagai
pertimbangan ( Devas, 1989: 111) yaitu :
a. Menjalankan ideologi yang dianutnya bahwa sarana produksi milik
masyarakat.
b. Melindungi konsumen dalam hal adanya monopoli alami, seperti
angkutan umum atau telepon.
c. Dalam rangka pengambilalihan perusahaan asing.
d. Untuk menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan
ekonomi daerah.
e. Dianggap cara yang paling “efisien” untuk menyediakan layanan
publik.
f. Untuk menghasilkan penerimaan bagi pemerintah daerah.
Perusahaan daerah di Indonesia mungkin tidak terlalu berhasil
seperti halnya di negara-negara lain, menurut Devas (1989: 112)
mengemukakan beberapa kemungkinan penyebab perusahaan daerah
kurang berhasil, yaitu :
a. Jenis layanan perusahaan itu tidak cocok untuk dikelola sebagai
perusahaan.
b. Kegiatan itu sendiri memang sifatnya tidak dapat dikelola sebagai
usaha niaga atau pasar setempat terlalu kecil
c. Susunan perusahaan daerah itu mungkin mengakibatkan satuan-
satuan biaya makin tinggi, dibandingkan dengan biaya penyediaan
layanan itu dari dalam bagian tubuh pemerintah daerah.
d. Tenaga pelaksana yang kurang cakap, mungkin karena tidak
berpengalaman dibidang pelayanan tersebut dan mereka tahu
pemerintah akan selalu menutup kerugian-kerugian yang diderita
perusahaan yang bersangkutan.
e. Kesenjangan antara tujuan-tujuan yang harus dicapai perusahaan
(misalnya antara mengejar laba atau memberikan layanan semurah-
murahnya)
13
Salah satu tolok ukur dalam pengembangan perusahaan daerah adalah
bahwa suatu perusahaan daerah harus mampu menebus seluruh biaya
yang telah dikeluarkan dan bahkan memperoleh surplus, dengan demikian
perusahaan daerah diharapkan menjadi sumber penerimaan daerah dan
bukannya menguras penerimaan daerah.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 tahun
2000 tentang Pedoman Kerjasama Perusahaan Daerah dengan Pihak
Ketiga, yang dimaksud dengan Perusahaan Daerah adalah suatu badan
yang modalnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan dan
pendiriannya diprakarsai oleh pemerintah Daerah
2.5. Lain-lain PAD yang Sah
Lain –lain PAD yang sah seperti hasil penjualan kekayaan daerah
yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih
nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, dll, pada dasarnya
tidak bisa diandalkan sebagai pendapatan yang bersifat permanen dan
berkelanjutan. Pemerintah daerah tentunya tidak boleh memaksimumkan
pendapatan bunga dan jasa giro dengan mengorbankan anggaran
belanja. Demikian juga untuk pendapatan dari komisi tidak bisa
diharapkan jika harus mengorbankan peran pemerintah sebagai regulator.
2.6. Kesimpulan
Kesimpulan dari uraian diatas adalah bahwa upaya peningkatan
PAD bukan pajak dapat dilakukan dengan melakukan ektensifikasi dan
intensifikasi penerimaan dari retribusi daerah serta pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan.
14