Post on 06-Dec-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN: KEHADIRAN SISTEM PENJAMINAN MUTU
SEBAGAI AWAL PERMASALAHAN
Pencerahan merupakan keluarnya manusia dari ketidakdewasaanyang diciptakannya sendiri. (Immanuel Kant).
1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN
1.1.1 Organisasi: Tujuan sebagai Sistem Ideologi
Organisasi sebagaimana dikatakan Robbins dan Judge (2008:5) merupakan kumpulan
orang-orang yang memiliki tujuan yang sama. Tujuan organisasi pada dasarnya merupakan
representasi tujuan pemiliknya ketika mendirikan organisasi. Tujuan pemilik menjadi tujuan
organisasi. Baik bagi pemilik berarti baik bagi organisasi. Tujuan merupakan sesuatu yang
memberikan arahan bagi orang-orang dalam menjalankan organisasi. Ada semacam sistem
ideologi dalam tujuan organisasi. Sistem ideologi tujuan dimaksudkan sebagai kehadiran tujuan
organisasi secara maya di setiap pikiran orang-orang dalam organisasi sehingga setiap
tindakannya akan mengarah kepada pencapaian tujuan organisasi. Tujuan mensyaratkan pada
tindakan dan tindakan mengarah pada tujuan. Boleh jadi, saling keterkaitan antara tujuan dan
tindakan tersebut merupakan kondisi dalam sistem organisasi yang sekaligus memarjinalisasikan
tujuan individu dihadapan determinisme organisasi. Vijay dan Govindarajan (2007)
membahasakannya secara baik dan halus sebagai tabir goal congruent.
Organisasi bisnis komersial memiliki kesamaan dengan organisasi non-komersial bila
ditinjau dari keluaran yang dihasilkan yaitu menyerahkan produk berupa barang atau jasa kepada
pelanggannya. Tanggungjawab pelaksanaan terletak di tangan manajer organisasi tersebut.
Namun terdapat perbedaan berdasarkan motifnya; organisasi bisnis komersial memfokuskan
tujuannya untuk mencari laba sebagai wujud pencapaian sasaran tertentu dalam ukuran uang.
Organisasi non-komersial, sebagai alternatifnya memfokuskan pada pencapaian non-uang sebagai
persyaratan yang ditetapkan. Perkembangan organisasi komersial maupun non-komersial saat ini
telah terpengaruh oleh jiwa, semangat, dan filsafat modernitas yang menekankan atas arti
pentingnya materi atau uang sebagai ukuran keberhasilan organisasi sehingga dapat dikatakan
antara organisasi komersial maupun non-komersial sudah hampir serupa motifnya.
Memandang organisasi sebagai sebuah sistem, berarti melihat organisasi yang
didalamnya terdapat berbagai subsistem. Implikasinya adalah bahwa dalam organisasi terdapat
sumber daya. Sumber daya yang dimiliki organisasi dapat berupa modal maupun manusia. Modal
dan manusia merupakan faktor produksi berdasarkan pemikiran ekonomi klasik. Organisasi
sebagai sistem juga dapat dipandang sebagai sub-sistem dalam sistem ekonomi. Selanjutnya
faktor produksi yang dimiliki organisasi menggambarkan kapasitas yang tersedia untuk
melakukan produksi dan reproduksi. Hal ini juga menunjukkan bahwa sub-sistem sumber daya
berkaitan dengan subsistem produksi. Ekonomi klasik menjadi lokomotif utama dalam memutar
roda aktivitas perusahaan dan aspek non-ekonomi lainnya menjadi gerbong yang menunggu
gilirannya untuk ditarik dalam melakukan aktivitas kegiatan produksi.
Kemunculan modernitas boleh jadi telah mempengaruhi cara pandang orang terhadap
organisasi. Organisasi menjadi dipandang sebagai hubungan antara sub-sistem fungsional dalam
sistem organisasi yang tampak semakin erat. Namun tampaknya modernitas juga dapat memiliki
masalahnya sendiri dimana jiwa dan semangat rasionalitas yang terkandung dalam sub-sistem
fungsional organisasi telah menyebabkan terjadinya proses marjinalisasi terhadap nilai rasa dan
nilai spiritual. Dapat dikatakan bahwa dalam sub-sistem fungsional, semangat rasionalitas dan
nilai rasa serta nilai spiritual telah menjadi menjadi semakin independen satu sama lain dalam
konteks organisasi.
Kelanjutan dari teori ekonomi klasik adalah kehadiran theory of the firm. Jensen dan
Meckling (1976) sebagai penggagasnya memandang sub-sistem proses produksi dalam organisasi
sebagai kotak hitam (black box). Kotak hitam merupakan metafora misteri ketidakpastian,
sesuatu yang belum/tidak dapat dipahami dengan jelas, sesuatu yang dilewati begitu saja, yaitu
ada namun tidak perlu dipertanyakan, yang sesungguhnya merupakan perilaku manajer
organisasi. Kontekstual kondisinya adalah bahwa dengan faktor produksi masukan (input) yang
sama secara kuantitas maupun nilai uang, setiap organisasi akan menghasilkan kuantitas atau
keluaran (output) produk yang berbeda. Maksudnya adalah dalam suatu keterkaitan yang erat
antara sub-sistem masukan, proses, keluaran, maka sub-sistem proses merupakan hal kritikal dan
signifikan. Teori ini selanjutnya menyatakan bahwa kuncinya terletak pada keahlian manajerial
pada seorang manajer atau agen. Lagi-lagi tampak bahwa peran manajer adalah melakukan fungsi
manajemen yang terkait dengan sub-sistem input, proses dan output. Fenomena kotak hitam dan
keahlian manajerial dalam konteks organisasi telah dipandang sebagai taken for granted.
Keahlian manajerial dan perilakunya merupakan hal pokok bagi keberhasilan proses
produksi dalam suatu organisasi. Oleh karenanya pemilik perusahaan berusaha
mengendalikannya. Lebih lanjut Jensen dan Meckling (1976) mengatakan bahwa proses
pengendalian sebagai subsistem pengendalian manajemen terjadi melalui kontrak kerja sebagai
sub-sistem administrasi. Kontrak pada hakekatnya adalah benteng atau pagar bagi pemilik untuk
mengamankan kepentingan mereka dari kemungkinan terjadinya kerugian akibat tindakan dan
perilaku manajer yang sulit diperdiksikan yang disebut moral hazard. Karena itu esensi kontrak
adalah sejumlah insentif bonus yang diberikan kepada manajer atas usahanya bekerja dalam
mencapai tujuan perusahaan, demikian sebaliknya. Theory of the firm dengan demikian
mengasumsikan paling tidak dua hal penting: pertama, bahwa manajer selalu memaksimalkan
kepentingannya. Kedua, manajer tidak menyukai resiko atau ketidakpastian. Oleh karenanya
manajer berprinsip “business is business” yang berarti bahwa tindakan manajer dalam suatu
organisasi modern cenderung beretika egoisme yang individualistik (selfish).
Sejumlah topik penelitian yang terkait dengan perilaku oportunistik manajer sebagai
upaya memaksimalkan kepentingannya selalu menjadi topik yang hangat. Jelaslah bahwa
manajer selalu beretika egoisme yang berpadanan dengan era modernitas berciri individualistik.
Sebut saja penelitian tentang manajeman laba yang menggunakan model Jones, serta Modified
Jones, dalam Lilis Setiawati (2000). Demikian juga penelitian tentang integritas laporan
keuangan yang menggunakan indeks konservatisma oleh Penman dan Zhang, serta Givoly dan
Hayn dalam Sekar Mayangsari (2003). Juga penelitian tentang relevansi nilai informasi laba dan
ekuitas buku yang digagas oleh Lev dan Zerowin, Keji Ota maupun Gu dalam artikel Margani
Pinasti (2004). Sederetan penelitian ini mengungkapkan bahwa manajer mungkin bertindak bagi
kepentingannya yang belum tentu selaras dengan kepentingan pemilik yang disebut konflik
keagenan (agency conflic). Hal ini muncul sebagai sebuah konsekuensi kontrak yang tidak
sempurna (incomplete contract). Karena itu selalu terdapat sejumlah biaya (agency cost) yang
merupakan biaya pengawasan (monitoring cost) yang dikeluarkan oleh prinsipal dalam rangka
mengawasi tindakan agen atau manajer, agar potensi sisa kerugian (residual loss) dapat ditekan
menjadi minimal.
Eisenhardt (1989:71) mengatakan bahwa artikel Hirsch et al. (1987) secara fasih
membandingkan antara ekonomi dan sosiologi. Mereka berargumen bahwa ekonomi didominasi
oleh paradigma tunggal, teori harga, dan satu sudut pandang atas sifat manusia. Kebalikannya,
penulis yaitu Eisenhardt melakukan riset organisasional menggunakan teori yang menghasilkan
sudut pandang organisasi yang lebih realistik. Konsisten dengan argumen Hirsch, rekomendasi
yang diberikan dalam tulisan Eisenhardt ini adalah memungkinkan menggunakan teori keagenan
(agency theory) dengan teori pelengkap lainnya (complimentary theories). Teori keagenan
menyajikan sebagian sudut pandang atas dunia, yang meskipun valid, masih mengabaikan sisi
baik atas kompleksitas organisasi. Dengan menambahkan perspektif teori pelengkap dapat
membantu menangkap kompleksitas yang lebih luas. Teori komplementer yang dimaksud,
membuka jalan bagi studi ini untuk menggunakan teori sosial yang relevan dengan penelitian ini.
1.1.3 Kinerja dan Kualitas, Dua Realitas Maya yang Saling Menyatu
Pengukuran kinerja merupakan hal penting pada setiap sub-sistem dalam sistem organisasi.
Secara luas, kinerja dipandang sebagai hasil pencapaian suatu organisasi. Ini berarti bahwa tujuan
organisasi sebagai ukuran keluaran yang dapat diukur merupakan dasar pengukuran kinerja.
Dengan demikian pengukuran kinerja merupakan pengukuran berbasis setelah aktivitas terjadi.
Pengukuran kinerja dapat dilakukan dalam berbagai aspek, namun lazimnya dilakukan secara
kuantitatif serta dalam perspektif waktu tertentu misalnya periode tahunan. Pada organisasi non-
komersial ukuran kinerja dikembangkan ke arah non-uang yaitu sederetan persyaratan yang
diakui sebagai persyaratan minimal, yang tampaknya hanyalah sebagai tampilan luaran eksoterik
saja. Pengukuran kinerja berdasarkan nilai uang boleh jadi merupakan suatu perspektif tertentu,
sedangkan perspektif lainnya dapat dipandang sebagai kemampuan organisasi melakukan
penyesuaian (daya adaptasi) terhadap lingkungannya, yang mungkin dapat dikatakan sebagai
kemampuan bertahan untuk keberlangsungannya.
Kinerja sebagai realitas sosial baik dalam uang maupun non-uang pada dasarnya
merupakan upaya manusia dalam menjelaskan dengan kekuatan pikirannya. Interaksi sosial
manusia yang terus menerus mempengaruhi cara pandangnya terhadap realitas. Cara pandang
manusia terhadap realitas sosial sering kali dipengaruhi oleh interaksinya dengan alam. Pengaruh
tersebut terjadi melalui pikiran. Ketika manusia memandang benda alam sebagai realitas absolut,
maka ketika manusia memandang realitas sosial apalagi berulang-ulang melalui proses
pembiasaan, menjadi terpengaruh dengan mengasolutkan realiatas sosial itu sendiri. Bahkan
mengabsolutkan realitas maka itu sendiri. Pada titik ini, titik dimana realitas sosial dipandang
sebagai sebuah absolut, maka yang ada hanyalah kepalsuan dan maya.
Pentingnya kinerja didasari pemikiran bahwa manajer bertanggungjawab untuk
menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam organisasi. Prinsip organisasi modern yang
dikembangkan oleh Frederick W. Taylor ini menekankan pada pencapaian tujuan organisasi
sebagai aspek efektivitas. Sementara efisiensi adalah upaya membandingkan subsistem keluaran
(output) dengan masukan (input). Hanya manajer profesional yang memiliki keahlian manajerial
yang dapat melaksanakan konsep efektivitas dan efisiensi dalam organisasi. Asumsi ekonomi
klasik mengenai hal ini dikenal sebagai Rational Economic Maximization Man disingkat REMM.
Atas dasar asumsi tersebut kemudian muncul teori akuntansi positif (positive accounting theory)
disingkat PAT. Watts dan Zimmerman (1976) yang mengatakan bahwa pemilihan metode
akuntansi oleh manajer adalah tindakan yang bermanfaat untuk mengurangi konflik antara
manajer dan pemegang saham atau pemilik. Kenyataannya saat ini yang juga dihadapi manajer
adalah bahwa pemilihan metode akuntansi juga merupakan sinyal organisasi melalui menajernya
merespon terhadap lingkungan yang dihadapinya, sebutlah seperti: tingkat persaingan, aturan
pemerintah dan keterkaitan multilateral antar organisasi.
Efisiensi dan efektivitas sebagai sebuah tujuan organisasi itu boleh-boleh saja karena
realitas itu merupakan bagian dari realitas sosial dalam interaksi sosial pada lingkungan
organisasi yang kompleks. Namun jika kita memandang pemahaman atas realitas sosial sama
seperti cara pandang kita terhadap benda yang ada di alam. Demikian pula bilamana cara
pandang kita didominasi pikiran dan pembiasaan, maka yang terjadi adalah realitas efisiensi dan
efektivitas sebagai realitas sosial yang absolut. Hal yang demikian menjadi sebuah kepalsuan,
kemayaan. Juga bilamana kita membicarakan sistem, termasuk sistem ekonomi dalam realitas
sosial organisasi, dimana rasionalitas menjadi mengemuka, maka kita akan memandang
keberadaan subjek manusia dihadapan determinisme buatan yaitu realitas organisasi. Yang
menampak adalah sebagai manusia ditentukan oleh realitas yang berarti terjadi penegasian
kebebasan manusia sebagai pengada dalam realitas sosial itu sendiri. Kita menjadi melihat
dengan jelas pada penjelasan di atas bahwa kebebasan manusia menjadi terbelenggu oleh sebuah
sistem, atau setidaknya dihadapan determinisme.
Selanjutnya, konsekuensi kontrak antara manajer dan pemegang saham adalah bahwa
manajer akan bertindak efektif dan efisien. Hal ini selaras dengan asumsi kontrak bahwa manajer
rasional dan tidak menyukai resiko. Oleh karena itu tindakan manajer yang efektif dan efisien
adalah mencerminkan kontrak yang efisien. Menurut William R. Scott (2012:310), terdapat dua
keuntungan yang diniknati manajer atas kontrak efisien. Pertama, apresiasi atas kinerjanya adalah
berupa bonus. Bonus dapat berupa uang tunai, saham maupun kombinasi keduanya. Kedua,
manajer secara tidak langsung akan meningkatkan harga pasar posisi tenaga manajerial dirinya di
pasar tenaga kerja. Kinerjanya akan membuat harga pasar dirinya di pasar tenaga kerja pada
posisi manajerial menjadi meningkat dan mahal. Hal ini didukung oleh penelitin Jensen dan
Smith bahwa informasi mengenai kinerja manajerial akan diserap dan direspon oleh pasar modal
kemudian dipantulkan ke pasar tenaga kerja. Kedua hal tersebut menggambarkan ketidakpastian
perilaku individu dalam menghadapi lingkungan. Pada lingkungan organisasi manajer ingin
mendapat bonus, pada lingkungan internal dirinya dia ingin juga memiliki harga pasar tenaga
manajerialnya meningkat. Tindakan manajer adalah lambang penyesuaian dirinya terhadap
ketidakpastian lingkungan yang dihadapinya.
Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bagi kita bahwa modernitas yang merupakan
kemajuan kapitalisme melalui realitas ekonomi telah menciptakan realitas baru yang bernama
pasar. Pasar ini dibutuhkan karena kapitalis memproduk barang untuk kebutuhan masyarakat.
Bahkan modernitas itu sendiri dengan menggunakan rasionalitas instrumen telah mampu
menciptakan pasar tenaga kerja manajerial. Rasionalitas instrumen dalam modernitas telah
memandang manusia sebagai faktor produksi, selanjutnya tenaga kerja manajerial memiliki harga
pada pasar tenaga kerja. Boleh jadi cara modernitas kapitalis memandang manusia sebagai faktor
produksi, sebagai cara manusia memandang benda-benda alam. Jika demikian maka rasionalitas
manusia dalam realitas sistem ekonomi kapitalis telah mau tidak mau, suka tidak suka,
memandang manusia sebagaimana memandang benda. Rasionalitas sistem ekonomi tampaknya
mendorong manusia dalam realitas intersubjektivitas memandang manusia lain sebagai objek
sama seperti benda.
Kualitas merupakan dimensi properti khusus kinerja. Kualitas dalam aspek atau dimensi
fungsi penyediaan produk berkaitan dengan tiga unsur dasar yang menentukan dapat terjual atau
diterimanya suatu produk. Unsur tersebut meliputi: harga, kualitas dan penyerahan. Pelanggan
meminta produk yang menyerahkan kualitas dan tersedia dalam ukuran waktu yang semuanya
terukur dalam fungsi harga. Kualitas sebagai sebuah subsistem pada dasarnya ditentukan sampai
sejauh mana produk dapat memenuhi tujuan pengguna melalui kegunaan.
Intersubjektivitas melalui proses interaksi sosial yang berlangsung terus-menerus dalam
masyarakat dapat menciptakan realitas sosial yang baru. Realitas itu dalam penjelasan di atas
disebut sebagai kualitas. Dengan demikian kualitas merupakan produk kesepakatan sosial, dalam
sistem ekonomi yang terjadi ketika organisasi berurusan dengan pembuatan produk yang
diharapkan memenuhi spesifikasi kebutuhan pelanggannya. Melalui proses pembiasaan yang
terus menerus terjadi, juga dengan tindakan sosial atas nama rasio instrumentalnya, boleh jadi
realitas kualitas telah menjadi mitos di tengah upaya organisasi dalam mengabsolutkan posisinya
sebagai determinisme di hadapan pelanggan.
Ada berbagai arti kualitas menurut David Hoyle (2006:8). Arti kualitas (dapat dan tidak
terbatas pada) meliputi: tingkat ekselensi, totalitas karakteristik perusahaan yang memungkinkan
memenuhi kebutuhan pengguna, kesesuaian persyaratan, cocok untuk digunakan, pencapaian
suatu hasil, kesesuaian antara realisasi dengan sasaran yang ditetapkan, bebas dari kecacatan,
kepuasan pelanggan. Karakteristik mutu merupakan karakteristik yang dimiliki produk yang
dibutuhkan untuk memenuhi kepuasan pelanggan. Karakteristik produk berupa barang
berhubungan dengan aspek teknis, sementara karakteristik jasa berhubungan dengan dimensi
humanis.
Banyaknya pengertian yang dapat diproduksi dari sebuah pemikiran menyisakan
pemahaman bahwa realitas sosial itu memang merupakan realitas yang relatif. Manusia sebagai
subjek yang menciptakan realitas itu juga terus menerus menciptakan realitas karena
kebebasannya dalam mengada dengan kreativitas. Keragaman makna atas kualitas juga
keragaman atas simbol ciptaan manusia. Simbol adalah tanda yang diciptakan subjek dalam
konteks pesan yang ingin disampaikan melalui komunikasi sebagai wacana dalam suatu interaksi
sosial. Melalui tanda yang secara umum disebut teks, manusia sebagai subjek menangkap kesan,
yang selanjutnya dalam dan melalui keseluruhan akumulasi pengalaman itu pula subjek
membangun makna melalui kesadaran yang menyadari dirinya sendiri.
Memandang produk sebagai sesuatu yang mewakili organisasi terhadap lingkungan
masyarakat yang membutuhkan atau meminta produk tersebut, maka kualitas produk merupakan
karakteristik maya yang dilekatkan ke suatu produk dengan tujuan dapat mengurangi resiko
dalam menghadapi ketidakpastian lingkungan organisasi. Mutu yang mestinya sudah merupakan
taken for granted, tampaknya dalam konteks organisasi saat ini seolah menjadi sesuatu yang tiba-
tiba penting dan menjadi hangat dibicarakan.
Memandang organisasi kadangkala sering disamakan seperti memandang manusia, karena
manajer itu sendiri yang merepresentasikan kehadiran subjek. Selanjutnya organisasi melalui
tindakan sosial manajer berinteraksi dengan manusia lainnya, khususunya pelanggannya. Dalam
tindakan sosial, manusia menggunakan simbol sebagai upaya mengkomunikasian tindakannya.
Simbol tersebut sesungguhnyua sebuah tanda kesepakatan sosial bersama yang boleh jadi
mewujud sebagai teks yang dapat dipahami sehingga dimungkinkan untuk menguak makna
terstentu. Jadi tindakan organisasi dapat dikatakan mereprensetaaikan tindakan manajer sebagai
subjek. Setiap subjek selalu memiliki tujuan atau maksud tertentu dalam setiap tindakan. Dari sini
maka hermeneutik teks merupakan upaya menguak makna yang terdapat dalam teks itu sendiri.
1.1.4 Sistem Pengendalian Manajemen Berbasis Kualitas: Sebuah Wacana
Sebagaimana diketahui bersama bahwa lingkungan organisasi saat ini semakin
kompetitif dalam arti ketidakpastian yang relatif tinggi. Oleh karena itu maka selalu terdapat
upaya formal manajer dalam mengarahkan organisasi yang dipimpinnya pada pencapaian tujuan.
Alat yang juga sebuah sub-sistem untuk mengarahkan tersebut dikenal secara luas sebagai sistem
pengendalian manajemen yang diperkenalkan oleh Vijay dan Govindarajan (2007). Idenya adalah
bahwa sistem organisasi dipandang sebagai bagian-bagian yang merupakan subsistem yang
saling terkait, dan karenanya pengendalian organisasi perusahaan dilakukan dengan pendekatan
struktur dan proses. Bagian-bagian organisasi ditentukan berdasarkan karakteristik kegiatannya
yang disebut sebagai pusat pertanggungjawaban kegiatan berdasarkan pendekatan struktur.
Sedangkan pendekatan proses mengandaikan segala sesuatu kegiatan haruslah direncanakan dan
dievaluasi. Karena itu perencanaan dimulai proses penganggaran dan selanjutnya evaluasi
dilakukan atas dasar realisasi dibandingkan dengan anggarannya. Sistem pengendalian
manajemen dapat dikatakan sebagai cara-cara sadar sebuah organisasi bertindak dalam
menghadapi lingkungannya baik melalui keterkaitan fungsional internalnya serta dalam dimensi
pengukuran uang.
Dari penjelasan di atas akan tampak bahwa terdapat realitas ideologi dalam sistem
pengendalian manajemen. Manajer dipandang sebagai orang yang berwenang mengatur tindakan
seluruh individu dalam perusahaan. Pengaturan ini mampu membangun sebuah solidaritas dalam
pencapaian tujuan organisasi. Atas dasar goal congcruent, maka bangunan solidaritas dilakukan
dilakukan diantaranya dengan membangun kesadaran anggota organisasi. Dengan kesadaran
maka dominasi dapat diterima dan penerimaan anggota organisasi sehingga tujuan kelompok
dominan dalam memproduksi dan meletigimasi kepentingan mereka menjadi tercapai.
Selanjutnya juga tampak realitas kekuasaan. Penampakkannya adalah dalam relasi antara pemberi
perintah yang direpresentasikan oleh manajemen atas terhadap yang menerima perintah yang
direpresentasikan oleh karyawan. Jika pemberi perintah adalah kaum profesional, maka penerima
perintah adalah pekerja. Dapat pula dikatakan secara struktural bahwa pekerja dikendalikan oleh
kaum profesional. Legitimasi kontrol tampaknya didasarkan pada kewenangan dan akses
terhadap aturan organisasi.
Kebutuhan manajer akan alat sistem pengendalian manajemen sendiri didasari suatu
asumsi. Asumsinya adalah bahwa manajer dan perusahaan selalu menghadapi ketidakpastian
(uncertainty). Ketidakpastian pada dasarnya adalah suatu tingkat resiko. Resiko merupakan
potensi bahwa tujuan organisasi menjadi gagal untuk dicapai. Resiko potensial tersebut muncul
karena organisasi yang senantiasa berhadapan dengan lingkungan yang selalu berubah dalam arah
dan besaran yang semakin cepat dan membesar. Atas dasar manajer tidak menyukai resiko dan
selalu bertindak rasional, maka sistem pengendalian manajemen sebagai sebuah sub-sistem
merupakan alat untuk mengurangi atau paling tidak merespon lingkungan ketidakpastian dalam
mencapai tujuan organisasi. Karena kegagalan dapat berakibat organisasi mengalami kesulitan
dalam mempertahankan kelangsungannya, maka upaya sadar melakukan pengendalian
merupakan sebuah tindakan rasional yang bertujuan yang dapat dipahami bersama.
Wacana sistem pengendalian manajemen memungkinkan klaim atas tindakan serta
konteksnya. Klaim tindakan dikaitkan dengan interaksi sosial dalam lingkungan organisasi
dimana manajemen atas dapat mempengaruhi para pekerja. Tindakan tersebut juga diekspresikan
secara sadar dan semuanya tampak transparan. Klaim tindakan juga selalu diciptakan manajemen
dan dimengerti oleh pekerja dalam konteks tertentu. Konteks dapat berupa situasi, peristiwa dan
kondisi, yaitu seperti ketidakpastian lingkungan, tidak menyukai resiko dan kegagalan
pencapaian tujuan organisasi.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan organsiasi dinyatakan dalam kinerja
atas aspek keluaranya. Dari titik tersebut kemudian ditetapkan persyaratan tertentu yang
merupakan usaha formal perusahaan melalui manajer untuk menghasilkan produk yang dapat
memenuhi kebutuhan pengguna. Inilah yang dimaksud dengan aspek kegunaan. Untuk
mengarahkan kepada hal tersebut, kemudian ditetapkan juga masukan dan proses seperti apa
yang harus juga ditetapkan persyaratannya. Jadi sub-sistem kualitas disatukan kedalam sistem
pengendalian manajemen, mulai dari masukan, proses, keluaran dan aktivitas penunjang lainnya.
Inilah yang barangkali saat ini mengemuka sebutannya sebagai sistem penegendalian manajemen
berbasis kualitas, secara singkat disebut sebagai sistem penjaminan mutu.
Sistem penjaminan mutu dengan demikian tidak muncul begitu saja. Bukan pula sebuah
hal yang wajar apalagi netral. Kemunculan sistem penjaminan mutu bisa jadi karena adanya
tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang hendak dicapai mungkin saja sebuah legitimasi
kekuasaan melalui kancah pertarungan dalam lingkungan organisasi.
Sistem pengendalian manejemen sebagai sub-sistem dapat dimetaforakan atau
dianalogikan sebagai kompas. Kapalnya adalah organisasi perusahaan sebagai sistem. Manajer
adalah sang kapten kapal. Bahwa untuk menguji ketangguhan sang kapten dibutuhkan ombak
besar dalam sebuah samudra berupa lautan lingkungan ketidakpastian dan tingkat persaingan
eksternal sebagai kecepatan dan besarnya ombak pada lautan lepas yang sangat luas. Kompas
ditangan sang kapten yang merupakan sistem pengendalian manajemen akan memampukan
dirinya melalui kesadaran terdalamnya untuk memerintahkan nahoda kapal untuk mengarahkan
kapal kepada sasaran yang ditetapkan yang ingin dituju sebagai tujuan organisasi. Sehingga kapal
dapat melalui bahkan melampaui gelombang atau ombak besar ketidakpastian dalam menuju
pelabuhan tujuan yang diharapkan penumpang yang adalah kepuasan pelanggan sebagai
lingkungan organisasi yang dilayaninya melalui cara-cara yang efektif dan efisien yaitu sesuai
dengan anggaran yang tersedia agar dapat menyesuaian diri dan bertahan hidup yang juga
dipandang sebagai peran kualitas dalam sistem pengendalian manajemen sebagai alat atau
pirantinya. Berdasarkan cerita di atas muncul pertanyaan bagaimanakah penggunaan kompas dan
upaya kapten kapal memberi perintah kepada nahoda kapal dipahami sebagai sebuah penafsiran
yang merupakan wujud dalam sebuah wacana kritis dalam tindakan penyesuaian terhadap
perubahan lingkungan yang berada diluar kapal?
Telaah penelitian tentang pengendalian kualitas total sebagai sistem pengendalian
manajemen disajikan berikut ini. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif oleh Ittner dan Larcker
(1997:293). Penelitian ini dimulai dari terjadinya permintaan yang meningkat atas keterlibatan
akuntansi manajemen dalam penerapan dan pemantauan rencana strategi. Penelitian sebelumnya
menyarankan sedikit perusahaan Amerika dan Eropa yang menggunakan strategi sistem
pengendalian formal.
Penelitian tersebut menggunakan data survey dari industri otomotif dan komputer di
Canada, Germany, Japan dan Amerika Serikat. Peneliti memeriksa apakah organisasi mengikuti
strategi yang berorientasi kualitas telah mengadopsi praktek pengendalian strategi sebagaimana
didiskusikan dalam literatur manejemen kualitas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa organisasi memberikan tekanan yang besar pada
kualitas dalam perencanaan strategi. Selanjutnya organisasi melaksanakan kencenderungan yang
lebih besar untuk menggunakan praktek strategi pengendalian yang berhubungan dengan kualitas.
Akan tetapi peneliti tidak menemukan klaim dukungan atau pengakuan bahwa organisasi Jepang
terkait dengan sistem pengendalian mereka lebih dekat dengan strategi bersaing daripada
organisasi di negara lain. Lebih lanjut, manufaktur Jepang tampaknya membuat strategi
pengendalian lebih tanpa memandang pada penekanan strategi organisasi. Konsekuensi kinerja
praktek pengendalian strategi bervariasi dalam industri, menyarankan bahwa sistem pengendalian
strategi harus diadaptasi terhadap lingkungan persaingan perusahaan. Akhirnya, beberapa praktek
pengendalian strategi berhubungan negatif dengan kinerja, konsisten dengan klaim bahwa sistem
pengendalian strategi formal dapat secara nyata menyembunyikan kinerja dalam beberapa
keadaan dengan memfokuskan perhatian pada tindakan formal dan kaku atas perencanaan, target
atau sasaran dan informasi yang diperoleh dibandingkan bilamana strategi fleksibel dan kreatif
dengan respon yang lebih memadai.
Yang hendak dinyatakan dalam penjelasan di atas adalah bahwa wacana sistem
pengendalian dalam organisasi dapat melihat segala pola tindakan kelompok yang ada di
dalamnya. Pembeda terletak pada konteks seperti latar belakang yang berkaitan dengan faktor
demografi.
Hasil penelitian (h.303) menunjukkan bahwa organisasi yang semakin menempatkan
tekanan pada kualitas dalam strategi bersaing mereka juga memiliki beberapa kecenderungan
untuk lebih besar menggunakan praktek strategi pengendalian yang berkaitan kualitas. Namun
terdapat korelasi negatif antara strategi kualitas dan persetujuan proyek yang menunjukkan
inkonsistensi dengan prediksi yang berimplikasi bahwa organisasi yang mengikuti strategi
berorientasi kualitas akan lebih memberdayakan pekerjanya membentuk tim dan memilih proyek
tanpa persetujuan manajemen, bertentangan dengan harapan manajemen untuk mengambil peran
aktif dalam rencana aksi atas persetujuan kualitas dan menugaskan tanggungjawab tim untuk
melaksanakan hal tersebut.
Uraian di atas memberikan gambaran betapa berbagai organisasi senantiasa menghadapi
lingkungan ketidakpastian. Besarnya tekanan dan kecepatan perubahan lingkungan, juga
menyebabkan setiap organisasi memberikan respon yang berbeda, termasuk respon dari individu
yang ada dalam organisasi. Meski respon organisasi tampak sama, namun sesungguhnya dalam
jangka pendek adalah berbeda, karena perubahan lingkungan yang cepat membutuhkan respon
organisasi yang cepat pula.
Penelitian selanjutnya adalah Daniel dan Reitsperger (1991:601) dengan pendekatan
kuantatif. Teori normatif menyarankan bahwa sistem pengendalian manajemen harus dirancang
untuk melengkapi tujuan dan strategi manejemen. Sedikit studi empiris, yang memfokuskan pada
bagimana sistem pengendalian manajemen telah dimodifikasi untuk melengkapi teknik
manufaktur baru, seperti pengendalian kualitas total dan strategi cacat nihil.
Penelitian ini berhubungan dengan strategi kualitas dengan informasi pengendalian
manajemen yang menyediakan kualitas dalam 26 perusahaan otomotif Jepang dan konsumer
elektronik. Stategi kualitas diukur dengan seperangkat 8 pertanyaan perilaku apakah manajer
memuja tingkat konferensi ekonomi tradisional strategi manejemen kualitas atau strategi
manejemen kualitas “cacat nihil”. Hubungan antara strategi kualitas dengan tipe dan frekuensi
atas tujuan kualitas dan informasi umpan balik kemudian diukur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pengendalian manejemen mendukung
strategi kualitas catat nihil dan tampaknya mencakup penentuan tujuan reguler yang lebih
seringnya umpan balik. Penggunaan lebih luas atas target atau sasaran biaya kualitas dan umpan
balik juga dihubungkan dengan strategi cacat nihil. Hasil menyediakan bukti empiris mendukung
argumen normatif bahwa perusahaan Jepang mengikuti strategi kualitas cacat nihil memodifikasi
sistem pengendalian manajemen mereka untuk mendorong perbaikan kualitas berkelanjutan yang
merupakan kunci strategi tersebut.
Sistem pengendalian manajemen berbasis kualitas boleh jadi merupakan upaya
sistematis menyatukan kualitas ke dalam sistem pengendalian manajemen. Upaya tersebut
dikenal sebagai sistem pengendalian manajemen dengan strategi kualitas atau sistem
pengendalian manajemen komprehensif atau yang dikenal dengan istilah manajemen kualitas
total. Manajemen kualitas total pada dasarnya adalah komitmen dan keterlibatan seluruh
tingkatan manajemen dalam menerapkan kualitas dalam lingkungan organisasi. Perubahan
lingkungan yang sangat kompleks menyebabkan kebutuhan organisasi dalam melakukan
penyesuiaan juga menjadi kompleks. Sebut saja bahwa sistem pengendalian manajemen yang
dilekatkan dengan dimensi kualitas menjadi dorongan untuk menyatu dalam seluruh proses
aktivitas organisasi. Aspek kualitas sendiri seringkali dijelaskan sedemikian kompleks dengan
ukuran-ukuran standar yang merupakan respon organisasi terhadap tekanan-tekanan institusi
luarannya terkait dengan aturan main yang lahir dalam keterkaitan multilateral antar organisasi
secara global.
Sebuah kekuasaan dapat dimunculkan ketika kita menghubungkan wacana dengan
masyarakat. Sehingga kekuasaan dapat timbul dari sebuah dominasi. Dominasi yang berkaitan
dengan kewenangan yang dimilikinya, sehingga kelompok dominasi dihadapan kelompok
terdominasi mungkin memandang kekuasaan sebagai jaringan kepentingan.
1.2 BUKTI EMPIRIS PROBLEMATIKA SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN
BERBASIS KUALITAS
Berbagai penelitian tentang manajemen kualitas total maupun sistem penjaminan mutu
telah relatif banyak dilakukan. Terkait dengan topik dan bidang penelitian dapat disebutkan
seperti: perbaikan terus menerus atas manajemen kualitas, manajemen perubahan dan manajemen
kualitas total pada ericsson space, model manajemen mutu untuk perawatan terintegrasi,
persiapan ISO 9001:2000 pada konstruksi, model klasifikasi untuk prediksi motivasi sertifikasi
audit ISO, manajemen kualitas dibawah kerangka Malcolm Balridge National Quality Award
disingkat MBNQA, praktek manajemen mutu dalam lingkungan manufaktur fleksibel, studi
empiris antara manfaat dan biaya ISO 9001:2000.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa banyak nama maupun istilah
yang dapat disetarapkan dengan sistem pengendalian manajemen berbasis kualitas. Sehingga jika
hal ini dipandang sebagai sebuah teks, maka melalui teks menjadi terbuka jalan untuk melakukan
penafsiran atasnya. Jalan penafsiran merupakan sebuah wacana untuk memunculkan karakteristik
wacana penafsiran itu sendiri.
Dalam lingkungan globalisasi dimana sebuah organisasi terkait dengan organisasi lain,
baik dalam hubungan manufaktur dengan supplier maupun sesama manufaktur, aturan
pemerintah, aturan yang disepakati bersama diantara pembuat produk, maupun spefisikasi
permintaan pelanggan, telah membuat hubungan globalisasi dalam konteks produk menjadi
sebuah hubungan multilateral yang kompleks. Kompleksitas menimbulkan ketidakpastian, yang
harus direspon oleh setiap organisasi. Tujuannya jelas, yaitu untuk mempertahankan dirinya
sebagai sebuah eksistensi. Karenanya organisasi senantiasa melakukan usaha-usaha penyesuaian.
Atas dasar usaha tersebut maka meski organisasi tampaknya seragam, namun sesungguhnya
selalu terjadi perbedaan diantaranya dalam jangka pendek.
Berikut ini disampaikan beberapa penelitian terkait dengan topik penelitian ini. Ching-
Chow Yang (2006) tentang pembentukan sistem penjaminan mutu untuk industri jasa. Kualitas
pelayanan prima menghasilkan keunggulan kompetitif bagi organisasi. Organisasi harus
menerapkan sistem penjaminan mutu komprehensif untuk mengembangkan kualitas jasa secara
efektif dan handal. Kenyataannya adalah sebagian besar industri jasa tidak memiliki sistem yang
dikelola dengan baik dan sistem penjaminan mutu yang komprehensif. Penelitian ini
mengembangkan sistem manajemen kualitas pada organisasi jasa. Hasil studi empiris
mengungkapkan bahwa industri asuransi, hotel dan maskapai penerbangan telah maju dengan
baik dalam menerapakan manajemen kualitas.
Katerina Gotzamani (2010) meneliti tentang perbaikan diantisipasi atas standar ISO
9001:2000. Standar ISO terbaru diharapkan memajukan kualitas lebih lanjut dari versi
sebelumnya. Meskipun harapan standar revisi ini sangat tinggi, namun tidak ada cukup bukti
untuk mendukung kesuksesan sebenarnya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perbaikan
terus-menerus dan orientasi pelanggan sebagai area perbaikan utama. Keterlibatan manajemen
yang tinggi dalam upaya kualitas dan proses yang berkesinambungan merupakan hal yang utama.
Manajer tidak memiliki kesulitan khusus dalam pelaksanaan standar proses.
Atas penjelasan beberapa penelitian di atas, kiranya dapat dikatakan bahwa pandangan
penelitian tersebut atas sistem pengendalian manajemen adalah sebuah pandangan positivis
empiris. Bagi penelitian ini kesadaran pikiran terpisah dari realitas dan realitas itu berada di luar
manusia. Sehingga penelitian positivis memandang manka-makna subjektif bukan sebagai
tujuannya. Namun dalam penelitian ini, pandangan yang digunakan adalah justru konstruktivis.
Peneliti memandang hal yang penting dalam menguak makna subjektif. Nilai yang mendasari
konsep, teks yang ada. Bahkan mungkin saja terbuka jalan menuju kepada pandangan kritis.
1.3 LEMBAGA PENJAMINAN MUTU SEBAGAI ELEMAN BARU YANG MUNCUL
DAN MELEKAT DALAM ORGANISASI
Dimulai dengan kemunculan undang-undang reformasi pendidikan yang memberikan
tekanan pada pengawasan terhadap proses pendidikan, maka suatu manajemen kualitas total di
institusi pendidikan menjadi hangat dibicarakan. Di Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan
dalam Buku SPMPT 2010, ditandai dengan kemunculan PP No.19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP) yang dikeluarkan tanggal 16 Mei 2005, dinyatakan bahwa tujuan
SNP adalah untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Dengan demikian SNP dipandang
standar mutu pendidikan tinggi yang harus dipenuhi setiap perguruan tinggi sebagai institusi
pendidikan.
Diskusi wacana atas pengendalian mutu tampaknya bermula dari pemerintah yang
melalui direktorat pendidikan tinggi yang mengeluarkan buku SPMPT. Kehadiran buku tersebut
merupakan upaya pengkomunikasian atas lembaga penjaminan mutu kepada seluruh perguruan
tinggi di Indonesia, tanpa terkecuali juga perguruan tinggi yang terdapat di wilayah kopertis III.
Wacana itu sendiri merupakan cara mengkomunikasikan dari pengirim pesan kepada penerima
pesan. Komunikasi dilakukan dengan sebuah simbol sebagai media komunikasi. Simbol tersebut
adalah lembaga penjaminan mutu. Dalam suatu wacana bukan tidak mungkin termuat sebuah
kepentingan, setidaknya kepentingan pengirim pesan.
Sebelum dikeluarkannya PP No.19, organisasi pendidikan memiliki kebebasan dalam
menerapkan sistem manejemen mutu. Beberapa perguruan tinggi menggunakan ISO 9001:2000
hingga yang terakhir menggunakan seri ISO 9001:2008. Sistem penjaminan mutu berbasis ISO
adalah generik, dan karenanya merupakan suatu pilihan yang memberikan keleluasan dalam
lintas jenis dan aktivitas organisasi. Karenanya organisasi banyak menggunakan sistem ISO, yang
berpusat di Inggris tersebut. Sistem ISO sendiri timbul dan berkembang dari adanya kondisi
global yang multilateral, sehingga upaya yang dilakukan secara dasar dan kolektif adalah melalui
representasi kehadiran suatu lembaga yang mengeluarkan ISO sebagai sebuah standar generik.
Jika simbol komunikasi nasional adalah SPMPT dan LPM, maka simbol komunikasi di
tingkat Internasional adalah ISO. Dengan demikian wacana komunikasi dapat meluas melampaui
ruang dan waktu, bahkan dalam rentang simbol sebagai media tandanya. Wacana secara implisit
merepresentasikan sebuah kepentingan, bahkan lebih luas lagi sebagai jaringan kepentingan.
Kepentingan yang direpresentasikan dalam wacana dapat dikatakan sebagai kepentingan jaringan
institusi. Jaringan instritusi yang juga sangat bervariasi mulai dari sebuah negara bahkan sampai
pada tingkat dunia.
Selanjutnya pasal 92 ayat (1) dinyatakan bahwa Menteri Pendidikan Nasional
(Mendiknas) mensupervisi dan membantu perguruan tinggi dalam melaksanakan penjaminan
mutu. Dalam mewujudkan hal tersebut kemudian muncul buku Sistem Penjaminan Mutu
Perguruan Tinggi (SPMPT) yang memuat Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), dan Sistem
Penjaminan Mutu Eksternal (SPME), juga Pangkalah Data Perguruan Tinggi (PDPT). Dengan
demikian total quality management dalam konteks regulator pemerintah melalui Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi adalah SPMPT sebagai satu-satunya SNP, yang meliputi trilogi terdiri
atas: SPMI (internally driven for continous improvement), SPME (akreditasi BAN-PT) dan PDPT
(dahulu Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri disingkat EPSBED).
Selanjutnya setelah dikeluarkannya aturan PP No.19, sebagai aturan yang mengikat
perguruan tinggi dalam lingkungan negara Indonesia, maka perguruan tinggi yang ada di
Indonesia menjadi tanpa adanya pilihan, melakukan implementasi atas Standar Nasional
Pendidikan yang dimaksud. Terlepas dari apakah suatu organisasi perguruan tinggi telah
menerapkan sistem penjaminan mutu berbasis ISO, maka kehadiran PP No.19, menyebabkan
perguruan tinggi tetap mengimplementasikan ketentuan yang dimaksud oleh ketentuan PP
tersebut. Inilah sebuah pemandangan bagaimana aturan pemerintah sebagai lingkungan organisasi
perguruan tinggi, mempengaruhinya dalam melakukan respon tindakan. Terdapat suatu faktor
yang dikatakan sebagai institusi berpengaruh terhadap tindakan apa yang akan dilakukan dan
ditempuh oleh suatu organisasi dalam hal ini perguruan tinggi.
Pada dasarnya dorongan pencapaian kinerja institusi pendidikan diarahkan pada efisiensi
proses, yang mencerminkan gambaran tentang mutu belajar. Dorongan kesadaran dari institusi
pendidikan tentang mutu menjadi meningkat manakala terdapat usaha pengendalian mutu melalui
usaha internal. Sebagai sebuah proses tidak dapat dihindari bahwa pendidikan tinggi dibiayai
untuk meningkatkan jumlah mahasiswa dengan mereduksi biaya. Ditambah dengan lingkungan
pendidikan yang semakin kompetitif serta munculnya Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang
bahwa pengawasan dan evaluasi program dilakukan oleh: pemerintah, pemerintah daerah dalam
konteks melindungi kepentingan masyarakat (stakeholders). Oleh karena itu diperlukan suatu
rencana strategis yang mengedepankan mutu dengan faktor pembeda yaitu fokus kepada
kebutuhan pelanggan (customer focus).
[F. Mitos Pengendalian Mutu Dalam Perspektif Sistem Pengendalian Manajemen Pada Sistem
Panjaminan Mutu Internal ke bab 1]
Berdasarkan pengalaman subjektif penelisi, kiranya dapat disampaikan berikut ini beberapa mitos
sehubungan dengan pengendalian mutu. Pengendalian mutu di sini dipandang dalam pespektif sistem
pengendalian manajemen berbasis mutu. Demikian halnya sistem pengendalian manajemen berbasis
mutu dipandang sebagai bentuk atau penamaan yang umum dari sistem penjaminan mutu internal.
Mitos Pertama, Sistem Penjaminan Mutu Internal Sebagai Pengendalian Mutu
Pengendalian mutu merupakan kesadaran atas pentingnya suatu “pemeriksaan akan proses akhir”
dalam menghasilkan produk. Selanjutnya dikenal dengan simbol quality control (QC). Ini merupakan
sebuah perkembangan awal dalam sejarah pengendalian mutu. Karena organisasi dan manajer masih
berorientasi hasil, maka bukan tidak mungkin suatu hasil yang jelek, cacat, tidak dikehendaki terjadi.
Sehingga penafsiran yang muncul ada pengendalian mutu yang demikian adalah sebuah tindakan
koreksi atau perbaikan. Dilakukanlah pemeriksaan produk pada akhir proses. Maka jika ditemukan
yang tidak sesuai akan dimaknai sebagai produk catat selanjutnya akan diproses kembali (rework) jika
masih mungkin, jika tidak akan dianggap sebagai produk catat (scrapt). Konsep makna pengendalian
tersebut adalah yang tampak, fisik dan material. Inilah awal dari kesadaran akan makna berdasarkan
sejarah terjadinya.
Mitos Kedua, Sistem Penjaminan Mutu Internal Sebagai Pemastian Mutu
Pengendalian mutu merupakan kesadaran atas pentingnya suatu “pemastian mutu”, sebuah
quality assurance (QA) akan setiap proses dalam menghasilkan produk. Setiap proses adalah penting.
Setiap proses selanjutnya adalah pelanggan (next process is customer). Maka tidak ada satu proses yang
lebih penting dari yang lainnya. Semua proses adalah penting. Jiwa dan semangat yang diusung di sini
adalah menghindari timbulnya kecacatan produk dengan pengendalian proses yang mampu
menyesuaikan terhadap karakter manusia sebagai pelaksana. Tetapi nyata manusialah yang harus
menyesuaikan terhadap sistem pengendalian. Keadaan dapat menimbulkan kesadaran. Proses yang
terus menerus dilakukan sering menimbulkan kejenuhan. Kejenuhan menyebabkan proses pembiasaan
tidak menciptakan sebuah kesadaran baru, sehingga kesalahan akan tampak sebagai sebuah kebiasaan
yang dapat diterima dan dirasionalkan begitu saja dalam sebuah keberadaannya. Yah, dari dulunya
sudah demikian. Yah, sistemnya sudah demikian. Jika sudah demikian mengapa harus repot-repot lagi.
Ketidaksadaran akan kesadaran merupakan ketidaksadaran semu dalam arti prasangka yang
membelenggu.
Pengendalian mutu merupakan kesadaran akan kebebasan yang melampaui batas-batas ruang dan
waktu. Bayangkan seseorang dalam lingkungan perusahaan global dapat mengendalian sesuai dengan
rentang pengendalian dan wewenang aktivitasnya yang ada di organisasinya dalam lintas ruang dan
waktu. Perusahaan global sudah mendunia. Lintas negara, bahasa dan mata uang kebudayaan dan
sistem hukum. Pengendalian mutu sesungguhnya seperti sebuah panektikom yang hiper realitas.
Menembus ruang dan waktu memungkinkan melakukan pengendalian. Mendeteksi penyebabnya
seawal mungkin. Pada prespektif makna tersebut, pandangan maknanya adalah penting untuk
mengendalikan setiap tahap, tidak hanya pada tahap akhir. Setiap tahap tiadak dapat diasumsikan dan
diandaikan berjalan otomatis sebagaimana mestinya seperti standar, operasi dan prosedur. Pengalaman
sejarah atas makna pertama menyebabkan manusia melalui kesalahannya dalam pengalamannya
menimbulkan kreativitas kesadaran baru untuk menciptakan kesadaran pengendalian yang pada
gilirannya memunculkan pemastian mutu. Kesadaran akan pemaknaan yang demikian telah terjadi
pergeseran dari materi fisik ke rasio intrumental. Kesadaran makna akan tindakan sosial sebagai rasio
instrumental mengandaikan bahwa dengan cara-cara tertentu, subjek manusia itu dapat mencapai tujuan
yang dinginkan. Makanya itu berarti bahwa jika standar operasi dan prosedur, dipastikan sebagai
sebuah langkah yang harus dipatuhi dalam ketundukan pelaksanaan, maka tujuan pengendalian mutu
yang bebas dari produk catat dan gagal akan dicapai.
Mitos Ketiga, Pengendalian Mutu Sebagai Kesadaran Seluruh Subjek.
Pengendalian mutu merupakan “kesadaran akan seluruh subjek manusia diseluruh organisasi”.
Jadi pengendalian mutu adalah proses penyadaran akan pentingnya mutu dalam setiap orang dalam
organisasi. Inilah sebuah perspektif makna pengendalian mutu sebagai kesadaran, sebagai makna yang
tidak tampak (intangible). Yang tidak brewujud. Yang disebut sebagai kesadaran akan hal yang
nonmateri. Ada istilah yang demikian disebut sebagai …. Realitas sistem pengendalian adalah tidak
hanya proses pemastian yang merupakan primer, tetapi juga manusianya. Sebuah sistem dalam
pandangan subsistem dapat membentuk silo-silo yang merupakan potensi hambatan secara
keseluruhan. Hambatan bagi efektivitas dan efisiensi organisasi khususnya yang sudah mendunia apa
yang dikenal dengan Multi National Corporation (MNC) dalam lingkungan globaligasi sebagai ciri
kapitalisme modern. Karena itu makna pengendalian mutu sebagai kesadaran subjek manusia
merupakan sebuah kreativitas pengalaman subjek dalam kesejarahannya yang memungkikan baginya
untuk meminimalkan potensi hambatan silo-silo, sehingga konsep pengendalian menjadi lintas
fungsional bahkan menjadi prespektif organisasional secara keseluruhan dan menyeluruh dalam
integrasi komunikasi antar subjek yang didukung oleh teknologi dan sistem pengendalian berbasis
teknologi komunikasi, komputer dan proses yang maju.
Mitos Keempat, Pengendalian Mutu Sebagai Otonomi Teks
Pengendalian mutu merupakan sebuah otonomi teks atau teks yang otonom. Ada yang
mengatakan: “Tulis apa yang anda kerjakan dan kerjakan apa yang anda tulis”. Tulis apa yang anda
kerjakan berawal dari pembangunan sebuah formalitas teks dari sebuah tindakan. Teks adalah tindakan,
teks juga adalah teks tertulis. Jadi tindakan dapat dibaca sebagai sebuah teks, sebuah jejak yang
memiliki makna. Makna yang penting adalah jika tertulis menjadi lebih mudah untuk dikendalikan,
terutama jika terjadi pergantian manusia. Juga memudahkan untuk penelusuran jika membutuhkan
suatu perubahan karena kebutuhan atau hal tertentu misalnya terjadinya unsur-unsur baru yang harus
diintegrasikan kedalam sistem yang ada. Pengendalian mutu dalam arti yang demikian juga dapat
berarti baik yang tertulis maupun tidak tertulis seperti diputuskannya kebijakan manajemen baru yang
harus segera diimplementasi yang mungkin akan merevisi prosedur yang ada namun perubahan
prosedur membutuhkan waktu, sehingga dilakukan bersamaan dengan perubahan prosedur itu sendiri
dan implementasinya. Dalam konteks otonomi teks, maka momen yang menampakkan dirinya dapat
berupa prosedur wajib atan standar wajib yang memang harus ada sebagai teks pengendalian. Sebut
saja di ISO dikenal prosedur wajib seperti pengendalian dokumen dan catatan mutu, audit mutu intenal,
pengendalian produk tidak sesuai, tindakan koreksi dan pencegahan, dan perbaikan terus menerus.
Mitos Kelima, Pengendalian Mutu Sebuah Pembelengguan
Pengendalian mutu merupakan sebuah prasangka yang membelenggu. Keadaan yang
mencitpakan manusia menjadi mekanistik. Bukannya sistem pengendalian untuk manusia, tetapi
manusia untuk sistem pengendalian. Artinya bukannya sistem pengendalain yang menyesuaikan
terhadap karakter manusia sebagai pelaksana. Tetapi manusialah yang harus menyesusian terhadap
sistem pengendalian. Keadaan dapat menimbulkan kesadaran. Proses yang terus menerus dilakukan
sering menimbulkan kejenuhan. Kejenuhan menyebabkan proses pembiasaan tidak menciptakan
sebuah kesadaran baru, sehingga kesalahan akan tampak sebagai sebuah kebiasaan yang dapat diterima
dan dirasionalkan begitu saja dalam sebuah keberadaannya. Yah dari dulunya sudah demikian. Yah
sistemnya sudah demikian. Jika sudah demikian mengapa harus repot-repot lagi. Ketidaksadaran akan
kesadaran merupakan ketidaksadaran semu dalam arti prasangka yang membelenggu.
Mitos Keenam, Pengendalian Mutu Sebuah Kebebasan
Pengendalian mutu merupakan kesadaran akan kebebasan yang melampaui batas-batas ruang dan
waktu. Bayangkan seseorang dalam lingkungan perusahaan global dapat mengendalian sesuai dengan
rentang pengendalian dan wewenang aktivitasnya yang ada di organisasinya dalam lintas ruang dan
waktu. Perusahaan global sudah mendunia. Lintas negara, bahasa dan mata uang kebudayaan dan
sistem hukum. Pengendalian mutu sesungguhnya seperti sebuah panektikom yang hiper realitas.
Menembus ruang dan waktu memungkinkan melakukan pengendalian.
1.7 TAFSIR SOSIAL ATAS SISTEM PENJAMINAN MUTU: AGENDA PENELITIAN
1.7.1 Teori Institusi Membuka Ruang Masuk ke dalam Tafsir Sosial
Kehadiran Lembaga Penjaminan Mutu Internal (LPMI) sebagai penanggungjawab
sistem penjaminan mutu dalam suatu organisasi pendidikan merupakan bukti mengenai
bekerjanya teori institusi. Kehadirannya melekat dalam organisasi, sebagai unsur yang berasal
dari luar. Unsur luarnya diperkuat dengan atuan pemerintah (didasari pada PP No.19) yang
tertuang dalam buku sistem penjaminan mutu internal. Atribut formal yang juga mengikuti
kehadiran lembaga penjaminan mutu adalah sistem penjaminan mutunya. Sistem penjaminan
mutu tersebut merupakan serangkaian prosedur dan langkah-langkah kerja yang formal untuk
mendukung pemastian proses dalam mencapai sasaran mutu.
Perilaku organisasi yang didalamnya terdapat individual auditee, auditor, maupun
pelanggan (customer) menjadi terpengaruh dengan adanya proses institusional tersebut. Sejumlah
tindakan baru yang muncul dari perilaku organisasi yang tampak melalui individu atas kehadiran
teori institusional merupakan peluang untuk mamahami arti atas fenomena sistem penjaminan
mutu internal dari perspektif institusi. Lebih lanjut seluruh tindakan baru yang muncul dalam
organisasi juga dipandang sebagai fenomena yang akan dipahami dan selanjutnya dilakuka tafsir
sosial atas sistem penjaminan mutu.
1.7.2 Teks Sistem Penjaminan Mutu Membuka Jalan untuk Melakukan Tafsir Sosial
Bukti adanya fenomena atas sistem penjaminan mutu telah ditunjukkan pada penelitian
sebelumnya, yaitu: Ching-Chow Yang (2006) dan Katerina Gotzamani (2010). Secara umum
problematikanya meliputi: sebagian besar industri jasa belum memiliki sistem yang dikelola
dengan baik dan sistem penjaminan mutu yang komprehensif. Selanjutnya juga terungkap bahwa
meski standar sistem penjaminan mutu telah direvisi menjadi yang lebih baru dengan harapan
yang lebih tinggi, namun belum cukup bukti mendukung kesuksesan.
Penelitian-penelitian sebelumnya yang telah ditelaah di atas, terfokus pada tema konsep
mutu maupun pada bidang manufaktur serta penelitian secara kuantitatif. Penelitian kuantitatif
sarat dengan objektivitas dengan rasionalitas pikiran sebagai dasarnya. Objektivitas sendiri dapat
berarti subjek terpisah atau berjarak dengan objek, dan pikiran terpisah dari nilai rasa maupun
spiritual serta nilai lokal (local wisdom). Selanjutnya keterpisahan tersebut dapat menimbulkan
suatu keadaan bahwa mutu dipandang sebagai sebuah kualitas di atas kertas saja. Oleh karenanya
terdapat kemungkinan untuk membaca fenomena sistem penjaminan mutu dari perspektif teori
institusi.
Ruang lingkup lingkungan berbagai penelitian sebelumnya juga dilakukan pada
perusahaan manfaktur modern. Sebagaimana diketahui bahwa modernitas telah mengedepankan
rasionalitas dengan pikiran sebagai basis pijakannya. Rasa dan nilai telah terpisah dan
ditinggalkan atau paling tidak dipandang sebagai sesuatu yang tidak penting (marjinal).
Modernitas dalam sistem organisasi memandang manusia hanya sebagai sebuah unsur fisik faktor
produksi atau setidaknya sebagai bagian dari proses produksi dan reproduksi fisik. Terdorong
oleh sebuah pandangan bahwa pikiran adalah tingkat kesadaran rendah yang boleh jadi
menyebabkan pemahaman mutu sebagai sebuah realitas “yang cenderung semu” karena proses
reduksi, maka dibutuhkan suatu upaya membaca realitas dengan teori yang ada. Maka penelitian
ini memfokuskan pada penelitian kualitatif sebagai upaya melakukan tafsir sosial atas teks sistem
penjaminan mutu. Anggapan yang mendasarinya adalah bahwa teori tidak terpisah dengan
praktik yang ada, lalu atas dasar anggapan tersebut kemudian dapat dinyatakan bahwa praktik
yang ada dapat dicocokkan dengan tafsir sosial atas fenomena sistem penjaminan mutu dengan
ekstensi teori institusi yang dimaksudkan.
1.8 MOTIVASI, PERTANYAAN DAN TUJUAN PENELITIAN
1.8.1 Motivasi Penelitian
Penelitian ini termotivasi dari pernyataan Mattessich (2003:446) dan Morgan dan
Smircich (1980). Mattessich yang menggunakan konsep Onion Model of Reality disingkat OMR
sebagai metafora realitas, selanjutnya dalam pernyataan keempat, mengungkapkan bahwa realitas
sosial (social reality) ada karena sekelompok manusia menciptakan properti sosial. Sedangkan
Morgan dan Smircich (1980) dalam asumsi dasar ontologi kelima, mengungkapkan bahwa
realitas sebagai konstruksi sosial. Konteks penelitian ini adalah memahami realitas berupa
penafsiran atas teks sistem penjaminan mutu internal dalam bingkai organisasi.
Penafsiran teks dimulai dari analisis wacana kritis. Analisis wacana kritis menurut Anis
Badara (2012:7) meliputi hal yang menyangkut diantaranya analisis teks. Dalam wacana kritis,
teks sistem penjaminan mutu diyakini merupakan bentuk praktik atau pencerminan ideologi
tertentu. Oleh karena itu wacana kristis dimaksudkan untuk menjelaskan mengapa teks sistem
penjaminan mutu merupakan sebuah tuntutan keteraturan yang berkaitan dengan keberterimaan
pada khalayak. Untuk menguak mitos teks sitem penjaminan mutu, dilakukan penafsiran teks
sistem penjaminan mutu.
1.8.2 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: bagaimana tafsir
sosial atas sistem penjaminan mutu?
1.8.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk memahami tafsir sosial atas sistem penjaminan
mutu. Tujuan penelitian ini merupakan arah yang ingin dicapai peneliti dalam serangkaian
pelaksanaan proses penelitian kualitatif hermeneutik berdasarkan teks sistem penjaminan mutu
yang menampakkan diri dalam organisasi berdasarkan teori institusi.
Stop disini dulu
---o0o---